Você está na página 1de 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia   disebut   juga   pneumonia   lobularis   adalah   peradangan   pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak­bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus
yang   mengalami   peradangan   multifokal   dan   biasanya   bilateral.   Konsolidasi
pneumonia   yang   tersebar   (patchy)   ini   biasanya   mengikuti   suatu   bronkitis   atau
bronkiolitis.

II.2  Morfologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia   ditandai   dengan   lokus   konsolidasi   radang   yang   menyebar
menyeluruh   pada   satu   atau   beberapa   lobus.   Seringkali   bilateral   di   basal   sebab
adakecenderungan   sekret   untuk   turun   karena   gravitasi   ke   lobus   bawah.   lesi   yang
telahberkembang   penuh   agak   meninggi,   kering   granuler,   abu­abu   merah,   sampai
kuning, dan memiliki  batas  yang tidak  jelas. Ukuran diameter  bervariasi antara  3
sampai 4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid)
yang terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat
terlihat di antara daerah yang terkena.
Substansi   paru   di   sekelilingi   daerah   konsolidasi   biasanya   agak   hipermi   dan
edematosa,   tetapi   daerah   yang   luas   diantaranya   pada   umumnya   normal.
Pleuritisfibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan
pleura,tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila
tidakada   pembentukan   abses,   atau   dapat   menjadi   terorganisasi   meninggalkan   sisa
focus fibrosis.
Secara  histologis,   reaksi  itu   terdiri  dari   eksudat  supuratif   yang  memenuhi   bronki,
bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi ini
dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan, abses
ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.

II.3 Etiologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.
Bakteri   seperti Diplococus  pneumonia, Pneumococcus   sp, Streptococcus   sp,
Hemoliticus   aureus, Haemophilus   influenza, Basilus   friendlander (Klebsial
pneumonia), dan Mycobacterium
tuberculosis. Virus   seperti Respiratory   syntical   virus,   Virus   influenza,   dan   Virus
sitomegalik.   Jamur   seperti Citoplasma   capsulatum, Criptococcus   nepromas,
Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan
Mycoplasma pneumonia.
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab
yang   sering   adalah   stafilokokus,   streptokokus, H.   influenza, Proteus   sp dan
Pseudomonas aeruginosa.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan
patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas
yang   rendah   dapat   juga   menyebabkan   bronkopneumonia,   namun   gambarannya
bervariasi sesuai agen etiologinya.

Usia Bakteri Patogen


Neonatus E. Coli, Streptococcus group B,
Listeriamonocytogenes Klebsiella sp,
Enterobacteriaceae
1-3 bulan Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
4 bulan – 5 tahun Chlamydia pneumoniae,
Mycoplasma pneumonia
Haemophillus influenzae B,
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus
>5 tahun Chlamydia pneumoniae,
Mycoplasma pneumonia
Streptococcus pneumonia

II.4 Patogenesis Bronkopneumonia
Dalam   keadaan   sehat   pada   paru   tidak   akan   terjadi   pertumbuhan   mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh   sehingga   mikroorganisme   dapat   berkembang   biak   dan   berakibat   timbulnya
infeksi penyakit.
Bila  pertahanan  tubuh tidak  kuat maka mikroorganisme  dapat  melalui  jalan  nafas
sampai   ke   alveoli   yang   menyebabkan   radang   pada   dinding   alveoli   dan   jaringan
sekitarnya.   Setelah   itu   mikroorganisme   tiba   di   alveoli   membentuk   suatu   proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada   stadium   I,   disebut   hyperemia   karena   mengacu   pada   respon   peradangan
permulaan   yang   berlangsung   pada   daerah   baru   yang   terinfeksi.   Hal   ini   ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia   ini   terjadi   akibat   pelepasan   mediator­mediator   peradangan   dari   sel­sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator­mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen.   Komplemen   bekerja   sama   dengan   histamin   dan   prostaglandin   untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal
ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh
sel   darah   merah,   eksudat   dan   fibrin   yang   dihasilkan   oleh   penjamu   (host)   sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan
pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal   sehingga   anak   akan   bertambah   sesak,   stadium   ini   berlangsung   sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada   stadium   III/hepatisasi   kelabu   yang   terjadi   sewaktu   sel­sel   darah   putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa­sisa sel.
Pada   stadium   ini   eritrosit   di   alveoli   mulai   di   reabsorbsi,   lobus   masih   tetap   padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa­sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.
II.5 Gejala Klinis Bronjopneumonia
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39­40℃ dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya
takipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung,
distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif,
serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit,
hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan
nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup pada sisi
yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara
mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan
terdengar stridor. 

II.6 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksisaluran
nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggiterus-menerus,
sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang(pada bayi), dan nyeri
dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisiyang sakit. Pada bayi muda
sering menunjukkan gejala non spesifik sepertihipotermi, penurunan kesadaran,
kejang atau kembung. Anak besar kadangmengeluh nyeri kepala, nyeri
abdomen disertai muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompokumur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dindingdada, grunting, dan
sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarangditemukan grunting. Gejala yang
sering terlihat adalah takipneu, retraksi,sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif
/ produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksidinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif /
produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasidan letargi.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosishingga >
15.000/mm
seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada
hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm dengan dominasi netrofil mengarah ke
pneumoniastreptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia
bakterial.Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah
merupakancara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada
anak-anak kecil.
4. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasianatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama
pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan p
ada satuatau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh
Staphylokokus pneumonia.
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak
infiltrat pada paru kanan.

KRITERIA DIAGNOSIS
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a.sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (
crackles)
d.Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difuse.
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
II. 7 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.Terapi
suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring.
Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas
mungkin diperlukanterutama dalam 24-48 jam

2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang


diberikanmengandung gula dan elektrolit yang cukup.

3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.

4. Mengatasi penyakit penyerta.

5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata


laksanarutin yang harus diberikan

Você também pode gostar