Você está na página 1de 8

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

1. ALDI MUJIYANTO (02)


2. EKA WIDIYASARI (12)
3. FAZAHRA SALSABILA (13)
4. QANITA ZULFA (27)
5. REYNARD DESWANDA (29)

X MIPA 1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya
untuk masyarakat.

proposal bertema ijtihad ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan proposal ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki proposal bertema ijtihad ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

1
IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad memiliki arti kesungguhan yaitu mengerjakan sesuatu dengan
kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh potensi Nalar
secara maksimal dan optimal untuk meng-istibathi suatu hukum agama yang
dilakukan oleh seorang atau sekelompok ulama yang memenuhi persyaratan
tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan kepastian hukum mengenai suatu
perkara yang tidak ada status hukumnya dalam Alquran dan Sunnah dengan tetap
berpedoman pada dua sumber utama. Dengan demikian, ijtihad bukan berarti
penalaran bebas dalam menggali hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh
mujtahid melainkan tetap bersandar pada al-qur'an dan Sunnah.
Ijtihad tidak dapat dilakukan di semua bidang, ijtihad memiliki ruang lingkup
tertentu. Syekh Muhammad salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam dua
bagian. Pertama, permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan
hukumnya dalam alquran atau hadis nabi. Kedua, ayat-ayatquran tertentu dan
hadis tertentu yang tidak begitu jelas Maksudnya yang mungkin disebabkan oleh
makna yang dikandung lebih dari sqtu sehingga perlu ditentukan dengan jalan
ijtihad untuk mengetahui mana makna yang sesungguhnya yang dimaksud.
MACAM-MACAM IJTIHAD
1. Ijmak
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam pendapat,
dengan kata lain ijmak merupakan konsensus yang terjadi di kalangan para
mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasullullah SAW. Ahli
Ushul fiqih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepakatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW
terhadap suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa.

Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi
kuat dalam menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui
luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum
Islam. Sejumlah ayat dan hadis nabi menjadi pembenaran teologis
kekuatan ijma' sebagai sumber hukum dalam Islam.

Dalam transaksi jual beli misalnya, istishna atau pemesanan barang yang
baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh, karena dinilai sama seperti
halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang
bersumber dari hasil ijma' sahabat (Hanafi, 1995: 61)

2
Penggunaan ijma’ sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada


sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah an-nisa yang
didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada Ulil Amri setelah taat kepada
Allah SWT dan rasulnya. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat pada
status hukum suatu urusan maka wajib ditaat, diikuti, dan laksanakan
sebagai mentaat,i mengikuti dan, melaksanakan perintah Allah SWT dan
rasulnya dalam (QS. An-nisa {4} : 83) : “dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan mereka lalu
menyiarkannya. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka Rasul dan Ulil
Amri. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu
tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja diantara kamu.”

2. Qiyas
Qiyas berarti mengukur sesuatu menurut contoh yang lain kemudian
menyamakannya. Qiyas berarti menetapkan hukum suatu peristiwa yang
belum memiliki status hukum dalam Al Quran dan Sunnah dengan jalan
mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak dalam nash Alquran
dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada Nash lantaran ada
persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa.

Dengan dengan demikian, apabila terdapat suatu peristiwa yang status


hukumnya telah diketahui melalui Nas kemudian didapatkan suatu
peristiwa yang hukumnya tidak ditetapkan oleh Nas, tetapi illat hukumnya
sama, maka hukum peristiwa yang tidak ada dalam nas itu disamakan
dengan hukum peristiwa yang sudah ada dalam nas. Sebab hukum itu tidak
akan ada sekiranya tidak ada illatnya.

Berbeda dengan ijmak, qiyas tidak membutuhkan kesepakatan sekelompok


mujtahid. Ini artinya setiap orang bisa mengadakan peng-qiyas-an
berdasarkan pandangannya sendiri atas suatu peristiwa yang tidak ada
ketegasan hukumnya dalam al-quran, sunnah, dan ijma

Qiyas sebagai sumber hukum sangat relevan untuk memenuhi citarasa


hukum dalam perkembangan situasi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya, yang berubah secara drastis
SYARAT-SYARAT IJTIHAD

3
Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga terjadinya kekacauan atas nama agama. Karena itu, untuk
bisa melaksanakan ijtihad seorang mujtahid harus mempunyai sejumlah
persyaratan tertentu meliputi :
1. Syarat umum
a. Islam
b. Dewasa
c. Berakal sehat
d. Buat daya tangkap dan ingatannya
2. Syarat khusus. Syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seorang
mujtahid agar ia dapat mengistinbhat suatu hukum dari suatu peristiwa
meliputi :
a. Menguasai al-qur'an dan ilmu ilmu Alquran terutama ayat-ayat
hukumnya dan latar belakang sejarah turunnya
b. Menguasai Hadits dan ilmu hadits
c. Menguasai bahasa Arab dan seluruh cabang ilmunya
d. Menguasai ilmu ushul fiqh.
e. Memahami tujuan tujuan pokok syariat Islam
3. Syarat pelengkap. Adapun syarat pelengkap yang harus dipenuhi oleh
seorang mujtahid ialah :
a. Mengetahui tidak adanya dalil yang qatli tentang kasus yang
dihadapi
b. Mengetahui masalah-masalah yang masih menjadi khilafiyah
(Perbedaan pendapat, ed) dan masalah-masalah yang belum ada
kepastian hukum nya
c. Saleh dan taqwa

KAIDAH KETIGA MENGENAI SESUATU YANG PADANYA BOLEH


BERIJTIHAD

Kaidahnya :
‫المس غ لالختحادفىيمافيه نص صريح قطءى‬
Artinya : “Tidak ada kebolehan untuk berijtihad mengenai sesuatu yang padanya
Ada nash yang jelas dan qath'i(pasti)”
Apabila kasus yang tidak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sharij
(jelas), dan qhat'i dari segi sumbernya dan pengertiannya yang menunjukkan atas
hukum syar'i nya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya. Yang
wajib adalah melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. Sebab
sepanjang dalil itu qhat'i kedatangannya dan keluarnya dari Allah dan rasul-nya
bukanlah tempat suatu pembahasan dan pencurahan jerih payah. Dance panjang

4
dari itu dalalahnya qhat’i , maka dalalahnya terhadap maknanya dan pengambilan
hukum dari nash itu, Bukankah tempat suatu pembahasan dan ijtihad. Berdasarkan
hal ini, maka ayat-ayat hukum yang interpretatif yang menunjukkan terhadap
maksudnya dengan pengertian yang jelas dan tidak mengandung kemungkinan
pentakwilan, maka ia harus diterapkan. Dan tidak ada peluang untuk berijtihad
dalam kasus-kasus yang menerapkannya.
Dalam firman Allah SWT :

‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ِمائَةَ َج ْلدَ ٍة‬


ِ ‫اج ِلدُوا ُك َّل َو‬ َّ ‫الزانِيَةُ َو‬
ْ َ‫الزانِي ف‬ َّ
Artinya : “Wahai yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap
orang dari keduanya 100 kali dera”
Maka dalam hal jumlah deraan tidak ada peluang untuk ijtihad. Demikian
pula pada tiap-tiap hukuman atau kafarat yang telah ditentukan. Jadi sepanjang
masa tersebut jelas ditafsirkan dengan shighatnya atau dengan sesuatu penjelasan
atau penafsiran yang diusulkan oleh syar'i maka tidak ada peluang untuk ijtihad
mengenai nya.
Adapun Apabila kasus yang hendak diketahui ukurannya telah ada dalil
Nash yang kedatangannya bersifat Zhanni dan dalalahnya juga zhanni, atau salah
satu dari keduanya Zani, maka ada peluang ijtihad padanya. Sebab seorang
mujtahid haruslah membahas mengenai dalil zhanni kedatangannya dari segi
sanadnya, dan jalannya sampai kepada kita dari rosululloh, serta derajat para
perawinya, baik dari segi keadilan-nya, dhabitnya, tsiqahnya, dan kejujurannya.
Demikian pula apabila suatu kejadian tidak ada Nash hukumnya sama sekali,
maka dalam kasus itu terdapat peluang yang luas untuk berijtihad, sebab mujtahid
harus mengadakan pembahasan agar ia dapat sampai kepada pengetahuan tentang
hukumnya, baik melalui qiyas, atau istihsan, atau tishab, atau memperhatikan urf,
ataupun mashalih Mursalah. Kesimpulannya bahwa lapangan ijtihad adalah dua
hal, yaitu:
1. Sesuatu yang tidak ada nas sama sekali
2. Sesuatu yang ada nasinya namun tidak qhat’i.
tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu yang ada nashnya
yang bersifat qath’i

AHLIYYAH (KELAYAKAN) UNTUK BERIJTIHAD.

5
Setelah menjelaskan sesuatu yang menjadi lapangan bagi ijtihad, dan sesuatu yang
bukan lapangan ijtihad, maka kami akan menjelaskan Siapakah orang yang ahli
atau layak berijtihad.
Untuk menafsirkan kelayakan berijtihad disyaratkan empat syarat, yaitu:
Pertama:
bahwa seseorang haruslah mengetahui bahasa Arab, cara-cara Ke,
susunan kalimatnya dan satuan Satuan katanya, Iya haruslah mempunyai
rasa dalam memahami unslub-unslubnya yang diperoleh dari
kepintarannya. Iya juga harus mempunyai pandangan yang luas tentang
adabul lughah dan Atsar kefasihannya, baik berupa syair, prosa maupun
lainnya.
Kedua:
iya harus mempunyai pengetahuan mengenai Alquran. Maksudnya
haruslah mengetahui hukum-hukum Syar’iyyah yang terdapat di dalam al-
quran dan ayat ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-
cara mengambil memetik hukum itu dari ayat-ayatnya. Sekiranya suatu
kasus disodorkan kepadanya, maka ia dengan mudah menghadirkan segala
sesuatu yang berkenaan dengan topik kasus itu dari ayat-ayat Ahkam
dalam al-quran, sebab-sebab turunnya masing-masing ayat itu yang
shahih, dan Sunnah yang datang menafsirkan dan mentakwilkan nya.
Berdasarkan Inilah dia mengistimbatkan Hukum kasus itu.
Ketiga:
Iya juga harus mengetahui tentang sunnah. Yaitu ia harus mengetahui
hukum-hukum syara’yang disebut oleh sunnah nabi, sekiranya ia mampu
menghadirkan sunnah yang menyebutkan hukum pada tiap-tiap bab dari
perbuatan mukallaf, mengetahui peringkat sanad sunnah tersebut, dari segi
kesahihannya, atau kedhaifannya dalam periwayatan. Ulama sunnah nabi
telah memberikan karya yang agung. Mereka telah mengadakan penelitian
terhadap sanad sanadnya dan para perawi tiap-tiap hadisnya, sehingga
mereka mencukupi bekal pembahasan mengenai sanad kepada generasi
sesudah mereka. Sehingga pada tiap-tiap hadits dapat diketahui bahwa ia
Hadits mutawatir, hadits Mansyur, Hadits Shahih, hadits Hasan, atau hadis
daif.
Keempat:
iya harus pula mengetahui segi-segi qiyas. Misalnya ia mengetahui tentang
illat, dan hikmah pembentukan hukum yang karenanya hukum
disyariatkan, mengenai jalur-jalur yang dipersiapkan oleh syar’i untuk
mengetahui illat hukumnya. Iya juga harus mengetahui Terhadap berbagai

6
hal ihwal manusia dan muamalah mereka, sehingga ia dapat mengetahui
sesuatu kasus yang tidak ada nashnya yang terbukti illat hukumnya. Iya
juga harus mengetahui tentang kemaslahatan manusia dan adat istiadat
mereka, serta sesuatu yang menjadi perantara kepada kebaikan dan
keburukan mereka, sehingga apabila ia tidak menemukan jalan dalam kias
untuk mengetahui hukum kasus itu, maka ia dapat menempuh jalan lain
dari berbagai jalan yang telah dipersiapkan oleh syariat Islam untuk
sampai kepada istimbat hukum mengenai suatu yang tidak ada nashnya.

Di antara hal yang patut diperhatikan adalah tiga hal, yaitu:


Pertama : bahwasannya ijtihad tidaklah terbagi-bagi. Artinya tidak terbayang ada
seseorang yang pandai menjadi mujtahid dalam hukum perceraian dan bukan
mujtahid dalam hukum pidana, Namun bukan mujtahid dalam hukum ibadah.
Sebab sebagaimana telah kami Kemukakan bahwasanya ijtihad merupakan
ahliyyah dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang mujtahid dalam memahami
Nash Nash dan memetik hukum syariyyah dari nash-nash itu, dan
mengistimbatkan hukum dalam kasus yang tidak ada nashnya.
Kedua: bahwasanya seorang mujtahid mendapat pahala. Jika Iya benar Ia
mendapatkan dua pahala, yaitu satu pahala untuk ijtihadnya dan satu pahala
untuk ketetapannya pada kebenaran. Dan jika ia salah, maka ia memperoleh satu
pahala saja melalui ijtihadnya. Karena Sebagaimana telah kami Kemukakan
Bahwasanya Allah SWT. Tidaklah membiarkan manusia dalam ke sia-siaan.
Bahkan Allah mensyariatkan hukum bagi setiap perbuatan mukallaf, dan
mengemukakan dalil bagi setiap hukum yang ditunjukinya, serta menuntut kepada
orang yang ahli berfikir tentang dalil-dalil ini untuk menganalisa nya, sehingga
sampai kepada hukumnya.
Ketiga: bahwasanya ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad semisalnya. Kalau
sekiranya seorang mujtahid berijtihad pada suatu kasus dan menetapkan hukum
berdasarkan hukum yang dihasilkan oleh ijtihadnya, Kemudian pada lain kali ia
disodori Salah satu bentuk dari kasus tersebut, maka ijtihad nya menghasilkan
hukum yang lain, maka ia tidak boleh membatalkan putusannya yang terdahulu,
sebagaimana mujtahid lainnya yang berbeda pendapat dalam ijtihadnya juga tidak
boleh membatalkan hukumnya, sebab sesungguhnya istihaj yang kedua tidaklah
lebih unggul dari ijtihadnya yang pertama. Demikian pula, tidaklah ijtihad seorang
mujtahid lebih berhak diikuti daripada Ijtihad yang lain. Disamping itu karena
pembatalan ijtihad dengan ijtihad lainnya membawa kepada tidak mantapnya
hukum, dan sesuatu yang diputuskan itu tidak mempunyai keku

Você também pode gostar