Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Jari jemariku tidak cukup lagi menghitung kejahilan Gita. Aku sudah tahu
betul wataknya. Sejak dulu, aku dan dia telah bersahabat akrab.
Mulanya, ia masih baik denganku. Namun lama-kelamaan, sifat aslinya
sudah mulai muncul. Tetapi sebagai sahabatnya, aku tetap sabar. Hingga
suatu waktu, aku sudah tidak tahan dengan sikap kasarnya padaku.
Syukurlah, kabarnya sebentar lagi Gita akan pindah dari Bogor ke Solo.
Aku berharap, akan menemukan sahabat yang lebih baik dari Gita…
Sahabatku
Namaku Alya Vanissa. Cukup panggil Alya saja. Aku tinggal di London enam bulan terakhir
ini. Setahun penuh, Aku akan menempuh pendidikan di negeri big ben ini.
“Morning Farah!!” sapaku. “Morning Alya” balasnya. “What is it that you look so cheerful
today?” tanya Farah. “Not, not. But, smile is right worship” candaku. “Okay. You’re so funny
Alya, lets go!, we could late later today” seru Farah.
Aku sudah bersahabat dengan Farah sejak pertama kali datang ke sini. Farah sangaaat..
perhatian denganku. Farah selalu mengingatkan, saatnya makan, saatnya istirahat, dan
menjadi penghibur saat Aku bete. Farah siap membantu kapanpun dan di manapun Aku butuh
bantuan.
“The homework for today is to make a science project. Each group consisting of three
people” jelas Mr. Alfred. Para siswa dan siswi mulai gaduh menentukan kelompok masing-
masing. “Shut up!, I make the decision!” bentak Mr. Alfred. Semuanya diam.
Yay!!, Aku bersorak girang di dalam hatiku ketika mendengar Aku sekelompok dengan
Farah. Juga satu temanku yang lain yang berasal dari Jepang, namanya Yura.
“Bibi Chely, Aku pesan!” teriakku. “Pesan apa Alya?” tanya Bibi Chely. Bibi Chely adalah
adik ipar Ayahku. Bibi Chely bekerja di sini. “Satu burger pedas dan jus jeruk” ucapku.
“Oke, ditunggu!” balas Bibi Chely.
Lama Farah tak datang, sampai pesananku datang pun, Farah tak juga datang. Tapi, Aku tetap
sabar menunggu. Tiba-tiba Queen datang dengan tergopoh-gopoh.
Farah belum siuman dari pingsannya. Aku sedih melihat Farah terbaring lemah di rumah
sakit. Ternyata selama ini, Farah menyembunyikan penyakitnya dariku. Farah mengidap
kanker otak stadium akhir. Perlahan-lahan, butiran bening menetes membasahi pipiku.
“Al.. ” lirih Farah. “You awake Farah!” seruku. “Alya, why are you crying?” tanya Farah
parau. “No, I am not crying” bujukku seraya mengusap air mata yang membasahi pipiku.
“Are you okay?” tanyaku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Yes. I’m okay” jawab
Farah meski keadaannya masih lemah.
“Sorry, the patient will rest now. You don’t look she’s now” ucap suster yang memakai
pakaian serba putih. “Oh, yes. Farah, I’m going out now” ucapku. Farah mengangguk lemas.
Hari-hariku berlalu dengan sepi tanpa Farah yang biasa menemaniku, menghiburku di kala
bete, dan membuatkanku cokelat panas biasanya. Hari ini, Aku akan menjenguk Farah.
“Where you go Al?, our project doesn’t finished now” tanya Yura. “Mm.., No Yura. We both
look in Farah yuk Yura!” ajakku. Yura memang bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia. “Your
idea are good, I follow too” ujar Yura lalu menenteng tas selempang warna merah bata
miliknya.
“Hi Farah!, how are you?” sapa Yura. “I’m fine. I fell better, ” jawab Farah yang memang
nampak agak baikan. “We bring apple and milkshake. Your favourite” kata Yura. “Hey
friend!, you daydreaming?” tanya Farah padaku. Aku membuyarkan lamnunanku. “Eh, no.
I’m not Daydreaming. Have you eaten?” tanyaku. “Yes. You?” Farah balik bertanya. “Mm..
yes” Aku berbohong. Padahal, Aku belum makan.
“Farah!!!!” teriakku. Huh!, syukurlah. Itu hanya mimpi. Keringat dingin membasahi tubuhku.
Aku langsung meminum air dingin yang ku ambil dari kulkas.
Dengan segera Aku pergi ke rumah sakit. Perasaan was-was dan cemas menghantui diriku.
Tapi, Aku tetap positive thinking saja.
Aku membuka pintu kamar tempat Farah dirawat. Tapi, semuanya gelap. Lampu kamar pun
mati. Lalu tiba-tiba, lampu menyala.
“Happy Bhirtday Alya!!, Happy Bhirtday Alya!!, Happy Bhirtday, Happy Bhirtday, Happy
Bhirtday Alya!!” nyanyian lagu itu terdengar sangat riang. Ada Farah, Yura, Keluarga Farah,
dan yang mengejutkan, ada Keluargaku!!.
Sebuah kue blackforest kesukaanku siap dipotong. Lalu Aku membagikan kue itu pada
semuanya. Aku sangat bahagia. Farah memberiku kado yang sangat istimewa katanya. Tapi
jangan dibuka sekarang. Thank you semua..
Aku akan membuka kado special dari Farah. Isinya adalah.., diary milik Farah, Jam tangan
yang selama ini kuimpikan dan sepucuk surat bertinta biru, warna kesukaanku dan kesukaan
Farah.
Dear Alya..
Mungkin saat kau membaca surat ini, Aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Maafkan segala
kesalahanku Alya. Apakah kamu tau, untuk menulis surat ini, Aku menggunakan google
translate lho.., ha.. ha.. ha… Mungkin terdengar konyol. Tapi memang begitu kok. Alya,
sampai jumpa lagi. Kutunggu kamu di dunia yang lebih indah, tuhan lebih menyayangiku.
Muuaacchh…
Yang mencintaimu,
Farah Caroline J.
Aku menangis. Hari ulang tahunku bertepatan dengan hari kematian sahabatku sendiri. Allah
lebih menyayangi Farah. Selamat tinggal Farah, Aku tetap menyayangimu.
Sikap Saling Terbuka itu Penting
Aku Lia, aku sering dikatakan sosok yang tomboy. Aku lebih suka bergaul
dengan laki-laki dari pada temanku yang perempuan. Aku seorang anak
kos yang jauh dari keluargaku. Aku menjadi bebas ke mana saja aku mau
jika uangku mencukupi untuk jalan-jalan. Aku mempunyai sahabat yang
sudah 5 tahun kami bersama, namanya Leli. Kami sering saling
menceriterakan pengalaman kami baik yang menyenangkan maupun
yang menyedihkan.
“Lel, boleh tanyak nggak?” Aku bertanya dengan ada rasa gugup.
“Tanya apa?” dia menjawab dengan sesingkat itu membuatku semakin
gugup.
“Mmm.., kok kamu jadi cuek sih sama aku? Aku ada salah sama kamu
ya?”
“Nggak kok, biasa aja.” Dia seakan menghindar dari pertanyaanku.
“Ya udah deh, aku aja kali yang merasa.”
Dia hanya diam dan terus makan tanpa ada sepatah katapun keluar dari
mulutnya sampai dia selesai makan. Ketika dia selesai makan dia berkata,
“udah yuk balik, aku masi ada kerjaan nih.” Aku menjadi terdiam dengan
sekejap, makananku belum separuh pun habis. Aku gak habis pikir
kenapa sikapnya menjadi seperti itu.
“Makanan aku belum habis lho Lel, bentar lagi ya.”
“Makanya kalo makan ya makan, jangan ngomong terus udah tau
makannya lama,” dengan ekspresinya dan nada suaranya menunjukkan
kekesalan. Aku berusaha sabar mendengarkan omongan Leli, saat itu
rasanya aku pengen menangis tapi karena di tempat umum aku gak
berani nangis karena malu.
Aku langsung berdiri dan membayar makananku. “Ya udah kita balik, aku
udah kenyang,” ujarku. Setelah membayar makanan kami langsung
pulang ke kos kami masing-masing.
Keesokan harinya aku menceriterakan apa yang terjadi kepada Abert, dia
salah satu teman cowok yang paling akrab dengan aku. Dia selalu curhat
denganku ketika dia ada masalah. Dia orangnya sangat terbuka. Ketika
aku menceriterakan semuanya, Albert menyuruh aku untuk menemui Leli
dan menyuruh aku untuk minta maaf. Awalnya aku nggak mau.
“Ayo lah, gak ada salahnya kan kalo kamu minta maaf, Lia kan udah
sahabatan sama Leli sejak lama, masa sih gara-gara masalah yang gak
jelas kalian jadi diem-dieman.”
“Tapi bert, aku kan gak salah.” Aku seketika merenung dan memutuskan
untuk mengikuti nasihat Albert.
“Oke, aku akan minta maaf sama Leli, bagaimana pun Leli adalah
sahabatku sejak lama. Aku gak mau diam-diaman lagi.”
“Nahh, gitu dong baru temen aku”, sambil mengelus kepalaku. Aku hanya
tersenyum melihat Abert yang seperti saudaraku sendiri.
Setelah berpisah dengan Albert aku menemui Leli yang sedang asik
menonton di kamarnya. Aku duduk di samping Leli. Aku menghela nafas
dan bingung mau ngomong apa sama Leli.
“Mmm Lel, aku minta maaf ya kalo aku ada salah sama kamu.” Dia
menyingkirkan labtopnya dan berhenti menonton mendengar
perkataanku.
“Minta maaf kenapa Li, emang kamu salah apa sama aku?”
“Gak tau kenapa akhir-akhir ini aku merasa kamu agak cuek sama aku
Lel, trus kalo aku ajak kamu keluar main sama Albert dan teman yang
lain kamu gak pernah mau. Kalo kita ketemu kamu selalu diam, aku salah
ya sama kamu?”
“Cerita dong sama aku kita kan sahabat, Leli lagi ada masalah ya?”
“Aku akan cerita sama kamu tapi kamu harus janji dulu gak bakalan
marah ya.”
“Okee, aku janji gak bakalan marah.” Membuatku semakin penasaran
kenapa Leli berkata seperti itu.
“Sebenarnya aku gak suka kamu dekat sama Albert karena aku cemburu
liat kamu dekat sama Albert. Setiap kali kita ketemu sama Albert yang
dia deketin dan jailin itu selalu kamu. Padahal aku pengen banget deket
sama dia dan teman cowok yang lain seperti kamu tapi aku nggak bisa.
Makanya setiap kamu ajak aku keluar bareng Albert dan teman yang lain
aku selalu menolak. Aku takut sakit hati melihat kalian yang becandaan
seperti adik sama kakak sendiri, sedangkan aku hanya duduk diam
melihat keakraban kalian.” Aku jadi mengerti mengapa sikap Leli berubah
samaku ketika aku dekat dengan Albert dan teman yang lain.
“Lel, semua yang kita inginkan itu butuh proses, kalo Leli ingin dekat
dengan teman yang lain, Leli gak boleh hanya diam saja. Leli juga harus
berusaha untuk dekat dan berbaur sama mereka. Mereka juga ingin dekat
sama Leli tapi kamu gak pernah mau setiap diajak main sama mereka.
Gimana bisa dekat kalo Leli gak mau terbuka.
“Beneran mereka mau dekat sama aku?!”
“Ya benar lah Lel, masa sih aku bohong.” Leli memeluk aku dengan
senangnya dan minta maaf karena selama ini dia cuek hanya karena
masalah sepele.
“Kalo gitu nanti malam kamu ikut bareng kita makan malam ya, pokonya
kali ini Leli gak boleh nolak.”
“Okee siapp bosss, hahaha”.