Você está na página 1de 4

Agresi Militer Belanda II

Ditulis Rahmad Ardiansyah pada Thursday, February 26, 2015

A. Penyebab terjadinya Agresi Militer Belanda II


Kondisi politik di negeri Belanda menjadi salah satu penyebab awal terjadinya Agresi Militer Belanda
II. Pada 6 Agustus 1948, Dr.Willem Drees menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai
Katolik. Dia menggantikan Dr.L.J.M.Beel yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger
van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi van Mook sebagai
Wakil Gubernur Jenderal. Dr.Beel termasuk dalam garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di
Belanda yang tak ingin memberikan konsesi apapun kepada Indonesia. Hal tersebut berbeda sekali dengan
Profesor Schermerhorn yang sosialis. Dengan pengangkatan Beel, Belanda menunjukkan wajah kerasnya,
dan Letnan Jenderal Spoor yang ingin menghancurkan TNI mendapatkan dukungan politik.
Seperti halnya ketika diadakan perjanjian Linggarjati antara Indonesia dengan Belanda yang dikhianati
Belanda dengan melancarkan Agresi Militer Belanda 1, ketika diadakan perjanjian Renville Belanda juga
mengkhianatinya. Perjanjian Renville yang diadakan pada bulan Januari 1948 di atas kapal Amerika USS
Renville di pelabuhan Jakarta, menyepakati suatu gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook (suatu
garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam kenyataannya masih
tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di dalamnya. (M.C.Rickleffs,1998,340).
Pertikaian wilayah melatarbelakangi jalannya sebuah rencana agresi ke suatu wilayah di Indonesia.
Dimulai dari penolakan kaum Republiken terhadap tuntutan Belanda mengenai kekuasaan Perwakilan
Tinggi Kerajaan Belanda selama periode pemerintahan federal sementara sebelum penyerahan kedaulatan
Belanda. Belanda menuntut agar Perwakilan Tingginya punya hak untuk mengirimkan pasukan
berdasarkan keputusannya sendiri ke daerah-daerah dimana pasukan menemukan sebuah pertikaian.
Para pemimpin Republiken percaya bahwa Belanda baru berani menyerang setelah mereka mendirikan
pemerintahan federal sementara yang terdiri atas Negara-negara bagian Indonesia yang sudah dibangun
dan dikuasai Belanda. Suatu federasi Negara boneka semacam itu diharapkan akan meminta dengan sopan
bangtuan militer kepada Belanda untuk melawan pelanggaran di perbatasan Republiken atau dorongan
pemberontakan dalam satu atau lebih Negara boneka yang berbatasan dengan Republik. Hanya dengan
berpura-pura membantu salah satu pihak Indonesia melawan pihak lainnya, para pemimpin Republik
percaya bahwa Belanda baru berani mengacuhkan Amerika Serikat dan mengkhianati perjanjian Gencatan
Senjata Renville. (Kahin; 2013)
Pada intinya berbagai upaya perundingan digencarkan oleh Pemerintah Republik seperti Mohammad
Hatta dengan Menteri-menteri dari Belanda dan Amerika. Sebuah kedaulatan wilayah menjadi pokok
persoalan mengapa Belanda melakukan agresi pasukan militer wilayah Republiken, dengan dalih
menempatkan pasukannya kedaerah-daerah yang bertikai. Perundingan itu dilaksanakan dengan atau tanpa
melalui KTN yang ditengahi oleh Amerika Serikat. Pada dasarnya sama-sama membawa sebuah
kepentingan politik dengan tujuan masing-masing. Kejelasan utama ada pada para tokoh Republiken yang
dengan teguh mempertahankan kedaulatan Negara pascar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

B. Tujuan Belanda melancarkan Agresi Militer II


Pasca pecahnya pemberontakan PKI di Madiun. Gubernur Jenderal van Mook digantikan oleh Dr.
L.J.M Beel dengan jabatan baru yakni Komisi Tinggi Kerajaan Belanda. Beel sebagai otak dari Agresi
Militer Belanda II mempunyai dua tujuan. Tujuan pertamanya yaitu bahwa Republik sebagai suatu
kesatuan ketatanegaraan harus dihancurkan dan itu hanya dapat dilakukan dengan cara ini. Tujuan
keduanya, ia bermaksud membentuk Pemerintah Interim Federal yang didasarka atas Peraturan
Pemerintahan dalam Peralihan, di mana wakil-wakil dari daerah-daerah federal dan unsur-unsur yang
kooperatif dan moderat dari bekas Republik harus ikut ambil bagian dalam PIF tanpa mewakili bekas
Republik. (Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, 183).
Tujuan Belanda pada titik tertentunya berada pada poros kaum paternalis. Hingga suatu tingkatan luas,
paternalism mereka merupakan rasionalisasi dari keuntungan ekonomi mereka. Menurut mereka
rasionalisasi tersebut adalah percaya sebagai syarat-sayarat untuk mempertahankan dan mempromosikan
kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Kemudian masalah martabat orang Belanda yang
berkeinginan agar orang Indonesia bergantung pada Belanda. Dan untuk mengimbangi kecilnya Negara
Belanda dalam suatu dunia Negara-negara raksasa.
Akhirnya terdapat suatu kelompok penting lain, kelompok ini memiliki dua elemen pokok. Yang
pertama diwakili mayoritas orang Belanda yang mempunyai investasi yang diwakili bidang pengelolaan
mereka di Indonesia. Elemen kedua berasal dari perwira militer dari KNIL dan pegawai negeri Belanda.
Singkatanya ini adalah kelompok yang memiliki kepentingan utama yang diletakan dalam kedudukan yang
disediakan oleh militer penjajah dan aparat pemerintah. (Kahin;2013)
Dapat dilihat, tujuan dalam setiap gerakan agresor Belanda terhadap Indonesia, dilatar belakangi dari
berbagai sisi, yakni dari segi ekonomi dengan kembalinya Indonesia ke penjajahan Belanda, kepentingan
ekonomi investasi Belanda akan tetap bertahan dan memperoleh laba besar. Yang kedua dari sisi social,
dalam kaitannya dengan masalah kedudukan orang Belanda yang masih di Indonesia. Ketiga soal
kedudukan Belanda di mata dunia, dengan upaya perundingan yang kenyataannya gagal. Dan dengan
ambisinya Belanda menggunakan Agresi Militer untuk melangsungkan tujuannya tersebut dengan adanya
dukungan Militer dan sekutu.

C. Proses berlangsungnya Agresi Militer II


Kebijakan Belanda terhadap Indonesia yang mulai ditetapkan pada akhir bulan di tahun 1948 meliputi
suatu strategi tiga-sisi. Pertama kebijakan ini mengharapkan penerapan kekuatan militer secukupnya untuk
menghancurkan Republik dan kehancuran total Militer Indonesia. Kedua, kebijakan ini menginginkan
program pemecah belah secara menyeluruh diatur melalui suatu bentuk pemerintahan tidak langsung
dengan menjadikan Indonesia sebagai Negara federal serikat. Yang ketiga, kebijakan ini mengahrapkan
diperolehnya sanksi internasional atas program melalui pemberian kedaulatan kepada federasi Indonesia
yang secara tidak langsung dikausai Belanda ini. (Kahin;2013)
Pada tanggal 19 Desember 1948, tentara Belanda melancarkan aksi militernya yang kedua. Dengan
aksi militernya itu, Belanda berusaha menghancurkan Indonesia dan militernya. Hasilnya dapat menguasai
Ibukota RI di Yogyakarta. Belanda juga berhasil menahan presiden, wapres, dan para pejabat
pemerintahan sipil maupun militer lainnya. Namun Palima Besar TNI Jenderal Soedirman dapat
meloloskan diri dan selanjutnya melakukan perang Gerilya. (Kemdikbudpar; 2011)
Pada saat penyerbuan Belanda ke Yogyakarta, ditandai dengan berita mengenai pencabutan pihak
Belanda atas perjanjian Gencatan Senjata Renville diterima di Yogyakarta pada jam 5.30 sore berupa
serangan pesawat-pesawat udara pembom Belanda di lapangan udara terdekat. Kemudian para pembom
Belanda dan penembakan roket P.51 dan Spitfires mulai melemahkan Yogyakarta yang kekuatannya
dibangun di Bandar udara daerah itu. Brigade Marinir Belanda dibantu tentara KNIL berhasil mencapai
pusat kota hingga istana Presiden. Hingga dapat menangkap Soekarno, Hatta dan anggota cabinet
Republik, termasuk Agus Salim. (Kahin;2013)
Pokok bahasannya ada pada serangan militer langsung dengan metode perang total war , yakni perang
terbuka secara langsung dengan menggunakan taktik perang dalam melupuhkan lawan secara cepat dan
terorganisisr dengan dukungan peralatan dan persenjataan. Yang diuntungkan adalah Belanda berhasil
merebut statsiun Radio Republik sebelum Soekarno menyebarkan pidato peristiwa penyerbuan tersebut.
Dalam pertempuran ini melibatkan TNI, yang pada waktu itu masih tercerai berai diberbagai wilayah
diluar Yogyakarta. Jenderal Soedirman pun meninggalkan Yogyakarta ke Ambarawa dan melakukan
startegi gerilya. Yogyakarta sudah diduduki Belanda. Yang kemudian para panglima TNI membuat
pertemuan di luar kota untuk membuat taktik gerilya dalam perebutan kembali Ibukota Negara
Yogyakarta. A.H Nasution dan Jenderal Soeharto memimpin pasukan perebutan kembali Ibukota, dengan
taktik gerilya, wilayah Yogya dan sebagian Jawa Tengah mengalami pertempuran gerilya. Yang pada
akhirnya membuat Presiden Soekarno yang diasingkan ke Bangka membuat keputusan untuk
menyelamatkan NKRI dengan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinngi dengan
menunjuk Sjafrudin Prawiranegara untuk memimpin sebagi pejabat Presiden untuk menjalankan
pemerintahan Indonesia.

D. Dampak peristiwa Agresi Militer II


Dalam sebuah tindakan agresi militer, ada dua sudut pandang yang akan menjadi telaah kajiannya.
Pertama dari sudut pandang sang agresor, yakni Belanda. Belanda pada dasarnya bertujuan untuk
menduduki Nusantara yang telah mengkayakan negerinya. Dari sudut pandang ini, dampak bagi Belanda
adalah mengeluarkan sebagian anggaran untuk melancarkan agresi ini. Menentang dunia dalam hal
perdamaian, hingga efek pengucilan untuk selanjutnya.
Kedua, dari sudut pandang Indonesia. Indonesia mendapat dampak yang luar biasa besarnya. Dalam
agresi militer Belanda II ini, Indonesia dalam posisi terkekang, dari dalam dan luar negeri. Terjadi
instabilisasi politik, hukum, dan keamanaan. Setelah Soekarno dan lainnya ditangkap, terjadi kekosongan
kekuasaan di Republik Indonesia. Hingga mennganam kedaulatan NKRI pada wkatu itu. Status Negara
menjadi darurat perang, mengakibatkan macetnya roda perekonomian dan hubungan kerjasama antar
Negara-negara lain. Hal demikian yang menjadi focus dunia untuk menyelesaikan pertikaian konflik yang
berlatar belakang wilyah dan kepentingan ini oleh dunia. Menurut George McTurnan Kahin, dalam
Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, percaturan politik dan militer pada Agresi Belanda II mendapat
perhatian khusus dari Dewan Keamanan PBB, hingga menyebabkan berbagai usulan dan pendapat dari
negar-negara pmegang hak veto untuk berunding dalam permasalahan Belanda-Indonesia (Kahin;2013).
Alhasil Indonesia berada pada kondisi yang tidak stabil dengan pertaruhan yang sangat mahal.

E. Upaya Indonesia menghadapi Agresi Militer II


Indonesia melakukan beberapa cara dalam menghadapi serangan Agresi Belanda. Pemimpin RI
membiarkan dirinya ditangkap tentara Belanda dengan harapan bahwa opini dunia akan begitu tersinggung
sehingga kemenangan militer Belanda akan berbalik menjadi kemenangan diplomasi Indonesia. Namun,
tindakan tersebut disalahartikan oleh tentara. Para tentara merasa telah mengorbankan diri mereka untuk
Indonesia, sedangkan para pemimpinnya dengan mudah menyerahkan dirinya kepada Belanda. Tentara
Indonesia merasa bahwa hanya tinggal merekalah satu-satunya penyelamat negeri. Akan tetapi, hal
tersebut dapat diatasi. Mereka segera melakukan perang gerilya untuk mengusir tentara Belanda dari
Indonesia. Taktik para pemimpin kita akhirnya berhasil. Dewan Keamanan PBB tersinggung, karena
Belanda telah memperlakukan mereka secara tidak pantas atau tidak dihargai. Sewaktu Belanda
melancarkan agresinya, Komite Jasa-jasa baik sedang berada di Kaliurang, tempat yang dekat dengan
terjadinya serangan oleh Belanda.
Presiden Sukarno, sesaat sebelum ditangkap oleh tentara belanda telah mengadakan rapat dan
menunjuk Syafrudin Prawiranegara yang ketika itu sedang berada di Sumatera untuk segera menbentuk
pemerintahan darurat jika pemerintah RI Yogyakarta tidak berfungsi lagi. Selain itu, Presiden Suakrno
juga mengirim perintah kepada Sudarsono yang waktu itu sedang di New Delhi, India, untuk membentuk
pemerintahan darurat jika pemerintahan di Sumatera (Syafrudin Prawiranegara) tidak berhasil.
Pada akhirnya, PBB membentuk UNCI ( United Nations commission for Indonesia) yang biasa
dikenal dengan Komisi PBB untuk Indonesia. Atas usaha UNCI inilah akhirnya berahsil diselenggarakan
perjanjian Roem-Roijen yang dimulai pada pertengahan April 1949. Namun, perundingan mengalami
kesulitan titik temu antara kedua belah pihak, sehingga baru berhasil disepakati pada awal Mei 1949.
Hasil perundingan Roem-Roijen :
1. Pernyataan Indonesia
a. Perintah kepada TNI untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerja sama dalam mengendalikan perdamaian, ketertiban, dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag untuk mempercepat pengakuan
kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat secara lengkap tanpa syarat.
2. Pernyataan Belanda
a. Menyetujui pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Menyetujui RI sebagai Negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat.
d. Berusaha sungguh-sungguh menyelenggarakan KMB di Den Haag.
Sejak bulan Juni 1949, berlangsung persiapan pemulihan pemerintahan RI di
Yogyakarta. Persiapan itu berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak tanggal 24 sampai
29 Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari kota Yogyakarta. Setelah itu, TNI memasuki kota
Yogyakarta. Pada tanggal 6 Juni 1949, presiden dan wakil presiden serta para pemimpin
lainnya kembali ke Yogyakarta.

Você também pode gostar