Você está na página 1de 83

ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

MAHDIANTO
S1. KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CITRA


DELIMA BANGKA BELITUNG

ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

Definisi
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48
jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 µmol/L) atau
meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam
(Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan
(Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalamjam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Brady et al, 2005).

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD). Dahulu, hal di
atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam,
sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjalakut yang digunakan berbeda-beda pada
berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan
membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas
kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit
yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative(ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidneydiharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injurydianggap
lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.Kriteria yang melengkapi definisi AKI

menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi
prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif
yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum;
(4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum
adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja (Rusli, 2007).

Klasifikasi Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angkakejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI.

Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Sinto, 2010)
AKI Prarenal

I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,
obstruksi
- usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
- Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran
- kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
- (luka bakar)

II. Penurunan curah jantung


- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik


- Penurunan resistensi vaskular perifer
- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
- (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
takrolimus,
- amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasiginjal


- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
AKI Renal I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis(trombosis,
- kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal


- Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)


- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis,
- asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial


- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi
(bakteri,
- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
- idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular


- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida

VI. Rejeksi alograf ginjal

AKI pascarenal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal

II. Obstruksi leher kandung kemih


- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah

III. Obstruksi uretra


- Striktur, katup kongenital, fimosis

Klasifikasi AKI
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri
dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli,
2007).
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Kategori Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO

Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24
jam
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan

Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular
seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:
Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)
Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular,
bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla
ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada
respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Denganpeningkatan endhotelial dan
kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang
menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksipembuluh dengan aktivasi leukosit dan
berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh
apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dankembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan
mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan
kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama
vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator
vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit
(Bonventre, 2008).

Pendekatan Diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS,
penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi
ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor
kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronikdan hipertensi portal, tanda gagal
jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan
status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan
dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya
mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan
dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut,
atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri
pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.
Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada
pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan
disfungsi saraf otonom (Sinto, 2010).

2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukanpada ATN; cast
eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; castleukosit dan
pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Kelainan analisis urin (Sinto, 2010)

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkanAKI pascarenal adalah


pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung
dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto
polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuaiindikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasiendengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan
tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady, 2005).

Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dantelah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti
pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)
2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obatyang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.
Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien
AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar
hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubahkeadaan AKI oligourik menjadi
non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penangananketidakseimbangan cairan
dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)

A. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi.
Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan
isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
B. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretiktidak berguna pada AKI pascarenal.
Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12
jam). Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan
lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengandosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler


sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitianlain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidakmemperbaiki prognosis pasien
(Sja’bani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 µg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasipembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaanklinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia
miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna,gangrene digiti, dan lain-lain.
Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahanklinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat
digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi)
untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Sinto, 2010).
3. Dialisis
Menurut Workeneh (2012), indikasi dialisis pada pasien dengan AKI adalah sebagai
berikut:
1. Ekspansi volume yang tidak dapat dikelola dengan diuretik
2. Refrakter terhadap terapi medis hiperkalemia
3. Koreksi parah gangguan asam-basa yang refrakter terhadap terapi medis
4. Parah azotemia (BUN> 80-100)
5. Uremia

Komplikasi dan Penatalaksanan


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Sinto, 2010)
Teori Asuhan Keperawatan AKI

1. Fokus Pengkajian (Efendy, 2008)


Sistem Pernafasan (B1)
a. Gejala : nafas pendek
b. Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk
produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ).

Sistem Kardiovaskuler (B2)


Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi
akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi
ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum
(termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan.

Sistem Persyarafan (B3)


a. Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom “kaki
Gelisah”.
b. Tanda :Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat
kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/asama basa, kejang, faskikulasi
otot, aktifitas kejang.

Sistem Perkemihan (B4)


a. Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria 2-6 liters / day
(kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria12-21 hari (fase akhir), disuria,
ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung
diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli
b. Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan.
Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).

Sistem Pencernaan (B5)


a. Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunanberat badan (dehidrasi), mual
, muntah, anoreksia, nyeri uluhati.
b. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah).

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien AKI adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan bebanjantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder:
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui
alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.

Intervensi

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat

Tujuan : Penurunan curah jantung tidak terjadi


Kriteria hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu
pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R/ Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder :


volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Nadan H2O

Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan


Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Monitor status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan
haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R/ Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap
terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan
e. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
R/Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah

Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat


Kriteria hasil : Menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R/ Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R/ Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Berikan makanan TKTP
R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R/ Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R/ Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut
yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi


melalui alkalosis respiratorik
Tujuan : Pola nafas kembali normal / stabil

Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R/ Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R/ Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R/ Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga
Kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor,vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R/ Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus / infeksi.
b.Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R/ Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R/ Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R/ Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R/ Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R/ Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan
tekanan pada area pruritis
R/ Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada
kulit

PENDAHULUAN

AKI adalah umum pada pasien yang berada di rumah sakit terutama pada orang tua dan orang-
orang di unit perawatan intensif (ICU). AKI menyebabkan penumpukan produk limbah dalam
darah dan membuat sulit ginjal menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh. Ini juga dapat
mempengaruhi organ-organ lain seperti otak, jantung, dan paru-paru.

AKI ditemukan melalui darah dan tes urine sederhana. AKI dapat menyebabkan penyakit ginjal
kronis (CKD), atau bahkan gagal ginjal yang memerlukan dialisis (penyakit ginjal stadium
akhir). Hal ini juga dapat menyebabkan penyakit jantung atau kematian. Bahkan AKI ringan atau
yang tampaknya “pemulihan lengkap” dari AKI mungkin memiliki beberapa masalah kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang.

Di Amerika Serikat, AKI adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius dan umum. Hal
ini terjadi hingga 1 dari 5 pasien di rumah sakit, dan dua kali lebih sering dalam pengaturan
perawatan kritis. Cara terbaik untuk menurunkan kemungkinan memiliki kerusakan ginjal dan
menyelamatkan fungsi ginjal untuk mencegah AKI, atau untuk menemukan dan memperlakukan
AKI sedini mungkin. Pasien sakit parah dengan AKI yang berada di rumah sakit memiliki
kesempatan tertinggi kematian, hingga 50%. Sekitar 1 dari 10 pasien yang memiliki AKI
membutuhkan dialisis: Sejumlah besar pasien akan meninggal di rumah sakit dan sekitar 20%
dari korban akan terus membutuhkan dialisis setelah mereka dipulangkan dari rumah sakit.

Di antara korban yang membutuhkan dialisis setelah AKI, beberapa akan perlu untuk tetap di
dialisis permanen. Sekitar sepertiga dari pasien yang memiliki AKI akan mengembangkan CKD
dalam waktu 2 sampai 5 tahun memiliki AKI. Meningkat risiko ini dengan episode yang lebih
parah dan berulang AKI.

PENGERTIAN

Sindrom yang menghasilkan penurunan mendadak dalam fungsi ginjal atau kerusakan ginjal
dalam beberapa jam atau beberapa hari.

PEYEBAB

Penyebab utama AKI meliputi:

1. Penurunan aliran darah ke ginjal. Ini dapat hasil dari:


o Hipotensi (tekanan darah rendah) atau sengatan
o Darah atau kehilangan cairan (misalnya, perdarahan, diare berat)
o Serangan jantung, gagal jantung, dan kondisi lain yang menyebabkan fungsi
jantung menurun
o Kegagalan organ (misalnya, jantung, hati)
o Penggunaan NSAID (misalnya, ibuprofen, naproxen)
o Parah alergi (anafilaksis) reaksi
o Luka bakar
o Cedera
o Operasi besar
2. Kerusakan langsung pada ginjal. Beberapa contoh termasuk:
o Glomerulonefritis akut (peradangan dan kerusakan pada membran glomerulus
ginjal) seperti lupus nefritis
o Nefritis interstitial akut (reaksi alergi yang dapat disebabkan oleh beberapa obat)
o Akut tubular nekrosis (peradangan dan kerusakan pada tubulus ginjal dari
memiliki aliran darah yang rendah ke ginjal untuk waktu yang lama atau efek
beracun dari obat, logam berat, atau pewarna kontras yang digunakan dalam studi
pencitraan)
oVaskulitis (radang pembuluh darah) seperti granulomatosis dengan polyangiitis
(penyakit pembuluh darah yang langka)
o Sepsis (Total respon tubuh terhadap infeksi yang dapat menyebabkan fungsi
organ miskin atau aliran darah yang buruk)
o Mikroangiopati trombotik (kerusakan pada sel-sel yang melapisi pembuluh darah
terkecil dari ginjal)
o Multiple myeloma (kanker sel plasma)
o Scleroderma (penyakit jaringan ikat)
3. Penyumbatan saluran kemih. Penyumbatan dapat hasil dari:
o Kandung kemih, prostat, atau kanker serviks
o Pembesaran prostat
o Kandung kemih neurogenik (masalah dengan sistem saraf yang mempengaruhi
kandung kemih dan buang air kecil)
o Batu ginjal
o Pembekuan darah di saluran kemih

FAKTOR RISIKO

 Faktor Usia
 African American / Etnis hitam
 Sepsis berat
 Dehidrasi,
 Penyakit kronis seperti penyakit jantung, penyakit hati, penyakit paru-paru, diabetes,
 Penyakit arteri perifer ( aliran darah rendah ke lengan dan kaki karena arteri menyempit),
 Batu ginjal,
 Kanker,

TANDA DAN GEJALA

1. Penumpukan produk limbah dalam darah


2. Gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh
3. Sesek nafas, lemah,
4. Gejala gagal jantung atau kegagalan resipratory

PENATALAKSANAAN

Jika berada di rumah sakit, tim medis akan menguji seberapa baik ginjal bekerja setiap hari. Hal
ini penting untuk berbicara dengan tim kesehatan dan pastikan pasien memahami status
kesehatan ginjal dan rencana tindak lanjut setelah meninggalkan rumah sakit. Pasien harus
menindaklanjuti dengan penyedia perawatan primer atau spesialis ginjal dalam 6 sampai 12
minggu setelah dikirim pulang dari rumah sakit. Tes yang akan memberitahu apakah ginjal lebih
baik setelah AKI termasuk serum (darah) kreatinin, estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR), dan
jumlah protein dalam urin. Pelajari lebih lanjut tentang tes ginjal.

Jika memiliki AKI dan masih perlu dialisis, dokter ginjal akan bertanggung jawab atas rawat
jalan perawatan dialisis. Dokter akan terus memeriksa apakah fungsi ginjal semakin baik. Jika
fungsi ginjal meningkatkan dan perlu dialisis lagi, pasien masih harus menindaklanjuti dengan
dokter ginjal dalam waktu 4 sampai 8 minggu setelah menghentikan pengobatan dialisis.

Setelah kunjungan pertama follow-up setelah AKI, dokter akan memberitahu seberapa sering
harus terus melihat seorang spesialis ginjal dan menguji fungsi ginjal. Ini akan didasarkan pada
fungsi ginjal dan kesehatan secara keseluruhan. Ginjal yang jelas dengan beberapa obat,
sehingga penyedia layanan kesehatan akan meninjau semua obat yang diresepkan dan over-the-
counter produk yang kita pakai. Kadang-kadang dosis obat biasanya akan memperngaruhi baik
meningkat atau menurun berdasarkan perubahan fungsi ginjal. Pasien juga harus menghentikan
atau menghindari semua obat-obatan yang tidak perlu yang lebih lanjut bisa merusak ginjal. Ini
termasuk NSAID.

Setelah AKI, kemungkinan lebih tinggi untuk masalah lain kesehatan (misalnya, CKD, stroke,
penyakit jantung) atau memiliki AKI lagi di masa depan. Peluang untuk CKD dan gagal ginjal
meningkat setiap kali AKI terjadi.

Untuk melindungi melindungi harus:

1. Menindaklanjuti dengan penyedia perawatan primer atau dokter ginjal setelah AKI untuk
mengevaluasi pemulihan fungsi ginjal dan risiko komplikasi pasca-AKI
2. Diskusikan dengan dokter jika obat yang diresepkan yang tepat untuk fungsi ginjal
3. Hindari menggunakan obat yang beracun untuk ginjal seperti NSAID atau obat herbal
atau suplemen
4. Bekerja dengan tim kesehatan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan mencegah episode berulang dari AKI

ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian

Pengkajian mengacu domain NANDA-I

Promosi Kesehatan

 Menunjukan penolakan terhadap perubahan status kesehatan


 Gagal mencapai pengendalian yang optimal
 Gagal melakukan tindakan yang mencegah masalah kesehatan terutama factor pencetus
AKI
 Meminimalkan perubahan status kesehatan

Nutrisi

 Asupan berlebihan dibanding output


 Tekanan darah berubah, tekanan arteri pulmonalis berubah, peningkatan CVP
 Perubahan pada pola nafas, dyspnoe/sesak nafas, orthopnoe, suara nafas abnormal (Rales
atau crakles), kongestikemacetan paru, pleural effusion
 Hb dan hematokrit menurun, perubahan elektrolit, khususnya perubahan berat jenis
 Oliguria/ poliguri, anuria
 Perubahan status mental, kegelisahan, kecemasan
 Azotemia
 Anasarka

Eliminasi dan Pertukaran

 Gangguan pola urinary


 Gangguan produksi urine
 Sering berkemih
 Anyang-anyangen

Aktifitas dan Istirahat

 Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan.


 Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.
 Respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktifitas
 Menyatakan merasa letih
 Menyatakan merasa lemah

Persepsi dan Kognisi

 Keterbatasan pengentahuan dengan sakitnya


 Tidak familier dengan sumber informasi

Persepsi diri

 Penurunan selera hidup


 Putus asa
 Gelisah, cemas dengan sakitnya

Hubungan peran

 Dirawat di RS
 Perubahan persepsi peran
 Perubahan kapasitas melaksanakan peran
 Perubahan pada pola tanggung jawab yang biasa
 Ketidakberdayaan
 Bingung peran

Seksualitas

 Keterbatasan aktual akibat penyakit


 Keterbatasan aktual akibat terapi
 Perubahan minat terhadap diri sendiri
 Mengungkapkan masalah
 Mencari konfirmasi tentang kemampuan mencapai hasrat seksual

Koping dan toleransi stress

 Mengekspresikan kekawatiran karena perubahan dalam peristiwa hidup dan sakitnya


 Gelisah
 Kesedihan yang mendalam
 Berfokus pada diri sendiri
 Peningkatan ketegangan

Prinsip Hidup

 Marah karena vonis AKI


 Stress

Keamanan dan perllindungan

 Fluktuasi suhu tubuh diatas dan dibawah kisaran normal


 Hipertensi
 Peningkatan suhu tubuh diatas normal
 Peningkatan frekuensi pernafasan
 Sedikit menggigil
 Takhikardia
 Pucat sedang

Kenyamanan

 Laporan secara verbal atau non verbal tentang nyeri pinggang, nyeri abdmen
 Posisi antalgic untuk menghindari nyeri
 Perubahan dalam nafsu makan dan minum
 Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
 Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)

Pertumbuhan atau Perkembangan

 Sesuai usia

Diagnosa Keperawatan

Perilaku Kesehatan cenderung Berisiko

NOC :
Kepercayaan kesehatan ; persepsi kemampuan

NIC :

Pendidikan kesehatan ; penyakit

Pendidikan kesehatan individu

Pendidikan proses penyakit

Kelebihan volume cairan

NOC :

Hidrasi

Keseimbangan cairan

Status gizi ; asupan makanan dan cairan

NIC :

Manajemen cairan

Manajemen cairan dan elektrolit

Manajemen Hipervolemia

Monitor cairan

Terapi hemodialisa

Gangguan eliminasi urine

NOC :

Eliminasi urin

Kontinensia urin

NIC :

Perawatan Inkontinesia urin

Manajemen Eliminasi Urin


Bantuan perawatan diri ; eliminasi

Intoleransi aktifitas

NOC :

Toleransi aktifitas

Penghematan energy

Perawatan diri ; aktifitas sehari-hari

NIC :

Terapi aktivitas

Manajemen energy

Terapi latihan ; mobilitas

Defisiensi pengetahuan

NOC :

Pengetahuan ; Proses penyakit

Pengetahuan ; program terapi

NIC :

Pendidikan kesehatan ; penyakit

Pendidikan kesehatan ; Pengobatan

Pendidikan kesehatan

Ketidakefektifan performa peran

NOC :

Performa peran

NIC :

Peningkatan peran
Fasilitasi tanggung jawab diri

Dukungan keluarga

Disfungsi seksual

NOC :

Fungsi seksual

Kesejahteraan personal

NIC :

Pendidikan kesehatan ; seks aman

Pendidikan kesehatan ; seksualitas

Ansietas

NOC :

Tingkat ansietas

Pengendalian diri terhadap ansietas

Koping

NIC :

Peningkatan Koping

Dukungan emosional

Reduksi cemas

Ketidakefektifan termoregulasi

NOC :

Termoregulasi

Status vital sign

Hidrasi
NIC :

Monitoring Tanda vital

Pengaturan suhu

Perawatan demam

Regulasi suhu

Nyeri akut

NOC :

Level nyeri

Level nyaman

Kontrol nyeri

Istirahat

NIC :

Manajemen Nyeri

Terapi relaksasi sederhana

Distraksi

Administrasi analgesic

Pemberian analgesic

Manajemen medikasi

Evaluasi

Menngacu pada nilai indicator dan skala pada NOC.

Daftar Pustaka

1. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiologi dan hasil dari cedera ginjal
akut jurnal Clinical dari American Society of Nephrology.. CJASN Mei 2008; 3 (3): 844-
861.
2. Bellomo R, Kellum JA, cedera ginjal akut C. Ronco Lancet 25 Agustus 2012; 380
(9843):.. 756-766.
3. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. Awal cedera ginjal akut dan sepsis: evaluasi
multisenter Crit Perawatan 2008; 12 (2):.. R47.
4. Cerda J, Liu KD, Cruz DN, dkk. Mempromosikan fungsi ginjal Pemulihan pada pasien
dengan AKI Membutuhkan RRT jurnal Clinical dari American Society of Nephrology..
CJASN 2 Juli 2015.
5. Chawla LS, Kimmel PL. .. Cedera ginjal akut dan penyakit ginjal kronis: sindrom klinis
yang terintegrasi Ginjal internasional Sep 2012; 82 (5): 516-524.
6. Heung M, Chawla LS. Cedera ginjal akut. Gerbang ke penyakit ginjal kronis Nefron.
Praktek klinis 2014; 127 (1-4):. 30-34.
7. Thakar CV, Christianson A, Himmelfarb J, Leonard AC. Akut episode cedera ginjal dan
risiko penyakit ginjal kronis pada diabetes melitus jurnal Clinical dari American Society
of Nephrology.. CJASN Nov 2011; 6 (11): 2567-2572.
8. Chawla LS, Amdur RL, Amodeo S, Kimmel PL, Palant CE. Tingkat keparahan cedera
ginjal akut memprediksi perkembangan penyakit ginjal kronis ginjal internasional Jun
2011; 79 (12):.. 1361-1369.
9. Coca SG, Singanamala S, Parikh CR. Penyakit kronis ginjal setelah cedera ginjal akut:..
Review sistematis dan meta-analisis Ginjal internasional Mar 2012; 81 (5): 442-448.
10. Wald R, Quinn RR, Adhikari NK, dkk. Risiko dialisis kronis dan kematian berikut cedera
ginjal akut Jurnal Amerika kedokteran Jun 2012; 125 (6):.. 585-593.
11. Lafrance JP, Miller DR. Cedera ginjal akut rekan dengan peningkatan mortalitas jangka
panjang Journal of American Society of Nephrology.. JASN Feb 2010; 21 (2): 345-352.
12. Wu VC, Wu CH, Huang TM, et al. Risiko jangka panjang dari kejadian koroner setelah
AKI Journal of American Society of Nephrology.. JASN Mar 2014; 25 (3): 595-605.
13. Wu VC, Wu PC, Wu CH, dkk. Dampak dari cedera ginjal akut pada risiko jangka
panjang stroke Journal of American Heart Association Agustus 2014;.. 3 (4).
14. NKF, 2015 dalam http://www.nkf.com/aki
15. NANDA-I, Nursing diagnosis, Definitions and Classification 2015-2017. Tenth Edition,
2015

Askep Gagal Ginjal Akut

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non -communicablediseases)


terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit g i n j a l k r o n i k , s u d a h
m e n g g a n t i k a n p e n y a k i t m e n u l a r ( c o m m u n i c a b l e d i s e a s e s ) sebagai masalah kesehatan
masyarakat utama.

Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem


vaskuler sehingga dapat membantu upay a pencegahan penyakit lebih dini
s e b e l u m p a s i e n mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit
jantung koroner,gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.

Gagal ginjal atau acute kidney inj ury (AKI) yang dulu disebut injury acute renal
failure (ARF) dapat diartikan sebagai penurunan cepat/tiba-tiba atau parah padafungsi filtrasi ginjal.
Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentras ikreatinin serum atau azotemia
(peningkatan konsentrasi BUN (blood Urea Nitrogen).Setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi
BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan
produksi urin.

Angka kematian di AS akibat gagal ginjal akut berkisar antara 20-


9 0 % . Kematian di dalam RS 40 -50% dan di ICU sebesar 70-89%. Kenaikan 0,3 mg/dL
kreatinin serum merupakan prognostik penting yang signifikan. Peningkatan kadar
kreatinin juga bisa disebabkan oleh obat-obatan (misalnya
c i m e t i d i n d a n trimehoprim) yang menghambat sekresi tubular ginjal. Peningkatan
nilai BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan
mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid, pemasukan
p r o t e i n . O l e h k a r e n a i t u diperlukan pengkajian yang hati-hati dalam menentukan
apakah seseorang terkena kerusakan ginjal atau tidak.

B. Tujuan

1. Tujuan umum
Mendapatkan gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan pada klien dengan GGA
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan GGA
b. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan
c. Mahasiswa mampu membuat intervensi untuk klien GGA
d. Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana tindakan yang telah dibuat
e. Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah diberikan pada klien dengan GGA

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian

Gagal ginjal akut adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat
sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan
kreatinin darah( Imam Parsoedi A dan Ag. Soewito :Ilmu Penyakit dalam Jilid II;91 ).

Gagal ginjal akut merupakan sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada
ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat disertai azotemia (kelebihan urea
atau senyawa nitrogen lainnya dalam darah) diikuti dengan peningkatan BUN dan kreatinin serum serta
oliguri.

B. Etiologi

1. Pre renal
Kondisi pra renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi
glumerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi renal adalah :
 Penipisan volume
 Hemoragi
 Kehilangan cairan melalui ginjal(diuretik, diuresis osmotik)
 Kehilangan cairan melalui saluran GI(muntah, diare, selang nasogastrik)
 Gangguan efisiensi jantung
 Infark miokard
 Gagal jantung kongestif
 Disritmia
 Syok kardiogenik
 Vasodilatasi
 Sepsis
 Anafilaksis
 Medikasi antihipertensi atau medikasi lain yang menyebabkan vasodilatasi
2. Intra renal
Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau tubulus ginjal yang dapat
disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
 Cedera akibat terbakar dan benturan
 Reaksi transfusi yang parah
 Agen nefrotoksik
 Antibiotik aminoglikosida
 Agen kontras radiopaq
 Logam berat(timah, merkuri)
 Bahan kimia dan pelarut
 Obat NSAID
 Proses infeksi
 Pielonefritis akut
 Glomerulonefritis akut
3. Pasca renal
Kondisi pasca renal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi di bagian distal
ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :
 Obstruksi traktus urinarius
 Batu
 Tumor
 Hiperplasia prostat jinak
 Striktur
 Bekuan darah

C. Patofisiologi
Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan
fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif, obstruksi
ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal, obstruksi vena atau arteri
bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki sebelum ginjal rusak secara permanen,
peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan dengan gagal ginjal akut dapat
ditangani.

Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut yaitu :


Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
Stadium Oliguria. Volume urine 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak.
Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda,
tergantung dari kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi
kadar normal. Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal
jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan oleh kegagalan
pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan
dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala ini.

Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau
penderita terbangun untuk berkemih beberapa kali pada waktu malam hari. Dalam keadaan normal
perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 : 1 atau 4 : 1. Sudah tentu nokturia
kadang-kadang terjadi juga sebagai respon terhadap kegelisahan atau minum yang berlebihan. Poliuria
akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun
poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal
dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gelala-gejala
kekurangan darah, tekanan darah akan naik, terjadi kelebihan, aktifitas penderita mulai terganggu.

Stadium III. Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat
melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah,
nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai
koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari
keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini
kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi
mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri
(pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium
akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis.

D. Manifestasi Klinis

 Haluaran urine sedikit, Mengandung darah,


 Peningkatan BUN dan kreatinin,
 Anemia,
 Hiperkalemia
 Asidosis metabolic
 edema
 Anoreksia,nause,vomitus
 Turgor kulit jelek,gatal-gatal pada kulit
 Kelemahan otot
 Perubahan pola berkemih (oligouri/poliuri)
 Perubahan suhu tubuh : demam (dehidrasi)
 Nafas bau amoniak

E. Pemeriksaan Diagnostik

a. Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein


b. Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium, Magnesium
fosfat, Protein, Osmolaritas serum.
c. KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi .
d. Pielografi retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
e. Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstraskular, massa.
f. Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih,refluks ureter,retensi
g. Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
h. Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menetukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis
i. Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menemukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
j. EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia,
hipertrofi ventrikel dan tanda-tanda perikarditis.

F. Komplikasi
Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia,
a s i d o s i s metabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada
keadaan hiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan edema
paru,yang dapat menimbulkan keadaan gawat.

G. Penatalaksanaan
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia,
perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein
dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia
merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau
akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5
mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan
perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin
(Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena
sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien.
Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan
perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.

H. ASKEP TEORITIS

a. Data dasar Pengkajian


1. Keadaan umum :

2. Identitas : nama, usia, alamat, telp, tingkat pendidikan, dll.

3. Riwayat Kesehatan :

Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan utama tidak bisa kencing, kencing sedikit, sering BAK pada malam hari, kelemahan otot atau
tanpa keluhan lainnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya penyakit infeksi, kronis atau penyakit predisposisi terjadinya GGA serta kondisi pasca akut.
Riwayat terpapar toksin, obat nefrotik dengan pengunan berulang, riwayat tes diagnostik dengan
kontras radiografik. Kondisi yang terjadi bersamaan : tumor sal kemih; sepsis gram negatif,
trauma/cidera, perdarahan, DM, gagal jantung/hati.

Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat penyakit polikistik keluarga, nefritis herediter, batu urinarius atau yang lainnya.

4. Pola kebutuhan

Aktivitas dan istirahat


Gejala : keletihan, kelemahan, malaise
Tanda : Kelemahan otot, kehilanggan tonus

Sirkulasi
Tanda : Hipotensi/hipertensi, disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi orthostatik (hipovolemia),
hipervolemia (nadi kuat), oedema jaringgan umum, pucat, kecenderungan perdarahan

Eliminasi
Gejala : Perubahan pola kemih : peningkatan frekuensi, poliuria (kegagalan dini) atau penurunan
frekuensi/oliguria (fase akhir), disuria, ragu-ragu berkemih, dorongan kurang, kemih tidak lampias,
retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung, diare atau konstipasi, Riwayat Hipertropi
prostat, batu/kalkuli
Tanda : Perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap, merah, coklat, berawan, Oliguria (bisanya
12-21 hari); poliuria (2-6 l/hari)

Makanan/cairan
Gejala : Peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan (dehidrasi), mual, muntah,
anoreksia, nyeri ulu hati, riwayat penggunaan diuretik
Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema

Neurosensorik
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom ‘kaki gelisah”
Tanda : Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilanggan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbanggan
elektrolit/asam/basa); kejang, aktivitas kejang

Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri tubuh, sakit kepala
Tanda : Prilaku berhati-hati, distraksi, gelisah

Pernafasan
Gejala : Nafas pendek
Tanda : Tachipnea, dispnea, peninggkatan frekuensi dan kedalaman pernafasan (kussmaul), nafas
amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda (edema paru)
Keamanan
Gejala : ada reakti tranfusi
Tanda : Demam (sepsis, dehidrasi), ptechie, echimosis kulit, pruritus, kulit kering
5. Pengkajian keluarga

 Anggota keluarga
 Pola komunikasi
 Pola interaksi
 Pendidikan dan pekerjaan
 Kebudayaan dan keyakinan
 Fungsi keluarga dan hubungan
6. Pemeriksaan penunjang

Urine
Volume , 400 ml/24 jam, terjadi 24-48 jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, Myoglobin. Porfirin. Berat jenis < 1,020 menunjukkan penyakit ginjal,
contoh Glumerulonefritis, pyelonefritis demam kehilangan kemampuan untuk memekatkan, BJ 1,020
menunjukkan kerusakan ginjal berat. pH Urine > 7,00 menunjukkan ISK, NTA dan GGK. Osmolalitas
kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine.serum sering 1 : 1
Creatinin clearance : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan ceatinin serum meningkat
secara bermakna
Natrium biasanya menurun, tetapi dapat lebih dari 40mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi
natrium
Bikarbonat meningkat bila ada asidosis metabolik

Darah
Hb menurun/tetap, SDM sering menurun, pH kurang dari 7,2 (asidosis metabolik) dapat terjadi karenan
penurunan fungsi ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme. BUN/Kreatinin
sering meningkat dengan proporsi 10 : 1. Osmolaritas serum lebih dari 285 mOsm/kg; sering sama
dengan urine. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular
(asidosis) atau penggeluaran jaringan (hemolisis SDM). Natrium biasanya meningkat. PH, Kalsium dan
bicarbonat menurun. Clorida, Magnesium dan Fosfat meningkat.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko kurangnya volume cairan (intravaskuler) b/d retensi Na dan H2O , edema dan efek diuretik
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi sodim dan air
3. Risti penurunan curah jantung berhubungan dengan kelebihan cairan, ketidakseimbangan elektrolit,
efek uremik pada otot jantung
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, vomitus, nausea.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, keletihan.
6. Kecemasan berhubungan dengan ketidak tahuan proses penyakit.

c. Intervensi
1. Resiko kurangnya volume cairan (intravaskuler) b/d retensi Na dan H2O , edema dan efek diuretik
Tujuan : cairan tubuh seimbang dengan kriteria hasil :

Mukosa mulut lembab

Turgor kulit bagus

Tanda vital stabil

a. monitor intake dan output


evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentu tindakan

b. Monitor tanda-tanda vital


perubahan tekanan darah dan nadi dapat digunakan untuk perkiraan kadar kehilangan cairan, hipotensi
postural menunjukkan penurunan volume sirkulasi

c. Anjurkan tirah baring atau istirahat


aktivitas berlebih dapat meningkat kebutuhan akan cairan.
d. Kaji membran mukosa mulut dan elastisitas turgor kulit
mengevaluasi sejauh mana pasien mengalami kekurangan caiaran
e. Berikan cairan sesuai indikasi
penggantian cairan tergantung dari berapa banyaknya cairan yang hilang atau dikeluarkan.

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi sodium dan air


Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil:
tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output

a. Kaji keadaan edema


Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permebilitas sehingga mudah ditensi oleh
akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat hingga 4,5 kg
b. Kontrol intake dan out put per 24 jam.
Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan.
c. Timbang berat badan tiap hari
Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan yang
tepat.
d. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum
Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah perkiraan
yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran
dan diuretic membutuhkan dialysis.
e. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
Obat anti diuretic dapat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan
meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
f. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat


Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal,
nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler

a. Auskultasi bunyi jantung dan paru


Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh
disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, vomitus, nausea.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil

a. Observasi status klien dan keefektifan diet.


Membantu dalam mengidentifikasi dan kebutuhan diet, kondisi fisik umum, gejala uremik dan
pembatasan diet mempengaruhi asupan makanan.
b. Berikan dorongan hygiene oral yang baik sebelum dan setelah makan.
Higiene oral yang tepat mencegah bau mulut dan rasa tidak enak akibat mikroorganisme, membantu
mencegah stomatitis.
c. Berikan makanan TKRGR
Lemak dan protein tidak digunakan sebagai sumber protein utama, sehingga tidak terjadi penumpukan
yang bersifat asam, serta diet rendah garam memungkinkan retensi air kedalam intra vaskuler.
d. Berikan makanan dalam porsi kecil tetapi sering.
Meminimalkan anoreksia, mual sehubungan dengan status uremik.
e. Kolaborasi pemberian obat anti emetic.
Antiemetik dapat menghilangkan mual dan muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, keletihan.


Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi

a. Kaji kebutuhan pasien dalam beraktifitas dan penuhi kebutuhan ADL


Memberi panduan dalam penentuan pemberian bantuan dalam pemenuhan ADL.
b. Kaji tingkat kelelahan.
Menentukan derajat dan efek ketidakmampun.
c. Identifikasi factor stess/psikologis yang dapat memperberat.
Mempunyai efek akumulasi (sepanjang factor psykologis) yang dapat diturunkan bila ada masalah dan
takut untuk diketahui.
d. Ciptakan lingkungan tengan dan periode istirahat tanpa gangguan.
Menghemat energi untuk aktifitas perawatan diri yang diperlukan.
e. Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan.
Memungkinkan berlanjutnya aktifitas yang dibutuhkan memberika rasa aman bagi klien.
f. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium darah.
Ketidak seimbangan Ca, Mg, K, dan Na, dapat menggangu fungsi neuromuscular yang memerlukan
peningkatan penggunaan energi Ht dan Hb yang menurun adalah menunjukan salah satu indikasi
terjadinya gangguan eritopoetin

6. Kecemasan berhubungan dengan ketidak tahuan proses penyakit.


Tujuan : klien mengerti tentang penyakit yang diderita dengan kriteria hasil :
Klien tidak cemas, klien tidak bingung, klien kooperatif

a. Kaji tingkat kecenmasan klien.


Menentukan derajat efek dan kecemasan.
b. Berikan penjelasan yang akurat tentang penyakit.
Klien dapat belajar tentang penyakitnya serta penanganannya, dalam rangka memahami dan menerima
diagnosis serta konsekuensi mediknya.
c. Bantu klien untuk mengidentifikasi cara memahami berbagai perubahan akibat penyakitnya.
Klien dapat memahami bahwa kehidupannya tidak harus mengalami perubahan berarti akibat penyakit
yang diderita.
d. Biarkan klien dan keluarga mengekspresikan perasaan mereka.
Mengurangi beban pikiran sehingga dapat menurunkan rasa cemas dan dapat membina kebersamaan
sehingga perawat lebih mudah untuk melaksanakan intervensi berikutnya.

d. Implementasi
Merupakan penerapan dari rencana tindakan yang telah disusun dengan prioritas masalah dan

kegiatan ini dilakukan oleh perawat untuk membantu memenuhi kebutuhan klien dan mencapai tujuan

yang diharapkan.
e. Evaluasi

Merupakan tahap akhir dari proses keperawatan untuk menentukan hasil yang diharapkkan dari

tindakan yang telah dilakukan dan sejauh mana masalah klien teratasi. Perawat jaga melakukan

pengkajian ulang untuk menentukan tindakan selanjutnya bila tujuan tidak tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Acute Kidney Injury (AKI)


Smart Nurse --- Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi
sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Disini akan dibahas tentang penyebab AKI, tanda dan gejala, pengobatan yang sering dilakukan dan juga
diagnosa keperawatan yang dipilih berikut rasionalisasinya. Mari sharing bareng untuk menjadi “smart
nurse” disini : AKI.doc

KLASIFIKASI AKI
A. Kriteria RIFLE, ADQI (Acute Dialysis Quality Initiative) Revisi 2007

KATEGORI P↑ KREATININ SERUM P↓ LFG KRITERIA OU

Risk ≥ 1.5 x nilai dasar (ND) > 25 % ND <0.5 ml/kg/jam

≥6 jam

Injury ≥2.0 x nilai dasar (ND) >50% ND <0.5 ml/kg/jam

≥12jam

Failure ≥3.0 x nilai dasar atau ≥ 4 mg/dl >75% ND <0.3 ml/kg/jam

Dengan kenaikan akut ≥ 0.5 mg/dl ≥24 jam atau anuria

≥ 12 jam

Loss p↓ fungsi ginjal menetap lebih dari 4 minggu

End Stage p↓ fungsi ginjal menetap lebih dari 3 bulan

B. Kriteria AKIN (Acute Kidney Injury Network)

Tahap P↑ KREATININ SERUM KRITERIA OU

1 ≥ 1.5 x nilai dasar (ND) atau p↑ 0.3 mg/dl <0.5 ml/kg/jam

≥6 jam

2 ≥2.0 x nilai dasar (ND) <0.5 ml/kg/jam

≥12jam

3 ≥3.0 x nilai dasar atau ≥ 4 mg/dl <0.3 ml/kg/jam

Dengan kenaikan akut ≥ 0.5 mg/dl atau inisiasi terapi pengganti ginjal ≥24 jam atau anuria

≥ 12 jam
ETIOLOGI

 AKI PRE RENAL

PENYEBAB KETERANGAN

Hipovolemia  Kehilangan cairan pada ekstravaskuler

 Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbumin, obstruksi usus

 Kehilangan darah

 Kehilangan cairan ke luar tubuh, melalui saluran cerna (muntah, diare,


drainase), melalui saluran kemih (diuretic, hipoadrenal, dieresis osmotik),
melalui kulit (luka bakar)

Penurunan curah jantung  Penyebab miokard : infark, kardiomiopati

 Penyebab perikard : tamponade

 Penyebab vascular pulmonal : emboli pulmonal

 Aritmia

 Penyebab katup jantung

Perubahan rasio resistensi  p↓ resistensi vascular perifer : sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis
vaskular ginjal sistemik berlebihan (barbiturat), vasodilator (nitrat, OAH)

 vasokonstriksi ginjal : hiperkalemia, norepineprin, epinefrin

 hipoperfusi ginjal local : stenosis a.renalis, hipertensi maligna

Hipoperfusi ginjal dengan  kegagalan p↓ resistensi arteriol aferen. Perubahan structural (lansia,
gangguan autoregulasi ginjal aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK, HT maligna)

 kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen

 penggunaan penyekat ACE, ARB

 stenosis a.renalis

Sindrom hiperviskositas  myeloma multiple, makroglobulinemia, polisitemia

 AKI RENAL
PENYEBAB KETERANGAN

Obstruksi  Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, thrombosis, emboli, diseksi aneurisma, vaskulitis),
renovaskular obstruksi v.renalis (thrombosis, kompresi)

Penyakit  Glomerulonefritis, vaskulitis


glomerolus/

Mikrovaskular
ginjal

Nekrosis tubular  Iskemia


akut
 Toksin
Acute Tubular
Necrosis  Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotic, kemoterapi, pelarut organic, asetaminofen)

 Endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)

Nefritis interstitial  Alergi (antibiotic, OAINS, diuretic, kaptopril)

 Infeksi (bakteri, viral, jamur)

 Infiltrasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis ), idiopatik

Obstruksi dan  Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, sulfonamide

deposisi
intratubular

 AKI POST RENAL

PENYEBAB KETERANGAN

Obstruksi ureter  Batu, gumpalan darah, papilla ginjal, keganasan, kompresi eksternal

Obstruksi leher  Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah

Kandung kemih

Obstruksi uretra  Striktur, katup congenital, fimosis


PEMERIKSAAN KLINIS

PENYEBAB GEJALA

AKI Gejala haus, penurunan OU, penurunan BB, hipotensi ortostatik, takikardia, penurunan JVP,
PRERENAL penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik, hipertensi portal, tanda
gagal jantung dan sepsis

AKI RENAL Penggunaan obat nefrotoksik, gejala thrombosis, glomerulonefritis akut, hipertensi maligna

AKI POST Nyeri pada kostovertebra atau suprapubik, distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal atau kandung
RENAL kemih, nyeri pinggang kolik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

INDEKS DIAGNOSIS AKI PRERENAL AKI RENAL

Urinalisis Silinder hialin abnormal

Gravitasi Spesifik >1,020 -1,010

Osmolalitas urin (mmol/kgH2O) >500 -300

Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40)

Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1

Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35

Rasio Cr urin/Cr plasma () >40 <20

Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

TERAPI FARMAKOLOGI

Dalam pengelolaan AKI terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh
tahun, namun kesahihan penggunaannya bersifat controversial. Obat-obatan tersebut antara lain :
1. Diuretik

Diuretik yang bekerja menghambat Na/K, ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebuutuhan energy
sel thick limb Ansa Henle. Penelitian melaporkan bahwa prognosis pasien AKI non-oligurik lebih baik
dibandingkan dengan pasien AKI oligurik. Atas dasar hal tersebut banyak klinisi yang berusaha
mengubah keadaan AKI oligurik menjadi AKI non oligurik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialysis. Namun penelitian dan meta-analisis yang
ada tidak menunjukkan kegunaan diuretic untuk pengobatan AKI, bahkan penggunaan dosis tinggi
terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas. Meskipun demikian pada keadaan tanpa fasilitas
dialysis, diuretic dapat menjadi satu pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa
hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretic sebagai bagian dari tatalaksana AKI adalah :

a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika
mungkin lakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonic 250 – 300
cc dalam 15 – 30 menit. Bila jumlah urin bertambah lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretic tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian
diuretic masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oliguria kurang dari 12 jam)

Pada awalnya dapat diberikan dosis furosemid iv bolus 40 mg. jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat
digandakan atau diberikan tetesan 100 – 250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-
20mg/kkBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara itu
tidak berhasil harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas.

2. Manitol

Secara hipotesis manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan
untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oliguria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti
bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan
agregasi aritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negative tersebut muncul pada
pemberian manitol lebih dari 250mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa walaupun
dapat meningkatkan produksi urine tapi tidak memperbaiki prognosis pasien.
3. Dopamine

Dopamine dosis rendah (0,5 – 3 mcg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI,
melalui kerjanya pada reseptor dopamine DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na/K, ATPase dengan efek akhir
peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena ada dua
alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respon tubuh terhadap pemberian dopamin juga tidak terdapat
korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respon dopamin juga
sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta
abnormalitas pembuluh darah (hipertensi, DM, aterosklerosis) sehingga beberapa ahli berpendapat
sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada ‘dopamin dosis renal’. Dalam penelitian penggunaan
dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait efek samping serius seperti iskemik
miokard, takiaritmia, iskemik mukosa saluran cerna, ganggren digiti dll. Jika tetap akan dicoba
pemberian dopamin harus dilakukan pemantauan respon selama 6 jam. Jika tidak ada respon klinis
dianjurkan dihentikan untuk mencegah toksisitas. Dopamin tetap d pat digunakan untuk pengobatan
penyakit dasar seperti syok, sepsis untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.

TATA LAKSANA KONSERVATIF

KOMPLIKASI TATA LAKSANA

Kelebihan cairan  Batasi garam (1-2gr/hari) dan air (< 1L/hari)


intravaskuler
 Penggunaan diuretik

Hiponatremia  Batasi caoran (< 1L/hari)

 Hindari pemberian infuse cairan hipotonik

Hiperkalemia  Batasi asupan K (< 40 mmol/hari)

 Hindari suplemen K dan diuretik hemat K

 Beri resin potassium binding ion exchange

 Beri dextrose 50% 50cc + insulin 10 IU

 Beri Natrium bikarbonat 50 – 100 mmol

 Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0.5-1 mg iv

 Kalsium glukonat 10% (10cc dalam 2-5 menit)

Asidosis metabolic  Batasi asupan protein (0.8 – 1g/kgBB/hari)


 Beri Natrium bikarbonat (usahakan kadar serum bikarbonat plasma> 15
mmol/L dan PH arteri > 7,2)

Hiperfosfatemia  Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)

 Beri pengikat fosfat

Hipokalsemia  Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20 cc)

Hiperurisemia  Terapi jika kadar asam urat > 15 mg/dl

DIAGNOSA KEPERAWATAN

A. Gangguan pola nafas

Gangguan pola nafas terjadi bila terjadi edema paru sehingga terjadi gangguan pada pengembangan
paru. Gangguan proses inspirasi dan ekspirasi tentunya akan mengganggu pola nafas.

B. Gangguan pertukaran gas

Pada pasien yang mengalami gangguan ginjal yang telah jatuh pada keadaan asidosis metabolic akan
mengalami gangguan keseimbangan pH. pH yang terlalu asam dalam darah ditandai dengan
peningkatan ion bikarbonat atau HCO3- dalam darah. Peningkatan ion HCO3- ini menyebabkan tubuh
melakukan defek mekanisme dengan banyak menahan ion CO2 sehingga pH dalam darah normal.
Namun banyaknya ion CO2 yang ada dalam tubuh mempunyai batasan tertentu, karena apabila ion CO2
terlalu banyak akan menimbulkan masalah baru.

C. Gangguan sirkulasi renal

Gangguan sirkulasi renal ini lebih banyak terjadi pada kasus AKI pre renal misalnya pada kasus
hipovolemik (perdarahan, hilangnya output cairan berlebih). Pada kasus hipovolemik sirkulasi darah
pada intravaskuler menurun hal ini menyebabkan sirkulasi darah ke semua system organ juga
berkurang. Pada sirkulasi darah, sirkulasi ke ginjal dianggap kurang vital dibandingkan dengan sirkulasi
ke otak dan jantung sehingga gangguan hipovolemik pertama kali akan menyebabkan terganggunya
sirkulasi ke ginjal.
D. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : kurang dari kebutuhan

Gangguan kurangnya keseimbangan cairan dan elektrolit terjadi pada kasus pre renal yaitu pada kasus
hipovolemik. Ditandai dengan menurunnya output urine tapi saat dilakukan rehidrasi cairan maka
output akan bertambah. Pemberian diuretik tidak diperbolehkan pada kasus hipovolemik

E. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : lebih dari kebutuhan

Pada kasus AKI renal dimana renal tidak berfungsi sebagaimana mestinya (fungsi ekskresi, sekresi, dan
filtrasi ginjal) akan terjadi penumpukan cairan di dalam tubuh. Ginjal yang semestinya menjalankan
fungsi ekskresi dengan mengeluarkan Na dan K akan terhambat sehingga terjadi penumpukan ion dalam
tubuh. Penumpukan K berlebih akan menyebabkan hiperkalemia sedangkan penumpukan Na akan
menyebabkan hipernatremia. Natrium menurut sifatnya akan menarik cairan dan menahan cairan di
sekitarnya sehingga akan menyebabkan edema. Pada kasus AKI akan menyebabkan gangguan filtrasi
ginjal sehingga ginjal tidak dapat melakukan filtrasi pada molekul besar seperti protein. Pada fisiologis
ginjal protein tidak dikeluarkan melalui urine tetapi direabsorbsi kembali oleh ginjal. Saat ginjal
mengalami gangguan filtrasi maka protein akan dikeluarkan melalui urine dan hal ini menyebabkan
tubuh kekurangan protein. Protein dalam tubuh mempunyai fungsi yang essential, salah satu akibat dari
kekurangan protein adalah gangguan permeabilitas pembuluh darah. Gangguan permeabilitas PD
ditandai dengan kebocoran cairan dari intravaskuler menuju ekstravaskuler sehingga akan
menyebabkan ‘edema’ di tempat tertentu terutama pada ekstremitas bawah dan apabila terjadi
kebocoran berlebih akan menyebabkan edema di semua bagian tubuh “edema anasarka”

F. Syok hipovolemik

Kebocoran cairan intravaskuler yang berlebih tentunya akan mengganggu sirkulasi ke ginjal, ke jantung
dan juga otak. Bila hal ini terjadi akan mengakibatkan syok. Syok ditandai dengan penurunan kesadaran,
akral dingin, gangguan pada capillary refill time, warna pucat pada ekstremitas bahkan sampai sianosis,
penurunan TD, peningkatan HR pada fase awal sampai terjadi penurunan HR.

G. Risiko cidera

Risiko cidera ini berhubungan dengan gangguan biokimia tubuh karena ketidakmampuan ginjal untuk
mengekskresikan zat sisa. Pada kasus AKI terjadi penumpukan serum creatinin & nitrogen yang
seharusnya terbuang melalui urine. Pada kasus syndrome uremik dimana terjadi penumpukan urea pada
tubuh menyebabkan gangguan penurunan kesadaran dan bahkan menyebabkan kematian.

H. Problem Kolaboratif Anemia


Pada kasus AKI biasanya menyebabkan penurunan hemoglobin. Hal ini dikarenakan karena ginjal
sebagai organ yang melepaskan hormon eritropoeitin juga mengalami gangguan sehingga hormon
eritropoeitin tidak dilepaskan dan menyebabkan sumsum tulang tidak mempunyai stimulus untuk
memproduksi eritrosit.

ASKEP Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom klinis yang secara
cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang brkembang cepat. Laju
filtrasi gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat
sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa
hari. ARF biasanya disertai oleh oligurea (keluaran urine < 400 ml/hari). Criteria oliguria tidak
mutlak tapi berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang amerika mengandung sekitar 600
mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urine maksimum sekitar 1200 mOsm /L air,
maka kehilangan air obligat dalam urine adalah 500 ml. oleh karna itu ,bila keluaran urine
menurun hingga kurang dari 400 ml/hari, penambahan jat terlarut tidak bisa dibatasi dengan
kadar BUN serta kreatinin meningkat. Namun oliguria bukan merupakan gambaran penting pada
ARF. Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh kasus
ARF,keluaran urine melebihi 400 ml /hari.dan dapat mencapai hingga 2L/hari. Bentuk ARF ini
disebut ARF keluaran-tinggi atau disebut non-ologurik. ARF menyebabkan timbulnya gejala dan
tanda menyerupai sindrom uremik pada gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya
kegagalan fungsi regulasi, eksresi, dan endokrin ginjal. Namun demikian , osteodistrofi ginjal
dan anemiabukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitanya akut.
1.2. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi tujuan penulisan dari makalah
ini ialah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Dengan adanya makalah asuhan keperawatan ini diharapkan mahasiswa dapat memahami serta
mampu menjelaskan tentang konsep penyakit gagal ginjal akut serta asuhan keperawatan gagal
ginjal akut.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengetahui definisi dari Gagal Ginjal Akut.
b. Mampu memahami anatomi dari ginjal.
c. Mampu mengetahui etiologi serta patofisiologi dari Gagal Ginjal Akut.
d. Mampu mengidentifikasi manifestasi klinis dari Gagal Ginjal Akut.
e. Mampu menjelaskan tentang penatalaksanaan dari Gagal Ginjal Akut.
f. Mampu menyebutkan komplikasi dari Gagal Ginjal Akut.
g. Mampu memahami konsep asuhan keperawatan Gagal Ginjal Akut meliputi pengkajian, analisa
data, diagnose keperawatan, intervensi serta evaluasi.
1.3. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat
meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan penyakit
Gagal Ginjal Akut agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang Gagal Ginjal Akut lebih dalam
sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit Gagal Ginjal Akut.
3. Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan Gagal Ginjal
Akut sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang baik.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tentang Gagal Ginjal Akut serta dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap penyakit ini.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi Gagal Ginjal Akut


Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan
fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam
tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai
dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. (Davidson 1984).
Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba, sering kali
dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta asidosis metabolic dan
hiperkalemia. ( D. Thomson 1992 : 91 )

2.2. Anatomi Fisiologi


Ginjal adalah organ ekskresi yang berperan penting dalam mempertahankan
keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan tubuh/ekstraselular. Ginjal
merupakan dua buah organ berbentuk seperti kacang polong, berwarna merah kebiruan. Ginjal
terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal disebelah kanan dan kiri
tulang belakang, dibungkus oleh lapisan lemak yang tebal di belakang peritoneum atau di luar
rongga peritoneum.
Ketinggian ginjal dapat diperkirakan dari belakang di mulai dari ketinggian vertebra
torakalis sampai vertebra lumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri
karena letak hati yang menduduki ruang lebih banyak di sebelah kanan. Masing-masing ginjal
memiliki panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm dan tebal2,5 cm.. Berat ginjal pada pria dewasa 150-
170 gram dan wanita dewasa 115-155 gram.
Ginjal ditutupi oleh kapsul tunikafibrosa yang kuat, apabila kapsul di buka terlihat
permukaan ginjal yang licin dengan warna merah tua. Ginjal terdiri dari bagian dalam, medula,
dan bagian luar, korteks. Bagian dalam (interna) medula. Substansia medularis terdiri dari
pyramid renalis yang jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal,
sedangkan apeksnya menghadap ke sinus renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus,
ansahenle, vasa rekta dan duktuskoli gensterminal. Bagianluar (eksternal) korteks. Subtansia
kortekalis berwarna coklat merah, konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah
tunika fibrosa, melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan dengan sinus renalis, dan
bagian dalam di antara pyramid dinamakan kolumnarenalis. Mengandung glomerulus, tubulus
proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens.
Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal.
Kedua ginjal bersama-sama mengandung kira-kira 2.400.000 nefron. Setiap nefron bias
membentuk urin sendiri. Karena itu fungsi dari satu nefron dapat menerangkan fungsi dari ginjal.

2.3. Etiologi
Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut(Muttaqin,arif.2011).
2.3.1. Kondisi Pre Renal (hipoperfusi ginjal)
Kondisi pra renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi
glumerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi renal adalah :
a) Penipisan volume
b) Hemoragi
c) Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretik, osmotik)
d) Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah, diare, selang nasogastrik)
e) Gangguan efisiensi jantung
f) Infark miokard
g) Gagal jantung kongestif
h) Disritmia
i) Syok kardiogenik
j) Vasodilatasi
k) Sepsis
l) Anafilaksis
m) Medikasi antihipertensif atau medikasi lain yang menyebabkan vasodilatasi
2.3.2. Kondisi Intra Renal (kerusakan aktual jaringan ginjal)
Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau tubulus ginjal yang
dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
a) Cedera akibat terbakar dan benturan
b) Reaksi transfusi yang parah
c) Agen nefrotoksik
d) Antibiotik aminoglikosida
e) Agen kontras radiopaque
f) Logam berat (timah, merkuri)
g) Obat NSAID
h) Bahan kimia dan pelarut (arsenik, etilen glikol, karbon tetraklorida)
i) Pielonefritis akut
j) glumerulonefritis
2.3.3. Kondisi Post Renal (obstruksi aliran urin)
Kondisi pasca renal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi di bagian
distal ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :
a) Batu traktus urinarius
b) Tumor
c) BPH
d) Striktur
e) Bekuan darah.
2.4. Patofisiologi
Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan
gangguan fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung
kongestif, obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal,
obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki sebelum ginjal
rusak secara permanen, peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan
dengan gagal ginjal akut dapat ditangani.
Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut(Dongoes):
1. Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Stadium Oliguria.
Volume urine 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari
kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal.
Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal
jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress dan
perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala ini. Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai
sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kalipada waktu malam hari.
Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 : 1 atau 4
: 1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon teehadap kegelisahan atau
minum yang berlebihan.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutamam
menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya
ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal ginjal jelas sangat
menurun dan timbul gelala-gejala kekurangan farahm tekanan darah akan naik, terjadi kelebihan,
aktifitas penderita mulai terganggu.
3. Stadium III.
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat
melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual,
muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan
kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur.
Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit
atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat
mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita merasakan gejala yang
cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit
dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari
karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal.
Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang
dinamakan sindrom uremik memepengaruhi setip sisitem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis
Menurut Price, (1995) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi gmnjal, yaitu sebagai berikut
:
a) Obstruksi tubulus.
b) Kebocoran cairan tubulus.
c) Penurunan permeabilitas glomerulus.
d) Disfungsi vasomotor.
e) Glomerolus feedback.
Teori obstruksi glomerulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute)
mengakibatkan deskuamasi sel-sel tubulus yang nekrotik dan materi protein lainnya, yang
kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan selular
akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia.
Tekanan tubulus meningkat sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun.
Hipotesis kebocoran tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung
normal, tetapi cairan tubulus bocor keluar melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk dalam
sirkulasi peritubular. Kerusakan membran basalis dapat terlihat pada NTA yang berat.
Pada ginjal normal, 90% aliran darah didistribusi ke korteks (tempat di mana terdapat
glomerulus) dan 10% pada medula. Dengan demikian, ginjal dapat memekatkan urine dan
menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada GGA, perbandingan antara distribusi korteks dan
medula menjadi terbalik sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Konstriksi dan
arteriol aferen merupakan dasar penurunan laju flitrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal akan
mengaktivasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks luar ginjal setelah
hilangnya rangsangan awal.
Pada disfungsi vasomotor, prostaglandin dianggap bertanggung jawab terjadinya GGA,
dimana dalam keadaan normal, hipoksia merangsang ginjal untuk melakukan vasodilator
sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Ada
kemungkinan iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat ginjal untuk
menyintesis prostaglandin. Penghambatan prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat
menurunkan aliran darah renal pada orang normal dan menyebabkan NTA.
Teori glomerulus menganggap bahwa kerusakan primer terjadi pada tubulus proksimal.
Tubulus proksimal yang menjadi rusak akibat nefrotoksin atau iskemia gagal untuk menyerap
jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air.
Akibatnya makula densa mendeteksi adanya peningkatan natrium pada cairan tubulus
distal dan merangsang peningkatan produksi renin dan sel jukstaglomerulus, Terjadi aktivasi
angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi ateriol aferen sehingga mengakibatkan
penurunan aliran darah ginjal dan laju aliran glomerulus.

Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu
periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan.
1. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam
urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Pada tahap ini gejala uremik
untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi.
3. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda
perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat,
fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi
selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
4. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3-12
bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal.
2.5. Pathway
Iskemia atau nefrotoksin
Penurunan aliran darah
Kerusakan sel tubulus
Kerusakan glomerulus
Penurunan aliran darah
Pe  Pelepasan NaCl ke makula densa
Obstruksi tubulus
Kebocoran filtrat
Penurunan ultrafiltrasi glomerulus
Penurunan GFR
Gagal ginjal akut
Penurunan produksi urine azotemia
Kecemasan pemenuhan informasi
Respons psikologsi

Diuresisi ginjal

Ekskresi kalium menurun


Peningkatan metabolit pada jaringan otot
Peningkatan metabolit pada gastrointestinal
Edema paru asidosis metabolik

Defisit volume cairan

Ketidakseimbangan elektrolit
Peningkatan kelelahan otot kram otot 
Bau amonia pada mulut mual, muntah, anoreksia
Pola napas tidak efektif
Hiperkalemi
Kelemahan fisik respon nyeri
Intake nutrisi tidak adekuat
Penurunan pefusi serebral
Kerusakan hantaran impuls saraf
Perubahan konduksi elektrikal jantung
Nyeri gangguan ADL
Pemenuhan nutrisi 
Defisit neurologik risiko tinggi kejang
Risiko aritmia
Curah jantung 
Retensi cairan interstisial  dan pH 
Penurunan pH pad aciaran serebro spinal
Sumber : Asuhan Keperawatan Gangguan System Perkemihan(Muttaqin,2011)

2.6. Manifestasi Klinis


a) Perubahan haluaran urine (haluaran urin sedikit, mengandung darah dan gravitasinya rendah
(1,010) sedangkan nilai normalnya adalah 1,015-1,025)
b) Peningkatan BUN, creatinin
c) Kelebihan volume cairan
d) Hiperkalemia
e) Serum calsium menurun, phospat meningkat
f) Asidosis metabolik
g) Anemia
h) Letargi
i) Mual persisten, muntah dan diare
j) Nafas berbau urin
k) Manifestasi sistem syaraf pusat mencakup rasa lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang
2.7. Pemeriksaan Penunjang
1. Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein.
2. Arteriogram ginjal
3. Biopsi ginjal
4. Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium,
Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum.
5. KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi .
6. Pielografi retrograde
7. Sistouretrogram berkemih
8. Ultrasono ginjal
9. Endoskopi ginjal nefroskopi
10. EKG

2.8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
a. Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan status
dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan
diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
b. Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh, ada
pembesaan prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain
untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil
bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
c. Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan pertimbangkan
kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya.
2. Penatalaksanaan gagal ginjal
a. Mencapai & mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga
60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30
mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus
tetap diawasi.
b. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi
intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena
pada kedaruratan jantung dan dialisis.
c. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan
nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila
diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
d. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan
dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin,
disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan
pada pasien sebagai profilaksis.
e. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau
terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous
haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan
hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai
tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.

2.9. Komplikasi
1. Jantung : edema paru, aritmia, efusi pericardium
2. Gangguan elektrolit : hyperkalemia, hiponatremia, asidosis
3. Neurlogi : iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang
4. Gastrointestinal : nausea, muntah, gastritis, ulkus, peptikum, perdarahaan gastrointestinal
5. Hematologi : anemia, diathesis hemoragik
6. Infeksi : pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT
1. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas
penanggung jawab,identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,serta
diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari rentang
usia manapun,khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius,terluka serta usia
dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Pada pengkajian jenis kelamin, pria disebabkan oleh
hipertrofi prostat sedangkan pada wanita disebabkan oleh infeksi saluran kemih yang berulang,
serta pada wanita yang mengalami perdarahan pasca melahirkan. Untuk pengkajian identitas
penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan
dengan si penderita.
2. Riwayat Kesehatan
2.1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2.2.Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan
renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output
dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dnegna predisposisi
penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar nluas,
cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat
NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya
riwayat trauma langsung pada ginjal.
2.3.Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang,
penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan
masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
2.4.Riwayat psikososialcultural
Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit yang berat akan
memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien.

3. Pemeriksaan Fisik
3.1.Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan adanya
perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut
nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh
dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
3.2.Pemeriksaan Pola Fungsi
3.2.1. B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang
merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau
urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
3.2.2. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada
sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi
eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah,
biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi
jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adanya
peningkatan.

3.2.3. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri
yang berlanjut pada sindrom uremia.
3.2.4. B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan
urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang
menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap.
3.2.5. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.
3.2.6. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipetensi.
3.3. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, dan
myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK,
NTA,d an GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio
urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan
laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan
masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak
mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke
dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan
henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti
substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer
ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida
darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
4. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion
pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium
polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
5. Analisa Data
symptom Etiologi Problem
DS:- fase diuresis dari Defisit volume cairan
DO:-perubahan pola gagal ginjal akut
kemih,warna urin
pekat,penurunan urine output
<400 ml/hari.
DS:- penurunan pH pada Aktual/risiko tinggi
DO:pernapasan ciaran serebrospinal, pola napas tidak efektif
kussmaul,fetor uremik, perembesan cairan,

DS:- gangguan konduksi Aktual/risiko tinggi


DO:klien gelisah,Terdapat elektrikal efek aritmia.
papiledema,deficit sekunder dari
neurologis,kadar kalium hiperkalemi
serum meningkat.
DS:- kerusakan hantaran Aktual/risiko tinggi
DO:peningkatan suhu saraf sekunder dari kejang
tubuh,penglihatan abnormalitas
kabur,kram otot,azotemia. elektrolit dan uremia.
DS:- gangguan transmisi Aktual/risiko tinggi
DO:kehilangan kemampuan sel-sel saraf sekunder defisit neurologis
konsentrasi,kehilangan dari hiperkalsemi
memori,penurunan lapang
pandang.
DS:- intake nutrisi yang Ketidakseimbangan
DO:muntah,anoreksia,lemah. tidak adekuat nutrisi kurang dari
sekunder dari kebutuhan tubuh
anoreksi, mual,
muntah
DS:- edema ekstremitas, Gangguan ADL
DO:lemah,ada edema,terlihat kelemahan fisik (Activity Daily Living)
sakit berat. secara umum
DS:- prognosis penyakit, cemas
DO:bingung dengan ancaman, kondisi
kondisinya,peningkatan sakit, dan perubahan
TTV,ketidakmampuan kesehatan
berkonsentrasi,

6. Diagnosa keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d. fase diuresis dari gagal ginjal akut
2. Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif b.d penurunan pH pada ciaran serebrospinal,
perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi
cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik
3. Aktual/risiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel kiri,
perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal efek sekunder penurunan pH, hiperkalemi, dan
uremia
4. Aktual/risiko penurunan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek
sekunder dari asidosis metabolik
5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
6. Aktual/risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit
dan uremia.
7. Aktual/risiko tinggi defisit neurologis b.d gangguan transmisi sel-sel saraf sekunder dari
hiperkalsemi
8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat
sekunder dari anoreksi, mual, muntah
9. Gangguan ADL (Activity Daily Living) b.d edema ekstremitas, kelemahan fisik secara umum
10. Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit, dan perubahan kesehatan
7. Intervensi
Rencana keperawatan yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien, menghindari
penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan risiko komplikasi.

Dia Tujuan dan Intervensi Rasional


gno criteria hasil
se
Tujuan : defisit1. Monitoring status 1. Jumlah dan tipe cairan
cairan (turgor kulit, pengganti ditentukan dari
volume cairan
membran mukosa, keadaan status cairan
dapat teratasi urine output) Penurunan volume cairan
2. Auskultasi TD dan mengakibatkan menurunnya
Kriteria evaluasi :
timbang berat badan. produksi urine, monitoring
- Klien tidak3. Programkan untuk yang ketat pada produksi
dialysis. urine <600 ml/hari karena
mengeluh pusing,
4. Kaji warna kulit, merupakan tanda-tanda
membran mukosa suhu, sianosis, nadi terjadinya syok hipovolemik.
perifer, dan diaforesis 2. Hipotensi dapat terjadi pada
lembab, turgor
secara teratur. hipovolemik. Perubahan
kulit normal, TTV5. Kolaborasi berat badan sebagai
Pertahankan parameter dasar terjadinya
dalam batas pemberian cairan defisit cairan.
secara intravena 3. Program dialisis akan
normal, CRT < 3
mengganti fugnsi ginjal yang
detik, urine > 600 terganggu dalam menjaga
keseimbangan cairan tubuh.
ml/hari
4. Mengetahui adanya
Laboratorium : pengaruh adanya peningkatan
nilai hematokrit tahanan perifer.
dan protein serum 5. Jalur yang paten penting
meningkat, untuk pemberian cairan
BUN/Kreatinin secara cepat dan
menurun memudahkan perawat dalam
melakukan kontrol intake dan
output cairan

Tujuan:tidak 1. Kaji faktor penyebab1. Mengeidentifikasi untuk


asidosis metabolic. mengatasi penyebab dasar
terjadi perubahan
2. Monitor ketat TTV. dari asidosis metabolic.
pola napas 3. Istirahatkan klien 2. Perubahan TTV akan
dengan posisi fowler. memberikan dampak pada
Kriteria evaluasi:
4. Ukur intake dan risiko asidosis yang
- Klien tidak sesak output. bertambah berat dan
Manajemen berindikasi pada intervensi
napas, RR dalam
lingkungan : untuk secepatnya melakukan
batas normal 16-5. lingkungan tenang koreksi asidosis
dan batasi 3. Posisi fowler akan
20 x/menit.
pengunjung. meningkatkan ekspansi paru
- Pemeriksaan gas Kolaborasi optimal istirahat akan
mengurangi kerja jantung,
arteri pH 7.40 ±6. Berikan cairan ringer
meningkatkan tenaga
laktat secara
0,005, HCO, 24 ± cadangan jantung, dan
intravena.
menurunkan tekanan darah.
2 mEq/L, dan7. Berikan bikarbonat. 4. Penurunan curah jantung,
8. Pantau data
PaCO, 40 mmHg laboratorium analisis mengakibatkan gangguan
perfusi ginjal, retensi
gas darah
natrium/air, dan penurunan
berkelanjutan
urine output.
5. Lingkungan tenang akan
menurunkan stimulus nyeri
eksternal dan pembatasan
pengunjung akan membantu
meningkatkan O2 ruangan
yang akan berkurang apabila
banyak pengunjung yang
berada di ruangan.
6. Larutan IV ringer laktat
biasanya merupakan cairan
pilihan untuk memperbaiki
keadaan asidosis metabolik
dengan selisih anion normal,
serta kekurangan volume
ECF yang sering menyertai
keadaan ini.
7. Kolaborasi pemberian
bikarbonat. Jika penyebab
masalah adalah masukkan
klorida, maka pengobatannya
adalah ditujukan pada
menghilangkan sumber
klorida.
8. Tujuan intervensi
keperawatan pada asidosis
metabolik adalah
meningkatkan pH sistemik
sampai ke batas yagn aman
dan menanggulangi sebab-
sebab asidosis yang
mendasarinya. Dengan
monitoring perubahan dari
analisis gas darah berguna
untuk menghindari
komplikasi yang tidak
diharapkan
Tujuan:tidak 1. Kaji faktor penyebab 1. Banyak faktor yang
dari situasi/keadaan menyebabkan hiperkalemia
terjadi aritmia
individu dan faktor- dan penanganan disesuaikan
Kriteria : faktor hiperkalemi. dengan faktor penyebab.
Manajemen 2. Makanan yang mengandung
- Klien tidak
pencegahan kalium tinggi yang harus
gelisah, tidak hipokalemia dihindari termausk kopi,
2. Beri diet rendah cocoa, the, buah yang
mengeluh mual-
kalium dikeringkan, kacang yang
mual dan muntah 3. Memonitor tanda- dikeringkan, dan roti gandum
tanda vital tiap 4 jam. utuh. Susu dan telur juga
- GCS 4, 5, 6 tidak
4. Monitoring ketat mengandung kalium yang
terdapat kadar kalium darah cukup besar. Sebaliknya,
dan EKG. makanan dengan kandungan
papiledema. TTV
5. Monitoring klien kalium minimal termasuk
dalam batas yang berisiko terjadi mentega, margarin, sari buah,
hipokalemi. atau saus cranbeery, bir jahe,
normal.
6. Monitoring klien permen karet, atau gula-gula
- Klien tidak yang mendapat infus (permen), root beer, gula dan
mengalami defisit cepat yang madu.
mengandung kalium 3. Adanya perubahan TTV
neurologis, kadar
Manajemen secara cepat dapat menjadi
kalium serum kolaborasif koreksi pencetus aritmia pada klien
hiperkalemi: hipokalemi.
dalam batas
7. Pemberian kalsium 4. Upaya deteksi berencana
normal glukonat. untuk mencegah hiperkalemi.
8. Pemberian glukosa 5. Asidosis dan kerusakan
10%. jaringan seperti pada luka
9. Pemberian natrum bakat atau cedera remuk,
bikarbonat. dapat menyebabkan
10. perpindahan kalium dari ICF
ke ECF, dan masih ada hal-
hal lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia.
Akhirnya, larutan IV yang
mengandung kalium harus
diberikan perlahan-lahan
untuk mencegah terjadinya
beban kalium berlebihan
latrogenik.
6. Aspek yang paling penting
dari pencegahan
hiperkalemia adalah
mengenali keadaan klinis
yang dapat menimbulkan
hiperkalemia karena
hiperkalemia adalah akibat
yang bisa diperkirakan pada
banyak penyakit dan
pemberian obat-obatan.
Selain itu, juga harus
diperhatikan agar tidak
terjadi pemberian infus
larutan IV yang mengandung
kalium dengan kecepatan
tinggi.
7. Dilakukan penghambatan
terhadap efek jantung dengan
kalsium, disertai redistribusi
K+ dari ECF ke ICF. Tiga
metode yang digunakan
dalam penangan kegawatan
dari hiperkalemia berat (>8
mEq/L atau perubahan EKG
yang lanjut)
8. Kalsium glukonat 10%
sebanyak 10 ml diinfus IV
perlahan-lahan selama 2-3
menit dengan pantauan EKG,
efeknya terlihat dalam waktu
5 menit, tetapi hanya
bertahan sekitar 30 menit.
9. Glukosa 10% dalam 500 ml
dengan 10 U insulin regular
akan memindahkan K+ ke
dalam sel; efeknya terlihat
dalam waktu 30 menit dan
dapat bertahan beberapa jam.
10. Natrium bikarbonat
44-88 mEq IV akan
memperbaiki asidosis dan
perpindahan K+ ke dalam sel;
efeknya terlihat dalam waktu
30 menit dan dapat bertahan
beberapa jam.
Tujuan : perfusi1. Monitor tanda-tanda 1. Dapat mengurangi kerusakan
status neurologis otak lebih lanjut.
jaringan otak
dengan GCS. 2. Pada keadaan normal,
dapat tercapai2. Monitor tanda-tanda autoregulasi
vital seperti TD, nadi, mempertahankan keadaan
secara optimal.
suhu, respirasi, dan tekanan darah sistemik yang
Kriteria evaluasi : hati-hati pada dapat berubah secara
hipertensi sistolik. fluktuasi. Kegagalan
- Klien tidak
3. Bantu klien untuk autoreguler akan
gelisah, tidak ada membatasi muntah menyebabkan kerusakan
dan batuk. Anjurkan vaskular serebral yang dapat
keluhan nyeri
klien untuk dimanifestasikan dengan
kepala, mual, mengeluarkan napas peningkatan sistolik dan
apabila bergerak atau diikuti oleh penurunan
kajang, GCS
berbalik di tempat tekanan diastolik, sedangkan
4,5,6, pupil tidur. peningkatan suhu dapat
4. Anjurkan klien untuk menggambarkan pejralanan
isokor, refleks
menghindari batuk infeksi.
cahaya (+). dan mengejan 3. Aktivitas ini dapat
berlebihan meningkatkan tekanan
- Tanda-tanda vital
5. Ciptakan lingkungan intrakranial dan
normal (nadi 60- yang tenang dan batasi intraabdomen. Mengeluarkan
pengunjung. napas sewaktu bergerak atau
100 kali/menit,
6. Monitor kalium mengubah posisi dapat
suhu : 36-36,70C, serum melindungi diri dari efek
valsava.
pernapasan 16-20 4. Batuk dan mengejan dapat
meningkatkan tekanan
kali/menit),
intrakranial dan potensial
- serta klien tidak terjadi perdarahan ulang.
5. Rangsangan aktivitas yang
mengalami defisit
meningkatkan dapat
neurologis seperti meningkatkan kenaikan TIK.
Istirahat total dan ketegangan
: lemas, agitasi,
mungkin diperlukan untuk
iritabel, pencegahan terhadap
perdarahan dalam kasusu
hiperefleksia, dan
stroke hemoragik/perdarahan
spastisitas dapat lainnya.
6. Hiperkalemi terjadi dengan
terjadi hingga
asidosis, hipokalemi dapat
akhirnya timbul terjadi pada kebalikan
asidosis dan perpindahan
koma, kejang
kalium kembali ke sel.
Tujuan :1. Kaji dan catat faktor- 1. Penting artinya untuk
faktor yang mengamati hipokalsemia
perawatan risiko
menurunkan kalsium pada klien berisiko. Perawat
kejang berulang dari sirkulasi. harus bersiap untuk
2. Kaji stimulus kejang. kewaspadaan kejang bila
tidak terjadi
3. Monitor klien yang hipokalsemia hebat.
Kriteria evaluasi : berisiko hipokalsemi. 2. Stimulus kejang pada tetanus
4. Hindari konsumsi adalah rangsang cahaya dan
-Klien tidak
alkohol dan kafein peningkatan suhu tubuh.
mengalami kejang
yang tinggi. 3. Individu berisiko terhadap
Kolaborasi osteoporosis diinstruksikan
tentang perlunya masukan
pemberian terapi
kalsium diet yang adekuat;
5. Garam kalsium jika dikonsumsi dalam diet,
parenteral suplemen kalsium harus
6. Vitamin D dipertimbangkan.
7. Tingkatan masukan 4. Alkohol dan kafein dalam
diet kalsium. dosis yang tinggi
8. Monitor pemeriksaan menghambat penyerapan
EKG dan kalsium dan perokok kretek
laboratorium kalsium sedang meningkatkan
serum ekskresi kalsium urine
5. Garam kalsium parenteral
termausk kalsium glukonat,
kalsium klorida, dan kalsium
gluseptat. Meskipun kalsium
klorida menghasilkan
kalsium berionisasi yang
secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan jumlah
akuimolar kalsium glukonat,
tetapi cairan ini tidak sering
digunakan karena cairan
tersebut l ebih mengiritasi
dan dapat menyebabkan
peluruhan jaringan jika
dibiarkan menginfiltrasi
6. Terapi vitamin D dapat
dilakukan untuk
meningkatkan absorpsi ion
kalsium dari traktus GI
7. Tingkatan masukan diet
kalsium sampai setidaknya
1.000 hingga 1.500 mg/hari
pada orang dewasa sangat
dianjurkan (produk dari susu:
sayuran berdaun hijau;
salmon kaleng, sadin, dan
oyster segar)
8. Menilai keberhasilan
intervensi
8. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi adalah sebagai berikut:
1. Defisit volume cairan teratasi
2. Pola napas kembali efektif
3. Tidak terjadi penurunan curah jantung
4. Peningkatan perfusi serebral
5. Tidak terjadi aritmia
6. Tidak terjadi kejang
7. Pasien tidak mengalami defisit neurologis
8. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi
9. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
10. Kecemasan berkungan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan
fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam
tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai
dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu
periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan.
1. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam
urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Pada tahap ini gejala uremik
untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi.
3. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda
perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat,
fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi
selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
4. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3-12
bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal.
3.2. Saran
1. Bagi Penulis
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat
meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan penyakit
Gagal Ginjal Akut agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang Gagal Ginjal Akut lebih dalam
sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit Gagal Ginjal Akut.
3. Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan Gagal Ginjal
Akut sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang baik.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tentang Gagal Ginjal Akut serta dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer,Arif,dkk.2001. Kapita Selekta Kedokteran.edisi 3,jilid 1. Jakarta : Salemba Medika

Muttaqin,Arif,Kumala Sari.2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih,
Jakarta : EGC.

Wilkinson,Judith M,dkk.2013.Buku Saku Diagnosis Keperawatan.NANDA,Intervensi


NIC,criteria Hasil NOC,edisi 9.Jakarta :EGC

MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN II


“PENATALAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN GGA (GAGAL GINJAL AKUT)”

Oleh:
Kelompok 3

1. Ayu Martha Indriana (101.0011)


2. Erma Eka Agustina (101.0039)
3. Fetriana Ayu Dwitanti (101.0041)
4. Ni Putu Ika Oktavia (101.0077)
5. Rahayu Aprilia Wilujeng (101.0089)
6. Rista Ria Puspita (101.0097)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit yang dapat menyebabkan uremia yaitu retensi cairan dan natrium dan sampah nitrogen
lain dalam darah (Smeltzer, 2002).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan
mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (GFR), di sertai
akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan kreatinin). Laju filtrasi gromelurus yang
menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari
dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya
disertai oleh oligurea (keluaran urine < 400 ml/hari). Gagal ginjal akut adalah sindrom yang
terdiri dari penurunan kemampuan filtrasi ginjal (jam sampai hari), retensi produk buangan dari
nitrogen, gangguan elektrolit dan asam basa. Gagal ginjal akut sering asimtomatik dan sering
didapat dengan tanda peningkatan konsentrasi ureum dan kreatinin.
Gagal ginjal akut berat yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi
50%. Nilai ini akan meningkat apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat
perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum berkurang karena usia
pasien dan pasien dengan penyakit kronik lainnya.
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika
Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166
ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut
diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu (Djoko, 2008).
Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan
menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian
pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGA di Jepang bisa bertahan
hingga bertahun-tahun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih
dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000 penderita. Hal
tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang mendapatkan pelayanan cuci
darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
Di indonesia GGA pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS
2007 menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai penyebab
kematian terbanyak. Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien ginjal, terutama GGA,
adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak
lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki
fakultas kedokteran. Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor penyulit
GGA terabaikan.
Melihat situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang harus kita lakukan, kecuali
menjaga kesehatan ginjal. Jadi, alangkah lebih baiknya kita jangan sampai sakit ginjal. Mari
memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik secara rutin, berhenti merokok, periksa
kadar kolesterol, jagalah berat badan, periksa fisik tiap tahun, makan dengan komposisi
berimbang, turunkan tekanan darah, serta kurangi makan garam. Pertahankan kadar gula darah
yang normal bila menderita diabetes, hindari memakai obat antinyeri nonsteroid, makan protein
dalam jumlah sedang, mengurangi minum jamu-jamuan, dan menghindari minuman
beralkohol. Minum air putih yang cukup (dalam sehari 2-2,5 liter). (Djoko, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definis dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
2. Apa etiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
3. Apa sajakah klasifikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
4. Apa manifestasi klinis GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
5. Bagaimana WOC dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
6. Bagaimana patofisiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
8. Apa sajakah pemeriksaan dignostik dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
10. Apa sajakah komplikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
11. Bagaimana asuhan keperawatan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan dan mengetahui konsep dasar teori serta bagaimana cara menyusun
asuhan keperawatan pada pada pasien dengan gangguan gagal ginjal baik yang bersifat akut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa mengerti tentang definisi dari gagal ginjal akut.
2. Agar mahasiswa mengerti tentang etiologi dari gagal ginjal akut.
3. Agar mahasiswa mengetahui tentang klasifikasi dari gagal ginjal akut.
4. Agar mahasiswa mengetahui tentang manifestasi klinis dari gagal ginjal akut.
5. Agar mahasiswa dapat memahami tentang WOC dari gagal ginjal akut.
6. Agar mahasiswa dapat memahami tentang patofisiologi dari gagal ginjal akut.
7. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal
akut.
8. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal
akut.
9. Agar mahasiswa mengetahui tentang penatalaksanaan dari gagal ginjal akut.
10. Agar mahasiswa mengetahui tentang komplikasi dari gagal ginjal akut.
11. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gagal ginjal akut.

1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat dapat menambah wawasan dan
informasi dalam penanganan gagal ginjal akut dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada klien dengan gagal ginjal akut secara tepat dan benar, serta mampu
mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam
cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan
merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin,
2010).
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produk-
produk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal sindrom ini biasa berakibat
azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah dan aliguria dimana
haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong, 2000).
Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat penyebab-
penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal akut berhubungan dengan
trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai kondisi medic 13%, pada kehamilan dan 9%
disebabkan nefrotoksin penyebab GGA dibagi dalam katagori renal, renal dan pasca renal
Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah sekumpulan gejala
yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan
pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional
ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau
sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan
penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal dalam
membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang menyebabkan penimbunan limbah metabolik
di dalam darah (misalnya urea).

2.2 Etiologi
Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan tiga
kategori meliputi :
a. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan turunnya laju filtrasi
glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan
histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki,
akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi hal-hal sebagai
berikut :
1) Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari gastrointestinal
pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
2) Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
3) Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok kardioenik dn emboli
paru)
4) Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
b. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat terjadi
pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena
hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan
ginjal Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan–
lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan
dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa
penyebab kelainan ini adala :
1) Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis dan renjatan
hemoragik.
2) Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus nefritis, penolakan
akut atau krisis donor ginjal.
3) Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung
menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
4) Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama, nefrotoksin
(kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan mioglobinuria.
5) Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis kronik
berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan struktural
menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif.
6) Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
c. Pascarenal / Postrenal
GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam
saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi aliran urine pada bagian distal
ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah terjadinya anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal
atau pre-renal. Kondisi yang umum adalah sebagai berikut :
1) Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
2) Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau sumbatan dari
tumor (Tambayong, 2000).

2.3 Klasifikasi

Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007).
Peningkatan Kadar Penurunan Laju Kriteria Urine
Kategori
Serum Cr Filtrasi Glomerulus Output
<0,5 mL/kg/jam,
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar
>6 jam
<0,5 mL/kg/jam,
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar
>12 jam
<0,3 mL/kg/jam, >24
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar
jam
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
Loss
Minggu
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
End stage
Bulan

2.4 Manifestasi Klinis


Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode
awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal ginjal akut azotemia dapat
saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/24 jam.
a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam
urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu
24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung selama 3–5
hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul,
anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis
metabolik.
c. Stadium diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda
perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat,
fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi
selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
1) Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2) Berlangsung 2-3 minggu
3) Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi yang
berlebih
4) Tingginya kadar urea darah
5) Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6) Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
d. Stadium penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu anemia dan
kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai laboratorium akan kembali
normal.
Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:
1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan
hipertensi.
2) Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3) Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena
terjadi penimbunan cairan).
4) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5) Tremor tangan.
6) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
7) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya pneumonia
uremik.
8) Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
9) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis sedikit
rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
10) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED)
tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus.
11) Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu
gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal
berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai koma.
2.6 Patofisiologi
Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal ARF (acute renal
fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute), tetapi masih ada kontroversi mengenai patogenitas
penekanan fungsi ginjal dan oliguria yang biasanya menyertai. Sebagian besar konsep modern
mengenai faktor-faktor penyebab mungkin didasarkan pada penyelidikan menggunakan model
hewan percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan
merkuri klorida, uranil sitrat, atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik ditimbulkan renalis.
Menurut Price, (2005) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal, yaitu sebagai berikut :
a. Obstruksi tubulus
b. Kebocoran cairan tubulus
c. Penurunan permeabilitas glomerulus
d. Disfungsi vasomotor
e. Umpan balik tubulo-glomerulus
Tidak satupun dari mekanisme diatas yang dapat menjelaskan semua aspek ARF (acute
renal fallure) tipe NTA (necrosis tubular acute) yang bervariasi itu (schrier, 1986).
Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute) mengakibatkan
deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, dan kemudian membentuk silinder-
silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut
menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan intratubulus menigkat,
sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting
pada ARF (acute renal fallure) yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia
berkepanjangan.
Hipotesis kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung
normal tetapi cairan tubulus bocor keluar dari lumen melalui sel-sel tubulus yang rusak dan
masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membrane basalis dapat terlihat pada NTA
(necrosis tubular acute) yang berat, yang merupakan dasar anatomic mekanisme ini.
Meskipun sindrom NTA (necrosis tubular acute) menyatakan adanya abnormalitas tubulus
ginjal, bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel endotel
kapiler glomerulus dan /atau sel-sel membrane basalis mengalami perubahan yang
mengakibatkan menurunnya permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini mengakibatkan
penurunan ultrafiltasi glomerulus.
Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal pada ARF
oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR (glomerular filtration rate) yang cukup besar. Pada
kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau lebih rendah dari pada
bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu, bukti-bukti
percobaan membuktikan bahwa RBF harus kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim
ginjal (merriill, 1971).
Dengan demikian hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR dan lesi-lesi
tubulus yang terjadi pada ARF (acute renal fallure). Meskipun demikian, terdapat bukti
perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari korteks ke medulla selama
hipotensi akut dan memanjang. Pada ginjal normal, kira-kira 90% darah didistribusikan ke
korteks (glomeruli) dan 10% menuju ke medulla. Dengan demikian ginjal dapat memekatkan
urin dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada ARF perbandingan antara distribusi korteks
dan medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga terjadi iskemia relative pada korteks ginjal.
Kontriksi arteriol aferen merupakan dasar vascular dari penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR).
Iskemia ginjal akan mengaktifasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia
korteks setelah hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada korteks luar
ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF (acute renal fallure)
pada hewan maupun manusia (schrier, 1996).
Beberapa penulis mengajukan teori mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomotor
pada ARF (acute renal fallure). Dalam keadaan normal, hipoksia ginjal merangsang sintesis
prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga
aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut
yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut.
Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan RBF pada orang normal
dan dapat menyebabkan NTA (necrosis tubular acute) (Harter, martin, 1982).
Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke nefron distal
diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang terletak berdekatan dengan
ujung glomerulus. Apabila peningkat aliran filtrate tubulus kea rah distal tidak mencukupi,
kapasitas reabsorbsi tubulus distal dan duktus kolegentus dapat melimpah dan menyebabkan
terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh karena itu TGF merupakan mekanisme
protektif. Pada NTA (necrosis tubular acute), kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan
kapasitas absorbs tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR
(glomerular filtration rate) pada keadaan NTA (necrosis tubular acute) dengan menyebabkan
konstriksi arteriol aferen atau kontriksi mesangial atau keduanya, yang berturut-turut menurun
kan permeabilitas dan tekanan kapiler intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat
TGF dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada NTA.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
b. Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
c. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
d. Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
e. Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia
dan hiperfosfatemia.
f. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal
rusak.
g. Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
h. Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh: glomerulonefritis,
piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010
menunjukan kerusakan ginjal berat.
i. PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
j. Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio
urine/serum sering.
k. Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum
menunjukan peningkatan bermakna.
l. Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu
mengabsorbsi natrium.
m. Bikarbonat urine: Meningkat bila ada asidosis metabolik.
n. SDM urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
o. Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan
warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau
nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
p. Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan
pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan
warna merah diduga nefritis glomular.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
b. Kajian foto toraks dan abdomen
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan.
c. Osmolalitas serum
Lebih dari 285 mOsm/kg
d. Pelogram Retrograd
Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasonografi Ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas
f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
g. Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular

2.9 Penatalakasanaan
a. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
1) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan status
dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan
diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
2) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh, ada
pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain
untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil
bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
3) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan pertimbangkan
kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya
b. Penatalaksanaan gagal ginjal
1) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga
60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30
mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus
tetap diawasi.
2) Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi
intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena
pada kedaruratan jantung dan dialisis.
3) Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi oliguria.
4) Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan
nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila
diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
5) Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan
dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin,
disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan
pada pasien sebagai profilaksis.
6) Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau
terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous
haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan
hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai
tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
7) Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan, menimbang
berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin.
8) Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada
gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan
ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan
kadar elektrolit serum (nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi
puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar
kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat),
secara oral atau melalui retensi enema.

2.10 Komplikasi
a. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium.
b. Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis.
c. Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang.
d. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan gastrointestinal.
e. Hematologi: anemia, diathesis hemoragik.
f. Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas penanggung
jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis.
Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun,
khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan pada
umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni
meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita.

b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2. RiwayatPenyakit Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan
renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output
dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dengan predisposisi
penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas,
cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat
NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya
riwayat trauma langsung pada ginjal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang,
penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan
masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.

c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan adanya
perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut
nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh
dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
2. Pemeriksaan Pola Fungsi
a) B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang
merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau
urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
b) B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada
sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi
eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah,
biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi
jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adanya
peningkatan.
c) B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri
yang berlanjut pada sindrom uremia.
d) B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan
urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang
menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap.
e) B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.
f) B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipetensi.

d. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan
ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan
rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan
laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan
masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak
mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke
dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan
henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti
substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer
ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida
darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.

e. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion
pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium
polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis

3.2 Diagnosa Keperawatan


a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal,
perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi
cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik.
c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan
uremia.
d. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek
sekunder dari asidosis metabolik
e. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
3.3 Intervensi
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan defisit volume
cairan dapat teratasi
Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal, ttv normal,
CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari
Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin menurun\
Intervensi:
1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output)
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan volume
cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine
<600 ml/hari karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
2. Kaji keadaan edema
R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas sehingga mudah
ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg
3. Kontrol intake dan output per 24 jam.
R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan
resiko cairan.
4. Timbang berat badan tiap hari.
R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan
cairan yang tepat.
5. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum.
R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah
perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap
pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
6. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan
meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
7. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi
kegagalan ginjal.
b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal,
perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi
cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi perubahan pola
nafas
Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi
kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic.
2. Monitor ketat TTV.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang bertambah berat dan
berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi asidosis.
3. Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan mengurangi kerja
jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah.
4. Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan
penurunan urine output.
5. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.
R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan
asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta kekurangan volume ECF yang sering
menyertai keadaan ini.
6. Berikan bikarbonat.
R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah masukkan klorida, maka
pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan sumber klorida.
7. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.
R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah meningkatkan pH sistemik
sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi sebab-sebab asidosis yang mendasarinya.
Dengan monitoring perubahan dari analisis gas darah berguna untuk menghindari komplikasi
yang tidak diharapkan
c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan
uremia.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang tidak terjadi
Kriteria: klien tidak mengalami kejang
Intervensi:
1. Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.
R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus bersiap
untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
2. Kaji stimulus kejang.
R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh.
3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi
R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya masukan kalsium diet
yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen kalsium harus dipertimbangkan.
4. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.
R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok
kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine
5. Garam kalsium parenteral
R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan kalsium gluseptat.
Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan jumlah akuimolar kalsium glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena
cairan tersebut l ebih mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan
menginfiltrasi
6. Tingkatan masukan diet kalsium.
R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari pada orang
dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan
oyster segar)
7. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum.
R: Menilai keberhasilan intervensi
d. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek sekunder
dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan otak dapat
tercapai secara optimal
Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual kejang. GCS
456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak mengalami defisit neurologis
seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul
koma, kejang.
Intervensi:
1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada hipertensi sistolik.
R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik yang
dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskular
serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan
tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan pejralanan infeksi.
3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk mengeluarkan napas
apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas
sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava.
4. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi
perdarahan ulang.
5. Monitor kalium serum
R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada kebalikan asidosis dan
perpindahan kalium kembali ke sel.
f. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi aritmia.
Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak terdapat
papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit neurologis, kadar kalium
serum dalam batas normal.
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor hiperkalemi.
R: Banyak faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan disesuaikan dengan faktor
penyebab.
2. Beri diet rendah kalium
R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi, cocoa, the,
buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu dan telur juga
mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan dengan kandungan kalium minimal
termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-
gula (permen), root beer, gula dan madu.
3. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.
R: Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien hipokalemi.
4. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi
R: Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk, dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium harus diberikan
perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium berlebihan latrogenik.
5. Monitoring klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium
R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah mengenali keadaan klinis
yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena hiperkalemia adalah akibat yang bisa diperkirakan
pada banyak penyakit dan pemberian obat-obatan. Selain itu, juga harus diperhatikan agar tidak
terjadi pemberian infus larutan IV yang mengandung kalium dengan kecepatan tinggi.
6. Pemberian kalsium glukonat.
R: Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3 menit dengan
pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit.
7. Pemberian glukosa 10%.
R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan memindahkan K+ ke dalam sel;
efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam.
8. Pemberian natrum bikarbonat.
R: Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan perpindahan K+ ke dalam
sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan beberapa jam.

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan
pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional
ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau
sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan
penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode
awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan.
a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam
urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu
24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung selama 3–5
hari. Terdapat gejala–gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul,
anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis
metabolik.
c. Stadium diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda
perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat,
fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi
selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
1. Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2. Berlangsung 2-3 minggu
3. Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi yang
berlebih
4. Tingginya kadar urea darah
5. Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6. Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
d. Stadium penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu anemia dan
kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai laboratorium akan kembali
normal.

4.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memehami dan mengetahui penyebab,
bahaya serta cara pencegahan yang ditimbulkan dari GGA (gagal ginjal akut) sehingga dalam
melakukan tindakan keperawatan di masa mendatang dapat memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan standart asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Suddart, Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Nursalam, Dr. Nurs M. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Roesli R. 2007. Kriteria “RIFLE” Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk Menegakkan Diagnosis dan
Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UNPAD
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure: Definitions, Diagnosis,
Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Você também pode gostar