Você está na página 1de 15

ANALISA GAS DARAH

Oleh: Goodwin Anthony Pakan

LATAR BELAKANG
Homeostasis adalah keadaan mempertahankan komposisi pada lingkungan internal
yang esensial bagi kesehatan, mencakup air dalam tubuh dan mempertahankan konsentrasi
pH serta elektrolit yang tepat. Pemeliharaan pH cairan ekstraseluler antara 7,35-7,45 dengan
peranan penting yang dimiliki oleh sistem penyangga bikarbonat sangat esensial bagi
kesehatan. Gangguan keseimbangan asam-basa didiagnosa dalam laboratorium klinik dengan
pengukuran darah arteri dan kandungan CO2 dalam darah vena.
Homeostasis asam-basa fisiologis normal adalah usaha dari paru-paru dan ginjal yang
terkoordinasi dan gangguan asam-basa terjadi bila salah satu atau kedua mekanisme
pengontrol ini terganggu, jadi menghambat konsentrasi ion bikarbonat atau pCO2 dalam
cairan ekstraseluler. Bila gangguan keseimbangan asam-basa adalah akibat dari perubahan
primer pada konsentrasi ion bikarbonat cairan ekstraseluler, maka gangguan tersebut adalah
gangguan asam-basa metabolik.
Pemeriksaan gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-
pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai
keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigenasi dalam darah, kadar karbondioksida
dalam darah, sehingga dapat menentukan gangguan atau potensi penyakit yang di alami oleh
pasien, sehingga tim medis dapat memberikan diagnosa dan tatalaksana yang tepat.
Analisa gas darah arteri memungkinkan untuk pengukuran pH (dan juga keseimbangan
asam basa), oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar bikarbonat, saturasi oksigen, dan
kelebihan atau kekurangan basa. Pemeriksaan gas darah arteri dan pH sudah secara luas
digunakan sebagai pegangan dalam penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang akut
dan menahun. Pemeriksaan gas darah juga dapat menggambarkan hasil berbagai tindakan
penunjang yang dilakukan, tetapi kita tidak dapat menegakkan suatu diagnosa hanya dari
penilaian analisa gas darah dan keseimbangan asam basa saja, kita harus menghubungkan
dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan data-data laboratorium lainnya.

DEFINISI
Analisa gas darah merupakan pemeriksaan darah yang dapat mengukur kadar dari
beberapa kandungan gas di dalam darah yang mengandung banyak oksigen. Beberapa dari
kadar gas tersebut dapat diukur langsung sementara beberapa yang lain didapatkan dari
pengukuran. Dengan mengukur gas di dalam darah arteri, dapat ditentukan tingginya kadar
gas yang dikandung oleh darah sebelum mengalir ke seluruh tubuh.
Tujuan Analisa Gas Darah :
Menilai tingkat keseimbangan asam dan basa
Mengetahui kondisi fungsi pernafasan dan kardiovaskuler
Menilai kondisi fungsi metabolisme tubuh

Indikasi Analisa Gas Darah


Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik
Pasien deangan edema pulmo
Pasien Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Infark miokard
Pneumonia
Pasien dengan syok
Post pembedahan coronary arteri baypass
Resusitasi cardiac arrest
Anestesi yang terlalu lama

Hal yang di nilai pada analisa gas darah adalah:


1. pH darah.
Kadar HCO3-dan pCO2 merupakan hal penting dalam perhitungan pH, yang
dirumuskan dalam persamaan Henderson-Hasselbalch, yang merupakan dasar interpretasi ini.
pH tubuh normal berada pada rentang nilai 7,35-7,45
Bila terjadi penurunan pH< 7,35 disebut asidosis
Bila terjadi kenaikan pH > 7,45 disebut alkalosis

2. pCO2
pCO2 darah merupakan komponen respiratorik. Kadar normal pCO2 adalah 35 – 45
mmHg. Asidosis respiratorik terjadi bila kadar pCO2 > 45 mmHg dan alkalosis respiratorik
akan terjadi bila kadar pCO2 < 35 mmHg.
3. Kadar HCO3-
Kadar HCO3- merupakan indikator untuk gangguan karena proses metabolik. Kadar
normal HCO3- adalah 22 – 28 mmol/l. Pada asidosis metabolik akan terjadi penurunan kadar
HCO3- sedang pada alkalosis metabolik akan terjadi kenaikan kadar HCO3-.

4. Base excess (BE)


Adalah jumlah asam atau basa yang ditambahkan kedalam 1 liter darah/cairan
ekstraseluler pada suhu 37oC, pCO2 40 mmHg dan SO2 100%, tujuannya agar pH kembali
ke 7,4. Nilai BE dapat “+” atau “ ̶ “. Nilai rujukan : ̶ 2 sampai + 2. Nilai BE > 2 menunjukkan
suatu alkalosis metabolik, sedangkan BE < –2 mengindikasikan asidosis metabolik.

5. Tekanan oksigen (pO2)


pO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan
hipoksemia sehingga pasien tidak bernafas dengan adekuat. pO2 dibawah 60 mmHg
mengindikasikan perlunya pemberian oksigen tambahan. Kadar normal pO2 adalah 80-100
mmHg.

6. Kadar O2
Merupakan kadar ukuran relatif suatu oksigen yang terlarut dalam suatu media. Di
dalam darah kadar oksigen normal adalah > 90%. Kurangnya kadar oksigen dalam darah
disebut hipoksemia.

7. Saturasi oksigen (SO2)


Adalah ukuran seberapa banyak prosentase oksigen yang mampu dibawa oleh
hemoglobin. Satuannya dinyatakan dalam persen. Nilai normal saturasi oksigen adalah
>95%.
Penentuan parameter ini dapat dilakukan dengan alat “ Blood Gas Analyzer “. pH,
pCO2, dan pO2 dapat di ukur secara langsung dengan elektroda, sedang kadar bikarbonat,
CO2 total, base excess dan saturasi oksigen dihitung dari formula Henderson-Hasselbalch.
Pengambilan dan penanganan sampel
Jenis Sampel
Sampel darah dapat diambil dari:
1. Kapiler
Pengambilan darah kapiler sering dilakukan kepada bayi. Pembuluh darah kapiler
harus diperlebar sebelum dilakukan penusukan dengan cara menghangatkan tempat
pengambilan pada suhu 45oC sampai 47o C menggunakan kain basah (arterilisasi). Tempat
Pengambilan bisa pada ibu jari kaki, tumit, ujung daun telinga. Pengambilannya
menggunakan tabung kapiler yang telah terlapisi heparin.

2. Vena
Sampel darah vena sudah ditinggalkan karena tidak mencerminkan status pertukaran
gas dalam tubuh secara keseluruhan.

3. Arteri
Darah arteri merupakan specimen yang paling baik. Beberapa kelebihan darah arteri
dibanding dengan darah vena:
Mewakili keadaan metabolisme tubuh secara keseluruhan, kalau darah vena hanya
mencerminkan keadaan metabolisme di lokasi pengambilan.
Darah arteri mengidikasikan seberapa baik paru-paru memberikan oksigen kepada darah.
Sampel darah arteri dapat memberikan informasi mengenai kemampuan paru untuk
meregulasi atau mengatur keseimbangan asam basa melalui pelepasan atau penyimpanan
CO2 serta dapat mengukur efektivitas dari ginjal untuk mempertahankan level bicarbonat
yang cukup.

Tempat pilihan pengambilan adalah arteri radialis, walaupun arteri brakialis dan femoralis
juga dapat digunakan.

Prosedur pemeriksaan
1. Berikan penjelasan kepada pasien atau keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Angkatlah pergelangan tangan pasien dengan bantal kecil, dan perintahkan pasien untuk
meluruskan jari-jari ke bawah.
3. Rabalah arteri dan gerakkan bagian belakang tangan pasien hingga teraba denyut nadi yang
memuaskan.
4. Lakukan desinfeksi pada area tersebut.
5. Siapkan jarum 20/21 G pada siring yang telah diisi heparin.Lakukan pungsi arteri dan
ambil darah sebanyak 3-5 ml.
6. Setelah menarik jarum kemudian tutuplah lokasi tersebut dan pertahankan tekanan diatas
lokasi penusukan dengan 2 jari selama 2 menit hingga tidak ditemukan perdarahan.
7. Pastikan udara yang ada pada sampel darah telah dikeluarkan secepatnya.Tutuplah syringe
dan gulung untuk mencampur darah dan heparin.
8. Berilah label pada sampel tersebut.
9. Letakkan syringe pada es dan kirim ke laboratorium.
Untuk menjaga keadaan anaerob, begitu semprit penuh terisi darah, jarum dilepas dan
diganti dengan penutup ujung semprit. Adanya gelembung udara harus segera dikeluarkan
karena dapat membuat kesalahan. Tidak dianjurkan menusukkan jarum pada karet penutup
botol atau membengkokkan jarum. Spesimen harus segera dianalisis, apabila diletakkan di
atas es, specimen bisa bertahan hingga 2 jam.

Interpretasi Analisis Gas darah


Hasil pemeriksaan analisis gas darah harus diinterpretasikan dengan benar. Kesalahan
interpretasi dapat berakibat fatal.
Salah satu cara menginterpretasikan gas darah dengan algoritme interpretasi berikut ini:
1. Tentukan pH,
pH < 7,35 berarti asidosis
pH > 7,35 berarti alkalosis

2. Tentukan pCO2,
pCO2 merupakan komponen respirasi,
a. pH menurun, pCO2 meningkat artinya asidosis respiratorik
b. pH meningkat, pCO2 menurun artinya alkalosis respiratorik
3. Tentukan HCO3-
HCO3- merupakan komponen metabolik,
a. pH menurun, HCO3- menurun artinya asidosis metabolik
b. pH meningkat, HCO3- meningkat artinya alkalosis metabolik.

4. Tentukan primer dan sekunder


Lihat nilai pCO2 dan HCO3-, yang sama interpretasi dengan pH adalah yang primer.
Contoh pH 7,56 (alkalosis), pCO2 18 (alkalosis), HCO3- 20 (asidosis), maka interpretasi
adalah alkalosis respiratorik.

5. Nilai pCO2 atau HCO3- yang berlawanan dengan pH adalah komponen kompensasi.
Contoh pH 7,56 (alkalosis), pCO2 18 (alkalosis), HCO3- 20 (asidosis)

Kompensasi
Kompensasi adalah proses tubuh mengatasi gangguan asam-basa primer dan
sekunder, yang bertujuan membawa pH darah mendekati pH normal. Kompensasi dilakukan
oleh: buffer, respirasi, dan ginjal. Gangguan keseimbangan asam basa karena proses
respiratorik akan dikompensasi oleh proses metabolik, demikian juga sebaliknya, sehingga
dalam proses keseimbangan asam basa dikenal adanya:
Asidosis metabolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik
Alkalosis metabolik dengan kompensasi asidosis respiratorik
Asidosis respiratorik dengan kompensasi alkalosis metabolik
Alkalosis respiratorik dengan kompensasi asidosis metabolik

Proses kompensasi respiratorik akan terjadi dalam beberapa jam, sedang proses kompensasi
metabolik akan terjadi dalam beberapa hari. Proses kompensasi tidak pernah membawa pH
ke rentang normal.

Gangguan Keseimbangan Asam-Basa

Gangguan keseimbangan asam-basa disebabkan oleh faktor-faktor yang


mempengaruhi mekanisme pengaturan keseimbangan antara lain sistem buffer, sistem
respirasi, fungsi ginjal, gangguan sistem kardiovaskular maupun gangguan fungsi susunan
saraf pusat. Gangguan keseimbangan asam-basa yang serius biasanya menunjukkan fase akut,
ditandai dengan pergeseran pH menjauhi batas nilai normal. Nilai pH abnormal meskipun
salah satu nilai komponen gas darah lainnya (pCO2, HCO3-) masih berada dalam batas
normal. Bila kondisi tersebut berlanjut, terjadi reaksi penyesuaian yang bersifat fisiologik dan
pada kondisi ini disebut fase kompensasi. Jika kondisi penyebab tidak diatasi, maka
mekanisme kompensasi tidak mampu mengatasi perubahan yang terjadi, hal ini disebut fase
tidak terkompensasi.
Klasifikasi yang umum digunakan menggambarkan masalah dan kelainan yang terjadi,
sesuai dengan namanya.
 Gangguan keseimbangan asam-basa respiratorik
Terjadi karena ketidakseimbangan antara pembentukan CO2 di jaringan perifer
dengan ekskresinya di paru; ditandai oleh peningkatan atau penurunan
konsentrasi CO2
 Gangguan keseimbangan pembentukan CO2 oleh asam fixed dan asam organik
yang menyebabkan peningkatan bikarbonat di jaringan perifer atau cairan
ekstraselular

1. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Respiratorik


o Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik terjadi apabila terdapat gangguan ventilasi
alveolar yang mengganggu eliminasi CO2 sehingga akhirnya terjadi
peningkatan PaCO2 (hiperkapnia). Awalnya sistem buffer dapat mengatasi
namun akhirnya terjadi penurunan pH.
Pada keadaan normal perubahan PCO2 dikendalikan oleh
kemoreseptor pusat (medulla). Bila terdapat hipoksia atau hiperkapnia
kronik, maka kemungkinan terjadi supresi kemoreseptor pusat seperti
dijumpai pada penderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada
keadaan tersebut, ventilasi akan dipertahankan oleh kemoreseptor pada
bagian badan karotis sebagai respons terhadap perubahan PO2 dan
perubahan pH. Bila keadaan berlanjut dan kemoreseptor gagal memberikan
respon atau pada keadaan dimana sirkulasi paru inadekuat, maka pH akan
turun dan timbul asidosis respiratorik akut.
Etiologi :
Beberapa faktor di bawah ini dapat menimbulkan asidosis respiratorik
antara lain :
a. Inhibisi pusat pernapasan
- Obat yang mendepresi pusat pernapasan : sedatif, anastetikum
- Central sleep apnea
- Kelebihan O2 pada hiperkapnia atau hipoksemia kronik
b. Penyakit neuromuskular
- Neurologis : poliomyelitis, sindrom Guillain-Bairre
- Muskular : hipokalemia, muscular dystrophy
c. Obstruksi jalan napas
- Asma bronkial
- Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Spasme laring
- Aspirasi
- Obstructive sleep apnea
d. Kelainan restriktif
- Penyakit pleura : efusi pleura, empyema, pneumothoraks, fibrothoraks
- Kelainan dinding dada : kifoskoliosis, obesitas
- Kelainan restriktif paru : fibrosis pulmoner, pneumonia, edema paru
e. Mechanical underventilation
f. Overfeeding

o Alkalosis Respiratorik
Pada alkalosis respiratorik terjadi hiperventilasi alveolar sehingga
terjadi penurunan PaCO2 (hipokapnia) yang dapat menyebabkan
peningkatan pH. Hiperventilasi alveolar timbul karena adanya stimulus baik
langsung maupun tidak langsung pada pusat pernapasan, penyakit paru akut
dan kronik, overventilasi iatrogenik (penggunaan ventilasi mekanik).
Hiperventilasi kronik umumnya bersifat asimptomatik sedangkan
hiperventilasi akut ditandai dengan rasa ringan di kepala (pusing),
parestesia, circumoral numbness dan kesemutan.
Beberapa faktor berikut ini dapat menimbulkan alkalosis respiratorik:
a. Rangsangan hipoksemik
- Penyakit paru dengan kelainan gradient A-a
- Penyakit jantung dengan right to left shunt
- Penyakit jantung dengan edema paru, anemia gravis
b. Stimulasi pusat pernapasan di medulla
- Kelainan neurologis
- Psikogenik misalnya serangan panik, nyeri
- Gagal hati dengan enselofati
- Kehamilan
c. Mechanical overventilation
d. Sepsis
e. Pengaruh obat : salisilat, hormon progesterone

2. Gangguan keseimbangan Asam-Basa Metabolik


o Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ion HCO3- diikuti
dengan penurunan tekanan parsial CO2 di dalam arteri. Kompensasi
umumnya terdiri dari kombinasi mekanisme respiratorik dan ginjal, ion
hidrogen berinteraksi dengan ion bikarbonat membentuk molekul CO2 yang
dieliminasi di paru, sementara itu ginjal mengupayakan ekskresi ion hidrogen
ke urin dan memproduksi ion bikarbonat yang dilepaskan ke cairan
ekstraselular. Kadar ion HCO3 normal adalah sebesar 24 mEq/L dan kadar
normal pCO2 adalah 40 mmHg dengan kadar ion H sebesar 40 nanomol/L.
penurunan kadar ion HCO3 sebesar 1 mEq/L akan diikuti dengan penurunan
pCO2 sebesar 1,2 mmHg.
Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi dalam tiga kelompok utama yaitu :
a. Pembentukan asam yang berlebihan (asam fixed dan asam organik) di
dalam tubuh. Ion hidrogen dibebaskan oleh sistem buffer asam karbonat-
bikarbonat, sehingga terjadi penurunan pH. Dalam klinik ditemukan
kelainan ini pada:
- Asidosis laktat. Timbul karena hipoksia jaringan berkepanjangan,
mengakibatkan jaringan mengalami proses metabolisme anaerob.
- Ketoasidosis. Timbul karena produksi badan keton dalam jumlah
sangat tinggi pada metabolisme fase pasca abortif. Ketoasidosis
merupakan akibat dari starvasi dan komplikasi diabetes mellitus yang
tidak terkendali, jaringan tidak dapat memanfaatkan glukosa dari
sirkulasi, sehingga mengandalkan lipid dan keton.
- Intoksikasi salisilat
- Intoksikasi etanol
b. Berkurangnya kadar ion HCO3 di dalam tubuh
Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat yang mengatur keseimbangan ion
hidrogen dan mempengaruhi keseimbangan pH. Penurunan konsentrasi
HCO3- di cairan ekstraselular menyebabkan penurunan efektifitas sistem
buffer dan asidosis timbul. Penyebab penurunan konsentrasi HCO3- antara
lain diare, renal tubular asidosis (RTA) proksimal (RTA-2), pemakaian
obat inhibitor enzim anhidrase karbonat atau pada penyakit ginjal kronik
stadium III-IV.
c. Adanya retensi ion H di dalam tubuh
Jaringan tidak mampu mengupayakan ekskresi ion hidrogen melalui ginjal.
Kondisi ini dijumpai pada penyakit ginjal kronik stadium IV-V, RTA-1
atau RTA-4.
Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan
penurunan tekanan parsial CO2, dapat bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan.
Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu:
a. Asidosis metabolik sederhana (simple atau compensated metabolic
acidosis); penurunan kadar ion HCO3- sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan
PCO2 sebesar 1,2 mmHg.
b. Gabungan asidosis metabolik dengan asidosis respiratorik dapat juga
disebut uncompensated metabolic acidosis; penurunan kadar ion HCO3-
sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan PCO2 kurang dari 1,2 mmHg (PCO2
dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari normal)
c. Gabungan asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik atau dapat
disebut sebagai partly compensated metabolic acidosis; penurunan kadar
ion HCO3- sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar lebih dari 1,2
mmHg (pH dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari
normal)
o Alkalosis metabolik
Alkalosis metabolik merupakan suatu proses terjadinya peningkatan
primer bikarbonat dalam arteri. Akibat peningkatan ini, rasio PCO2 dan kadar
HCO3 dalam arteri berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio ini
dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi (hipoventilasi) sehingga
PCO2 meningkat dalam arteri dan meningkatkan konsentrasi HCO3- dalam
urin. Pada alkalosis metabolik yang sederhana, kenaikan kadar HCO3- sebesar
1 mEq/L akan menyebabkan kenaikan PCO2 sebesar 0,7 mmHg.
Penyebab alkalosis metabolik antara lain:
a. Terbuangnya ion H+ melalui saluran cerna melalui ginjal dan
berpindahnya (shift) ion H+ masuk ke dalam sel.
b. Terbuangnya cairan bebas bikarbonat dari dalam tubuh (contraction
alkalosis)
c. Pemberian bikarbonat berlebihan
Alkalosis metabolik juga ditemukan pada Sindrom Bartter dan Sindrom
Gitelman, suatu keadaan terjadinya mutasi genetik pada transporter Na-K-Cl di bagian
ascending loop-Henle (Bartter) dan di tubulus distal (Gitelman). Keadaan ini menyerupai
alkalosis metabolik akibat diuretic loop atau tiazid.

Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam Basa Respiratorik


1. Tatalaksana Asidosis Respiratorik
Tatalaksana asidosis respiratorik adalah mengatasi penyakit dasarnya dan bila
terdapat hipoksemia harus diberikan terapi oksigen. Asidosis respiratorik dengan
hipoksemia berat memerlukan ventilasi mekanik baik invasif atau noninvasif. Pemberian
oksigen pada pasien dengan retensi CO2 kronik dan hipoksia harus berhati-hati karena
pemberian oksigen dengan FiO2 yang tinggi dapat mengakibatkan penurunan minute
volume dan semakin meningkatkan PCO2. Pasien dengan retensi CO2 kronik umumnya
sudah beradaptasi dengan hiperkapnia kronik dan stimulus pernapasannya adalah
hipoksemia sehingga pemberian oksigen harus dilakukan secara hati-hati dan ditujukan
dengan target kadar PaO2 >50 mmHg dengan FiO2 yang rendah. Pada pasien asidosis
respiratorik kronik, penurunan PCO2 harus berhati-hati untuk menghindari alkalosis yang
bertahap mengingat umumnya sudah ada kompensasi ginjal. Pada asidosis respiratorik
yang terjadi bersamaan dengan alkalosis metabolik atau asidosis metabolik primer,
tatalaksana terutama ditujukan untuk kelainan primernya.
2. Tatalaksana Alkalosis Respiratorik
Tata laksana alkalosis respiratorik bertujuan ditujukan terhadap kelainan
primernya. Alkalosis yang disebabkan oleh hipoksemia diatasi dengan memberikan
terapi oksigen. Alkalosis respiratorik yang disebabkan oleh serangan panik diatasi
dengan menenangkan pasien atau memberikan pernapasan menggunakan system air
breathing. Overventilasi pada pasien dengan ventilasi mekanik diatasi dengan
mengurangi minute ventilation atau dengan menambah dead space. Alkalosis respiratorik
yang disebabkan oleh hipoksemia diterapi dengan oksigen dan memperbaiki penyebab
gangguan pertukaran gas. Koreksi alkalosis respiratorik dengan menggunakan
rebreathing mask harus berhati-hati, terutama pada pasien dengan kelainan susunan saraf
pusat, untuk menghindari ketidakseimbangan pH cairan serebrospinal dan pH perifer.

Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik


1. Tatalaksana Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik pada kasus-kasus kritis merupakan pertanda dari kondisi
serius yang memerlukan tindakan agresif untuk memperoleh diagnosis dan tatalaksana
penyebab. Tatalaksana asidosis metabolik ditujukan terhadap penyebabnya. Peran
bikarbonat pada asidosis metabolik akut bersifat kontroversial tanpa didasari data yang
rasional. Bagaimanapun, pada banyak kasus, pemberian bikarbonat lebih banyak
menunjukkan bahaya dibandingkan keuntungannya. Kecuali pada kasus-kasus
disebutkan pada indikasi terapi berikut, tidak ada data ilmiah penunjang pengobatan
asidosis metabolik atau respiratorik menggunakan natrium bikarbonat. Lebih lanjut, pH
intrasel memiliki nilai sangat penting dalam menentukan fungsi sistem selular. Sistem
buffer intrasel cukup efektif dalam mempertahankan pH ke nilai normal dibandingkan
dengan sistem buffer ekstrasel. Sebagai konsekuensinya, pasien dapat bertoleransi
terhadap pH di bawah 7,0 selama fase hiperkapnia tanpa efek yang membahayakan.
Pada kasus asidosis hiperkloremik dapat tidak terjadi regenerasi endogen
bikarbonat karena yang berlangsung pada keadaan tersebut adalah kehilangan bikarbonat
bukan aktivasi sistem buffer. Oleh karena itu, walaupun asidosis metabolik bersifat
reversibel, pemberian bikarbonat eksogen hanya diperlukan bila pH <7,2. Keadaan
tersebut dapat terjadi pada diare berat, fistula high-output, atau RTA.
Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik agar koreksi dapat
dilakukan dengan tepat tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan pasien.
Langkah koreksi asidosis metabolik:
1. Tetapkan berat-ringannya gangguan asidosis. Gangguan disebut letal bila pH
darah kurang dari 7 atau kadar ion H lebih dari 100 nmol/L. Gangguan yang
perlu mendapat perhatian bila pH darah 7,1-7,3 atau kadar ion H antara 50-80
nmol/L.
2. Tetapkan anion-gap atau bila perlu anion-gap urin untuk mengetahui dugaan
etiologi asidosis metabolik. Dengan bantuan gejala klinis lain dapat dengan
mudah ditetapkan etiologinya.
3. Bila dicurigai kemungkinan asidosis laktat, hitung rasio delta anion gap dengan
delta HCO3 (delta anion gap: anion gap pada saat pasien diperiksa dikurangi
dengan median anion gap normal, delta HCO3: kadar HCO3 normal dikurangi
dengan kadar HCO3 pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari dari 1,
asidosis disebabkan oleh asidosis laktat. Langkah ketiga ini menetapkan
sampai sejauh mana koreksi dapat dilakukan.

Prosedur Koreksi
1. Secara umum koreksi dilakukan hingga tercapai pH 7,2 atau kadar ion HCO3 12
mEq/L.
2. Pada keadaan khusus:
- Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara penuh hingga mencapai
kadar ion HCO3 20-22 mEq/L. Pertimbangan dilakukan hal tersebut adalah mencegah
hiperkalemia, mengurangi kemungkinan malnutrisi, dan mengurangi percepatan
gangguan tulang (osteodistrofi ginjal). Pada ketoasidosis diabetik atau asidosis laktat
tipe A, koreksi dilakukan bila kadar ion HCO3 dalam darah kurang atau sama dengan
5 mEq/L, terdapat hiperkalemia berat, setelah koreksi insulin pada diabetes mellitus,
koreksi oksigen pada asidosis laktat, atau pada asidosis belum terkendali. Koreksi
dilakukan sampai kadar ion HCO3 10 mEq/L.
- Pada asidosis metabolik yang terjadi bersamaan dengan asidosis respiratorik dan tidak
menggunakan ventilator, koreksi harus dilakukan secara hati-hati atas pertimbangan
depresi pernapasan.
2. Tatalaksana Alkalosis Metabolik
Pada alkalosis metabolik, disebut letal bila pH darah lebih dari 7,7. Bila
ada deplesi volume cairan tubuh, upayakan agar volume plasma kembali normal dengan
pemberian NaCl isotonik. Bila penyebabnya hipokalemia, lakukan koreksi kalium
plasma. Bila penyebabnya hipokloremia, lakukan koreksi klorida dengan pemberian
NaCl isotonik. Bila penyebabnya adalah bikarbonat berlebihan, hentikan pemberian
bikarbonat. Pada keadaan fungsi ginjal yang menurun atau edema akibat gagal jantung,
kor pulmonal atau sirosis hati, koreksi dengan NaCl isotonik tidak dapat dilakukan
karena dikhawatirkan dapat terjadi retensi natrium disertai kelebihan cairan (edema
bertambah). Pada keadaan ini dapat diberikan antagonis enzim anhidrase karbonat
sehingga reabsorbsi bikarbonat terhambat. Asetazolamid merupakan suatu pengahmbat
anhidrase karbonat yang sangat efektif dalam mengatasi alkalosis metabolik. Bila dengan
antagonis enzim anhidrase karbonat tidak berhasil, dapat diberikan HCl dalam larutan
isotonik selama 8-24 jam, atau larutan ammonium klorida, atau larutan arginin
hidroklorida.
DAFTAR PUSTAKA

1. Edijanto SP, Gangguan Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa Laboratorium
Patologi Klinik FK Unair/ RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, 2000.
2. Fischbach FT, Dunning MB, Pulmonary Function, Arterial Blood Gases (ABGs ), and
Electrolyte Studies, in A Manual of Laboratory and Diagnosis Test, Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia, 2004, p. 901-970.
3. Guyton A C, fisiologi manusia dan mekanisme penyakit, alih bahasa Petrus Andrianto,
1995, EGC Jakarta.
4. Interpretation of the Arterial Blood Gas, Orlando Regional Healthcare, Education &
Development, 2004.
5. Pengaturan Asam Basa dan Elektrolit, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2002, Hal 331-340.
6. Pranawa, Panduan Praktis Interpretasi Analisa Gas Darah, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair/ RSU Dr. Soetomo, Surabaya 2005.
7. Rahardjo E, Pengantar Asam – Basa, MKDU, FK UNAIR, Surabaya, 2008.
8. Scott MG, Heusel JW, et all. Electrolyte and Blood Gas, in Tietz Fundamental of Clinical
Chemistry, Fifth Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia 2001, p 494-517.
9. Steven A, Acid base online tutorial, university of connectitut http://fitsweb.uchc.edu/
student/selectives/TimurGraham/Delta_Ratio.html
10. Madjid Sjarifuddin Amir dr,dkk. Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa.
Edisi Kedua. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2008. Hal 97-141.
11. Morgan,G. Edward, Magged Mikhail,dkk.Clinical Anesthesiology fifth edition. 2013. Los
Angeles : Medical Publishing Division.
12. A.Saphiro,M.D, dkk. Clinical Application of Blood Gases. 2nd Edition.1979.Chicago,
London : Year Book Medical Publisher,Ink.

Você também pode gostar