Você está na página 1de 193

KONSEP DASAR

PELAYANAN PUBLIK
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat
:
1. Menjelaskan latar belakang pelayanan publik.
2. Menjelaskan Arti Penting Manajemen Pelayanan
3. Menguraikan Pengembangan Model Manajemen
Pelayanan
4. Menjelaskan Hakikat Pelayanan Publik
5. Menjelaskan Azas Pelayanan Publik
6. Menjelaskan Prinsip Pelayanan Publik
7. Menjelaskan Standar Pelayanan Publik
8. Menguraikan Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik
1
Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari latar belakang
pelayanan publik, arti penting manajemen pelayanan,
pengembangan model manajemen pelayanan, dan hakikat
pelayanan publik. Selian itu juga akan dipelajari tentang
azas pelayanan publik, prinsip pelayanan publik serta
standar pelayanan publik. Dan pada bagian akhir akan
dijelaskan tentang pola penyelenggaraan pelayanan publik.

Pokok Bahasan

Konsep Dasar Pelayanan Publik

A. Latar Belakang Pelayanan Publik


Memahami pelayanan publik di Indonesia tidak lepas dari
model birokrasi yang dikembangkan. Ia berjalan semenjak sejarah
pra Indonesia sampai saat ini. Pada setiap paruh sejarah, masing-
masing memiliki karakternya sendiri.
Akar historis dinamika birokrasi di Indonesia dimulai masa
kerajaan, penjajahan, Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi
(Dwiyanto, 2006, Said, 2007). Berikut ini adalah ringkasan
kesejarahan birokrasi Indonesia.

2
Dalam sistem kerajaan, birokrasi pemerintahan
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan raja (the king
assessment). Di antara ciri-cirinya adalah penguasa menganggap
dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi
sekaligus perluasan rumah tangga istananya, tugas pelayanan
ditujukan kepada pribadi raja, gaji para pegawai adalah kewenangan
raja, para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya
terhadap rakyat. Di dalam struktur birokrasi kerajaan Jawa, sistem
pemerintahan diatur secara terpusat dan bersifat otokratis, segala
kekuasaan terkonsentrasi pada level pemerintahan kerajaan.
Struktur politik kekuasaan yang berlaku dalam kesultanan
merupakan satu lingkaran konsentris, lingkaran yang paling dalam
adalah sultan dan lembaga kraton.
Birokrasi pada masa penjajahan ditandai dengan
pengenalan sistem administrasi kolonial dan birokrasi modern.
Birokrasi pemerintahan kolonial Belanda menempatkan Ratu
Belanda sebagai puncak kepemimpinan. Dengan begitu, kebijakan
pemerintahan di negara jajahan Indonesia, Ratu Belanda
menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal.
Ada beberapa pembaharuan sistem manajemen birokrasi (birokrasi
modern) tetapi secara subtansial sebenarnya tidak mengubah corak
birokrasi pemerintahan dalam berhubungan dengan publik.
Terpusatnya sistem birokrasi saat itu ditandai dengan rendahnya
inisiatif dan peran dari birokrasi pemerintahan lokal, sebab semua

3
inisiatif kebijakan dan otoritas formal berasal dari pemerintahan
pusat.
Birokrasi pada era Orde Lama ditandai dengan berakhirnya
penjajahan yang membawa perubahan sosial politik signifikan bagi
berlangsungnya birokrasi pemerintahan. Ada perubahan bentuk
negara dari negara kesatuan yang berdasarkan UUD 1945 menjadi
negara federal atau negara serikat yang berdasarkan konstitusi RIS
pada 1950. Pemerintah pernah menggunakan bentuk pemerintahan
parlementer dan sistem multi partai pada tahun 1950-1959 dan
mengakibatkan konsekuensi adanya reshuffle kabinet dalam tempo
cepat. Masa pemerintahan parlementer memunculkan persaingan
dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi
menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya, tidak
mempunyai kemandirian, dan tidak pernah melaksanakan program
kerjanya karena seringnya pergantian pejabat dan partai politik yang
menguasai birokrasi tersebut.
Birokrasi pada masa Orde Baru sering dikatakan sebagai
puncak dari buruknya birokrasi di Indonesia saat pemerintahan
masa ini menerapkan sentralisme birokrasi. Sentralisasi birokrasi
telah menyebabkan birokrasi terjebak sebagai pengembang kultur
organisasi yang lebih berorientasi vertikal-paternalistik. Pelayanan
birokrasi pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru tidak membuat
pelayanan publik semakin baik, tetapi kepercayaan masyarakat
terhadap birokrasi semakin rendah. Memburuknya kualitas birokrasi
di Indonesia tersebut tercermin dari meningkatnya skor birokrasi dan
4
“nilai merah” dalam praktik birokrasi. Berdasarkan laporan dari The
World Competitiveness Yearbook (1999), birokrasi pelayanan publik
Indonesia berada pada kelompok negara yang memiliki indeks
competitiveness paling rendah di antara lainnya.
Memasuki masa reformasi, pelayanan birokrasi pemerintah
tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Beberapa
perilaku aparat birokrasi masih menunjukkan rendahnya derajat
akuntabilitas, responsivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Ide reformasi yang menginginkan agar birokrasi
lebih bersifat transparan, terbuka, dan jujur masih jauh dari harapan.
Kultur kekuasaan juga masih sering dijumpai dalam aparat birokrasi
pada era reformasi ini. Masih melembaganya kultur feodal dalam
birokrasi adalah terkait dengan masih lemahnya kontrol masyarakat
terhadap praktrik-praktik tersebut.

B. Arti Penting Manajemen Pelayanan


Ada beberapa hal yang mengakibatkan menajemen pelayanan
menjadi suatu hal yang sangat penting sehingga kita harus
mempelajarinya, di antara adalah sebagai berikut:
1. Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Pusat, akan semakin banyak aktivitas pelayanan
yang harus ditangani oleh Daerah. Dengan demikian Aparat di
5
Daerah dituntut untuk dapat memahami dan mempraktikan ilmu
manajemen pelayanan.
2. Meskipun kedua Undang-Undang tersebut kemudian derivisi
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-
undang 33 Tahun 2004, akan tetapi tanggung jawab pelayanan
yang diemban oleh Daerah masih sangat besar.
3. Globalisasi dan berlakunya era perdagangan bebas
menyebabkan batas-batas antara negara menjadi kabur dan
kompetisi menjadi sangat ketat. Hal ini menuntut kemampuan
manajemen pelayanan yang sangat tinggi untuk dapat tetap
eksis dan mampu bersaing.

C. Pengembangan Model Manajemen Pelayanan


Kebijakan manajemen Pelayanan Umum dan Pelayanan Perizinan,
Manajemen pelayanan publik atau pelayanan umum di Indonesia
diatur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
90/MENPEN/ 1989 tentang Delapan Program Strategis Pemicu
Pendayagunaan Administrasi Negara. Di antara delapan
program strategi ini salah satu diantarannya adalah tentang
penyederhanaan pelayanan umum.
2. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 1/
1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Ini
adalah merupakan pedoman bagi seluruh aparat pemerintah
6
dalam penyelenggaraan pelayanan umum, yang antara lain
mengatur tentang azas pelayanan umum, tatalaksana pelayanan
umum, biaya pelayanan umum, dan penyelesaian persoalan dan
sengketa.
3. Instruksi Presiden Nomor 1/1995 tentang perbaikan dan
peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada
Masyarakat. Inpres ini merupakan instruksi dari presiden
Republik Indonesia kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi
dengan Departemen/ Instansi Pemerintah baik di pusat maupun
daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan
Aparatur Pemerintah kepada masyarakat baik yang
menyenangkan penyelenggaraan pelayanan pemerintah,
pembangunan maupun kemsyarakatan.
4. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
06/1995 tentang Pedoman Penganugrahan penghargaan
Abdistya bhakti bagi Unit Kerja/ Kantor Pelayanan Percontohan;
5. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996. Di sini
Gubernur KDH TK I dan Bupati/ Walikotamadya KDH TK. II di
seluruh Indonesia diinstruksikan untuk: (a) mengambil langkah-
langkah penyederhanaan perizinan beserta pelaksanaanya, (b)
memberikan kemudahan bagi masyarakat yang melakukan
kegaitan di bidang usaha, dan (c) menyusun buku petunjuk
pelayanan perizinan di daerah.

7
6. Surat Edaran Direktur Jendral PUOD Nomor 503/125/PUOD
Tanggal 16 Januari 1996. Dalam surat edaran ini seluruh
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota di Indonesia diperintahkan
untuk membentuk unit pelayanan terpadu pola satu atap secara
bertahap, yang operasionalnya dituangkan dalam Keputusan
Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100/ 757/ OTDA
Tanggal 8 Juli 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib
dan Standar Pelayanan Minimal.
8. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kep.
MENPAN) Nomor 63/2003 Tentang Pedomanan
Penyelenggaraan Pelayanan;
9. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
25/2004 Tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan;
10. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
118/ 2004 Tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat;
11. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
119/2004 tentang Pemberian Tanda Penghargaan ‘Citra
Pelayanan Prima’

D. Hakikat Pelayanan Publik


Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 menyatakan bahwa
Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima

8
kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban
aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

E. Azas Pelayanan Publik


Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi
pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi azas
pelayanan sebagai berikut (Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun
2004)
a. Transparansi
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak
yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta
mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c. Kondisional
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisien dan
efektifitas;
d. Partisipasif
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan
dan harapan masyarakat;

9
e. Kesamaan Hak
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender dan status ekonomi;
f. Keseimbangan Hak Kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak
dan kewajiban masing-masing pihak.

F. Prinsip Pelayanan Publik


Penyelenggara pelayanan publik perlu memperhatikan dan
menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggara, biaya, pelayanan
bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita,
pelayanan khusus , biro jasa pelayanan, tingkat kepuasan
masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyeselesaian
pengaduan sengketa, serta evaluasi kinerja penyelengara
pelayanan publik. Secara keseluruhannnya akan dijelaskan di
bawah ini.
Adapaun prinsip pelayanan publik didalam Keputusan
MENPAT Nomor 63 tahun 2003 disebutkan bahwa
penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip
sebagai berikut:
a. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami
dan mudah dilaksanakaan
b. Kejelasan
10
Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal:
1) Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik;
2) Unit Kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab
dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/
persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;
3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran;
4) Kepastian Waktu
c. Kepastian Waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun
waktu yang telah ditentukan;
d. Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
e. Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman
dan kepastian hukum;
f. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang
ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan
dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan
pelayanan publik;
g. Kelengkapan sarana dan prasana
Tersediannya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana
teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika);
h. Kemudahan Akses
11
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai,
mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan
teknologi telekomunikasi dan informatika;
i. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun,
ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas;
j. Kenyamanan
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan
sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan,
seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

G. Standar Pelayanan Publik


Setiap penyelenggara pelayanan publik harus memiliki
standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya
kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan
ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan
Menurut Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004, standar
pelayanan, sekurang-kurangnya meliputi:
a. Prosedur Pelayanan
Prosedur pelayanan yang diberlakukan bagi pemberi dan
penerima pelayanan termasuk pengaduan;
b. Waktu penyelesaian
12
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan
permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk
pengaduan;
c. Biaya Pelayanan
Biaya/ tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan
dalam proses pemberian pelayanan.
d. Produk pelayanan
Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan;
e. Sarana dan Prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai
oleh penyelenggara pelayanan publik;
f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan
dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan,
sikap, dan prilaku yang dibutuhkan.

H. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik


Dalam kaitannya dengan pola pelayanan, Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2004
menyatakan adanya empat pola pelayanan yaitu:
a. Fungsional
Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan,
sesuai dengan tugas , fungsi dan kewenangan;
13
b. Terpusat
Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh
penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan;
c. Terpadu
Pola penyelenggaraan pelayanan publik terpadu dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1) Terpadu satu atap
Pola pelayanan terpadu satu atap diselengarakan dalam
satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang
tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui
beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat
dengan masyarakat tidak perlu di satu atapkan;
2) Terpadu satu pintu
Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada
satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang
memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.
d. Gugus tugas
Petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk
gugus ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi
pemberian palayanan tertentu;
Selain pola pelayanan sebagaimana yang telah disebutkan
tersebut di atas, instansi yang melakukan pelayanan publik dapat
mengembangkan pola penyelengaaraan pelayanan sendiri dalam
rangka upaya menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan
pelayanan publik.
14
I. Bahan Bacaan
1. Ratminto & Septi, atik winarsih. 2007.Manajemen
Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. Halim, abdul & Damayanti, theresia. 2007. Pengelolaan
Keuangan Daerah. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN.
3. Halim, abdul. 2007. Akuntansi dan Pengendalian
Keuangan Daerah. Yogyakarta: UUP Sekolah Tinggi
Ilmu Manajemen YKPN.
4. Halim, abdul & Subiyanto, ibnu. 2008. Analisis Investasi
(Belanja Modal) Sektor Publik-Pemerintaha Daerah.
Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
5. Bastian , indra.2006. Sistem Perencanaan & Penganggaran
Pemerintah Daerah &Indonesia. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
6. Mahmudi. 2007. Analisis Laporan Keuangan
Pemerintahan Daerah. Yogyakarta. Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN.

II. Pertanyaan Kunci


1. Sebutkan faktor penyebab mengapa pelayanan publik itu
diperlukan.
2. Uraikan prinsip pelayanan publik.
3. Jelaskan perbedaan dan titik tekan dari tiap konsep
pelayanan publik.
4. Uraikan fungsi standar pelayanan publik.

15
5. Jelaskan tentang pola penyelenggaraan pelayanan publik
di Indonesia.

16
PENGUKURAN
KINERJA
PELAYANAN PUBLIK
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan Latar Belakang Pengukuran Pelayanan
Publik.
2. Menjelaskan Konsep Pengukuran Kinerja Pelayanan
Publik
3. Menjelaskan Standar Pelayanan Minimal

17
Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari latar belakang
pengukuran, konsep pengukuran kinerja pelayanan publik
serta standar pelayanan minimal.

Pokok Bahasan
Pengukuran Kinerja Pelayanan Publik

A. Latar Belakang Pengukuran


Pengukuran kinerja pelayanan publik seringkali
dipertukarkan dengan pengukuran kinerja pemerintah. Hal ini
tidaklah terlalu mengherankan karena pada dasarnya pelaynan
publik memang menjadi tanggung-jawab pemerinatah. Dengan
demikian, ukuran kinerja pemerintah dapat dilihat dari kinerjanya
dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Demikian juga dengan
organisasi swasta, kinerja pelayanan organisasi tersebut swasta
sering dilihat sebagai kinerja pelaynan organisasi tersebut karena
memang organisasi tersebut mejalankan pelayanan. Sehingga
apabila organisasi tersebut menyelenggarakan pelayanan dengan
baik, maka kinerja organisasi dapat dianggap baik. Dengan
demikian kinerja organisasi dan kinerja pelayanan sesuatu
organisasi ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama.
18
B. Konsep Pengukuran Kinerja Pelayanan Publik

Berdasarkan review literatur diketemukan adanya beberapa


indikator penyusun kinerja. Indikator-indikator ini sangat bervariasi
sesuai dengan fokus dan konteks penelitian yang dilakukan dalam
proses penemuan dan penggunaan indikator tersebut. Beberapa
diantara indikator tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. McDonald & Lawton (1977): output oriented measures
throughput, efficiency, effectiveness.
a. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang
menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara
masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan
pelayanan publik.
b. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran
jangka panjang maupun misi organisasi.
2. Salim & Woodward (1992): economy, efficiency, effectiveness,
equity.
a. Economy atau ekonomis adalah penggunaan sumberdaya
yang sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan
pelayanan publik.
b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang
menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara

19
masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan
pelayanan publik.
c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran
jangka panjang maupun misi organisasi.
d. Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang
diselenggarakan dengan memperhatikan aspek-aspek
kemerataan.
3. Lenvinne (1990):responsiveness, responsibility, accountability.
a. Responsiveness atau responsivitas ini mengukur daya
tanggap providers terhadap harapan, keinginan dan aspirasi
serta tuntutan customers.
b. Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang
menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan
publik itu dilakukan dengan tidak melanggar ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan.
c. Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang
menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian antara
penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran-ukuran
eksternal yang ada di masyarakat dan dimiliki oleh stake
holders, seperti nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat.
4. Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990): tangibles, reliability,
responsiveness, assurance, emphaty.

20
a. Tangibles atau ketampakan fisik, artinya petampakan fisik
dari gedung, peralatan, pegawai, dan fasilitas-fasilitas lain
yang dimiliki oleh proveders.
b. Reliability atau reliabilitas adalah kemampuan untuk
menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat.
c. Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk
menolong customers dan menyelenggarakan pelayanan
secara ikhlas.
d. Assurance atau kepastian adalah pengetahuan dan
kesopanan para pekerja dan kemampuan mereka dalam
memberikan kepercayaan kepada customers.
e. Emphaty adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang
diberikan oleh providers kepada customers.
5. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63
Tahun 2004: Asas Pelayanan.
a. Transparansi
b. Akuntabilitas
c. Kondisional
d. Partisipatif
e. Kesamaan hak
f. Keseimbangan hak dan kewajiban.
6. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 63
Tahun 2004: Prinsip Pelayanan Publik.
a. Kesederhanan
b. Kejelasan
21
c. Kepastian Waktu
d. Akurasi
e. Keamanan
f. Tanggung jawab
g. Kelengkapan sarana dan prasarana
h. Kemudahan akses
i. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan
j. Kenyamanan
7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63
Tahun 2004: Satndar pelayanan publik.
a. Prosedur Pelayanan
b. Waktu penyelesaian
c. Biaya pelayanan
d. Produk pelayanan
e. Sarana dan Prasarana
f. Kompetisi petugas pemberi pelayanan
8. Gibson, Ivancevich & Donnelly (1990): Kepuasan, efisiensi,
produksi, perkembangan, keadaptasian, dan kelangsungan
hidup.
a. Kepuasan, artinya seberapa jauh organisasi dapat
memenuhi kebutuhan anggotanya.
b. Efisiensi adalah perbandingan terbaik antara keluaran dan
masukan.

22
c. Produksi adalah ukuran yang menunjukkan kemampuan
organisasi untuk menghasilkan keluaran yang dibutuhkan
oleh lingkungan.
d. Keadaptasian adalah ukuran yang menunjukkan daya
tanggap organisasi terhadap tuntutan perubahan yang terjadi
di lingkungannya.
e. Pengembangan adalah ukuran yang mencerminkan
kemampuan dan tangungjawab organisasi dalam
memperbesar kapasitas dan potensinya untuk berkembang.
Sebagaimana dapat dicermati dalam review tersebut diatas,
indikator-indikator kinerja sangat bervariasi. Akan tetapi dari sekian
banyak indikator tersebut, kesemuanya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu indikator kinerja yang berorientasi pada proses
dan indikator yang berorientasi pada hasil. Adapun pengelompokkan
indikator-indikator tersebut menjadi dua sudut pandang atau
orientasi dapat dilihat dalam 1 di bawah ini:

Tabel 1.
Perbandingan Indikator Pelayanan Publik
PAKAR INDIKATOR
Orientasi Hasil Orientasi Proses
McDonald & a. Efficiency,
Lawton (1977) b. Effectiveness
Salim & a. Economy,
Woodward (1992) b. Efficiency,
c. Effectiveness,
d. Equity.
Lenvinne (1990) a. Responsivitas,
b. Responsibilitas,
23
PAKAR INDIKATOR
Orientasi Hasil Orientasi Proses
c. Akuntabilitas.
Zeithaml, a. Tangibles a. Reliability,
Parasuraman & b. Responsiviness,
Berry (1990) c. Assurance,
d. Empathy.
Keputusan a. Waktu a. Prosedur
MENPAN Nomor penyelesaian pelayanan
63/2004: Standar b. Biaya pelayanan b. Sarana dan
Pelayanan c. Produk prasarana
Publik pelayanan c. Kompetensi
petugas pemberi
pelayanan
Keputusan a. Transparansi
MENPAN Nomor b. Akuntabilitas
63/2004: Asas c. Kondisional
Pelayanan d. Partisipatif
Publik e. Kesamaan hak
f. Keseimbangan hak
dan kewajiban
Keputusan a. Ketepatan Waktu a. Kesederhanaan,
MENPAN Nomor b. Akurasi b. Kejelasan,
63/2004: Prinsip c. Keamanan,
Pelayanan d. Keterbukaan,
Publik e. Tanggung jawab,
f. Kelengkapan
sarana dan
prasarana
g. Kenyamanan
h. Kedisiplinan,
i. Kesopanan dan
keramahan
j. Kemudahan akses
Gibson Ivancevich a. Kepuasan a. Perkembangan
& b. Efisiensi b. Keadaptasian
Donnelly (1990) c. Produksi c. Kelangsungan
24
PAKAR INDIKATOR
Orientasi Hasil Orientasi Proses
hidup
Sumber: Hasil analisis

Berdasarkan pada review literatur tersebut diatas, dapat


disimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja harus dipergunakan dua
jenis ukuran, yaitu ukuran yang berorientasi pada proses dan ukuran
yang berorintasi pada hasil. Adapun ukuran atau indikator-indikator
tersebut akan diuraikan berikut:

1. Ukuran Yang Berorientasi Pada Hasil


a. Efektivitas
Efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan,
baik itu dalam bentuk target sasaran jangka panjang maupun
misi organisasi. Akan tetapi pencapaian tujuan ini harus juga
mengacu pada visi organisasi.
b. Produktivitas
Produktivitas adalah ukuran yang menunjukkan kemampuan
Pemerintah Daerah untuk menghasilkan keluaran yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
c. Efisiensi
Efisiensi adalah perbandingan terbaik antara keluaran dan
masukan. Idelanya pemerintah Daerah harus dapat
menyelenggarakan suatu jenis pelayanan tertentu dengan
masukan (biaya dan waktu) yang sesedikit mungkin. Dengan
demikian, kinerja Pemerintah Daerah akan menjadi semakin
25
tinggi apabila tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat
dicapai dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan
biaya yang semurah-murahnya.
d. Kepuasan
Kepuasan, artinya seberapa jauh Pemerintah Daerah dapat
memenuhi kebutuhan karyawan dan masyarakat.
e. Keadilan
Keadilan yang merata, artinya cakupan atau jangkauan
kegiatan dan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi
yang merata dan diperlakukakn secara adil.

2. Ukuran Yang Berorientasi Pada Proses


Ada tujuh ukuran yang berorientasi pada proses yaitu:
responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas, keadaptasian,
kelangsungan hidup, transparansi dan empati. Adapun
penjelasan atas tujuh ukuran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Responsivitas
Yang dimaksud dengan responsivitas disini adalah
kemampuan provider untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyususn agenda dan prioritas pelayanan,
serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa rsponsivitas ini mengukur daya

26
tanggap providers terhadap harapan, keinginan dan aspirasi
serta tuntutan customers.
b. Responsibilitas
Ini adalah ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat
kesesuaian antara penyelenggaraan pemerintahan dengan
hukum atau peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan.
c. Akuntabilitas
Ini adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar
tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pemerintahan
dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat
dan dimiliki oleh stake holders, seperti nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat.
d. Keadaptasian
Keadaptasian adalah ukuran yang menunjukkan daya
tanggap organisasi terhadap tuntutan perubahan yang terjadi
di lingkungannya.
e. Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup artinya seberapa jauh Pemerintah
Daerah atau program pelayanan dapat menunjukkan
kemampuan untuk terus berkembang dan bertahan hidup
dalam berkompetisi dengan daerah atau program lain.
f. Keterbukaan/tramsparansi
Yang dimaksud dengan ukuran keterbukaan atau
transparansi adalah bahwa prosedur/tatacara,
penyelenggaraan pemerintahan dan hal-hal lain yang
27
berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib
diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak
diminta.
g. Empati
Empati adalah perlakuan atau perhatian Pemerintah Daerah
atau penyelenggara jasa pelayanan atau providers terhadap
isu-isu aktual yang sedang berkembang di masyarakat.

3. Pengukuran Kinerja Pelayanan


Uraian diatas adalah tentang pengukuran kinerja pemerintah
secara umum. Sedangkan instrumen kinerja pelayanan publik
sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi ukuran kinerja
pelayanan untuk sektor swasta yang sudah baku dan banyak
dipergunakan di dunia telah dikembangkan oleh Zeithaml dan
teman-temannya yang dikenal sebagai SERQUAL, yang
ringkasannya diuraikan dibawah ini.
Pengukuran kinerja pelayanan dapat dilakukan dengan
mengunakan instrumen pengukuran kinerja pelayanan yang
telah dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman & Berry dalam
buku mereka yang diberi judul Delivering Quality Service.
Menurut mereka (Zeithaml, Parasuraman & Berry, 1990), ada
sepuluh indikator kinerja pelayanan, yaitu:
a. Ketampakan fisik (Tangible)
b. Reliabilitas (Reliability)
28
c. Responsivitas (responsiviness)
d. Kompetensi (competence)
e. Kesopanan (courtessy)
f. Kredibilitas (credibility)
g. Keamanan (security)
h. Akses (Access)
i. Komunikasi (Communication)
j. Pengertian (understanding the customer)
Contoh-contoh pertanyaan yang dapat dikembangkan dari
indikator-indikator tersebut dapat dilihat dalam table 2 di bawah ini:
Tabel 2.
Instrumen Pengukuran Kinerja Pelayanan
No INDIKATOR Contoh Pertanyaan Yang
Dikembangkan
1 Tangibles a. Apakah fasilitas operasional sesuai
dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan tugas?
b. Apakah fasilitas tersebut cukup
mudah didapat dan dioperasionalkan
serta dapat menghasilkan output yang
berkualitas/bagus?
c. Apakah infrastruktur pendukung
selalu memenuhi standar kualitas dan
memenuhi perubahan kebutuhan
konsumen?
2 Reliability a. Sejauh mana informasi yang diberikan
kepada klien tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan?
b. Apakah konsumen segera
mendapatkan perbaikan apabila
terjadi kesalahan?
3 Responsiveness a. Bagaimana respon provider jika ada
29
No INDIKATOR Contoh Pertanyaan Yang
Dikembangkan
klien yang komplain?
b. Apakah provider segera memberi
penyelesaian secara tepat?
4 Competence a. Kesesuaian antara kemampuan
petugas dengan fungsi/tugas
b. Apakah provider cukup tanggap untuk
melayani klien?
c. Apakah organisasi mengadakan
pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan aparat sesuai dengan
perkembangan/perubahan tugas?
5 Courtesy a. Bagaimana sikap petugas dalam
memberikan pelayanan kepada klien?
b. Apakah petugas cukup ramah dan
sopan?
6 Credibility a. Bagaimana reputasi kantor/lembaga
tersebut?
b. Apakah biaya yang dibayarkan oleh
klien sesuai dengan output/jasa yang
diperoleh?
c. Apakah petugas selalu ada selama
jam kerja?
7 Security Apakah ada jaminan
keamanan/keselamatan terhadap klien
dalam mekanisme tersebut?
8 Access a. Bagaimana klien mendapatkan
informasi?
b. Apakah klien murah dan mudah
menghubungi petugas untuk
mendapatkan pelayanan?
c. Apakah lokasi kantor tersebut mudah
dijangkau semua klien?
d. Apakah prosedur yang diterapkan
sederhana?
e. Apakah informasi untuk konsumen
30
No INDIKATOR Contoh Pertanyaan Yang
Dikembangkan
mudah didapat dan jelas?
9 Communication a. Bagaimana petugas menjelaskan
prosedur/mekanisme untuk
mendapatkan pelayanan?
b. Apakah klien segera bisa
mendapatkan respon jika terjadi
kesalahan?
c. Semua keluhan atau pengaduan akan
dijawab dengan segera dan jika perlu
keluhan atau pengaduan diberi follow-
up secara detail
d. Ketersediaan feedback lewat radio
(feedback interactive)
10 Understanding Apakah providers tanggap terhadap
the kebutuhan klien?
customer

Sumber: Diadaptasi dari Zeithaml, Parasuraman & Berry, (1990)

C. Standar Pelayanan Minimal


1. Konsepsi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Ketentuan tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) diatur di
dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100/757/OTDA
Tahun 2002, kemudian diatur lebih lanjut di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005. ketentuan tentang SPM yang
harus dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam

31
penyediaan pelayanan publik, adalah merupakan hal yang baru
dalam sejarah pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Sebagai hal baru, wajar kalau pengertian SPM belum banyak
dipahami secara luas oleh masyarakat. Pemahaman SPM secara
memadaia bagi masyarakat merupakan hal yang sangat signifikan
karena berkaitan dengan hak-hak konstitusional perorangan
maupun kelompok masyarakat yang harus mereka peroleh dan
wajib dipenuhi oleh pemerintah, berupa tersedianya pelayanan
publik(pelayanan dasar) yang harus dilaksanakan Pemerintah
kepada masyarakat. Di jajaran birokrasi daerah sendiri, pengertian
SPM, masih sering dikacaukan dengan standar/persyaratan teknis,
standar kerja dan standar pelayanan prima.

2. Maksud dan Tujuan SPM


Di dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
100/757/OTDA, tangal 8 Juli 2002 dituliskan bahwa SE Mendagri ini
dirumuskan dengan maksud sebagai dasar penyelenggaraan
kewenangan wajib daerah dan penggunaan Standar Pelayanan
Minimal agar masing-masing Institusi Pemerintah memiliki
kesamaan persepsi dan pemahaman serta tindak lanjut dalam
penyelenggaraan Standar Pelayanan Minimal.
Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun
2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal ditegaskan bahwa Pedoman Penyusunan dan
penerapan SPM menjadi acuan dalam penyusunan SPM oleh
32
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dan
dalam penerapannya oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. SPM disusun dan diterapkan dalam rangka
penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan
pemerintahan Daerah Kabupaten/kota yang berkaitan dengan
pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di
dalam Peraturan pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 ini ada
beberapa pengertian dasar yang harus difahami, yaitu:
a. Pemerintah Pusat, yang di dalam PP selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan republik Indonesia.
c. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

33
d. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah
daerah.
e. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkatitang
dengan hak dan pelayanan dasar warga Negara yang
penyelenggaraannya diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan kepada Daerah untuk perlindungan hak
konstitusional, kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat,
serta ketentraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
pemenuhan komitmen nasioanal yang berhubungan dengan
perjanjian dan konvensi Internasional.
f. Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM
adalah ketentuan tenteng jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap
warga secara minimal.
g. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif
yang digunakan untuk menggambarkan besaran yang hendak
dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu, berupa
masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan.
h. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar
dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan.
i. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah selanjutnya disingkat
DPOD adalah dewan yang bertugas memberikan saran dan
34
pertimbangan kepada presiden terhadap kebijakan otonomi
daerah.

3. Prinsip-Prinsip SPM
Adapun prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam
penyusunan dan penerapan SPM adalah sebagai berikut (Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005):
a. SPM disusun sebagai alat pemerintah dan pemerintahan daerah
untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada
masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan
urusan wajib.
b. SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh
Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
c. Penerapan SPM oleh Pemerintah Daerah merupakan bagian
dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional.
d. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka,
terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyi
batas waktu pencapaian.
e. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas
dan kemempuan keuangan nasional dan daerah serta
kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang
yang bersangkutan.

35
4. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal
Sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2005, proses dan mekanisme penyusunan SPM
adalah sebagai berikut:
1. Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen
menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib dengan mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan
wajib.
2. Dalam penyusunan SPM tersebut ditetapkan jenis pelayanan
dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM.
3. Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan
Lembaga Pemerintah NONDepartemen dilakukan melalui
konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Konsultasi ini dilakukan oleh masing-masing Menteri?pimpinan
Lembaga Pemerintah NON Departemen dengan tim konsultasi
yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri,
Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional,
Departemen Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan
Apartur Negara, dengan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non-Departemen terkait sesuai kebutuhan.
4. Tim Konsultasi dibentuk dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri.
5. Hasil konsultasi sebagaimana disampaikan oleh Menteri Dalam
Negeri, dalam hal ini Direktur Jenderal Otonomi Daerah, kepada
DPOD melalui sekretariatan DPOD untuk mendapatkan
36
rekomendasi bagi Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen yang bersangkutan dalam rangka penyusunan
SPM.
6. SPM yang disusun oleh masing-masing Menteri setelah
memperoleh dan mengakomodasikan rekomendasi dari DPOD
ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan.
7. SPM yang disusun oleh masing-masing Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non-Departemen setelah memperoleh dan
mengakomodasikan rekomendasi dari DPOD ditetapkan dengan
Peraturan Menteri terkait.
8. Dalam menyusun SPM, Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah
Non-Departemen mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Keberadaan sistem informasi, pelaporan dan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin
pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh
pemerintah secara berkelanjutan.
b. Standar Pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang
yang bersangkutan di daerah;
c. Keterkaitan antara SPM dalam suatu bidang dan antara SPM
dalam suatu bidang dengan bidang lainnya;
d. Kemampuan keuangan nasional dan daerah serta
kemampuan kelembagaan dan personil daerah yang dalam
buidang yang bersangkutan; dan

37
e. Pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan
dasar tertentu yang telah terbukti dapat menghasilkan mutu
pelayanan ynag ingin dicapai.
9. Untuk mendukung penerapan SPM, Mentteri yang bersangkutan
menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
10. Untuk mendukung penerapan SPM, Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non-Departemen menyusun petunjuk teknis yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri terkait.

5. Penerapan Standar Pelayanan Minimal


Dalam kaitanyya dengan penerapan SPM, didalam PP
Nomor 65 Tahun 2005 diatur halhal sebagai berikut:
a. Pemerintahan Daerah menerapkan SPM sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Peraturann Menteri.
b. SPM yang telah ditetapkan Pemerintah menjadi salah satu
acuan bagi Pemerintah Daerah untuk menyusun perencanaan
dan penganggaran penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
c. Pemerintah Daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang
memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada
batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri.
d. Rencana pencapaian SPM tersebut dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan
Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra
SKPD).
38
e. Target tahunan pencapainan SPM tersebut dituangakan ke
dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana
Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan
Umum Anggaran(KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkta Daerah (RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja
daerah dengan mempertinbangkan kemampuan keuangan
daerah.
f. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan anggaran kegiatan
yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan
analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada
pedoman yang ditetapkan olen Menteri Dalam Negeri.
g. Rencana pencapaian target tahunan SPM serta realisasinya
diinformasikan kepada masyarakat sesuai peraturan perundang-
undangan.
h. Pemerintah daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan
informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah
yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
i. Dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang
mengkibatkan dampak lintas daerah dan/atau untuk
menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik
secara bersama dengan daerah disekitarnya sesuai peraturan
perundang-undangan.
j. Dalam pengelolaan pelayanan dasar secara bersama sebagai
bagian dari pelayanan publik, rencana pencapaian SPM perlu
39
disepakati bersama dan dijadikan sebagai dasar dalam
merencanakan dan menganggarkan kontribusi masing-masing
daerah.
k. Dalam upaya pencapaian SPM, Pemerintah Daerah dapat
bekerja sama dengan pihak swasta.

I. Bahan Bacaan

1. Ratminto & Septi, atik winarsih. 2007.Manajemen


Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. Halim, abdul & Damayanti, theresia. 2007. Pengelolaan
Keuangan Daerah. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN.
3. Halim, abdul. 2007. Akuntansi dan Pengendalian
Keuangan Daerah. Yogyakarta: UUP Sekolah Tinggi
Ilmu Manajemen YKPN.
4. Halim, abdul & Subiyanto, ibnu. 2008. Analisis Investasi
(Belanja Modal) Sektor Publik-Pemerintaha Daerah.
Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
5. Bastian , indra.2006. Sistem Perencanaan & Penganggaran
Pemerintah Daerah &Indonesia. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
6. Mahmudi. 2007. Analisis Laporan Keuangan
Pemerintahan Daerah. Yogyakarta. Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN.

40
II. Pertanyaan Kunci
1. Jelaskan tentang latar belakang pengukuran pelayanan
publik.
2. Uraikan tentang perbedaan konsep pengukuran kinerja
pelayanan publik.
3. Jelaskan tentang Standar Pelayanan Minimal yang anda
ketahui.

41
HAKIKAT
PELAYANAN PUBLIK
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan latar munculnya masalah pelayanan publik.
2. Menguraikan Pelayanan Publik dan Konsep Pelanggan

Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari latar belakang
munculnya masalah pelayanan publik serta menguraikan
tentang konsep pelayanan publik dan konsep pelanggan

42
Pokok Bahasan

Hakikat Pelayanan Publik

A. Latar Belakang Munculnya Pelayanan Publik

P elayanan publik secara teori, sebuah negara dibentuk oleh

masyarakat di suatu wilayah tidak lain bertujuan untuk memenuhi


kebutuhan hidup bersama setiap anggotanya dalam koridor
kebersamaan. Dalam angan setiap anggota masyarakat, negara
yang dibentuk oleh mereka ini akan melaksanakan fungsinya
menyediakan kebutuhan hidup anggotaberkaitan dengan konstelasi
hidup berdampingan dengan orang lain di sekelilingnya. Di
kehidupan sehari-hari, kebutuhan bersama itu sering kita artikan
sebagai “kebutuhan publik”. Contoh sederhana, Kartu Tanda
Penduduk (KTP) adalah kebutuhan publik bagi setiap orang yang
sudah memenuhi persyaratan tertentu. Tanpa KTP, seseorang akan
mengalami kesulitan dalam berurusan dengan orang lain atau
sebuah institusi. KTP perlu dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang yang dibentuk dan ditunjuk oleh negara, seperti
kelurahan atau desa.
Proses menerbitkan sebuah KTP bagi seorang anggota
masyarakat kita sebut sebagai Pelayanan Publik, yang dapat
43
diterjemahkan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh petugas
berwenang dalam melayani pemenuhan kebutuhan publik anggota
masyarakatnya. Dalam konteks negara, pemenuhan kebutuhan
publik tersebut diartikan sebagai pemenuhan hak-hak sipil seorang
warga negara. Pelayanan publik umumnya tidak berbentuk barang
melainkan layanan jasa, termasuk jasa administrasi. Hasil yang
diperoleh dari adanya pelayanan publik oleh penyedia jasa layanan
dapat berbentuk barang maupun bentuk jasa-jasa. Pelayanan publik
biasanya dilakukan oleh pemerintah, namun dapat juga oleh pihak
swasta.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, negara
kemudian membentuk organisasi pemerintahan. Di Indonesia kita
kenal sturktur pemerintahan negara dari level paling atas yakni
presiden hingga ke level terbawah, Rukun Warga dan Rukun
Tetangga (RW/RT). Karena negara dibentuk oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan publik anggotanya, maka sesungguhnya
pelayanan publik adalah kewajiban utama seluruh aparatur
pemerintah di setiap jenjang pemerintahan dan setiap jenis
pelayanan publik. Sebagai sebuah kewajiban, maka sudah
semestinya setiap aparat negara memberikan pelayanan publik
yang terbaik.
Pelayanan publik umumnya dibagi dalam dua kategori
sesuai dengan tingkat kepentingan kebutuhan warga negara, yakni
pelayanan publik primer dan pelayanan publik sekunder. Pelayanan
publik primer merujuk kepada semua jenis layanan dari sebuah
44
instansi baik pemerintah maupun swasta untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat mutlak dari seorang warga negara. KTP
bersifat mutlak bagi setiap warga negara yang sudah memenuhi
syarat, terutama dari segi usia (18 tahun ke atas). Pemenuhan
layanan air bersih, listrik, dan transportasi juga merupakan
kebutuhan layanan publik yang bersifat mutlak bagi setiap orang.
Sebaliknya, pelayanan publik sekunder merujuk kepada semua
layanan yang tidak mutlak bagi seorang warga negara, semisal
kebutuhan tata rias, hiburan, dan sejenisnya.
Untuk semua pelayanan yang bersifat mutlak, negara dan
aparaturnya berkewajiban untuk menyediakan layanan yang
bermutu dan mudah didapatkan setiap saat. Pada kehidupan
bernegara di abad moderen ini, komitmen suatu negara untuk
memberikan pelayanan publik yang memadai terhadap kebutuhan
publik merupakan implementasi dari pemenuhan hak-hak azasi
manusia dari warga negaranya. Oleh karena itu, ketika suatu
instansi pemerintah memberikan layanan publik yang buruk, hal
tersebut dianggap melanggar konvensi internasional tentang hak
azasi manusia. Sebagai contoh, disaat warga negara kesulitan
mendapatkan layanan pendidikan yang baik, bermutu, dan mudah
diakses, maka sesungguhnya pemerintah telah berlaku lalai,
melanggar hak azasi warga negaranya. Hal ini juga berlaku di setiap
lembaga penyedia layanan publik, seperti di kelurahan/desa,
puskesmas/rumah sakit, dan sebagainya.

45
Di sektor swasta, setiap lembaga swasta yang menyediakan
pelayanan publik sudah semestinya mengadopsi pola pelayanan
publik yang mencerminkan penghormatan kepada hak-hak warga
negara untuk mendapatkan layanan yang sebaik-baiknya. Saat ini,
dibandingkan dengan pihak pemerintah, sistim pelayanan publik
pihak swasta umumnya tergolong lebih baik. Hal ini terutama
disebabkan oleh tingginya persaingan antar pemberi layanan publik,
seperti terlihat pada perusahaan-perusahaan penyedia jasa
transportasi yang saling berlomba memberikan layanan terbaik bagi
masyarakat. Walaupun demikian, pemantauan dan evaluasi dari
masyarakat dan pemerintah tetap dibutuhkan agar kualitas
pelayanan publik tetap terjaga bahkan dapat ditingkatkan.
Sebaliknya, yang sering terjadi di lapangan, justru lembaga-
lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan
pelayanan publik. Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM),
Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sulitnya memperoleh layanan
pendidikan yang mudah dan bermutu, layanan kesehatan yang tidak
terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, dan sebagainya,
merupakan sebagian kecil dari contoh kesemrawutan pelayanan
publik oleh pemerintah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan
semangat reformasi yang sudah berjalan selama satu dekade ini.
Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan
publik yang baik dapat dianalisa dari dua sisi, yakni birokrasi dan
standar pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada semua jenjang
46
dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk, dan
berbelit. Hal ini mengakibatkan panjang dan berbelit-belitnya suatu
urusan di sebuah lembaga penyedia layanan publik, yang tentu saja
membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya tinggi. Keadaan ini
diperburuk oleh mentalitas mayoritas aparat pemerintah yang masih
feodalistik dan justru minta dilayani oleh rakyat. Proses rekrutmen
kepegawaian yang kurang memperhatikan profesionalisme
seseorang juga menjadi faktor penghambat pelaksanaan pelayanan
publik dengan baik. Tambahan lagi, sistim penggajian yang rendah
seringkali menjadi pemicu setiap petugas negara menjalankan aksi
“mempersulit urusan” dari anggota masyarakat yang berurusan
dengan mereka.
Ketiadaan standarisasi pelayanan publik yang dapat menjadi
pedoman bagi setiap aparat pemerintah adalah sisi lain yang
menjadi kelemahan pemerintah (dan juga pihak swasta) dalam
memberikan pelayanan publik yang baik. Setiap institusi dapat
membuat aturan dan pedoman sendiri sesuai selera masing-masing,
dan standar inipun dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keinginan
dan kebutuhan personal pemimpin institusi tersebut. Alhasil, kualitas
pelayanan publik amat beragam antar satu departemen dengan
lembaga negara lainnya, antar daerah yang satu dengan daerah
yang lain.
Sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun,
kebutuhan pelayanan publik yang baik dan berkualitas adalah
mutlak. Hal ini diperlukan dalam rangka mendorong percepatan
47
pembangunan bangsa dan negara Indonesia menuju pencapaian
cita-cita nasional yakni mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil
dan makmur. Kerja keras pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk melahirkan Undang-undang Pelayanan Publik
(UU PP) adalah sesuatu yang patut dihargai dan didukung bersama.
Walaupun, kita sama menyadari bahwa keberadaan sebuah UU di
negara tercinta ini belum bisa menjamin sebuah pelaksanaan aturan
secara murni dan konsekwen. Namun, paling tidak, masyarakat
telah memiliki acuan hukum yang dapat dijadikan landasan berpijak
dalam melakukan legal action terhadap ketidak-becusan aparat
negara (maupun swasta) dalam memberikan pelayanan publik.

B. Pelayanan Publik dan Konsep Pelanggan


Salah satu konsep dasar dalam memuaskan pelanggan,
minimal mengacu pada :
(1) Keistimewaan yang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk,
baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang
dapat memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian
dapat memberikan kepuasan dalam penggunaan produk itu.
(2) Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan
atau kerusakan.
Acuan dari kualitas seperti dijelaskan diatas menunjukan
bahwa kualitas selalu berfokus pada kepentingan/kepuasan
pelanggan (Customer Focused Quality), sehingga dengan demikian

48
produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk
memenuhi keinginan pelanggan.
Oleh karena itu, maka kualitas mengacu pada segala
sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang
dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan
keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik serta
didiproduksi dengan cara yang baik dan benar.
Sejalan dengan hal terdebut diatas, maka untuk memenuhi
keinginan masyarakat (pelanggan), Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya Nomor : 81/1995
menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai
dengan sendi-sendi sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara
pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan
tidak berbelit-belit serta mudah difahami dan dilaksdanakan.
(2) Kejelasan dan kepastian, menyangkut :
a. Prosedur/tata cara pelayanan umum
b. Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun
administratif
c. Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan umum
d. Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara
pembayarannya
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum

49
f. Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima
pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan
permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk
memastikan pemrosesan pelayanan umum
g. Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat)
(3) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan
umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta
dapat memberikan kepastian hukum.
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara,
persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi
pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif
dan hal-hal lain yang yang berkaitan dengan proses pelayanan
umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah
diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun
tidak diminta.
(5) Efisien, meliputi :
a. Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran
pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan
antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang
diberikan
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuihan kelengkapan
persyaratan, dalam hal proses pelayanannya
mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
50
(6) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum
harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :
a. Nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak
menuntut biaya yang tinggi diluar kewajaran
b. Kondisi dan kemampuan pelanggan (masyarakat) untuk
membayar secara umum
c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan
pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan
distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
(8) Ketepapatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum
dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur
pemerintahan kepada masyarakat, selain dapat dilihat dalam
keputusan Menpan nomor 81/1993, juga dipertegas dalam instruksi
Presiden nomor 1/1995 tentang peningkatan kualitas aparatur
pemerintah kepada masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan
masyarakat dewasa ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan
hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan era
globalisasi.
Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi
Nomor 3/Vol. IV/September 1994 (p. 16) menyebutkan beberapa
kategori dalam mengkaji pelayanan prima. Pertama, kategori
berdasar yang meliputi analisa makro dan analisa mikro. Kedua
kategori yang berorientasi pada model Mc. Kinsey yang
51
mengkaitkan upaya pelayanan prima dengan 7 (tujuh) unsur S,
yakni :
a. Strategi
b. Struktur
c. Sistem
d. Staff
e. Skill
f. Style
g. Share Value
Tuntutan dibuatnya “Standar Pelayanan Prima” didasarkan
pada pandangan bahwa :
a. The customer is always right
b. If the customer is wrong, see rule number one
Meskipun rumusan diatas seperti sesuatu yang tidak serius,
namun mengandung konsekuensi penting yakni adanya adanya
tuntutan untuk terus memperhatikan secara serius terhadap
kepentingan pelanggan dan pengembangan pelayanan prima tetap
terpusat pada manusia disamping jika dikaitkan dengan masalah
kepemimpinan sering diungkapkan bahwa “Excellence starts at the
top… leadership by example”. Suatu pertanyaan yang muncul dari
uraian diatas, yaitu apakah kita cukup banyak pemimpin yang
mampu dan mau melayani pelanggan secara prima melebihi apa
yang diperlihatkan oleh anak buahnya dalam melayani ?. Ini
merupakan suatu tantangan riil yang bukan pada ribuan karyawan,
melainkan bagi sedikit pemimpin tingkat tinggi.
52
Prinsip-prinsip yang diuraikan oleh Sudarsono
Hardjosoekarto diatas dapat diperluas lagi sebagaimana yang
dikemukakan De Vry (1994) yang mengarahkan elaborasi ini
kedalam 7 (tujuh) simple strategi for success yang kemudian dalam
perjalanan waktu disebut service model, yang meliputi :
a. Self-esteem
b. Exceed expecctation
c. Recover
d. Vision
e. Improve
f. Care
g. Empower
Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila
aparatur pemerintah yang terlibat langsung dalam pelayanan, dapat
mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan
pelayanan prima. Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima,
unsur aparatur seyogiyanya mengerti dan memahami apakah
kepemimpinan pelayan itu ?, dan siapakan pemimpin pelayan ?.
Kepemimpinan pelayan membahas realitas kekuasaan
dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi legitimasi, kekangan
etika dan hasil yang menguntungkan yang dapat dicapai melalui
penggunaan kekuasaan yang semestinya. Larry Spears dalam
karyanya Greenleaf mengidentifikasi sepuluh ciri khas pemimpin
pelayan, yakni :
(1) Mendengarkan
53
(2) Empati
(3) Menyembuhkan
(4) Kesadaran
(5) Bujukan atau persuasif
(6) Konseptualisasi
(7) Kemampuan meramalkan
(8) Kemampuan melayani
(9) Komitmen terhadap pertumbuhan manusia
(10) Membangun Masyarakat
Kepemimpinan pelayan seperti yang dikemukakan diatas
dapat bermakna terhadap masyarakat pelanggannya apabila
aparatur pelayan (pemerintah) sungguh-sungguh memperhatikan
beberapa dimensi atau atribut perbaikan kualitas jasa termasuk
kualitas pelayanan, yang terdiri :
a. Ketepatan waktu pelayanan
b. Akurasi pelayanan
c. Kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan
d. Tanggung jawab
e. Kelengkapan
f. Kemudahan mendapatkan pelayanan
g. Variasi model pelayanan
h. Pelayanan pribadi
i. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan
j. Atribut pendukung pelayanan lainnya

54
Masyarakat (pelanggan) dapat terpuaskan dari pelayanan
aparatur (pemerintah) hanya berorientasi pada kepuasan total
pelanggan. Pelanggan membutuhkan komitmen dan tindakan nyata
dal;am memberikan pelayanan prima. Adapun kriteria yang
mencirikan pelayanan sekaligus membedakannya dari barang
adalah :
a. Pelayanan merupakan output tak berbentuk
b. Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar
c. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat
dikonsumsi dalam produksi
d. Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan
melalui proses pelayanan
e. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan
f. Keterampilan personil diserahkan atau diberikan secara
langsung kepada pelanggan
g. Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal
h. Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu
yang memberikan pelayanan
i. Perusahaan pada umumnya bersifat padat karya
j. Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan
k. Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif
l. Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian
proses
m. Option penetapan harga adalah lebih rumit

55
Peningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat dalam
menghadapi era globalisasi sangat memerlukan sebuah strategi,
mulai dari strategi perancangan pelayanan prima dalam manajemen
kualitas modern hingga kepada implementasi dari rancangan
terhadap kualitas pelayanan. Untuk itu, Gaspersz, 1997
merumuskan strategi pelayanan dengan manajemen jasa modern
yang kemudian dikenal dengan strategi 7 (tujuh) P, yakni :
a. Product
b. Price
c. Place
d. Promotion
e. Phisical evidence
f. Proses desain
g. Participants

Agar pelayanan aparatur pemerintah dapat lebih


memuaskan masyarakat, selain dituntut memahami strategi 7 (tujuh)
P, kriteria yang mencirikan yang pelayanan, ciri khas dari pemimpin
pelayan, model 7 (tujuh) S dari Mc Kinsey, juga semua aparatur
pelayan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan
prima. Kiranya kepedulian kita terhadap kualitas pelayanan pada
masyarakat dapat meningkat.

56
I. Bahan Bacaan
1. Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi
Nomor 3/Vol. IV/September 1994
2. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (MENPAN) Nomor : 81/1995

II. Pertanyaan Kunci


1. Uraikan tentang latar belakang munculnya masalah
pelayanan publik
2. Jelaskan tentang Pelayanan Publik dan Konsep
Pelanggan

57
ADMINISTRASI
PELAYANAN PUBLIK
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan hakikat administrasi pelayanan publik.
2. Menguraikan birokrasi publik dalam pelayanan publik.
3. Menguraikan tentan konsep administrasi pelayanan
publik

Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari tentang hakikat
administrasi pelayanan publik, birokrasi publik dalam
58
pelayanan publik serta bagaimana sebenarnya konsep
administrasi pelayanan publik

Pokok Bahasan

Administrasi Pelayanan Publik

A. Hakikat Administrasi Pelayanan Publik


Dwight Waldo adalah pelopor konferensi Adininistrasi
Negara yang menggegerkan dunia Administrasi Negara dan yang
akhimya melahirkan gerakan Neo Public Administration, yang
kemudian diikuti dengan terbitnya buku-buku Toward a New Public
Administration: The Minnowbrook Perspective (F. Marini Ed), Public
Administration in a Time of Turbulence (D. Waldo) dan
Neighbourhood Control in The I970s (G. H. Frederickson), maka
masalah pelayanan publik menjadi topik yang menarik dan banyak
dikaji oleh para ahli dan para pemerhati masalah administrasi publik.
Besamya perhatian terhadap persoalan pelayanan publik ini
disebabkan oleh 2 hal : Pertama: pada tataran teoritis, roenguatnya
pendekatan ekologis sebagai pengganri pendekatan non ekologis,
yang memandang administrasi publik sebagai sosok yang tak dapat
dipisahkan dan bahkan bertmnpitan dengan persoalan polirik, sosial,
ekonomi dan budaya. Kcdua, pada tataran empiris, menguatnya
tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas
(Intema : 1993), akuntabilitas politik dan keuangan pelayanan sektor
59
publik (Hog wood : 1993) dan merebaknya keinginan masyarakat
imtuk melakukan reformasi/regulasi pelayanan publik sebagai akibat
berbelit-belitnya pelayanan publik (Richardson : 1993).
Di Indonesia pembahasan tentang pelayanan publik mi telah
lama dimulai. Sofian Effendi dan Riaz Hasan bisa disebut sebagai
pelopor yang mempopulerkan pelayanan pubtik ke dalam diskursus
ilmiah baik dalam bentuk peniikiran maupun penelitian yang
kemudian diikuti oleh ahli-ahli lain seperti Irfan Islamy, Solichin
Abdul Wahab dan lam-lain. Bahkan para ahli di kalangan
pemerintahan (praktisi pemerintahan) tidak mau ketinggalan, dan
berupaya keras untuk menghasilkan konsep serta upaya
pemecahan terhadap permasalahan pelayanan publik.
Akhir-akhir ini bahkan pemerintah telah pula secara tersurat
bertekad untuk memperbaiki pelayanan publik, yang dapat dilihat
antara lain dalam GBHN yang ingin mewujudkan birokrasi yang
sesuai dengan hati nurani rakyat, dikeluarkannya Surat Keputusan
MENPAN No: 81 / 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan
Umum, Keputusan MENPAN No: 06/1995 tentang Pedoman
Penganugerahan Piala Abdi Satya bakti dan Inpres 1/1995 tentang
Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemermtah
Kepada Masyarakat. Di daerah-daerah Tingkat II juga telah dibentuk
UPMT (Unit Pelayanan Masyarakat Terpadu).

60
B. Birokrasi Publik Dalam Pelayanan Publik
Tema sentral yang menjadi objek amatan administrasi publik
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kalau pada awalnya
administrasi publik hanya berkaitan dengan fiuigsi tradisional
administrasi seperti menjaga keamanan, ketentraman dan ketertiban
masyarakat, objek amatan itu belakangan bergeser dan
berkembang ke persoalan-persoalan yang lebih luas seperti
pcrsoalan pelayanan publik dan persoalan publik lainnya yang hidup
dan berkembang di masyarakat.
Hal ini nampak misalnya pada gerakan Administrasi Negara
Baru yang dipelopori oleh Waldo dkk., yang memasukkan nilai-nilai
keadilan sosial atau persamaan dan pelayanan publik sebagai tema
sentralnya, suatu nilai yang belum pemah diperhatikan oleh
siapapun sebelum gerakan ini lahir. Lahirnya gerakan ini, dan
gerakan lain serupa, yang melahirkan fenomena semakin
merebaknya dan meluasnya intervensi negara, merupakan salah
satu manifestasi dari diterimanya konsep negara kesejahteraan.
Variasi
dari intervensi negara dalam kehidupan masyarakat akan
memberikan bentukan yang beragam terhadap pelayanan publik
yang dilakukan oleh pemerintah.
Intervensi negara atau lebih tepatnya intervensi birokrasi
publik, dengan beragam

61
variasinya, sangat diperlukan dalam pelayanan publik sebagian
disebabkan oleh ketidaksempumaan berlakunya teori pasar. Markel
failures ridak dapat bekerja secara sempuma jika terjadi economic of
scaie, monopoli dan ketimpangan informasi mengenai harga. Alasan
lain kenapa birokrasi publik diperlukan dalam pelayanan publik,
karena mekanisme pasar tidak dapat memben pelayanan dengan
baik dan efisien manakala jenis pelayanannya termasuk kedalam
kategori public goods and services, yaitu barang dan jasa yang
dapat dinikmati oleh setiap orang pada saat yang bersamaan (non
rivalry) tanpa melihat peran sertanya dalam penyediaan barang
tersebut (non excludability).
Adanya externalitas yaitu manfaat dan kerugian dari suatu
kegiatan produksi tak diperhitungkan dalam penetapan harga, juga
menjadi penyebab kenapa mekanisme pasar tak dapat berjalan
secara efisien. Jika mekanisme pasar tak dapat beijalan dengan
baik, dimana suatu pelayanan dapat dinikrnati oleh semua orang
tanpa kecuali, tentu jarang atau bahkan tak ada pelaku
bisnis/ekonomi yang tertarik untuk menyelenggarakan pelayanan
publik. Dalam kondisi seperti ini maka kehadiran birokrasi publik
sangat diperlukan untuk membetulkan mekanisme pasar dan
menghalangi mekanisme pasar yang merugikan publik.
Pertimbangan lain yang sering dipakai sebagai justifikasi
keterlibatan birokrasi publik dalam pelayanan publik adalah
pertimbangan politik.

62
Pertimbangan ini dipakai untuk menghindari kemungkinan
masyarakat dirugikan oleh penyelenggaraan pelayanan di pasar
bebas yang acapkali kepentingannya berbenturan dengan
kepentingan publik. Sekalipun keterlibatan birokrasi publik tak dapat
dihindarkan dan dalam batas-batas tertentu mempunyai makna
besar dalam pelayanan publik, yang menumt Osborne dan Gaebler
(1991) birokrasi publik diperlukan untuk manajemen kebijakan,
regulasi, keadilan, mencegah eksploitasi, menjamin kontinyuitas dan
stabilitas jasa serta menjamin keakraban sosial, namun bukan
berarti ia merupakan satu-satunya lembaga yang paling baik dalam
memberikan pelayanan kepada publik. Pada sisi lain, walaupun ia
sering dikritik karena terlalu tambun, terlalu konservatif, terlalu kental
dengan nuansa politik dan terlalu boros (Common : 1993) atau
menurut Savas the job of govemment is to steer not to row the boat.
Delivering services is rowing and govemment is not very good at
rowing. (Osborne and Gaebler : 1991, 25). Namun bukan berarti ia
merupakan lembaga yang paling buruk penampilannya. Seperti
halnya dengan instrumen pelayanan publik yang lain, semisal
organisasi swasta, birokrasi publik mempunyai potensi dan limitasi
dalam memberikan pelayanan kepada publik. la bisa lebih unggul
dalam suatu situasi tetapi lemah atau buruk dalam situasi lain. la
tidak bisa dipakai untuk jenis pelayanan yang sama dalam kondisi
yang sama.
Dengan melihat pada aspek transaksi, Ouchi (1980)
mengidentifikasi adanya 4 variabel yang dapat dipakai sebagai
63
pegangan untuk menentukan apakah organisasi pelayanan publik
dikelola oleh swasta atau negara (organisasi publik). Empat variabel
yang dimaksud adalah jenis dan karakteristik pelayanan,
persyaratan informasi, persyarat-an normatif dan tingkat
kepercayaan organi-sasi jarijngan.
Jenis dan karakteristik pelayanan adalah derajat kesulitan
dalam mengukur kualitas pelayanan. Semakin sulit melakukan
pengukuran terhadap pelayanan maka organisasi publik semaldn
berperan di dalamnya, dan semakin mudah pengukuran, organisasi
swasta yang cocok untuk pelayanan publik.
Dalam situasi dimana pengukuran kualitas sulit dilakukan
maka birokrasi publiklah yang harus melakukan pemantauan. Sebab
selain pemantauan ini memerlukan biaya yang tinggi, dalam kondisi
seperti ini birokrasi publiklah yang dapat bekerja secara lebih efektif.
Dengan demikian maka pengawasan lebih dapat dilakukan dengan
mudah.
Sebaliknya dalam situasi dimana pengukuran kualitas
pelayanan publik mudah dilakukan, maka niekanisme pasar yang
lebih cocok karena kualitas pelayanannya mudah diukur maka
pemerintah juga lebih mudah memantau apakah pelayanan sektor
swasta sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan tanpa merugikan
masyarakat.
Informasi mengenai harga pelayanan merupakan variabel
kedua yang mempcngaruhi efektivitas pelayanan publik, apakah
dilakukan sektor swasta atau birokrasi publik. Da-lam situasi dimana
64
informasi mengenai harga pelayanan tidak tersedia maka sektor
swasta kesulitan untuk menentukan atau menghitung nigilabanya.
Dalam situasi serba lain itu maka birokrasi publik menjadi
alternatif yang lebih baik dalam melakukan pelayanan publik.
Namun pada sisi lain birokrasi publik harus ditunjang dengan
pengaturan pemenntah. Sebab tanpa adanya pengaturan,
dikhawatirkan birokrasi publik tak dapat berjalan dengan baik. Pada
sisi lain sektor swasta akan bisa beroperasi dengan lebih baik, dan
menjadi altematif pilihan dalam menyelenggarakan pelayanan publik
manakala informasi mengenai harga tersedia.
Persyaratan normatif yang dituntut oleh organisasi swasta
dan birokrasi publik untuk bisa beroperasi dengan baik berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Untuk bisa beroperasi dengan
baik birokrasi publik harus mempunyai acceptance of authority.
Tanpa apa ada aturan main yang jelas birokrasi publik tak mungkm
akan dapat berjalan dengan baik. Pada sisi lain organisasi swasta
tidak terlalu membutuhkan acceptance of authonty. la akan berjalan
dengan baik kalau ada kebutuhan timbal balik antara penjual dan
pembeli. Secara otornatis produsen barang dan jasa pelayanan
akan memproduksinya manakala ada konsumen yang
rnembutuhkan yang kemudian akan diikuti oleh adanya transaksi.
Variabel terakhir yang perlu diperhatikan adalah tingkat
kepercayaan anggota jaringan organisasi. Dalam lingkungan
birokrasi publik, seluruh kegiatan akan bisa bcrjalan jika sesama
anggotanya saling mengenal. la tidak akan berjalan kalau
65
seandainya antar anggota jaringan tak saling mengenal. Lain halnya
dengan organisasi swasta. Dalam organisasi ini transaksi bisa saja
berjalan tanpa harus adanya saling kenal di antara anggota
jaringan-penjual dan pembeli.
Keempat vanabel pokok itulah yang dapat dipakai sebagai
kerangka acuan di dalam menentukan apakah barang dan jasa
dalam pelayanan publik diserahkan kepada swasta atau dikelola
oleh birokrasi publik. Dalam situasi dimana penilaian terhadap
barang dan jasa bersifat sederhana, informasi tentang harga
tersedia, kepercayaan anggotajaringaii rendah dan secara normatif
ada kebutuhan timbal balik, maka organisasi swasta yang lebih
cocok. Sebaliknya, dalam situasi dimana sulit melakukan penilaian
terhadap bara-ng dan jasa, sulit memperoleh informasi harga,
tingkat kepercayaan anggota jaringan ri-nggi dan secara normatif
ada acceptance of authority, birokrasi publiklah yang lebih te-pat
untuk mengelola pelayanan publik.
Variabel-variabel yang dikemukakan oleh Ouchi tersebut
adalah variabel pokok. Masih terdapat segudang variebel lain yang
perlu diperfiitungkan atau dipertimbangkan dalam mengelola
pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan sesuatu yang
dinamis. Perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal,
mengharuskan adnunistrasi pelayanan publik (kelembagaan, tata
laksana dan personalia) melakukan penyesuaian terhadap dirinya
sendiri, agar kinerjanya bisa sesuai dengan harapan semua fihak.

66
C. Administrasi Pelayanan Publik
Lonsdale dan Enyedi mengartikan service sebagai assisting
or benefiting individuals through making useful things available to
them. Sedangkan public service diberi makna sebagai something
made available to the whole of population, and it involves things
which people can not normally provide for themselves i. e people
must act collectively (Lonsdale and Enyedi : 1991, 3). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pelayanan publik merupakan suatu
upaya membantu atau memberi manfaat kepada publik melalui
penyediaan barang dan atau jasa yang diperlukan oleh mereka.
Pada sektor publik, terminologi pelayanan pemerintah
(government service) diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh
agen pemerintah melalui pegawainya (the delivery of a service by a
government agency using its own employees (Savas, 1987 : 62).
Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan
warga negara dalam memperoleh jaminan atas hak-haknya, maka
peningkatan kualitas pelayanan (quality of service) akan semakin
penting. Sebab manajemen publik sejak tahun 1980-an telah
berubah oleh fenomena intemasional, yang antara lain lahimya
kompedsi tingkat global (global competitiveness) dalam sektor
pelayanan (Silalahi, 1975 : 5).
Davidow (dalam Lovelock, 1988 : 18) menyebutkan bahwa
pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap suatu
produk akan menmgkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan
67
(service is those thing which when added to a product, increase its
utility or value to the customer). Lebih lanjut Lovelock {1988 : 19)
menyebutkan bahwa pelayanan yang baik membutuhkan instruktur
pelayanan yang sangat baik pula. Hal yang paling penting adalah
membuat setiap orang dalam organisasi pada kualitas.
Crosby, Lehtimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1988 : 217)
mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut:
"Penyesuaian terhadap perincian-perincian (conformance io
specification} dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat
keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya kontrol tenis menerus
dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi
kebutuhan pengguna jasa."

Pelayanan merupakan respons terhadap kebutuhan


manajerial yang hanya akan terpenuhi kalau penggunajasa itu
mendapatkan produk yang mereka inginkan (Lovciock, 1988 : 5).
Jika demikian halnya maka apa yang menjadi perumpamaan bahwa
pembeli adalah raja (the customer is always right) menjadi sangat
penting dan menjadi konsep yang mendasar bagi peningkatan
manajemen pelayanan.
Permintaan pelayanan jasa publik akan selalu meningkat
baik kualitas maupun kuantitas, seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan
perubahan lingkungan yang terus bembah. Guna memenuhi
tuntutan tersebut, kesiapan dan kemampuan aparatur perlu semakin
ditingkatkan, agar tak terjadi kesenjangan antara tuntutan dan
harapan masyarakat di satu sisi dan kemampuan aparatur dalam
68
pelaksanaan fungsi pelayanan di lain fihak. Untuk
menghilangkan/mengurangi kesenjangan mi para aparatur harus
memiliki kemampuan profesional yang tinggi dan secara terus
menerus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Untuk mengantisipasi keadaan seperti itu birokrasi publik harus
disiapkan secara sistematis, dengan menciptakan sistem
kelembagaan aparatur, sistem kepegawaian serta mekanisme
ketatalaksanaan yang baik dan terpadu, sehingga pada gilirannya
aparatur mampu dan siap dalam menghadapi tuntutan penggima
jasa publik yang semakin meningkat.
Pelaksanaan pelayanan publik berkaitan erat dengan moral
dan etika birokrasi publik. Raining mengatakan ... the public
bureaucracy stands in need of ethical sensittvity in order to serve the
public interest, birokrasi publik periu memiliki kepekaan etika untuk
bisa melayani publik dengan baik. Semangat kerja birokrasi yang
berorientasi pada pelayanan publik harus menjadi pedoman
kerjanya. Dengan edka itu pula sins of services kesalahan dalam
pelayanan seperti apatis (apathy), menolak berurusan {brush off),
dingin (coldness), memandang rendah (condesclusion), bekerja
secara mekanis (robotisme\ ketat kepada prosedur (role book) dan
pingpong (round a round) tidak dijumpai dalam organisasi pelayanan
publik.
Pelayanan publik yang diberikan pemerintah dewasa ini
perlu diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk
menyuburkan ketergantungan. Dalam situasi dimana sumber-
69
sumber publik semakin langka keberadaannya, perlu dikembangkan
pemberdayaan di kalangan masyarakat dan aparatur, karena dapat
mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan publik.
Sebagaimana dikatakan oleh Thoha “.... Peran dan posisi birokrasi
dalam pelaksanaan pelayanan publik harus diubah. Peran yang
selama ini suka mengatur dan minta dilayani, menjadi suka
melayani, suka mendengarkan tuntutan, kebutuhan dan harapan-
harapan masyarakar (Thoha : 1997, 7).
Dalam perkembangan berikutnya temyata hakekat
pelayanan publik bukan semata-mata persoalan administratif belaka
seperti pemberian ijin dan pengesahannya, atau pemenuhan
kebutuhan fisik seperti pengadaan pasar dan puskesmas, tetapi ia
mcncakup persoalan yang lebih mendasar yakni pemenuhan
keinginan/kebutuhan pelanggan.
Hal ini wajar karena dalam setiap organisasi, pemenuhan
dan pemberian pelayanan kepada pelanggan merupakan suatu
tuntutan. kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan sangat
diutamakan mengingat keduanya mempunyai pengaruh yang besar
kepada keberlangsungan dan berkembangnya misi suatu
organisasi. Beberapa sendi yang perlu diperhatikan dalam
pelayanan publik sesuai dengan Keputusan MEMPAN Nomor:
81/1993 adalah sebagai berikut:
1. Sederhana : Prosedur atau tata cara pelayanannya
diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit
dan mudah difahami serta mudah dilaksanakan.
70
2. Kejelasan dan Kepastian : Terutama yang berkaitan dengan
prosedur dan tata cara, persyaratan teknis administratif, rincian
biaya dan cara pembayarannya, waktu penyelesaian, hak dan
kewajiban serta pejabat yang menerima keluhan.
3. Keamanan : Proses dan hasil layanan yang diberikan harus
mengandung unsur keamanan dan kenyamanan serta kepastian
hukum.
4. Keterbukaan : Prosedur, tata cara, waktu penyelesaian dan
rincian biaya harus diinformasikan secara terbuka.
5. Efisiensi : Persyaratan yang diperlukan terbatas pada hal-hal
yang langsung berkaitan dengan hasil layanan.
6. Ekonomis : Biaya tidak membebani atau memberatkan
masyarakat.
7. Keadilan : Pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dan
menjangkau semua lapisan masyarakat.
8. Bermutu : Selalu tepat waktu dengan kualitas tanpa cacat.
Untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik
pemerintah memberikan penghargaan Abdi Satya Bhakti kepada
unit pelayanan yang telah memberikan pelayanan terbaiknya.
Adapun aspek-aspeknya meliputi perbaikan sistem dan prosedur
layanan, peningkatan kualitas perilaku staf dan pimpinan instansi
dalam menyediakan pelayanan dan evaluasi kepuasan masyarakat.
Untuk tujuan yang sama, banyak negara melakukan
langkah-langkah reformasi manajemen pemenntah dengan
mendorong tanggung jawab pembuatan keputusan dari bawahan
71
{responsibilityJor decision making downward) meningkatkan
penggunaan sektor privat untuk memberi pelayanan publik dan
konsentrasi yang lebih besar pada kualitas pelayanan yang
diberikan kepada warga negara (citizen) sebagai pelanggan
{customer) (Kim, 1997 : 7). Sehingga pada gilirannya, standar
kinerja organisasi publik akan sama dnggi dengan standar kinerja
organisasi bisnis, bahkan dengan semakin tingginya tuntutan daiam
pelayanan publik, membuat administrasi publik bergerak lebih
“businesslike”.
Gore (1995 : 91) mengemukakan bahwa, "agar pemerintah
dapat berkompetisi di dalam sistem ekonomi global seperti sekarang
ini dimana konsumen adalah raja tidak seperti sistem ekonomi
domestik sekarang ini, dimana pengusaha adalah raja, maka
pemenntah harus berpaling dari budaya restriktif kepada budaya
responsif. (Hodge, 1996 : 6) mengatakan bahwa membuat daftar
perkembangan reformasi sektor publik antara lain dimulai dengan
pengukuran performance hudgel, masalah-masalah managerial,
masalah desentralisasi - sentralisasi, prtvatisasi, benchmarking, re-
engineering, reinventing govemment, hingga customer focus dan
customer service.
Pemerintah yang baik (Good government) menurut
pemahaman Gore (1995:92) adalah pemerintah yang digerakkan
oleh suatu kesadaran baru dan sikap responsif da-ri para pengguna
jasa (government is driven by a new awareness of and
responsiveness to customers).
72
Lebih lanjut Gore (1995 : 117) mengemukakan bahwa untuk
mengelola pemerintahan secara baik dan dapat memperkecil biaya
operasional pemerintah (cost of government) maka perlu
diperhatikan empat hal sebagai berikut:
a. Mereduksi ukuran dan jumlah lembaga pemerintah, program,
dan staf (downsizing).
b. Mempermudah prosedur (steaming}
c. Mereformasi lembaga-lembaga secara struktural agar dapat
menjalankan misinya dengan baik (re-structuring).
d. Melimpahkan fungsi kq5ada sektor swasta yang lebih piawai
{privatzing).
Menurut Savas (1986) penerapan konsep privatization dalam
suatu manajemen pemerintahan akan memunculkan butir implikasi
sebagai berikut:
a. Efficiency through competition
b. Equity
c. Public debt reduction
d. Wide share ownership
e. Employee share ownership
f. Strengthen the capital market
g. Ease public sector pay problems
h. Reduce govemment involvement in enterprise decision making
i. Protect the national interest
j. Political advantage.

73
Tentu sebagaimana banyak negara, Indonesia juga telah
dan sedang menerapkan program-program privatisasi.
Dikembangkannya kontrak manajemen seperti; BOT (Bw/d,
Operate, Tramfer), BTO (Bulld, Transfer, Operate), BOO (Build,
Operate, Owned), dan BOL (Build, Operate, Lease), merupakan
contoh-contoh varian privatisasi .
Pertimbangan filosofis yang mendorong pemerintah untuk
melancarkan kebijakan privatisasi sebenamya ialah karena
pemerintah tidak seharusnya mengerjakan hal ihwal bisnis. Jika
objeknya sungguh-sungguh tidak menyangkut hajat hidup orang
banyak (Suryawikarta, 1997 : 1). Jika demikian halnya, maka
pemerintah harus secara selektif mengidentifikasikan barang-barang
atau jasa-jasa apa yang dikatagorikan publik (public goods) dan
dikatagorikan swasta (private goods) (Sudarsono, 1996 : 41).
Bila barang dan jasa (goods and service) yang sebenamya
bercirikan swasta (private) masih juga diproduksi atau terlalu banyak
disubsidi oleh pemerintah, maka pertumbuh" an beban pemerintah
akan semakin tidak dapat dikendalikan, sehingga efisiensi dan
efektivitas dalam manajemen pemerintahan dengan sendirinya tidak
akan tercapai. Itulah sebabnya, di banyak negara dikembangkan
paradigma reinventing govemment dengan prinsip a smaller, better,
faster and cheaper govemment (Osbore dan Gaebler, 1992).
Kesemua upaya di atas pada intinya memfokuskan penataan
pemenntahan agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta
dan masyarakat luas, serta memngkatkan kualitas pelayanan publik.
74
Groonros (dalam Lovelock, 1988 : 9) menyebutkan bahwa
manajemen pelayanan yang efektif memerlukan perubahan fokus
dari menciptakan produk berkualitas dan daya manfaatnya, menjadi
kualitas keseluruhan serta daya manfaat yang meliputi setiap aspek
hubungan dengan pengguna jasa. (Vrye 1994 : 5) menyebutkan
bahwa "pelayanan yang baik merupakan bisnis yang
menguntungkan (good service is good business).
Pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka di era
globalisasi nanti, maka dorongan untuk membangun pemerintahan
yang digerakkan oleh pelanggan {building a customer driven
government) dengan semakin memperbaiki manajemen pelayanan,
semakin strategis dan menjadi vanabel penentu dalam
memenangkan kompetisi ini. Oleh karena itu, perlu adanya
perubahan perspektif manajemen pelayanan yang mengubah fokus
manajemen baik dalam perusahaan jasa maupun perusahaan
manufaktur.
Perubahan perspektif yang dimaksud, menurut Gronroos
(dalam Lovelock, 1988 : 10) adalah sebagai berikut:
a. Dari berdasarkan daya manfaat produk menjadi daya manfaat
total dalam hubungan dengan pengguna jasa. (jrom the product
based utility in (he customer relationship).
b. Dari transaksi jangka pendek menjadi hubugan Jangka panjang
(from short- from transaction to long from relationship).
c. Dari kualitas inti (baik barang maupun jasa) kualitas teknis dari
suatu produk pada kualitas yang diharapkan dan dipersepsikan
75
para pengguna jasa dalam mempertahankan hubungan dengan
pengguna jasa (from care product) {good or service) quality the
technical quality of the outcome to total customer perceived
quality in enduring customer relationship).
d. Dari menghasilkan solusi teknis sebagai proses kunci dalam
organisasi menjadi pengembangan daya manfaat dan kualitas
keseluruhan sebagai proses kuncinya. (jrom production of the
technical collection as the key process in the organization to
developing total utility and total quality as the key process).
Kualitas pelayanan (service quality) telah hampir menjadi
faktor yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu
organisasi birokrasi pemerintah maupun organisasi perusahaan.
Pelayanan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa
publik, sangat penting dalam npaya mewujudkan kekuasan
pengguna jasa publik {customer satisfaction).
Pada saat lingkungan bisnis bergerak ke suatu arah
persamgan yang semakin ketat
dan kompleks, dimana titik tolak strategi bersamg selalu diarahkan
kepada asumsi, bahwa kondisi pasar sudah bergeser dari “sellers
market" ke “buyers market” maka sebagai kata kuncinya menurut
Husaini (1994 : 3) adalah memenangkan persaingan pasar melalui
orientasi strategi pada manajemen pelayanan prima (excellent
service management).
Untuk mewujudkan kondisi sebagaimana disebutkan di atas,
dipcrlukan pemahaman terhadap faktor kunci ekstemal dengan cara:
76
a. Memulai mengenali dinamika customers need and wants;
b. Mengembangkan suatu kerangka pendekatan ke arah
pencapaian kepuasan pelanggan.
c. Pertemukan tujuan badan usaha dalam rangka pencapaian
kepuasan pelanggan (Husaini, 1994 : 3).
Faktor-faktor eksternal tersebut, perlu direspons setiap
pucuk pimpinan baik pimpinan dalam organisasi birokrasi mapun
perusahaan, dengan mengintegrasikan berbagai unsur atau elemen
guna menghasilkan produk layanan yang dapat memuaskan
penggunajasa, dimana pada intinya adalah perlunya perbaikan
kinerja organisasi yang berorientasikan pada keselunihan proses
untuk menciptakan “value to customer” yang terkait dengan aspek
mutu produk dan jasa, waktu pembuatan dan penyerahan (cycle
time), biaya yang rendah serta produktivitas yang sangat tinggi
(Husaini, 1994 : 4). Jika demikian halnya, maka pucuk pimpinan itu,
memiliki peranan sentral dalam meningkatkan kualitas pelayanan,
sehingga mainpu memberikan kepuasan kepada pelanggan.
Oleh karena itu, pucuk pimpinan dituntut memiliki visi
kebijakan dan strategi yang jelas. Kondisi demikian sebagaimana
terlihat dalam gambar berikut ini:

77
Gambar 1.
Proces Driven Improvement

Sumber: Husaini, Jurnal Ilmu Administrasi Nomor 3/Vol. II/Tahun


1994.

Jika demikian halnya, maka menempatkan konsumen pada


tingkat yang terhormat akan menjadi kekuatan penting dalam
memenangkan kompctisi di tingkat global. Dalam mengembangkan
organisasi yang berorientasi konsumen {customer oriented), maka
semua kegiatan harus berbasis pada kebutuhan dan keingman
pelanggan (customer needs and wants) dan persepsi konsumen
terhadap nilai dan mutu suatu produk (barang dan jasa) banyak
dipengaruhi oleh pelayanan prima sebagai atribut yang melekat
pada prodnk inti itu sendiri (Saragih, 1994:21).
Kotler (dalam Saragih, 1994 : 21) menyebutkan bahwa,
"konsumen masa depan mengumumkan proses yang lebih cepat,
profesionalisme dan praktis". Demikian halnya Lovelock (1992 : 47)
bukan hanya mengikuti kemajuan teknologi tetapi hendaknya lebih
banyak ditujukan sebagai jawaban atas permmtaan konsumen yang
78
menginginkan mformasi yang lebih baik, pelayanan yang lebih cepat
dan variasi penunjukan produk inti yang lebih memikat.
Dalam tingkat operasional, nienurut pandangan Saragih
(1994 : 22) akan menimbulkan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana fimgsi pelayanan konsumen ini diaktifkan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen.
b. Orang-orang dan sistem macam apa yang dibutuhkan imtuk
memenuhi kebutuhan konsumen.
c. Bagaimana mendesain suatu fungsi pelayanan yang baik serta
bagaimana menjalankannya secara efektif.
Solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalah
tersebut, adalah perlunya penyediaan pelayanan yang tepat, dan
konsisten pada saat dibutuhkan, dan pada gilirannya akan
menimbulkan rasa puas pada pemakai jasa (Normann, 1991 : 52).
Sedangkan Vrye (1994 : 48) menekankan kepada periimya manajer
pada organisasi jasa yang harus memahami dengan baik jenis-jenis
keluhan pengguna jasa.
Kesulitan mendapatkan pelayanan yang berkualitas akan
mengakibatkan munculnya take and give antara client atau
customer dan yang memberi pekerjaan (Silalahi, 1997:13). Jika hal
ini terjadi maka akan memunculkan adanya suap, sebab bagi orang-
orang yang membayar uang suap, kelambatan pelayanan dapat
diatasi dengan mudah. Kecepatan pekerjaan yang didasarkan atas
suatu imbalan kepada pejabat atau pegawai yang melayani mereka,

79
hanya akan mengakibatkan kurangnya rasa hormat pengguna jasa
terhadap organisasi.
Agar aktivitas dan pengambil keputusan lebih dekat dan
mengutamakan pelayanan pelanggan maka harus diciptakan
struktur organisasi yang apresiatif dan adaptif yakni struktur yang
lebih desentralisasi. Dengan demikian pemimpin yang berjiwa
wirausaha secara naluriah mencoba menjangkau pendekatan yang
terdesentrahsasi dengan mengarahkan banyak keputusan ke
“pinggiran" atau menekan otoritas keputusan yang lain ke “bawah"
dengan membuat hirarki menjadi datar (flat) dan memberi otoritas
kepada pegawainya (Osborne dan Gaebler, 1992 : 283).
Dalam konsep manajemen pelayanan, "memudahkan"
wewenang dengan tidak hanya sekedar mendelegasikan kepada
bawahan (Wellim, Byham, Wibon, 1991 22) hal mana dapat
meningkatkan customer service (Stewart, 1994 : 12). Secara
kelembagaan {institutions), upaya untuk mendekatkan pengambil
keputusan dengan pengguna jasa (customer) memang diperlukan
perubahan kelembagaan (institutional change) dan pembangunan
kelembagaan {institutional development). Oleh sebab itulah maka
perubahan struktur dari vertikal ke horizontal atau mengubah
stmktur "tall" mcnjadi struktur "flat”, yang oleh Osborne dan Gaebler
(1992 : 281) dikatakan sebagai "pemerintahan desentralisasi dari
hierarki maupun partisipasi dan tim kerja". Hal ini dimaksudkan
untuk mendekatkan jarak antara pengambil keputusan dengan

80
pelanggan yang oleh Stewart disebut sebagai “close to the
customer" (Stewart, 1994 : 7).
Dalam dunia sekarang, dimana informasi sebenamya tidak
terbatas, komunikasi antar daerah terpencil bisa mengalir seketika,
banyak pegawai negeri yang sudah terdidik,
dan kondisi telah berubah dengan kecepatan yang luar biasa,
sehingga tidak ada waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke
rantai komando dan keputusan untuk turun. Sebab itu dalam dunia
sekarang ini, sesuatu hanya akan berjalan lebih baik jika mereka
yang bekerja di organisasi publik memiliki otoritas untuk mengambil
keputusan sendiri (Osborne dan Gaebler, 1992 : 283).
Dengan demikian struktur yang didesentralisasi merupakan
suatu solusi yang mendekatkan pembuat keputusan publik dengan
pengguna jasa publik. Sehingga pada gilirannya berbagai tuntutan
penggima jasa publik akan lebih cepat dapat direspons. Adapun ciri-
ciri dan struktur yang didesentralisasi (flat) sebagaimana disebutkan
oleh Gomez dan kawan-kawan (1995 : 83) adalah sebagai berikut:
a. Decentralized management approach
b. Few levels of management
c. Horizontal career path that cross functions
d. Broadly defined jobs
e. Gcneral job description
f. Flexibel boundaries between jobs and units
g. Emphasis on team
h. Strong focus on the customer
81
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan
kualitas pelayanan (service quality) ialah pembagian keija atau
deferensiasi, Gordon (1993 : 498 - 504) menyebutkan bahwa:
a. Dalain ha) pembagian keija agar berdasarkan diferensiasi
horizontal yang menekankan diferensiasi personal.
b. Dalam hal option for coordination agar dikembangkan central
adjustment dengan slandardization of work process,
standardization of output dan standardization of skill.
c. Dalam hal information processing, agar didasarkan pada
organic structure yang memiliki a high information processing
yaitu kapasitas yang cepat dan akurat.
Dalam mengembangkan organisasi yang berorientasi kq)ada
konsumen {customer oriented), maka semua kegiatan harus
berbasis pada konsiderasi tentang kebutuhan dan keinginan
pengguna jasa, sebab dalam kesalahan dalam pengidentifikasian
kebutuhan dan harapan pengguna jasa akan menyebabkan
pelayanan menjadi ridak berarti dan sia-sia.
Hal-hal yang dapat dipergimakan untuk semakin memahami
kemginan penggima jasa adalah perlunya melakukan identifikasi
terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengguna jasa
(customer) dalam suatu organisasi. Lovelock (dalam Husaini. 1994 :
8) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna
Jasa (customer) itu adalah sebagai berikut:
a. Sarana dan fasilitas yang mendukung efisiensi dalarn kontak
dengan konsumen (presence of absence of intermediaries}.
82
b. Kualitas dan kuantitas kontak dengan konsumen (high contact
as low contact).
c. Konsumen yang dapat berupa individual buyers organisasi
(institutional vs individual purchase).
d. Lamanya proses layanan berikut karakteristik yang menyertai
layanan tersebut (duration of service delivery process).
e. Keterbatasan yang mungkin terdapat dalam pelayanan (capacity
contrained service).
f. Frekuensi dari penggunaan dan pembelian ulang (frequency at
use and repurchase).
g. Menyangkut sulit atau mudahnya pemberian dan penggunaan
oleh konsumen (frequency at use and repurchase}.
h. Menyangkut sulit atau mudahnya pemberian dan penggunaan
oleh konsumen (level of complexity).
i. Menyangkut tingkat resiko kegagalan yang mungkin terjadi
dalam pelayanan yang diberikan (degrees of risk).
Datangnya era pelayanan terbaik kepada pelanggan.
sangatlah relevan dengan prinsip pengembangan organisasi yakni
terwujudnya a smaller, better, faster and cheaper government, yang
menurut bahasa Osborne dan Gaebler agenda ini bertumpu pada
prinsip customer driven govemment. Instrumennya adalah
pembuktian model mental para birokrat untuk lebih suka melayani.
Model yang pertama, menempatkan pemimpin puncak birokrasi
berada pada paramida tertinggi dengan warga negara (customer}
berada pada posisi bawah. Sebaliknya, model yang kedua
83
menempatkan warga negara (customer) berada pada puncak
piramida dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling
bawah, dimana sasaran akhir dan pengembangan model ini, tidak
lain adalah dicapainya pelayanan terbaik kepada masyarakat
(Sudarsono, 1996 : 42).

Keterlibatan birokrasi publik dalam pelayanan publik di


samping menunjukkan manfaat dan keu-nggulan tertentu, sekaligus
juga menunjukkan kelemaliannya. Berbagai kritik dilontarkan kepada
birokrasi publik seperti boros, kaku, berbelit-belit dan semacamnya,
namun pada saat yang sama ia masih diperlukan karena mampu
melindungi kepentingan publik dan menciptakan keadilan. Adanya
upaya untuk mencoba masukkan prin-sip bisnis ke dalam sektor
publik melahirkan pola baru scperti kemitraan, customer focus dan
lain-Iain. Lahirnya orientasi baru ini menyebabkan kualitas layanan
tidak hanya diukur dan sudut kualitas produk, tetapi juga dilihat dan
sudut kualitas layanan. Akibat lebih lanjut persoalan pelayanan
publik meluas ke persoalan kemitraan. responsivitas. responsibilitas,
akuntabilitas, aksesibilitas dan lain-lain.

I. Bahan Bacaan
1. Barzelay, Michael 1992 Breaking Through Bureaucracy: A
New Vision For Managing Government. Berkeley,
Califomia ; University of Califomia Press.

84
2. Elliasen, Kjel and lan Kodiman 1993 Managing Public
Organization, London : Sage Publications
3. Flyn, Norman 1990 Public Sector Management Great
Britain : Mavester Wheat Sheaf
4. Hayes. Bob E 1998 Measuring Customer Satisfaction.
Survey Design, Use and Statistical Analysis Methods.
Milwaukee, Wisconsin : Asq Quality Press.
5. Hughes. Dwen E. 1994 Public Management and
Administration. An Introduction. Great Britain : The Mac
Millan Press.
6. Ingraham, Patricia and Barbara Romzek 1994 New
Paradigms For Govemment. Issues For The Changing
Public Service. Great Britain : The Mac Millan Press.
7. Lovelock, Christoper 1994 Product Plus : How Product
Service Competitive Advantge. New York : Mc Graw Hill.
8. Lane, Jan Erick 1995 Public Sector : Concepts, Models and
Approaches. California Sage Publications
9. Osborne, David and Ted GaeMer 1991 Reinventing
Govemment : How The Entrepreneurial Spirit is
Transforming The Public Sector. New York : Penguin
Book.
10. Osborne, David and Peter Plastrik 1997 Banishing
Bureaucracy : The Five Strategies For Reinventing
Government. New York : Addison - Wesley Publishing.
11. Savas, Es 1982 How To Shrink Government. Privatizing
The Public Sector. Chatam, New Jersey : Chatam House
Publisher.
12. Savas, Es 1987 Privatization. The Key To Better
Government Chatam, New Jersey : Chatam House
Publisher.
85
II. Pertanyaan Kunci
1. Sebutkan makna pelayanan publik.
2. Uraikan Hakikat Administrasi Pelayanan Publik
3. Jelaskan Ketertiban Birokrasi Publik Dalam Pelayanan
Publik
4. Uraikan konsep Administrasi Pelayanan Publik di
Indonesia.

86
BUDAYA BIROKRASI
PELAYANAN PUBLIK
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan budaya pelayanan publik.
2. Menguraikan hakikat teori pelayanan publik.
3. Menjelaskan budaya birokrasi pelayanan publik.
4. Menjelaskan efektivitas pelayanan publik.
5. Menguraikan tolak ukur kualitas pelayanan publik.

Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari latar belakang
diperlukannya pelayanan publik, unsur-unsur yang
87
membentuk pelayanan publik, klasifikasi dan sifat pelayanan
publik. Bagian selanjutnya akan menguraikan fungsi
pelayanan publik. Bagian akhir mendiskusikan tentang
hubungan pelayanan publik dengan masyarakat.

Pokok Bahasan

Hakikat Pelayanan Publik

A. Pengantar Budaya Pelayanan Publik

Ada indikasi ketidakberdayaan administrasi publik melalui


birokrasinya dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi
dan politik sudah dirasakan sejak lama. Kondisi semacam ini dalam
perdebatan administrasi negara sering disebut sebagai “Krisis
Identitas” yang mempertanyakan kecenderungan peran dan posisi
administrasi negara sebagai ilmu (science) ataukah sebagai praktek
(art). Kesan semacam ini didukung oleh adanya fakta tumpang
tindihnya antara posisi peran ilmu politik (ilmu pemerintahan) dan
ilmu ekonomi (ilmu manajemen) dengan ilmu administrasi dalam
praktekpraktek administrasi negara yang terkesan bersifat legal
formal, spesifik, bernuansa budaya sentris, sampai dengan
anggapan bahwa administrasi Negara tidak memiliki persyaratan
ilmiah dan teoritisasi yang sifatnya berlaku umum.
Oleh karena itu Robert Dahl (1947) menyarankan adanya
studi perbandingan administrasi negara (atau studi perbandingan

88
birokrasi) yang mampu melakukan terobosan, terutama dalam
menjawab tantangan-tantangan pembangunan yakni masalah
kemiskinan dan ketidak adilan sosial, terutama yang terjadi
dinegara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Produk
dari pemikiran ini, kemudian berkembang dan melahirkan paradigma
administrasi pembangunan (development administration paradigm)
yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Administrasi Pembangunan Asia
di Teheran (1966) yang bergerak dalam bidang penyempurnaan
administrasi negara di wilayah timur. Salah satu orientasinya adalah
bagaimana administrasi negara mampu mengembangkan dirinya
dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, terutama dalam
hal pelayanan publik yang dapat dipertanggung jawabkan
(responsebelity), memiliki daya tanggap yang kuat (responsivity) dan
mampu mewakili kepentingan masyarakat (representativity)
berdasar ketentuan hukum dan aturan yang berlaku dengan
pancaran hati nurani (akunity) . Oleh sebab itu, pergeseran
pemikiran administrasi semacam ini seharusnya tidak hanya
membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur, fungsi,
finansial dan personalia dari organisasi birokrasi itu saja, tetapi yang
lebih penting bagaimana perubahan struktur, fungsi, finansial dan
personalia organisasi birokrasi mampu diikuti oleh perubahan kultur
organisasi birokrasi dan perilaku manusia-manusia yang terlibat di
dalamnya. Apabila perubahan ini dapat terwujud, maka apa yang
diharapkan dalam orientasi efektivitas pelayanan publik, akan dapat
tercapai.
89
B. Hakikat Teori Pelayanan Publik
Jika pelayanan publik sebagai produk dari orientasi
pemikiran administrasi pembangunan, dan administrasi
pembangunan sebagai orientasi baru dari reformasi administrasi
negara; maka muncul pertanyaan, adakah teori khusus yang
berkaitan dengan pelayanan publik ?
Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar administrasi
negara pernah menyindir tentang keberadaan teori administrasi
negara ini. Menurut Caiden, administrasi negara itu terlalu banyak
teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat diberlakukan
secara umum dari administrasi negara. Hal yang bernada sama
pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel
Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan
dari teori administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas
metodologinya.
Dipihak lain, dalam beberapa literatur pelayanan publik lebih
dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992;
Munafe,1966; Djumara,1994; Hardjosoekarso, Kristiadi dan
Saragih,1994). Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga
dengan istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat),
pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima.
Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya
kerancuan ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana)

90
dan axiologis (untuk apa) dalam memperbincangkan teori yang
berkaitan dengan pelayanan publik ? Secara ideal, persyaratan teori
administrasi yang menyangkut pelayanan publik antara lain :
1. Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna
yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam
masyarakat (konteksual)
2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan
3. Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru
dalam situasi dan kondisi yang berbeda
4. Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan
dasar untuk mengembangkan teori administrasi lainnya,
khususnya pelayanan publik
5. Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena yang dihadapi
6. Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif)
Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel Heady
(1966) menyarankan adanya :
a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/
tradisional
b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan
kepada kepentingan pembangunan
c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-
model pengembangan
d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat
middle range theory.
91
Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan adanya
pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi
(khususnya yang berkaitan dengan pengamatan fenomena
pelayanan publik) dari :
(1) Pendekatan normatif ke pendekatan empiris
(2) Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik
(3) Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
(4) Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan
analogi).
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka diharapkan
studi administrasi
negara:
(a) Mampu menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat
menerobos batas-batas kebudayaan,
(b) Mampu membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-
hukum dan peraturan-peraturan yang ada sebagai landasan
perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan publik),
(c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data
dilapangan.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil apabila
administrasi negara ingin menemukan identitas teori-teori yang
berkaitan dengan pelayanan publik, maka perlu adanya kegiatan
studi komparatif administrasi negara dalam bidang pelayanan publik
dan meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan yang
berkaitan dengan proses perumusan kebijakan pelayanan publik,
92
proses implementasi pelayanan publik dan evaluasi produk
pelayanan publik.

C. Budaya Birokrasi Pelayanan Publik


Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya
organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik,
ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan
menciptakan budaya organisasi birokrasi ?
Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan
kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang
kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan
organisasi birokrasi yang dinamis.
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan
bersama tentang nilainilai bersama dalam kehidupan organisasi dan
mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (
Sondang P.Siagian,1995). Oleh karena itu budaya organisasi
birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas
normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-
bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan
gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi;
menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara
spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi

93
(birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap
organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi;
menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja
yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas
organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman
perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk
dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi)
terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi
(birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan
dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas
organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu
mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen
yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan
kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi
sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali
perilaku para anggota organisasi.
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi
(birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah
kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat
pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan
normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai
perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis
A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab
kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik
94
ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen
budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga
kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya
sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi
wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur
fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.
Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa
kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat
(birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang
terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat
hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat
fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang
modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis;
pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya
masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang
modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang
mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan
pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan
terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya
hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Masalahnya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa
ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini
harus dipahami ! ( Penulis, cenderung mengatakan bahwa
masyarakat Indonesia saat ini sudah memasuki era budaya
95
masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik yang
cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka).
Menurut Grabiel A.Almond (1960) proses perubahan
pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara
merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenagatenaga
kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan
secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai
kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara
dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu
menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang
benar,menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang
efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan
obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses
internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai
basis utamanya.

D. Efektivitas Pelayanan Publik

Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu


kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau
instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan
kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa

96
berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki
keaneka ragaman kepentingan dan tujuan.
Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan
oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka
organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan
yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-
pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik,
organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain.
Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting
adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan,
birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik
mencakup berbagai program-program pembangunan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam
kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut,
seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di
dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan
(termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi
kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat
menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
emerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif
97
yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri
(khususnya dalam hal elayanan publik). Oleh karena itu, guna
menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu
melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas
yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan
masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan
dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang
bercirikan rganisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang
mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani
dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas
yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem
dan prosedur erjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri
organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat,
terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya
dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan
publik dari pada ebagai agen pembaharu (change of agent )
pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri
dari birokrasi ang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi
birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel
dan responsif.
98
Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan publik
secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika
strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab,
dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah
mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh
masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan
pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi,
perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar
memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan
(competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency
atau coherency).

D. Tolak Ukur Kualitas Pelayanan Publik

Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur


birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat
antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara
organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang
ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan
keuangan
99
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada
level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan
Mencermati pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan
publik dapat digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan
publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan)
dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat
kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek
pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi
(pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan
yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan.
Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip
pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek
internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip Aksesitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat
dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan
(misal: masalah tempat, jarak dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus
secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan
kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses
pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses
pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar
memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan

100
kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan
instrumen pelayanan
(d) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada
akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien
serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi
pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(e) Prinsip Akunitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu
pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung
jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu
pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini,
pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81 Tahun
1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu
dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan
sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara
pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah,
lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan
mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan
kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan,
persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit
101
kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata
cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil
pelayanan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan
dan kepastian hukum bagi masyarakat
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara
pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab
pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib
diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya
dibatasi pada halhal yang berkaitan langsung dengan
pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan
keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif
pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan
memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan
masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan
pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang
merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat

102
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan
harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah
ditentukan.
Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan
publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi
peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan
perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan
publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan
dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu
pelayanan. Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat
memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani.
Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur
kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu :
(1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak
masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah
memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge),
(2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah
memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik
daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer
knowledge),
(3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan
lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang
diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer
knowledge), dan

103
(4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun
masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat
kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual
Ignorance).
Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara
lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur
tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif
seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred
Luthans, 1995). Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis
untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Statu misal Richard
M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan
dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain :
variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan,
variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik
kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya. Untuk
melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan
beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas
pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya
kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah,
tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah,
kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh
pemerintah

104
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat
mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi
dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara
pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-
tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali
tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah
ditentukan.
Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-
kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka
diperlukan adanya langkahlangkah strategis antara lain :
Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan
yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan
desentralistik demokratis; Kedua : Membentuk asosiasi/perserikatan
kerja dalam pelayanan publik; Ketiga: Meningkatkan keterlibatan
masyarakat, baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik,
proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring
dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat : Adanya
kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi
pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post
weberian); Kelima: Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang
efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam: Pentingnya faktor
aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi
aparat pelayanan publik; Ketujuh: Pentingnya perhatian terhadap
105
faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat
memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik;
Kedelapan: Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas
pelayanan publik; Kesembilan: Pentingnya faktor sarana phisik
pelayanan publik; Kesepuluh : Adanya saling pengertian dan
pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat
birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan
pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.
Secara teoritis, perubahan-perubahan komitmen dalam
organisasi akan ikuti oleh kegiatan pengembangan organisasi yang
langsung maupun tidak langsung merubah pula tradisi-tradisi
budaya kerja organisasi yang sudah ada. eterkaitan semacam ini
berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural,
fungsional, finansial, personalia, teknikal maupun perubahan-
perubahan dibidang fisikal (tata ruang pelayanan kerja) yang
memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut.
Perubahan dalam organisasi (birokrasi) apapun bentuknya
jika tidak dipersiapkan dengan matang justru kan menimbulkan
dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak positifnya
(Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik
perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut
saja, erubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur
organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan
disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and see)
106
sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan
struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan
kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial
dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat
sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur
keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal
ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud engan reformasi
administrasi (birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak
utonomous (murni).

I. Bahan Bacaan
1. Almond, Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas,
Princeton University ress.
2. Caiden, Gerald, 1986, Public Administration, dalam
MZ.Lawang, Pengantar Administrasi Negara, Universitas
Terbuka, Jakarta.
3. Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan
Pemerataan Akses pada elayanan Publik Indonesia,
Laporan Hasil Penelitian, Fisipol UGM, Yogyakarta.
4. ---------------------, 1995, Kebijaksanaan Pembinaan
Organisasi Publik Pada PJP I, Percikan Pemikiran Awal,
Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial Angkatan
III, Yogyakarta.
5. Hardjosoekarto, Sudarsono, 1994, Beberapa Perspektif
Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Nomor 3/Volume
II/September 1994, Universitas Indonesia.
107
6. Heady, Ferrel and Sybil l. Stokes (ed), 1962, Papers in
Comparative Public Administration, The University of
Michigan, Institute of Public Administration, Ann Arbor,
Michigan.
7. Islamy,M.Irfan, 1999, Reformasi Pelayanan Publik,
Makalah Pelatihan Strategi Pembangunan Sumber
Manusia Aparatur Pemerintah Daerah dalam Era
Globalisasi, di Kabupaten Daerah Tingkat II Trenggalek.
8. Kristiadi,JB, Revitalisasi Birokrasi dalam Meningkatkan
Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurna Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Nomer 3/Volume
II/September 1994, Universitas Indonesia.
9. Luthan, Fred, 1995, Organizational Behavior, Mc.Graw
Hill Interntional.
10. Moenir, H.AS, 1998, Manajemen Pelayanan Umum di
Indonesia, Cetakan III, Bumi Aksara, Jakarta.
11. Osborne.D and T.Gaebler, 1992, Reinventing Government;
How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The
Public Sector, Rending Mass:Addison-Wesley.
12. Riggs, Fred.W, 1964,Administration in Developing
Countries, The Theory of Prismatic Society, Houghton
Mifflin Company, Boston.
13. Rondinelli. DA. 1981, Government Decentralization in
Comparative Perspectivve: Theory and Practice in
Developing Countries, International Review of
Administrative Science, Volume XLVII, Number 2.
14. Robbins, Stephen.P, 1996, Perilaku Organisasi,
Prenhallindo, Jakarta.

108
15. Siffin,William J (ed), 1959, Toward Comparative Study of
Public Administration, Indiana University Press,
Bloomington, Indiana.
16. Siagian, Sondang P, 1995, Teori Pengembangan
Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta
17. Steer, Richard.M, 1985, Efektivitas Organisasi, cetakan II,
Erlangga, Jakarta.
18. Thoha, Miftah, 1983, Perilaku Organisasi, Fisipol UGM,
Rajawali Press, Jakarta.
19. Waters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage
Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.

II. Pertanyaan Kunci


1. Uraikan budaya pelayanan publik yang ada selama ini di
Indoensia.
2. Jelaskan hakikat teori pelayanan publik yang Anda
ketahui.
3. Uraikan tentang budaya birokrasi pelayanan publik.
4. Jelaskan hakikat efektivitas pelayanan publik.
5. Sebutkan tolak ukur kualitas pelayanan publik.

109
ETIKA DALAM
PELAYANAN PUBLIK
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan landasan etika pelayanan publik.
2. Menguraikan konsep etika pelayanan publik.
3. Menjelaskan hakikat pelayanan publik dan etika.
4. Menguraikan paradigma etika dalam pelayanan publik.
5. Menjelaskan etika birokrasi dalam pelayanan publik.
6. Menjelaskan pentingnya etika dalam pelayanan publik.

110
Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari landasan etika
pelayanan publik, konsep etika pelayanan publik, hakikat
pelayanan publik dan etika, serta paradigma etika dalam
pelayanan publik. Kemudian juga menjelaskan tentang etika
birokrasi dalam pelayanan publik serta menguraikan tentang
pentingnya etika dalam pelayanan publik pada bagian akhir
pembahasan.

Pokok Bahasan

Etika Dalam Pelayanan Publik

A. Landasan Etika Pelayanan Publik


Masalah tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia
kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di
negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan
dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah
moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan
dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang
pelayanan publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat
menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan
organisasi pelayanan publik itu sendiri.

111
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan
publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur
organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk
mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini,
pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap
fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor
telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas
kepentingan-kepentingan yang lain. Misalnya, dengan
menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum (six great ideas)
seperti nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan
(liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat
menilai apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam
penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan
orang dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan bohong atau tidak
dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan.
Dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau
etika sulit ditelusuri dan dipersoalkan karena adanya kebiasaan
masyarakat kita melarang orang “membuka rahasia” atau
mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu, kita juga
menghadapi tantangan ke depan semakin berat karena standard
penilaian etika pelayanan terus berubah sesuai perkembangan
paradigmanya. Dan secara substantif, kita juga tidak mudah
mencapai kedewasaan dan otonomi beretika karena penuh dengan
dilema. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran moral atau
etika dalam pelayanan publik di Indonesia akan terus meningkat.
112
Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan
moral yang menjadi landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka
untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan pegangan moral
itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah serta
mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun
kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak
mungkin dikesampingkan. Semua warganegara berkepentingan
dengan etika.
Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik
memiliki kewenangan bebas untuk bertindak dalam rangka
memberikan pelayanan umum serta menciptakan kesejahteraan
masyarakat Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan
regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan
masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik.
Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi
perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar
perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka
ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari
suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis
terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak
dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya,
sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh
masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi
etis dan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu kebijakan
publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benar – salah,
113
tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik –
buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum
tentu baik secara moral dan etis.
Dalam wacana kebijakan publik, telah lama didengungkan
akan makna pentingnya orientasi pada pelayanan publik. Titik
fokusnya pun terarah pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
publik, bukan pada si pembuat kebijakan tersebut. Namun demikian
semakin dikaji dan ditelaah kedalaman makna dari konsepsi
pelayanan publik tersebut, maka dalam dunia nyata semakin jauh
makna hakiki dari pelayanan publik tersebut diimplementasikan
secara tepat.
Organisasi publik (pemerintah) sebagai institusi yang
membawa misi pelayanan publik, akhir-akhir ini semakin gencar
mengkampanyekan dan saling berlomba untuk memberikan dan
mengimplementasikan makna hakiki dari pelayanan publik tersebut,
namun demikian di dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan
yang diinginkan. Secara umum ada dua hal yang sangat berperan
bagi organisasi pemerintah (birokrasi) di dalam
mengimplementasikan konsepsi mengenai pelayanan publik
tersebut. Yang pertama adalah faktor komitmen untuk
melaksanakan kebijakan yang sudah ada. Disini birokrasi dituntut
untuk mempunyai komitmen yang jelas melalui visi dan misi
organisasi untuk melaksanakan fungsi pelayanan dengan baik.
Yang kedua adalah faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang
menjalankan fungsi pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang
114
menjalankan fungsi pelayanan harus mengacu pada komitmen
organisasional yang telah dituangkan di dalam visi dan misi
organisasi tersebut. Jika kedua hal tersebut dijadikan sebagai acuan
di dalam pelaksanaan fungsi pelayanan, maka akan membentuk
suatu etika yang dijadikan sebagai pedoman di dalam setiap
perilaku birokrat untuk melaksanakan tugasnya dengan sepenuh
hati.
Isu tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di
Indonesia selama ini kurang dibahas secara luas dan tuntas
sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari
bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di
Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai
elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik.
Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi
publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat
menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan
organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan
publik, mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur
organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk
mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini,
pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap
fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor
telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas
kepentingan-kepentingan yang lain. Misalnya, dengan
115
menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum, seperti nilai
kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty),
kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat menilai
apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan
kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit
dan jabatan yang tersedia, dan bohong atau tidak dalam
melaporkan hasil manajemen pelayanan.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan
semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka
telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi
pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran
paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada
aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi
paradigma good governance yang tidak hanya berfokus pada
kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan
seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak
swasta dan masyarakat (publik) secara keseluruhan.
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan
adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus
dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki
“tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan
ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya,
dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal,
kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan
116
atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi
bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti
selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan
pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih
tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat
pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”
dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi
dalam beretika”.

B. Konsep Etika Pelayanan Publik


Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan
beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang
adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar
Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga
mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
karangan Purwadarminta, etika dirumuskan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
117
dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu (1) etika
sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) etika sebagai
kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode
etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang
acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan
pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of Philosophy yang
menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules
of conduct, (Denhardt, 1988).
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah
tentang pembedaan atas konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih
menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri – yaitu apakah
suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan.
Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu
dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau
berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam
kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang
lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut
kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain.
Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan
118
simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung
berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap
bathin.
Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit,
pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa
kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun
melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan
jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat
dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan
publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat.
Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi,
keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan
pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik
bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang
memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah
yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi
harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public
service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas
nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (J.L.Perry,
1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan
kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy
119
making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan
untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana
pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan
beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang
adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar
Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga
mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1)
sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai
kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode

120
etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang
acapkali disebut “filsafat moral”.
Pemikiran tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan
publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya
Leys (dalam Keban, 1994). Leys mengatakan bahwa seorang
administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan
standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan
dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan
dan tradisi yang sudah ada.
Pada sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola
pemikiran baru melalui karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk
menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam
pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu point baru,
bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan
tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari
masyarakat yang dilayani.
Kemudian pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran
baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang
menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin
mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu
administrator harus mampu memahami perkembangan dan
bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting
yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika
administrator publik, dua diantaranya seperti yang dikatakan oleh
121
Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr
menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms
yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar
pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan
dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka
administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical).
Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive
reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan
bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang
sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam
pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper bahwa administrator
yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung
jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan
standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan
administrasi.

C. Hakikat Pelayanan Publik dan Etika


Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu
tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik
diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan
swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan
masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih
menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui
122
suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat
sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan,
pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi,
bank, dsb. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang
dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang
terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik
yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik,
kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public
service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas
nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (Perry, 1989).
Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada
bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy
making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan
untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana
pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Buku Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988)
merupakan contoh dari pandangan ini, dimana pelayanan publik
identik dengan administrasi publik yang merupakan bagian dari
manajemen ilmu pemerintahan.
Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat
dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules of
conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi
oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik.
123
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas, maka yang
dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek
administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery
system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules
of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang
harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.

D. Paradigma Etika dalam Pelayanan Publik


Menurut Fadillah (2001) etika pelayanan publik adalah suatu
cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-
kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau
norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.
Oleh sebab itu maka etika mempersoalkan ”baik-buruk”, dan bukan
”benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam
berhubungan dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun
organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam
praktek administrasi publik.
Dalam paradigma ”dikotomi politik dan administrasi”
sebagaimana dijelaskan oleh Wilson (dalam Widodo, 2001)
menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda,
yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan
(public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan
negara, dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.
124
Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik
berada pada kekuasaan politik (political master), dan melaksanakan
kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi publik.
Namun karena administrasi publik dalam menjalankan kebijakan
politik tadi memiliki kewenangan secara umum disebut ”discretionary
power”, keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik
dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan,
apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan
itu digunakan secara ”baik dan tidak secara buruk” ? Atas dasar
inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat
dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus
dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik,
dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku
aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan tersebut dapat
dikatakan baik atau buruk.
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan
administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator
sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika
memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan
menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-
an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para
administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan
publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian
khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para
birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator
125
atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian
kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya,
tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya
terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995).
Hummel (dalam Widodo, 2001) mengatakan bahwa birokrasi
sebagai bentuk organisasi yang ideal telah merusak dirinya dan
masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nilai-nilai dan etika
yang berpusat pada manusia. Sementara itu Kartasasmita (1997)
mengatakan bahwa birokrasi melenceng dari keadaan yang
seharusnya. Birokrasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan
bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam
bekerjanya birokrasi publik.
Sementara itu pemahaman mengenai pelayanan publik yang
disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat
birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga
maksud dari pelayanan publik adalah demi mensejahterakan
masyarakat. Dalam kaitan itu maka Widodo (2001) mengartikan
pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan
orang banyak atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada
organisasi publik sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang
telah ditentukan.
Sehubungan dengan hal tersebut Thoha (1998) mengatakan
bahwa kondisi masyarakat saat ini terjadi suatu perkembangan yang
sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik
merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat.
126
Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi
hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin
berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya
kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani
untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh
pemerintah.
Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi
publik dituntut mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dala
memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan
memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka
menggunakan pendekatan kkuasaan berubah menjadi suka
menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis,
dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang
realistik pragmatis (Thoha, 1998).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas
aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih
profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat
waktu, reponsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas
manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan
masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri
(Effendi, 1989).
Selanjutnya pelayanan publik yang profesional adalah
pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan
responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah
127
(Widodo, 2001). Ciri-cirinya adalah : (1) efektif, lebih mengutamakan
pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran; (2)
sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit,
mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang
meminta pelayanan; (3) kejelasan dan kepastian (transparan),
mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : (a)
prosedur dan tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik
teknis maupun administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang
berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;
(d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan
(e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan; (4) keterbukaan,
mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu
penyelesaian, rincian biaya serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah
diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak;
(5) efisiensi, mengandung arti : (a) persyaratan pelayanan hanya
dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian
sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan
antara persyaratan dengan produk layanan yang berkaitan; (b)
dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait; (6) ketepatan waktu,
kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah
128
ditentukan; (7) responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan
cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam
aspirasi masyarakat yang dilayani; dan (8) adaptif, adalah cepat
menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan
aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami
perkembangan.

E. Etika Birokrasi dalam Pelayanan Publik


Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan
bahwa etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik
untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa
yang harus dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu
perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya
sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap
adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan
politik dan memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana
publik senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras
dengan kedudukannya. Birokrasi merupakan sebuah sistem, yang
dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk terus berbuat
bertambah baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big
bureaucracy, giant bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada
nilai-nilai etika. Dengan demikian maka etika (termasuk etika
birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama sebagai pedoman,
acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam
129
menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam
organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua, etika
birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan
tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat
digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah
: (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2) membedakan
milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan
untuk kepentingan pribadi; (3) impersonal, maksudnya dalam
melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan
lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara
formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk
menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan
yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi
dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan; (4)
merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi
pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai
tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude),
kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga
menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system
130
(adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini adalah berkaitan
dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya; (6) accountable, nilai ini merupakan
tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi dikatakan
akun bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat
mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap dan
sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan
yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang
menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan
dapat memberikan kepuasan publik); (7) responsiveness, artinya
birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah
dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha
memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu atau memperpanjang
alur pelayanan.
Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana
digambarkan di atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-
nilai etika birokrasi tersebut telah dijadikan sebagai norma serta
diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam melaksanakan tugas
da kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah timbulnya
tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk
penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada
lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula
bahwa etika birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi
perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang lebih penting adalah
kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku
131
(manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk
keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu
birokrat sangat berperan dalam membentuk perilakunya. Dengan
adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap individu maka akan
dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakan-
tindakan mal-administrasi (penyelewengan).
Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di
Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum
dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih
belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode
etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika
moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang
diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah,
namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi
peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan
kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi
sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau
pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah
bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai
tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan
penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian
dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan
perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah
memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya,
132
kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat
sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode
etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah
kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public
Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat
kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang
dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas,
kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik
diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan
profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas,
dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan
publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program
affirmative action.

F. Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik


Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan
antara administrasi dan politik (dikotomi) menunjukan bahwa
administrator harus sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh
politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik
bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada
tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada
keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik
133
atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan
perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh
para birokrat pemerintahan.
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat
pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria
efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi
juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap
public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan
mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah
adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi
oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung
jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini
pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan
harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa
mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak
memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara
memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak
yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau
masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan
bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan
struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat
atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
“independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak
ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan
134
lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu
sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek
kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah
disampaikan oleh Denhardt. Dalam literatur tentang aliran human
relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus
bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota
organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian
terhadap manusia (concern for people) dan pengembangannya
sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan
dan pengembangan kelembagaan.
Alasan berikutnya berkenaan dengan karakteristik
masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga
membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri
dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan
pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara
etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidak adilan, dimana
calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang
relatif lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam hal ini
merupakan terobosan yang bernada etika karena akan memberi
ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya,
dsb untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini
merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh
seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice –as –
fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi
kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila
135
hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang,
dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak
beruntung.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah
satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah
peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar.
Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan,
atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan
dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai
cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri.
Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi
pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan
keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan
publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan
kode etik atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pemberian
pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan
etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas
kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan
struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap
kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang
penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu
136
nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akun,
tidak adil, dsb.
Tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika
ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya
pemerintahan Indonesia. Alasan utama yang menimbulkan tragedi
tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan
perundang-undangan, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial
budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang
kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan,
kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan
moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak
menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu
sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di
masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka
proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada
disintegrasi bangsa.
Dibutuhkan Kode Etik dalam pelayanan publik. Kode etik
pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi
seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk
profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan
bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah
memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada
sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera.
Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan
kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan
137
untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik
itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku
para pegawai atau pejabat dalam bekerja.
Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode
etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat
implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian
implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan
atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki
kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran
beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga
banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik.
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik
aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public
Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat
kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang
dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas,
kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik
diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan
profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas,
dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan
publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program
affirmative action.
138
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia,
seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas.
Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus
mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena
dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi
norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima
norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak
seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog
menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.
Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya
kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan
mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada,
bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang
sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih
membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi
otonomi beretika.
Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk
mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks
atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau
suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan
dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang
sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam
organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh
karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada

139
dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk
diterapkan.

I. Bahan Bacaan
1. Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
2. Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service.
Westport, Connecticut: Greenwood Press.
3. Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public
Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-
Hall International, Inc.
4. Perry, James L. 1989. Handbook of Public
Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass Limited.
5. Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing
Public Administration. New York, N.Y.:
Longman.http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika
-dalam-pelayanan-publik.html

II. Pertanyaan Kunci


1. Sebutkan hal apa saja yang menjadi landasan etika
pelayanan publik.
2. Uraikan konsep etika pelayanan publik.
3. Sebutkan apa saja hakikat pelayanan publik dan etika.
4. Jelaskan paradigma etika dalam pelayanan publik yang
Anda ketahui.

140
5. Uraikan pengertian dan unsur-unsur dari etika birokrasi
dalam pelayanan publik.
6. Sebutkan mengapa pentingnya etika dalam pelayanan
publik.

141
OPTIMALISASI
PELAYANAN PUBLIK
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pelayanan publik dalam pespektif
mewirausahakan birokrasi.
2. Menjelaskan tentang reinventing government dan
optimalisasi pelayanan

Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari pelayanan publik
dalam pespektif mewirausahakan birokrasi serta mendalami

142
tentang reinventing government terkait dengan optimalisasi
pelayanan.

Pokok Bahasan

Optimalisasi Pelayanan Publik


(Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler)

A. Pengantar
Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah.
Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam
World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance
and Desentralization Survey (GDS) 2002 .
Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di
lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. GDS 2002
menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya
diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat
dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik,
etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun
telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan
keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi.
Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan.
Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab
143
para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya
tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan
kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan
konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidak
pastian tadi.
Memang melakukan optimalisasi pelayanan publik yang
dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah
seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat
pembaharuan tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah
membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara
beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif
yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial
dahulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam
birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai
warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur
pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan,
tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga
sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit. Tidak hanya itu, mulai
masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS (ambtennar) merupakan
jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik,
khususnya jawa, sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik
(public servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk
direalisasikan. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja
(pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan)
144
untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang
menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan siap untuk
melayani. Di samping itu, kendala infrastruktur organisasi yang
belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Hal ini
terbukti dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur-
prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar
kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku
konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan
publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada
masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun
sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar.
Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak
semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada
masyarakat. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini penulis ingin
mengulas tentang teori yang digagas oleh David Osborne dan Ted
Gaebler dalam bukunya Reinventing Government untuk dijadikan
sebagai solusi alternatif dalam melakukan optimalisasi pelayanan
publik birokrasi dunia peradilan. Teori ini sudah terbukti mampu
menjadi solusi atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di
pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap
pemerintah di penghujung tahun 1980-an.

145
B. Reinventing Government dan Optimalisasi Pelayanan

Sebenarnya perdebatan mengenai optimalisasi pelayanan


publik oleh pemerintah telah lama berkembang dalam studi
administrasi publik. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah
terjadi dikalangan para pakar mengenai cara untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan efisien, tanggap, dan akun. Masing-
masing pakar memaparkan teori dan atau membantah dan
memperbaiki teori yang ada sebelumnya. Teori yang mapan menjadi
paradigma dan di"mitos"kan, kemudian muncul teori baru untuk
mendemistifikasi teori yang mapan tersebut.
Teori Reinventing Government yang tergolong pada The
New Public Management merupakan demistifikasi atas The Old
Public Management. Dan sebenarnya sekarang telah muncul
demistifikasi atas The New public Management dengan munculnya
konsep The New Public service.
Para ilmuwan politik, misalnya, telah memperdebatkan
kemungkinan mengembangkan good government dan
representative government, sejak awal abad 20an. Bahkan tidak
hanya itu, Woodrow Wilson pada tahun 1887 dalam The Study of
Administration telah mengemukakan konsep dikotomi politik dan
administrasi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien. Selain
Wilson, ada Max weber (1922) dengan teori The Ideal Type of
Bureucracy, Luther gullick (1937) dengan konsep POSDCORB,
146
Frank J. Goodnow (1900) dengan konsepnya yang tertuang dalam
makalahnya Politics and Administration, Frederick W. Taylor (1912)
dengan konsepnya Scientific Management, Herbert A. Simon (1946)
dengan konsepnya The Proverbs of Administration dan masih
banyak lagi yang ikut memberikan kontribusi konsep dan teori dalam
optimalisasi pelayanan publik.
Sedangkan gagasan Reinventing Government yang
dicetuskan oleh David osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah
gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsep-
konsep dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan
publik. Gagasan David Osborne dan Ted Gaebler tentang
Reinventing Government tertuang dalam karyanya yang berjudul
Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun
1992 dan Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for
Reinventing Government, buku terakhir ini ditulis oleh David
Osborne dan Peter Plastik yang dipublikasikan pada tahun 1997.
Gagasan ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik
yang terjadi di pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis
kepercayaan terhadap pemerintah. Bahkan di penghujung tahun
1980-an, majalah Time pada sampul mukanya menanyakan: "Sudah
Matikah Pemerintahan?". Di awal tahun 1990-an, jawaban yang
muncul bagi kebanyakan orang Amerika adalah "Ya".
Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya
kualitas pendidikan, sekolah-sekolah di negeri AS adalah yang
147
terburuk di antara negara-negara maju. Sistem pemeliharaan
kesehatan tidak terkendali. Pengadilan dan rumah tahanan begitu
sesak, sehingga banyak narapidana menjadi bebas. Banyak kota
dan negara bagian yang dibanggakan pailit dengan defisit multi-
milyaran dolar sehingga ribuan pekerja diberhentikan dari kerja.
Gagasan-gagasan Osborne dan Gaebler tentang
Reinventing Government mencakup 10 prinsip untuk
mewirausahakan birokrasi. Adapun 10 prinsip tersebut adalah:
Pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang
mengayuh. Artinya, jika pemerintahan diibaratkan sebagai perahu,
maka peran pemerintah seharusnya sebagai pengemudi yang
mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang
mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah
entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan
kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan
oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan (mengayuh). Cara ini
membiarkan pemerintah beroperasi sebagai seorang pembeli yang
terampil, mendongkrak berbagai produsen dengan cara yang dapat
mencapai sasaran kebijakannya. Wakil-wakil pemerintah tetap
sebagai produsen jasa dalam banyak hal, meskipun mereka sering
harus bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak
istimewa. Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari
organisasi manajemen yang menentukan kebijakan. Upaya
mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi
dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling
148
bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Upaya mengayuh
membutuhkan orang yang secara-sungguh-sungguh memfokuskan
pada satu misi dan melakukannya dengan baik.
Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang
ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang
berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari
rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi
mereka.
Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan
menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan
masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial,
untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri.
Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim
partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan
menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah
milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong kepemilikan dan kontrol
ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir.
Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan
telah terpenuhi.
Ketiga, pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan
persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha
memberikan seluruh pelayanan tidak hanya menyebabkan risorsis
pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan
pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi
149
kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya
mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik
yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus
mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat,
swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan
publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung
jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih
inovatif. Diantara keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah
efisiensi yang lebih besar sehingga mendatangkan lebih banyak
uang, kompetisi memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk
merespon segala kebutuhan pelanggannya, kompetisi menghargai
inovasi, dan kompetisi membangkitkan rasa harga diri dan
semangat juang pegawai negeri.
Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi:
mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Artinya,
pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak
efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-
tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi
sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih efektif dan
efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai
tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem
anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada
karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut. Di antara
keunggulan pemerintah yang digerakkan oleh misi adalah lebih
efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan lebih
150
mempuyai semangat yang tinggi ketimbang pemerintahan yang
digerakkan oleh aturan.
Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai
hasil, bukan masukan. Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah
dibiayai berdasarkan masukan (income), maka sedikit sekali alasan
mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik.
Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan hasil (outcome), mereka
menjadi obsesif pada prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan,
misalnya, seharusnya didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan
pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas. Karena tidak
mengukur hasil, pemerintahan-pemerintahan yang birokratis jarang
sekali mencapai keberhasilan. Mereka lebih banyak mengeluarkan
untuk pendidikan negeri, namun nilai tes dan angka putus sekolah
nyaris tidak berubah. Mereka mengeluarkan lebih banyak untuk
polisi dan penjara, namun angka kejahatan terus meningkat.
Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi
kebutuhan pelanggan, bukan boirokrasi. Artinya, pemerintah harus
belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak fokus dan perhatian pada
pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan puas dengan
pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah
harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus
diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan
secara cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan,
kelompok fokus dan berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat
birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika
151
melayani warga masyarakat yang datang keistansinya. Tradisi ini
harus diubah dengan menghargai mereka sebagai warga negara
yang berdaulat dan harus diperlakukan dengan baik dan wajar. Di
antara keunggulan sistem berorientasi pada pelanggan adalah
memaksa pemberi jasa untuk bertanggung jawab kepada
pelanggannya, mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan pemberi
jasa, merangsang lebih banyak inovasi, memberi kesempatan
kepada warga untuk memilih di antara berbagai macam pelayanan,
tidak boros karena pasokan disesuaikan dengan permintaan,
mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen, dan
menciptakan peluang lebih besar bagi keadilan.
Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang
membelanjakan. Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami
masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan
keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan.
Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik,
pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan
program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit
tersebut. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia
publik, sebagai contoh menetapkan biaya untuk public service dan
dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inoasi-
inovasi di bidang pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini,
pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil,
meski dalam situasi keuangan yang sulit.

152
Kedelapan, pemerintahan antisipatif: mencegah daripada
mengobati. Artinya, pemerintahan tradisional yang birokratis
memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah.
Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan
kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih
banyak polisi. Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih
banyak truk pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini
harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada
pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air
kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan,
untuk mencegah kebakaran. Pola pencegahan (preventif) harus
dikedepankan dari pada pengobatan mengingat persoalan-
persoalan publik saat ini semakin kompleks, jika tidak diubah (masih
berorientasi pada pengobatan) maka pemerintah akan kehilangan
kapasitasnya untuk memberikan respon atas masalah-masalah
publik yang muncul.
Kesembilan, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki
menuju partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih
primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan pekerja
publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat
diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi
sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi antar daerah
yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang
terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa,
maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan. Tak
153
ada waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando
dan keputusan untuk turun. Beban keputusan harus dibagi kepada
lebih banyak orang, yang memungkinkan keputusan dibuat "ke
bawah" atau pada "pinggiran" ketimbang menngonsentrasikannya
pada pusat atau level atas. Kerjasama antara sektor pemerintah,
sektor bisnis dan sektor civil socity perlu digalakkan untuk
membentuk tim kerja dalam pelayanan publik.
Dan prinsip yang kesepuluh adalah pemerintahan
berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya,
daripada beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa
tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi
sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar
yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan entrepreneur
merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan
tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih
kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang
memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari
hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah
membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan
efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang
sama.
Dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik, 10
prinsip di atas seharusnya dijalankan oleh pemerintah sekaligus,
dikumpulkan semua menjadi satu dalam sistem pemerintahan,
sehingga pelayanan publik yang dilakukan bisa berjalan lebih
154
optimal dan maksimal. 10 prinsip tersebut bertujuan untuk
menciptakan organisasi pelayanan publik yang smaller (kecil,
efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif) cheaper (operasionalnya
murah) dan kompetitif. Dengan demikian, pelayanan publik oleh
birokrasi kita bisa menjadi lebih optimal dan akun.
Patologi birokrasi, seperti pungli, korupsi, kolusi, nepotisme,
diskriminasi pelayanan, proseduralisme dan berbagai macam
kegiatan yang tidak efektif dan efisien, telah mengakibatkan
terpuruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintahan kita.
Buruknya pelayanan publik tidak hanya pada masa orde baru yang
sentralistik, tapi juga masih menggurita pada masa sekarang
sebagaimana hasil penelitian dan penilaian Bank Dunia yang
dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan Governance
and Desentralization Survey (GDS) 2002 di atas. Reinventing
Government yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler
menemukan titik relevansinya dalam konteks optimalisasi pelayanan
publik. 10 prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah
seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh,
memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan
(kompetisi) dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi
bukan peraturan, berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan
(income), berorientasi pada pelanggan bukan pada birokrasi,
menghasilkan ketimbang membelanjakan, mencegah ketimbang
mengobati, desentralisasi dan pemerintah berorientasi pasar,
seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan
155
pelayanan publik kepada masyarakat. Pelaksanaan 10 prinsip
Reinventing Government, tentu harus disesuaikan dengan sosio-
kultur kita, bisa menjadi solusi alternatif yang efektif untuk
menghilangkan patologi-patologi birokrasi peradilan kita selama ini.

I. Bahan Bacaan
1. David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan
Birokrasi, terj. Abdul Rasyid, Jakarta: Pustaka Binaman
Pressindo, 1996.
2. David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi:
Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj.
Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000.
3. Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New
Public Service: Serving, not Steering, New York: ANSI,
2002.
4. Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classics of Public
Administration, USA: Harcourt Brace & company, 1978.
5. John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty, Consideration
on Representative Government, Vermont: Everyman, 1993.
6. Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari “Reformasi
Pelayanan Publik: Apa yang Harus Dilakukan?” dalam
Policy Brief, No. II/PB/2003.
7. Agus Dwiyanto, dkk., Reformasi Tata Pemerintahan dan
Otonomi Daerah, Yogayakarta: PSKK-UGM,
2003.Kompas, 23 September 2003.
8. -----, “Pemerintahan yang Efisien, Tanggap, dan Akun:
Kontrol atau Etika?” dalam Jurnal Kebijakan dan

156
Administrasi Publik (JKAP), Yogyakarta: MAP UGM,
Vol. I, No.2 , Juli 1997.
9. Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Negara, Jakarta:
Rajawali Press, cet. keVIII, 2003. Inu Kencana Syafi’I,
dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta,
1999.

II. Pertanyaan Kunci


1. Uraikan tentang konsep reinventing government.
2. Uraikan tentang prinsip reinventing government.
3. Jelaskan tentang keterkaitan antara reinventing
government dan optimalisasi pelayanan.

157
PELAYANAN PUBLIK
DAN
GOOD GOVERNANCE
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat :
1. Menjelaskan hakikat good governance dan pelayanan
publik.
2. Menjelaskan dimensi keadilan dalam pelayanan publik.
3. Menjelaskan pemberdayaan pengguna pelayanan publik.

158
Deskripsi Singkat
Dalam buku ini Anda akan mempelajari hakikat good
governance dan pelayanan publik, dimensi keadilan dalam
pelayanan publik serta pemberdayaan pengguna pelayanan
public.

Pokok Bahasan

Pelayanan Publik dan Good Governance

A. Pengantar
Reformasi pelayanan publik (public service reform) menjadi
hal penting saat ini karena, pertama, bahwa masyarakat di segala
penjuru dunia (di Negara Industri dan di Dunia Ketiga) sedang
mengalami perubahan besar-besaran akibat proses globalisasi
atau internasionalisasi di bidang politik, ekonomi dan teknologi.
Dampak perubahan itu pada sektor penelitian sungguh dramatis.
Sejak pertengahan dasa warsa 1970-an (dan menurut para
pakar agaknya akan terus berlangsung di abad 21) sebenamya
telah terjadi apa yang disebut "krisis kemampuan memerintah"
(governability crisis) dari pemerintahan di berbagai belahan dunia.
Sejak saat itu, persoalan ini oleh para teoritisi telah diangkat sebagai
sebuah agenda intemasional penting yang perlu mendapatkan
159
solusi. Dalam pemahaman teori Governance teori yang mencoba
menjelaskan secara makro proses-proses perubahan dalam
kepemerintahan, krisis ini disebabkan oleh masih kuatnya hegemoni
negara, ditandai oleh dominannya pengaruh negara atas segala
aspek kehidupan, termasuk urusan pelayanan publik (yang dari
waktu ke waktu semakin kompleks).
Akibatnya, negara terjebak dalam situasi dilematis, menjadi
terlalu besar untuk urusan-urusan kecil, menjadi terlalu kecil untuk
urusan-urusan yang besar. Akar persoalannya, masih menurut teori
Governance, terletak pada model pemerintahan yang kini berlaku,
dengan ciri khasnya antara lain, struktur yang vertikal, birokrasi yang
kental dan wataknya yang intervensions. Model pemerintahan
(tradisional) seperti ini temyata tidak mampu mengadaptasikan
dirinya dengan lingkungan ekonomi, sosial dan kultural yang sedang
mengalami perubahan yang cepat.
Menghadapi situasi semacam itulah amat diperlukan
keputusan politik dari pihak negara/pemerintah untuk secara serius
dan konsisten mereformasi model pengorganisasian pelayanan
publiknya. Dengan meminjam konsep Grindle dan Thomas (1991:4),
kebijakan (policy) reformasi pelayanan publik itu haruslah diarahkan
untuk mencermati dan membenahi berbagai kesalahan kebijakan di
masa lalu maupun kebijakan yang berlaku sekarang serta
mekanisme pengaturan kelembagaan yang ada. Lebih spesifik,
reformasi pelayanan publik itu harus menjangkau pula perubahan
yang mendasar dalam rutinitas kerja administrasi, budaya birokrasi,
160
dan prosedur kerja instansi/departemen guna memungkinkan
dikembangkannya kepemimpinan yang berwatak kewirausahaan
pada birokrasi publik (Schaehter, 1995: 534). Kedua, ramifikasi
persoalan sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi di masa depan
menyebabkan pilihan kita dalam penyelenggaraan pemerintahan
bukan lagi pemerintah yang "banyak memerintah" atau pemerintah
yang "sedikit memerintah" atau sekedar "pemerintahan yang baik
(better government) sebagaimana pernah dikatakan oleh dua tokoh
Reinventing Government, Osborne dan Gaebler (1992). Yang kita
butuhkan di masa depan adalah pemerintah yang benar-benar
mampu memerintah (capable government).
Dengan mempertimbangkan isu-isu sentral tadi, dan kita bawa
dalam konteks pelayanan publik, maka kata kuncinya ialah
kemampuan pemerintah mengatur penyediaan beragam pelayanan
publik yang responsif, kompetitif dan berkualitas kepada rakyatnya
(Abdul Wahab, 1998: 4). Tuntutan politik yang berkembang di arus
global sejak dasawarsa 1980-an memang menunjukkan bahwa
pemberian pelayanan publik yang semakin baik pada sebagian
besar rakyat merupakan salah satu tolok ukur bagi legitimasi
kredibilitas dan sekaligus kapasitas politik pemerintah di mana pun
(Abdul Wahab, 1999). Sayang, tuntutan politik ini seringkali tak bisa
diwujudkan oleh negara, melalui birokrasi pemerintah.
Karena itu diperlukan refleksi kritis untuk mencari alternatif
solusi yang dianggap cocok dan mampu memenuhi berbagai
kebutuhan baru akan pelayanan publik yang efisien dan berkualitas.
161
Di sinilah relevansi teori Governance dengan salah satu
pendekatannya yang disebut sociocybernetics approach (Rhodes,
1996). Inti dari pendekatan ini ialah bahwa sejalan dengan pesatnya
perkembangan masyarakat dan kian kompleknya isu yang harus
segera diputuskan, beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan
masyarakat madani (civil society) yang berpartisipasi dalam proses
pembuatan kebijakan (policy making), maka hasil akhir (outcome)
yang memuaskan dari kebijakan publik tidak mungkin dicapai jika
hanya mengandalkan sektor pemerintah. Kebijakan publik yang
efektif dari sudut pandang teori Governance adalah produk sinergi
interaksional dari beragam aktor atau institusi.
Kecenderungan pemikiran global, khususnya yang
mencoba mengkritisi bagaimana kebijakan pelayanan publik
seyogyanya diimplementasikan, kalau kita pahami dari sudut teori
Governance, sebenarnya mencerminkan gugatan terhadap
kesahihan, keabsahan. serta peran sentra yang selama ini dinikmati
negara dalam penyediaan dan pengalokasian berbagai bentuk
pelayanan dasar (basic services).
Sebab, kendati negara masih diharapkan memainkan peran
tradisionalnya dalam menyediakan berbagai bentuk pelayanan
dasar kepada rakyatnya, entah itu di bidang informasi, pendidikan,
pangan, kesehatan masyarakat, keamanan/ keselamatan
komunitas, infrastruktur dan lain sebagainya, namun sejauh
menyangkut pilihan-pilihan politik (political choices) mengenai
bentuk peran dan strategi implementasinya haruslah makin efektif
162
Para pakar teori Governance membuktikan bahwa negara/
pemerintah kini tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya
institusi/aktor yang mampu secara efisien, ekonomis dan adil
menyediakan berbagai bentuk pelayanan tadi. Karena itu dipandang
dari perspektif teori ini tidaklah beralasan jika proses perumusan
dan implementasi kebijakan dalam beragam pelayanan publik itu
harus selalu didesain oleh pemerintah sendiri, menurut selera
pemerintah dan dikendalikan melalui lewat mekanisme politik-
birokrasi (direct service provision).
Bagi policy-makers, terbentang cukup luas spektrum pilihan-
pilihan politik dan strategi implementasi kebijakan yang dapat
ditempuh dalam hal pengaturan, penyediaaan dan pembiayaan
berbagai jenis pelayanan publik. Oleh karenanya dalam
menjalankan misi pelayanan publiknya, pilihan politiknya haruslah
dikembangkan secara cerdas dengan bersandar pada paradigma
pilihan-pilihan publik/public choice. Artinya, pilihan-pilihan itu
senantiasa mempertimbangkan secara kritis interaksi diantara
kekuatan-kekuatan pasar, masyarakat madani, dan kemampuan
nyata dari dinas-dinas pemerintah itu sendiri. Dengan kata lain,
selain pemerintah, menurut Gerald E. Eaiden (1999), 'the private
sector, non governmental organizations (NGOs), and volunteensm
all had their different roles to play..."
Rasionalitas dibalik pilihan-pilihan politik ini ialah agar dalam
menjalankan peran pelayanan publiknya pemerintah sanggup
bermain dalam arena yang kompetitif, sekaligus dapat bertindak
163
arif, sejalan dengan bingkai fleksibilitas yang berlaku di aras global.
Dalam peraturan di aras global, fleksibilitas itu, meminjam konsep
Dahrendorf (1995:137), berarti the ability to move in wherever an
opportunity offers itself, and also to move out when opportunities
lose. Dengan demikian, dilihat dari perspektif governance, reformasi
di sektor pelayanan publik itu dapat kita pandang sebagai upaya
mengubah paradigms atau model yang selama ini dipakai dalam
memerintah masyarakat (modes of goverming society). Hal ini
dimaksudkan agar dalam lingkungan yang cenderung terus berubah
organisasi pelayanan publik itu tetap relevan, memiliki kinerja yang
tinggi, efisien dan mampu menjawab beragam tantangan baru yang
semakin banyak.
Bagi negara sedang berkembang, tak terkecuali Indonesia,
gelombang tekanan untuk mengubah wajah pemerintahan dan
substansi operasi mesin pelayanan publiknya juga datang dari
institusi-institusi internasional, diantaranya Intemational Monetary
Fund (IMF) dan World Bank. Kedua institusi keuangan intemasional
yang amat berpengaruh ini sejak sepuluh tahun terakhir makin rajin
mendesakkan tuntutan politik terhadap negara-negara sedang
berkembang untuk "mendevolusikan" sistem pemerintahan (yang
sentralistik) dan sistem pelayanan publiknya (yang monopolistik)
dengan menganjurkan kebijakan pemerkuatan otonomi daerah,
privatisasi sektor publik dan pemberian kesempatan luas pada
sektor-sektor di luar birokrasi pemerintah. Seharusnya sebagai
instrumen penting kebijakan, devolusi mengandung dua makna:
164
sebagai upaya “demitologisasi” terhadap kehebatan kekuasaan
negara (yang sentralistis dan intervensiomstis) dan sebagai upaya
rasional mendemokratisasikan pola pengambilan keputusan dalam
pemerintahan dan sistem pelayanan publiknya.
Oleh sebab itu, rejim manapun yang memerintah dituntut
untuk mampu menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah
pemerintahan yang demokratis, efisien, dan memiliki sumber daya
aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan.
Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar ditengah
gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun
luar negeri-kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures),
pemerintah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutannya.
Bisakah itu dilakukan? Ini memang bukan persoalan mudah.
Namun, secara teoritik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi
pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara
mentransfomasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi
pemerintahan yang strukturnya desentralisasi (Young, 1996),
inovatif, fleksibel dan responsif (Osborne and Gaebler, 1992).
Dengan perubahan pada elemen psikologikal struktur ini
diharapkan akan terbentuk watak dan perilaku public
entrepreneurship. Salah seorang pakar manajemen modern, Peter
F. Drueker (1985), merumuskan jiwa kewirausahaan itu sebagai
spotting opportunities and marshalling resources to produce
innovation. Sedangkan dalam kontek, administrasi publik, menurut
Stever (1988), jiwa kewirausahaan itu adalah an adaptive,
165
apportunistic, and individualistic response to the chaos and
fragmentation of post-proqressive public administration.
Kalau kedua konsep tersebut diperlukan dengan seksama,
maka kata kuncinya tak lain adalah inovasi. Namun, konsep inovasi
di sini tidak harus dipahami secara kaku dan diartikan hanya
menyangkut sesuatu yang baru sama sekali. Inovasi dalam
konteks pelayanan publik bisa pula berarti merekombinasikan
secara kreatif unsur-unsur yang sebelunmya sudah dikenal untuk
kemudian diterapkan dalam bentuk cara-cara baru atau pada
situasi/lingkungan baru,
Tuntutan akan perlunya pembudayaan (internalisasi nilai-nilai)
kewirausahaan dan perilaku inovatif dalam manajemen publik dan
manajemen pemerintahan membawa implikasi tertentu. Konkretnya,
eksistensi dan substansi pelayanan publik yang dilakukan oleh
berbagai dinas pemerintah kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu
yang aksep (secara sosial, ekonomi maupun politik) jika tidak
profesional, hanya dilakukan dengan bersandar pada prinsip asal
jalan atau dikelola berdasarkan manajemen by semau gue, tanpa
harus berhitung resiko (Abdul Wahab, 1998). Bukan hanya itu. Di
dalam sedap program pelayanan publik dibidang, apapun dirasa
tidak lagi cukup memadai kalau manajemen pelayanannya sekadar
berarti pada nilai-nilai instrumental administrasi publik atau
manajemen publik model Weberian, seperti penekanan pada
efisiensi dan efektivitas. Sebab, dalam praktik, hal ini sering
mengantarkan para birokrat terjebak pada persepsi dan pola
166
penyikapan yang keliru, yaitu sekedar memenuhi formalisme, demi
kelanggengan kepentingan sempit birokrasi itu sendiri (Abdul
Wahab, 1997: 15).

B. Dimensi Keadilan dalam Pelayanan Publik

Sejalan dengan terjadinya krisis dalam bidang


kepemerintahan yang telah saya singgung di atas. sejak dasa warsa
80-an berkembang suatu tuntutan politik yang daya resonansinya
makin kuat yaitu bahwa dalam mengoperasikan mesin
pemerintahan dan menjabarkan kebijakan publik dalam berbagai
progam (termasuk program pelayanan publik), selain berkualitas
harus pula mengindahkan hak-hak asasi manusia (human rights),
serta memenuhi kriteria keadilan (equity). Saya akan memberikan
perhatian khusus terhadap aspek keadilan, dengan alasan untuk
menghindarkan atau setidaknya meminimalkan apa yang pernah
dikhawatirkan olen Fred William Riggs (1997) bahwa :

modern bureaucracies can also function as organs of domination


and exploitation, as we can easily seen in many countries where
arbitrary and oppressive even totalitarian regimes rely on
bureaucracies to sustain and maintain their ruthless
domination,
Dengan mengedepankan nilai keadilan itu maka dengan
semakin gencamya proses industrialisasi dan pengaruh ekonomi-
politik global yang menyebabkan struktur ekonomi domestik makin
167
lama makin bercorak kapitalistik (segala sesuatu dipandang
dipersepsi sebagai komoditas dan dihargai dengan uang), maka
mesin birokrasi pemerintah yang tentunya akan makin maju dan
proaktif kepada pasar bisa diupayakan berada pada rel
humamtariannya, tetap berpihak pada rakyat kecil dan terjaga
akuntabilitasnya. Dengan cara itu, fungsi pelayanan publik tidak
akan gampang diselewengkan dan digunakan oleh para birokrat
publik sebagai alat represif.
Paling tidak memang sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) gugus
pemikiran yang berpengaruh terhadap upaya reformasi pelayanan
publik, khususnya yang berkaitan dengan pembangkitan kesadaran
diri para administrator publik agar mereka kian sensitif terhadap
persoalan kualitas dan keadilan. Pertama, munculnya pemikiran
baru dalam studi ilmu politik/pemerintahan yang menekankan
perlunya ditegakkan prinsip pemerintahan yang berpusat pada
warganegara (citizen - centered government) dan pemerintahan
yang jujur (fair) dan adil (equity) sebagai terpantul lewat konsep
Total Quality Polities-TQP (Frederickson, 1994);
Kedua, gerakan pemikiran reformasi administrasi publik yang
disebut New Public Administration movement yang dipelopori oleh
Marim (1971) dan Frederickson (1980) sejak dekade 1960-an dan
masih berlanjut hingga sekarang; Ketiga, gerakan reformasi
administrasi publik yang lebih radikal, yakni Reinventing
Government movement (dipelopori oleh Osborne dan Gaebler pada
1992) yang oleh banyak kalangan dinilai berhasil dengan cukup
168
gemilang mengkombinasikan antara Total Quality Management
(TQM) dan entrepreneurial management (Johnston, 1996; Hackman
and Wageman, 1995). Dengan beracu pada argumen dasar teori
Governance terdahulu, saya akan mencoba menjelaskan secara
ringkas relevansi dari gerakan-gerakan pemikiran reformatif di
bidang administrasi publik tersebut bagi penyelenggaraan
pelayanan publik di Indonesia, serta bagaimana hal tersebut
seharusnya disikapi oleh pembuat kebijakan, dari administrator
publik di sini.
Gerakan-gerakan pemikiran tersebut di atas, sekalipun
revolusioner, sama sekali bukanlah sebuah gerakan frontal dan
radikal anti segala bentuk kemapanan ataupun anti terhadap
keberadaan pemerintahan (anti governmental mood) atau
menafikan arti penting peran pemerintah dalam pengaturan dan
penyediaan pelayanan publik bagi rakyatnya. Kendati demikian,
satu benang merah memang dapat kita ketemukan daripadanya.
Gerakan - gerakan pemikiran tersebut baik sendiri-sendiri atau
secara bersama - sama, secara implisit maupun eksplisit,
menekankan perlunya demokratisasi dan desentralisasi dalam
penyelenggaraan tagas-tugas pemerintahan (termasuk sektor
pelayanan publik). Di balik itu, esensi ide dasarnya ialah hasrat
melenyapkan monopoli (pemerintah atau swasta), pemangkasan
atau perampingan atas struktur birokrasi publik yang kelewat
gendut, penginjeksian sikap pro-aktif, inovatif dan jiwa
kewirausahaan (enterpreneurial spirit) pada diri administrator publik,
169
serta diperhatikannya aspek keadilan dalam pemberian pelayanan
publik. Karena itu dalam mengoperasikan mesin birokrasi
pemerintah, terutama yang berkaitan langsung dengan fungsi
pelayanan publik, maka pada diri setiap administrator publik harus
tertanam kuat komitmen mereka terhadap kebutuhan nyata publik
(public felt needs) dan keadilan sosial, baik itu sebagai landasan
etik, tujuan maupun sumber acuan pemikirannya (Frederickson,
1980). Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan upaya reformasi
yang fundamental dalam administrasi pelayanan publik,
meninggalkan paradigma, konsep-konsep dan orientasi lama
administrasi publik konvensional yang tidak berpihak pada
kepentingan masyarakat (Abdul Wahab, 1998)
Dalam implementasi program-program pelayanan publik di
bidang apapun, para administrator publik jelas tidak hanya dituntut
untuk kian mampu bekerja secara lebih profesional, efisien,
ekonomis dan efektif, tetapi juga mampu mengembangkan
pendekatan-pendekatan yang lebih inovatif guna menjawab
tantangan-tantangan baru yang timbul pada aras global yang,
langsung atau tidak langsung, berpengaruh pada lingkungan
tugasnya. Lebih dari itu, ditengah makin kencangnya hembusan
angin demokratisasi, para administrator publik dituntut pula mampu
bertindak adil, untuk menjaga jangan sampai pelayanan publik itu
justru hanya menguntungkan segelintir orang atau mereka yang
posisi sosial, ekonomi dan politiknya mapan.

170
Dalam banyak kasus, bukti empiris memang menyodorkan
kenyataan yang pahit. Orang-orang miskin dan kelompok-kelompok
marginal yang secara ekonomi dan politik tidak berdaya itu kerap
menjadi korban ambisi politik. Mereka sering terabaikan, terlewati
oleh kebijakan pemerintahnya, kendati kebijakan-kebijakan publik
dan pelayanan publik itu konon ditujukan kepada mereka, untuk
kepentingan mereka. Laporan Bank Dunia (1997) pun dengan telak
menyinggung persoalan ini.
In nearly all societies the needs and prefererences of the wealthy
and poverty are well related in official polygoals and priorities But
this if rarely true of the poor and the marginalized, who struggle to
get their voices heard in the corridors of power. As a result, these
and other less vocalgroups tend to be ill served by public policies
and services, every those that should benefit them most

Karena itulah tidak terlalu berlebihan jika isu sentral yang kini
mengedepan dan mau tidak mau harus dijawab oleh setiap
administrator publik dalam menjalankan fungsi pelayanan publiknya
adalah efisien dan efektif untuk kepentingan siapa? ekonomis bagi
siapa? Inilah persoalan aksiologis administrasi publik masa kini
dan masa datang. Fredericson (1980; 1996) telah menjelaskan
persoalan aksiologis Administrasi publik Baru sebagai berikut:
Conventional and classic public administration seeks to
answer either these questions : (1) How can we offer more or better
services with available resources (efficiency) or (2) How can
services levels be maintained while spending less money
(economy)? A new public administration adds this question: Does
this service enhance social equity? To say that a service may be
well managed and that a service may be efficient and economtcal,
still begs these question: Well managed for whom? Efficienct for
171
whom? Economical for whom? Traditionally public administration
assumed a convenient oneness to the public.

Esensi dari gerakan New Public Administration itu adalah "to


democratize bureaucracy by inducing officials to be more responsive
to the clienteles they affected and had to work with" (Riggs,
1997:349). Salah satu aspek yang perlu diperhatikan oleh
administrator publik dengan demikian adalah ditegakkannya prinsip
keadilan proporsional dalam memberikan pelayanan tadi
(Chaltwood, 1974). Ini berarti bahwa di satu sisi, sumber daya yang
menjadi esensi atau substansi pelayanan masyarakat itu sejauh
mungkin dapat didistribusikan berdasarkan atas tingkat kemampuan
dan kebutuhan publik yang dilayani (user), bukan lagi sekedar
kebutuhan birokrasi yang memberikan pelayanan (provider). Atau,
dalam bahasa Osborne dan Gaebler (1992) meeting the needs of
customers, not the bureaucracy.
Disisi lain, hendaknya bisa dicegah adanya praktik pemberian
label (labelling practices), baik bersifat politis maupun ideologis (de
Vries, 1995) terhadap kelompok sasaran program pelayanan publik.
Praktek pemberian label seperti tidak ber KTP, tidak seafiliasi politik,
atau pembangkang dapat mengakibatkan segmen masyarakat yang
seharusnya memperoleh manfaat pelayanan publik tertentu
diabaikan oleh birokrasi.

Di kebanyakan negara, apapun sistem politik dan ideologinya,


birokrasi pemerintah memang telah tumbuh dengan pesat ibarat
raksasa (Savas, 1987). Tumbuh suburnya birokrasi pemerintah itu
172
bukan saja diukur dari ragam birokrasinya tapi juga diukur dari
jumlah pegawai yang dipekerjakan. Perkembangan birokrasi
pemerintahan itu biasanya diikuti pula dengan proliferasi berbagai
produk politik berupa aturan dan regulasi (Dwivedi, 1999). Distribusi
atas paket-paket pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah
pada umumnya dilakukan melalui struktur dan mesin birokrasi
pemerintah sendiri. Dalam keadaan demikian maka penyediaan
atau alokasi pelayanan, publik itu sepenuhnya akan di bawah
kontrol instansi pemerintah. Logis, jika birokrasi pemerintah
kemudian memiliki pengaruh polilik yang luar biasa atas berbagai
aspek kehidupan masyarakat.
Di masa Orde Baru, dan berlanjut di masa pemerintahan
transisi habibie, berbagai bentuk birokrasi pemerintahan (Dinas,
Kantor, Badan Usaha, Otorita dan sebagainya) masih terlibat sangat
aktif dalam beragam urusan pelayanan publik. Alokasi surplus yang
dihasilkan masyarakat di berbagai sektor juga didistribusikan lewat
birokrasi. Berbagai fasilitas pelayanan publik seperti pertamanan,
kebersihan, air minum, telepon, listrik, fasilitas pelayanan
transportasi darat semisal perkeretaapian atau pengurusan
perjalanan naik haji ke tanah suci Mekkah juga masih berada dalam
kontrol pemerintah. Berbagai jenis pelayanan itu kesemuanya
menggunakan standart pemerintah. Sebelum dikepras oleh “pedang
Democles” nya IMF yang menganjurkan pendekatan low spending
dan market-friendly, distribusi data alokasi beragam bahan
kebutuhan hidup seperti beras, tepung terigu, telur, minyak goreng
173
dan ikan asin seluruhnya masih dlkendalikan oleh pemerintah, lewat
birokrasi Badan Urusan Logistik -BULOG (Abdul Wahab, 1999 :14)
Disinilah letak persoalan mengapa misi asasi pelayanan publik
di Indonesia mudah dlselewengkan, dipersepsikan sekadar menjadi
alat pemuas nafsu politik rejim, demi langgengnya proses reproduksi
kekuasaan. Di masa Orde Baru, di jaman ketika partai pemerintah,
Golongan Karya (Golkar), dengan “back up” militer masih malang
melintang bagaikan “raja politik” bukanlah suatu fenomena aneh jika
berbagai proyek infrastruktur, jalan desa, jaringan air minum
pedesaan atau seperti jaringan listrik pedesaan bisa menjadi alat
tukar politik. Misalnya, usulan proyek pembangunan jalan desa atau
jaringan listrik di suatu desa bisa segera disetujui dibangun asalkan
masyarakat di desa tadi pada pemilihan umum mendukung Golkar,
sebaliknya, proyek itu bisa saja segera dialihkan ke desa lain begitu
mereka terbukti mendukung ke partai politik lainnya. Di masa
pemerintahan transisional Habibie, implementasi program Jaring
Pengaman Sosial JPS) dibeberapa tempat dilaporkan telah
melenceng dari sasarannya, karena telah teijadi praktik manipulasi
yang merugikan kalangan rmskin. Melihat itu semua, maka Stempel
monopoli, bahkan oligopoli atas berbagai bentuk perlawanan publik
di Indonesia memang sulit untuk dipungkiri.
Apa dampak dari semua itu? monopoli birokrasi temyata
menyebabkan manajemen pelayanan publik di Indonesia amat tidak
kompetitif dan tidak sensitif pada persoalan perbaikan kualitas
secara menyeluruh, Di sinilah sumber segala bentuk salah urus,
174
poor quality services dan ketidakefisienan dalam penggunaan
sumber-sumber daya (Ishikawa, 1998,S; Jablonski, 1992) terjadi
dengan amannya selama bertahun-tahun. Karena itu, berdampak
negatif pada komunitas, pada publik dan pada konsumen (Hackman
and Wageman, 1995).
Monopoli (secara tersembunyi atau terang-terangan) atas
penyediaan pelayanan publik ternyata juga menyebabkan perilaku
para birokrat mulai dari pimpinan puncak hingga pegawai rendahan
berlagak seperti para “administrator kolonial”. Mereka menjadi
arogan, tidak responsif dan tidak akun kepada publik. Dalam posisi
demikian, birokrasi lantas menjadi sebuah entitas (entity) yang
otonom, sedangkan para birokratnya bukan lagi sekadar berperan
sebagai alat dari sebuah kekuasaan, melainkan telah menjadi
penguasa itu sendiri (Hayden, 1979).
Birokrasi telah keluar dari kodratnya sebagai institusi
pelayanan publik yang sejati. ini pula yang menyebabkan mengapa
publik pengguna jasa pelayanan yang menginginkan jenis
pelayanan tertentu selalu berada dalam situasi tidak berdaya.
Mereka, misalnya, kalau satu saat tak segera memperoleh
pelayanan atau ternyata memperoleh pelayanan yang tidak
memuaskan atau kualitasnya jelek, paling banter hanya bisa
menggerutu. Tragisnya, gerutuan mereka belum tentu mendapatkan
respon positif. Mereka juga tidak bisa lari ke provider yang lain untuk
mendapatkan pelayanan yang kualitasnya jauh lebih baik dengan

175
ongkos yang mungkin lebih murah, atau setidaknya sama (Abdul
Wahab, 1998).
Model organisasi dan manajemen pelayanan publik yang
strukturnya monolitik dan perilakunya birokratik biasanya cenderung
tidak inovatif. Sebab, dalam bekerja ia hanya sekedar mengikuti
aturan demi aturan itu sendiri. Inilah model yang disebut rule-driven
atau rule-following organization (Painter,1994; Kingsley, 1996).
Model ini tak cocok untuk beroperasi dalam pusaran dunia
yang makin kompetitif karena tak akan tahan banting menghadapi
persaingan dan situasi sosial, ekonomi dan politik yang berubah
cepat; Kehadirannya juga merugikan kepentingan publik. Selain
kurang responsif dan lamban dalam pengambilan keputusan-
keputusan yang strategis masalah lain yang kerap kali muncul ialah
masalah-masalah akses (access problems). Masalah akses ialah
kesukaran-kesukaran untuk menciptakan mekanisme hubungan -
hubungan keorganisasian tertentu antara klien (pengguna jasa
pelayanan publik) dan instansi pemerintah, yang memungkinkan
sumber-sumber daya langka terdistribusikan kepada masyarakat
secara efektif. Situasi akses yang tak sehat biasanya makin
memburuk dalam keadaan dimana para administrator atau pejabat
berperan dalam pemberian pelayanan itu, selain tidak profesional,
juga tidak bermoral, misalnya karena mereka dijangkiti penyakit
birokrasi (bureaupathologies) seperti Korupsi, Kolusi, Nepotisme
dan tidak akun terhadap kebutuhan dan tuntutan publik yang terus
berubah.
176
C. Pemberdayaan Pengguna Pelayanan Publik
Di negara-negara maju, konsep pemberdayaan
(empowering) terhadap para pengguna pelayanan publik telah
cukup lama menjadi tema sentral dari gerakan-gerakan penyadaran
hak-hak konsumen (consumerism) atau gerakan yang
memperjuangkan pelayanan publik yang berkualitas (Abdul Wahab,
1997; 1998). Bentuk-bentuk penyadaran hak-hak konsumen itu,
menurut Pollitt (1988) bervariasi, mulai dari yang sekedar bersifat
"kosmetik” seperti yang dilakukan oleh banyak instansi pemerintah
(di Pusat dan daerah) dengan cara menyediakan informasi kepada
para konsumen atau menyediakan kotak saran, hingga partisipasi
langsung konsumen dalam proses pembuatan keputusan yang
menyangkut konteks dan konten pelayanan itu sendiri. Pada contoh
yang disebut terakhir itu, sesungguhnya tersirat makna “berbagi
kekuasaan" (sharing of power). Menarik kiranya untuk mencermati
komitmen politik dan komitmen profesional yang kini tengah
berkembang dalam studi kebijakan publik yang keduanya mencoba
meredefinisi konsep penerima pelayanan publik (recipient of public
service) sebagai pelanggan atau konsumen itu.
Penggunaan nomenklatur pelanggan atau konsumen dalam
konteks pelayanan publik mengandung makna bahwa hakikat dan
pendekatan dalam pemberian pelayanan publik yang semua
berkiblat pada kepentingan birokrasi (bureacratic-oriented) atau
berorientasi pada produsen (producer-oriented) berubah menjadi
177
berorientasi pada konsumen (consumer-driven approach). Pollitt
(1988:86), menegaskan bahwa tujuan utamanya bukan sekedar
untuk menyenangkan hati para penerima pelayanan publik,
melainkan untuk memberdayakan mereka. Sebab, orientasi kearah
pelayanan publik yang lebih baik (better public service delivery) juga
mencerminkan penegasan akan arti penting posisi dan perspektif
para pengguna dalam sistem pelayanan publik tersebut. publik tidak
hanya diperlakukan sebagai obyek (sebagai klien jasa pelayanan
semata), tetapi juga sebagai warganegara yang aktif (active citizen).
Bagi pembuat kebijakan dan administrator publik (pada semua level)
perspektif demikian membawa konsekuensi mendasar atau berupa
kewajiban ganda yang harus mereka pikul sebagai perwujudan
akuntabilitas kepada publik (Abdul Wahab, 1998).
Kewajiban ganda yang diemban oleh pejabat publik tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut Sebagai warganegara yang aktif,
menurut Clarke dan Steward (1987), para pengguna jasa
pelayanan publik sesungguhnya memiliki sejumlah hak-hak untuk
memperoleh pelayanan yang baik, hak untuk mengetahui
bagaimana keputusan-keputusan kebijakan mengenai jenis
pelayanan tertentu dibuat dan, yang tak kalah penting, hak untuk
didengar dan diperhatikan pendapat-pendapatnya. Namun, amat
disayangkan sejumlah hak penting ini, sering hanya ada di atas
kertas. Di kebanyakan negara sedang berkembang (tak terkecuali
Indonesia) hak-hak itu justru kerap ditelikung oleh birokrasi, bahkan
dikebiri. Karena posisinya yang monopolistik dan meluasnya
178
kekuasaan administrasi serta diskresi, maka oleh para pejabat
birokrasi setiap jengkat prosedur administrasi pada mata rantai
birokrasi pelayanan publik itu (terutama di bidang perijinan dan
pekerjaan umum) sering dijadikan sebagai lahan subur untuk
mencari tambahan penghasilan ini membenarkan hasil observasi
Dwivedi, bahwa:

“ .... regulations, together with increased bureaucratic discretion,


have provided and incentive for corruption, since regulations
goveming acces to good and services can be exploited by civil
servants to extract service charges from the need fuli (Dwivedi, 1999
: 170).

Dalam spektrum yang lebih luas, salah satu, sumber


penyebab timbulnya fenomena the high cost economy (ekonomi
biaya tinggi) di Indonesia adalah masih bercokolnya kartel,
monopoli, favoritisme, praktik standard ganda dan masih
merajalelanya berbagai bentuk pungutan mulai dari yang setengah
resmi hingga tak resmi yang menyertai pemberian pelayanan publik
oleh dinas-dinas pemerintah.
Memang kita sudah sering mendengar propaganda yang
dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru maupun pemerintah
transisional Habibie yang kurang lebih berkaitan dengan reformasi
birokrasi pelayanan publik Beberapa contoh, misalnya, kampanye
tentang pendayagunaan aparatur negara yang bersih dan
berwibawa, perang melawan ekonomi biaya tinggi, gerakan efisiensi
nasional, gerakan penegakan disiplin nasional, pelayanan prima

179
(Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 6
tahun 1995) dan yang mutakhir penyelenggaraan negara yang
bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (TAP MPR RJ
No.XI /MPP/1998). Namun, sejauh ini, kesemua itu masih berupa
retorika politik, belum berdampak nyata pada publik karena belum
ada tindakan yang serius untuk mengimplementasikannya.
Lemahnya institusi masyarakat madani semisal adanya
lembaga konsumen bebas, dibarengi dengan lemahnya law
enforcement yang bisa berperan efektif dalam melindungi
kepentingan konsumen dan kepentingan publik pada umumnya,
makin memperburuk situasi di sektor pelayanan publik, di Tanah Air
kita. Kita sering mendengar, membaca surat-surat pembaca di
berbagai surat kabar dan bahkan menyaksikan sendiri betapa masih
rendahnya respon birokrasi terhadap kerugian-kerugian yang
diketahui publik dan konsumen. Padahal, dalam penentuan kualitas
suatu pelayanan publik apakah ia bagus ataukah buruk hanyalah
publik yang dilayani itulah yang sesungguhnya dapat menilai.
Konsumen pula yang dapat menilai dengan tepat bagaimana
kinerja pelayanan publik yang telah diberikan kepada mereka.
Dalam arti yang seluas-luasnya, peran penting yang
dimainkan oleh para pengguna jasa pelayanan publik dalam
rangka menyempumakan kualitas pelayanan publik dapat kita
kategorikan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat
(empowering society). Sebagaimana halnya barang, jasa/pelayanan
itu adalah merupakan sesuatu yang dihasilkan artinya, ia adalah
180
sesuatu produk. Pelayanan disektor publik umumnya memiliki
dimensi kualitatif, sebab lahir dari rahim sistem politik. Kendati
dibanding sektor swasta, persoalan kualitas disektor publik ini diakui
lebih sukar untuk merumuskan dan mengukurnya diantaranya
karena sarat dengan nilai-nilai politik dan ideologi sebenamya telah
ada konsensus diantara para pakar bahwa pada akhimya hal itu
akan ditentukan oleh para pengguna jasa pelayanan itu sendiri.
Sebab, satu-satunya ukuran atas kualitas pelayanan publik adalah
apakah ia memberikan kepuasan tertentu pada diri konsumen.
Makna kualitas kata Jackson dan Palmer (1992), ialah
persepsi konsumen terhadap ciri-ciri dan tampilan tertentu yang
dianggap ada pada sebuah pelayanan, dan nilai-nilai yang mereka
(konsumen) berikan pada ciri-ciri dan tampilan tersebut. Jadi,
sebagai sebuah konsep, kualitas pada hakikatnya merupakan
sesuatu nilai yang dilihat dari sudut pandang mereka yang dilayani,
bukan hasil rekayasa dari mereka yang memberikan pelayanan
(Jackson and Palmer, 1992:50). Salah satu tolok ukur bagi
pelayanan publik yang baik (good service) dengan demikian adalah
the ability to meet the needs of each individual served (Morgan and
Bacon, 1996:361-362).
Pelajaran apakah yang dapat kita petik dari semua itu? Pada
hemat saya gerakan pengedepanan kepentingan konsumen,
orientasi kearah pelayanan yang lebih adil pada berbagai sektor
publik, dan kegandrungan yang semakin tinggi akan kualitas
pelayanan publik yang kini sedang melanda berbagai belahan dunia
181
harus mendapatkan respon positif dari pembuat kebijakan dan
administrator publik di Indonesia. Sebab, kalau tidak. ditengah
persaingan global Indonesia akan semakin kehilangan nilai
kompetitifnya. Kecenderungan ekonomi-politik global sekarang
mengarah pada ideologi neo liberal (penggunaan mekanisme pasar)
dalam sistem manajemen pelayanan publik yang salah bentuk
implementasinya adalah berupa privatisasi. Konsekuensinya dari
privatisasi itu memang mengurangi peran birokrasi pemerintah,
sebaliknya meningkatkan peran sektor swasta (Savas, 1987). Model
pelayanan publik yang dianjurkan. salah satunya adalah
menggunakan pola pelayanan yang telah lama berlangsung disektor
bisnis/swasta (marked-like modes).
Pada titik inilah manajemen publik konvensional dituntut
menyesuaikan diri, mengubah wajah, perilaku dan orientasinya
sehingga mirip dengan manajemen kewirausahaan yang biasa
berlaku pada sektor swasta (private-sector-like entrepreneurial
management). Hanya melalui perubahan radikal seperti itulah maka
ditengah hantaman badai krisis moneter, kesulitan anggaran dan
desakan politik untuk memaksimalisasi sumber-sumber yang ada
secara efektif dan produktif manajemen di sektor publik akan bisa
diharapkan mampu mencari peluang-peluang baru, serta terhindar
dari kebangkrutannya. Argumen yang mendasari perlunya
pengadaptasian model ini bukan hanya karena sektor bisnis selalu
lebih efisien ketimbang sektor pemerintah melainkan juga karena,
pada kebanyakan kasus, di sektor pemerintah itu karakter
182
pelayanannya cenderung terlalu birokratik, bersifat monopolistik.
Manajemen publik seperti ini jelas kurang trengginas dalam
menjemput peluang-peluang dan mengatasi berbagai persoalan,
serta merespon dengan cepat tuntutan-tuntutan baru yang muncul.
Dengan demikian, ia tidak kondusif bagi penciptaan suasana
pelayanan publik yang transparan, kompetitif dan berkualitas.
Painther (1994), misalnya, menjelaskan perlunya perubahan
orientasinya dan perilaku itu sebagai berikut :
Only by devising radically different ways on doing business
could contemporary governments respond to the deep trouble in
which they found themselves. In particular, resources would have to
be deployed more creatively to increase productivity and
effectiveness, and something that required opportunity seeking
rather than risk avoiding behaviour.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang mengadaptasi


model pelayanan di sektor bisnis itu, maka para pengguna, bahkan
calon pengguna jasa pelayanan publik, yang selama ini dianggap
sekedar sebagai obyek atau penerima yang pasif (pasive recipient),
harus menjadi pusat orientasi. Karena itu, mereka menempati
posisi sentral. Implikasinya ialah perlunya dilakukan transparansi
dalam proses pembuatan keputusan (transparency in decision
making), reorientasi, restrukturisasi dan reengineering terhadap
model manajemen pelayanan publik konvensional yang ada selama
ini dianggap terlalu berorientasi pada kepentingan-kepentingan
internal birokrasi.

183
Berikut rekomendasi kebijakan, berupa langkah-langkah
strategis yang dimaksudkan untuk mereformasi birokrasi pelayanan
publik di Indonesia, dengan fokus pada pemerintah daerah tingkat II.
Pertama, pada aras makro, sejalan dengan semangat
pengedepanan otonomi daerah sebagaimana telah diatur oleh UU
No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka demi
kelancaran proses implementasinya pemerintah pusat harus
konsisten melakukan kebijakan off loading atas berbagai macam
urusan (utamanya yang berdampak finasial) seraya memformat
ulang misi dan visi institusi-institusi publiknya. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara mentransfer (mendesentralisasikan)
kewenangan pengambilan keputusan, baik yuridis maupun politis
berbagai urusan pelayanan publik penting (berikut sumber
pembiayaannya) ke daerah. Dengan demikian, untuk tegaknya
otonomi daerah desentralisasi itu harus komplit (tidak kepalang
tanggung), mencakup kewenangan pengambilan keputusan di
bidang perpajakan, alokasi sumber-sumber dan fleksibilitas dalam
investasi.
Selama lebih dari tiga dasawarsa, ganjalan struktural
implementasi kebijakan otonomi daerah di Indonesia adalah karcna
masih cukup banyak urusan penting yang sengaja dibiarkan
menggantung di Pusat (dan daerah). Kalau hal itu bisa dijalankan,
maka akan ada 2 (dua) manfaat yang bisa dipetik dari sini. Di satu
sisi, langkah tersebut di atas sebenamya merupakan bentuk
pendidikan politik (political education) bagi elite politik daerah
184
(Smith, 1985) dan dimaksudkan agar pemerintah daerah lebih
responsif terhadap perkembangan, serta tuntutan publik daerah.
Dengan itu akan dapat dicegah terjadinya gerakan
"pembangkangan" daerah-daerah yang menjurus pada disintegrasi
nasional.
Di sisi lain, agar urusan pelayanan publik itu dapat ditangani
secara lebih efisien dan efektif mengikuti tuntutan persaingan global.
Perjalanan panjang selama 32 tahun di bawah rejim Orde Baru
menunjukkan bahwa tidak cukup efisiennya birokrasi di Indonesia
dalam mengikuti kecepatan gerak di sektor perekonomian dan bisnis
di daerah terbukti telah melahirkan "ongkos-ongkos ekstra
administrasi" yang merugikan kepentingan publik.
Berkembang biaknya praktik "mark up" dan biaya-biaya
siluman diberbagai departemen dan instansi pemerintah
(termasuk perbankan) merupakan contoh klasik mengenai hal itu. Itu
semua telah mengakibatkan kondisi ekonomi nasional menjadi
overheated dan memunculkan fenomena the high cost economy
(abdul Wahab, 1999). Agar langkah ini membawa hasil, maka dirasa
perlu merevitalisasikan kapasitas politik (political capacity)
pemerintah-pemrintah daerah di Indonesia dalam mendesain
perencanaan kebijakan publik daerah, termasuk kemampuan
mereka merumuskan visi, tujuan dan strategi alternatif yang efektif
berdasar pada skala prioritas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, pada aras mikro, terutama di lingkungan internal
instansi-instasni daerah Tingkat II perlu disosialisasikan orientasi
185
pemerintahan daerah yang berpusat pada rakyat (citizen centered
local; government); pada aspek keperilakuan (behavioural) perlu
ditanamkan semangat kewirausahaan dan sikap inovatif pada diri
administrator publik, mulai pada tingkat manajemen puncak (bupati
/walikotamadya) hingga para bawahan. Pada aspek keorganisasian
daerah, pimpinan daerah perlu secara selektif melakukan upaya
refungsionalisasi dan perampingan atas birokrasi daerah dengan
secara kritis mencermati dan mempertimbangkan urgensi masing-
masing unit organisasi bagi terpenuhinya kemaslahatan masyarakat
daerah, serta kontribusi riilnya terhadap penguatan otonomi
daerah secara keseluruhan.
Ketiga, dilihat dari perspektif Governance, kelemahan yang
paling menonjol dalam birokrasi pemerintah daerah adalah
karakternya yang rule driven atau rule following. Karakter birokrasi
pemerintah daerah seperti ini jelas tidak cocok dengan iklim
kompetisi dan semangat pengedepanan kepentingan publik dalam
program pelayanan publik. Ini tak lain karena sejak Indonesia
merdeka hingga sekarang, belum pemah ada pemerintah daerah
yang betul-betul otonom (autonomous and local self government).
Pemerintah daerah sesungguhnya hanya merupakan alat artikulasi
kepentingan (interest articulation) dan perpanjangan tangan
pemerintah atasannya (propinsi dan pusat). Akibatnya, implementasi
kebijakan pelayanan publik yang dijalankan di daerah selama ini,
selain berkecenderungan terlau birokratis, monoton (seragam) dan
tidak profesional, adalah tidak konsisten dan kurang responsif
186
terhadap opini publik daerah. Pemerintah daerah masa depan jelas
membutuhkan birokrat-birokrat daerah yang inovatif, mampu
mengimplementasikan program-program pelayanan publik secara
kreatif seraya terus mencari upaya solusi baru secara efisien. Oleh
karena itu perlu segera diintroduksi sistem pelayanan publik model
bisnis yang berorientasi pada kepentingan konsumen dan
memperluas akses mereka pada sistem pelayanan yang
dikembangkan. Hal yag disebut terakhir bisa dilakukan dengan
mempublikasikan rencana-rencana kerja dan laporan-laporan
tentang kinerja instansi secara teratur, membangun sistem "one
stop service" guna menyederhanakan prosedur pengurusan
berbagai perijinan atau surat-surat (lihat Kingsley, 1996). Akan ideal,
kalau hal itu bisa dibarengi dengan survei yang mengukur derajad
kepuasan secara teratur dan dilakukan oleh sebuah institusi yang
independen.
Keempat, secara politis, otonomi daerah yang lebih luas
sebagai dijanjikan oleh UU No. 22 tahun 1999 itu, menurt hemat
saya, mengandung makna memobilisasi peran pemerintah daerah
(mobilizing role of local government) dalam mendayagunakan
segala sumber (aktual maupun potensial), mekanisme dan
instrumen yang tersedia di daerah. Dalam konteks pelayanan publik,
ini berarti bahwa inisiatif untuk menentukan pilihan atas jenis dan
model pelayanan publik yang tepat akan tergantung pada hasil
kompromi politik antara elit kepemimpinan daerah (eksekutif dan
legislatif) dan eksponen-eksponen masyarakat daerah itu sendiri.
187
Namun model atau konstruksi pelayanan publik apapun yang dipilih
dan ingin dicoba kembangkan di daerah hendaklah dalam
implementasinya dilakukan secara arif, bersifat situasional
(contingency), beracu pada semangat kompetisi (mengindahkan
mekanisme pasar) dan berwawasan pemberdayaan. Agar dalam
proses implementasinya efisien, pemerintah daerah tidak perlu
melakukannya sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara :
lewat sistem koproduksi, membangun pola kemitraan antara pihak
pemerintah daearah dan swasta (public private partnership) atau
privatisasi, yakni dengan mengontrakkan (contracting out), secara
selektif, fungsi-fungsi pelayanan tertentu pada pihak swasta (Hirsch,
1995), mendelegasikan kegiatan-kegiatan pelayanan tertentu pada
lembaga swadaya masyarakat setempat berdasarkan kontrak
kerjasama jangka pendek; mengenalkan dan membudayakan pola
dan suasana kerja yang kompetitif baik diantara satuan-satuan kerja
dilingkungan instansi pemerintah daerah sendiri maupun antara
satuan-satuan kerja dilingkungan instansi pemerintah daerah
dengan pihak swasta atau lembaga swadaya masyarakat setempat
(Kingsley, 1996:442).
Di atas itu semua, yang dirasa tak kalah penting adalah
membangun sebuah pola hubungan politik yang transformatif antara
publik daerah dengan para politisi daerah yang menduduki badan
perwakilan rakyat daerah (Frederickson, 1994) di dukung oleh civic
infrastructure yang demokratis. Hal ini dimaksudkan agar politisi
daerah, baik diminta atau tidak, tetap sensitif dan responsif pada
188
tuntutan publik pengguna jasa pelayanan di daerah. Selain itu
sebagaui instrumen untuk memberdayakan posisi publik daerah
dalam proses perumusan kebijakan pelayanan itu sendiri, baik
dalam kedudukan mereka sebagai konsumen ataupun sebagai
warga negara yang aktif. Dengan memperkuat posisi publik daerah
ini maka akan dimungkinkan tumbuhnya kekuatan-kekuatan di luar
birokrasi (social forces) yang mampu mengimbangi kekuatan
birokrasi pemerintah daerah yang dalam UU. No 32 Tahun 2004
beroleh kekuasaan yang luar biasa besar. Publik daerah, sebagai
warga negara yang aktif, dengan demikian diharapkan akan mampu
mendesakkan tuntutan yang rasional pada institusi-institusi
pelayanan publik daerah kearah pengaturan pemberian
pelayanan publik yang, selain ongkosnya tetap terjangkau,
kualitasnya juga semakin baik.

I. Bahan Bacaan
1. Abdul Wahab, Solichin, 1998. Reformasi Pelayanan
Publik Menuju Sistem Pelayanan Yang Responsif Dan
Berkualitas, Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya
2. Abdul Wahab, Solichin, 1999. Ekonomi Politik
Pembangunan; Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan Di
tengah Krisis Moneter, PT Danar Wijaya Brawijaya
University Press
3. Caiden, Gerald E., 1999. What Lies Ahead for the
Administration State?, Dalam Bureaucracy and the
189
Altematives in World Perspective, Keith M. Henderson
and O.P. Dwivedi (eds), Macmillan Press Ltd., London
4. Dahrendorf, Ralf, 1995. Preserving Prosperity. New
Statesman & Society, December
5. De Vries, Peter, 1995. A Review of Some Critical
Perspectives on Development Bureaucracy and Policy.
Dalam In Search ofThe Midlle Ground : Essays on the
Sociology of planned development, George E. Frecks and
Jan H. B den Ouden (eds), Wageningen Agricultural
University, the Netherlands.
6. Drucker, P, 1985. Innovation and
Entrepreneurship. New York. Harper and Row
7. Dwivedi, O.P, 1999. Gevernance and Administration
in South Asia. Dalam Bureucracy and The Alternatives in
World Perspective, Keith Henderson, O.P. Dwivedi
(eds), Macmillan Press Ltd., London
8. Frederickson, H. George, 1980. New Public
Administration University of Alabama Press
9. Frederickson, H. George, 1994. Total Quality Politics :
TQO. Spectrum
10. Featherstone, M., 1990. Global Culture : an introduction.
Dalam Global Culture, Mike Featherstone (ed), Sage
Publication
11. Goldberg, Lenny, 1996 Come The Devolution. The
American Prospect
12. Ishikawa, Kaom, 1985 What is Total Quality Control? :
The Japanese Way. Englewood Cliffs. NJ, Prentice-Hall
13. Jackson, P.M. and B. Palmer, 1992. Developing
performance monitoring in public sector organizations; a
management guide. The Management Centre, University
of Leicester.
14. Jablonski, Joseph R., 1992. Implementmg TQM :
190
15. Competing in the Nineties through Total Quality
Management, ed. San Diego, Pfeifer
16. Kingsley, G. Thomas, 1996. Perspectives on Devolution.
APA Journal. Autumn
17. Kazancigil, Ali, 1988. Governance and Science : market
like modes of managing society and producing knowledge.
UNESCO
18. Kjellberg, Franscesco, 1995. The Changing Values of
Local Goverment. ANNALS, AAPSS (540), July
19. Marini, Frank (ed), 1971. Toward a New Public
Administration: The Minowbrook Perspective. Scranton,
P.A. Chandler
20. Mawhood, Philip, 1983. Local Government in the Third
World. John Wiley & Son. New York
21. Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing
Government. How the Entrepreneural Spirit Is
Transforming the Public Sector from Schoolhouse to
Statehouse, City hall to Pentagon. Reading, MA: Addison
Wesley
22. Osborne, Davis and peter Palstrik, 1996. Banishing
Bureaucracy: The Five Stategy For Reinventing
Government, Addison Wesley Publishing Company, Inc.,
New York
23. Savas, E.S., 1987. Privatizatiom : The Key to Better
Government. Chatham House Publisher, Inc., New
Jersey
24. Stver. J.A., 1998. The End of Public
Administration. Dobbs Ferry, NY Transnational
Publisher, Inc
25. Stretton, Hugh and Lionel Orchard, 1994. Public Goods,
Public Enterprice, Public Choice : Theoretical

191
Foundations of Contemporary Attact on Government. st
Martiifs Press. London
26. Stoker, Gerry, 1988. Governance as theory : five
propositions. UNESCO
27. Smith, B.C., 1985. Decentralization : The Teritorial
Dimension of the State. George Allen & Unwin. London
28. World Development Report 1997. The State in a
Changing World, Published For The World Bank, Oxford
University Press

II. Pertanyaan Kunci


1. Uraikan tentang konsep good governance.
2. Jelaskan konsep pelayanan publik terkait dengan good
governance.
3. Uraikan dimensi keadilan dalam pelayanan publik
4. Uraikan konsep pemberdayaan pengguna pelayanan
publik

192
GLOSARIUM

Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan


tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran
dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik.

Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah


ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang
maupun misi organisasi.

Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan


tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran
dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik.

Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah


ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang
maupun misi organisasi.

Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan


dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.

193

Você também pode gostar