Você está na página 1de 35

1

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN FREKUENSI OLAHRAGA DENGAN DISMENORE PADA


MAHASISWI SEMESTER VI PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UNS

INDRA HAKIM FADIL G0013119


LAURITA LARAS P. G0013133
MAIA THALIA G. G0013147
RIVAN FAETHEDA G0013203
SABRINA DAMARA L. G0013208
VICTORIA HUSADANI P. G0013229

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

2016
2

PERSETUJUAN

Proposal Penelitian dengan judul: Hubungan Frekuensi Olahraga dengan


Dismenore pada Mahasiswi Semester VI Program Studi Kedokteran UNS

Indra Hakim Fadil G0013119


Laurita Laras P. G0013133
Maia Thalia G. G0013147
Rivan Faetheda G0013203
Sabrina Damara L. G0013208
Victoria Husadani P. G0013229

Tahun: 2016

Telah disetujui untuk diuji di hadapan Tim Validasi Proposal Penelitian


Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari ........... , Tanggal ............. 20....

Pembimbing Utama Penguji Utama

Arsita Eka Prasetyawati, dr., M. Kes Sigit Setyawan, dr., M.Sc


NIP. 198306212009122003 NIP.198307292008011004
3

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta,...........................

Indra Hakim Fadil G0013119


Laurita Laras P. G0013133
Maia Thalia G. G0013147
Rivan Faetheda G0013203
Sabrina Damara L. G0013208
Victoria Husadani P. G0013229
4

PROPOSAL PENELITIAN

I. Nama Peneliti :

Indra Hakim Fadil G0013119


Laurita Laras P. G0013133
Maia Thalia G. G0013147
Rivan Faetheda G0013203
Sabrina Damara L. G0013208
Victoria Husadani P. G0013229

II. Judul Penelitian : Hubungan Frekuensi Olahraga dengan Dismenore


pada Mahasiswi Semester VI Program Studi Kedokteran UNS

III. Bidang Ilmu : Biomedik

IV. Latar Belakang Masalah

Dismenore merupakan gangguan menstruasi dengan prevalensi


terbesar (89,5%), diikuti ketidakteraturan menstruasi (31,2%), serta
perpanjangan durasi menstruasi (5,3%) (Cakir M et al, 2007). Di
Indonesia angka kejadian dismenore tipe primer adalah sekitar 54,89%
sedangkan sisanya penderita dengan dismenore sekunder. Dismenore
terjadi pada remaja dengan prevalensi berkisar antara 43% hingga 93%,
dimana sekitar 74-80% remaja mengalami dismenore ringan
(Hestiantoro et al., 2012). Hal tersebut menandakan bahwa remaja
rentan untuk mengalami dismenore.

Dalam suatu data review Di Amerika Serikat, terjadi kerugian


ekonomi hingga mencapai 2 milliar dolar Amerika dan berkurangnya
produktifitas pekerjaan akibat hilangnya jam kerja sampai 600 juta jam
kerja hilang yang diakibat oleh dismenore (Zhu X, et al. 2009). Menurut
Singh (2008), di India ditemukan diantara wanita mahasiswa 31,67%
5

mengalami dismenore dan 8,68% diantaranya tidak dapat mengikuti


perkuliahan akibat gangguan menstruasi ini.

Banyak teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskan


penyebab-penyebab dismenorea tetapi sampai saat ini patofisiologinya
masih belum jelas dimengerti. Hal yang paling utama yang
menyebabkan dismenorea primer hubungannya dengan faktor endokrin
adalah hormon estrogen, progesteron, dan prostaglandin. Saat 1 hari
menjelang ovulasi, hormon estrogen akan turun, diikuti kenaikan
hormon progesteron (Guyton dan Hall, 2007). Dismenorea sekunder
disebabkan oleh kondisi patologik yang teridentifikasi atau kondisi
iatrogenik di uterus, tuba, ovarium, atau pada peritoneum pelvis.

Olahraga dikatakan dapat mengurangi keluhan dismenore


(Kelly, 2007). Keluhan-keluhan tersebut dapat berkurang akibat adanya
pengaruh olahraga terhadap penurunan level esterogen dan beberapa
hormon steroid, adanya peningkatan transpor oksigen di otot, adanya
penurunan kadar kortisol, dan adanya peningkatan mood (Kroll, 2010).
Oleh karena itu, olahraga teratur diperlukan untuk mengurangi keluhan
dismenore. Namun, remaja yang rentan mengalami dismenore
khususnya mahasiswi, masih kurang melakukan olahraga secara teratur.
Berdasarkan hasil penelitian Ananda (2012) diketahui bahwa 74,12%
remaja khususnya mahasiswi tidak melakukan olahraga secara teratur.

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan cepat dan terjadi


perubahan signifikan pada komposisi tubuh yang mempengaruhi
aktivitas fisik dan respon terhadap olahraga/latihan. Adanya
kecenderungan penurunan aktifitas fisik pada remaja di zaman modern
ini mungkin menjadi salah satu penyebab tingginya angka prevalensi
dismenore pada remaja (Sizers & Whitney, 2006; IDAI, 2014).

Dalam penelitian ini mahasiswi kedokteran dipilih sebagai


subjek penelitian, karena sebagian besar mahasiswi tersebut sudah
6

memasuki kategori remaja akhir yang memiliki kecenderungan cukup


tinggi untuk mengalami dismenore. Hal ini bisa disebabkan oleh stress
psikologis akibat kondisi perkuliahan yang berat sehingga
kecenderungan untuk mengalami dismenore lebih tinggi.

Dari latar belakang masalah yang ada, peneliti bermaksud untuk


meneliti mengenai hubungan frekuensi olahraga terhadap dismenore
pada mahasiswi semester VI program studi kedokteran UNS.

V. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat
dirumuskan masalah yaitu “Adakah hubungan frekuensi olahraga
dengan dismenore pada mahasiswi semester VI program studi
kedokteran UNS?”

VI. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan frekuensi
olahraga dengan dismenore pada mahasiswi semester VI program studi
kedokteran UNS.

VII. Manfaat Penelitian


1. Manfaat Teoritik
Penelitian ini memberikan informasi mengenai hubungan
frekuensi olahraga dengan dismenore pada mahasiswi kedokteran.

2. Manfaat Aplikatif
7

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memotivasi


wanita di usia produktif agar berolahraga yang teratur sehingga
dapat meringankan gejala-gejala premenstruasi.

VIII. Tinjauan Pustaka


A. Dismenore
1. Pengertian
Dismenore atau nyeri haid merupakan gejala yang paling
sering dikeluhkan oleh wanita usia reproduktif. Nyeri atau rasa
sakit yang siklik bersamaan dengan menstruasi ini sering
dirasakan seperti rasa kram pada perut dan dapat disertai dengan
rasa sakit yang menjalar ke punggung, dengan rasa mual dan
muntah, sakit kepala ataupun diare. Oleh karena itu, istilah
dismenore hanya dipakai jika nyeri haid tersebut demikian
hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan
meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari untuk
beberapa jam atau beberapa hari (Winknjosastro, 2007).
2. Epidemiologi
Dalam suatu data review Di Amerika Serikat, terjadi
kerugian ekonomi hingga mencapai 2 milliar dolar Amerika dan
berkurangnya produktifitas pekerjaan akibat hilangnya jam kerja
sampai 600 juta jam kerja hilang yang diakibat oleh dismenore
(Zhu X, et al. 2009). Menurut Singh (2008), di India ditemukan
diantara wanita mahasiswa 31,67% mengalami dismenore dan
8,68% diantaranya tidak dapat mengikuti perkuliahan akibat
gangguan menstruasi ini.
Menurut Ernawati (2010), di Semarang yang dilakukan
survey pada mahasiswa ditemukan kejadian dismenore ringan
sebanyak 18%, dismenore sedang 62% dan dismenore berat
20%. Dimana hal ini akan dapat mengganggu aktifitas dan
kegiatan belajar sehingga akan dapat mengganggu prestasi
8

belajar mahasiswa. Hal ini dibuktikan dalam suatu penelitian,


dimana 71% dari 100 wanita usia 15 – 30 tahun yang mengalami
dismenore, 5,6% diantaranya tidak dapat masuk sekolah atau
tidak dapat bekerja, serta ditemukan 59,2% mengalami
kemunduran produktifitas kerja yang diakibatkan oleh
dismenore (Novia, 2008).
3. Etiologi

a. Dismenore Primer
Banyak teori yang telah dikemukakan untuk
menjelaskan penyebab-penyebab dismenorea primer tetapi
sampai saat ini patofisiologinya masih belum jelas dimengerti.
Menurut Simanjuntak (2008), penyebab yang saat ini dipakai
untuk menjelaskan dismenorea primer, yaitu:
1) Faktor kejiwaan
Pada gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil,
apalagi jika mereka tidak mendapat penerangan yang baik
tentang proses haid, mudah timbul dismenorea.
2) Faktor konstitusi
Faktor ini maksudnya adalah faktor yang
menurunkan ketahanan tubuh terhadap rasa nyeri. Faktor-
faktor yang termasuk dalam hal ini adalah anemia,
penyakit menahun, dan sebagainya.
3) Faktor obstruksi kanalis servikalis
Teori stenosis/obstruksi kanalis servikalis adalah
teori yang paling tua untuk menjelaskan proses terjadinya
dismenorea. Pada wanita dengan uterus hiperantefleksi
mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis, akan
tetapi hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang
penting sebagai penyebab dismenorea.
4) Faktor endokrin
9

Dismenorea primer merupakan akibat dari kontraksi


uterus yang berlebihan. Faktor endokrin mempunyai
hubungan dengan soal tonus dan kontraktilitas otot usus.
Hal yang paling utama yang menyebabkan
dismenorea primer hubungannya dengan faktor endokrin
adalah hormon estrogen, progesteron, dan prostaglandin.
Saat 1 hari menjelang ovulasi, hormon estrogen akan
turun, diikuti kenaikan hormon progesteron (Guyton dan
Hall, 2007).
Kemudian akan dilanjutkan pelepasan prostaglandin
(PG) oleh endometrium, terutama PGF2-alfa, yang
menyebabkan kontraksi otot-otot polos uterus. Jika jumlah
PG yang dihasilkan berlebihan dan dilepaskan ke dalam
sirkulasi atau peredaran darah, maka selain dismenorea,
akan dijumpai pula gejala-gejala umum, seperti diare,
nausea, muntah, dan flushing (Simanjuntak, 2008).
5) Faktor alergi
Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan
adanya asosiasi antara dismenorea dengan urtikaria,
migraine, atau asma bronkhiale (Simanjuntak, 2008).
b. Dismenorea Sekunder
Dismenorea sekunder disebabkan oleh kondisi patologik
yang teridentifikasi atau kondisi iatrogenik di uterus, tuba,
ovarium, atau pada peritoneum pelvis. Nyeri ini umumnya
terasa saat proses-proses patologik tersebut mengubah
tekanan di dalam atau di sekitar pelvis, mengubah atau
membatasi aliran darah, atau menyebabkan iritasi di
peritoneum pelvis (Smith, 2003). Penyebab dari dismenorea
sekunder bisa dibagi menjadi 2 macam secara garis besar,
yaitu :
1) Penyebab Intrauterin
10

a) Adenomiosis
Merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai
dengan adanya invasi jinak endometrium ke komponen
otot uterus (miometrium), sering juga terdapat
pertumbuhan berlebihan dari komponen otot (Smith,
2003).
Didapatkan penebalan dinding uterus, dengan
dinding posterior biasanya lebih tebal. Uterus umumnya
berbentuk simetrik dengan konsistensi padat (Prabowo,
2008).
b) Mioma
Penyakit ini sering terjadi pada wanita usia 40
tahun ke atas, kira-kira sebanyak 30% (Smith, 2003).
Penyakit ini merupakan suatu tumor yang bisa terjadi di
uterus, serviks, ataupun ligamen. Hal yang membuat
dismenorea pada penyakit ini adalah oleh karena
distorsi pada uterus dan kavitas uteri (Smith, 2003).
c) Polip Endometrium
Polip adalah suatu bentuk tumor jinak yang
patogenesis utamanya dipegang oleh estrogen yang
berakibat timbulnya tumor fibromatosa baik pada
permukaan atau pada tempat lain (Joedosepoetro dan
Sutoto, 2008). Polip terbagi menjadi 3 macam, yaitu
polip endometrium, adenoma-adenofibroma, dan
mioma submukosum (Joedosepoetro dan Sutoto, 2008).
d) Intrauterine Contraceptive Devices (IUD)
Kontrasepsi intrauterin merupakan penyebab
iatrogenik dismenorea sekunder yang paling banyak
(Smith, 2003). Hal ini diakibatkan oleh adanya
keberadaan benda asing di dalam uterus sehingga saat
kontraksi uterus akan timbul rasa nyeri (Smith, 2003).
11

e) Infeksi
Terdapatnya infeksi aktif biasanya akan terdeteksi
sebagai fase akut (Smith, 2003). Infeksi akan
menyebabkan rasa nyeri pada waktu menstruasi, buang
air besar, atau saat aktivitas berat (Smith, 2003).
f) Penyaki-penyakit jinak pada vagina dan serviks
Penyakit jinak yang termasuk dalam bagian ini
adalah stenosis serviks dan lesi-lesi jinak pada vagina
dan serviks (Smith, 2003). Namun, penyakit jinak
tersebut tidak sering meyebabkan dismenorea sekunder.
2) Penyebab Ekstrauterin
a) Endometriosis
Endometriosis adalah suatu keadaan di mana
jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di
luar kavum uteri dan miometrium (Prabowo, 2008).
Jaringan ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma.
Jaringan patologis ini bisa terdapat di tuba uterina dan
rongga pelvis (Smith, 2003).
b) Tumor
Jaringan tumor yang menyebabkan dismenorea
sekunder bisa bersifat benigna atau maligna. Struktur
dari tumor tidak hanya fibroid tetapi juga struktur lain
memungkinkan untuk terjadinya dismenorea sekunder.
Jaringan tumor di ekstrauterin bisa terdapat di ovarium,
tuba uterina, dan vagina (Smith, 2003).
c) Inflamasi
Inflamasi kronik bisa menjadi penyebab terjadinya
nyeri pelvis kronik dan dismenorea sekunder (Smith,
2003). Pada penderita akan ditemukan riwayat penyakit
dahulu berupa proses penyakit kronik, misalnya
tuberkulosis (Smith, 2003).
12

d) Adesi
Adesi merupakan suatu proses yang timbul akibat
proses inflamasi lama atau intervensi bedah yang akan
berakibat pada nyeri pelvis dan dismenorea sekuder
(Smith, 2003).
e) Psikogenik
Penyebab ini sangatlah jarang ditemui untuk
dismenorea sekunder. Hal ini dikarenakan psikis lebih
berperan dalam dismenorea primer daripada
dismenorea sekunder (Smith, 2003).
f) Sindroma kongestif pelvis
Sindroma ini merupakan gabungan dari gejala
nyeri pelvis kronik dan keluhan dismenorea berulang
yang mana tidak ada temuan klinik yang berarti pada
pemeriksaan. (Smith, 2003).
4. Patofisiologi

Sampai saat ini patofisiologi terjadinya dismenorea masih


belum jelas karena banyak faktor yang menjadi penyebabnya
(Junizar, et al., 2001). Namun saat ini yang paling dipercaya
dalam meningkatkan rasa nyeri pada dismenorea primer adalah
prostaglandin dan leukotrien (Harel, 2006).
Pada dasarnya dismenorea primer memang berhubungan
dengan prostaglandin endometrial dan leukotrien. Setelah terjadi
proses ovulasi sebagai respons peningkatan produksi
progesteron (Guyton dan Hall, 2007), asam lemak akan
meningkat dalam fosfolipid membran sel. Kemudian asam
arakidonat dan asam lemak omega-7 lainnya dilepaskan dan
memulai suatu aliran mekanisme prostaglandin dan leukotrien
dalam uterus. Kemudian berakibat pada termediasinya respons
13

inflamasi, tegang saat menstruasi (menstrual cramps), dan


molimina menstruasi lainnya (Hillard, 2006).
Hasil metabolisme asam arakidonat adalah prostaglandin
(PG) F2-alfa, yang merupakan suatu siklooksigenase (COX)
yang mengakibatkan hipertonus dan vasokonstriksi pada
miometrium sehingga terjadi iskemia dan nyeri menstruasi.
Selain PGF2-alfa juga terdapat PGE-2 yang turut serta
menyebabkan dismenorea primer. Peningkatan level PGF2-alfa
dan PGE-2 jelas akan meningkatkan rasa nyeri pada dismenorea
primer juga (Hillard, 2006).
Selanjutnya, peran leukotrien dalam terjadinya dismenorea
primer adalah meningkatkan sensitivitas serabut saraf nyeri
uterus (Hillard, 2006). Peningkatan leukotrien tidak hanya pada
remaja putri tetapi juga ditemukan pada wanita dewasa. Namun
peranan prostaglandin dan leukotrien ini memang belum dapat
dijelaskan secara detail dan memang memerlukan penelitian
lebih lanjut (Harel, 2006).
Selain peranan hormon, leukotrien, dan prostaglandin,
ternyata dismenorea primer juga bisa diakibatkan oleh adanya
tekanan atau faktor kejiwaan. Stres atau tekanan jiwa bisa
meningkatkan kadar vasopresin dan katekolamin yang berakibat
pada vasokonstriksi kemudian iskemia pada sel (Hillard, 2006)
Sedangkan untuk mekanisme patologik pada dismenorea
sekunder adalah disebabkan oleh beberapa penyakit yang
berhubungan dalam hal reproduksi wanita. Dismenorea sekunder
sering terjadi akibat fibrosis uterus, endometriosis, adenomiosis,
dan penyakit tulang panggul (pelvis) lainnya (Hillard, 2006).
5. Faktor Risiko
Timbulnya dismenore telah dikaitkan dengan beberapa
faktor resiko. Umur, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral,
peningkatan stress dan faktor genetik dikatakan berhubungan
14

dengan resiko terjadinya dismenore. Adanya peningkatan usia,


angka paritas, dan penggunaan obat kontrasepsi oral,
peningkatan stress dan adanya riwayat keluarga yang mengalami
dismenore dapat meningkatkan resiko terjadinya dismenore. (Ju
H, Jones M, dan Mishara G, 2014). Selain itu usia awal menarche
(<12 tahun), kebiasaan merokok, dan obesitas diduga juga
berkaitan dengan resiko terjadinya dismenore. Adanya penyakit
seperti endometriosis, Leiomyomata (fibroids), Tubo-ovarian
abscess ,dan Torsio ovarium. (Calis K A, et al, 2015).
6. Gejala
Gejala Dismenore meliputi nyeri pada perut bagian bawah,
yang bisa menjalar ke punggung bagian bawah dan tungkai.
Nyeri dirasakan sebagai kram yang hilang-timbul atau sebagai
nyeri tumpul yang terus menerus ada. Biasanya nyeri mulai
timbul sesaat sebelum atau selama menstruasi, mencapai
puncaknya dalam waktu 24 jam dan setelah 2 hari akan
menghilang. Dismenore juga sering disertai oleh sakit kepala,
mual, sembelit atau diare dan sering berkemih. kadang sampai
terjadi muntah. (Lestari N M S D, 2013).

B. Olahraga
1. Pengertian
Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana,
terstruktur, dan berkesinambungan yang melibatkan gerakan
tubuh berulang-ulang dengan aturan-aturan tertentu yang
ditujukan untuk meningkatan kebugaran jasmani dan prestasi
(Kemenkes, 2015).
2. Jenis – jenis
15

Dalam penentuan program olahraga, beberapa hal yang


harus ditetapkan antara lain adalah intensitas latihan, durasi
(waktu) latihan, frekuensi latihan, jenis latihan serta progresi
latihan yang tepat. Jenis olahraga atau jenis latihan di bagi
menjadi 3, yaitu:
a. Latihan fleksibilitas
Untuk dapat menjalankan aktivitas fisik secara optimal
diperlukan jangkauan gerak (range of motion) sendi yang
optimal pada semua persendian. Jangkauan gerak pada
persendian bagian pinggang bawah dan tungkai atas
terutama harus diperhatikan. Pada daerah ini, jangkauan
gerak yang terbatas meningkatkan risiko terjadinya
gangguan nyeri punggung bawah kronis (Low Back
Pain/LBP). Oleh karenanya, program pencegahan dan
rehabilitasi LBP harus ditujukan untuk meningkatkan
fleksibilitas persendian. Keterbatasan kemampuan
fleksibilitas sendi biasanya terjadi pada orang tua sehingga
latihan pada orang tua harus banyak mengandung unsur
pengulran (stretching) yang terutama ditujukan pada
persendian pada tulang belakang, leher dan persendian
panggul (Blair, 1995). Latihan stretching dapat
meningkatkan dan memelihara jangkauan gerak persendian.
Latihan fleksibilitas dapat dilakukan secara perlahan dengan
peningkatan secara bertahap untuk mencapai jangkauan
sendi yang lebih lebar. Gerakan dinamis dengan kecepatan
lambat dapat diikuti dengan gerakan statis yang
dipertahankan selama 10 sampai dengan 30 detik. Tingkat
stretching ditetapkan pada tingkat dimana tidak dirasakan
nyeri yang berlebihan. Disarankan untuk melakukan
aktivitas pemanasan yang memadai sebelum dilakukan
stretching yang intensif (Blair, 1995).
16

b. Latihan kekuatan dan ketahanan otot


Latihan kekuatan dan ketahanan otot tidak banyak
mempengaruhi ketahanan kardiorespirasi dan kapasitas
fungsional tubuh. Walaupun demikian banyak aktivitas
memerlukan kekuatan dan ketahanan otot, seperti :
mengangkat, memanggul atau mendorong benda yang berat.
Stress fisiologis yang ditimbulkan akibat melakukan
gerakan-gerakan tersebut sebanding dengan kebutuhan
kontraksi otot yang diperlukan. Pemeliharaan kekuatan otot
penting untuk dilakukan karena dengan bertambahnya usia
secara alami terjadi penurunan massa otot (Andersen, 1999).
Kekuatan otot didapatkan dari latihan dinamis
dengan intensitas tinggi dengan repetisi rendah atau dengan
kontraksi statis. Baik latihan angkatan dinamis maupun
kontraksi statis dapat meningkatkan tekanan darah arteri.
Oleh karenanya, latihan beban maksimal tidak
diperkenankan untuk dilakukan pada penderita tekanan
darah tinggi. Pada keadaan ini lebih aman untuk dilakukan
latihan dinamis dengan beban ringan, untuk meningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot. Latihan kekuatan sebaiknya
dilakukan 2 sampai 3 kali seminggu. Latihan isotonis dapat
mempergunakan beban bebas (free-weight) atau beban
mesin (supported weiht machine) (Andersen, 1999).
c. Latihan ketahanan kardiorespirasi
Salah satu tujuan utama dari latihan fisik adalah untuk
meningkatkan atau mempertahankan kapasitas fungsional
(Feigenbaum et al., 1999). Manfaat ini terutama dapat
dicapai dengan program latihan aerobic. Latihan ketahanan
dapat diklasifikasikan berdasar (1) pemakaian oksigen
(aktivitas fisik hemat atau boros oksigen) dan (2) potensinya
untuk mempertahankan kecepatan penggunaan kalori.
17

Menurut Jette (1999) latihan dibagi berdasarkan potensinya


dalam mempertahankan kecepatan penggunaan kalori
latihan menjadi sebagai berikut:
1) Kelompok I : Latihan dimana penggunaan kalori lebih
stabil dengan variabilitas intra dan inter individual
rendah dengan contoh: berjalan, jogging, dan
bersepeda.
2) Kelompok II : Latihan dimana jumlah penggunaan
kalori tergantung pada keterampilan seseorang dalam
menjalankan aktivitas tersebut. Penggunaan kalori pada
aktivitas kelompok II relatif stabil pada individu yang
sama (variabilitas intra-individualnya rendah). Contoh
dari latihan kelompok I adalah : berenang dan ski.
3) Kelompok III : Latihan yang variabilitas intra dan inter
individunya tinggi. Contoh latihan kelompok III adalah
basket, tenis dan berbagai olahraga permainan lain.
Mengingat diperlukan kontrol atas intensitas latihan,
jenis latihan pada kelompok I dan II dianjurkan dalam
program latihan. Lebih lanjut latihan dapat dilakukan
secara terus menerus atau dengan interval disesuaikan
dengan kapasitas fisik individu yang bersangkutan.
Aktivitas pada kelompok III dapat dilakukan apabila
seseorang menunjukkan respon yang stabil terhadap
latihan dan orang tersebut mampu menjalankan latihan
fisik dengan intensitas yang sama atau lebih besar dari
5 METs (Metabolic Equivalents) (Feigenbaum et al.,
1999).
3. Manfaat
a. Sistem kardiovaskuler
1) Meningkatkan ukuran jantung. Volume jantung atlet lebih
besar dari pada orang yang bukan atlet Dengan bertambah
18

tebalnya dinding ventrikel dan kekuatan otot-otot jantung,


hal ini juga berarti bahwa volume darah yang mengisi
ventrikel selama diastole akan menjadi lebih banyak.
Pengaruh ini menyebabkan kemampuan isi sekuncup
(stroke volume) menjadi lebih besar pula.
2) Menurunnya denyut nadi. Menurunnya denyut nadi yang
dihasilkan dari aktivitas olahraga secara teratur. Jantung
disuplai oleh dua komponen sistem saraf otonom, yaitu saraf
simpatetik kalau dirangsang akan meningkatkan denyut
nadi, dan saraf parasimpatik (saraf vagus) kalau dirangsang
akan menurunkan denyut nadi. Dengan dua sistem
persarafan ini, maka denyut nadi dapat menurun karena a).
Meningkatnya pengaruh saraf parasimpatik, b).
Menurunnya pengaruh saraf simpatik, c). Kombinasi dari
keduanya.
3) Meningkatkannya isi sekuncup (stroke volume).
Peningkatan ini terutama disebabkan karena adanya
peningkatan kapasitas ventrikel sehingga menyebabkan
lebih banyak darah mengisi ventrikel selama diastol, yang
menghasilkan isi sekuncup lebih besar. Faktor lain yang ikut
membantu meningkatnya isi sekuncup adalah meningkatnya
kontraktilitas miokardia (kemampuan otot jantung untuk
berkontraksi). Meningkatnya kemampuan otot jantung
berkontraksi berhubungan dengan aktivitas ATPase di
dalam otot jantung atau meningkatnya kalsium ekstraseluler
yang tersedia sehingga menyebabkan meningkatnya
interaksi dengan elemen-elemen kontraktil.
4) Meningkatnya volume darah dan hemoglobin. Volume
darah dan level hemoglobin sangat penting untuk sistem
transport oksigen, ini dibuktikan bahwa volume darah dan
level hemoglobin sangat berhubungan dengan VO2 max.
19

5) Perubahan kepadatan kapiler dan hipertrofi otot. Hipertrofi


otot yang dihasilkan oleh aktivitas olahraga yang teratur
umumnya diikuti oleh meningkatnya kepadatan kapiler.
Kepadatan kapiler adalah jumlah kapiler yang mengelilingi
serabut otot berhubungan dengan dua faktor (1). Ukuran
atau diameter serabut otot, (2). Tipe serabut otot atau jumlah
mitokondria per serabut otot.
b. Sistem respirasi
1) Peningkatan ventilasi semenit maksimal
Peningkatan ventilasi dipengaruhi adanya
peningkatan volume tidal dan frekuensi bernafas sehingga
hal ini akan berakibat terhadap peningkatan VO2 max.
2) Peningkatan efisiensi ventilatori.
Efisiensi ventilatori yang lebih tinggi sebagai alat
yang menyebabkan sejumlah udara bebas bergerak pada
level konsumsi yang sama, adalah lebih rendah pada orang
yang tidak terlatih dibandingkan orang secara rutin
berolahraga.
3) Peningkatan berbagai macam volume dalam paru-paru.
Penyebab utama terjadinya perubahan ini adalah
olahraga yang teratur akan mengakibatkan peningkatan
fungsi pulmoner dan oleh karena itu volume paru-paru
menjadi lebih besar.
4) Peningkatan kapasitas difusi.
Orang yang terlatih cenderung memiliki kapasitas
difusi yang lebih besar dibandingkan orang yang tidak aktif
berolahraga, ini disebabkan karena volume paru-paru atlet
menjadi lebih besar sehingga bidang permukaan kapiler
alveolar menjadi lebih besar dengan demikian proses difusi
dapat dilakukan lebih banyak.
C. Remaja
20

1. Pengertian
Masa remaja merupakan masa pertumbuhan cepat dan
terjadi perubahan signifikan pada komposisi tubuh yang
mempengaruhi aktivitas fisik dan respon terhadap
olahraga/latihan. Namun, pada kenyataannya manusia sering
mengabaikan keadaan fisik mereka (Sizers & Whitney, 2006)
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence,
berasal dari bahasa Latin adolescare yang artinya “tumbuh atau
tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan
orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja
tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan.
Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu
mengadakan reproduksi (Ali & Asrori, 2006).
Menurut Rice (dalam Gunarsa, 2004), masa remaja adalah
masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak
menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada masa
tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja melakukan
pengendalian diri.
Dua hal tersebut adalah hal yang bersifat eksternal, yaitu
adanya perubahan lingkungan dan hal yang bersifat internal,
yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja
relatif.
2. Rentang umur
Remaja adalah anak usia 10-24 tahun yang merupakan usia
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dan sebagai titik
awal proses reproduksi, sehingga perlu dipersiapkan sejak dini
(Romauli, 2009). Masa remaja adalah masa transisi yang
ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Batasan
usia remaja menurut WHO adalah usia 12 sampai 24 tahun.
Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum
kawin. Usia remaja dibagi atas 3 tahapan yakni : remaja awal (10
21

– 14 tahun), remaja tengah (15 – 16 tahun), dan remaja akhir (


17 – 19 tahun) (BKKBN, 2010).
3. Perubahan fisiologis
Menurut Sarwono (2011), urutan perubahan-perubahan fisik
sebagai berikut :
a. Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-
anggota badan menjadi panjang). Pinggul menjadi
berkembang, membesar, dan membulat. Hal ini sebagai
akibat membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya
lemak di bawah kulit.
b. Pertumbuhan payudara, seiring pinggul membesar, maka
payudara juga membesar dan puting susu menonjol. Hal ini
terjadi secara harmonis sesuai dengan berkembang dan
makin besarnya kelenjar susu sehingga payudara menjadi
lebih besar dan lebih bulat.
c. Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di
kemaluan. Rambut kemaluan yang tumbuh ini terjadi setelah
pinggul dan payudara mulai berkembang.
d. Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal
setiap tahunnya.
e. Bulu kemaluan menjadi keriting.
f. Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklis dari
uterus, disertai deskuamasi endometrium (Wiknjosastro,
2006).
g. Tumbuh bulu-bulu ketiak.

Pada remaja, juga terjadi perubahan dalam kondisi


psikisnya yang ditandai dengan tertarik pada lawan jenis, cemas,
mudah sedih, lebih perasa, menarik diri, pemalu dan pemarah.
Sensitif atau peka misalnya mudah menangis, cemas, frustasi dan
sebaliknya bisa tertawa tanpa alasan yang jelas. Utamanya sering
22

terjadi pada remaja putri, lebih-lebih sebelum menstruasi


(Romauli, 2009).

D. Hubungan Olahraga dengan Dismenore


Olahraga yang teratur dan berkelanjutan berkontribusi untuk
meningkatkan produksi dan pelepasan endorfin. Endorfin
memerankan peran dalam pengaturan esterogen. Wanita yang
mengalami dismenore terjadi karena kelebihan hormon esterogen.
Kelebihan esterogen dapat dicegah dengan meningkatkan endorfin.
Hal ini dapat membuktikan olahraga secara teratur dapat mencegah
atau mengurangi dismenore, pada wanita yang tidak rutin
melakukan olahraga hormon esterogen akan lebih tinggi sehingga
kemungkinan akan terjadi dismenore lebih besar (Nurlela et al,
2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurlaela et al.
(2008), yang melakukan studi deskriptif terhadap wanita yang
melakukan olahraga senam aerobik dengan kejadian dismenore
menunjukan dari sampel 119 wanita didapatkan 68 wanita (57,1%)
yang rutin melakukan senam aerobik setiap minggu mengalami
dismenore lebih sedikit dari pada yang tidak rutin melakukan senam
aerobik.
23

IX. Kerangka Pemikiran

X. Hipotesis
Terdapat hubungan frekuensi olahraga dengan dismenore pada
mahasiswi semester VI Program Studi Kedokteran UNS
24

XI. Metode Penelitian


A. Jenis Penelitian
Penelitiaan ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional
adalah suatu rancangan penelitian yang mempelajari hubungan
antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek).
Penelitian ini paling sering digunakan karena secara metodologi
paling mudah dilakukan dan diobservasi hanya sekali pada saat
yang sama (Taufiqurrahman, 2008).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret Surakarta pada Mei 2016.
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswi Prodi
Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Subjek penelitian diharapkan memenuhi beberapa
kriteria, berupa :
1. Kriteria Inklusi :
a. Mahasisiwi semester VI Prodi Kedokteran, Fakultas
Kedokteran
b. Mahasiswi yang mengalami dismenore
c. Telah mengalami menstruasi minimal 1 tahun
d. Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol
2. Kriteria Eksklusi :
a. Mahasiswi yang menolak untuk dijadikan subjek penelitian
b. Mahasiswi yang tidak hadir saat penelitian dilakukan
c. Skor L-MMPI > 10 untuk jawaban tidak
d. Mahasisiwi semester VI Prodi Kedokteran, Fakultas
Kedokteran yang mengaku memiliki kelainan ginekologi
atau dismenore sekunder.
25

D. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
dengan menggunakan purposive sampling, yaitu teknik penentuan
sampel dengan pemilihan subjek berdasar atas ciri atau sifat
tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi. Pemilihan
sampel berdasarkan kelompok yang sesuai dengan kriteria inklusi,
kemudian subjek dipilih secara acak, sehingga setiap subjek dalam
populasi yang telah dikelompokkan memiliki kemungkinan yang
sama untuk dipilih (Taufiqurrahman, 2008).
E. Besar Sampel
Penghitungan besarnya sampel untuk penelitian cross
sectional bila diketahui jumlah populasi menggunakan rumus
(Murti, 2010):

Keterangan:

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi, yaitu 168

Zα : statistik Z (jika α = 0,05, maka Zα = 1,96)

p : perkiraan proporsi/prevalensi variabel terikat pada


populasi dalam hal ini adalah prevalensi dismenore di
Surakarta (p = 0,877) (Handayani, 2012).

q : (l – p) – 1-0,877 – 0,123

d : delta; presisi absolut atau margin of error yang diinginkan


kedua proporsi (0,05)

Penghitungan:

n= 168.(1,96)2 . 0,877 . 0.123


= 83,66 ~ 84
26

(0,05)2 . (168-1) + (1,96)2 . 0,877 . 0.123

Menurut penghitungan, jumlah total subjek penelitian


minimal adalah 84 orang.

F. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian

1. Variabel bebas : Frekuensi olahraga


2. Variabel terikat : Dismenore (derajat)
3. Variabel luar
a. Variabel terkontrol : Merokok, alkohol
b. Varibel tidak terkontrol : Genetik, stres, psikososial
G. Definisi Operasional Variabel
1) Variabel bebas : Frekuensi olahraga

Olahraga adalah gerak badan untuk menguatkan dan


menyehatkan tubuh. Membiasakan olahraga ringan dan aktivitas
fisik secara teratur seperti jalan sehat, berlari, bersepeda, ataupun
berenang pada saat sebelum dan selama haid, dapat membuat aliran
darah menjadi lebih lancar. Selain itu, olahraga juga dapat
mempengaruhi faktor-faktor biologis lain, sehingga rasa nyeri dan
beberapa gejala yang timbul pada waktu premenstruasi dapat
teratasi dan berkurang. Frekeunsi olahraga dapat diukur melalui
pengisian kuesioner. Skala pengukuran variabel dengan
menggunakan skala nominal.

2) Variabel terikat : Dismenore

Dismenore merupakan keluhan yang paling muncul dalam


sindrom premenstruasi yang ditandai dengan nyeri perut bagian
bawah, menjalar ke pinggang dan paha, tanpa disertai kelainan
ginekologis. Derajat dismenore menggunakan alat ukur berupa
kuesioner yang akan diisi oleh responden. Skala dalam pengukuran
27

derajat dismenore menggunakan skala ordinal. Derajat dismenore


yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut:

a. Dismenore ringan : Nyeri dirasa ringan, aktivitas sedikit


terganggu, jarang membutuhkan obat namun jika obat
dikonsumsi maka dapat efektif untuk mengurangi nyeri.
b. Dismenore sedang : Nyeri dirasa sedang, aktivitas terganggu,
membutuhkan obat dan obat tersebut sering efektif dalam
mengurangi nyeri jika dikonsumsi.
c. Dismenore berat : Nyeri dirasa hebat, mengganggu
sebagian besar aktivitas, membutuhkan obat namun obat
tersebut jarang efektif dalam mengurangi nyeri.
H. Instrumen Penelitian
1. Alat Informed consent responden
2. Formulir biodata responden
3. Kuesioner kebiasaan olahraga
4. Kuesioner derajat dismenore
5. Lie Scale Minnesota Mulotiphasic Personality Inventory (L-MMPI)
Tes ini pertama-tama dikembangkan oleh Strake Hathway dan
Mc Kinley pada tahun 1930-an dan dikembangkan di Amerika Serikat
pada tahun 1940. Instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran
responden dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner
penelitian. Skala L-MMPI berisi 15 butir pertanyaan untuk dijawab
responden dengan “ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI sesuai
dengan perasaan dan keadaan responden, dan “tidak” bila tidak sesuai
dengan perasaan dan keadaaan responden. Responden dapat
mempertanggungjawabkan kejujuran bila jawaban “tidak” berjumlah
10 atau kurang (Semiun, 2010).

I. Cara Kerja
1. Persiapan
28

a. Penyusunan proposal
b. Validasi proposal
c. Kuisioner
2. Proses pengumpulan data
a. Peneliti menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian
yang akan dilakukan. Kemudian mempersilakan calon
responden menandatangani informed consent apabila bersedia
menjadi responden dan mengisi biodata diri.
b. Responden mengisi kuesioner L-MMPI untuk mendeteksi
kebohonganresponden. Bila didapatkan angka >10 untuk
jawaban “tidak” makaresponden invalid dan dikeluarkan dari
sampel penelitian.
c. Peneliti melakukan restriksi terhadap responden dengan
menerapkankriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapatkan
jumlah total akhirsampel yang memenuhi kriteria tersebut.
d. Responden mengisi kuesioner untuk mengetahui derajat
dismenore.
3. Melakukan analisis dari data yang diperoleh.
4. Pengolahan data
5. Entry data
6. Cleaning data
7. Tabulasi data
8. Analisis data
9. Pelaporan hasil penelitian

J. Rancangan Penelitian

Populasi

Purposive sampling

Sampel: Mahasiswi yang memenuhi kriteria inklusif dan eksklusi


29

Hasil dan Kesimpulan

K. Teknik Analisa Data


Dalam penelitian ini menggunakan uji statistik Chi Square
bila memenuhi persyaratan. Bila tidak memenuhi syarat uji Chi
Square maka akan dilakukan penggabungan sel untuk kembali
diuji dengan uji Chi Square . Selanjutnya untuk mengetahui
keeratan hubungan antara dua variabel digunakan metode statistik
uji Somers’d. Data yang diperoleh kemudian diuji dengan
menggunakan alat bantu software SPSS 20 for Windows.

XII. Jadwal Penelitian


30

2016
No Kegiatan Penelitian
Maret April Mei Juni Juli

1 Pengajuan judul

2 Pembuatan proposal

3 Seminar proposal

4 Perijinan penelitian

5 Pengumpulan data

6 Analisis data

7 Penyusunan hasil
penelitian
8 Ujian hasil penelitian
31

XIII. Daftar Pustaka


Ali, Muhammad. Asrori, Muhammad. (2006). Psikologi Remaja:
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta. Bumi Aksara

Anamika S, Devender T, Pragya S, Renuka S (2008). Problems related to


menstruation and their effect on daily routine of students of a medical
college in Delhi, India. Asia Pac J Pub Health. 20(3):234-41

Ananda, MR (2012). Hubungan antara stres psikologis dan olahraga terhadap


terjadinya dismenore primer pada mahasiswi fakultas kedokteran
universitas sebelas maret. UNS-F. Kedokteran Jur. Kedokteran-
G.0010129-2013. Surakarta: FK UNS

Andersen, R. E. (1999). "Exercise, an Active Lifestyle, and Obesity. Making the


Exercise Prescription Work." Physician and Sportsmedicine.

Bieniasz J, Zak T, Laskowska-Zietek A, Noczyska A (2006). Causes of


menstrual disorder in adolescent girls – a retrospective study.
Endokrynol Diabetol Chor Przemiany Materii Wieku Rozw. 12(3):205-
10.

Blair, S. N. (1995). "Exercise Prescription for Health." Quest

Cakir M, Mungan I, Karakas T, Girisken I, Okten A (2007). Menstrual pattern


and common menstrual disorders among university students in Turkey.
Pediatrics International. 49(6):938-42.
Calis K A, et al. 2015. Dysmenorrhea., E-medicine Obstetrics and Gynecology
. Diakses pada http://emedicine.medscape.com/article/253812-
overview#a5 –17 April 2015

Dita, Andira. (2010). Seluk Beluk Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogyakarta :


A Plus Books.
32

Dehghani MF, Emami M, Ghamkhar L (2008). The effects of 3 months of


regular aerobic exercise on premenstrual syndrome symptoms. J MedSci
Rafsanjan.7:89–98.

Ernawati. (2010). Terapi Relaksasi terhadap Nyeri Dismenore pada Mahasiswi


Universitas Muhammadiyah Semarang. Seminar nasional Unimus.106.

Feigenbaum, M. S.danM. L. Pollock (1999). "Prescription of resistance


training for health and disease." Medicine & Science in Sports &
Exercise

Gunarsa, S. D. (2004). Bunga rampai psikologi perkembangan dari anak


sampai usia lanjut. Jakarta : BPK

Guyton A.C. and Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Irawati,
et.al., trans., L.Y. Rachman, et.al., eds.). 11ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC (Original book published 2006), pp: 1072-3.

Harel Z. 2006. Dysmenorrhea in Adolescents and Young Adults: Etiology and


Management. Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology. 19 (6):
363- 71.

Henshaw, A. Carol (2007). PMS:diagnosis, aetiology, assessment and


management. Advances in Psychiatric Treatment, Vol.13, 139-146

Hestiantoro, A., Natadisastra, M., Sumapraja, K., Wiweko, B., Pramata, G.,
Situmorang, H., & Kemal, A. (2012). Best Practices On Imperial.
Jakarta: Sagung Seto

Hillard P.A.J. 2006. Dysmenorrhea. Pediatrics in Review. 27: 64-71.

IDAI (2014) Manfaat Olahraga bagi kesehatan anak dan remaja Diakses pada
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/manfaat-olahraga-
bagi-kesehatan-anak-dan-remaja - Maret 2016.
33

Joedosepoetro M.S. and Sutoto. 2008. Tumor Jinak pada Alat-Alat Genital. In:
Winkjosastro H., Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. (eds.). Ilmu
Kandungan. 2ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp:
337-8.

Ju H, Jones M, dan Mishara G. 2014. The prevalence and risk


factors of dysmenorrhea.

Kelly (2007) Dalam Pratiwi AM. (2012). Hubungan Antara Aktivitas Olahraga
dengan Sindrom Premenstruasi pada Anggota Perempuan UKM INKAI
UNS. Fakultas Kedokteran. UNS. Surakarta.

Kemenkes. (2015). Pembinaan Kesehatan Olahraga di Indonesia. Infodatin:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Kroll AR (2010). Recreational Physical Activity and Premenstrual Syndrome


In College –Aged women. Public Health Department. University of
Massachusetts Amherst.

Lee LK, Chen PCY, Lee KK, Kaur J (2006). Menstruation among adolescent
girls in Malaysia: a cross-sectional school survey. Singapore Med J.
47(10):869

Lestari N M S D (2013). Pada Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun


2013

Nurlela, Widiayati, Prabowo, T. (2007). Hubungan aktivitas olahraga dengan


kejadian premenstrual syndrome. Jurnal ilmu keperawatan.

Novia,Ika. Puspitasari, Nunik. (2008). Faktor Risiko yang Mempengaruhi


Kejadian Dismenore Primer. RSUD Kabupaten Sidoarjo. Sukoharjo

Prabowo R.P. 2008. Endometriosis. In: Winkjosastro H., Saifuddin A.B.,


Rachimhadhi T. (eds.). Ilmu Kandungan. 2ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, pp: 314-8.
34

Proverawati dan Misaroh (2009). Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna.


Yogyakarta:Nuha Medika.

Romauli., 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Samadi Z, Taghian F, Valiani M (2013). The effects of 8 weeks of regular


aerobic exercise on the symptoms of premenstrual syndrome in non-
athlete girls. Iran J NursMidwifery. 18(1): 14–19.

Sarwono. S.W. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Saryono, 2009. Sindrom Pramenstruasi. Pustaka Pembangunan Nusantara :


jakarta

Simanjuntak P. 2008. Gangguan Haid dan Siklusnya. In: Winkjosastro H.,


Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. (eds.). Ilmu Kandungan. 2ed. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp: 229-32.

Singh A, et al. 2008. Prevalence And Severity of Dysmenorrhea : A Problem


Related to Menstruation, Among First and Second Year Female Medical
Students. Departement of Physiology S.S Medical College, Rewa, India.

Sizer FS, Whitney E (2006). Child, Teen, and Older Adult In: Nutrition
Concepts and Controversies, 10th Edition. South Melbourne, Victoria:
Thomson Wadsworth; p. 53.

Smith R.P. 2003. Dysmenorrhea: Etiology, Diagnosis, and Therapy.


http://www.womenshealthapta.org/csm2003/4654.pdf.

Taufiqurrahman, M. A (2008). Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu 28


Kesehatan. Surakarta: LPP UNS.

Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Zhu X, et al. 2009. Chinese Herbal Medicine For Primary Dysmanorrhoea


(Review). The Cochrane Collaboration: Cochrane Library.
35

Você também pode gostar