Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
12 JANUARI 2008
Pengertian
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan
demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering
juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia
di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson,
1995).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.
2. Patofisiologi
Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak,
trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan
gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik
subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui
etiologinya).
Intrakranial,
Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli
– Opitz.
Ekstra kranial
Idiopatik
Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan
diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi,
dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang
terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya,
kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah.
Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis
dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang
disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion
diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran
sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 %
dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi
dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya
lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter
sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA
meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya
terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Manifestasi klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar
susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul
pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita
epilepsy.
untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan
yaitu :
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah
dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam
sederhana, yaitu :
Klasifikasi kejang
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang
tonik dan kejang mioklonik.
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3
detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak
diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri
akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai
reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas
dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan
mioklonus nokturnal benigna.
Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan
terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak
normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas
neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah
gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang
bentuk gerakannya menyerupai klonik .
Penatalaksanaan
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk
larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4
(IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala
hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
<!--[if !supportLists]-->a) <!--[endif]-->Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic
<!--[if !supportLists]-->c) <!--[endif]-->Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau
lebih besar dari aturan baku
Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan
hilang kontrol menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara
verbal, takut terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak
saat berinteraksi.
Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi
kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai
karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura ), motor efek
seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus
didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.
INTERVENSI
Diagnosa 1
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi
Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum,
sebelum, selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa
kali terjadi. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi
klien dari trauma atau kejang.
Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi
anti compulsan
Diagnosa 2
Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Tujuan
Kriteria hasil
Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR
dalam batas normal
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan
penghisapan lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi
Diagnosa 3
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi
Kaji factor pencetus kejang. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
Observasi tanda-tanda vital. Lindungi anak dari trauma. Berikan kompres dingin pda
daerah dahi dan ketiak.
Diagnosa 4
Tujuan
Kriteria hasil
Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi
Intervensi
Kaji tingkat mobilisasi klien. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien. Bantu klien
dalam pemenuhan kebutuhan. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien.
Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.
Diagnosa 5
Tujuan
Kriteria hasil
Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak
bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
Intervensi
Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.
Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Beri
kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan
keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
EVALUASI
APBI:2004
http://harnaw atia
Rabu, 2007 Juli 04
Askep LEUKIMIA
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN LEUKEMIA
A. PENGERTIAN
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam
sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi
tidak teratur atau akumulasi ssel darah putih dalam sumusm tulang, menggantikan
elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi proliferasi di hati, limpa dan nodus
limfatikus, dan invasi organ non hematologis, seperti meninges, traktus
gastrointesinal, ginjal dan kulit.
B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Faktor genetik : virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen ( T
cell leukemia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi : lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker sebelumnya
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan
agen anti neoplastik.
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
6. Kelainan kromosom : Sindrom Bloom’s, trisomi 21 (Sindrom Down’s), Trisomi G
(Sindrom Klinefelter’s), Sindrom fanconi’s, Kromosom Philadelphia positif,
Telangiektasis ataksia.
C. JENIS LEUKEMIA
1. Leukemia Mielogenus Akut
AML mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel
Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia
dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi.
2. Leukemia Mielogenus Kronis
CML juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih
banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. CML
jarang menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran
AML tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama
bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa
membesar.
3. Luekemia Limfositik Akut
ALL dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak,
laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah
usia 15 ALL jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam
sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel
normal..
4. Leukemia Limfositik Kronis
CLL merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 sampai 70 tahun.
Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat
pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit lain.
D. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia normositik
2. Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml
3. Retikulosit : jumlah biasaya rendah
4. Trombosit : sangat rendah (< 50000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP immatur
6. PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum : mungkin meningkat
9. Muramidase serum : pengikatan pada leukemia monositik akut dan
mielomonositik
10. Copper serum : meningkat
11. Zink serum : menurun
12. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan
G. PENATALAKSANAAN
1. Pelaksanaan kemoterapi
2. Irradiasi kranial
3. Terdapat tiga fase pelaksanaan keoterapi :
a. Fase induksi
Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan
behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum
tulang ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui
intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial
dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf
pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis dan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala,
mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon
sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka
pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.
H. PENGKAJIAN
1. Riwayat penyakit : pengobatan kanker sebelumnya
2. Riwayat keluarga : adanya gangguan hematologis, adanya faktor herediter misal
kembar monozigot)
3. Kaji adanya tanda-tanda anemia : kelemahan, kelelahan, pucat, sakit kepala,
anoreksia, muntah, sesak, nafas cepat
4. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia : demam, stomatitis, gejala infeksi pernafasan
atas, infeksi perkemihan; infeksi kulit dapat timbul kemerahan atau hiotam tanpa
pus
5. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia : ptechiae, purpura, perdarahan
membran mukosa, pembentukan hematoma, purpura; kaji adanya tanda-tanda
invasi ekstra medula: limfadenopati, hepatomegali, splenomegali.
6. Kaji adanya pembesaran testis, hemAturia, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi di
sekkitar rektal dan nyeri.
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan perubahan pada derajat dan sisi (gunakan skala 0-
10)
b. Awasi tanda vital, perhatikan petunjuk non-verbal misal tegangan otot, gelisah.
c. Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stres.
d. Tempatkan pada posis nyaman dan sokong sendi, ekstremitas dengan bantal.
e. Ubah posisi secara periodik dan bantu latihan rentang gerak lembut.
f. Berikan tindakan kenyamanan ( pijatan, kompres dingin dan dukungan psikologis)
g. Kaji ulang/tingkatkan intervensi kenyamanan pasien sendiri
h. Evaluasi dan dukung mekanisme koping pasien.
i. Dorong menggunakan teknik menajemen nyeri contoh latihan relaksasi/nafas
dalam, sentuhan.
j. Bantu aktivitas terapeutik, teknik relaksasi.
k. Kolaborasi :
Awasi kadar asam urat
Berika obat sesuai indikasi : analgesik (asetaminofen), narkotik (kodein,
meperidin, morfin, hidromorfon)
Agen antiansietas (diazepam, lorazepam)
Intervensi :
d. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam aktivitas.berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa ganggaun
e. Implementasikan teknik penghematan energi, contoh lebih baik duduk daripada
berdiri, pengunaan kursi untuk madi
f. Jadwalkan makan sekitar kemoterapi. Berikan kebersihan mulut sebelum makan
dan berikan antiemetik sesuai indikasi
g. Kolaborasi : berikan oksigen tambahan
DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;
2001.
2. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis,
And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998
3. Doenges, Marilynn E. Nursing Care Plans: Guidelines For Planning And
Documenting Patient Care. Alih Bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC; 1999
4. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes.
Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed.
I. Jakarta : Salemba Medika; 2001
NERS SEMARANG
Child abuse
Perawat memberikan perawatan kepada klien dan keluarga di dalam komunitas mereka
dan tempat pelayanan kesehatan. Untuk memastikan lingkungan yang aman, perawat
perlu memahami hal-hal yang memberikan kontribusi keamanan rumah, komunitas, atau
lingkungan pelayanan kesehatan, dan kemudian mengkaji berbagai ancaman terhadap
keamanan klien dan lingkungan. Pengkajian yang dilakukan pada klien antara lain
pengkajian terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Pengkajian terhadap lingkungan,
termasuk rumah klien dan tempat pelayanan kesehatan, mencakup inspeksi pada fasilitas
tersebut.
a. Data Subjective
Pengkajian difokuskan pada masalah riwayat kesehatan klien yang terkait dengan
kebutuhan keamanan seperti: pernahkah klien jatuh, mengalami patah tulang,
pembatasan aktivitas, dan sebagainya. Klien perlu ditanyakan tentang tindakan
pengamanan di mobil, perhatian terhadap tanda bahaya, tindakan pengamanan anak atau
bayi di rumah, status imunisasi, pengertian dan pemahaman klien tentang kesehatan dan
keamanan. Perlu digali juga tentang perubahan lingkungan, support sistem, tahap tumbuh
kembang.
Perawat perlu mengidentifikasi adanya faktor risiko untuk keamanan klien mencakup:
kondisi dewasa, fisiologi, kognitif, pengobatan, lingkungan, dan kondisi anak-anak.
1. Dewasa seperti, riwayat terjatuh, usia yang lebih tua pada wanita, penggunaan alat
bantu (alat bantu jalan, tongkat), prosthesis anggota badan bagian bawah, umur lebih 65
tahun, dan hidup sendiri.
2. Fisiologi seperti: kehadiran penyakit akut, kondisi post operasi, kesulitan penglihatan,
kesulitan pendengaran, arthritis, orthostatik hipotensi, tidak dapat tidur, pusing ketika
memutar kepala atau menegakkan kepala, anemia, penyakit vaskuler, neoplasma,
kesulitan mobilitas fisik, kerusakan keseimbangan dan neuropati.
3. Kognitive, seperti: penurunan status mental (kebingungan, delirium, dimensia,
kerusakan orientasi orang, tempat dan waktu)
4. Pengobatan, seperti obat anti hipertensi, penghambat ACE, antidepresan trisiklik, obat
anti cemas, hipnotik atau transquilizer, diuretik, penggunan alkohol, dan narkotika.
5. Lingkungan, seperti: adanya restrain, kondisi cuaca atau lingkungan, pencahayaan,
kelembaban, ventilasi, penataan lingkungan.
6. Anak-anak, seperti: umur dibawah 2 tahun, penggunaan pengaman, penataan ruang,
penggunaan mainan.
b. Data Objective
data objective dapat diperoleh perawat dengan melakukan pemeriksaan fisik terkait
dengan sistem: neurologis, cardiovaskuler dan pernafasan, integritas kulit dan mobilitas.
Pengkajian juga mencakup prosedur test diagnostik.
1. Sistem Neurologis
* Status mental
* Tingkat kesadaran
* Fungsi sensori
* Sistem reflek
* Sistem koordinasi
* Test pendengaran, penglihatan dan pembauan
* Sensivitas terhadap lingkungan
2. Sistem Cardiovaskuler dan Respirasi
* Toleransi terhadap aktivitas
* Nyeri dada
* Kesulitan bernafas saat aktivitas
* Frekuensi nafas, tekanan darah dan denyut nadi
3. Integritas kulit
* Inspeksi terhadap keutuhan kulit klien
* Kaji adanya luka, scar, dan lesi
* Kaji tingkat perawatan diri kulit klien
4. Mobilitas
* Inspeksi dan palpasi terhadap otot, persendian, dan tulang klien
* Kaji range of motion klien
* Kaji kekuatan otot klienkaji tingakt ADLs klien
Test diagnostik mencakup: pengukuran tekanan darah, ECG, pengukuran kadar gula darah
dan kolesterol, pemeriksaan darah lengkap, dan sebagainya.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko cedera atau risiko jatuh yang berhubungan dengan perubahan mobilisasi, dan
penataan lingkungan fisik di rumah.
2. Risiko keracunan yang berhubungan dengan kontaminasi zat kimia pada makanan atau
air, penyimpanan obat-obatan yang mudah dijangkau oleh anak-anak, dan penurunan
penglkihatan.
3. Risiko trauma yang berhubungan dengan kontak dengan udara dingin yang ekstrem, dan
obstruksi jalan nafas.
4. Gangguan proses pikir yang berhubungan dengan kehilangan memori, kesulitan tidur,
dan efek samping obat.
5. Perubahan manajemen pemeliharaan rumah yang berhubungan dengan keuangan yang
tidak memadahi, dan perubahan fungsi kognitif.
6. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi informasi, dan tidak
terbiasa dengan tindakan pencegahan untuk anak-anak.
7. Risiko perubahan suhu tubuh yang berhubungan dengan paparan terhadap lingkuingan
panas atau dingin yang ekstrem, dan mekanisme kontrol suhu tubuh yang tidak matang.
3. Perencanaan
Perawat merencanakan intervensi terapeutik untuk klien dengan risiko atau aktual
mengalami gangguan keamanan. Tujuan keseluruhan untuk klien yang mengalami ancaman
keamanan adalah klien terbebas dari cedera. Perawat merencanakan intervensi yang
individual dengan berdasarkan pada beratnya risiko yang dihadapi klien, tahap
perkembangan, status kesehatan, dan gaya hidup.
Intervensi keperawatan dirancang untuk memberikan perawatan yang aman dan efisien.
Berikut ini adalah tujuan yang berfokus pada kebutuhan klien terhadap keamanan:
Perencanaan keperawatan yang dapat disusun oleh perawat berdasarkan NOC/NIC untuk
mengatasi masalah keperawatan yang terkait denmgan kebutuhan keamanan adalah:
4. Tindakan Keperawatan
Kategori pertama dari intervensi mencakup intervensi yang spesifik untuk mengurangi
risiko pada setiap kelompok perkembangan usia. Intervensi lingkungan bertujuan untuk
memodifikasi lingkungan sehingga dapat megeliminasi atau meminimalkan bahaya yang
ada atau berpotensial.
5. Evaluasi
Rencana perawatan, yang dirancang untuk mengurangi risioko pada klien dievaluasi
dengan cara membandingkan criteria hasil dengan tujuan yang ditetapkan selama tahap
perencanaan. Jika tujuan telah tercapai, maka intervensi keperawatan dianggap efektif
dan tepat. Jika tidak tercapai, maka perawat harus menentukan apakah ada risiko baru
yang berkembang pada klien atau apakah risiko sebelumnya tetap ada.
Klien dan keluarga harus berpartisipasi untuk menentukan cara permanent untuk
mengurangi risiko yang mengancam keamanan. Perawat mengkaji kebutuhan klien dan
keluarga secara terus menerus untuk menentukan dukungan tambahan seperti perawatan
di rumah, terapi fisik, dan konseling, dan pendidikan kesehatan lanjutan.
<
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencernaan adalah sebuah proses metabolisme dimana suatu makhluk hidup memproses sebuah
zat dalam rangka untuk mengubah secara kimia atau mekanik sesuatu zat menjadi nutrisi. Namun,
jika proses ini terjadi perubahan maka akan terjadi gangguan pencernaan termasuk obstruksi usus
dan hernia.
Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan
tetapi peristaltiknya normal. (Reeves, 2001).
Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan
makanan dapat secara mekanis atau fungsional. (Tucker, 1998). Sedangkan hernia adalah prostusi
dari organ melalui organ defektif yang didapat/ kongenital pada dinding rongga yang secara normal
berisi organ. (Barbara Engran, 1998).
Oleh karena itu, Kami menulis makalah ini guna agar mahasiswa mengetahui hal-hal mengenai
obstruksi usus dan hernia, yang akan dibahas secara lengkap pada bab berikutnya.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan jenis- jenis dari gangguan obstruksi pencernaan.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan:
a. definisi penyakit obstruksi usus dan hernia
b. etiologi penyakit obstruksi usus dan hernia
c. manifestasi klinik penyakit obstruksi usus dan hernia
d. patofisiologi penyakit obstruksi usus dan hernia
e. komplikasi penyakit obstruksi usus dan hernia
f. pemeriksaan diagnostik penyakit obstruksi usus dan hernia
g. penatalaksanaan medis penyakit obstruksi usus dan hernia
h. proses keperawatan penyakit obstruksi usus dan hernia
BAB II
ISI
A. OBSTRUKSI USUS
1. Pengertian
a. Nettina, 2001
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal.
b. Tucker, 1998
Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan
makanan dapat secara mekanis atau fungsional
c. Ester, M, 2002:49
Obstruksi usus adalah kerusakan parsial atau komplit aliran isi usus ke arah ke depan. Yang
kebanyakan terjadi di usus halus khususnya di ileum.
d. Long B. C, 1996:242
Gangguan yang terjadi ketika terdapat rintangan terhadap aliran normal dari isi usus, bisa juga
karena hambatan terhadap rangsangan syaraf untuk terjadinya peristaltik atau karena adanya
blokkage pada ileus mekanik/organik.
2. Etiologi
Obstruksi usus dapat disebabkan oleh tiga macam faktor (Ester, M, 2002:49). yaitu :
a. Faktor Mekanis : Suatu penyebab fisik menyumbat usus dab tidak dapat diatasi oleh peristaltik
• Perlekatan atau adhesi yaitu lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara
lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen (Brunner & Suddarth, 2002:1121).
Pada perlekatan usus halus adhesi pita-pita jaringan ikat mungkin terbentuk dari organ ke organ ke
dinding peritoneum sebagai hasil penyembuhan dari peritonitis atau setelah setiap operasi abdominal
(Robbins & Kumar, 1995:266).
• Hernia : Protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen
• Volvulus yaitu usus memutar dan kembali kekeadaan, akibatnya lumen usus menjadi tersumbat,
menunjukkan adanya pemelintiran (pemutaran) dari saluran usus, kira-kira pada dasar pelekatan
mesenterik. Hal ini sering terjadi pada usus halus, tapi saluran sigmoid yang sangat berlebihan
munkin dapat terkena. Obstruksi dan infrak sering terjadi pada kasus ini (Robbins dan Kumar,
1995:266).
• Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan
tekanan pada dinding usus
b. Faktor Neurogenik/Fungsional : Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami
paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong
• Intususepsi atau invaginasi adalah bagian dari usus menyusup ke dalam bagian lain yang ada di
bawahnya akibat penyempitan lumen usus. Pada gangguan ini satu segmen dari usus halus
dikerutkan oleh suatu gelombang peristaltik, serta masuk mengalami invaginasi ke dalam segmen
distal dari usus tersebut. Sekali terjebak, segmen yang masuk tersebut oleh gerakan peristaltik
didorong ke dalam segmen bagian distal, ikut menarik mesenterium dibelakangnya (Robbins dan
Kumar, 1995:266).
c. Faktor vaskuler yaitu obstruksi aliran darah yang dapat timbul sebagai akibat dari okulasi komplet
(infark mesentrika) atau oklusi proksimal (angina abdominal).
3. Manifestasi Klinik
Mansjoer, A, 2000:318
a. nyeri karena luka atau akibat penumpukan gas
b. mual, muntah karena adanya distensi abdomen dan akumulasi gas dan cairan,
c. konstipasi bisa terjadi karena kurang aktivitas, penurunan gerakan gastrointestinal,
d. retensia urine karena adanya tekanan pada kandung kencing (),
4. Patofisiologi
5. Komplikasi
a. Peritionitis
b. Syok Hipovolemia
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
b. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang
tertutup.
c. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah; peningkatan hitung SDP
dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi
pankreas oleh lipatan usus.
d. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolik
7. Penatalaksanaan Medis
a. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
b. Terapi Na+, K+, komponen darah
c. Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan interstisial
d. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
e. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area penyumbatan; selang
dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring miring ke kanan.
f. Implementasikan pengobatan unutk syok dan peritonitis.
g. Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein karena obstruksi kronik, ileus paralitik atau
infeksi.
h. Reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
i. Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung terlalu beresiko.
j. Kolostomi lingkaran untuk mengalihkan aliran feses dan mendekompresi usus dengan reseksi usus
yang dilakukan sebagai prosedur kedua.
8. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pada pengkajian umum dapat terjadi anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat,
kekakuan abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rectal/perostomi,
peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan,
leukositosis (Tucker, 1998:325), menurut Sjamsuhidayat fokus pengkajian post operasi yaitu nyeri
tekan jika meluas, mengembangnya distensi perut, adanya perdarahan, suhu badan meningkat,
takikardia, perubahan mental (takut, gelisah, somnolen), masa yang nyeri khususnya jika disertai
suhu tinggi (Sjamsuhidayat, 1997:843).
b. Diagnosa
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau diforesis.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil
a. Tanda vital normal
b. Masukan dan haluaran seimbang
Intervensi:
a. Pantau tanda vital dan observasi tingkat kesadaran dan gejala syok
b. Pantau cairan parentral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
c. Pantau selang nasointestinal dan alat penghisap rendah dan intermitten. Ukur haluaran drainase
setiap 8 jam, observasi isi terhadap warna dan konsistensi
d. Posisikan pasien pada miring kanan; kemudian miring kiri untuk memudahkan pasasse ke dalam
usus; jangan memplester selang ke hidung sampai selang pada posisi yang benar
e. Pantau selang terhadap masuknya cairan setiap jam
f. Kateter uretral indwelling dapat dipasang; laporkan haluaran kurang dari 50 ml/jam
g. Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam
h. Pantau elektrolit, Hb dan Ht
i. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
j. Bila pembedahan tidak dilakukan, kolaborasikan pemberian cairan per oral juga dengan mengklem
selang usus selama 1 jam dan memberikanjumlah air yang telah diukur atau memberikan cairan
setelah selang usus diangkat.
k. Buka selang, bila dipasang, pada waktu khusus seusai pesanan, untuk memperkirakan jumlah
absorpsi.
l. Observsi abdomen terhadap ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau kekauan.
m. Auskultasi bising usus, 1 jam setelah makan; laporkan tak adanya bising usus.
n. Cairan sebanyak 2500 ml/hari kecuali dikontraindikasikan.
o. Ukur masukan dan haluaran sampai adekuat.
p. Observasi feses pertama terhadap warna, konsistensi dan jumlah; hindari konstipasi
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman; jangan menyangga lutut.
b. Kaji lokasi, berat dan tipe nyeri
c. Kaji keefektifan dan pantau terhadap efek samping anlgesik; hindari morfin
d. Berikan periode istirahat terencana.
e. Kaji dan anjurkan melakukan lathan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam.
f. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit.
g. Auskultasi bising usus; perhatikan peningkatan kekauan atau nyeri; berikan enema perlahan bila
dipesankan.
h. Mengajarkan tekhnik relaksasi nafas dalam
i. Berikan dan anjurkan tindakan alternatif penghilang nyeri.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dan atau kekakuan.
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil : pasien menunjukkan kemampuan melakukan latihan pernafasan, pernafasan yang
dalam dan perlahan.
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan; observasi terhadap menelan, “pernafasan cepat”
b. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
c. Pantau terapi oksigen atau spirometer insentif
d. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam.
e. Auskultasi dada terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.
Intervensi:
a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu.
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut; berikan penenangan.
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit, tindakan dan
prognosis.
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
e. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat.
HERNIA
A. Definisi
a. Hernia adalah menonjolnya suatu organ atau struktur organ dan tempatnya yang normal malalui
sebuah defek kongenital atau yang didapat. (Long, 1996 : 246)
b. Hernia adalah suatu keadaan menonjolnya isi usus suatu rongga melalui lubang (Oswari, 2000 :
216)
c. Hernia adalah penonjolan sebuah organ, jaringan atau struktur melewati dinding rongga yang
secara normal memang berisi bagian-bagian tersebut (Nettina, 2001 : 253)
d. Hernia adalah penonjolan peritoneum parietale yang berisi viskus melalui bagian yang lemah pada
dinding abdomen. (http://karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38272_ASUHAN-KEPERAWATAN-
HERNIA.html)
c) Penatalaksanaan
Prinsipnya untuk mencegah inkarserasi atau strangulasi semua hernia harus direpair, kecuali hernia
direc yang kecil.
Konservatif:
• Hanya dilakukan pada keadaan yang masih reponibel.
• Dengan cara mengatasi factor-faktor predisposisi bukan penatalaksanaan yang ideal.
• Pada anak-anak dengan hernia indirect irreponibel diberi terapi konservatif dengan: obat penenang
(valium), posisi trandelenburg, dan kompres es.
Operatif:
• Herniotomi: pembebasan kantung hernia samapai pada lehernya, kantung dibuka dan isi hernia
dibebaskan,
• Hernioplasti: memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis
inguinalis,
• Herniografi: membuat plasty di abdomen sehingga LMR menjadi kuat.
d) Penanganan pasca opersi:
1. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
2. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar diding
abdomen tidak tegang.
3. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
4. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
5. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan intra
abdomen.
e) Komplikasi
• Perlekatan
• H. Irreponibilis
• Terjadinya jepitan menyebabkan isckemi
• Infeksi yang dapat menimbulkan nekrose
• Opstipasi
• H.incarserata
c) Manifestasi Klinis:
• Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal
• Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
d) Pemeriksaan Diagnostik
1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang
2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.
Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit
neurologik.
Macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis,
memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat
patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan.
2. Immobilisasi
Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.
3. Traksi
aksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.
4. Meredakan Nyeri
mpres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu
kortikosteroid.
Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan
keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia,
keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada
daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.
3. Pemeriksaan Penunjang
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzane C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3,
Jakarta : EGC, 2002
Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
_______2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Ed, III. Jakarta: Media Aeseolapius FKUI
Ester, M. 2000. Keperawatan Medikal Bedah.jakarta: EGC
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III, jilid 2. jakarta: Media Aeseolapius
Robbins & Kumar. 1995. buku Ajar Patologi II, Ed. 4. jakarta: EGC
Sjamsuhidayat. 1997. bahan Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan Pajajaran, 1996.
Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University
Press, 1993
Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih Bahasa Setiawan dkk. Ed. 1. jakarta:
EGC;2001
Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes. Alih Bahasa Peter
Anugrah. Ed. 4. jakarta: EGC;1994
Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. 1. Jakarta:
Salemba Medika;2001
Ahmad, R.P, K. St, 1997, kamus Kedokteran, Djambatan, Jakarta
Baughman D.C & Hackley, J.C, 2000, Keperawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa Yasmin Asih,
Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Ed.VIII, Volume II. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 1998. Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa Yasmin Asih Ed. VI. Jakarta: EGC
______2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, ED. VI. Jakarta: EGC
http://obstruksiusus.blogspot.com/2008_08_01_archieve.html
http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/asuhan-keperawatan-hernia-nukleus-pulposus/
http://www.ilmukeperawatan.com/asuhan_keperawatan_hnp.html
http://karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38272_ASUHAN-KEPERAWATAN-HERNIA.html
Jika Anda suka dunia modifikasi motor, tentunya anda tidak mau ketinggalan info tentang modifikasi
motor-motor terbaru. Ini merupakan daftar modifikasi motor terbaru dan terlengkap HONDA GRAND,
YAMAHA VEGA, YAMAHA JUPITER Z, AND SUZUKI SHOGUN NEW MOTODIFY OF THE YEAR
2009...
Mesothelioma Cancer
mesothelioma may not appear until 20 to 50 years after exposure to asbestos. Shortness of breath,
cough, and pain in the chest due to an accumulation of fluid in the pleural space are often symptoms
of pleural mesothelioma.Symptoms of peritoneal mesothelioma include weight loss and cachexia,
abdominal...
Tips Memelihara Payudara
Read more....
Women are actual acquainted about their breast care. Beautiful and
advantageous breast are one of the a lot of admired dream of women. Breasts lose their accent and
arrangement with age. This about happens during the average age...
Read More...>>>
11 March 2009 · Filed under ASKEP ANAK · Tagged fimosis, hidrokel, hipospadi
HIPOSPADIA
A. PENGERTIAN
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana uretra terbuka di permukaan bawah penis,
skrotum atau peritonium. Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang
berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang.
B. ETIOLOGI
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi
pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen
tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang
bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
C. PATOFISIOLOGI
Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero. Terjadi karena
adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14.
Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada
permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau
menutup.
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis
yang menyerupai meatus uretra eksternus.
2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga
ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat
asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan
dilatasi atau meatotomi.
Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan
kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat
melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan
intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium
tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada
dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.
Hipospadia Pene-escrotal
3. Tipe Posterior
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan
skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.
Gambar. 1,2,3,4 menunjukkan kemungkinan letak lubang kencing pada pasien hipospadia
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
G. TINDAKAN PEMBEDAHAN
Tujuan pembedahan :
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan
Devine.
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang
berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis diharapkan lurus,
tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan
preputium bagian dorsal dan kulit penis
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak.
Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat
pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari
kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis
tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi
pertama telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan
penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya
lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung
penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya
tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.
H. KOMPLIKASI
1. Infertility
3. Gangguan psikososial
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Fisik
a. Pemeriksaan genetalia
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal.
2. Mental
c. Tingkat kecemasan
C. IMPLEMENTASI
1. Diagnosa 1 dan 4
Tujuan : memberikan pengajaran dan penjelasan pada orang tua sebelum operasi tentang
prosedur pembedahan, perawatan setelah operasi, pengukuran tanda-tanda vital, dan
pemasangan kateter.
c. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu
pemberian.
d. Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis.
e. Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi
(pre dan post)
2. Diagnosa 2
3. Diagnosa 3
4. Diagnosa 5
a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas
b. Gunakan “restrain” atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah.
c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan
penis.
Perencanaan pemulangan
2. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat.
3. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).
HIDROKEL
A. PENGERTIAN
Hidrokel adalah kumpulan cairan serosa yang berkembang di antara lapisan visera dan
parientalis tunika vaginalis.
B. KLASIFIKASI
1. Hidrokel primer
Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis. Prosesus
vaginalis adalah suatu divertikulum peritoneum embrionik yang melintasi kanalis inguinalis
dan membentuk tunika vaginalis.
2. Hidrokel sekunder
Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang lambat dalam suatu masa
dan dianggap sekunder terhadap obstruksi aliran keluar limfe.
C. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis hidrokel kongenital tergantung pada jumlah cairan yang tertimbun. Bila
timbunan cairan hanya sedikit, maka testis terlihat seakan-akan sedikit membesar dan teraba
lunak. Bila timbunan cairan banyak terlihat skrotum membesar dan agak tegang.
Diagnosis hidrokel dapat dibuat dengan transiluminasi skrotum. Bila dilakukan transiluminasi
pada hidrokel terlihat translusen, terlihat benjolan terang dengan masa gelap oval dari bayangan
testis. Pemeriksan USG dapat dipertimbangkan apabila hasil pemeriksaan transiluminasi tidak
jelas.
E. PENATALAKSANAAN
Pada hidrokel tidak ada terapi khusus yang diperlukan karena cairan lambat laun akan diserap,
biasanya menghilang sebelum umur 2 tahun.
A. PENGKAJIAN
1. Anamnese
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, hidrokel dirasakan sesuatu yang oval atau bulat, lembut dan tidak
nyeri tekan.
b. Bila dilakukan transiluminasi pada hidrokel terlihat transulen, pada hernia tidak.
c. Auskultasi pada skrotum untuk mendengar suara bising usus biasanya tidak ditemukan
pada hidrokel sedangkan pada hernia biasanya terdengar.
FIMOSIS
A. PENGERTIAN
Fimosis adalah suatu penyempitan lubang kulit preputium, sehingga tidak dapat ditarik
(diretraksi) ke atas glans penis.
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Pada bayi, preputium normalnya melekat pada glans tapi sekresi materi subaseum kental secara
bertahap melonggarkannya. Menjelang umur 5 tahun, preputium dapat ditarik ke atas glans
penis tanpa kesulitan atau paksaan.
Tapi karena adanya komplikasi sirkumsisi, dimana terlalu banyak prepusium tertinggal, atau bisa
sekunder terhadap infeksi yng timbul di bawah prepusium yang berlebihan. Sehingga pada
akhirnya, prepusium menjadi melekat dan fibrotik kronis di bawah prepusium dan mencegah
retraksi.
D. PERAWATAN
Fimosis yang masih baru bisa dikurangi dengan menekan glans dan mendorongnya
menggunakan kedua ibu jari, sedang cincin fimosis dijepit oleh kedua ibu jari telunjuk dan jari
tengah kemudian mengembalikan preputium ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Markum, A.H. 1997. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Rosenstein, Beryl J. 1997. Intisari Pediatri Panduan Praktis Pediatri Klinik Edisi II. Jakarta : Hipokrates.
GLOMEROLONEPHRITI AKUT
( GNA )
Disusun Oleh :
Kelompok IX
1. Niwayan Suprapti
2. Dwi Rahayu
3. Nina perwita sari
4. Jovan Rius Dakhi
5. Trio Christanto
MALANG
2007/2008
1. LATAR BELAKANG
BAB. I
PENDAHULUAN
2. Latar Belakang
2. Tujuan
1. Untuk mengetahui pegertian Glomerulonephritis Akut
2. Untuk megetahui penyebab dari Glomerulonephritis Akut
3. Untuk mengetahui klasivikasi dari Glomerulonephritis Akut
4. Untuk mengetahui perjalanan penyakit / patofisiologi dasri
Glomerulonephritis Akut
Akut
2. Manfaat
1. sebagai bahan informasi dalam mengatasi penyakit
Glomerulonephritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
2. Prefalensi
GNA sering ditemukan pada anak umur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak pria dibanding anak wanak wanita.
Timbul GNA di dahului oleh infeksi ekstra-renal, terutama d traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta
hemolyticus golongan A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49.
Hubungan antara GNA dan infeksi streptococcus ini dikemukakan oleh
Lohlein pada tahun 1907 dengan alasa bahwa :
antara infeksi bakteri dan timbulnya GNA terdapat masa laten selama lebih
kurang 10 hari.
Tipe 12 dan 25 sifatnya nefritogen dari pada tipe lain karena :
1. faktor iklim
2. keadaan gizi
3. keadaan umum
4. faktor alergi setelah infeksi dengan kumn streptococcus
penyakit sipilis
keracunan (timah hitam, tridion)
penyakit amiloid
trombositvena renalis
purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus
4. Patofisiologi
Proteinuria
Glomerular menerun
Normal or/APG↓
(LFG) menurun
LED ↑
Reflex
Baroreseptor :
Faktor
Vasokontriktor
Neural Humoral
Ensefalopati Hepertensif
Akut
1. Manifestasi klinis.
Hematuria
Olguria
Oedema ringan disekitar mata/seluruh tubuh
Hipertensi (60-70 %) ringan sampai berat
Oedema berat pada oliguria gagal jantung
Muntah,
Terjadinya menurunan nafsu makan
Konstipasi dan diare faringitis/tonsilitis dan demam
Sakit kepala
Malese dan nyeri panggul
Oedema wajah
Nyeri tekan diseluruh udut kostovetebra (CVA)
1. Pemeriksaabn Diagnostik
1. Penatalaksanaan
1. Komplikasi
1. Oliguri sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi akibat berkurangnya filtrasi
glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, heperkalemia,
hiperfosfatemia dan hidremia. Walaupun oliguria/anuria yang lama jarang terdapat pada anak,
namun bila hal ini terjadi maka dialisisperitoneum kadang0kadang diperlukan.
2. ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hepertensi. Terdapat gejala
berupa gangguan penglihatan, pusing muntah dan kejang-kejang ini di sebabkan spasme
darahpembuluh darah lokal dengan anaksia da edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronki basa, pembesaran jantung
dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan
terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia disamping sintesis eritropoetik yang
menurun.
BAB III
ASUHAN KEPERAAWATAN
1. Pengkajian
1. Aktivitas atau istirahat
Tanda → hipertensi, distrimia jantung, nadi lemah atau halus, hipertensi ortostatik
(hipovolemia), 0edema jaringan umum, pucat, kecenderungan perdarahan
3. Eliminasi
4. Makanan/cairan
Penggunaan diuretic
5. Neurosensori
6. Nyeri / kenyamanan
Tanda → takipnea, dfispnea, batu produktif dengan sputum kental merah mudah (Oedema
paru)
8. Keamanan
1. Penyuluhan / pembelajaran
1. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan voleme cairan b/d penurunan haluaran urin, diet kelebihan dan
retensi cairan natrium
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual,muntah,anoreksia,
pembatasan diet dan perubahan mambran mukosa mulut
3. Kurang pengetahuan tentang kondisidan penanganan
4. Intoleransi aktivitas b/d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialisis
5. Ganggua harga diri b/d ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra
tubuh dan fungsi seksual.
2. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tujuan
Memperatahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Meningkatkan pengetahuan mengenal kondisi dan penanganan yang bersangkutan
Berparsitipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi
1. Kriteria Hasil
DX I :
o Menunjukan perubahan - perubahan berat badan yang lambat
o Mempertahankan pembatasan diet dan cairan
o Menunjutkan turgo kulit normal tanpa oedema
o Menunjukan tanda – tanda vital normal
o Menunjukan tidak adanya distensi vena leher
o Meloporkan adanya kemudahan dalam bernafas/tidak terjadi nafas pendek
o Melakukan hyegiene oral dengan sering
o Melakukan penurun rasa haus
o Meloporkan berkurangnya kekeringan pada mambra mukosa mulut
DX II :
o Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis yang tinggi
o Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam batasan diet
o Mengkonsumsi makanan tinggi kalori dalam batasan diet
o Mematuhi medikasi sesuai dengan jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak
menimbulkan rasa kenyang
o Menjelaskan dengan kata – kata sendiri rasinal pembatasan diet dan hubungan
dengan kadar kreatinin dan urea
o Mengkosulkan daftar makanan yang dapat direrima
o Melaporkan peningkatan nafsu makan
o Menunjukan tidak adanya perlambatan / penurunan berat badan yang tempat
o Menunjykan turgor kulit yang normal/tanpa oedema, kadar albumin, plasma dapat
diterima
DX III :
o Menytakan hubungan antara penyebab glomerulonephritis akut dan konsekuensinya
o Menjelaskan pembatasan cairan dan diet sehubungan dengan kegagalan regulasi
ginjal.
NO Intervensi Rasional
1 DX I :
2 DX II :
3 DX III :
1. Menyediakan informasi
tentang indikasi tingkat
keletihan
2. Meningkatkan aktivitas
4 ringan/sedang dan
memperbaiki harga diri
3. Mendorong latihan dan
akrtivitas dalam batas
– batas yang dapat
ditoleransi dan
istirahatkan yang
adekuat
4. Istirahat yang adekuat
di anjurkan setelah
dialisis, yang bagi
banyak pasien sangat
melelahkan
5 DX V :
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu (infeksi
kuman streptococcus).
GNA sering ditemukan pada anak usia 3-7 thn dan pada anak pria lebih banyak.
Penyakit sifilis,keracunan,penyakit amiloid,trombosis vena renalis,purpura anafilaktoid, dan
lupus eritematosus.
Laju endap darah meninggi, HB menurun pada pemeriksaan laboratorium.
Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis meninggi,hematuria
makroskopik, albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+),silinder leukosit,ureum dan kreatinin darah
meningkat
Pada penyakit ini, klien harus istirahat selama 1-2 minggu, diberikan penicilli, pemberian
makanan rendah protein dan bila anuria, maka ureum harus dikeluarkan.
Komplikasi yang ditimbulkan adalah oliguria,ensefalopati hipertensi,gangguan sirkulasi serta
anemia.
2. Saran
Seorang perawat haruslah mampu mengetahui pengertian dan penyebab dari penyakit
Glomerulonephritis Akut, serta mampu meningkatkan pelayanan kesehatan terama pada
penyakit GNA. Selain itu juga, perawat haruslah memahami dan menjelaskan secara rinci
mengenai tujuan medis, tata cara yang akan di lakukan dan resiko yamg akan mungkin terjadi.
Daftar pustaka
Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EEC
Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC
FKUI
Tjokronegoro, Arjatmo, 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Ed.3. Jilid 2. Jakarta : FKUI
Bottom of Form
© 2009 Multiply, Inc. About · Blog · Terms · Privacy · Corporate · Advertise · Contact · Help