Você está na página 1de 77

Kumpulan Askep

Search more Nursing Care Plan below :

12 JANUARI 2008

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

Pengertian

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang


mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat
sementara (Hudak and Gallo,1996).

Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan
demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).

Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering
juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia
di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson,
1995).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.

2. Patofisiologi

Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak,
trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan
gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik
subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui
etiologinya).
Intrakranial,

Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik

Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular

Infeksi : Bakteri, virus, parasit

Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli
– Opitz.

Ekstra kranial

Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan


elektrolit (Na dan K)

Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.

Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan


kekurangan produksi kernikterus.

Idiopatik

Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)

Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan
diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.

Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi,
dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang
terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya,
kecuali ion clorida.

Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah.
Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis
dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang
disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada
permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion
diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran
sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 %
dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi
dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya
lepasnya muatan listrik.

Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter
sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.

Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA
meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya
terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

Manifestasi klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar
susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul
pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita
epilepsy.

untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan
yaitu :

Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)

Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever

Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah
dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam
sederhana, yaitu :

Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun

Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang


bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah


timbulnya demam

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah


kejang normal

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya


seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.

Klasifikasi kejang

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang
tonik dan kejang mioklonik.

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Kejang Tonik


Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan
masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat.
Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap
epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau
kernikterus

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Kejang Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3
detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak
diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri
akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Kejang Mioklonik

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai
reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas
dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

Diagnosa banding kejang pada anak

Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan
mioklonus nokturnal benigna.

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Gemetar

Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan
terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak
normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas
neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah
gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang
bentuk gerakannya menyerupai klonik .

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Apnea

Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti


napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik.
Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung,
tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut
pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada
hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.

Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR


perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak.
Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk
gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain
dan tidak disertai bradikardia.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Mioklonus Nokturnal Benigna

Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua


orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa
pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila
serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk
kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat
dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur
tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak
memerlukan pengobatan

Penatalaksanaan

Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang


merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang
memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.

Penatalaksanaan Umum terdiri dari :


<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-
hati

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Memonitor pernafasan dan denyut jantung

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Usahakan suhu tetap stabil

<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Perlu dipasang infus untuk pemberian


glukosa dan obat lain

<!--[if !supportLists]-->e. <!--[endif]-->Pemeriksaan EEG, terutama pada


pemberian pridoksin intravena

Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera


dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2
– 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan
larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca –
glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat
menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai
kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa
10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.

Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk
larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4
(IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala
hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.

Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik


seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan
utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang,
mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak
sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital
dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.

Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas


kejang pada BBL dengan alasan
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Efek diazepam hanya sebentar dan tidak
dapat mencegah kejang berikutnya

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Pemberian bersama-sama dengan


fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Zat pelarut diazepam mengandung


natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.

Pemeriksaan fisik dan laboratorium

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan


neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti
berikut :

<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->hakan lihat sendiri manifestasi kejang


yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau
kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.

<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->Kesadaran tiba-tiba menurun sampai


koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi
deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya
kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

<!--[if !supportLists]-->3) <!--[endif]-->Pada kepala apakah terdapat fraktur,


depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –
ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian
tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid
atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari
luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang
disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
<!--[if !supportLists]-->4) <!--[endif]-->Terdapatnya stigma berupa jarak mata
yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan
perkembangan kortex serebri.

<!--[if !supportLists]-->5) <!--[endif]-->Pemeriksaan fundus kopi dapat


menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan
gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis
dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda
stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina
terlihat pada sindom hiperviskositas.

<!--[if !supportLists]-->6) <!--[endif]-->Transluminasi kepala yang positif dapat


disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti
parensefali atau hidrosefalus.

<!--[if !supportLists]-->7) <!--[endif]-->Pemeriksaan umum penting dilakukan


misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung, yang dapat membantu
diagnosis iskemia otak.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Pemeriksaan laboratorium

Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan


gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk
menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis
bakterilisasi.

Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu

<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan


Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau
pendarahan intraventikuler.

<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->Pemeriksaan gula darah, kalsium,


magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.

<!--[if !supportLists]-->3) <!--[endif]-->Fungsi lumbal, untuk menentukan


perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal
berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna
kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya
trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada
ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal

<!--[if !supportLists]-->4) <!--[endif]-->Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi


adanya hipokalsemia

<!--[if !supportLists]-->5) <!--[endif]-->Pemeriksaan EEG penting untuk


menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan
pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar
belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan
brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak
baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan
normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat
meramalkan prognosis.

<!--[if !supportLists]-->6) <!--[endif]-->Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab,


dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :

<!--[if !supportLists]-->a) <!--[endif]-->Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic

<!--[if !supportLists]-->b) <!--[endif]-->Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis


rubella, citomegalovirus dan virus herpes.

<!--[if !supportLists]-->c) <!--[endif]-->Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau
lebih besar dari aturan baku

<!--[if !supportLists]-->d) <!--[endif]-->USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal,


pervertikular, dan vertikular

e) Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan


intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak

<!--[if !supportLists]-->e) <!--[endif]-->Top coba subdural,


dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif
dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala
membesar.
<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]--> Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Fisik

<!--[if !supportLists]-->f. <!--[endif]--> Ubun-ubun anterior tertutup.

<!--[if !supportLists]-->g. <!--[endif]-->Physiologis dapat mengontrol spinkter

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Motorik kasar

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]--> Berlari dengan tidak mantap

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Berjalan diatas tangga dengan satu


tangan

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]--> Menarik dan mendorong mainan

<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Melompat ditempat dengan kedua kaki

<!--[if !supportLists]-->e. <!--[endif]--> Dapat duduk sendiri ditempat duduk

<!--[if !supportLists]-->f. <!--[endif]--> Melempar bola diatas tangan tanpa


jatuh

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Motorik halus

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]--> Dapat membangun menara 3 dari 4


bangunan

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Melepaskan dan meraih dengan baik

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]--> Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam


satu waktu

<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]--> Menggambar dengan membuat tiruan

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Vokal atau suara

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]--> Mengatakan 10 kata atau lebih


<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Menyebutkan beberapa obyek seperti
sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Sosialisasi atau kognitif

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]--> Meniru

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Menggunakan sendok dengan baik

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]--> Menggunakan sarung tangan

<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Watak pemarah mungkin lebih jelas

<!--[if !supportLists]-->e. <!--[endif]--> Mulai sadar dengan barang miliknya

<!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]--> Dampak hospitalisasi

Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan
hilang kontrol menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara
verbal, takut terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak
saat berinteraksi.

Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut :

<!--[if !supportLists]-->a) <!--[endif]-->Rasa takut

<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->Memandang penyakit dan hospitalisasi

<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->Takut terhadap lingkungan dan orang


yang tidak dikenal

<!--[if !supportLists]-->3) <!--[endif]-->Pemahaman yang tidak sempurna


tentang penyakit

<!--[if !supportLists]-->4) <!--[endif]-->Pemikiran yang sederhana : hidup


adalah mesin yang menakutkan
<!--[if !supportLists]-->5) <!--[endif]-->Demonstrasi : menangis, merengek,
mengangkat lengan, menghisap jempol, menyentuh tubuh yang sakit
berulang-ulang.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Ansietas

<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->Cemas tentang kejadian yang


tidakdikenal

<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->Protes (menangis dan mudah marah,


(merengek)

<!--[if !supportLists]-->3) <!--[endif]-->Putus harapan : komunikasi buruk,


kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat

<!--[if !supportLists]-->4) <!--[endif]-->Menyendiri terhadap lingkungan rumah


sakit

<!--[if !supportLists]-->5) <!--[endif]-->Tidak berdaya

<!--[if !supportLists]-->6) <!--[endif]-->Merasa gagap karena kehilangan


ketrampilan

<!--[if !supportLists]-->7) <!--[endif]-->Mimpi buruk dan takut kegelapan,


orang asing, orang berseragam dan yang memberi pengobatan atau
perawatan

<!--[if !supportLists]-->8) <!--[endif]-->Regresi dan Ansietas tergantung saat


makan menghisap jempol

<!--[if !supportLists]-->9) <!--[endif]-->Protes dan Ansietas karena restrain

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Gangguan citra diri

<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->Sedih dengan perubahan citra diri

<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->Takut terhadap prosedur invasive


(nyeri)
<!--[if !supportLists]-->3) <!--[endif]-->Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh
akan keluar kalau selang dicabut

<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Pengkajian

Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi
kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai
karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura ), motor efek
seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus
didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.

Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi


faktor pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan
kerusakan yang ditimbulkan oleh kejang.

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Aktivitas / istirahat : keletihan,


kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis,


tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Integritas ego : stressor eksternal /


internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka
rangsangan.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Eliminasi : inkontinensia episodik,


peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Makanan / cairan : sensitivitas


terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas
kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Neurosensor : aktivitas kejang


berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra
<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Riwayat jatuh / trauma

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan,


perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan


jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu


tubuh

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan


persepsi, penurunan kekuatan

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya


informasi

INTERVENSI

Diagnosa 1

Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan


koordinasi otot.

Tujuan

Cidera / trauma tidak terjadi

Kriteria hasil

Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan


keamanan lingkungan

Intervensi
Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang. Observasi keadaan umum,
sebelum, selama, dan sesudah kejang. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa
kali terjadi. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang. Lindungi
klien dari trauma atau kejang.

Berikan kenyamanan bagi klien. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi
anti compulsan

Diagnosa 2

Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular

Tujuan

Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

Kriteria hasil

Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR
dalam batas normal

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler. Lakukan
penghisapan lendir, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi

Diagnosa 3

Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh

Tujuan

Aktivitas kejang tidak berulang

Kriteria hasil

Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal

Intervensi
Kaji factor pencetus kejang. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
Observasi tanda-tanda vital. Lindungi anak dari trauma. Berikan kompres dingin pda
daerah dahi dan ketiak.

Diagnosa 4

Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan

Tujuan

Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

Kriteria hasil

Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi

Intervensi

Kaji tingkat mobilisasi klien. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien. Bantu klien
dalam pemenuhan kebutuhan. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien.
Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.

Diagnosa 5

Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak
bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.

Intervensi

Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.
Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Beri
kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan
keluarga dalam setiap tindakan pada klien.

EVALUASI

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Cidera / trauma tidak terjadi

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Aktivitas kejang tidak berulang

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Kerusakan mobilisasi fisik teratasi

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Pengetahuan keluarga meningkat

APBI:2004

Diposkan oleh Susilawati di 5:20:00 PM


Label: Askep Anak

PERAWAT GAWAT DARURAT

VENTILASI MEKANIK - Pengertian.Ventilator adalah suatu alat yang digunakan


untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan
oksigenasi. Indikasi Pemasa...

6 bulan yang lalu

 http://harnaw atia
Rabu, 2007 Juli 04
Askep LEUKIMIA

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN LEUKEMIA

A. PENGERTIAN
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam
sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi
tidak teratur atau akumulasi ssel darah putih dalam sumusm tulang, menggantikan
elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi proliferasi di hati, limpa dan nodus
limfatikus, dan invasi organ non hematologis, seperti meninges, traktus
gastrointesinal, ginjal dan kulit.

B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Faktor genetik : virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen ( T
cell leukemia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi : lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker sebelumnya
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan
agen anti neoplastik.
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
6. Kelainan kromosom : Sindrom Bloom’s, trisomi 21 (Sindrom Down’s), Trisomi G
(Sindrom Klinefelter’s), Sindrom fanconi’s, Kromosom Philadelphia positif,
Telangiektasis ataksia.

C. JENIS LEUKEMIA
1. Leukemia Mielogenus Akut
AML mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel
Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia
dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi.
2. Leukemia Mielogenus Kronis
CML juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih
banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. CML
jarang menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran
AML tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama
bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa
membesar.
3. Luekemia Limfositik Akut
ALL dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak,
laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah
usia 15 ALL jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam
sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel
normal..
4. Leukemia Limfositik Kronis
CLL merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 sampai 70 tahun.
Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat
pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit lain.

D. PATHWAY

E. TANDA DAN GEJALA


1. Aktivitas : kelelahan, kelemahan, malaise, kelelahan otot.
2. Sirkulasi :palpitasi, takikardi, mur-mur jantung, membran mukosa pucat.
3. Eliminsi : diare, nyeri tekan perianal, darah merah terang, feses hitam, penurunan
haluaran urin.
4. Integritas ego : perasaan tidak berdaya, menarik diri, takut, mudah terangsang,
ansietas.
5. Makanan/cairan: anoreksia, muntah, perubahan rasa, faringitis, penurunan BB
dan disfagia
6. Neurosensori : penurunan koordinasi, disorientasi, pusing kesemutan, parestesia,
aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
7. Nyeri : nyeri abomen, sakit kepala, nyeri sendi, perilaku hati-hati gelisah
8. Pernafasan : nafas pendek, batuk, dispneu, takipneu, ronkhi, gemericik,
penurunan bunyi nafas
9. Keamanan : gangguan penglihatan, perdarahan spontan tidak terkontrol, demam,
infeksi, kemerahan, purpura, pembesaran nodus limfe.
10. Seksualitas : perubahan libido, perubahan menstruasi, impotensi, menoragia.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia normositik
2. Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml
3. Retikulosit : jumlah biasaya rendah
4. Trombosit : sangat rendah (< 50000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP immatur
6. PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum : mungkin meningkat
9. Muramidase serum : pengikatan pada leukemia monositik akut dan
mielomonositik
10. Copper serum : meningkat
11. Zink serum : menurun
12. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan

G. PENATALAKSANAAN
1. Pelaksanaan kemoterapi
2. Irradiasi kranial
3. Terdapat tiga fase pelaksanaan keoterapi :
a. Fase induksi
Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan
behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum
tulang ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui
intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial
dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf
pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis dan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala,
mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon
sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka
pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.

H. PENGKAJIAN
1. Riwayat penyakit : pengobatan kanker sebelumnya
2. Riwayat keluarga : adanya gangguan hematologis, adanya faktor herediter misal
kembar monozigot)
3. Kaji adanya tanda-tanda anemia : kelemahan, kelelahan, pucat, sakit kepala,
anoreksia, muntah, sesak, nafas cepat
4. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia : demam, stomatitis, gejala infeksi pernafasan
atas, infeksi perkemihan; infeksi kulit dapat timbul kemerahan atau hiotam tanpa
pus
5. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia : ptechiae, purpura, perdarahan
membran mukosa, pembentukan hematoma, purpura; kaji adanya tanda-tanda
invasi ekstra medula: limfadenopati, hepatomegali, splenomegali.
6. Kaji adanya pembesaran testis, hemAturia, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi di
sekkitar rektal dan nyeri.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1. Resiko tinggi infeksi berhubungn dengan menururnnya sistem pertahanan tubuh
sekunder gangguan pematangan SDP, peningkatan jumlah limfosit immatur,
imunosupresi, peneknan sumsum tulang.
Tujuan : pasien bebas dari infeksi
Kriteria hasil :
a. Normotermia
b. Hasil kultur negatif
c. Peningkatan penyembuhan
Intervensi :
a. Tempatkan pada ruangan yang khusus. Batasi pengunjung sesuai indikasi.
b. Cuci tangan untuk semua petugas dan pengunjung.
c. Awsi suhu, perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan
kemoterapi. Observasi demam sehubungan dengan takikardia, hipotensi, perubahan
mental samar.
d. Cegah menggigil : tingkatkan cairan, berikan mandi kompres
e. Dorong sering mengubah posisi, napas dalam dan batuk.
f. Auskultsi bunyi nafas, perhatikan gemericik, ronkhi; inspeksi sekresi terhadap
perubahan karakteristik, contoh peningktatan sputum atau sputum kental, urine bau
busuk dengan berkemih tiba-tiba atau rasa terbakar.
g. Inspeksi kulit unutk nyeri tekan, area eritematosus; luka terbuka. Besihkan kulit
dengan larutan antibakterial.
h. Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan sikat gigi halus.
i. Tingkatkan kebersihan perianal. Berikan rendam duduk menggunakan betadine
atau Hibiclens bila diindiksikan.
j. Berikan periode istirahat tanpa gangguan
k. Dorong peningkatan masukan makanan tinggi protein dan cairan.
l. Hindari prosedur invasif (tusukan jarum dan injeksi) bila mungkin.
m. Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium misal : hitung darah lerngkap, apakah SDP turun
atau tiba-tiba terjadi perubahan pada neutrofil; kultur gram/sensitivitas.
Kaji ulang seri foto dada.
 Berikan obat sesuai indikasi contoh antibiotik.
Hindari antipiretik yang mengandung aspirin.
Berikan diet rendah bakteri misal makanan dimasak, diproses
2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
berlebihan : muntah, perdarahan,diare ; penurunan pemasukan cairan :
mual,anoreksia ; peningkatan kebutuhan cairan : demam, hipermetabolik
Tujuan : volume cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Volume cairan adekuat
b. Mukosa lembab
c. Tanda vital stabil : TD 90/60 mmHg, nadi 100 x/menit, RR 20 x/mnt
d. Nadi teraba
e. Haluaran urin 30 ml/jam
f. Kapileri refill < 2 detik
Intervensi :
a. Awasi masukan/haluaran. Hitung kehilangan cairan dan keseimbangna cairan.
Perhatikan penurunan urin, ukur berat jenis dan pH urin.
b. Timbang berat badan tiap hari
c. Awasi TD dan frekuensi jantung
d. Evaluasi turgor kulit, pengisian kapiler dan kondisi membran mukosa.
e. Beri masukan cairan 3-4 L/hari
f. Inspeksi kulit/membran mukosa untuk petekie, area ekimosis; perhatikan
perdarahan gusi, darah warna karat atau samar pada feses dan urin; perdarahan
lanjut dari sisi tusukan invsif.
g. Implementasikan tindakan untuk mencegah cedera jaringan/perdarahan.
h. Batasi perawatan oral untuk mencuci mulut bila diindikasikan
i. Berikan diet halus.
j. Kolaborasi :
Berikan cairan IV sesuai indikasi
Awasi pemeriksaan laboratorium : trombosit, Hb/Ht, pembekuan.
Berikan SDM, trombosit, faktor pembekuan.
Pertahankan alat akses vaskuler sentral eksternal (kateter arteri subklavikula,
tunneld, port implan)
Berikan obat sesuai indikasi : Ondansetron, allopurinol, kalium asetat atau asetat,
natrium biukarbonat, pelunak feses.

3. Nyeri berhubungan dengan agen fisikal seperti pembesaran organ/nodus limfe,


sumsum tulang yang dikemas dengan sel leukemia; agen kimia pengobatan
antileukemik
Tujuan : nyeri teratasi
Kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan nyeri hilang atau terkontrol
b. Menunjukkan perilaku penanganan nyeri
c. Tampak rileks dan mampu istirahat

Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan perubahan pada derajat dan sisi (gunakan skala 0-
10)
b. Awasi tanda vital, perhatikan petunjuk non-verbal misal tegangan otot, gelisah.
c. Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stres.
d. Tempatkan pada posis nyaman dan sokong sendi, ekstremitas dengan bantal.
e. Ubah posisi secara periodik dan bantu latihan rentang gerak lembut.
f. Berikan tindakan kenyamanan ( pijatan, kompres dingin dan dukungan psikologis)
g. Kaji ulang/tingkatkan intervensi kenyamanan pasien sendiri
h. Evaluasi dan dukung mekanisme koping pasien.
i. Dorong menggunakan teknik menajemen nyeri contoh latihan relaksasi/nafas
dalam, sentuhan.
j. Bantu aktivitas terapeutik, teknik relaksasi.
k. Kolaborasi :
Awasi kadar asam urat
Berika obat sesuai indikasi : analgesik (asetaminofen), narkotik (kodein,
meperidin, morfin, hidromorfon)
Agen antiansietas (diazepam, lorazepam)

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, peningkatan laju


metabolik
Tujuan : pasien mampu mentoleransi aktivitas
Kriteria hasil :
a. Peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
b. Berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai tingkat kemampuan
c. Menunjukkan penurunan tanda fisiologis tidak toleran misal nadi, pernafasan dan
TD dalam batas normal

Intervensi :
d. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam aktivitas.berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa ganggaun
e. Implementasikan teknik penghematan energi, contoh lebih baik duduk daripada
berdiri, pengunaan kursi untuk madi
f. Jadwalkan makan sekitar kemoterapi. Berikan kebersihan mulut sebelum makan
dan berikan antiemetik sesuai indikasi
g. Kolaborasi : berikan oksigen tambahan

5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan trombositopenia


Tujuan : pasien bebas dari gejala perdarahan
Kriteria hasil :
a. TD 90/60mmHg
b. Nadi 100 x/mnt
c. Ekskresi dan sekresi negtif terhadap darah
d. Ht 40-54% (laki-laki), 37-47% ( permpuan)
e. Hb 14-18 gr%
Intervensi :
f. Pantau hitung trombosit dengan jumlah 50.000/ ml, resiko terjadi perdarahan.
Pantau Ht dan Hb terhadap tanda perdarahan
g. Minta pasien untuk mengingatkan perawat bila ada rembesan darah dari gusi
h. Inspeksi kulit, mulut, hidung urin, feses, muntahan dan tempat tusukan IV
terhadap perdarahan
i. Pantau TV interval sering dan waspadai tanda perdarahan.
j. Gunakan jarum ukuran kecil
k. Jika terjadi perdarahan, tinggikan bagian yang sakit dan berikan kompres dingin
dan tekan perlahan.
l. Beri bantalan tempat tidur untuk cegh trauma
m. Anjurkan pada pasien untuk menggunakan sikat gigi halus atau pencukur listrik.
6. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan terhentinya aliran darah
sekunder adanya destruksi SDM
Tujuan : perfusi adekuat
Kriteria hasil :
a. Masukan dan haluaran seimbang
b. Haluaran urin 30 ml/jam
c. Kapileri refill < 2 detik
d. Tanda vital stabil
e. Nadi perifer kuat terpalpasi
f. Kulit hangat dan tidak ada sianosis
Intervensi :
a. Awasi tanda vital
b. Kaji kulit untuk rasa dingin, pucat, kelambatan pengisian kapiler
c. Catat perubahan tingkat kesadaran
d. Pertahankan masukan cairan adekuat
e. Evaluasi terjadinya edema
f. Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium ; GDA, AST/ALT, CPK, BUN
Elektrolit serum, berikan pengganti sesuai indikasi
 Berikan cairan hipoosmolar

DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;
2001.
2. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis,
And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998
3. Doenges, Marilynn E. Nursing Care Plans: Guidelines For Planning And
Documenting Patient Care. Alih Bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC; 1999
4. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes.
Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed.
I. Jakarta : Salemba Medika; 2001

DIPOSKAN OLEH NERS SEMARANG DI 23:13

NERS SEMARANG

SEMARANG, JATENG, INDONESIA

CUSTOMER CALL: 081 569 960 93


LIHAT PROFIL LENGKAPKU

Child abuse

Medical : artikel makalah proposal


kebidanan kedokteran
keperawatan contoh judul skripsi I
bisnis
Medical, informasi artikel bisa untuk s1 keperawatan, akper, akbid, sanitasi, gizi, farmasi, dan kedokteran,contoh, dan
sebagainya.Semoga bisa berguna. Terima kasih
Contoh Artikel : ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN MASALAH
KEAMANAN DAN KESELAMATAN

Perawat memberikan perawatan kepada klien dan keluarga di dalam komunitas mereka
dan tempat pelayanan kesehatan. Untuk memastikan lingkungan yang aman, perawat
perlu memahami hal-hal yang memberikan kontribusi keamanan rumah, komunitas, atau
lingkungan pelayanan kesehatan, dan kemudian mengkaji berbagai ancaman terhadap
keamanan klien dan lingkungan. Pengkajian yang dilakukan pada klien antara lain
pengkajian terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Pengkajian terhadap lingkungan,
termasuk rumah klien dan tempat pelayanan kesehatan, mencakup inspeksi pada fasilitas
tersebut.

a. Data Subjective

Pengkajian difokuskan pada masalah riwayat kesehatan klien yang terkait dengan
kebutuhan keamanan seperti: pernahkah klien jatuh, mengalami patah tulang,
pembatasan aktivitas, dan sebagainya. Klien perlu ditanyakan tentang tindakan
pengamanan di mobil, perhatian terhadap tanda bahaya, tindakan pengamanan anak atau
bayi di rumah, status imunisasi, pengertian dan pemahaman klien tentang kesehatan dan
keamanan. Perlu digali juga tentang perubahan lingkungan, support sistem, tahap tumbuh
kembang.

Perawat perlu mengidentifikasi adanya faktor risiko untuk keamanan klien mencakup:
kondisi dewasa, fisiologi, kognitif, pengobatan, lingkungan, dan kondisi anak-anak.

1. Dewasa seperti, riwayat terjatuh, usia yang lebih tua pada wanita, penggunaan alat
bantu (alat bantu jalan, tongkat), prosthesis anggota badan bagian bawah, umur lebih 65
tahun, dan hidup sendiri.
2. Fisiologi seperti: kehadiran penyakit akut, kondisi post operasi, kesulitan penglihatan,
kesulitan pendengaran, arthritis, orthostatik hipotensi, tidak dapat tidur, pusing ketika
memutar kepala atau menegakkan kepala, anemia, penyakit vaskuler, neoplasma,
kesulitan mobilitas fisik, kerusakan keseimbangan dan neuropati.
3. Kognitive, seperti: penurunan status mental (kebingungan, delirium, dimensia,
kerusakan orientasi orang, tempat dan waktu)
4. Pengobatan, seperti obat anti hipertensi, penghambat ACE, antidepresan trisiklik, obat
anti cemas, hipnotik atau transquilizer, diuretik, penggunan alkohol, dan narkotika.
5. Lingkungan, seperti: adanya restrain, kondisi cuaca atau lingkungan, pencahayaan,
kelembaban, ventilasi, penataan lingkungan.
6. Anak-anak, seperti: umur dibawah 2 tahun, penggunaan pengaman, penataan ruang,
penggunaan mainan.

b. Data Objective

data objective dapat diperoleh perawat dengan melakukan pemeriksaan fisik terkait
dengan sistem: neurologis, cardiovaskuler dan pernafasan, integritas kulit dan mobilitas.
Pengkajian juga mencakup prosedur test diagnostik.

1. Sistem Neurologis
* Status mental
* Tingkat kesadaran
* Fungsi sensori
* Sistem reflek
* Sistem koordinasi
* Test pendengaran, penglihatan dan pembauan
* Sensivitas terhadap lingkungan
2. Sistem Cardiovaskuler dan Respirasi
* Toleransi terhadap aktivitas
* Nyeri dada
* Kesulitan bernafas saat aktivitas
* Frekuensi nafas, tekanan darah dan denyut nadi
3. Integritas kulit
* Inspeksi terhadap keutuhan kulit klien
* Kaji adanya luka, scar, dan lesi
* Kaji tingkat perawatan diri kulit klien
4. Mobilitas
* Inspeksi dan palpasi terhadap otot, persendian, dan tulang klien
* Kaji range of motion klien
* Kaji kekuatan otot klienkaji tingakt ADLs klien

Test diagnostik mencakup: pengukuran tekanan darah, ECG, pengukuran kadar gula darah
dan kolesterol, pemeriksaan darah lengkap, dan sebagainya.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang dapat muncul terkait dengan pemenuhan kebutuhan


keamanan dan keselamatan, berdasarkan NANDA 2004-2006 adalah sebagai berikut:

1. Risiko cedera atau risiko jatuh yang berhubungan dengan perubahan mobilisasi, dan
penataan lingkungan fisik di rumah.
2. Risiko keracunan yang berhubungan dengan kontaminasi zat kimia pada makanan atau
air, penyimpanan obat-obatan yang mudah dijangkau oleh anak-anak, dan penurunan
penglkihatan.
3. Risiko trauma yang berhubungan dengan kontak dengan udara dingin yang ekstrem, dan
obstruksi jalan nafas.
4. Gangguan proses pikir yang berhubungan dengan kehilangan memori, kesulitan tidur,
dan efek samping obat.
5. Perubahan manajemen pemeliharaan rumah yang berhubungan dengan keuangan yang
tidak memadahi, dan perubahan fungsi kognitif.
6. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi informasi, dan tidak
terbiasa dengan tindakan pencegahan untuk anak-anak.
7. Risiko perubahan suhu tubuh yang berhubungan dengan paparan terhadap lingkuingan
panas atau dingin yang ekstrem, dan mekanisme kontrol suhu tubuh yang tidak matang.

3. Perencanaan

Perawat merencanakan intervensi terapeutik untuk klien dengan risiko atau aktual
mengalami gangguan keamanan. Tujuan keseluruhan untuk klien yang mengalami ancaman
keamanan adalah klien terbebas dari cedera. Perawat merencanakan intervensi yang
individual dengan berdasarkan pada beratnya risiko yang dihadapi klien, tahap
perkembangan, status kesehatan, dan gaya hidup.

Intervensi keperawatan dirancang untuk memberikan perawatan yang aman dan efisien.
Berikut ini adalah tujuan yang berfokus pada kebutuhan klien terhadap keamanan:

1. Bahaya yang dapat dimodifikasi dalam lingkungan rumah akan berkurang


2. Klien akan menggunakan obat-obatan dan peralatan dengan benar dan melakukan
tindakan pengobatan.
3. Klien mengidentifikasi dan menghindari risiko yang mungkin dialami dalam komunitas.

Peting memperhatikan kondisi rumah klien ketika merencanakan terapi untuk


mempertahankan atau meningkatkan tingkat keamanan klien. Perencanaan keperawatan
juga melibatkan pemahaman kebutuhan klien untuk mempertahankan kemandiriannya.
Perawat dan klien bekerja sama dalam membuat cara mempertahankan keterlibatan klien
dalam menciptakan lingkungan yang aman di rumah sakit dan di rumah. Pendidikan klien
dan keluarga merupakan intervensi keperawatan utama untuk menurunkan kecelakaan.

Perencanaan keperawatan yang dapat disusun oleh perawat berdasarkan NOC/NIC untuk
mengatasi masalah keperawatan yang terkait denmgan kebutuhan keamanan adalah:

NOC (Nursing Outcomes Classification):

1. Abuse protection: protection of self or dependent others from abuse.


2. Balance: ability to maintain body equilibrium
3. Knowledge: Personal safety: extent of understanding conveyed about preventing
unintentional injuries.
4. Risk control: actions to eliminate or reduce actual, personal, and modifiable health
threats.
5. Risk detection: actions taken to identify personal health threats
6. Safety behavior: Fall prevention: individual or caregiver actions to minimize risk factors
that might precipitate falls.
7. Safety behavior: Home physical environment: individual or caregiver actions to
minimize environment factors that might cause physical harm or injury in the home.
8. Safety behavior: Personal: individual or caregivers efforts to control behaviors that
might cause physical injury.
9. Safety status: Falls occurrence: number of falls in the past week.
10. Safety status: Physical injury: severity of injury from accidents and trauma.

NIC (Nursing Interventions Classification):

1. Environmental management: Safety; monitoring and manipulation of the physical


environment to promote safety.
2. Enviromental management: Worker safety; monitoring and manipulatuion of the
worksite to promote safety and health of workers.
3. Fall prevention: instituting special precautions with patient at risk for injury from
falling.
4. Health education; developing and providing instruction and learning experiences to
facilitate voluntary adaptation of behavior conductive to health in individuals, families,
groups, or community.
5. Laser precautions: limiting the risk of injury to the patient related to use of a laser.
6. Peripheral sensation management: prevention or minimization of injury or discomfort in
the patient with altered sensation.
7. Physical restraint: application, monitoring, and removal of mechanical restraining
devices or manual restraints which are used to limit physical mobility of a patient.
8. Positioning: deliberative placement of the patient or a body part to promote
physiological and/or psychological well-being.
9. Pressure management: minimizing pressure to body part.
10. Radiation theraphy management: assisting the patient to understand and minimize the
side effects of radiation treatments.
11. Seizure precautions; care of a patient during seizure and the postictal state.
12. Skin surveillance: collection and analysis of patient data to maintain skin and mucous
membrane integrity.
13. Surgical precautions: minimizing the potensial for iantrogenic injury to the patient
related to surgical prossedure.
14. Surveillance: purposefull and ongoing acquisition, interpretation, and syntesis of
patient data for clinical decision-making.
15. Surveillance safety: purposefull and ongoing acquisition, interpretation, and analysis
of information about the patient and environment for use in promoting and maintaining
patient safety.
16. Teaching: Disease process; assisting the patient to understand information related to
specific disease process.
17. Teaching: Individual; planning, implementation, and evaluation of the teaching
program designed to address a patient’s particular needs.
18. Teaching: Infant care; instruction on nurturing and physical care needed during the
first year of life.
19. Vital sign monitoring: collections and analysis of cardiovaskuler, respiratory, and body
temperature data to determine and prevent complications.
20. Positioning: Wheelchair:; placement of a patient in a properly selected wheelchair to
enhance comfort, promote skin integrity, and foster independence.

4. Tindakan Keperawatan

Tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah disusun sesuai


dengan permasalahan keamanan yang dihadapi oleh klien. Perawat melakukan tindakan
untuk mencapai NOC yang telah ditetapkan mellaui pelaksanaan NIC yang telah disusun.

Implementasi keperawatan ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan keamanan


klien. Karena sebagian besar tindakan keperawatan dapat diterapkan pada semua
lingkungan, maka intervensi tersebut harus terdiri dari dua bagian: pertimbangan tahap
perkembangan dan perlindungan lingkungan.

Kategori pertama dari intervensi mencakup intervensi yang spesifik untuk mengurangi
risiko pada setiap kelompok perkembangan usia. Intervensi lingkungan bertujuan untuk
memodifikasi lingkungan sehingga dapat megeliminasi atau meminimalkan bahaya yang
ada atau berpotensial.

5. Evaluasi

Rencana perawatan, yang dirancang untuk mengurangi risioko pada klien dievaluasi
dengan cara membandingkan criteria hasil dengan tujuan yang ditetapkan selama tahap
perencanaan. Jika tujuan telah tercapai, maka intervensi keperawatan dianggap efektif
dan tepat. Jika tidak tercapai, maka perawat harus menentukan apakah ada risiko baru
yang berkembang pada klien atau apakah risiko sebelumnya tetap ada.

Klien dan keluarga harus berpartisipasi untuk menentukan cara permanent untuk
mengurangi risiko yang mengancam keamanan. Perawat mengkaji kebutuhan klien dan
keluarga secara terus menerus untuk menentukan dukungan tambahan seperti perawatan
di rumah, terapi fisik, dan konseling, dan pendidikan kesehatan lanjutan.

Lingkungan yang aman berperan penting dalam meningkatkan , mempertahankan dan


memulihkan kesehatan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat mengkaji
klien dan lingkungannya untuk menentukan factor risiko cedera, megelompokkan factor-
faktor risiko tersebut, membuat diagnosa keperawatan, dan merencanakan intervensi yang
spesifik, termasuk pendidikan kesetan klien. Hasil yang diharapkan meliputi lingkungan
fisik yang aman, pengetahuan klien tentang factor-faktor yang menunjang keamanan dan
tindakan pencegahan, dank lien terbebas dari cedera.

<
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pencernaan adalah sebuah proses metabolisme dimana suatu makhluk hidup memproses sebuah
zat dalam rangka untuk mengubah secara kimia atau mekanik sesuatu zat menjadi nutrisi. Namun,
jika proses ini terjadi perubahan maka akan terjadi gangguan pencernaan termasuk obstruksi usus
dan hernia.
Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan
tetapi peristaltiknya normal. (Reeves, 2001).
Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan
makanan dapat secara mekanis atau fungsional. (Tucker, 1998). Sedangkan hernia adalah prostusi
dari organ melalui organ defektif yang didapat/ kongenital pada dinding rongga yang secara normal
berisi organ. (Barbara Engran, 1998).
Oleh karena itu, Kami menulis makalah ini guna agar mahasiswa mengetahui hal-hal mengenai
obstruksi usus dan hernia, yang akan dibahas secara lengkap pada bab berikutnya.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengerti dan menjelaskan jenis- jenis dari gangguan obstruksi pencernaan.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan:
a. definisi penyakit obstruksi usus dan hernia
b. etiologi penyakit obstruksi usus dan hernia
c. manifestasi klinik penyakit obstruksi usus dan hernia
d. patofisiologi penyakit obstruksi usus dan hernia
e. komplikasi penyakit obstruksi usus dan hernia
f. pemeriksaan diagnostik penyakit obstruksi usus dan hernia
g. penatalaksanaan medis penyakit obstruksi usus dan hernia
h. proses keperawatan penyakit obstruksi usus dan hernia

BAB II
ISI

A. OBSTRUKSI USUS
1. Pengertian
a. Nettina, 2001
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal.
b. Tucker, 1998
Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan
makanan dapat secara mekanis atau fungsional
c. Ester, M, 2002:49
Obstruksi usus adalah kerusakan parsial atau komplit aliran isi usus ke arah ke depan. Yang
kebanyakan terjadi di usus halus khususnya di ileum.
d. Long B. C, 1996:242
Gangguan yang terjadi ketika terdapat rintangan terhadap aliran normal dari isi usus, bisa juga
karena hambatan terhadap rangsangan syaraf untuk terjadinya peristaltik atau karena adanya
blokkage pada ileus mekanik/organik.

2. Etiologi
Obstruksi usus dapat disebabkan oleh tiga macam faktor (Ester, M, 2002:49). yaitu :
a. Faktor Mekanis : Suatu penyebab fisik menyumbat usus dab tidak dapat diatasi oleh peristaltik
• Perlekatan atau adhesi yaitu lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara
lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen (Brunner & Suddarth, 2002:1121).
Pada perlekatan usus halus adhesi pita-pita jaringan ikat mungkin terbentuk dari organ ke organ ke
dinding peritoneum sebagai hasil penyembuhan dari peritonitis atau setelah setiap operasi abdominal
(Robbins & Kumar, 1995:266).
• Hernia : Protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen
• Volvulus yaitu usus memutar dan kembali kekeadaan, akibatnya lumen usus menjadi tersumbat,
menunjukkan adanya pemelintiran (pemutaran) dari saluran usus, kira-kira pada dasar pelekatan
mesenterik. Hal ini sering terjadi pada usus halus, tapi saluran sigmoid yang sangat berlebihan
munkin dapat terkena. Obstruksi dan infrak sering terjadi pada kasus ini (Robbins dan Kumar,
1995:266).
• Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan
tekanan pada dinding usus
b. Faktor Neurogenik/Fungsional : Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami
paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong
• Intususepsi atau invaginasi adalah bagian dari usus menyusup ke dalam bagian lain yang ada di
bawahnya akibat penyempitan lumen usus. Pada gangguan ini satu segmen dari usus halus
dikerutkan oleh suatu gelombang peristaltik, serta masuk mengalami invaginasi ke dalam segmen
distal dari usus tersebut. Sekali terjebak, segmen yang masuk tersebut oleh gerakan peristaltik
didorong ke dalam segmen bagian distal, ikut menarik mesenterium dibelakangnya (Robbins dan
Kumar, 1995:266).
c. Faktor vaskuler yaitu obstruksi aliran darah yang dapat timbul sebagai akibat dari okulasi komplet
(infark mesentrika) atau oklusi proksimal (angina abdominal).

3. Manifestasi Klinik
Mansjoer, A, 2000:318
a. nyeri karena luka atau akibat penumpukan gas
b. mual, muntah karena adanya distensi abdomen dan akumulasi gas dan cairan,
c. konstipasi bisa terjadi karena kurang aktivitas, penurunan gerakan gastrointestinal,
d. retensia urine karena adanya tekanan pada kandung kencing (),

Boughman & Hackley,2000:382


a. dehidrasi mengakibatkan haus yang berlebihan, rasa mengantuk, malaise dan sakit,
b. shock karena dehidrasi atau kehilangan volume plasma.

Long, B.C, 1996:79


Pada manifestasi klinis pasca bedah yaitu terjadi
konstipasi
mual
 muntah
retensi urin
distensi abdominal
nyeri karena gas
 nyeri disertai dingin
nyeri disertai demam.

4. Patofisiologi

5. Komplikasi
a. Peritionitis
b. Syok Hipovolemia
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
b. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang
tertutup.
c. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah; peningkatan hitung SDP
dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi
pankreas oleh lipatan usus.
d. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolik

7. Penatalaksanaan Medis
a. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
b. Terapi Na+, K+, komponen darah
c. Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan interstisial
d. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
e. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area penyumbatan; selang
dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring miring ke kanan.
f. Implementasikan pengobatan unutk syok dan peritonitis.
g. Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein karena obstruksi kronik, ileus paralitik atau
infeksi.
h. Reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
i. Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung terlalu beresiko.
j. Kolostomi lingkaran untuk mengalihkan aliran feses dan mendekompresi usus dengan reseksi usus
yang dilakukan sebagai prosedur kedua.

8. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pada pengkajian umum dapat terjadi anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat,
kekakuan abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rectal/perostomi,
peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan,
leukositosis (Tucker, 1998:325), menurut Sjamsuhidayat fokus pengkajian post operasi yaitu nyeri
tekan jika meluas, mengembangnya distensi perut, adanya perdarahan, suhu badan meningkat,
takikardia, perubahan mental (takut, gelisah, somnolen), masa yang nyeri khususnya jika disertai
suhu tinggi (Sjamsuhidayat, 1997:843).

b. Diagnosa
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau diforesis.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil
a. Tanda vital normal
b. Masukan dan haluaran seimbang

Intervensi:
a. Pantau tanda vital dan observasi tingkat kesadaran dan gejala syok
b. Pantau cairan parentral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
c. Pantau selang nasointestinal dan alat penghisap rendah dan intermitten. Ukur haluaran drainase
setiap 8 jam, observasi isi terhadap warna dan konsistensi
d. Posisikan pasien pada miring kanan; kemudian miring kiri untuk memudahkan pasasse ke dalam
usus; jangan memplester selang ke hidung sampai selang pada posisi yang benar
e. Pantau selang terhadap masuknya cairan setiap jam
f. Kateter uretral indwelling dapat dipasang; laporkan haluaran kurang dari 50 ml/jam
g. Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam
h. Pantau elektrolit, Hb dan Ht
i. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
j. Bila pembedahan tidak dilakukan, kolaborasikan pemberian cairan per oral juga dengan mengklem
selang usus selama 1 jam dan memberikanjumlah air yang telah diukur atau memberikan cairan
setelah selang usus diangkat.

k. Buka selang, bila dipasang, pada waktu khusus seusai pesanan, untuk memperkirakan jumlah
absorpsi.
l. Observsi abdomen terhadap ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau kekauan.
m. Auskultasi bising usus, 1 jam setelah makan; laporkan tak adanya bising usus.
n. Cairan sebanyak 2500 ml/hari kecuali dikontraindikasikan.
o. Ukur masukan dan haluaran sampai adekuat.
p. Observasi feses pertama terhadap warna, konsistensi dan jumlah; hindari konstipasi

2. Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan


Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat
dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.

Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman; jangan menyangga lutut.
b. Kaji lokasi, berat dan tipe nyeri
c. Kaji keefektifan dan pantau terhadap efek samping anlgesik; hindari morfin
d. Berikan periode istirahat terencana.
e. Kaji dan anjurkan melakukan lathan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam.
f. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit.
g. Auskultasi bising usus; perhatikan peningkatan kekauan atau nyeri; berikan enema perlahan bila
dipesankan.
h. Mengajarkan tekhnik relaksasi nafas dalam
i. Berikan dan anjurkan tindakan alternatif penghilang nyeri.

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dan atau kekakuan.
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil : pasien menunjukkan kemampuan melakukan latihan pernafasan, pernafasan yang
dalam dan perlahan.
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan; observasi terhadap menelan, “pernafasan cepat”
b. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
c. Pantau terapi oksigen atau spirometer insentif
d. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam.
e. Auskultasi dada terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.

4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.


Tujuan : ansietas teratasi
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan mendemonstrasikan
keterampilan kooping positif dalam menghadapi ansietas.

Intervensi:
a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu.
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut; berikan penenangan.
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit, tindakan dan
prognosis.
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
e. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat.

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Tujuan : Klien menunjukan peningkatan asupan nutrisi
Intervensi:
a. Mengkaji pola makan pasien
b. Menyajikan makanan dalam keadaan hangat dan menarik
c. Memberikan informasi tentang pentingnya nutrisi sesuai diit bubur halus
d. Menjaga kebersihan oral hygiene

HERNIA
A. Definisi
a. Hernia adalah menonjolnya suatu organ atau struktur organ dan tempatnya yang normal malalui
sebuah defek kongenital atau yang didapat. (Long, 1996 : 246)
b. Hernia adalah suatu keadaan menonjolnya isi usus suatu rongga melalui lubang (Oswari, 2000 :
216)
c. Hernia adalah penonjolan sebuah organ, jaringan atau struktur melewati dinding rongga yang
secara normal memang berisi bagian-bagian tersebut (Nettina, 2001 : 253)
d. Hernia adalah penonjolan peritoneum parietale yang berisi viskus melalui bagian yang lemah pada
dinding abdomen. (http://karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38272_ASUHAN-KEPERAWATAN-
HERNIA.html)

Pada hernia selalu ada 3 unsur, yaitu:


1. Kantung hernia (peritoneum parietale)
2. Isi (viskus: organ/jaringan yang keluar melalui kantung hernia)
3. Pintu/hernia (locus minorus resisten)
B. Klasifikasi
a. Hernia congenital:
a) Hernia umbilikalis
b) Hernia diafragnatika
c) Hernia inguinalis lateralis
b. Hernia didapat:
a) Hernia inguinalis medialis
b) Hernia femoralis
Secara Klinis:
• Reponibilis: hernia yang masih dapat keluar masuk
• Irreponibilis: Hernia yang sudah tidak dapat masuk, viskus melekat pada kantung dan ada infeksi
• Strangulasi: hernia yang terjadi karena terjepitnya pembuluh dapat tapi masih mendapat nutrisi/
terdapat gangguan vascularisasi
• Incarserata: lumen terjepit sehingga tidak mendapat nutrisi, terjadi parase usus
C. Etiologi:
1. Hernia congenital:
• Processus vaginalis peritoneum persisten
• Testis tidak samapi scrotum, sehingga processus tetap terbuka
• Penurunan baru terjadi 1-2 hari sebelum kelahiran, sehingga processus belum sempat menutupdan
pada waktu dilahirkan masih tetap terbuka
• Predileksi tempat: sisi kanan karena testis kanan mengalami desensus setelah kiri terlebih dahulu.
• Dapat timbul pada masa bayi atau sesudah dewasa.
• Hernia indirect pada bayi berhubungan dengan criptocismus dan hidrocele
2. Hernia didapat:
Ada factor predisposisi:
• Kelemahan struktur aponeurosis dan fascia tranversa
• Pada orang tua karena degenerasi/atropi
• Tekanan intra abdomen meningkat
• Pekerjaan mengangkat benda-benda berat
• Batuk kronik
• Gangguan BAB, missal struktur ani, feses keras
• Gangguan BAK, mis: BPH, veskolitiasis
• Sering melahirkan: hernia femoralis
D. Diagnosa
a. Anamnesa
• Timbul benjolan di lipat paha yang hilang timbul
• Penonjolan dapat timbul bila tekanan intra abdomen naik
• Benjolan dapat hilang jika pasien tiduran atau dimasukkan dengan tangan (manual)
• Nyeri
b. Pemeriksaan fisik
Benjolan pada lipat paha atau scrotum dengan batas atas tidak jelas, bising usus (+), transiluminasi (-
).
c. Rontgen foto

a. Hernia Inguinalis Medialis


a) Definisi:
Merupakan hernia yang berjalan melalui dinding inguinal belakang, medial dari vasa epigastrika
inferior ke daerah yang dibatasi trigonum Hasselbachii.
b) Etiologi
Biasanya tidak ditemukan sebab yang pasti, meskipun kadang dihubungkan dengan angkat berat.
Hernia terjadi jika bagian dari organ perut( biasanya usus) menonjol melalui suatu titik yang lemah
atau robekan pada dinding otot yang tipis, yang menahan organ perut pada tempatnya.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Hernia
dapat dijumpai pada setiap usia, lebih banyak pada pria ketimbang pada wanita. Berbagai faktor
penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar
sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Disamping itu diperlukan pula faktor yang dapat
mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar tersebut.
Faktor yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosessus vaginalis yang terbuka, peninggian
tekanan didalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia.
Proses turunnya testis mengikuti prosessus vaginalis. Pada nenonatus kurang lebih 90% prosessus
vaginalis tetap terbuka sedangkan pada bayi umur satu tahun sekitar 30 % prosessus vaginalis belum
tertutup. Tetapi kejadian hernia pada umur ini hanya beberapa persen. Tidak sampai 10% anak
dengan prosessus vaginalis paten menderita hernia. Pada anak dengan hernia unilateral dapat
dijumpai prosessus veginalis paten kontralateral lebih dari separo, sedangkan insiden hernia tidak
melebihi 20%. Umumnya disimpulkan bahwa adanya prosessus vaginalis yang paten bukan
merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia tapi diperlukan faktor lain seperti anulus inguinalis
yang cukup besar.
Tekanan intra abdomen yang meniggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi
dan asites sering disertai hernia inguinalis.
Insiden hernia meningkat dengan bertambahnya umur mungkin karena meningkatnya penyakit yang
meninggikan tekanan intra abdomen dan jaringan penunjang berkurang kekuatannya.
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus internus turut kendur.
Pada keadaan itu tekanan intra abdomen tidak tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal,
sebaliknya bila otot dinding perut berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus
inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus kedalam kanalis inguinalis. Kelemahan
otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n.ilioinguinalis dan n.iliofemoralis setelah
apendektomi. Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum disebut hernia skrotalis.

c) Penatalaksanaan
Prinsipnya untuk mencegah inkarserasi atau strangulasi semua hernia harus direpair, kecuali hernia
direc yang kecil.
Konservatif:
• Hanya dilakukan pada keadaan yang masih reponibel.
• Dengan cara mengatasi factor-faktor predisposisi bukan penatalaksanaan yang ideal.
• Pada anak-anak dengan hernia indirect irreponibel diberi terapi konservatif dengan: obat penenang
(valium), posisi trandelenburg, dan kompres es.
Operatif:
• Herniotomi: pembebasan kantung hernia samapai pada lehernya, kantung dibuka dan isi hernia
dibebaskan,
• Hernioplasti: memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis
inguinalis,
• Herniografi: membuat plasty di abdomen sehingga LMR menjadi kuat.
d) Penanganan pasca opersi:
1. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
2. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar diding
abdomen tidak tegang.
3. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
4. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
5. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan intra
abdomen.

e) Komplikasi
• Perlekatan
• H. Irreponibilis
• Terjadinya jepitan menyebabkan isckemi
• Infeksi yang dapat menimbulkan nekrose
• Opstipasi
• H.incarserata

b. Hernia Nukleus Pulposus


a) Definisi:
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh
vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola
dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus.
(Brunner & Suddarth, 2002). Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya,
bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)
b) Patofisiologi:
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi
pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air
nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada
herniasi nukleus. Setela trauma (seperti jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti
mengangkat) kartilago dapat cedera.

c) Manifestasi Klinis:
• Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal
• Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

d) Pemeriksaan Diagnostik
1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang
2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.
Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit
neurologik.
Macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis,
memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat
patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan.
2. Immobilisasi
Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.
3. Traksi
aksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.
4. Meredakan Nyeri
mpres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu
kortikosteroid.

Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan
keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia,
keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada
daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa Keperawatan yang Muncul


1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan
pengobatan.
Intervensi
1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot
a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala
0 – 10
b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam
keadaan fleksi, posisi telentang
c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi
d. Bantu pemasangan brace / korset
e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
f. Ajarkan teknik relaksasi
g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi.
Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.
d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi
e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.
f. Kolaborasi : analgetik
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
a. Kaji tingkat ansietas pasien
b. Berikan informasi yang akurat
c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis,
pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.
d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin
menghalangi proses penyembuhannya.
e. Libatkan keluarga
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan
b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan
sepatu penyokong
c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.
d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah
leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.
e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan
sensasi / kemampuan untuk berjalan.

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzane C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3,
Jakarta : EGC, 2002
Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
_______2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Ed, III. Jakarta: Media Aeseolapius FKUI
Ester, M. 2000. Keperawatan Medikal Bedah.jakarta: EGC
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III, jilid 2. jakarta: Media Aeseolapius
Robbins & Kumar. 1995. buku Ajar Patologi II, Ed. 4. jakarta: EGC
Sjamsuhidayat. 1997. bahan Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan Pajajaran, 1996.
Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University
Press, 1993
Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih Bahasa Setiawan dkk. Ed. 1. jakarta:
EGC;2001
Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes. Alih Bahasa Peter
Anugrah. Ed. 4. jakarta: EGC;1994
Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. 1. Jakarta:
Salemba Medika;2001
Ahmad, R.P, K. St, 1997, kamus Kedokteran, Djambatan, Jakarta
Baughman D.C & Hackley, J.C, 2000, Keperawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa Yasmin Asih,
Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Ed.VIII, Volume II. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 1998. Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa Yasmin Asih Ed. VI. Jakarta: EGC
______2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, ED. VI. Jakarta: EGC
http://obstruksiusus.blogspot.com/2008_08_01_archieve.html
http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/asuhan-keperawatan-hernia-nukleus-pulposus/
http://www.ilmukeperawatan.com/asuhan_keperawatan_hnp.html

http://karisyogya.blog.m3-access.com/posts/38272_ASUHAN-KEPERAWATAN-HERNIA.html

Modifikasi Motor Terbaru

Jika Anda suka dunia modifikasi motor, tentunya anda tidak mau ketinggalan info tentang modifikasi
motor-motor terbaru. Ini merupakan daftar modifikasi motor terbaru dan terlengkap HONDA GRAND,
YAMAHA VEGA, YAMAHA JUPITER Z, AND SUZUKI SHOGUN NEW MOTODIFY OF THE YEAR
2009...

Mesothelioma Cancer

mesothelioma may not appear until 20 to 50 years after exposure to asbestos. Shortness of breath,
cough, and pain in the chest due to an accumulation of fluid in the pleural space are often symptoms
of pleural mesothelioma.Symptoms of peritoneal mesothelioma include weight loss and cachexia,
abdominal...
Tips Memelihara Payudara

ScienceDaily (Jan. 27, 2009) — Despite recommendations and being at an


increased risk of breast cancer, most young women who.

Read more....

CARA MEMPERBESAR PAYUDARA

Women are actual acquainted about their breast care. Beautiful and
advantageous breast are one of the a lot of admired dream of women. Breasts lose their accent and
arrangement with age. This about happens during the average age...

Read More...>>>

Copyright © 2009 by ASKEP KESEHATAN KEPERAWATAN MAKALAH ARTIKEL

Template by Blog Templste 4 U | Blogspot Tutorial | Blogger


n11ra’s Blog
askep anak dengan gangguan saluran kemih

11 March 2009 · Filed under ASKEP ANAK · Tagged fimosis, hidrokel, hipospadi

HIPOSPADIA

KONSEP DASAR PENYAKIT HIPOSPADIA

A. PENGERTIAN

Hipospadia adalah suatu keadaan dimana uretra terbuka di permukaan bawah penis,
skrotum atau peritonium. Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang
berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang.

B. ETIOLOGI

Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui


penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap
paling berpengaruh antara lain :

1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon

Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur


organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya
sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon
androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap
saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan
dalam sintesis hormon androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.

2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi
pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen
tersebut tidak terjadi.

3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang
bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

C. PATOFISIOLOGI

Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero. Terjadi karena
adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14.
Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada
permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau
menutup.

D. MANIFESTASI KLINIS

1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis
yang menyerupai meatus uretra eksternus.

2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.

3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga
ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.

4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.

5. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.

6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.

7. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.

8. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).

9. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal


E. KLASIFIKASI

Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :

1. Tipe sederhana/ Tipe anterior

Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal.

Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat
asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan
dilatasi atau meatotomi.

Hipospadiandular Hipospadia Subcoronal

2. Tipe penil/ Tipe Middle

Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.

Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan
kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat
melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan
intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium
tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada
dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.

Hipospadia Pene-escrotal

3. Tipe Posterior

Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.

Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan
skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.

Gambar. 1,2,3,4 menunjukkan kemungkinan letak lubang kencing pada pasien hipospadia
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan


untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG
mengingat hipospadi sering disertai kelainan pada ginjal.

G. TINDAKAN PEMBEDAHAN

Tujuan pembedahan :

1. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial, serta

2. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.

Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan
Devine.

1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:

a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang
berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis diharapkan lurus,
tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan
preputium bagian dorsal dan kulit penis

b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak.
Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat
pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari
kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis
tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi
pertama telah matang.

2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan
penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya
lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung
penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya
tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.

H. KOMPLIKASI

Komplikasi dari hypospadia yaitu :

1. Infertility

2. Resiko hernia inguinalis

3. Gangguan psikososial

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Fisik

a. Pemeriksaan genetalia

b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal.

c. Kaji fungsi perkemihan

d. Adanya lekukan pada ujung penis

e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi

f. Terbukanya uretra pada ventral

g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage.

2. Mental

a. Sikap pasien sewaktu diperiksa

b. Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan

c. Tingkat kecemasan

d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur pembedahan


dan perawatan setelah operasi.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter.

3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan

4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan

5. Risiko injuri berhubungan dengan pemasangan kateter atau pengangkatan kateter.

C. IMPLEMENTASI

1. Diagnosa 1 dan 4

Tujuan : memberikan pengajaran dan penjelasan pada orang tua sebelum operasi tentang
prosedur pembedahan, perawatan setelah operasi, pengukuran tanda-tanda vital, dan
pemasangan kateter.

a. Kaji tingkat pemahaman orang tua.

b. Gunakan gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur, pemasangan


kateter menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan kateter, pengosongan
kantong urin, keamanan kateter, monitor urine, warna dan kejernihan, dan perdarahan.

c. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu
pemberian.

d. Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis.

e. Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi
(pre dan post)

2. Diagnosa 2

Tujuan : mencegah infeksi

a. Pemberian air minum yang adekuat

b. Monitor intake dan output (pemasukan dan pengeluaran)


c. Kaji gaya gravitasi urine atau berat jenis urine

d. Monitor tanda-tanda vital

e. Kaji urine, drainage, purulen, bau, warna

f. Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter

g. Pemberian antibiotik sesuai program

3. Diagnosa 3

Tujuan : meningkatkan rasa nyaman

a. Pemberian analgetik sesuai program

b. Perhtikan setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak

c. Monitor adanya “kink-kink” (tekukan pada kateter) atau kemacetan

d. Pengaturan posisi tidur anak sesuai kebutuhannya

4. Diagnosa 5

Tujuan : mencegah injuri

a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas

b. Gunakan “restrain” atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah.

c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan
penis.

Perencanaan pemulangan

1. Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan.

2. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat.

3. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).
HIDROKEL

KONSEP DASAR PENYAKIT HIDROKEL

A. PENGERTIAN

Hidrokel adalah pengumpulan cairan peritoneum di dalam skrotum.

Hidrokel adalah kumpulan cairan serosa yang berkembang di antara lapisan visera dan
parientalis tunika vaginalis.

B. KLASIFIKASI

1. Hidrokel primer

Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis. Prosesus
vaginalis adalah suatu divertikulum peritoneum embrionik yang melintasi kanalis inguinalis
dan membentuk tunika vaginalis.

2. Hidrokel sekunder

Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang lambat dalam suatu masa
dan dianggap sekunder terhadap obstruksi aliran keluar limfe.

C. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis hidrokel kongenital tergantung pada jumlah cairan yang tertimbun. Bila
timbunan cairan hanya sedikit, maka testis terlihat seakan-akan sedikit membesar dan teraba
lunak. Bila timbunan cairan banyak terlihat skrotum membesar dan agak tegang.

Hidrokel pada bayi baru lahir


D. DIAGNOSIS

Diagnosis hidrokel dapat dibuat dengan transiluminasi skrotum. Bila dilakukan transiluminasi
pada hidrokel terlihat translusen, terlihat benjolan terang dengan masa gelap oval dari bayangan
testis. Pemeriksan USG dapat dipertimbangkan apabila hasil pemeriksaan transiluminasi tidak
jelas.

E. PENATALAKSANAAN

Pada hidrokel tidak ada terapi khusus yang diperlukan karena cairan lambat laun akan diserap,
biasanya menghilang sebelum umur 2 tahun.

ASUHAN KEPERAWATAN HIDROKEL

A. PENGKAJIAN

1. Anamnese

Anamnese berkaitan tentang lamanya pembengkakan skrotum dan apakah ukuran


pembengkakan itu bervariasi baik pada waktu istirahat maupun pada keadaan emosional
(menangis,ketakutan).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, hidrokel dirasakan sesuatu yang oval atau bulat, lembut dan tidak
nyeri tekan.

Hidrokel dapat dibedakan dengan hernia melalui beberapa cara :

a. Hidrokel tidak dapat didorong, hernia biasanya dapat didorong.

b. Bila dilakukan transiluminasi pada hidrokel terlihat transulen, pada hernia tidak.

c. Auskultasi pada skrotum untuk mendengar suara bising usus biasanya tidak ditemukan
pada hidrokel sedangkan pada hernia biasanya terdengar.
FIMOSIS

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. PENGERTIAN

Fimosis adalah suatu penyempitan lubang kulit preputium, sehingga tidak dapat ditarik
(diretraksi) ke atas glans penis.

B. ETIOLOGI

Fimosis dapat terjadi karena infeksi bakteri di daerah preputium.

C. PATOFISIOLOGI

Pada bayi, preputium normalnya melekat pada glans tapi sekresi materi subaseum kental secara
bertahap melonggarkannya. Menjelang umur 5 tahun, preputium dapat ditarik ke atas glans
penis tanpa kesulitan atau paksaan.

Tapi karena adanya komplikasi sirkumsisi, dimana terlalu banyak prepusium tertinggal, atau bisa
sekunder terhadap infeksi yng timbul di bawah prepusium yang berlebihan. Sehingga pada
akhirnya, prepusium menjadi melekat dan fibrotik kronis di bawah prepusium dan mencegah
retraksi.

D. PERAWATAN

Fimosis yang masih baru bisa dikurangi dengan menekan glans dan mendorongnya
menggunakan kedua ibu jari, sedang cincin fimosis dijepit oleh kedua ibu jari telunjuk dan jari
tengah kemudian mengembalikan preputium ke depan.
DAFTAR PUSTAKA

Catzel, pincus dkk. 1990. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta : EGC.

Markum, A.H. 1997. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Rosenstein, Beryl J. 1997. Intisari Pediatri Panduan Praktis Pediatri Klinik Edisi II. Jakarta : Hipokrates.

Sabiston. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidarat, dkk. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

Suriadi. 2001. suhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : CV Sagung Seto.


Jovan Dachi Site's
HomeBlogPhotosVideoMusicReviewsLinks

GLOMEROLONEPHRITI AKUT Aug 19, '07 4:18 PM


for everyone

GLOMEROLONEPHRITI AKUT

( GNA )

Disusun Oleh :

Kelompok IX

1. Niwayan Suprapti
2. Dwi Rahayu
3. Nina perwita sari
4. Jovan Rius Dakhi
5. Trio Christanto

AKADEMI KEPERAWATAN KENDEDES

MALANG
2007/2008

1. LATAR BELAKANG

Kami mengambil judul Glomerolonephritis Akut karena untuk memenuhi


tugas Mata Kuliah Ilmu Keperawatan Anak I. selain itu kami ingin mengetahui
lebih jauh pengertian penyakit tersebut, penyebab klasifikasi, pathofisiologi,
manifestasi klinisnya, pemeriksaan yang dilakukan serta bagaimana
penatalaksanaannya.

GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri/virus


tertentu, GNA sering diakibatkan oleh infeksi kuman streptococcus, penyakit
tersebut sering di temukan pada anak usia 3 – 7 tahun. P[ada tahun 1907
Lohlein menwemukakan hubungan antara GNA dan Infeksi Streptococcus yaitu
timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina. Di isolasinya kuman streptococcus
beta Hemoliticus gol. A serta meningkatnya titer anti – streptolisin pada serum
penderitaan.

Gejala yang sering timbul dari GNA Hematuria/kencing berwarna merah


daging, oedema disekitar mata, seluruh tubuh. Sekitar 60 – 70 % anak
mengalami hepertensi pada awal penyakit timbul. Hepertensi timbul karena
vasospasme/ischemi ginjaldan berhubungan dengan gejala serebrum dan
kelainan jantung. Gejala lain yaitu panas, muntah, penurunan nafsu makan,
konstipasi diare. Dari gejala-gejala tersebut timbul komplikasi dari GNA yaitu
oliguria sampai anuria ( 2- 3 ), Ensefalopati hepertensi, gangguan sirkulasi serta
anemia karena hepervolemia/sintesis eritropoetik yang menurun 50 %
mengalami hematuria.

Dari hal-hal tersebut dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu


laju endapan darah meninggi, Hb menurun, urun mengurang, albumi (+),
eritrosit (++), leukosit (+), selinder leukosiot, eritrosit, healin, albumin serum
menurun, globulin BLG menurun, ureum dan kreatinin meningkat. Pengobatan
yang diberikan, biasanuya pemeriksaan di sarankan istirahat 3-4 minggu,
pembirian peneccillin, makanan teratur, mengobati hepertensinya,
mengeluarkan ureum jika pasien mengalami anemia, pemberian furosemid
serta digitalis, sedativum dan oksigen pada pasien yang mengalami gagal
jantung.

Dari hal-hal tersebut kami tertarik untuk mengalami dan mempelajari


penyakit yang sering terjadi pada anak laki-laki usia 3-7 tahun penykit GNA.

BAB. I

PENDAHULUAN

2. Latar Belakang

Kami mengambil judul Glomerolonephritis Akut karena untuk memenuhi


tugas Mata Kuliah Ilmu Keperawatan Anak I. selain itu kami ingin mengetahui
lebih jauh pengertian penyakit tersebut, penyebab klasifikasi, pathofisiologi,
manifestasi klinisnya, pemeriksaan yang dilakukan serta bagaimana
penatalaksanaannya.

GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri/virus


tertentu, GNA sering diakibatkan oleh infeksi kuman streptococcus, penyakit
tersebut sering di temukan pada anak usia 3 – 7 tahun. P[ada tahun 1907
Lohlein menwemukakan hubungan antara GNA dan Infeksi Streptococcus yaitu
timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina. Di isolasinya kuman streptococcus
beta Hemoliticus gol. A serta meningkatnya titer anti – streptolisin pada serum
penderitaan.

Gejala yang sering timbul dari GNA Hematuria/kencing berwarna merah


daging, oedema disekitar mata, seluruh tubuh. Sekitar 60 – 70 % anak
mengalami hepertensi pada awal penyakit timbul. Hepertensi timbul karena
vasospasme/ischemi ginjaldan berhubungan dengan gejala serebrum dan
kelainan jantung. Gejala lain yaitu panas, muntah, penurunan nafsu makan,
konstipasi diare. Dari gejala-gejala tersebut timbul komplikasi dari GNA yaitu
oliguria sampai anuria ( 2- 3 ), Ensefalopati hepertensi, gangguan sirkulasi serta
anemia karena hepervolemia/sintesis eritropoetik yang menurun 50 %
mengalami hematuria.
Dari hal-hal tersebut dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu
laju endapan darah meninggi, Hb menurun, urun mengurang, albumi (+),
eritrosit (++), leukosit (+), selinder leukosiot, eritrosit, healin, albumin serum
menurun, globulin BLG menurun, ureum dan kreatinin meningkat. Pengobatan
yang diberikan, biasanuya pemeriksaan di sarankan istirahat 3-4 minggu,
pembirian peneccillin, makanan teratur, mengobati hepertensinya,
mengeluarkan ureum jika pasien mengalami anemia, pemberian furosemid
serta digitalis, sedativum dan oksigen pada pasien yang mengalami gagal
jantung.

Dari hal-hal tersebut kami tertarik untuk mengalami dan mempelajari


penyakit yang sering terjadi pada anak laki-laki usia 3-7 tahun penykit GNA.

2. Tujuan
1. Untuk mengetahui pegertian Glomerulonephritis Akut
2. Untuk megetahui penyebab dari Glomerulonephritis Akut
3. Untuk mengetahui klasivikasi dari Glomerulonephritis Akut
4. Untuk mengetahui perjalanan penyakit / patofisiologi dasri

Glomerulonephritis Akut

5. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit


Glomerulonephritis Akut
6. Untuk mengetahui cara menangani / pengobatan dari
Glomerulonephritis

Akut

2. Manfaat
1. sebagai bahan informasi dalam mengatasi penyakit
Glomerulonephritis

Akut pada anak

2. Sebagai bahan acuan dalam pemberian pengobatan pada


pasien dengan
Glomerulonephritis Akut pada anak

3. Sebagai bahan acuan dalam mengidentifikasi,


mengklasifikasikan penyakit

Glomerulonephritis Akut pada anak

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian

 Glomerulonephritis Akut (GNA) adalah seuatu reaksi Imonologis pada ginjal


terhadap bakteri atau virus tertentu yang terjadi akibat infeksi kuman
Streptococcus.
 GNA adalah sekelompok penyakit ginjal dimana dimana informasi terjadi di
Glormerulus.

2. Prefalensi

Sebagian besar terjadi px mengalami penyembuhan sempurna jika


pemeriksaan Lab menunjukan adanya sejumlah besar problem dalam urine /
terjadi kemunduran funsi ginjal yang sangat cepat maka kemungkinan akan
terjadi gagal ginjal dan kerusakan ginjal.

Pada 1% px anak-anak dan 10% px dewasa, sindroma refritik akut


berkembang menjadi sindroma nefritik yang berkembang dengan cepat
sekitar 85-95% anak-anak kalau mendapat fungsi ginjalnya yang
normal,tetapi memiliki resiko tinggi menderita tekanan darah tinggi
dikemudian hari. Sekitar 40% dewasa mengalami penyembuhan yang tak
sempurna dan tetap memiliki kelainan fungsi ginjal.
1. Etiologi

 GNA sering ditemukan pada anak umur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak pria dibanding anak wanak wanita.
 Timbul GNA di dahului oleh infeksi ekstra-renal, terutama d traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta
hemolyticus golongan A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49.
 Hubungan antara GNA dan infeksi streptococcus ini dikemukakan oleh
Lohlein pada tahun 1907 dengan alasa bahwa :

1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina


2. diisolasinya kuman streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. meningkatkan titer anti-streptolisin pada serum penderita

 antara infeksi bakteri dan timbulnya GNA terdapat masa laten selama lebih
kurang 10 hari.
 Tipe 12 dan 25 sifatnya nefritogen dari pada tipe lain karena :

1. faktor iklim
2. keadaan gizi
3. keadaan umum
4. faktor alergi setelah infeksi dengan kumn streptococcus

 penyakit sipilis
 keracunan (timah hitam, tridion)
 penyakit amiloid
 trombositvena renalis
 purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus

4. Patofisiologi

Faringitis tonsilitis impetigo


Glomerulopati

Proteinuria

Kreatinin Koefisien ultrafiltrasi

Glomerular menerun

Normal or/APG↓

Laju filtrasi Glomerulus

(LFG) menurun

Serum BUN ↑ Fraksi Filtrasi

Kreatinin ↑ Distal deliveri ↓ menurun

LED ↑

Tekanan kapiler periutbular ↓ Reabsorpsi

Difusi plasma, volume plasma dan volume cairan extraseluler


Reabsorpsi Na+↑

Reflex

Baroreseptor :

Faktor
Vasokontriktor

Neural Humoral

Oliguria Hepertensi Oedema Kongesti paru

Ensefalopati Hepertensif

Akut

1. Manifestasi klinis.

 Hematuria
 Olguria
 Oedema ringan disekitar mata/seluruh tubuh
 Hipertensi (60-70 %) ringan sampai berat
 Oedema berat pada oliguria gagal jantung
 Muntah,
 Terjadinya menurunan nafsu makan
 Konstipasi dan diare faringitis/tonsilitis dan demam
 Sakit kepala
 Malese dan nyeri panggul
 Oedema wajah
 Nyeri tekan diseluruh udut kostovetebra (CVA)
1. Pemeriksaabn Diagnostik

1. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :

 Laju endap darah meninggi


 Kadar Hb ↓ → karena hipervolemia (retensi garam dan lendir)

1. Pada pemeriksaan urin didapatkan :

 Jumlah urin mengurang


 Berat jenis meninggi
 Hematoria mikroskopik → sel darah merah dan sedimen protein
 Albumi (+)→ proteinuria
 Eritrosit (++)
 Leukosit (+)
 Silinder leukosit
 Eritrosit dan healin
 Ureumdan kreatinin darah↑
 Albumin serum dan komplemen serum (globulin beta – 1C) sedikit ↓
 Titer anti-streptolisin umumnya miningkat kecuali kalau infeksi streptococcus yang
mendahuluinya hanya mengenai kulit saja

 Uji fungsi ginjal normal pada 50 % penderita


 Kadar BUN dan kreatinin serum ↑

1. Penatalaksanaan

 Istirahat selama ...-2 minggu


 Berikan penecilin pada fase akut
 Makanan pada fase akut berikan makanan rendah protein (1 g/BB Kg/hari) dan rendah garam
( 1g/hari)
 Obati hepertensi
 Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari) maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya peritoneum dan hemo dialisis.
 Diuretik furosemid inttravena ( 1mg/BB Kg/Hari) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus
 Bila timbul gagal jantung, berikan digitalis, sedativum dan oksigen.
 Tirah baring selama fase akut sampai urin berwarna jernih dan kadar BUN, kreatinin dan
tekanan darah kembali normal

1. Komplikasi

1. Oliguri sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi akibat berkurangnya filtrasi
glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, heperkalemia,
hiperfosfatemia dan hidremia. Walaupun oliguria/anuria yang lama jarang terdapat pada anak,
namun bila hal ini terjadi maka dialisisperitoneum kadang0kadang diperlukan.
2. ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hepertensi. Terdapat gejala
berupa gangguan penglihatan, pusing muntah dan kejang-kejang ini di sebabkan spasme
darahpembuluh darah lokal dengan anaksia da edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronki basa, pembesaran jantung
dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan
terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan miokardium.

4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia disamping sintesis eritropoetik yang
menurun.

BAB III

ASUHAN KEPERAAWATAN

1. Pengkajian
1. Aktivitas atau istirahat

Gejala → keletihan, kelemahan, malaise

Tanda → kelemahan otot, kehilangan tonus otot


2. Sirkulasi

Tanda → hipertensi, distrimia jantung, nadi lemah atau halus, hipertensi ortostatik
(hipovolemia), 0edema jaringan umum, pucat, kecenderungan perdarahan

3. Eliminasi

Geajala → peruvbahan pola berkemih

Disuria, ragu-ragu, dororngan dan retensi (inflamasi/obastruksi, infeksi)

Obdomen kembung, diare/konstipasi

Tanda → perubahan warna urine ex : kuning pekat, merah, coklat, berawan

Oliguria (12 - 21 hari) , poliuria (25 L/ hari)

4. Makanan/cairan

Gejala → peningkatan BB ( oedema),

Muaql, muntah, anoreksia

Penggunaan diuretic

Tanda → perubahan turgo kulit/kelembaban, oedeam (umum, bagian bawah)./

5. Neurosensori

Gejala → sakit kepala, penglihatan kabur

Tanda → penurunan tingkat kesadaran., kejang, faskikulasi otot aktivitas kejang

6. Nyeri / kenyamanan

Gejala → nyeri tubuh, sakit kepela

Tanda→ perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah


7. Pernapasan

Gejala → nafas pendek

Tanda → takipnea, dfispnea, batu produktif dengan sputum kental merah mudah (Oedema
paru)

8. Keamanan

Gejala → adanya reaksi tranfusi

Tanda → demam (sepsi, dehidrasi)

Petekie, area kulit ekimosis

Pruritis, kulit kering

1. Penyuluhan / pembelajaran

 Riwayat penyakit poliriskik keluarga


 Riwayat terpanjang toksin contoh : obat racun, lingkungan
 Obat nefrotik penggunaaan berulang
 Tes diagnostik dengan media kontras radiografi
 Kondisi yang terjadi bersama : gagal jantung

1. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan voleme cairan b/d penurunan haluaran urin, diet kelebihan dan
retensi cairan natrium
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual,muntah,anoreksia,
pembatasan diet dan perubahan mambran mukosa mulut
3. Kurang pengetahuan tentang kondisidan penanganan
4. Intoleransi aktivitas b/d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialisis
5. Ganggua harga diri b/d ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra
tubuh dan fungsi seksual.
2. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tujuan
 Memperatahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
 Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
 Meningkatkan pengetahuan mengenal kondisi dan penanganan yang bersangkutan
 Berparsitipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi

 Memperbaiki konsep diri

1. Kriteria Hasil

 DX I :
o Menunjukan perubahan - perubahan berat badan yang lambat
o Mempertahankan pembatasan diet dan cairan
o Menunjutkan turgo kulit normal tanpa oedema
o Menunjukan tanda – tanda vital normal
o Menunjukan tidak adanya distensi vena leher
o Meloporkan adanya kemudahan dalam bernafas/tidak terjadi nafas pendek
o Melakukan hyegiene oral dengan sering
o Melakukan penurun rasa haus
o Meloporkan berkurangnya kekeringan pada mambra mukosa mulut
 DX II :
o Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis yang tinggi
o Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam batasan diet
o Mengkonsumsi makanan tinggi kalori dalam batasan diet
o Mematuhi medikasi sesuai dengan jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak
menimbulkan rasa kenyang
o Menjelaskan dengan kata – kata sendiri rasinal pembatasan diet dan hubungan
dengan kadar kreatinin dan urea
o Mengkosulkan daftar makanan yang dapat direrima
o Melaporkan peningkatan nafsu makan
o Menunjukan tidak adanya perlambatan / penurunan berat badan yang tempat
o Menunjykan turgor kulit yang normal/tanpa oedema, kadar albumin, plasma dapat
diterima
 DX III :
o Menytakan hubungan antara penyebab glomerulonephritis akut dan konsekuensinya
o Menjelaskan pembatasan cairan dan diet sehubungan dengan kegagalan regulasi
ginjal.

o Mempertahankan hubungan GNA dengan kebutuhan penanganan menggunakan


kata – kata sendiri
o Menanyakan tentang pilihan terapi yang merupakan petunjuk persiapan belajar
o Menyatakan rencana untuk melanjutkan kehidupan normalnya sedapat mungkin
o Menggukan informasi dan instruksi terrtulis untuk mengklasifikasikan pertanyaan dan
mencari informasi tambahan
 DX IV :
o Berpartisipasi dalam meningkatkan tingkat aktivitas dan latihan
o Melaporkan rasa sejahtera
o Melakukan istirahat dan aktivitas secara bergantian
o Berpertisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih .
 DX V :
o Mengidentifikasi pola koping terdahulu yang ejektif dan pdasaat ini tidak mungki lagi
digunakan akibat penyakit dan penanganan (pemakaian alkohol dan obat – obatan,
penggunaan tenaga yang berlebihan)
o Pasien dan keluarga mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan dan reaksi
terhadap penyakit dan perubahan hidup yuang diperlukan
o Mencari konseling profesional, jika perlu, untuk menghadapi perubahan akibat GNA
o Melaporkan kepuasan dengan metode ekspresi seksual

4. Rencana Intervensi dan Rasional

NO Intervensi Rasional

1 DX I :

.a. Kaji status cairan : 1. pengkajian merupakan


dasar dan data dasar
 Timbang berat badan tiap hari berkelanjutan untuk
 Keseimbangan massukan dan haluara memantau perubahan
 Turgorr kulit dan adanya oedema dan mengevaluasi
 Distensi vena leher intervensi
 Tekanan darah denyut dan irama nadi 2. pembatasan cairan
akan menentukan
b. Batasi masukan cairan berat tubuh ideal,
haluaran urin dan
3. Identifikasi sumber potensial cairan : respon terhadap terapi
 Medikasi dan cairan yang 3. sumber kelebihan
digunakan untuk pengobatan : cairan yang tidak di
oral dan intravena ketahui dapat
 Makanan didentifikasi
4. Jelaskan pada pasien dan keluarga 4. pemahaman
rasional pembatasan meningkatkan kerja
5. Bantu pasien dalam menghadapi sama pasien dan
ketidaknyamanan akibat pembatasan keluarga dalam
cairan pembatasan cairan
6. Tingkatkan dan dorong hygiene oral dan 5. kenyamanan pasien
sering meningkatkan
kepatuhan terhadap
pembatasan diet
6. hygiene oral
mengurangi
kekeringan mambran
mukosa mulut

2 DX II :

1. Kaji status nutrisi : 1. Menyediakan data


o Perubahan berat badan dasar untuk memantau
o Pengukuran antrometrik perubahan dan
o Nilai laboratorium (elektron serum, mengevaluasi
BUN., kreatinin, protein, transferin, dan intervensi
kadar besi) 2. Pola diet dahulu dan
2. Kaji p[ola diet nutrisi pasien : sekarang dapat di
pertimbangkan dalam
 Riwayat diet menyusun menu
 Makanan kesukaan 3. Menyediakan informasi
 Hitung kalori mengenai faktor lain
yang dapat di
3. Kaji foktor yang berperan dalam merubah ubah/dihilangkan untuk
mesukan nitrisi : meningkatkan
masukkan diet
 Anoreksia, mual/muntah, 4. Mendorong
 Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien peningkatan masukkan
 Depresi diet
 Kurang memahami pembatasan diet 5. Protein lengkap
 Stomatitis diberikan untuk
mencapai
4. Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam keseimbangan nitrogen
batas – batas diet yang diperlukan untuk
5. Tingkatkan masukan protein yang mengandung pertumbuhan dan
nilai biologis tinggi seperti : telur, pruduk susu, penyembuhan
daging, 6. Untuk memantau
6. Timbang berat badan tiap hari. status cairan dan
nutrisi.

3 DX III :

1. Kaji pemahaman mengenal penyebab GNA, 1. Merupakan instruksi


konsekuensinya dan penanganannya dasar untuk penjelasan
2. Jelskan fungsi renal dan konsekuensi GNA dan penyuluhan lebih
sesuai dengan tingkat pemehaman dan kesiapan lanjut
pasien untuk belajar 2. Pasien dapat belajar
3. Bantu pasien untuk mengidentifikasi cara – cara tentang GNA dan
untuk memahami berbagai perubahan akibat penanganan setelah
penyakit dan penanganan yang mempengaruhi mereka siap untuk
hidupnya. memahami dan
4. Sediakan informasi tertulis maup[un secara oral menerima diagnosis
dengan tepat tentang : dan konsekuensinya.
o Fungsi dan kegagalan renal 3. Pasien dapat melihat
o Pembatasan cairan dan diet bahwa kehidupannya
o Medikasi tidak harus berubah
o Melaporkan masalah tanda dan gejala akibat penyakit
o Jadwal tindak lanjut 4. Pasien memiliki
o Sumber di komunitas informasi yang dapat di
o Pilihan terapi gunakan untuk
klasifikasi selanjutnya
DX IV : dirumah

1. Kaji faktor yang menimbulkan keletihan :


o Anemia
o Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
o Retensi produk sampah
o Depresi
2. tingkatkan kemandirian dalam aktivitas
perawatan diri yang dapat di toleransi, bantu jika
keletihan terjadi
3. anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
4. anjurkan untuk istirahat setelah dialisis

1. Menyediakan informasi
tentang indikasi tingkat
keletihan
2. Meningkatkan aktivitas
4 ringan/sedang dan
memperbaiki harga diri
3. Mendorong latihan dan
akrtivitas dalam batas
– batas yang dapat
ditoleransi dan
istirahatkan yang
adekuat
4. Istirahat yang adekuat
di anjurkan setelah
dialisis, yang bagi
banyak pasien sangat
melelahkan

5 DX V :

1. Kaji respon dan reaksi pasien dan keluarga 1. Menyediakan data


terhadap penyakit dan penanganan. tentang masalah pada
2. Kaji hubungan antara pasien dengan anggota pasien dan keluarga
keluarga terdekat dalam
3. Kaji pola koping pasien dan anggota keluarga menghadapiperubahan
4. Ciptakan diskusi terbuka tentang perubahan yang dalam hidup
terjadi akibat penyakit dan penanganan : 2. Penguatan dan
o Perubahan peran dukungan terhadap
o Perubahan gaya hidup pasien didetifikasi
o Perubahan dalam pekerjaan 3. Pola koping yang telah
o Perubahan seksual efektif dimasa lalu
o Ketrgantungan pada tim tenaga mungkin potensial
kesehatan destruksi ketika
5. Gali cara alternatif untuk ekspresi seksual lain memandang
selain hubungan seksual pembatasan yang
6. Diskusi peran memberi dan menerima cinta, ditetapkan akibat
kehangatan, dan kemesraan. penyakit dan
penanganan
4. Pasien dapat
mengidentifikasi
masalah dang langkah
– langkahyang
diperlukan untuk
menghadapinya,
5. Benuk alternatif
ekspresi seksual dapat
diterima,
6. Seksualitas
mempunyai arti yang
berbeda bagi tiap
individu, tergantung
pada tahap
maturitasnya.s

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan
 GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu (infeksi
kuman streptococcus).
 GNA sering ditemukan pada anak usia 3-7 thn dan pada anak pria lebih banyak.
 Penyakit sifilis,keracunan,penyakit amiloid,trombosis vena renalis,purpura anafilaktoid, dan
lupus eritematosus.
 Laju endap darah meninggi, HB menurun pada pemeriksaan laboratorium.
 Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis meninggi,hematuria
makroskopik, albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+),silinder leukosit,ureum dan kreatinin darah
meningkat
 Pada penyakit ini, klien harus istirahat selama 1-2 minggu, diberikan penicilli, pemberian
makanan rendah protein dan bila anuria, maka ureum harus dikeluarkan.
 Komplikasi yang ditimbulkan adalah oliguria,ensefalopati hipertensi,gangguan sirkulasi serta
anemia.

2. Saran

Seorang perawat haruslah mampu mengetahui pengertian dan penyebab dari penyakit
Glomerulonephritis Akut, serta mampu meningkatkan pelayanan kesehatan terama pada
penyakit GNA. Selain itu juga, perawat haruslah memahami dan menjelaskan secara rinci
mengenai tujuan medis, tata cara yang akan di lakukan dan resiko yamg akan mungkin terjadi.

Daftar pustaka

Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EEC

Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC

Carpenito, Lynda Juall, 2000. Diagnosa Keperawatan. Ed.8. Jakarta : EEC

Doengoes, Marilynn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed.3. Jakarta : EEC

Hasson, Rusepno.dkk, 2005. IKA II. Jakarta : FKUS


Mansjoer, Arif.dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

FKUI

Tjokronegoro, Arjatmo, 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Ed.3. Jilid 2. Jakarta : FKUI

Bottom of Form

© 2009 Multiply, Inc. About · Blog · Terms · Privacy · Corporate · Advertise · Contact · Help

Você também pode gostar