Você está na página 1de 17

Nama: Priyan Pratmanto

NIM : G4D014047

Analisa Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP)

1. Definisi
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harfiah menghidupkan
kembali, dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah
suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.4
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan
jantung dan pada henti napas.5
RJP adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung
yang dilakukan pada korban serangan jantung.6

2. Indikasi
a. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir,
serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lainnya.7
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung.7

b. Henti Jantung

1
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidaksanggupan curah jantung
untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau
akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal
akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung.7
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis,
radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti
atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang
cahaya dan pasien tidak sadar.4
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin
(Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4
menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap,
walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.7

3. Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:4
Fase I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti
jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.

Fase II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu


tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (electrocardiography) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin
setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel,
asistole, atau agonal ventricular complex.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.

2
Fase III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara
terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf
dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat
dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hypothermia) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° - 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya
berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang.4

4. Persiapan
A. Anestesi
Karena seseorang dalam serangan jantung adalah hampir selalu tidak
sadar, obat-obat anestesi biasanya tidak diperlukan untuk resusitasi
kardiopulmoner (RJP).8
B. Peralatan
RJP, dalam bentuk yang paling dasar, dapat dilakukan di mana saja tanpa
perlu peralatan khusus. Terlepas dari peralatan yang tersedia, teknik yang
tepat sangatlah penting.8
Alat pelindung diri (APD) yaitu, sarung tangan, masker, gaun, harus
digunakan. Namun, pada sebagian besar pasien yang diresusitasi di luar
rumah sakit, RJP dilakukan tanpa perlindungan seperti itu, dan tidak ada
kasus yang telah dilaporkan tentang penularan penyakit melalui
pengiriman pasien yang di RJP. Beberapa rumah sakit dan sistem
pelayanan medis darurat, menggunakan perangkat elektronik untuk

3
memberikan penekanan dada mekanik, meskipun sampai relatif baru-baru
ini, perangkat tersebut belum terbukti lebih efektif daripada kompresi
manual yang berkualitas tinggi. Sebuah penelitian yang telah
dipublikasikan menunjukkan bahwa adanya peningkatan angka harapan
hidup dengan hasil neurologis yang lebih baik pada pasien yang menerima
kompresi dekompresi-RJP secara aktif, dengan augmentasi tekanan negatif
intrathoracic, dibandingkan dengan pasien yang menerima standar RJP.
Selain itu, sistem kesehatan lainnya telah mulai menerapkan perangkat
elektronik untuk memantau RJP dan memberikan umpan balik untuk
penyedia audiovisual RJP, sehingga membantu mereka meningkatkan
kualitas kompresi selama RJP.8 Seorang operator Advanced Cardiac
Life Support (ACLS) (yaitu, dokter, perawat, paramedis) juga dapat
memilih untuk memasukkan pipa endotrakeal langsung ke dalam trakea
pasien (intubasi), yang menyediakan ventilasi yang paling efisien dan
efektif. Namun, 2 penelitian kohort retrospektif telah dipertanyakan nilai
intubasi endotrakeal pra-rumah sakit, dan studi lebih lanjut di daerah ini
dibenarkan.8
Perangkat tambahan yang digunakan dalam pengobatan serangan jantung
adalah defibrilator jantung. Perangkat ini memberikan kejutan listrik ke
jantung melalui 2 elektroda ditempatkan pada dada pasien dan dapat
mengembalikan jantung ke irama perfusi normal.8
C. Pemposisian pasien
RJP adalah yang paling mudah dan efektif dilakukan dengan meletakkan
pasien secara terlentang pada permukaan yang relatif keras, yang
memungkinkan kompresi efektif pada sternum. RJP yang dilakukan di atas
bahan yang lembut seperti kasur atau yang lainnya, umumnya kurang
efektif.
Petugas kesehatan yang memberikan penekanan harus ditempatkan cukup
tinggi di atas pasien untuk mencapai ketinggian yang cukup, sehingga ia
dapat menggunakan berat badannya untuk kompresi dada yang cukup.8

4
Di rumah sakit, di mana pasien berada di atas brangkar atau tempat tidur,
posisi yang tepat sering dicapai dengan menurunkan tempat tidur, operator
RJP yang berdiri di atas bangku pijakan , ataupun keduanya. Dalam RJP di
luar rumah sakit, pasien sering diposisikan di lantai, dengan operator RJP
berlutut di samping pasien.8

5. Prosedur RJP
Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen : kompresi dada
dan mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) napas buatan.9
Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih
dahulu:
1. Apakah korban dalam keadaan sadar?
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu
korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi
rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP

A. Bantuan Hidup Dasar


Merupakan prosedur pertolongan darurat tentang henti jantung dan henti
napas serta bagaimana melakukan RJP yang benar sampai ada bantuan datang.
Pedoman 2010 AHA untuk CPR dan ECC merekomendasikan perubahan dalam
tunjangan hidup dasar yaitu urutan langkah dari A-B-C (Airway – Breathing –
Chest compressions) diganti dengan C-A-B (Chest compressions – Airway –
Breathing). Perubahan ini adalah karena sebagian besar henti jantung disebabkan
oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul
oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%).
Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat
gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi
aktivitas jantung menghilang. Maka pada kondisi seperti ini, unsur-unsur penting
dari awal BLS adalah penekanan dada dan defibrilasi awal. Dalam urutan A-B-C,
penekanan dada sering tertunda sementara responden membuka saluran udara

5
untuk memberikan nafas mulut-ke-mulut, mengambil perangkat penghalang, atau
mengumpulkan dan merakit peralatan ventilasi. Dengan mengubah urutan ke C-
A-B, penekanan dada akan dimulai lebih cepat. Terdapat juga satu hambatan pada
urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang penyedia layanan kesehatan
primer menemukan yang paling sulit sekali, yaitu, membuka jalan napas dan
memberikan napas. Dimulai dengan penekanan dada mungkin lebih mendorong
penyedia pelayanan kesehatan primer untuk memulai RJP. Perubahan besar pada
Pedoman 2010 AHA untuk CPR dan ECC adalah sebagai berikut :6
 Karena korban serangan jantung dapat bermanifestasi dengan waktu yang
singkat seperti kegiatan serangan atau agonal gasps yang dapat
membingungkan layanan kesehatan primer, jadi mereka harus dilatih
secara spesifik untuk mengidentifikasi presentasi serangan jantung untuk
meningkatkan pengakuan serangan jantung.
 Dokter harus menginstruksikan penyelamat yang tidak terlatih untuk
memberikan Hands-Only CPR untuk orang dewasa dengan serangan
jantung mendadak.
 Perbaikan telah dilakukan untuk rekomendasi untuk pengakuan segera dan
mengaktivasi emergency response system setelah dokter mengidentifikasi
pasien dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau tidak
bernapas normal (yaitu, hanya terengah-engah). Dokter memeriksa kondisi
kesehatan pasien secara singkat tanpa bernapas atau tidak bernapas normal
(yaitu, tidak bernapas atau hanya terengah-engah). Dokter kemudian
mengaktifkan emergency response system dan mengaktifkan AED (atau
mengirim seseorang untuk melakukannya). Dokter tidak harus
menghabiskan lebih dari 10 detik memeriksa denyut nadi, dan jika denyut
nadi tidak benar-benar teraba dalam waktu 10 detik, harus dimulai RJP
dan menggunakan defibrillator eksternal otomatis (AED) bila sudah
tersedia.
 "Melihat, mendengar, dan merasakan pernafasan" telah dihapus dari
algoritma.
 Penggunaan tekanan krikoid selama ventilasi umumnya tidak dianjurkan.

6
 Penyelamat harus memulai penekanan dada sebelum memberikan napas
penyelamatan (C-A-B bukan A-B-C). Permulaan awal RJP dengan 30
kompresi daripada 2 ventilasi menyebabkan penundaan lebih pendek
untuk kompresi pertama.
 Tingkat kompresi dimodifikasi untuk setidaknya 100/menit dari sekitar
100/menit.
 Kompresi kedalaman untuk orang dewasa telah sedikit diubah untuk
minimal 2 inci (sekitar 5 cm) dari kisaran yang direkomendasikan
sebelumnya sekitar 1. sampai 2 inci (4 sampai 5 cm).
 Kompresi dada pada tingkat yang memadai dan mendalam, membiarkan
recoil dada lengkap antara penekanan, meminimalkan gangguan dalam
tekanan, dan menghindari ventilasi berlebihan.
 Mengurangi waktu antara kompresi terakhir dan pengiriman shock dan
waktu antara pengiriman shock dan dimulainya kembali penekanan segera
setelah memberi shock.
 Ada peningkatan fokus menggunakan pendekatan tim selama RJP
dilaksanakan

Perubahan ini dirancang untuk menyederhanakan pelatihan bagi dokter dan


untuk terus menekankan kebutuhan untuk menyediakan RJP berkualitas tinggi
bagi pasien serangan jantung.

7
.
Gambar 1. Algoritma Basic Life Support (BLS)

Untuk membantu dokter mengenali serangan jantung, dokter harus


mengetahui pasien bernapas, dan jika bernafas adalah normal, dalam upaya untuk
membedakan korban dengan terengah-engah misalnya, pada pasien yang
membutuhkan RJP dari korban yang bernafas normal dan tidak perlu RJP.
Pedoman 2010 AHA untuk CPR dan ECC menyarankan dokter untuk
menginstruksikan penyelamat untuk memberikan Hands-Only CPRTM untuk
orang dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau tidak bernapas
normal. Perubahan pada pedoman 2010 AHA untuk CPR dan ECC adalah untuk
merekomendasikan inisiasi dengan penekanan dada sebelum ventilasi. Meskipun
tidak ada bukti dipublikasikan pada manusia atau hewan yang menunjukkan
bahwa permulaan RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi mengarah ke hasil
yang lebih baik, penekanan dada memberikan aliran darah, dan penelitian
menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi bila para pengamat
disediakan penekanan dada daripada tidak penekanan dada. Malah penekanan

8
dada dapat dimulai segera, sedangkan posisi kepala dan mencapai segel untuk
mulut-mulut atau sungkup membutuhkan waktu yang lama. Keterlambatan
inisiasi penekanan dapat dikurangi jika 2 penyelamat yang hadir: para penyelamat
pertama dimulai penekanan dada, dan penyelamat kedua membuka jalan napas
dan siap untuk memberikan napas segera sebagai penyelamat pertama telah
menyelesaikan set pertama dari 30 penekanan dada. Penekanan menyebabkan
pengaliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathoracic dan
langsung menekan jantung. Penekanan menghasilkan aliran darah kritis dan
pengiriman oksigen dan energi ke jantung dan otak. Kebingungan dapat terjadi
bila berbagai kedalaman dianjurkan, jadi satu kedalaman kompresi
direkomendasikan. Penyelamat sering tidak memadai memampatkan dada
meskipun direkomendasi untuk mendorong keras. Selain itu, ilmu sains yang ada
menunjukkan bahwa penekanan dari minimal 2 inci lebih efektif dibandingkan
penekanan dari 1 inci. Dengan ini, pedoman 2010 AHA untuk CPR dan ECC
merekomendasikan kedalaman minimum tunggal untuk kompresi dada orang
dewasa, dan bahwa kedalaman kompresi lebih dalam daripada rekomendasi yang
lama.6
Jumlah penekanan dada per menit selama RJP merupakan faktor penentu
penting dari kelangsungan hidup dengan fungsi neurologis yang baik. Jumlah
sebenarnya penekanan dada diberikan per menit ditentukan oleh laju penekanan
dada dan jumlah dan durasi gangguan dalam penekanan (misalnya, untuk
membuka jalan napas, memberikan napas penyelamatan, atau mengizinkan
analisis dari AED). Pada banyak penelitian, pengiriman penekanan yang lebih
selama resusitasi dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih baik, dan
pengiriman penekanan lebih sedikit dikaitkan dengan kelangsungan hidup lebih
rendah. Pernapasan diperiksa secara singkat sebagai bagian dari pemeriksaan
untuk serangan jantung. Setelah set pertama penekanan dada, jalan napas dibuka
dan penyelamat memberikan 2 napas kepada pasien.6
Tekanan krikoid adalah teknik memberi tekanan kepada tulang rawan
krikoid pasien untuk mendorong trakea posterior dan kompres kerongkongan
terhadap vertebra serviks. Penekanan krikoid dapat mencegah tekanan inflasi

9
lambung dan mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi
menggunakan sungkup, tetapi juga dapat menghambat ventilasi. Tujuh penelitian
secara acak menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menunda atau
mencegah penempatan suatu saluran napas dan bahwa aspirasi masih dapat terjadi
meskipun aplikasi tekanan krikoid dilakukan. Oleh karena itu, penggunaan rutin
tekanan krikoid tidak dianjurkan.6
Bantuan hidup dasar biasanya digambarkan sebagai urutan tindakan, dan ini
terus benar untuk dokter. Kebanyakan dokter bekerja dalam tim, dan anggota tim
biasanya melakukan tindakan BLS secara bersamaan. Misalnya, salah satu
penyelamat segera memulai penekanan dada sementara penyelamat lain
mendapatkan AED dan panggil untuk bantuan, dan penyelamat ketiga membuka
jalan napas dan menyediakan ventilasi.6

B. Bantuan Hidup Lanjut


Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah :
D (Drugs) : Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan :
1. Penting :
a. Adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang
perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 miokard, takiaritmi,
dan fibrilasi ventrikel.4
b. Natrium Bikarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan
iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus
setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu
sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena
bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila
belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis
yang sama.4
c. Sulfat Atropin : Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk
digunakan rutin dalam pengelolaan pulseless electrical activity

10
(PEA)/asistol. Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi.
Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam
interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60/menit, dosis total tidak
boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia
dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama
diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari
kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter
absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah
kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang multi fokal dan episode
takikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan
dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3
mg/menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg/menit, berupa lidocaine 500 ml
dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).4

2. Berguna :
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi
hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah
2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5
%), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60
kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil
diatasi dengan Atropine.4
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti
berguna untuk kasus-kasus takikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi
ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan

11
Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg,
dengan pengawasan yang ketat.4
c. Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB
metil prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexametason fosfat)
untuk pengobatan syok kardiogenik atau syok lung akibat henti jantung.
Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg metil
prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada
komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dexametason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.4

E (Electrocardiography)
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan
monitoring.
F (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada ventrikel fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak
teratur baik amplitudo maupun frekuensinya. Terapi definitifnya adalah syok
elektrik (DC-Shock) dan belum ada satu obat pun yang dapat menghilangkan
fibrilasi. Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda
dipasang sebelah kiri puting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.

Gambar 2. EKG abnormal

12
DC Shock
Indikasi : Shockable

- Ventricular Tachycardia (VT) tanpa pulsasi carotis (pulseless)


- Ventricular Fibrilation (VF) coarse (kasar)

Kontraindikasi : Un-shockable

- Asystole
- Pulseless Electrical Activity (PEA)
- Electro Mechanical Dissociation (EMD)

Cara :

- Gunakan DC shock unsynchronized, single shock 360 Joule


(monophasic), 200 Joule (biphasic)
- Bila tetap VT (pulseless)/VF coarse, lakukan defibrilasi 360/200 J
berulang bergantian dengan pijat jantung
- Adrenalin 1 mg (1 ampul) dimasukkan setiap 3 – 5 menit
- Lidocaine atau amiodarone dapat diberikan setelah pemberian 3 shock dan
irama tetap VT/VF

Penyulit : luka bakar bila jelly kurang, shock listrik (shock electric) bila ada
kebocoran arus listrik

Cara memakai DC Shock:

- Siapkan DC Shock, nyalakan powernya, pilih unsynchronized, pilih dosis


energi 360/200 J.
- Beri jelly secukupnya pada electrode pedal, oles pakai tangan.
- Charge elektrode sampai bunyi “tiiiiiiiiiiiiittttttt…………………….”
(pengisian selesai).
- Semua penolong minggir (tidak menempel tempat tidur pasien), katakan
“atas bebas, bawah bebas, samping bebas, saya bebas”, ingat:
BEBASKAN DARI SUMBER OKSIGEN.
- Kejut di Sternum dan di Apex jantung (ICS 5 sinistra, axilla ant.line)
dengan tekanan ± 10 kg (pedal boleh dibolak-balik)

13
VT (pulseless)/VF coarse
Pijat 100 x/menit
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR
Nafas 8 – 10 x/menit

Cardiac arrest Adrenalin Adrenalin


VT/VF 2 menit 2 menit

2 menit 2 menit
CPR-1 a single shock a single shock a single shock amiodaron a single shock
30 : 2 CPR-2 CPR-3 CPR-4 a single shock CPR-6
adrenalin CPR-5
Call for
help AMIODARON is the first choice 300 mg, bolus.
Adrenalin : 1mg, Repeated 150 mg for recurrent VT/VF.
Pasang i.v., repeated Followed by 900 mg infusion over 24 hours
monitor every 3-5 LIDOCAINE. Do not exceed a total dose of 3
mg/kg, during the first hour

Evaluasi CPR : tiap 2 menit

ASYSTOLE/PEA/EMD Pijat 100 x/menit


Intubasi : as soon as possible, without stop CPR Nafas 8 – 10 x/menit

Cardiac arrest Evaluasi Evaluasi


Evaluasi Adrenalin Evaluasi Adrenalin
ASYST 2 menit 2 menit

CPR-1 2 menit 2 menit


30 : 2 CPR-2 CPR-3 CPR-4 CPR-5 CPR-6
Call for adrenalin
help Adrenalin : 1mg,
Pasang i.v., repeated Evaluasi CPR : tiap 2 menit
monitor every 3-5

Gambar 3. Algoritma CPR pada keadaan VT/VF dan Asystole/PEA/EMD

14
Gambar 4. Algoritma baru advanced cardiovascular life support (ACLS)

C. Bantuan Hidup terus-menerus


G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus menerus
terutama sistem pernapasan, kardiovaskuler, dan sistem saraf.
H (Head) : Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologis
yang permanen.
H (Hypothermy) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf
pusat yaitu pada suhu antara 30°-32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia
yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : Perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

15
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah
medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan
kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat
adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan
refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap
dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha
resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan
terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut
selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.4

6. Pasca prosedur
Komplikasi
Melakukan penekanan dada dapat menyebabkan patahan rusuk atau tulang
dada, meskipun insiden semacam fraktur secara luas dianggap rendah.
Pernapasan buatan menggunakan metode ventilasi yang invasif (misalnya,
mulut ke mulut, bag-valve-mask [BVM]) sering dapat mengakibatkan
insuflasi lambung. Hal ini dapat menyebabkan muntah, yang selanjutnya dapat
menyebabkan napas kompromi atau aspirasi. Masalahnya dapat dihilangkan
dengan menyisipkan saluran napas invasif, yang mencegah udara memasuki
kerongkongan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Sanif E., 2010. Metode Baru Resusitasi Jantung Paru. Disitasi dari
http://www.jantunghipertensi.com/index.php?option=com_content&task=vi
ew&id=206&Itemid=9
2. Stoppler M.C., 2010. The Importance of CPR. Disitasi dari
http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/article
_em.htm
3. Dar Ahmed B., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. Assocaiate Prof of
Medicine. Chinkipora Sopore Kashmir, India.
4. Andrey, 2012. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler.
Disitasi dari http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasijantung-
paru-pada-kegawatan-kardiovaskuler/
5. Wikipedia, 2010. Cardiopulmonary Resuscitation. Disitasi dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Cardiopulmonary_ resuscitation
6. American Heart Association. 2010. Cardiopulmonary resuscitation. Disitasi
tanggal 18 maret 2012 dari
http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479
7. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit
FKUI. Jakarta.
8. Lira .A , Kulkarni R. 2012. Cardiopulmonary Resuscitation. Diperbaharui
tanggal 17 Juni 2011 , disitasi tanggal 18 Maret 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1344081-overview
9. Mayo Clinic staff. 2010. Cardiopulmonary Resusistation. Disitasi dari
http://www.mayoclinic.com/health/first-aid-cpr/FA00061
10. Agarwal P.S.& Jadon A., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. TATA
Motors Hospital. Jamshedpur. India.
11. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Suppot in
Circulation Journal.

17

Você também pode gostar