Você está na página 1de 99

ANALISIS DATA LANDSAT ETM+ UNTUK KAJIAN

GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN


DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN
LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON

ELISSA DWIYANTI
A24104064

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN

ELISSA DWIYANTI. Analisis Data Landsat ETM+ untuk Kajian Geomorfologi


dan Penutup/Penggunaan Lahan dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan Lahan
Kritis di Kota Cilegon. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan WIKANTI
ASRININGRUM.

Kegiatan pengelolaan lahan atau tanah secara berlebihan dapat berdampak


pada rusaknya unsur tanah dan kritisnya fungsi lahan. Kondisi ini terjadi hampir
di seluruh wilayah di Indonesia, termasuk Kota Cilegon. Lahan disebut kritis jika
pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian,
karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-
kaidah konservasi tanah. Lahan kritis dapat mengganggu keseimbangan ekologis
yang berakibat dapat menurunkan kualitas lingkungan yang menyebabkan
gangguan ekonomi pada masyarakat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) analisis data Landsat ETM+ untuk
kajian geomorfologi dan penutup/penggunaan lahan, (2) identifikasi dan pemetaan
lahan kritis, (3) mempelajari penyebab terjadinya lahan kritis dalam kaitannya
dengan bentuklahan (landform) dan penggunaan lahan (landuse), serta (4)
memberikan rekomendasi untuk mengurangi rusaknya daya dukung lingkungan
atau lahan kritis.
Metode penentuan lahan kritis mengacu pada Departemen Kehutanan RI
(2003) sedangkan perhitungannya di lakukan dengan analisis tumpang-tindih
(overlay) dengan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Berdasarkan analisis citra Landsat ETM+ diperoleh hasil bahwa kombinasi
band 452 merupakan kombinasi terbaik untuk kajian geomorfologi, sedangkan
kombinasi band 542 merupakan kombinasi terbaik untuk kajian
penutup/penggunaan lahan.
Berdasarkan perhitungan faktor-faktor penentu lahan kritis, yaitu
penutup/penggunaan lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan kondisi
manajemen lahan di daerah penelitian di peroleh hasil seluas 1.977 Ha (10,98%)
masuk ke dalam kategori kritis, 639 Ha (3,55%) agak kritis, 5.197 Ha (28,87%)
potensial kritis, dan 10.189 Ha (56,80%) tidak kritis.
Faktor-faktor yang banyak berpengaruh terhadap terjadinya lahan kritis di
daerah penelitian adalah morfologi bentuklahan (lereng), tipe penggunaan lahan
(kebun campuran/tegalan), dan manajemen lahan yang kurang baik (praktek
konservasi tanah dan air). Oleh sebab itu areal lahan krits banyak terdapat di atas
bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Kerucut
Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC), dan Perbukitan Vulkanik
Denudasional (PVD) yang mempunyai kemiringan lereng curam sampai sangat
curam.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dampak kegiatan industri (gas-
gas dan limbah kimia) secara langsung dan tidak langsung juga menyumbang
terhadap terjadinya lahan kritis. Penelitian untuk permasalahan ini perlu di
lakukan tersendiri.

Kata Kunci: Landsat ETM+, Geomorfologi, Bentuklahan, Penggunaan Lahan


Sistem Informasi Geografis, Lahan Kritis.
SUMMARY

ELISSA DWIYANTI. Analysis of Landsat ETM+ Data for Study of


Geomorphology and Land Cover/Land Use, and its Utilization for Mapping of
Critical Land in Cilegon City. Under Academic Supervision of BOEDI
TJAHJONO and WIKANTI ASRININGRUM.

Excessive activity of land or soil management could have impacts in the


form of soil damage and creation of critical land. Such condition occurs in nearly
all areas of Indonesia, including Cilegon city. Land is categorized as critical, if at
present, it is not productive or not sufficiently productive, from the point of view
of agricultural use, because its management and use has insufficient or no
consideration on soil conservation principles. Critical land could disturb
ecological balance which results in reduction of environmental quality, and
further economic disturbance toward the community.
The objectives of this research were: 1) analyzing the data of Landsat
ETM+ for study of geomorphology and land cover/land use, 2) identification and
mapping of critical land, 3) studying the cause of critical land occurrence in its
relation with land form and land use, and 4) providing recommendation for
reducing the damage on environmental carrying capacity or for reducing critical
land.
Method of critical land determination referred to that of Departemen
Kehutanan RI, (2003) whereas the calculation was performed by overlay analysis
with Geographic Information System (GIS).
Based on analysis of Landsat ETM+ Imagery, it was obtained that,
combination of band 452 constituted the best combination for geomorphological
study, whereas combination of band 542 constituted the best combination for
study of land cover/land use.
Based on calculation of determining factors for critical land, which
comprise land cover/land use, slope, erosion level, and land management
condition in the research area, the following results were obtained: 1.977 Ha
(10,98%) was categorized as critical land, 639 Ha (3,55%) was categorized as
somewhat critical, 5.197 Ha (28,87%) was potentially critical, and 10.189 Ha
(56,80%) was non critical land.
Factors which had much influence on the occurrence of critical land in the
research area were morphology of land form (slope), types of land use (mixed
garden/dry land farm), and low quality management of land (soil and water
conservation practice). Therefore, critical land area occurred much on land form
of denudational volcanic cone of Gunung Gede (KVDG), denudational volcanic
cone of Gunung Cidanau (KVDC) and denudational volcanic hill (PVD) which
had slopes ranging from steep to very steep.
Based on field observation results, impacts of industrial activities (gases
and chemical wastes) contributed directly and indirectly to the occurrence of
critical land. Research on this problem should be conducted further in other
occasion.

Key words: Landsat ETM+, Geomorphology, Geographic Information System,


Land form, Land use, Critical Land.
ANALISIS DATA LANDSAT ETM+ UNTUK KAJIAN
GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN
DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN
LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Elissa Dwiyanti
A24104064

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Penelitian : Analisis Data Landsat ETM+ untuk Kajian
Geomorfologi dan Penutup/Penggunaan Lahan dan
Pemanfaatannya untuk Pemetaan Lahan Kritis di
Kota Cilegon.

Nama : Elissa Dwiyanti

NRP : A24104064

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Boedi Tjahjono, DEA Dra. Wikanti Asriningrum, M.Si


NIP. 131 846 877 NIP. 300 001 107

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr


NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Cilegon pada tanggal 28 Februari 1986 dari pasangan


Bapak Safurizal (Alm) dan Ibu Muzayanah, sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di Sekolah Dasar
Negeri Tegal Cabe, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Negeri 2 Cilegon pada tahun 1997, dan pada tahun 2000 penulis menempuh
pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan Kimia PGRI Serang. Pada tahun 2004
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, sebagai mahasiswa program Studi
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, melalui jalur SPMB
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Selama menjadi mahaiswa, penulis mendapat kesempatan menjadi asisten
praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (PJIC) pada tahun
ajaran 2006/2007 dan tahun ajaran 2008/2009, mata kuliah Geomorfologi dan
Analisis Lansekap (GAL) pada tahun ajaran 2007/2008, dan mata kuliah Sistem
Informasi Geografis (SIG) pada tahun ajaran 2007/2008. Penulis juga aktif di
Himpunan Profesi Kemahasiswaan HMIT (Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah)
sebagai anggota di Biro Kerohanian (periode 2004/2005), sebagai anggota di Biro
Media Informasi (periode 2005/2006), dan sebagai pemimpin di Departemen
Informasi dan Komunikasi (periode 2006/2007). Selain itu, penulis pernah
menjadi tim pelaksana proyek Penataan Ruang Kawasan Agropolitan di
Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan November-
Desember 2008. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan
kepanitiaan yang di selenggarakan Departemen Ilmu Tanah dan sumberdaya
Lahan.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian
dari kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA selaku pembimbing Skripsi I dan Ibu Dra.
Wikanti Asriningrum, M.Si selaku Pembimbing Skripsi II atas segala dukungan,
bimbingan, motivasi, nasihat, dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. Serta
untuk Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah sebagai dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan untuk penulis.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah memberikan dukungan data dan kerjasama dalam penelitian ini. Ucapan
terimakasih ini penulis sampaikan kepada Staf Bagian Pengolahan Data
Penginderaan Jauh di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN),
Bapak Sabri Mahyudin dan Staf di Bagian Tata Ruang Badan Perencanaan
Daerah (Bappeda) Kota Cilegon, dan Bapak Andi Jumhani di bagian Konservasi
Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kota Cilegon.
Keluargaku tercinta: Bapak Safurizal (Almarhum), Ibu Muzayanah, dan
Bapak Suhaemi atas segala do’a dan dukungan bagi penulis yang tiada terhingga,
serta kedua saudaraku Teh Yenny dan Nano, Bibi dan kedua sepupuku Ika dan
Assya atas do’a dan perhatiannya.
Terima kasih untuk Sahabat-sahabatku: Inga, Yesy, dan Rahmat atas
motivasi dan semangatnya. Untuk Lasapierzz: Mbal, Desi, Nika, Dian, Ratih,
Nibot, Lia, Novi, Heni, Rita, Septi, Mercy, dan Mba Restu yang selalu ada dalam
suka dan duka serta persahabatan yang menyenangkan.
Untuk Mba Reni, Mba Lela, Kak Hendi, dan Kak Aris terima kasih atas
segala bantuannya. Untuk Mba Ely terima kasih atas saran-saran dan kebaikannya
sebagai kakak, guru, dan senior yang sabar membimbing, dan untuk semua rekan
di bagian Penginderaan Jauh: Nana, Alwan, Shanty, Totenx, Sinta, Nisa, Tanti,
dan Aby atas semangat dan kerjasamanya.
x

Kepada Soilers 41 terima kasih atas kenang-kenangan yang tak


terlupakan, dan kepada Soil angkatan 23 terimakasih atas bantuan dana
perbanyakan skripsi melalui Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Atas perhatiannya penulis ucapkan Terimakasih.

Bogor, Januari 2009

Penulis
xi

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………….................. xii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………. xiv
I. PENDAHULUAN………………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang………………………………………………… 1
1.2. Tujuan Penelitian………………………………………………. 2
1.3. Manfaat Penelitian……………………………………………... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………… 3
2.1. Beberapa Definisi Mengenai Lahan Kritis……………………... 3
2.2. Pengelompokan Lahan Kritis………………………………….. 3
2.2.1. Lahan Potensial Kritis…………………………………... 4
2.2.2. Lahan Agak Kritis………………………………………. 4
2.2.3. Lahan Kritis……………………………………………... 4
2.2.4. Lahan Sangat Kritis……………………………………... 5
2.3. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis……………………….. 5
2.4. Faktor Penyebab Lahan Kritis…………………………………. 8
2.4.1. Penutupan Lahan....................................................……... 8
2.4.2. Kemiringan Lereng……………………………………... 9
2.4.3. Erosi…………………………………………………….. 9
2.4.4. Manajemen Lahan………………………………………. 9
2.5. Geomorfologi…………………………………………………... 10
2.6. Penginderaan Jauh……………………………………………... 11
+
2.7. Landsat ETM ………………………………………………….. 12
2.8. Klasifikasi Bentuklahan (Landform) dan Penutup Lahan
(Landcover)/ Penggunaan Lahan (Landuse)…………………… 15
2.8.1. Klasifikasi Bentuklahan (Landform)……………………. 15
2.8.2. Klasifikasi Penutup Lahan (Landcover)/ Penggunaan
Lahan (Landuse)………………………………………... 18
xii

III. BAHAN DAN METODE………………………………………… 20


3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian…………………………………... 20
3.2. Bahan dan Alat…………………………………………………. 20
3.3. Metode Penelitian……………………………………………… 21
3.3.1. Tahap Persiapan Data dan Pengolahan Citra…………….. 21
3.3.2. Tahap Interpretasi Citra………………………………….. 25
3.3.3. Pengecekan Lapang (Survey)…………………………….. 26
3.3.4. Tahap Analisis Hasil……………………………………... 27
3.3.5. Penyajian Hasil…………………………………………... 27
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 29
4.1. Keadaan Topografi, Morfologi, dan Kemiringan Lereng……… 29
4.2. Geomorfologi…………………………………………………... 31
4.3. Struktur Geologi……………………………………………….. 32
4.4. Jenis Tanah, Tekstur Tanah, dan Kedalaman Efektif Tanah…... 32
4.5. Hidrologi……………………………………………………….. 35
4.6. Kondisi Iklim…………………………………………………... 35
4.7. Penggunaan Lahan……………………………………………... 35
4.8. Kependudukan…………………………………………………. 36
4.8.1. Pendidikan……………………………………………….. 37
4.8.2. Perdagangan dan Industri………………………………... 37
4.8.3. Sosial Ekonomi…………………………………………... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………… 38
5.1. Seleksi Data Citra Landsat ETM+................................................ 38
5.1.1. Seleksi Fusi Multispektral………………………………... 39
5.1.2. Seleksi Penajaman Spektral……………………………… 42
5.1.3. Seleksi Fusi Multispasial da Penajaman Spasial…………. 43
5.2. Identifikasi Bentuklahan……………………………………….. 51
5.2.1. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung
Gede (KVDG)……………………………………………. 54
5.2.2. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung
Cidano (KVDC)………………………………………...... 54
5.2.3. Bentuklahan Kipas Ignimbrite (KI)……………………… 54
xiii

5.2.4. Bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik (FVP)…………… 55


5.2.5. Bentuklahan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD)... 55
5.2.6. Bentuklahan Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs)…………….. 55
5.2.7. Bentuklahan Marin (Gisik dan Cliff)…………………….. 56
5.3. Identifikasi Penutup/Penggunaan Lahan………………………. 56
5.4. Identifikasi Lahan Kritis……………………………………….. 61
5.4.1. Kemiringan Lereng………………………………………. 61
5.4.2. Erodibilitas Tanah (Nikai K)…………………………….. 64
5.4.3. Manajemen Lahan……………………………………….. 65
5.5. Pemetaan Lahan Kritis…………………………………………. 66
5.6. Rekomendasi Rehabilitasi Lahan Kritis……………………….. 71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... 73
VII. DAFTAR PUSTAKA…………………………………………… 75
xiv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
Teks
1. Kriteria Lahan Kritis (Departemen Kehutanan, 2003) dalam
7
Herdiana (2008)………………………………………………
2. Indeks Penentuan Kelas Lahan Kritis……………………….. 8
3. Karakteristik Landsat ETM+………………………………… 15
4. Karakteristik Band Landsat ETM+…………………………... 16
5. Data dan Peta yang digunakan dalam Penelitian..................... 20
6. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian............................. 21
7. Nilai OIF Daerah Penelitian…………………………………. 40
8. Rangkuman Hasil Pengolahan Terseleksi Citra Landsat
ETM+ untuk Identifikasi Bentuklahan dan
Penutupan/Penggunaan Lahan................................................. 49
9. Luas Bentuklahan di Daerah Penelitian................................... 53
10. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Derah Penelitian……........ 57
11. Kemiringan Lereng dan Skor Penentu Parameter Erosi……. 61
12. Luas Kelas Lereng Daerah Penelitian..................................... 64
13. Tingkat erodibilitas Daerah Penelitian.................................... 64
14. Manajemen Lahan Daerah Penelitian……………………….. 65
15. Luas Lahan Kritis di Daerah Penelitian……………………... 67
16. Luas Lahan Kritis pada Penutup/Penggunaan Lahan……….. 69
17. Luas Luas Kawasan Lindung Daerah Penelitian…………….. 70
18. Luas Lahan Kritis di Kawasan Lindung Daerah Penelitian…. 71

Nomor Halaman
Lampiran

1. Data Curah Hujan Daerah Penelitian Tahun 2002-2006…….. 79


2. Nilai OIF pada Daerah Model Bentuklahan Marin, Fluvial,
Karst, Struktural, dan Vulkanik. (Asriningrum, 2002)……… 80
xv

3. Nilai Erodibilitas (K) Beberapa Jenis Tanah………………… 81


4. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kota Cilegon Tahun
2004-2006…………………………………………………… 81
xvi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
Teks
1. Diagram Alir Metode Penelitian…………………………… 28
2. Peta Daerah Penelitian……………………………………… 30
3. Peta Geologi Daerah Penelitian……………………………… 33
4. Peta Jenis Tanah Daerah Penelitian…………………………. 34
5. Peta Pola Curah Hujan Daerah Penelitian…………………… 36
+
6. Citra Landsat ETM Wilayah Kota Cilegon………………… 38
+
7. Citra Landsat ETM Wilayah di sekitar Kota Cilegon………. 39
8. Variasi Komposit dari Fusi 245 di Daerah Penelitian……….. 41
9. Variasi Penajaman Spektral Komposit RGB 542 di Daerah
Penelitian……………………………………………………. 43
10. Hasil Fusi Multispasial Landsat ETM+……………………… 44
11. Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI dengan
Penajaman High Pass Fiter, Sharpen 11……………………. 46
12. Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di
Daerah Penelitian……………………………………………. 47
13. Hasil Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI terpilih.... 50
14. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian……............................... 52
15. Citra Landsat RGBI 4528, HPF Sharpen11 dengan Peta
Bentuklahan Daerah Penelitian................................................ 53
16. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian……….... 58
17. Peta Penutup/Penggunaan Lahan dan Peta Kawasan Hutan
Daerah Penelitian……………………………………………. 59
18. Contoh Foto Cek Lapang Untuk Penggunaan Lahan Kebun
Campuran dan Tegalan……………………………………… 60
19. Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian…………………. 62
20. Contoh Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian…………… 63
21. Peta Erodibilitas Daerah Penelitian………………………….. 65
xvii

22. Peta Lahan Kritis Daerah Penelitian………………………… 68


23. Peta Lahan Kritis dan Peta Kawasan Hutan di Daerah
Penelitian…………………………………………………….. 70
24. Foto Pengamatan Lapang untuk Daerah Hasil Rehabilitasi
Lahan Kritis di Daerah Penelitian............................................ 72

Nomor Halaman
Lampiran
1. Peta Tekstur Tanah Daerah penelitian………………………. 77
2. Peta Kedalaman Efektif Tanah Daerah Penelitian………….. 78
3. Contoh Foto Manajemen Lahan…………………………….. 82
4. Contoh Foto-Foto Lahan Kritis di Lapangan………………... 82
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Adanya peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan
baik untuk kepentingan produksi pertanian maupun untuk kepentingan lainnya,
diperlukan adanya penataan dan perencanaan penggunaan lahan guna
menghindari permasalahan berkaitan dengan penggunaan lahan yang kurang
sesuai. Beberapa pemasalahan yang dapat timbul diantaranya adalah (1) alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau industri, (2) rusaknya
unsur hara tanah akibat pengolahan tanah konvensional ataupun adanya
pembuangan limbah industri yang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan,
(3) adanya penambangan tanpa izin, (4) penggunaan pupuk kimia atau buatan, (5)
penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya terhadap tanah secara berlebihan,
(6) pola tanam yang tidak berkelanjutan (non sustainable), (7) penjarahan hutan,
(8) eksploitasi hutan industri yang tidak mengacu pada kerangka dan program
reboisasi, dan (9) adanya bencana alam. Berbagai permasalahan tersebut dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun keseimbangan
ekosistem berupa lahan kritis (Bappeda, 2006).
Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kota Cilegon mencatat
luasan lahan kritis di Kota Cilegon mengalami penurunan. Pada tahun 2006 luas
lahan kritis menurun seluas 2,92% dari 4.692,97 Ha menjadi 4.179,97 Ha dan
pada tahun 2007 luas lahan kritis menurun seluas 1,00% dari 4.179,97 Ha menjadi
4.004,97 Ha.
Lahan disebut kritis jika keadaannya membahayakan stabilitas dan
kelangsungan tata air serta alam lingkungan, atau lahan pertanian yang sudah
tidak subur lagi untuk ditanami, seperti tanah gundul, padang alang-alang, dan
lahan bekas penambangan. Meluasnya lahan kritis di berbagai wilayah pada
umumnya disebabkan oleh kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya daya
dukung lingkungan, kehilangan lapisan tanah atas, dan akibat erosi sehubungan
dengan pengelolaan tanah yang buruk. Timbulnya lahan kritis akan berdampak
terhadap lingkungan berupa banjir, erosi, maupun berkurangnya daya resapan air.
2

Kota Cilegon merupakan kota industri dimana perkembangan industri dapat


meningkatkan jumlah penduduk yang berarti meningkat pula berbagai macam
kebutuhannya seperti jenis penggunaan lahan yang berakibat terjadinya perubahan
penggunaan lahan. Perubahan semacam ini jika tidak sesuai dengan kemampuan
lahannya dapat menyebabkan terjadinya lahan kritis. Dampak dari lahan kritis
adalah mengganggu keseimbangan ekologis yang berakibat dapat menurunkan
kualitas lingkungan. Bila terjadi ketidakseimbangan antara lingkungan
(ekosistem) dengan industri maka akan terjadi gangguan ekonomi pada
masyarakat sehingga perlu adanya studi tentang lahan kritis untuk penanganan
penurunan kualitas lngkungan.
Studi permasalahan tersebut dapat dilihat dari kondisi fisik lingkungan
(geografis) ataupun dengan melihat keterkaitan antara bentuklahan (landform)
dengan penggunaan lahan (landuse). Dimana bentuklahan dipengaruhi oleh
kondisi geologi dan geomorfologi, sedangkan penggunaan lahan lebih
dipengaruhi oleh kegiatan manusia.

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini antara lain untuk:
- Analisis citra landsat ETM+ untuk kajian geomorfologi dan
penutup/penggunaan lahan
- Identifikasi dan pemetaan lahan kritis
- Mempelajari penyebab terjadinya lahan kritis dalam kaitannya dengan
bentuklahan (landform) dan penggunaan lahan (landuse)
- Memberikan rekomendasi untuk mengurangi rusaknya daya dukung
lingkungan atau lahan kritis

1.3. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah untuk dapat
mengidentifikasi dan memetakan lahan kritis di Kota Cilegon melalui analisis
geomorfologi yang kemudian dapat memberikan rekomendasi rehabilitasi lahan
untuk lahan kritis, dan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan bagi
pembangunan di Kota Cilegon khususnya dari sisi fisik lingkungan.
3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Beberapa Definisi Mengenai Lahan Kritis


Lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif
ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak
atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah.
Definisi lahan kritis dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai
aspek yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing instansi, diantaranya
adalah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak), menurut FAO, dan
menurut Departemen Kehutanan.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak, 1997) dalam Herdiana
(2008) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan
fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang
akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya, sedangkan
menurut FAO (1997) merupakan lahan yang mengalami penurunan produktivitas
tanah yang disebabkan hilangnya tanah lapisan atas oleh erosi sehingga
mengalami kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang akhirnya membahayakan
fungsi hidrologi, orologi, produktivitas tanah, permukiman dan kehidupan sosial
ekonomi. Adapun menurut Departemen Kehutanan (2003) lahan kritis merupakan
lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kehilangan atau
berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata air). Menurunnya fungsi
tersebut disebabkan oleh penggunaan lahan yang kurang atau tidak memperhatkan
teknik konservasi tanah, sehingga menimbulkan erosi, tanah longsor, dan
sebagainya yang berpengaruh terhadap kesuburan tanah, tata air dan lingkungan.

2.2. Pengelompokkan Lahan Kritis


Pengelompokkan lahan kritis dilakukan karena tingkat kekritisan suatu
lahan masing-masing berbeda-beda. Pengelompokkan lahan kritis ini dilihat dari
aspek tingkat kerusakan fisik. Menurut Sitorus (2004) lahan kritis dikelompokkan
menjadi: lahan potensial kritis, lahan agak kritis, lahan kritis, dan lahan sangat
kritis.
4

2.2.1. Lahan Potensial Kritis


Lahan potensial kritis adalah lahan yang kurang produktif bila diusahakan
untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan, akan tetapi bila
pengelolaannya tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka
lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan agak kritis
atau lahan kritis. Lahan potensial kritis mempunyai ciri sebagai berikut:
i. Pada lahan belum terjadi erosi atau mulai terjadi erosi ringan. Erosi dapat
terjadi terutama apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan
kegiatan-kegiatan pencegahan erosi dan tindakan konservasi lainnya.
ii. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam, lapisan atas (top
soil) lebih dari 20 cm.
iii. Persentase penutupan tanah relatif masih tinggi (vegetasi rapat).
iv. Mempunyai kemiringan lereng datar sampai berbukit.
v. Tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi.

2.2.2. Lahan Agak Kritis


Lahan agak kritis adalah lahan yang kurang produktif dan telah terjadi
erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat
produksi rendah. Lahan agak kritis mempunyai ciri sebagai berikut:
i. Tanah telah mengalami erosi dari tingkat permukaan sampai erosi alur (rill
erotion) dengan produksi yang rendah.
ii. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang sangat dangkal, lapisan atas (top
soil) kurang dari 5 cm.
iii. Persentase penutupan tanah sedang.
iv. Kemiringan lereng umumnya lebih dari 18%.
v. Tingkat kesuburan tanah rendah.

2.2.3. Lahan Kritis


Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya
rendah sekali, sehingga untuk dapat diusahakan sebagai lahan pertanian perlu
didahului dengan usaha rehabilitasi. Lahan kritis mempunyai ciri sebagai berikut:
i. Lahan telah mengalami erosi berat dengan tingkat erosi umumnya berupa
erosi parit (gully erotion).
5

ii. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang dangkal, kurang dari 60 cm.
iii. Persentase penutupan lahan rendah (antara 25-50%).
iv. Kesuburan tanah rendah.

2.2.4. Lahan Sangat Kritis


Lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak
mungkin lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar
direhabilitasi. Lahan sangat kritis mempunyai ciri sebagai berikut:
i. Pada tanah telah terjadi erosi sangat berat, sebagian berada pada tingkat erosi
parit (gully erotion).
ii. Lapisan-lapisan tanah produksi telah habis tererosi, kedalaman efektif tanah
sangat dangkal, kurang dari 30 cm.
iii. Persentase penutupan tanah oleh vegetasi sangat rendah (kurang dari 25%).
iv. Kemiringan lereng umumnya kurang dari 40%.
v. Tingkat kesuburan tanah sangat rendah.

2.3. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis


Identifikasi dan pemetaan lahan kritis adalah suatu usaha yang sangat
bermanfaat untuk perencanaan atau untuk penentuan prioritas pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya alam yang mencangkup konservasi dan rehabilitasi tanah.
Identifikasi lahan kritis dapat dilihat dari beberapa param berdasarkan
kriteria yang mempengaruhi lahan kritis. Menurut Departemen Kehutanan (2003)
dalam Herdiana (2008) tingkat kekritisan lahan ditentukan dari jumlah nilai yang
diperoleh untuk masing-masing kriteria sesuai fungsi lahannya yang mencakup:
penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen lahan.
Sedangkan pemetaannya dilakukan dengan mengukur faktor-faktor penyebab
terjadinya lahan kritis secara spasial dan menghitung pengaruh agregasi faktor-
faktor tersebut melalui analisis tumpang-tindih (overlay) data spasial. Data spasial
tersebut adalah peta penutup/penggunaan lahan (C), peta lereng (S), peta
erodibilitas tanah (E), dan manajemen lahan (M). Secara umum ke-5 data spasial
tersebut dimodelkan dengan formula sebagai berikut:
6

ILK = {(a x C) + (b x S) + (c x E) + (d x M)}

Dimana ILK adalah Indeks Lahan Kritis, a, b, c, dan d adalah bobot


penutup/penggunaan lahan, bobot lereng, bobot erosi, dan bobot manajemen
lahan, yang besarnya masing-masing adalah 50, 20, 20, dan 10. Faktor penentu
lahan kritis menurut skor dan pembobotannya dapat dilihat pada Tabel 1.
7

Tabel 1. Kriteria Lahan Kritis (Departemen Kehutanan, 2003)


Kriteria Skor
Kelas Kelas Besaran / Deskripsi Keterangan
(bobot)
Penutupan Sangat >80% 5 Dinilai
Lahan (50) baik 61-80% 4 berdasarkan
Baik 41-60% 3 persentase
Sedang 21-40% 2 penutupan
Buruk <20% 1 tajuk
Sangat
buruk
Lereng Datar <8% 5
(20) Landai 8-15% 4
Agak 15-25% 3
curam 25-40% 2
Curam >40% 1
Sangat
curam
Erosi (20) Ringan Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas 5
hulang dan atau erosi alur pada jarak 20-
Sedang 50 m 4
Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas
Berat hilang dan atau erosi alur pada jarak >50 3
m
Sangat Tanah dalam : 25-75% lapisan tanah atas 2
berat hilang dan atau erosi alur pada jarak <20
m
Tanah dangkal : 25-50% lapisan tanah
atas hilang dan atau erosi alur pada jarak
20-50 m
Tanah dalam : >75% lapisan tanah atas
hilang dan atau erosi parit pada jarak 20-
50 m
Tanah dangkal : 50-75% lapisan tanah
atas hilang
Tanah dalam : semua lapisan tanah atas
hilang, >25% lapisan tanah bawah dan
atau erosi parit dengan kedalaman sedang
pada jarak ,20 m
Tanah dangkal : >75% lapisan tanah atas
telah hilang sebagian lapisan bawah
tererosi

Manajemen Baik Lengkap 5 *) Tata batas


(10) Sedang Tidak lengkap 3 kawasan
Buruk Tidak ada 2 ada;
pengamanan
ada;
penyuluhan
dilaksanakan
Sumber: Departemen Kehutanan, 2003 dalam Herdiana, 2008.
8

Tingkat kekritisan lahan ditentukan dengan nilai penentunya yang


dihasilkan dari persamaan Indeks Lahan Kritis (ILK), kisaran nilai tersebut dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Indeks Penentuan Kelas Lahan Kritis (ILK)


No. Tingkat Kekritisan ILK
1. Sangat Kritis 120-180
2. Kritis 181-270
3. Agak kritis 271-360
4. Potensial kritis 361-450
5. Tidak kritis 451-500
Sumber: Departemen Kehutanan, 2003 dalam Herdiana, 2008

2.4. Faktor Penyebab Lahan Kritis


Faktor penyebab lahan kritis yang digunakan dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan kriteria lahan kritis menurut Departemen Kehutanan
(2003) yaitu penutup/penggunaan lahan, kemiringan lereng, erosi, dan manajemen
lahan.

2.4.1. Penutup/Penggunaan Lahan


Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, tanah, air, dan
vegetasi serta benda yang berada di atasnya. Penggunaan lahan adalah setiap
bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik materil maupun spiritual. Menurut Lillesand dan Kiefer (1994),
penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan
tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut. Secara
umum, penutupan lahan dapat dibagi menjadi vegetasi penutup dan bangunan
penutup. Penutupan lahan berupa vegetasi banyak bermanfaat dari sisi ekologi,
misalnya dapat membantu proses infiltrasi air kedalam tanah sehingga dapat
mengurangi aliran permukaan (run off) yang biasanya mempunyai dampak negatif
terhadap lingkungan, dapat terjadinya banjir maupun erosi tanah.
Penutupan lahan tertentu dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
apabila terjadi suatu perubahan penutupan akibat adanya suatu aktivitas yang
tidak ramah lingkungan. Konversi lahan dari lahan pertanian ke lahan non
pertanian merupakan salah satu contoh. Perubahan penggunaan lahan adalah suatu
9

perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dengan
penggunaan sebelumnya, baik untuk tujuan komersil maupun industri. Perubahan
penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian bersifat tidak balik,
karena untuk mengembalikannya membutuhkan modal yang sangat besar.

2.4.2. Kemiringan Lereng


Kemiringan lereng adalah kemiringan permukaan lahan terhadap suatu
garis horisontal dan besarnya kemiringan dinyatakan dalam derajat atau persen.
Dua titik yang berjarak 100 m dan mempunyai selisih tinggi 100 m akan
membentuk lereng sebesar 100% atau sama dengan suatu kecuraman lereng
sebesar 450. Lereng yang curam seperti ini dapat memperbesar jumlah aliran
permukaan, apabila terjadi hujan sehingga semakin besar nilai lereng maka akan
dapat memperbesar energi angkut aliran permukaan. Akibat dari kondisi seperti
ini maka dapat meningkatkan daya erosi terhadap tanah. Jika lereng permukaan
tanah menjadi dua kali lebih curam, maka banyaknya erosi persatuan luas juga
menjadi 2,0 sampai 2,5 kali lebih besar (Arsyad, 2000).

2.4.3. Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkatnya tanah atau bagian-
bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad, 2000).
Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis
dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan tanah
tersebut terjadi oleh media alami, yaitu oleh air ataupun angin.
Erosi oleh angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi air
ditimbulkan oleh kekuatan air. Di daerah beriklim basah, erosi oleh air lebih
dominan, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Erosi oleh angin merupakan
peristiwa yang sangat dominan di daerah beriklim kering (Arsyad, 2000).

2.4.4. Manajemen Lahan


Manajemen lahan terkait dengan faktor manusia. Faktor ini terdiri dari
kualitas manusia dan kuantitasnya. Kualitas dari manusia adalah umur,
kepribadian, dan pendidikan, dan segala sesuatu yang mementukan kualitas diri
manusia tersebut dalam menetukan keputusan (Mather, 1986 dalam Kristiani,
2007).
10

Contoh kuantitas manusia adalah jumlah penduduk, dimana jumlah


penduduk ini di kehidupan sehari-hari banyak mempengaruhi pola penggunaan
lahan. Di Indonesia dari tahun ke tahun penggunaan lahan hutan semakin
menurun, sedangkan lahan pertanian dan lahan terbangun terus meningkat. Ini
merupakan dampak dari semakin tingginya jumlah penduduk, sedangkan jumlah
lahan relatif tetap. Tekanan populasi yang tinggi ini merupakan ciri pendorong
utama terhadap pembukaan lahan pertanian di negara berkembang (Mather, 1986
dalam Kristiani, 2007).

2.5. Geomorfologi
Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences)
yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform).
Kajian geomorfologi merupakan suatu deskrpisi dan penjelasan (eksplaination)
bentuklahan yang mencangkup aspek-aspek morfologi (morfografi dan
morfometri), morfogenesis (endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang
dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya.
Aspek morfologi mencangkup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri.
Morfografi mendeskripsi bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar
seperti pegunungan, gunung api, dataran, maupun yang berukuran kecil seperti
bukit, lembah, dan kipas alluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran
bentuklahan, seperti kemiringan lereng, ketinggian arah, dan sebagainya. Aspek
morfogenesis mencangkup kajian terhadap proses geomorfik atau proses
geomorfologis yang bekerja pada masa lampau dan masa sekarang yang
membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi
atau waktu pembentukan berbagai bentuklahan dan prosesnya, sedangkan aspek
struktur dan litologi penyusunnya mengkaji mengenai material-material penyusun
bentuk permukaan bumi atau struktur geologi dan jenis batuan/mineral.
Bentuklahan (landform) adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi
yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan
beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu (Thormbury, 1954 dalam
Asriningrum, 2002).
Proses geomorfik adalah semua perubahan baik fisik maupun kimia yang
mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Agen/anasir geomorfik (geomorfik
11

agent) adalah semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut
bahan bumi (Wiradisastra et al, 2002).
Geomorfologi dan penginderaan jauh mempunyai kaitan yang erat untuk
menganalisis berbagai bentuklahan dapat digunakan data penginderaan jauh, yaitu
foto udara atau citra digital sebagai salah satu alat untuk mengkaji lebih awal dan
dilakukan secara ruang. Pengamatan lapang merupakan data tambahan ruang yang
lebih spesifik untuk tambahan pengkajian yang tuntas. Berbagai kenampakan
yang dapat dilihat dari foto udara atau citra digital adalah bentuk topografi, pola
drainase, kenampakan proses dinamik, tipe bentuklahan dan distribusinya, pola
dan distribusi penutup/penggunaan lahan atau vegetasi dan pola penggunaan lahan
dan distribusinya (Wiradisastra et al, 2002).
Analisis geomorfologi diperlukan untuk mengetahui sebaran bentanglahan
(landscape) dari bentuklahan (landform) seperti dataran, dataran tinggi,
pegunungan, serta fitur-fitur kecil seperti lembah, lereng dan alluvial.
Bentuklahan tersebut dapat memberikan pemahaman mengenai karakteristik alam
dan pembentukannya. Karakteristik bentuklahan dapat mempengaruhi
penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik
bentuklahan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir, longsor,
erosi, lahan kritis dan lain-lain.
Peranan geomorfologi dalam studi lahan kritis sangat penting khususnya
untuk mengkaji bentuklahan, hubungan bentuklahan dengan penggunaan lahan,
serta kondisi fisik aktual setelah ada interverensi manusia dalam memanfaatkan
lahan.

2.6. Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa adanya suatu kontak langsung dengan objek, daerah, atau
fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994).
Data penginderaan jauh merupakan hasil rekaman dari intraksi antara
tenaga dengan objek yang direkam oleh sensor atau alat pengindera seperti
kamera, penyiam (scanner), dan radiom yang masing-masing dilengkapi dengan
detektor di dalamnya. Data penginderaan jauh dapat berupa data digital (data
12

numerik) dan data visual. Data visual terdiri dari citra maupun non citra. Data
citra berupa gambaran yang mirip ujud aslinya atau berupa gambaran planimetrik
sedangkan data non citra pada umumnya berupa garis atau grafik (Sutatnto, 1986).
Simonett et al. (1983) dalam Sutanto (1986) mengutarakan pengertian
tentang citra yaitu suatu gambaran rekaman dari objek (biasanya berupa gambaran
pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau
elektronik.
Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau penalaran
untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti pentingnya objek yang
tergambar pada citra (Estes dan Simonett, 1975, dalam Sutanto, 1986).
Interpretasi citra mempunyai sembilan unsur, yaitu (1) rona atau warna, (2)
ukuran, (3) bentuk, (4) tekstur, (5) pola, (6) tinggi, (7) bayangan, (8) situs dan (9)
asosiasi. Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara hirarki (Sutanto,
1986).
Peranan penginderaan jauh dalam studi lahan kritis adalah untuk melakukan
identifikasi dan interpretasi citra secara visual maupun digital sehingga dapat
menghasilkan suatu peta lahan kritis.

2.7. Landsat ETM+


Landsat ETM+ merupaka seri ke-7 atau terakhir dari Landsat yang memiliki
beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan dengan seri sebelumnya.
Landsat (Land Satellite) merupakan satelit sumberdaya alam pertama yang
awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technological Satellite) yang
diluncurkan pertama kalinya pada tanggal 23 juli 1972 yang mengorbit hingga 6
Januari 1978. Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari. Tepat
sebelum peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic
and Space Administration) secara resmi menangani program ERTS menjadi
program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi
“SEASAT” yang telah direncanakan sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi
Landsat-1 dan Landsat-2. Sedangkan Landsat-3 diluncurkan pada tanggal 5 Maret
1978. (Purwadhi, 2001).
Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3 mempunyai kesamaan param orbit dan
mempunyai interval waktu pemotretan terhadap objek yang sama, yaitu setiap 18
13

hari. Landsat berikutnya (4 dan 5) dirancang untuk mempunyai stabilitas lebih


baik dari sebelumnya (Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3). Landsat-4
diluncurkan pada bulan Juli 1982 dan Landsat-5 diluncurkan pada bulan Maret
(1984) (Purwadhi, 2001).
Landsat-4 dan Landsat-5 memuat sensor Multi Spectral Scanner (MSS) dan
sensor Thematic Mappers (TM). Sensor MSS memiliki 4 band dengan resolusi
spasial 79 m, sedangkan sensor TM memiliki 7 band dengan resolusi spasial 30 m
dan 120 m (khusus untuk band 6). Citra Landsat di wilayah khatulistiwa
memberikan liputan 185x185 Km2 (Asriningrum, 2002).
Landsat merekam radiasi gelombang elektro-magnetik benda-benda di
muka bumi, lalu dikirimkan ke bumi dalam bentuk data digital, untuk kemudian
diolah menjadi citra atau gambar. Saat ini telah dibangun 25 stasiun bumi di
seluruh dunia untuk menerima dan merekam data Landsat maupun SPOT, satu di
antaranya adalah milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
di Pasar Rebo Jakarta (Soesilo, 1994).
Landsat-6 memuat sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) diluncurkan
pada bulan Februari 1993 tetapi mengalami kegagalan yang dikarenakan tidak
mencapai orbit dan jatuh ke laut (Purwadhi, 2001).
Selanjutnya Landsat-7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Landsat-7
memuat sensor ETM+ dan memiliki 8 band. Perbedaan antara Landsat-7 dengan
Landsat generasi sebelumnya adalah adanya tambahan 1 band pankromatik dan
perubahan sistem perekaman pada band 6 beserta resolusinya. Band pankromatik
memiliki resolusi 15 m dan band 6 memiliki resolusi 60 m, sedangkan sistem
perekaman band 6 dibedakan menjadi dua yaitu low gain dan high gain.
Perekaman sistem low gain ditujukan untuk analisis laut, sedangkan high gain
untuk analisis darat (Asriningrum, 2002). Landsat-7 disebut juga Landsat ETM+.
Keunggulan utama pada Landsat-7 dibandingkan dengan generasi
sebelumnya adalah mempunyai resolusi spektral 8 band, resolusi radiometrik 8
bit, resolusi temporal 16 hari, dan resolusi spasial 30 m x 30 m (untuk band
visible, near infrared, dan midlle infrared), 60 m x 60 m (untuk band thermal)
dan 15 m x 15 m (untuk band pankromatik) (Purwadhi, 2001).
14

Dalam menjalankan kerjanya, Landsat menggunakan sensor-sensor yang


dapat merekam kenampakan permukaan bumi dari angkasa. Setiap sensor
memiliki kemampuan memisahkan setiap objek yang disebut resolusi.
Menurut Swain dan Davis, 1978, dalam Asriningrum, 2002, resolusi adalah
kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang
secara spasial berdekatan atau yang secara spektral mempunyai kemiripan. Dalam
pengolahan citra ada empat macam resolusi yang penting, yaitu meliputi resolusi
spektral, resolusi spasial, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal.
Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk
membedakan informasi (objek) berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya
(Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002).
Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi
oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002).
Semakin kecil ukuran objek yang dapat terdeteksi, berarti resolusinya semakin
halus atau semakin tinggi.
Resolusi radiometrik adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan sensor
untuk mencatat respon spektral objek. Kemampuan ini dikaitkan dengan
kemampuan koding (coding), yaitu pengubahan intensitas pantulan spektral
menjadi angka digital dan dinyatakan dalam bit (Danoedoro, 1996, dalam
Asriningrum, 2002).
Resolusi temporal adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan suatu
sistem untuk merekam ulang daerah yang sama dengan satuan hari atau jam
(Asriningrum, 2002). Landsat ETM+ memiliki resolusi temporal 16 hari, ini
berarti bahwa sistem ini secara normal akan merekam ulang daerah yang sama
setiap 16 hari sekali.
Karakteristik Landsat ETM+ ditunjukkan pada Tabel 3, sedangkan
karakteristik masing-masing band disajikan pada Tabel 4. Band atau kanal
merupakan serangkaian nilai file data dari bagian tertentu spektrum
elektromagnetik dari reflektan atau emisi panas (biru, merah, hijau, inframerah
dekat, inframerah termal, dsb). Dengan semakin meningkatnya jumlah band maka
akan semakin banyak memberikan keleluasaan untuk melakukan berbagai fusi
15

data untuk mendapatkan lebih banyak informasi disesuaikan dengan bidang


aplikasinya.
Landsat merupakan data penginderaan jauh yang memiliki cakupan yang
luas dan kualitas resolusi spasial yang semakin membaik dari waktu ke waktu.
Karakteristik ini menguntungkan untuk tujuan analisis geomorfologis karena
dengan menggunakan satu liputan (scene) data dapat di peroleh kenampakan
bentang lahan secara utuh, sehingga sangat membantu untuk analisis morfologi,
morfogenesis, dan morfokronologi bentuklahan secara komposit.(Asriningrum,
2002).

Tabel 3. Karakteristik Landsat ETM+


Tipe Spesifikasi
Karakteristik Orbit :
Ketinggian 705 Km
Inklinasi 98,2
Orbit Sinkron matahari hampir polar
Melintas ekuator 09.30 waktu setempat
Periode 99 menit
Periode ulang 16 hari
Karakteristik Teknik Sensor :
Tipe penyiam Opto-mechanical
Resolusi spasial 15/30/60 m
Resolusi radiometrik 8 bit (256 level)
Panjang gelombang 0,45-12,5  m
Jumlah band 8
Liputan 183 x 170 Km
Lebar liputan 183 Km
Stereo Tidak
Dapat deprogram (programmable) Ya
Sumber: EROS Data Center (1995), dalam Asriningrum (2002).

2.8.Klasifikasi Bentuklahan (Landform) dan Penutup Lahan (Landcover)/


Penggunaan Lahan (Landuse)
Bentuklahan dan penggunaan lahan dipermukaan bumi ini sangat beragam
sehingga untuk dapat menggambarkannya secara spasial perlu dilakukan
klasifikasi untuk menyederhanakan bentuklahan dan penggunaan lahan tersebut.

2.8.1. Klasifikasi Bentuklahan (Landform)


Klasifikasi bentuklahan didasarkan pada kesamaan sifat dan karakteristik
bentuklahan. Beberapa sifat dan karakteristik bentuklahan yang digunakan adalah:
16

(1) konfigurasi permukaan (mencangkup: topografi dataran, berombak,


bergelombang, perbukitan, pegunungan, dan ekspresi topografi yang menekankan
pada ukuran seperti kamiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng, beda
tinggi/relief, bentuk lembah dan sebagainya), (2) proses geomorfologis yang
mengakibatkan terjadinya bentuklahan, dan (3) struktur geologi dan jenis
batuan/material.

Tabel 4. Karakteristik Band Landsat ETM+

Panjang Resolusi
Band Gelombang Spasial Karakteristik
(µm) (m)
Penetrasi maksimum pada air berguna
untuk pemetaan bathimetri pada air
1 (biru) 0,450-0,515 30
dangkal. Berguna untuk pembedaan antara
tanah dan vegetasi.
Sesuai untuk mengindera puncak pantulan
2 (hijau) 0,525-0,605 30 vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan
pertumbuhan tanaman.
Sesuai untuk membedakan absorbs klorofil
3 (merah) 0.630-0,690 30 yang penting untuk membedakan tipe
vegetasi.
Berguna untuk menentukan kandungan
4 (inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis
0,750-0,900 30
dekat) pantai serta membedakan antara tanaman-
tanah dan lahan-air.
Menunjukkan kandungan kelembaban
5 (inframerah tanah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis.
1,550-1,750 30
tengah I) Baik untuk kekontrasan antara tipe
vegetasi.
Berguna untuk mendeteksi gejala alam
6 (inframerah yang berhubungan dengan panas. Citra
10,40-12,50 60
termal) malam hari berguna untuk pemetaan termal
dan untuk perkiraan kelembaban tanah.
Sama dengan absorbs band yang
disebabkan oleh ion hidroksil dalam
mineral. Rasio antara band 5 dan 7 berguna
7 (inframerah
2,090-2,350 30 untuk pemetaan perubahan batuan secata
tengah II)
hidrotermal yang berhubungan dengan
endapan mineral dan sensitive terhadap
kandungan kelembaban vegetasi.
Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat
8 (pankromatik) 0,520-0,900 15
untuk identifikasi objek lebih detail.
Sumber: EROS Data Center (1995), dalam Asriningrum (2002).
17

Beberapa klasifikasi bentuklahan yang dapat diterapkan di Indonesia antara


lain menurut Thornbury (1954), Verstappen dan Van Zuidam (1969), dan
Desaunettes J.R (1977).

a. Klasifikasi menurut Thornbury (1954), dalam bukunya “Principles of


Geomorphology”
Dasar klasifikasi yang digunakan adalah unsur-unsur pembentuk
bentuklahan, yaitu: proses geomorfik, struktur geologi, relief, dan tingkatan hasil
proses.
Klasifikasi bentuklahan menurut Thornbury adalah: (1) bentuklahan fluvial,
(2) bentuklahan denudasional, (3) bentuklahan struktural, (4) bentuklahan angin,
(5) bentuklahan karst, (6) bentuklahan gleser, (7) bentuklahan marin (pantai dan
dasar lautan), (8) bentuklahan gunung api, dan (9) bentuklahan pseudovulkanik.

b. Klasifikasi menurut Verstappen dan Van Zuidam (1969), dalam bukunya


“ITC System of Geomorphological Survey”
Klasifikasi yang digunakan adalah atas dasar genetik. Klasifikasinya
mencangkup: (1) bentuklahan asal struktural, (2) bentuklahan asal vulkanik, (3)
bentuklahan asal denudasional, (4) bentuklahan asal fluvial, (5) bentuklahan asal
marin, (6) bentuklahan asal glasial, (7) bentuklahan asal eolian, dan (8)
bentuklahan asal solusional.

c. Desaunettes J.R (1977) dalam bukunya “Catalogue of Landforms for


Indonesia (Interim Paper)”
Dasar klasifikasi yang digunakan adalah hasil dari proses pelapukan dan
erosional yang bekerja pada berbagai batuan yang berbeda-beda.
Klasifikasi bentuklahan menurut Desaunettes adalah: (A) sistem alluvial,
(B) sistem marin, (P) sistem dataran, (H) sistem perbukitan, (M) sistem plato dan
pegunungan, (V) sistem vulkanik, (K) sistem karst, dan (X) sistem lain.
18

2.8.2. Klasifikasi Penutup Lahan (Landcover)/Penggunaan Lahan (Landuse)


Klasifikasi penutup/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan
penutup/penggunaan lahan dalam penyajian data spasial dari penggunaan citra
penginderaan jauh.
Menurut Suharyadi (1996), secara teoritis klasifikasi penutupan
/penggunaan lahan yang dibangun harus mempertimbangkan beberapa kriteria
sebagai berikut: tujuan survei, skala peta, dan kualitas data penginderaan jauh
yang digunakan sebagai sumber utama dalam pemetaannya.
Klasifikasi penutup/penggunaan lahan dibuat oleh instansi atau penulis
dengan memfokuskan pada klasifikasi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Beberapa klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibuat berdasarkan
kebutuhan masing-masing instansi.

a) Klasifikasi Penutup/penggunaan Lahan Menurut Badan Pertanahan


Nasional ( 1977)
Badan Pertanahan Nasional membagi wilayah perdesaan dan perkotaan
sebagai dasar klasifikasi penggunaan lahan. Untuk wilayah perdesaan dirinci lagi
berdasarkan skala peta. Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan skala besar dan
skala sedang bukan merupakan rincian dari klasifikasi penggunaan lahan skala
kecil. Jadi beberapa kategori kelas penggunaan lahan pada klasifikasi skala besar
dan sedang tidak terdapat pada kategori kelas penggunaan lahan skala kecil.

b) Klasifikasi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan untuk Indonesia


Menurut Malingreau (1981)
Sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan menurut Malingreau
merujuk pada kombinasi sistem psysiogonomik dan sistem fungsional. Sistem
klasifikasi yang dibangun merupakan sistem klasifikasi bertingkat, dengan empat
tingkat klasifikasi.

c) Klasifikasi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan Menurut United


States Geologi Survey (USGS)
Sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibangun oleh USGS
merupakan salah satu klasifikasi yang banyak dirujuk oleh para pengguna peta
penggunaan lahan. Sistem klasifikasi ini dikembangkan dengan menggunakan
19

citra penginderaan jauh sebagai sumber data dalam pemetaannya. Sistem


klasifikasi USGS merupakan sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang
berjenjang, yaitu dari tingkat I (umum) hingga tingkat IV (rinci).

d) Klasifikasi Penutup/penggunaan Lahan Menurut Regional Physical


Planning Programme for Transmigration (RePPPRoT)
Klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibuat oleh RePPPRoT adalah
untuk evaluasi lahan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh sebagai
sumber utama datanya dan peta penutup/penggunaan lahan yang dihasilkan pada
skala 1 : 50.000.

e) Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Neraca Sumber Daya Alam


Spasial Daerah (NSSAD)
Klasifikasi penggunaan lahan yang dibangun untuk keperluan Neraca
Sumberdaya Alam Spasial Daerah merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang
diarahkan untuk pengelolaan sumberdaya alam. Karena sifatnya untuk
pengelolaan sumberdaya alam, maka penekanannya pada kategori penggunaan
lahan yang terkait dengan sumberdaya alam.

f) Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Kardono Darmoyuwono


Klasifikasi penggunaan lahan yang dibangun oleh Kardono Darmoyuwono
merupakan klasifikasi yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan di
Indonesia. Klasifikasi ditekankan untuk wilayah perdesaan dan pada skala kecil.
Klasifikasi yang dibangun merupakan sistem klasifikasi tunggal. Dalam sistem
klasifikasi ini dilengkapi dengan simbol area untuk penggambaran pada peta.
20

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember
2008. Lokasi Penelitian adalah di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Penelitian ini
diawali dengan pengumpulan data dan dilanjutkan dengan analisis di bagian
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

3.2. Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas citra satelit,
peta-peta, dan seperangkat komputer yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5
dan Tabel 6.

Tabel 5. Data dan Peta yang digunakan dalam Penelitian

No. Nama Bahan Spesifikasi Skala


Citra satelit Landsat-ETM+ tanggal 06 Juli 2001 dalam liputan
1.
(scene) Path/Row 123/64 wilayah Kota Cilegon
Peta Topografi wilayah Kota Cilegon tahun 1999 lembar
2. 1 : 25.000
Tamansari, Anyer, Bojonegara, dan Cilegon.
3. Peta Administrasi wilayah Kota Cilegon 1 : 25.000
4. Peta Geologi tahun 1991 lembar Serang dan Anyer 1 : 100.000
5. Peta Kawasan Hutan tahun 1999 lembar Jawa Barat 1 : 250.000
6. Peta Jenis Tanah Kota Cilegon tahun 2000
Peta Kedalaman Efektif Tanah dan Tekstur Tanah wilayah Kota
7.
Cilegon tahun 2000
Peta pendukung: Peta sungai dan peta jalan wilayah Kota
8. 1 : 25.000
Cilegon tahun 1999
9. Data Curah Hujan Kota Cilegon tahun 2002-2006
21

Tabel 6. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian

Nama Alat
No. Pengolahan Data
Survei
Hardware Software
1. Seperangkat komputer ER Mapper 6,4 GPS
2. Scanner Erdas Imagine 8,5 Clino m
3. Printer Arc View 3,3 Bor tanah
4. Panavue Alat tulis
5. Microsoft Word 2007
6. Microsoft Exel 2007

3.3. Metode Penelitian


Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan dan
pengolahan citra (data dasar), (2) tahap interpretasi citra, (3) pengecekan lapang,
(4) tahap analisis hasil, dan (5) penyajian hasil. Metode penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.

3.3.1. Tahap Persiapan Data dan Pengolahan Citra


Tahap persiapan data meliputi pengumpulan data primer maupun data
sekunder yang jumlah dan jenisnya sesuai dengan param kriteria lahan kritis yang
digunakan. Pembuatan peta kerja untuk melakukan cek lapang (survey) melalui
persiapan data dasar berupa citra Landsat ETM+ dan pengolahan citra.
Tahap pengolahan citra Landsat ETM+ meliputi: koreksi geometrik,
pemotongan (cropping) citra, fusi band dan penajaman yang mencakup fusi
multispektral dan fusi multispasial, dan penentuan jenis citra komposit.

a) Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik atau rektifikasi bertujuan memperbaiki distorsi
geometrik sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan koordinat seperti
yang ada pada peta. Koreksi geometrik ini dapat dilakukan dengan cara koreksi
citra yang belum terkoreksi ke peta digital (image to map geo-correction).
Koreksi geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi Ground Control
Point (GCP) atau titik ikat yang mudah ditentukan seperti perumahan kecil atau
bangunan yang terisolasi yang dibuat merata pada seluruh citra. Akurasi yang baik
ditunjukkan oleh nilai Root Mean Square Errorr (RMS-error) yang sangat kecil
22

mendekati nol atau kurang dari 0,5. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak
dilakukan koreksi geometrik karena citra yang ada sudah terkoreksi secara
sistematis.

b) Pemotongan (Cropping) Citra


Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan daerah penelitian dengan
maksud untuk dapat dilakukan pengolahan data yang lebih terfokus dan lebih
terinci pada daerah tersebut. Pada pemotongan citra ini dilakukan berdasarkan
posisi koordinat yang terdapat di peta topografi dengan proyeksi UTM (Universal
Transfer Mercator).

c) Fusi Band dan Penajaman Citra


Fusi band adalah penggabungan berbagai band yang terdapat pada Landsat
ETM+. Fusi band dilakukan dalam dua bentuk, yaitu fusi multispektral dan fusi
multispasial.

i) Fusi Multispektral dan Penajaman Spektral


Fusi multispektral adalah penggabungan kombinasi antar band yang
memiliki resolusi spektral berbeda dan resolusi spasial sama. Dalam citra Landsat
ETM+, band-band yang digunakan adalah band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang masing-
masing memiliki resolusi spasial 30 m. Untuk band 6 dan band 8 tidak digunakan
dalam fusi ini karena memiliki resolusi spasial yang berbeda, masing-masing 60
m dan 15 m.
Fusi multispektral dilakukan dengan pemilihan kombinasi band terbaik
dengan param Optimum Index Factor (OIF) yang dikembangkan oleh Chaves.
Nilai OIF secara statistik menghitung pembagian antara jumlah standar deviasi
nilai-nilai spektral pada tiga band dengan jumlah nilai absolut koefisien korelasi
antara tiap dua dari tiga band. Untuk memperoleh nilai OIF maka digunakan
persamaan sebagai berikut: 3
∑ Sk
K=1
OIF = 3
∑ Abs (rj)
i=1

Keterangan: Sk : Standard deviasi nilai-nilai spektral pada band


Abs (rj) : Nilai absolut koefisien antara tiap dua dari tiga band
23

Dari perhitungan nilai OIF terdapat 20 kombinasi yang kemudian


ditentukan urutan nilai OIF tertinggi untuk dipilih sebagai kombinasi band
terbaik. Namun Danoerdoro (1996) mengemukaan bahwa bentuk kombinasi yang
memakai band 1 sebaiknya tidak digunakan untuk interpretasi objek karena band
1 atau spektrum biru mengandung hamburan yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan variasi nilai spektral atau meningkatkan nilai OIF. Dalam
penelitian Asriningrum (2002), perhitungan nilai OIF tetap menggunakan 6 band
(1, 2, 3, 4, 5, dan 7) namun kombinasi yang dipilih adalah kombinasi band yang
tidak menggunakan band 1 dan memiliki urutan nilai OIF tertinggi.
Dari hasil pemilihan satu kombinasi band terbaik, selanjutnya dilakukan
kombinasi kembali yaitu dengan cara dibolak-balik urutannya sehingga akan
didapatkan 6 kombinasi. Keenam kombinasi ini bisa berbeda dalam warna, namun
jumlah warnanya akan tetap sama, sehingga pengubahan susunan kombinasi tidak
akan mengubah kedetilan informasi.
Penajaman spektral atau kontras adalah manipulasi citra dengan
merentangkan histogram untuk mendapatkan kecerahan citra. Penajaman spektral
citra dilakukan untuk tahap lanjutan setelah pembuatan fusi band karena
penajaman diaplikasikan pada model-model fusi band yang sudah terpilih.
Penajaman citra meliputi semua operasi yang menghasilkan citra “baru” dengan
kenampakan visual dan karakteristik spektral berbeda.
Proses penajaman spektral dilakukan dengan memakai model penajaman
yang ada pada perangkat lunak ER Mapper 6.4, yang meliputi transformasi linear,
transformasi autoclip, transformasi level-slice, equalisasi histogram, equalisasi
gaussian, transformasi logaritmik, transformasi exponential, dan transformasi
histogram only. Semua transformasi ini menghilangkan 0,5% dikanan dan kiri
histogram namun masing-masing algoritma bentuk transformasinya berbeda. Pada
tahap ini beberapa jenis penajaman diamati dan kemudian dipilih jenis penajaman
yang terbaik.

ii) Fusi Multispasial dan Penajaman Spasial


Fusi multispasial merupakan penggabungan band-band yang memiliki
resolusi spasial berbeda. Pada landsat ETM+ dilakukan penggabungan antara citra
multispektral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) yang memiliki resolusi spasial 30 m
24

dengan pankromatik (band 8) yang memiliki resolusi spasial 15 m, sehingga hasil


akhirnya akan didapat citra baru yang memiliki resolusi spasial 15 m.
Fusi multispasial dilakukan dengan menggunakan kombinasi band yang
sudah terpilih.
Metode fusi multispasial yang akan digunakan dan dibandingkan dalam
penelitian ini adalah menggunakan metode Brovey dan metode RGBI yang
kemudian dipilih salah satu metode yang terbaik untuk kenampakan bentuklahan
dan penutup/penggunaan lahan.
Metode Brovey adalah metode fusi citra yang digunakan untuk
memepertajam kenampakan air dan menampilkan dataran lebih alami. Metode
Brovey bekerja dengan cara membagi band yang digunakan dalam lapisan warna
tertentu dengan jumlah dari ketiga band yang digunakan dalam tiga lapisan warna
(RGB) dan hasilnya dikalikan dengan citra pankromatik. Untuk dapat
mengerjakan metode Brovey pada perangkat lunak ER Mapper maka digunakan
rumus: R = r/(r+g+b)*l, G = g/(r+g+b)*l, B = b/(r+g+b)*l. Dimana : r, g, dan b
adalah band terseleksi dan l adalah band pankromatik (band 8).
Metode RGBI adalah metode fusi yang digunakan untuk analisis visual
maupun untuk menggabungkan data penginderaan jauh yang berbeda jenis yaitu
ke dalam sistem HSI (Hue-Saturation-Intensity). Dalam metode ini terdapat
rangkaian proses dari RGB-HSI-RGB. Dimana masing-masing saluran R, G, dan
B diubah dalam I, H, dan S dan kemudian dilakukan algoritma balik dari masing-
masing I, H, dan S ke dalam R, G, dan B. citra pankromatik atau band 8
ditempatkan pada saluran intensity sehingga nanti akhirnya didapatkan citra yang
baru dengan bentuk RGB. Metode RGBI berguna untuk meningkatkan
kemampuan interpretasi citra komposit multispektral sehingga menghasilkan data
baru yang warna kompositnya meningkat.
Penajaman spasial atau filtering bertujuan untuk menghaluskan,
menonjolkan, dan mempertajam detail permukaan bumi. Proses penajaman spasial
ada beberapa macam, namun dalam penelitian ini digunakan tiga jenis penajaman
spasial, meliputi low pass filter, high pass filter, dan edge detection filter. Hasil
dari proses penajaman ini dipilih yang terbaik untuk kenampakan bentuklahan.
25

d) Penentuan Jenis Citra Komposit


Citra komposit dibuat untuk mendapatkan tampilan visual citra yang
optimal untuk identifikasi bentuklahan dengan tujuan menonjolkan detail bentuk
permukaan bumi dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan
penajaman, sehingga aspek-aspek morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi
bentuklahan diharapkan dapat diidentifikasi. Kemudian dilakukan interpretasi
bentuklahan secara visual pada monitor komputer dengan menggunakan unsur-
unsur interpretasi.
Pemilihan kombinasi band terbaik, fusi band, penajaman citra, dan
penentuan jenis citra komposit pada penelitian ini mengadopsi pada hasil
penelitian Asriningrum (2002) dalam tesis yang berjudul Studi Kemampuan
Landsat ETM+ untuk Identifikasi Bentuklahan (Landform) di Daerah Jakarta-
Bogor.

3.3.2. Tahap Interpretasi Citra


Data penginderaan jauh dapat berupa data numerik maupun data visual.
Oleh karena itu interpretasi datanya dilakukan secara digital bagi data numerik
dan secara manual bagi data visual.
Interpretasi citra dilaksanakan untuk identifikasi, delimitasi, dan delineasi
bentuklahan. Identifikasi adalah mengenali bentuklahan dan memberikan nama
bentuklahan. Delimitasi adalah mencari dan mengenali batas antar bentuklahan
pada citra, sedangkan delineasi adalah menarik garis batas antar bentuklahan
tersebut (sebagai hasil delimitasi) untuk disajikan kedalam bentuk peta. Ketiganya
dilakukan dengan mencangkup aspek-aspek morfologi, morfogenesis,dan
morfokronologi.

a) Interpretasi Secara Digital


Interpretasi data penginderaan jauh secara digital pada dasarnya berupa
klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi dapat dilakukan
berdasarkan berbagai cara statistik. Tiap kelas kelompok piksel tersebut kemudian
dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi.
26

• Klasifikasi Citra
Dalam interpretasi citra secara digital dilakukan klasifikasi citra yang
bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penutup/penggunaan lahan dengan
mengelompokkan piksel-piksel dari citra.
Klasifikasi dilakukan secara terbimbing (supervised) dengan
menggunakan metode Klasifikasi Kemungkinan Maksimum (Maximum
Likelihood Classification). Klasifikasi ini dilakukan setelah diperoleh daerah
contoh (training site).
Ketelitian klasifikasi dinilai dari Nilai Kappa dan Matrik Konfusi dengan
ketelitian minimal 85%.
Klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini mengacu pada hasil
rekomendasi klasifikasi penutup/penggunaan lahan untuk pemetaan tematik dari
UGM dan Bakosurtanal (2000).

b) Interpretasi Visual
Interpretasi data penginderaan jauh secara visual dilakukan melalui
interpretasi dan klasifikasi kenampakan asli dari citra.
Pada tahap ini dilakukan interpretasi citra dengan memasukkan kriteria
identifikasi bentuklahan, penutup/penggunaan lahan, dan kunci interpretasi
penginderaan jauh.
Interpretasi digital dan visual dilakukan untuk menghasilkan peta
bentuklahan sementara, peta penutup/penggunaan lahan sementara, dan peta lahan
kritis sementara. Peta lahan kritis ini dibuat berdasarkan klasifikasi menurut
Sitorus (2004), yang mencangkup: lahan potensial kritis, lahan agak kritis, lahan
kritis, dan lahan sangat kritis. Peta-peta tersebut dibuat untuk dapat digunakan
pada saat pengecekan lapang.

3.3.3. Pengecekan Lapang (survey)


Pengecekan lapang bertujuan untuk mengetahui kebenaran penutupan/
penggunaan lahan di lapangan, mengidentifikasi lahan kritis di lapang, analisis
fisik tanah di lapangan (kedalaman efektif, tekstur, kemiringan lereng, dll), serta
manajemen pengelolaan dan tindakan konservasi.
27

Tahap ini dilakukan dengan mengambil titik-titik sampel di peta,


selanjutnya dilakukan pengecekan lapang dengan Global Possition System (GPS)
dilapangan.

3.3.4. Tahap Analisis Hasil


Pada tahap ini dilakukan analisis hubungan antara bentuklahan,
penutup/penggunaan lahan, dan lahan kritis dengan memasukkan param-param
penentu kriteria lahan kritis sehingga dapat menyajikan peta lahan kritis dan
rekomendasi rehabilitasi lahan kritis.

3.3.5. Penyajian Hasil


Seluruh rangkaian penelitian ini digambarkan dalam suatu diagram alir
seperti yang disajikan pada gambar berikut:
28

Citra Landsat ETM+ Citra Komposit


Fusi dan Fusi dan terbaik untuk studi
Pemotongan penajaman penajaman geomorfologi dan
Pengolahan Citra
Citra Multispektral Multispasial penggunaan lahan
Pengolahan Citra

Interpretasi
Citra
Digital Visual

Landuse Klasifikasi Citra Landform

Identifikasi Lahan Kritis


Peta Landuse Sementara Peta Landform Sementara

Kriteria identifiasi
- Landform
Visual
- Landuse
- Kunci interpretasi

Peta Lahan Kritis Sementara


Interpretasi Citra

Peta kerja :
Pelaksanaan survey :
- Registrasi
Persiapan Administrasi - Tentukan lokasi (GPS)
- Digitasi Pengecekan Lapang - Tentukan titik pengeboran
data lokasi
- Overlay tanah
- Analisis fisik tanah

Pengecekan Lapang

Analisis Hasil

Identifikasi Hasil

Identifikasi Lahan Kritis Pemetaan Lahan Kritis

Kriteria Lahan Kritis


Peta Landuse Peta Landform

Penggunaan Kemiringan Tingkat Manajemen


Analisis hubungan antara landform,
Lahan Lereng Erosi Lahan
landuse, dan lahan kritis

Analisis Hasil

Peta Lahan Kritis

Rekomendasi Rehabilitasi Lahan Kritis

Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian


29

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Kota Cilegon terletak pada garis meridian 50 52’ 24” – 60 04’ 07” Lintang
Selatan (LS) dan di antara 1050 54’ 05” – 1060 05’ 11” Bujur Timur (BT). Secara
administratif Kota Cilegon termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Serang
Propinsi Banten berbatasan dengan:
 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara (Kabupaten
Serang).
 Sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda.
 Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Anyer dan Kecamatan
Mancak (Kabupaten Serang).
 Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu (Kabupaten
Serang).

Berdasarkan administrasi Bakosurtanal tahun 1999, Kota Cilegon memiliki


luas ±18.002 Ha terbagi atas 8 Kecamatan (Cilegon, Cibeber, Ciwandan,
Pulomerak, Purwakarta, Jombang, Ciwandan, dan Citangkil) yang terdiri atas 22
Desa dan 21 Kelurahan.
Karakteristik fisik Kota Cilegon mencakup gambaran dasar mengenai
keadaan topografi, morfologi, kemiringan lereng, geomorfologi, struktur geologi,
jenis tanah, tekstur tanah, hidrologi, kondisi iklim, dan penggunaan lahan.

4.1. Keadaan Topografi, Morfologi, dan Kemiringan Lereng


Topografi di Wilayah Kota Cilegon pada umumnya termasuk landai dengan
ketinggian bervariasi dari 1 m sampai 250 mdpl.
Secara umum keadaan morfologi Kota Cilegon terbagi atas tiga kelompok
besar, yaitu: morfologi dataran (0-50 mdpl di timur dan barat kota), morfologi
perbukitan landai-sedang (minimum 50 mdpl di tengah kota), dan morfologi
perbukitan terjal (maksimum 551 mdpl di utara kota Kecamatan Pulomerak
wilayah puncak Gunung Gede dan sebagian kecil wilayah selatan kota).
30

Gambar 2. Peta Daerah Penelitian


31

Kemiringan lereng secara global di wilayah Kota Cilegon antara <=8%


(terletak di bagian barat, tengah hingga timur kota), kemiringan lereng 8-15%
(terletak di bagian selatan kota), dan kemiringan lereng 25-40% (terletak di utara
kota).

4.2. Geomorfologi
Berdasarkan kenampakan dari citra satelit Landsat ETM+ tahun 2001,
bentuklahan Kota Cilegon didominasi oleh bentuklahan Vulkanik dengan umur
batuan kuarter dan proses pembentukan secara tektonik. Secara umum daerah ini
dicirikan oleh adanya beberapa satuan bentang alam, yaitu: Satuan Perbukitan
bergelombang Rendah dan Satuan Dataran Rendah. Satuan bentang alam tersebut
adalah sebagai berikut:

a) Satuan Bentang Alam Perbukitan Bergelombang Rendah


Satuan ini menempati wilayah di bagian Utara, dicirikan oleh perbukitan
bergelombang rendah dengan ketinggian maksimum sekitar 1.000 m. Secara
umum permukaan dataran dari satuan ini adalah datar sampai landai, torehan
sungai dangkal dan lebar satuan ini disusun oleh produk erupsi dan hasil
rombakan dari gunungapi-gunungapi pada satuan pegunungan dari kenampakan
bentang alamnya, batuan yang menyusunnya relatif lebih lunak atau bersifat lepas
yang terdiri atas tuff dan breksi berbutir halus.

b) Satuan Bentang Alam Dataran Rendah


Penyebaran satuan ini terdapat di hampir seluruh wilayah, sebagian besar di
dataran pantai Barat. Bentuk satuan ini berbeda dalam kenampakan yang sifatnya
sesuai dengan cara pembentukan dataran tersebut. Dataran alluvial sungai dan
pantai merupakan bentuk yang sangat umum terdapat di wilayah ini.
32

4.3. Struktur Geologi


Batuan yang tersingkap di Kota Cilegon terdiri atas batuan vulkanik dan
aluvium. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IWACO dan WASECO
pada 1990, sebaran batuan yang terdapat di Kota Cilegon terdiri atas lava, tuff,
breksi, dan endapan sungai. Jenis batuan tersebut mempunyai sebaran sebagai
berikut:
1. Endapan pantai di bagian Barat Daya
2. Endapan sungai berada di antara sebaran lava/breksi Gunung Gede dan
breksi/tuff Gunung Gede
3. Breksi dan Lava Gunung Tukung berada di bagian Barat Daya
4. Breksi dan Tuff Gunung Gede tersebar di bagian tengah sampai Barat
5. Lava dan Breksi Gunung Gede tersebar di bagian Utara
6. Tuff Gunung Danau berada di bagian Timur dan
7. Breksi dan Tuff Gunung Cidano tersebar di bagian tengah, barat, dan
selatan.

4.4. Jenis Tanah, Tekstur Tanah dan Kedalaman Efektif Tanah


Keadaan tanah di Kota Cilegon merupakan hasil pelapukan batuan vulkanik
yang berasal dari Gunung Gede.
Berdasarkan klasifikasi Pusat Penelitian Tanah terdapat tiga jenis tanah di
Kota Cilegon, yaitu Alluvial, Latosol, dan Regosol. Jenis tanah ini memiliki
beberapa kelas tekstur, diantaranya: Lempung Berliat, Lempung Berpasir,
Lempung Liat Berpasir, Liat Berpasir, dan Pasir. Kedalaman efektif tanah pada
wilayah ini dapat dibagi menjadi empat kelas yaitu: sangat dangkal (<30 cm),
dangkal (30-60 cm), dalam (60-90 cm), dan sangat dalam (>90 cm).
Persebaran jenis tanah di Kota Cilegon dapat dilihat pada Gambar 4.
33

Gambar 3. Peta Geologi Daerah Penelitian


34

Gambar 4. Peta Jenis Tanah Daerah Penelitian


35

4.5. Hidrologi
Untuk sebaran air permukaan, di wilayah Kota Cilegon terdapat beberapa
sungai kecil (kali). Secara umum dapat disebutkan kali-kali yang terdapat di Kota
Cilegon adalah: Kali Kahal, Kali Tompos, Kali Sekong, Kali Gayam, (debit air 36
liter/detik), Kali Medaksa, Kali Sangkanila, Kali Cikuasa, Kali Sumur Wuluh,
Kali Gerem, Kali Grogol, Kali Cijalumpong, Kali Cibeber (3.000 liter/detik), Kali
Kedungingas (14.000 liter/detik), Kali Cidanau (2.000 liter/detik), Kali Krenceng
(5 liter/detik) dan Kali Cipayurugan.
Dari sejumlah kali tersebut, yang sudah dimanfaatkan untuk kegiatan
komersial adalah Kali Cidanau. Aliran air Kali Cidanau ini di daerah Krenceng
ditampung dalam sebuah waduk (Waduk Krenceng/Waduk Krakatau Steel) untuk
selanjutnya diolah dan dimanfaatkan untuk kebutuhan air industri serta untuk
pelayanan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga.

4.6. Kondisi Iklim


Kota Cilegon memiliki iklim tropis dengan suhu berkisar antara 21,10C-
34,10C. Kelembaban udara rata-rata bulanan berkisar antara 73%-86%. Tekanan
udara di lokasi penelitian berkisar antara 1007,5 mb sampai dengan 1010.7 mb.
Keadaan curah hujan di Kota Cilegon rata-rata sebanyak 12 hari dengan
curah hujan rata-rata 114 mm per bulan (Tabel Lampiran 1). Bila ditinjau dari
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, tipe iklim Kota Cilegon termasuk tipe C (agak
kering) dan memiliki pola curah hujan pada wilayah/pola IIA yang mempunyai
curah hujan 1.000-2.000 mm/tahun dengan pola tunggal (simple wave) dan curah
hujan terendah pada bulan Juli/Agustus. Pada wilayah ini jumlah curah hujan
secara periodik terkonsentrasi pada suatu periode tertentu. Peta pola curah hujan
dapat dilihat pada Gambar 5.

4.7. Penggunaan Lahan


Lahan sebagai basis bagi aktivitas manusia selalu dihadapkan pada gejala
pergeseran fungsi. Pada tahun 2004 penggunaan lahan (landuse) di Kota Cilegon
pada dasarnya merupakan lahan pertanian, perumahan dan pemukiman,
perkantoran, perdagangan dan jasa, industri, kehutanan, pariwisata dan lahan
penggunaan lainnya (BPS, 2006).
36

Kota Cilegon

Gambar 5. Peta Pola Curah Hujan Daerah Penelitian

4.8. Kependudukan
Jumlah penduduk Kota Cilegon dari tahun ke tahun mengalami pertambahan
yang semakin besar. Jumlah penduduk Kota Cilegon pada tahun 2006 sebesar
339.316 jiwa, dengan komposisi 176.276 laki-laki dan 163.440 perempuan,
dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,32% pertahun dan tingkat
kepadatan mencapai 1.936 jiwa/km2.
Situasi ketenagakerjaan di Kota Cilegon pada tahun 2006 menunjukkan
terjadinya peningkatan angkatan kerja dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Lebih dari separuh penduduk 10 tahun keatas bekerja di sektor perdagangan, hotel
dan restoran dan sektor industri pengolahan, masing-masing sebesar 27,74% dan
27,38%.
37

4.8.1. Pendidikan
Sarana pendidikan di wilayah Kota Cilegon terdiri dari pendidikan Taman
Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah
Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) , Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), dan Perguruan Tinggi (PT).
Penduduk di wilayah Kota Cilegon sebagian besar menamatkan
pendidikan pada tingkat SMA dan sedikit penduduk yang tidak memiliki
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk 5 tahun ke atas
menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Kota Cilegon tahun 2006 adalah:
untuk tingkat pendidikan SD/MI sebesar 22,13%, SLTP/MTs sebesar 21,07%,
SMU/MA sebesar 25,31%, SMK sebesar 9,89%, D1/D2 sebesar 1,07%,
D3/Akademi sebesar 1,52%, D4/S1-Sarjana sebesar 3,53%, S2/S3 sebesar 0,52%,
dan untuk penduduk yang tidak mempunyai ijazah pendidikan sebesar 14,97%.

4.8.2. Perdagangan dan Industri


Kegiatan perdagangan di Kota Cilegon dicirikan dengan adanya
perdagangan tradisional dan modern. Perdagangan tradisional umumnya berupa
perdagangan pada pasar-pasar tradisional yang banyak tersebar di Kota Cilegon,
diantaranya Pasar Baru, Pasar Kelapa, Pasar Merak, dan Pasar Cigading. Adapun
kegiatan perdagangan modern lebih terkonsentrasi di sekitar pusat Kota Cilegon,
berupa pasar-pasar swalayan skala besar dan juga mall.
Jenis industri yang banyak didirikan di Kota Cilegon, secara umum dapat
dikategorikan ke dalam 3 jenis industri, yaitu industri baja, industri non baja, dan
industri kecil (home industry).

4.8.3. Sosial Ekonomi


Secara rill pertumbuhan ekonomi Kota Cilegon dapat dikaji melalui
perkembangan PDRB atas dasar harga konstan karena angka ini tidak dipengaruhi
oleh adanya perubahan harga. Pada tahun 2004 laju pertumbuhan ekonomi (LPE)
Kota Cilegon sebesar 7,21% atau lebih cepat 0,10 point dibandingkan
pertumbuhan tahun sebelumnya yang saat ini mencapai 7,11%.
38

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Seleksi Data Citra Landsat ETM+


Pengolahan Citra Landsat diawali dengan menggabungkan band-band
yang memiliki resolusi spasial sama; yaitu band 1, band 2, band 3, band 4, band 5,
dan band 7 dengan resolusi spasial 30 m. Masing-masing karakteristik band dapat
dilihat pada Tabel 3, sedangkan band 8 dengan resolusi spasial 15 meter
digunakan pada saat fusi multispasial. Dalam penelitian ini band 6 tidak
digunakan karena memiliki resolusi spasial yang rendah yaitu 60 m dan
karakteristik band 6 (infra merah thermal) adalah berhubungan dengan panas
objek di permukaan bumi. Penggabungan band pada citra ini dimaksudkan untuk
dapat mengolah citra secara utuh dengan melakukan seleksi fusi multispektral dan
seleksi fusi multispasial.
Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat-
ETM+ tanggal 06 Juli 2001 dalam liputan (scene) Path/Row 123/64 wilayah Kota
Cilegon, dengan posisi geografis 50 52’ 24” – 60 04’ 07” Lintang Selatan dan di
antara 1050 54’ 05” – 1060 05’ 11” Bujur Timur. Gambar citra Landsat wilayah
Kota Cilegon ini disajikan pada Gambar 6, sedangkan Gambar 7 disajikan untuk
dapat memperlihatkan kenampakan secara keseluruhan wilayah di sekitar Kota
Cilegon.

Gambar 6. Citra Landsat ETM+ Wilayah Kota Cilegon


39

Kota Cilegon

Kab Serang

Selat Sunda

Kab Serang Kab Serang

Gambar 7. Citra Landsat ETM+ Wilayah di sekitar Kota Cilegon.

5.1.1. Seleksi Fusi Multispektral


Seleksi fusi multispektral dalam penelitian ini dilakukan setelah
penggabungan band-band yang memiliki resolusi spasial sama dalam satu citra
kemudian dilakukan pemotongan citra berdasarkan batas koordinat daerah
penelitian yaitu pada wilayah Kota Cilegon. Seleksi fusi multispektral ini
dilakukan dengan melihat nilai Optimum Index Factor (OIF). Berdasarkan
perhitungan nilai OIF ini, seluruh wilayah daerah penelitian didapatkan hasil
bahwa nilai OIF tertinggi adalah berturut-turut pada fusi-fusi band 145, 147, 134,
124, dan seterusnya (Tabel 7).
40

Tabel 7. Nilai OIF Daerah Penelitian


Kombinasi OIF Kombinasi OIF
145 54.4136 247 23.4853
147 42.7857 347 21.1658
134 38.8017 235 20.3338
124 37.0217 257 19.6416
157 31.2448 137 19.1133
135 28.7847 457 18.2029
125 27.9163 127 17.9906
245 27.8345 357 17.9521
234 24.7241 237 14.6802
345 24.6394 123 13.3257

Pemilihan kombinasi band terbaik diambil dari fusi yang memiliki nilai
OIF tertinggi, akan tetapi fusi 145 tidak dipilih melainkan fusi 245 yang dipilih
sebagai kombinasi terbaik walaupun fusi 245 berada diurutan kedelapan. Fusi ini
dipilih karena band 1 memiliki hamburan spektral tinggi yang menaikkan nilai
OIF sehingga tidak dapat mewakili nilai spektral permukaan bumi sebenarnya.
Dari fusi terseleksi 245 ini selanjutnya dipilih warna komposit RGB-nya.
Terdapat 6 kombinasi dari 245 yaitu: 245, 254, 425, 452, 524, dan 542. Dari
keenam kombinasi tersebut dipilih tiga kombinasi yang kenampakannya paling
jelas dan paling kontras. Dari keenam kombinasi tersebut, fusi 254, 452, dan 542
terlihat lebih jelas dibandingkan tiga kombinasi yang lain. Kemudian dari ke tiga
kombinasi tersebut diseleksi kembali untuk mendapatkan citra dengan
kenampakan bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan yang paling jelas. Dari
proses penyeleksian akhirnya terpilih citra komposit untuk kenampakan
bentuklahan paling jelas, yaitu fusi multispektral 452 karena dapat menampilkan
detail bentuk permukaan bumi lebih baik. Untuk kenampakan
penutup/penggunaan lahan dipilih fusi multispektral 542 karena dapat
menampilkan warna natural dengan kontras warna paling tegas dan paling jelas
dalam menampilkan penutup/penggunaan lahan. Variasi komposit RGB dari fusi
245 dapat dilihat pada Gambar 8.
41

Gambar 8. Variasi Komposit dari Fusi 245 di Daerah Penelitian

Dalam penelitian ini, daerah yang diamati didominasi oleh bentuklahan


vulkanik. Berdasarkan penelitian Asriningrum (2002), daerah bentuklahan
vulkanik memiliki nilai OIF tertinggi pada fusi 345, sedangkan pada daerah
penelitian ini, fusi 345 berada di urutan ke 10. Hal ini dikarenakan pada daerah
penelitian ini memiliki bentuklahan yang beragam namun dominannya adalah
bentuklahan vulkanik sehingga pengaruh vulkanik sangat terlihat. Perbedaan hasil
nilai OIF juga dapat disebabkan oleh pengaruh kondisi atmosfer berupa awan,
bayangan awan, dan kabut, serta perbedaan penutupan lahan.
Menurut Asriningrum (2002), komposit terseleksi menonjolkan dua hal,
yaitu konfigurasi nilai spektral dengan ketajaman warna dan kontras warna, serta
detail kenampakan bentuklahan. Meskipun pada jenis tampilan memiliki warna
berbeda, namun sebenarnya memiliki variasi spektral yang sama. Citra komposit
RGB hasil fusi multispektal ini merupakan citra warna semu atau bukan warna
sebenarnya. Untuk membuat citra komposit warna sebenarnya dapat dilakukan
42

melalui fusi band 123 dengan memasukkan setiap band spektral tepat pada filter
merah, hijau, dan biru, sehingga merupakan komposit RGB 321.
Berdasarkan perhitungan nilai OIF pada daerah peneltian diperoleh bahwa
fusi band 123 memiliki nilai OIF terendah atau berada diurutan ke 20. Nilai OIF
untuk fusi band 123 juga menempati urutan ke 20 atau urutan terendah pada hasil
penelitian Asriningrum (2002) untuk daerah model dan verifikasi bentuklahan
marin, fluvial, struktural, dan vulkanik, sedangkan untuk bentuklahan karst berada
diurutan ke 19 (Tabel Lampiran 2), sehingga dari hasil tersebut dapat dikatakan
bahwa citra komposit warna semu memiliki tampilan yang lebih baik
dibandingkan dengan citra komposit warna sebenarnya.

5.1.2. Seleksi Penajaman Spektral


Seleksi penajaman spektral dilakukan setelah memperoleh hasil citra
komposit dari fusi multispektral, dalam hal ini dipilih fusi 542 sebagai kombinasi
band terbaik untuk kenampakan penutup/penggunaan lahan, sedangkan untuk
kenampakan bentuklahan dipilih 452 sebagai kombinasi band terbaik. Untuk
penajaman spektral di daerah penelitian yang didominasi bentuklahan vulkanik
ini, diperoleh hasil penajaman terbaik adalah dengan transformasi autoclip untuk
kenampakan bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan karena dapat
menampilkan warna lebih kontras dengan kenampakan relief untuk bentuklahan
yang lebih menonjol. Penajaman dengan transformasi autoclip ini cukup sulit
dibedakan dengan transformasi linear dan histogram only, tetapi akhirnya dapat
dibedakan karena transformasi autoclip dapat mengurangi munculnya lapisan
awan pada citra tersebut. Variasi penajaman spektral komposit RGB 542 untuk
penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
43

Gambar 9. Variasi Penajaman Spektral Komposit RGB 542 untuk


Penutup/penggunaan Lahan di Daerah Penelitian

5.1.3. Seleksi Fusi Multispasial dan Penajaman Spasial


Fusi multispasial dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode,
diantaranya adalah metode Brovey dan metode RGBI. Kedua metode ini
merupakan metode fusi yang sering digunakan. Fusi citra dalam penelitian ini
menggunakan citra Landsat ETM+ multispektral dan pankromatik. Citra landsat
ETM+ memiliki resolusi spektral 8 band, dimana band 1,2 ,3, 4, 5, dan 7 memiliki
resolusi spasial 30 m x 30 m, untuk band 6 memiliki resolusi spasial 60 m x 60 m,
dan untuk band 8 memiliki resolusi spasial 15 m x 15 m. Dalam penelitian ini
band 6 tidak digunakan karena fungsinya sebagai penginderaan jauh thermal tidak
sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Fusi multispasial dilakukan untuk menggabungkan citra multispektral
dengan citra pankromatik yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi agar
44

diperoleh citra yang memiliki resolusi spektral dan resolusi spasial yang lebih
tinggi. Dalam hal ini band 1, 2, 3,4, 5, dan 7 digabung dengan band 8 sehinggga
diperoleh citra baru dengan resolusi spasial 15 m dan memiliki kombinasi warna.
Hasil dari proses fusi multispasial ini di sajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Hasil Fusi Multispasial Citra Landsat ETM+


45

Penajaman spasial dengan pemfilteran dilakukan pada software ER


Mapper 6.4, dimana pada perangkat lunak tersebut terdapat beberapa jenis
penajaman spasial. Pada penelitian ini digunakan tiga cara penajaman yaitu: Low
Pass Filter (LPF), High Pass Filter (HPF), dan Edge Detection Filter (EDF).
Masing-masing cara penajaman tersebut terbagi menjadi beberapa algoritma.
Algoritma pada LPF adalah average 3x3, average 7x7, dan average diagonal.
Algoritma pada HPF adalah sharpen2, sharpen11, dan sharpedge. Dan algoritma
pada EDF adalah different, Gradien in the x detection, dan Gradien in the y
detection.
LPF digunakan untuk menghaluskan kenampakan citra, HPF digunakan
untuk menonjolkan perbedaan antar objek atau perbedaan nilai, kondisi, atau sifat
antar objek (Danoerdoro, 1996), dan EDF dipakai untuk menajamkan objek-objek
yang terletak disekitar tepi pada citra (ER Mapper, 1997).
Dari ketiga cara penajaman tersebut diperoleh hasil bahwa penajaman
spasial yang terbaik adalah dengan high pass filter, sharpen11 karena objek pada
citra terlihat lebih tajam dan perbedaan antar objek lebih jelas. Gambar 11
memperlihatkan hasil dari fusi multispasial metode Brovey dan RGBI high pass
filter, Sharpen11, sedangkan Gambar 12 memperlihatkan penajaman (filtering)
terhadap citra hasil fusi multispasial Brovey.
Analisis perbandingan metode Brovey dan RGBI dilakukan dengan
mengamati bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan pada citra. Pengamatan
bentuklahan untuk metode Brovey dan RGBI menggunakan citra komposit hasil
fusi multispektral yaitu komposit 452 dengan penajaman spasial HPF Sharpen11,
sedangkan untuk pengamatan penutup/penggunaan lahan menggunakan komposit
542 dengan penajaman spasial HPF Sharpen11. Perbandingan citra sebelum
dilakukan fusi dan citra setelah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil
analisis perbandingan kedua metode fusi tersebut akhirnya diperoleh yang terbaik
adalah Brovey untuk penutup/penggunaan lahan dan RGBI untuk bentuklahan,
sehingga kedua metode fusi tersebut digunakan untuk identifikasi dalam
penelitian ini.
46

Gambar 11. Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI dengan


Penajaman High Pass Filter, Sharpen 11

Hasil pengamatan bentuklahan dengan metode Brovey 4528 dan RGBI


4528 dengan penajaman High Pass Filter, Sharpen11 menghasilkan informasi
yang sangat detail. Tampilan warna pada citra yang pertama terlihat lebih cerah
dibandingkan dengan citra yang kedua. Namun pada citra RGBI dapat
menampilkan relief yang lebih kontras dibandingkan dengan citra Brovey 4528
dengan penajaman High Pass Filter, Sharpen11. Hal ini dikarenakan penggunaan
rumus yang berbeda pada masing-masing metode. Secara teknis, pada metode
Brovey, fusi citra Landsat ETM+ multispektral dan pankromatik dilakukan pada
perlapisan warna RGB dan diproses secara bersamaan karena citra pankromatik
digunakan untuk mengalikan hasil pembagian setiap band oleh jumlah ketiga band
dari tiap lapisan pada citra kompositnya, sehingga dapat menghasilkan citra yang
47

kontras secara spektral dan bagus untuk kenampakan alami lahan dan air.
Sedangkan pada metode RGBI proses fusi dilakukan terlebih dahulu dengan
mentransformasikan kombinasi tiga band (komposit RGB 452 atau 542) ke dalam
sistem Hue dan Saturasi, dan transformasi citra pankromatik ke dalam Intensity,
sehingga diperoleh nilai Hue, Saturasi, dan Intensity (HSI) yang dihitung
berdasarkan nilai RGB dari kombinasi tersebut, hasilnya kemudian ditransformasi
kembali ke dalam RGB dengan bentuk akhir adalah RGB, sehingga hasil dari fusi
ini dapat mempertipis liputan awan dan pada citra di daerah penelitian ini terlihat
lebih kontras untuk kenampakan relief.

Gambar 12. Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di Daerah


Penelitian
48

Berdasarkan penelitian Asriningrum (2002), metode Brovey dan RGBI


keduanya sangat bagus untuk kenampakan bentuklahan vulkanik, akan tetapi
metode RGBI memiliki keunggulan dapat mempertipis liputan awan yang ada di
atas bentuklahan vulkanik, oleh karena itu metode RGBI dipilih sebagai metode
yang terbaik untuk daerah bentuklahan vulkanik. Hal tersebut terbukti dalam
penelitian ini. Gambar 13 menunjukkan hasil dari fusi multispasial metode
Brovey dan metode RGBI terpilih.
Untuk analisis visual terhadap penutup/penggunaan lahan dari hasil kedua
fusi multispasial (keduanya menggunakan citra komposit 542 dan penajaman
spasial High Pass Filter, Sharpen11 diperoleh bahwa fusi multispasial dengan
metode Brovey lebih bagus dibandingkan metode RGBI. Pada citra Brovey
diperoleh citra dengan warna yang lebih cerah dan lebih kontras secara spektral
sehingga sangat baik untuk analisis penutup/penggunaan lahan. Dari hasil
pengamatan dapat terdeteksi sebanyak 8 penggunaan lahan, yaitu: permukiman,
industri, sawah, tegalan/kebun campuran, hutan, semak/lahan terbuka,
tambak/rawa, dan waduk. Klasifikasi ini diambil berdasarkan rekomendasi
klasifikasi penutup/penggunaan lahan oleh UGM dan Bakosurtanal (2000).
Untuk analisis visual terhadap bentuklahan digunakan citra komposit 452
dengan membandingkan metode fusi Brovey dan RGBI (keduanya menggunakan
citra komposit 452). Pada kedua citra hasil fusi tersebut, masing-masing dapat
menampilkan relief yang lebih tajam, namun pada RGBI memiliki kelebihan
dapat mempertipis liputan awan sehingga terpilih untuk identifikasi bentuklahan
dalam penelitian ini.
Dari hasil seleksi data citra Landsat ETM+ daerah penelitian, dapat
disimpulkan bahwa hasil fusi terbaik adalah fusi multispektral komposit 245
dengan kombinasi band terbaik 452 untuk kenampakan bentuklahan dan 542
untuk kenampakan penutup/penggunaan lahan dengan penajaman transformasi
autoclip. Sedangkan untuk fusi multispasial dipilih metode RGBI 4528 dengan
penajaman high pass filter, sharpen11 untuk kenampakan bentuklahan dan
metode Brovey 5428 dengan penajaman high pass filter, sharpen11 untuk
kenampakan penutup/penggunaan lahan.
49

Tabel 8 di bawah ini merupakan rangkuman hasil dari pengolahan citra


Landsat ETM+ terseleksi yang kemudian dapat di gunakan untuk identifikasi
bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan.

Tabel 8. Rangkuman Hasil Pengolahan Terseleksi Citra Landsat ETM+ untuk


Identifikasi Bentuklahan dan Penutup/penggunaan Lahan

Fusi Penajaman Fusi Penajaman Pemakaian


Multispektral Spektral Multispasial Spasial Interpretasi
HPF,
452 Autoclip RGBI Bentuklahan
Sharpen11
HPF, Penutup/penggunaan
542 Autoclip Brovey
Sharpen11 Lahan
50

Gambar 13. Hasil Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI terpilih.
Kiri: citra untuk identifikasi bentuklahan, kanan: citra untuk identifikasi penutup/penggunaan lahan
51

5.2 Identifikasi Bentuklahan

Secara geomorfologis, dari kenampakan citra terlihat ada delapan


bentuklahan, yaitu: Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG),
Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs), Dataran Fluvio Vulkanik (DFV), Kipas
Ignimbritik (KI), Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD), Kerucut Vulkanik
Denudasional Gunung Cidano (KVDC), Gisik (Beach), dan Tebing Pantai (Cliff).
Bentuklahan KVDG meliputi 3 wilayah kecamatan, yaitu: Kecamatan
Pulomerak (Desa Suralaya, Lebak Gede, Tamansari, dan Mekarsari), Kecamatan
Grogol (Desa Gerem, Grogol, Kotasari, dan Rawa Arum), dan Kecamatan
Purwakarta (Desa Pabean, Tegal Bunder, Purwakarta, Kotabumi dan
Kebondalem).
Bentuklahan DFV meliputi 4 wilayah kecamatan, yaitu: Kecamatan
Grogol (Desa Gerem, Rawaarum, dan Kotasari), Kecamatan Purwakarta (Desa
Purwakarta, Kotabumi, Kebondalem, dan Ramanuju), Kecamatan Ciwandan
(Areal Krakatau Steel, Desa Kubangsari, dan Kepuh), dan Kecamatan Jombang
(Desa Gedong Dalem, Panggung Rawi, dan Kedaleman).
Bentuklahan KI meliputi 6 wilayah kecamatan, yaitu: Kecamatan
Purwakarta (Desa Kebondalem dan Ramanuju), Kecamatan Ciwandan (Desa
Kubangsari, Tegalratu, Banjarnegara, Randakari, Kepuh, dan Gunung Sugih),
Kecamatan Citangkil (Desa Samangraya, Warnasari, Dringo, Lebakdenok,
Kebonsari, Tamanbaru, dan Citangkil), Kecamatan Jombang (Desa Gedong
Dalem, Panggung Rawi, Masigit, Jombang Wetan, dan Sukmajaya), Kecamatan
Cilegon (Desa Ketileng, Ciwaduk, Bendungan, Ciwedus, dan Bagendung), dan
Kecamatan Cibeber (Desa Kedaleman, Karangasem, Kalitimbang, Cibeber, dan
Bulakan).
Bentuklahan PVD hanya meliputi 1 kecamatan, yaitu Kecamatan
Ciwandan (Desa Randakari, Kepuh, dan Gunung Sugih).
Bentuklahan KVDC hanya terdapat di Kecamatan Cibeber (Desa
Kalitimbang, Bulakan, dan Cikerai).
Bentuklahan TVs terdapat di arah Barat Laut Kota Cilegon yang
merupakan suatu pulau kecil di bagian barat Kecamatan Pulomerak dan masih
termasuk dalam bagian dari Desa Tamansari.
52

Bentuklahan Gisik (Beach) dan Tebing Pantai (Cliff) pada citra dicirikan
adanya bentuk seperti bayang-bayang dan terdapat di pinggiran pantai.
Bentuklahan ini terdapat di bagian Kecamatan Pulomerak yang dekat dengan laut.
Untuk melakukan identifikasi dan interpretasi bentuklahan di daerah
penelitian, digunakan hasil pengolahan citra kombinasi band 452 hasil fusi
multispasial RGBI high pass filter, Sharpen11 seperti yang telah diuraikan di
atas. Identifikasi dan interpretasi bentuklahan di lakukan secara visual terhadap
citra tersebut di atas. Dari hasil interpretasi di peroleh delapan jenis bentuklahan,
yaitu: Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Tubuh Vulkanik
Tersisa (TVs), Dataran Fluvio Vulkanik (DFV), Kipas Ignimbritik (KI),
Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD), Kerucut Vulkanik Denudasional
Gunung Cidano (KVDC), Gisik (Beach), dan Tebing Pantai (Cliff).
Dari hasil interpretasi tersebut, kemudian di lakukan cek lapangan untuk
menguji kebenarannya. Hasil dari interpretasi dan cek lapangan tersebut
menghasilkan peta bentuklahan seperti yang disajikan pada Gambar 14.
Sedangkan Tabel 9 disajikan untuk luasan bentuklahan di daerah penelitian.

Gambar 14. Peta Bentuklahan Hasil Interpretasi Visual dan Cek Lapangan di Daerah
Penelitian
53

TVs
KVDG

DFV

PVD
KI

KVDC

Gambar 15. Citra Landsat RGBI 4528, HPF Sharpen11 dengan Peta Bentuklahan
Daerah Penelitian

Tabel 9. Luas Bentuklahan di Daerah Penelitian

Bentuklahan Luas (Ha) Luas (%)

Beach 53 0,30
Cliff 29 0,16
DFV 3.254 18,08
KI 8.195 45,53
TVs 39 0,21
PVD 402 2,23
KVDG 4.860 27,00
KVDC 1.168 6,49
Total 18.002 100,00
54

5.2.1. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG)


Bagian Utara daerah penelitian merupakan daerah pegunungan yang
terbentuk oleh proses vulkanik dan membentuk kerucut Gunung Gede. Dari citra
tampak jelas bahwa bentuklahan vulkanik ini tertoreh kuat dengan pola radial. Hal
ini menunjukkan bahwa gunung ini sudah tidak aktif lagi sehingga mengalami
proses erosi yang berlanjut. Akibat proses erosi tersebut, maka bentuklahan ini
dapat dinamakan Kerucut Vulkanik Denudasional. Bentuklahan ini berumur
kuarter tersusun atas lava dan tuff vulkanik hasil letusan Gunung Gede yang
dicirikan oleh adanya singkapan batuan serta banyaknya batuan-batuan dan tanah
yang bertekstur halus. Pada bagian ini terlihat juga adanya lembah berbentuk V
yang mencirikan bahwa wilayah ini berbahan induk homogen dan erosi vertikal
pada lembah gunungapi ini masih terus berlangsung. Bentuklahan ini menempati
elevasi antara 50-551 m di atas permukaan laut dan memiliki kemiringan lereng
domonan >40%.

5.2.2. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC)


Daerah penelitian di bagian selatan juga memiliki relief pegunungan.
Secara regional, bentuklahan ini sebenarnya merupakan bagian dari bentuklahan
yang lebih besar, yaitu kompleks gunungapi Cidano. Gunungapi ini pernah
mengalami letusan besar dan menghasilkan kaldera Cidano yang terletak di
sebelah selatan dari daerah penelitian. Volume yang besar dari letusan ini
menghasilkan tuff vulkanik berbatu apung atau ignimbritik (Van Bemmelan,
1949). Berhubung aktivitas gunungapi ini sudah tidak berlangsung lagi, maka
tubuh kompleks gunung api ini secara berlanjut mengalami proses denudasi. Oleh
sebab itu, bagian dari kerucut kompleks Gunung Cidano yang masuk ke dalam
Kota Cilegon ini dinamakan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano.
Bentuklahan ini mempunyai elevasi antara 50-300 m di atas permukaan laut dan
di dominasi oleh kemiringan lereng antara 15->40%. Torehan yang ada pada
bentuklahan ini tampak lebih ringan dari pada torehan pada Gunung Gede.

5.2.3. Bentuklahan Kipas Ignimbritik (KI)


Pada bagian timur daerah penelitian terdapat bentuklahan yang membujur
dari tengah sampai ke selatan. Daerah ini mempunyai relief yang landai dan
55

berbentuk kipas. Bentuklahan ini tersusun atas endapan abu dan batu apung serta
tuff vulkanik dari hasil letusan gunungapi berumur kuarter. Sebenarnya material
penyusun bentuklahan ini adalah hasil letusan Gunung Cidano pada saat
terbentuknya kaldera Cidano yang banyak menghasilkan ignimbrite. Berhubung
endapan ignimbrite ini menempati lereng kaki kompleks Cidano dan berbentuk
seperti kipas, maka bentuklahan ini dapat dinamakan Kipas Ignimbritik.
Bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng 8-<15% dan mempunyai elevasi
antara 0-50 m di atas permukaan laut.

5.2.4. Bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik (DFV)


Dataran fluvio vulkanik adalah bentuklahan yang di hasilkan oleh proses
fluvial yang membawa bahan-bahan vulkanik (Selby, 1983 dalam Asriningrum,
2002). Dikarenakan merupakan hasil pengendapan maka bentuklahan ini
mempunyai lereng datar hingga landai dan menempati posisi relatif rendah
dibandingkan bentuklahan yang lain. Di daerah penelitian bentuklahan ini
menempati bagian tengah, berumur kuarter dan memiliki elevasi 0-30 m di atas
permukaan laut.

5.2.5. Bentuklahan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD)


Pada bagian Barat Daya terdapat perbukitan kecil yang berbahan vulkanik
(lava, pyroklastik). Di perbukitan ini terdapat singkapan batuan lava yang
menyebar di seluruh permukaan. Bahan induk di perbukitan ini berupa tuff
vulkanik berumur kuarter. Perbukitan ini merupakan bagian dari tubuh kompleks
Gunung Cidano namun munculnya bentuklahan ini masih belum jelas proses
pembentukannya.

5.2.6. Bentuklahan Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs)


Bagian utara sebelah barat terdapat satu pulau kecil yang merupakan
bagian dari bentuklahan vulkanik. Berdasarkan peta geologi daerah penelitian,
pulau kecil ini memiliki karakteristik yang sama dengan Gunung Gede berumur
kuarter. Bentuklahan ini dinamakan Tubuh Vulkanik Tersisa karena diduga
aktivitas pembentukannya berasal dari lereng kaki Gunung Gede yang mengalami
abrasi sehingga terpisah dari tubuhnya dan membentuk pulau atau suatu tubuh
56

parasit yang muncul di lereng kaki Gunung Gede yang kemudian tidak aktif dan
mengalami abrasi.

5.2.7. Bentuklahan Marin ( Gisik dan Cliff)


Bentuklahan marin yang terlihat pada citra ini adalah Gisik (Beach) dan
Tebing Pantai (Cliff). Gisik dan Tebing Pantai merupakan bentuklahan yang
terjadi karena pengaruh aktifitas arus dan gelombang laut. Gisik merupakan
kumpulan sedimen lepas berupa pasir alam dan batu yang kadang-kadang hanya
terdapat pada bachshore (zona antara garis pantai pada kondisi air pasang dan
lahan permanen/lereng sand dune bervegetasi), tetapi sering juga meluas hingga
ke foreshore (zona antara garis pantai pada kondisi air surut dan garis pantai pada
kondisi air pasang). Sedangkan Cliff merupakan bentuklahan hasil erosi laut atau
abrasi berupa tebing dengan ketinggian bervariasi. Di daerah penelitian Cliff
terlihat pada tepi barat yang berbatasan dengan laut.

5.3. Identifikasi Penutup/Penggunaan Lahan


Peta penutup/penggunaan lahan diperoleh dari hasil klasifikasi citra satelit
Landsat ETM+ dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised) yang
dikerjakan pada perangkat lunak Erdas Imagine 8,5. Klasifikasi
penutup/penggunaan lahan dalam penelitian ini mengacu pada sistem klasifikasi
penutup/penggunaan lahan UGM dan Bakosurtanal (2000).
Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut dan hasil penelitian di lapangan
ditetapkan ada 8 kelas penutup/penggunaan lahan, meliputi: permukiman,
industri, sawah, kebun campuran/tegalan, hutan, semak/lahan terbuka,
tambak/rawa, dan waduk. Luas masing-masing penutupan lahan dapat dilihat pada
Tabel 10, sedangkan peta penutup/penggunaan lahan daerah penelitian dapat
dilihat pada Gambar 16.
57

Tabel 10. Luas Penutup/penggunaan Lahan Derah Penelitian


Kelas
% Tutupan
Penutup/penggunaan Luas (Ha) Luas (%) Skor
Lahan
Lahan
Hutan 661 3,67 >80 5
Kebun
7.336 40,75 41-60 3
Campuran/Tegalan
Industri 2.104 11,69 61-80 4
Permukiman 2.486 13,81 >80 5
Sawah 3.851 21,39 21-40 2
Semak/Lahan Terbuka 1.032 5,73 <20 1
Tambak/Rawa 421 2,34 61-80 4
Waduk 111 0,61 >80 5
Total 18.002 100,00

Berdasarkan Gambar 16 dan tabel 10, daerah penelitian ini memiliki


3,67% hutan yang tersebar dibagian utara, barat dan selatan yang mempunyai
relief pegunungan. Luas hutan ini hanya menempati sebagian kecil dari luas
Kawasan Lindung. Daerah penelitian ini memiliki 1.103 Ha Kawasan Hutan yang
mencangkup kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Tetap (HPTp).
Gambar 17 menunjukkan letak penggunaan lahan hutan yang berada di Kawasan
Lindung. Sedangkan hutan di bagian barat dan selatan tidak masuk ke dalam
Kawasan Lindung. Hutan dibagian barat merupakan hutan skunder yang umur
tanamannya masih muda. Hutan ini sengaja ditanami oleh pemerintah Kota
Cilegon diatas perbukitan sebagai bentuk upaya rehabilitasi lahan kritis akibat
pengaruh konversi lahan.
58

Gambar 16. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian yang Merupakan Hasil
dari Klasifikasi terbimbing yang dikerjakan pada Perangkat Lunak Erdas Imagine 8,5
59

Gambar 17. Peta Penutup/penggunaan Lahan dan Peta Kawasan Hutan Daerah
Penelitian

Penggunaan lahan kebun campuran pada daerah penelitian tidak dapat


dipisahkan dengan penggunaan lahan tegalan, oleh karena itu dalam penelitian ini
dimasukkan ke dalam satu kelas penggunaan lahan. Penggunaan lahan ini
memiliki luasan yang cukup besar, yaitu sebesar 7.336 Ha. Kebun
campuran/tegalan tersebar di selatan, timur, dan barat. Sedangkan bagian tengah
didominasi dengan permukiman, industri, dan sawah. Bagian tengah daerah
penelitian ini memiliki morfologi datar hingga landai (bentuklahan Dataran Fluvio
Vulkanik), sehingga dimanfaatkan untuk bangunan dan tanaman dataran rendah
seperti padi sawah yang memerlukan pengairan yang cukup banyak. Penggunaan
lahan sawah di daerah penelitian cukup luas hingga mencapai 3.851 Ha.
Penggunaan lahan sawah paling luas berada di Kecamatan Jombang, Hal ini
terkait dengan bentuklahan pada wilayah ini merupakan Dataran Fluvio Vulkanik.
Berdasarkan informasi di lapangan, penggunaan lahan sawah ini sebagian
dimanfaatkan pada saat musim hujan saja, sedangkan pada saat musim kemarau
60

lahan tersebut digunakan untuk tanaman tegalan, seperti kacang dan sayur-
sayuran. Persawahan di daerah ini letaknya berdekatan dengan permukiman, yang
memudahkan aksesibilitas bagi petani.

Gambar 18. Contoh Foto Cek Lapang Untuk Penggunaan Lahan Kebun
Campuran dan Tegalan

Permukiman di daerah ini menyebar di seluruh kota, namun secara


dominan berada di bagian tengah, dekat dengan persawahan dan kawasan industri.
Industri merupakan salah satu hal yang menonjol di wilayah ini. Luas penggunaan
lahan untuk industri mencapai 2.104 Ha dari seluruh luas wilayah.
Penempatannya berada di daerah datar dan sebagian besar berada di dekat laut.
Luas permukiman hanya berselisih 2,12% dari luas kawasan industri, yaitu
sebesar 2.486 Ha yang tersebar di seluruh daerah penelitian, namun sebagian
besar berada di daerah datar dan landai.
Tambak dan rawa luasnya sangat kecil dan hanya berada di bagian barat
daerah penelitian. Penutupan lahan tubuh air di daerah penelitian adalah berupa
waduk atau danau buatan yang dimanfaatkan untuk kegiatan komersial. Waduk
yang paling terlihat adalah Waduk Krakatau Steel. Waduk ini merupakan
tampungan dari aliran Sungai Cidano yang selanjutnya diolah dan dimanfaatkan
untuk kebutuhan air industri serta untuk pelayanan air bersih untuk rumah tangga
di wilayah ini.
Di daerah penelitian ini, semak/lahan terbuka memiliki luas 1.032 Ha.
Dari luasan tersebut sebagian besar semak/lahan terbuka masuk ke dalam kriteria
lahan kritis. Hal ini membuktikan bahwa semak/lahan terbuka merupakan
61

penyebab utama dalam penentuan lahan kritis. Berdasarkan penelitian Setiawan


(2007), semak dan lahan terbuka merupakan faktor pendorong utama dalam
penentuan lahan kritis, hal ini dikarenakan persentase tutupan lahannya lebih
rendah dibandingkan dengan kelas penutupan lainnya.
Berdasarkan peta penutup/penggunaan lahan, dapat diketahui secara pasti
bahwa penggunaan lahan sangat erat kaitannya dengan bentuklahan. Hal ini dapat
dilihat dari persebaran penggunaan lahan pada daerah penelitian yang mengikuti
pola kemiringan lereng (morfologi).

5.4. Identifikasi Lahan Kritis

5.4.1. Kemiringan Lereng


Peta kemiringan lereng daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 19.
Peta kemiringan lereng ini dibuat secara digital dan manual. Cara digital adalah
dengan menurunkan peta kontur kedalam bentuk DEM (Digital Elevation Model)
untuk dapat mengkelaskan lereng dan menghitung kemiringan lereng dalam
persen (%). Setelah itu dilakukan generalisasi melalui digitasi untuk
menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari pola spasial kelas lereng.
Cara ini merupakan cara manual yang digitasinya dibantu dengan peta kontur
(overlay). Tabel 11 menyajikan keterangan mengenai kemiringan lereng, kelas
lereng, dan skor yang digunakan sebagai parameter tingkat kekritisan lahan dan
erosi. Morfologi lereng mencakup panjang dan kemiringan lereng (LS). Kedua
faktor ini memiliki pengaruh terhadap besarnya erosi.

Tabel 11. Kemiringan Lereng dan Skor Penentu Parameter Erosi


Nilai Faktor
Kemiringan Skor Parameter
Kelas Lereng LS Penentu
Lereng (%) Lahan Kritis
Erosi
<=8 a. Datar 5 0,25
8-<15 b. Landai 4 1,20
15-<25 c. Agak curam 3 4,25
25-<40 d. Curam 2 9,50
>=40 e. Sangat curam 1 12,00
Keterangan: Faktor LS : Panjang dan Kemiringan Lereng
Sumber: Setiawan, 2007
62

Gambar 19. Peta Kemiringan Lereng Daerah


Penelitian
63

(a) Hutan (b) Kebun Campuran/Tegalan

(c) Sawah (d) Semak/Lahan Terbuka

(e) Permukiman (f) Industri

(g) Rawa (h) Waduk

Gambar 20. Contoh Foto-Foto Pengamatan Lapang Penutup/Penggunaan Lahan


di Daerah Penelitian
64

Tabel 12. Luas Kelas Lereng Daerah Penelitian


Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%)
Datar 13.075 72,63
Landai 494 2,74
Agak landai 701 3,89
Curam 1.668 9,26
Sangat curam 2.065 11,47
Total 18.002 100,00

5.4.2. Erodibilitas Tanah (Nilai K)


Erosi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya lahan kritis karena
pada saat peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat
terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Peristiwa ini
menyebabkan tanah lapisan atas yang banyak mengandung bahan organik
berkurang, sehingga tanah menjadi tidak subur lagi.
Erodibilitas tanah adalah kepekaan tanah terhadap erosi. Bila suatu tanah
memiliki erodibilitas tinggi berarti tanah tersebut bersifat peka terhadap erosi.
Sebaliknya, bila nilai erodibilitas tanah rendah berarti tanah tersebut tahan
terhadap erosi. Nilai faktor erodibilitas tanah diperoleh berdasarkan tabel nilai K
untuk beberapa jenis tanah (Kurnia dan Suwardjo, 1984 dalam Arsyad, 2000).

Tabel 13. Tingkat erodibilitas Daerah Penelitian

Jenis Tanah Nilai K Kelas Erodibilitas Harkat


Alluvial dan Latosol 0,09 1 Sangat rendah
Regosol 0,14 2 Rendah

Berdasarkan tabel nilai K tersebut di atas dan peta jenis tanah di daerah
penelitian, maka dapat di susun sebuah peta erodibilitas tanah (Gambar 21).
Gambar 21 diperoleh dari tabel nilai K untuk jenis tanah Alluvial, Latosol,
dan Regosol, sesuai dengan jenis tanah di daerah penelitian. Berdasarkan peta
diatas, daerah penelitian memiliki dua nilai K atau hanya memiliki dua kelas
erodibilitas tanah, yaitu sangat rendah dengan nilai K = 0,09, dan rendah dengan
nilai K = 0,14. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka daerah penelitian
termasuk daerah yang tanahnya tidak mudah tererosi.
65

Gambar 21. Peta Erodibilitas Daerah Penelitian

5.4.3. Manajemen Lahan


Manajemen lahan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk
menilai kekritisan lahan. Penilaian mengenai manajemen lahan ini dilihat dari
jenis penutupan lahan dan bentuk-bentuk konservasi yang ada. Dari hasil
pengamatan di lapangan terlihat bahwa sebagian dari wilayah ini sudah
melakukan teknik konservasi tanah untuk budidaya tanaman, namun masih ada
beberapa daerah di bagian utara yang tidak menggunakan teknik konservasi.

Tabel 14. Manajemen Lahan Daerah Penelitian

Manajemen Lahan Kelas Skor


Tidak lengkap Sedang 3
Tidak ada Buruk 2
66

5.5. Pemetaan Lahan Kritis


Pemetaan lahan kritis dalam penelitian ini dibuat melalui tumpang tindih
antara peta kemiringan lereng, peta kedalaman efektif tanah, peta erodibilitas
tanah (Nilai K), dan peta penutup/penggunaan lahan. Hasil pemetaan tersebut
diobservasi di lapangan sedangkan klasifikasi lahan kritis ini di tentukan menurut
Sitorus (2004), yaitu: lahan potensial kritis, lahan agak kritis, lahan kritis, dan
lahan sangat kritis. Gambar 22 menunjukkan peta lahan kritis hasil identifikasi
dan observasi di lapangan, sedangkan Tabel 15 menunjukkan luasan lahan kritis
berdasarkan peta lahan kritis hasil interpretasi dan pengecekan lapangan.
Dari hasil pemetaan tersebut dapat diketahui bahwa persebaran lahan tidak
kritis terdapat di bagian tengah daerah penelitian yang memiliki morfologi datar
sampai landai atau dengan kemiringan lereng 0-15%. Sebagian besar lahan tidak
kritis berada pada bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik dan Kipas Ignimbritik.
Kedalaman efektif tanah di atas bentuklahan tersebut antar 60-90 cm (dalam-
sangat dalam), erodibilitas rendah sampai sangat rendah dan tidak terjadi erosi.
Wilayah ini memiliki penutupan lahan yang beragam, meliputi: kebun
campuran/tegalan, permukiman, sawah, dan industri. Kenampakan erosi tanah
tidak terlihat di atas bentuklahan ini.
Lahan potensial kritis sebagian besar berada pada bentuklahan Kipas
Ignimbrite dengan kemiringan lereng 0-8% (datar). Tanah di atas bentuklahan ini
mempunyai tingkat erodibilitas rendah, dan digunakan untuk kebun
campuran/tegalan dan permukiman. Luas total lahan potensial kritis di daerah
penelitian sebanyak 28,87% dari luas seluruh wilayah.
Lahan agak kritis menempati daerah yang morfologinya agak curam
sampai curam (15-40%). Lahan agak kritis ini hanya memiliki luas 639 Ha atau
3,55% dari luas wilayah. Lahan ini sebagian besar berada di bagian utara Kota
Cilegon di atas bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede. Pada
bentuklahan ini beberapa kenampakan erosi terlihat pada lereng-lereng yang
curam, meskipun erodibilitas tanahnya tergolong sangat rendah. Rendahnya
erodiblitas tanah ini dikarenakan jenis tanah di atas bentuklahan ini merupakan
tanah Latosol. Penutupan lahan yang dominan di atas bentuklahan ini berupa
kebun campuran, kedalaman efektif tanah yang dangkal (30-60 cm), dan memiliki
67

curah hujan bulanan rendah (rata-rata 114 mm/bulan). Berdasarkan hasil


pengamatan di lapangan, sebagian dari wilayah ini belum menggunakan teknik
konservasi tanah dan air selain itu banyak lahan tidur dengan kondisi permukaan
tanah tanpa vegetasi ataupun jenis penutup lahan yang lain. Oleh karena itu pada
lahan ini perlu diupayakan tindakan konservasi agar dapat memperbaiki kualitas
tanah atau tidak terjadi lahan kritis.
Lahan kritis di daerah ini berdasarkan hasil pemetaan seluas 1.977 Ha atau
10,98% dari luas keseluruhan wilayah. Persebaran lahan kritis di daerah penelitian
terdapat di daerah tinggi yang tersebar pada tiga bentuklahan, yaitu Kerucut
Vulkanik Denudasional Gunung Gede, Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung
Cidano dan Perbukitan Vulkanik Denudasional.
Menurut hasil pengamatan lapangan, persebaran lahan kritis secara
dominan berada di daerah dengan kemiringan lereng 20-40%, tanahnya
mempunyai kedalaman efektif <30 cm dan mempunyai tingkat erodibilitas tanah
yang rendah. Penggunaan lahannya berupa kebun campuran/tegalan, semak, dan
sebagian kecil hutan. Selain itu lahan kritis di daerah penelitian bagian utara dan
barat di pengaruhi juga oleh kegiatan industri. Hal ini terlihat dari produksi
pertanian masyarakat yang menurun dikarenakan tercemar oleh gas-gas kimia.. Di
atas bentuklahan tersebut juga tidak terlihat adanya perlakuan teknik konservasi,
sehingga dapat dikatakan tidak mempunyai manajemen lahan yang baik.

Tabel 15. Luas Lahan Kritis di Daerah Penelitian


Tingkat Kritis Luas (Ha) Luas (%)
Tidak kritis 10.189 56,60
Potensial kritis 5.197 28,87
Agak kritis 639 3,55
Kritis 1.977 10,98
Total 18.002 100,00
68

Gambar 22. Peta Lahan Kritis Daerah Penelitian


69

Tabel 16. Luas Lahan Kritis pada Penutup/penggunaan Lahan

Penutup/Penggunaan
LTK (Ha) LTK (%) LPK (Ha) LPK (%) LAK (Ha) LAK (%) LK (Ha) LK (%)
Lahan
Hutan - - - - 3 0,02 658 3,66
Kebun
3 0,02 265 1,47 749 4,16 6.319 35,10
Campuran/Tegalan
Industri 2.081 11,56 23 0,13 - - - -
Permukiman 2.485 13,80 1 0,006 - - - -
Sawah 3.851 21,39 - - - - - -
Semak/Lahan
- - - - 76 0.42 956 5,31
Terbuka
Tambak/Rawa 421 2,34 - - - - - -
Waduk 111 0,62 - - - - - -
Total 8.952 49,73 289 1,606 828 4,6 7.933 44,07
Ket: LTK = Lahan Tidak Kritis
LPK = Lahan Potensial Kritis
LAK = Lahan Agak Kritis
LK = Lahan Kritis
70

Dari sisi status kawasan, lahan kritis di daerah penelitian hampir


menempati seluruh Kawasan Hutan, yaitu sebesar 1.103 Ha atau 92,56%. Pada
wilayah Hutan Lindung (HL) seluas 623 Ha dan pada wilayah Hutan Produksi
Tetap (HPTp) seluas 398 Ha. Jadi kawasan lindung di wilayah ini hanya memiliki
7,43% lahan yang tidak kritis. Gambar 23 memperlihatkan persebaran lahan kritis
dan kawasan Lindung, sedangkan Tabel 18 di sajikan untuk luasan lahan kritis di
Kawasan Lindung.

Gambar 23. Peta Lahan Kritis dan Peta Kawasan Hutan di Daerah
Penelitian

Tabel 17. Luas Kawasan Hutan Daerah Penelitian

Kawasan Lindung Luas (Ha) Luas (%)


Hutan Lindung (HL) 705 3,92
Hutan Produksi Tetap (HPTp) 398 0,02
Areal Penggunaan Lain (APL) 16.899 93,87
Total 18.002 100,00
71

Tabel 18. Luas Lahan Kritis di Kawasan Hutan Daerah Penelitian


Kawasan
Luas LK (Ha) Luas LK (%) Luas LTK (Ha) Luas LTK (%)
Hutan
HL 623 56,48 82 7,43
HPTp 398 36,08 0 0
APL 6.710 39,71 10.189 60,29
Total KL 1.103 92,56 82 7,43
Ket; KL : Kawasan Lindung
LK : Lahan Kritis
LTK : Lahan Tidak Kritis

Dengan kondisi tersebut di atas, maka Kawasan Hutan di daerah penelitian


ini sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan fungsinya. Hal ini terlihat dari
penggunaan lahan hutan yang sudah dikonversi menjadi penggunaan lain, seperti
kebun campuran, tegalan, semak, dan permukiman. Konversi lahan ini dapat
terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan
lahan baik untuk kepentingan produksi pertanian maupun untuk kepentingan
lainnya. Selain itu konversi lahan dapat disebabkan oleh ketidak tahuan dan
ketidak pedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan, dan manajemen
lahan yang dilakukan tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air.
Selain faktor fisik lahan, industri sebenarnya juga sangat berpengaruh
terhadap terbentuknya lahan kritis, karena pengaruh gas kimia berbahaya yang
dihasilkan mencemari lingkungan setempat. Khususnya terhadap vegetasi
sehingga dengan berkurangnya jumlah vegetasi dapat menimbulkan lahan terbuka
yang menjadi lahan kritis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki lahan
kritis sebesar 1.977 Ha (10,98%), lahan agak kritis 639 Ha (3,55%), lahan
potensial kritis 5.197 Ha (28,87%), dan lahan tidak kritis sebesar 10.189 Ha
(56,60%) dari luas total luas wilayah, yaitu sebesar 18.002 Ha. Sehingga diketahui
bahwa luas lahan kritis di Kota Cilegon rendah, yaitu ±14,53%.

5.6. Rekomendasi Rehabilitasi Lahan Kritis


Berdasarkan uraian tentang lahan kritis di daerah penelitian, maka beberapa
rekomendasi untuk perbaikan lahan kritis dapat diuraikan sebagai berikut: Lahan
kritis di daerah ini dapat dikurangi dengan melakukan rehabilitasi lahan yang
meliputi restorasi dan reklamasi. Restorasi merupakan upaya perbaikan lahan agar
72

lahan tersebut bisa difungsikan lagi ke penggunaan awalnya, sedangkan reklamasi


adalah upaya perbaikan suatu lahan-lahan yang rusak dan digunakan untuk
penggunaan lain.
Restorasi dapat diterapkan untuk hutan yang hampir habis di daerah
penelitian ini. Penanganan dengan cara ini sudah dilakukan di beberapa tempat di
daerah penelitian ini, salah satu contoh yang sangat terlihat adalah di Desa
Gunung Sugih, Kecamatan Ciwandan. Di wilayah ini sekitar tahun 1990,
merupakan daerah yang gersang dengan perbukitan tanpa vegetasi, namun
sekarang sudah terlihat hasil penghijauan yang telah di lakukan. Gambar 24.
adalah contoh rehabilitasi lahan kritis pada bentuklahan Perbukitan Vulkanik
Denudasional, dimana pada daerah ini terlihat upaya perbaikan lahan yang gundul
menjadi hutan skunder.
Semak/lahan terbuka dapat di perbaiki dengan cara reklamasi, yaitu di
upayakan untuk penggunaan lain yang lebih berfungsi. Misalnya di konversi
untuk pertanian lahan kering, dari pada tidak berfungsi sama sekali, namun
demikian status lahan terkadang menjadi kendala tersendiri untuk upaya ini.
Upaya perbaikan lahan kritis di daerah penelitian sudah dilaksanakan oleh
pemerintah setempat, sedangkan data mengenai kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan Kota Cilegon dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 24. Foto Pengamatan Lapang untuk Daerah Hasil Rehabilitasi Lahan
Kritis di Daerah Penelitian
73

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Data penginderaan jauh yang terseleksi untuk identifikasi lahan kritis
adalah citra landsat ETM+ dengan komposit 452 dan 542. Untuk identifikasi
bentuklahan menggunakan hasil fusi multispasial metode RGBI 4528 dengan
penajaman High Pass Filter, Sharpen11, dan untuk identifikasi
penutupan/penggunaan lahan menggunakan metode Brovey 5428 dengan
penajaman High Pass Filter, Sharpen11. Hasil fusi tersebut baik untuk studi
geomorfologi maupun penutupan/penggunaan lahan. Dengan demikian citra
landsat ETM+ cukup baik untuk pemetaan lahan kritis melalui identifikasi
bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan.
Persebaran lahan kritis di daerah penelitian berada di atas bentuklahan
Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Kerucut Vulkanik
Denudasional Gunung Cidano (KVDC), dan Perbukitan Vulkanik Denudasional
(PVD). Ketiga bentuklahan tersebut memiliki relief perbukitan dan pegunungan.
Faktor morfologi bentuklahan (lereng) dengan demikian banyak menentukan
tingkat kekritisan lahan karena ketiga bentuklahan tersebut mempunyai
morfogenesis yang sama, yaitu bentuklahan vulkanik. Lahan kritis di atas KVDG
lebih luas daripada dua bentuklahan lainnya disebabkan, luas lereng curam pada
bentuklahan KVDG lebih besar. Hal ini disebabkan di atas bentuklahan ini tidak
banyak tertutup oleh bahan pyroklastik dibandingkan pada dua bentuklahan
lainnya yang banyak mengandung endapan tufa atau ignimbrite Gunung Cidano.
Selain bentuklahan, tingkat kekritisan lahan banyak juga di pengaruhi oleh
jenis penggunaan lahan. Lahan kritis banyak terdapat juga di penggunaan lahan
kebun campuran/tegalan (35,10%) dan semak/lahan terbuka (5,31%). Dengan
demikian upaya konservasi tanah dan air dapat dijadikan program pemerintah
terhadap jenis penggunaan lahan tersebut sebagai prioritas untuk mengurangi luas
lahan kritis.
Lahan kritis banyak terjadi di Kawasan Hutan (92,56%) dari pada di
kawasan budidaya (39,71%). Hal ini menunjukkan bahwa program reboisasi perlu
74

dijadikan program utama untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai pengontrol


keberadaan air sebagai sumber kehidupan manusia.
Luas lahan yang tergolong kritis di daerah penelitian relatif kecil
(14,53%), namun dengan angka ini tidak berarti bahwa dampak lahan kritis di
Kota Cilegon menjadi kecil terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan
lahan kritis terjadi hampir di seluruh Kawasan Lindung. Dengan demikian
ekosistem Kota Cilegon dapat terganggu apabila tidak segera dilakukan
perbaikan.
Pengelolaan lahan yang perlu diperhatikan di Kota Cilegon adalah seluas
2.616 Ha atau 14,53% karena merupakan lahan kritis (1.977 Ha) dan lahan agak
kritis (639 Ha), sementara itu lahan tidak kritis adalah seluas 10.189 Ha (56,60%)
dari luas total wilayah sebesar 18.002 Ha.

6.2. Saran
Kondisi lahan kritis di Kota Cilegon harus diperbaiki sehingga tidak
bertambah atau menjadi lahan sangat kritis. Sedangkan manajemen lahan yang
baik dapat dibantu oleh penyuluh pertanian dan pembinaan pengetahuan
masyarakat mengenai kerusakan lingkungan. Selain faktor fisik lahan, industri
juga berpengaruh terhadap terbentuknya lahan kritis karena pengaruh gas-gas
kimia berbahaya dan limbah industri yang mencemari lingkungan setempat.
Penelitian untuk permasalahan ini perlu di lakukan tersendiri.
75

VII. DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. IPB Press.
Bogor.
Asriningrum, W. 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi
Bentuklahan (Landform) di Daerah Jakarta-Bogor. [tesis]. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2000. Data pokok
Pembangunan Kota Cilegon. Bappeda. Cilegon.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2006. Kajian
Kemampuan Tanah Pertanian di Kota Cilegon. Rekacipta Bangun
Struktur. Cilegon.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Cilegon. 2007. Cilegon dalam Angka 2006.
Bapeda. Cilegon.
Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital (Teori dan Aplikasinya dalam
Bidang Penginderaan Jauh). Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Departemen Kehutanan. 2003. Buku Utama Gerakan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GN-RHL) di 29 DAS Prioritas Tahun 2003. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
ER Mapper. 1997. ER Mapper 5.5 Level One Training Workbook. Western
Australia. Earth Resourch Mapping.
FAO. 1997. Soil Degradation in South and Southeast Asia. UNEP-FAO-ISRIC.
Netherland.
Herdiana, D. 2008. Identifikasi Lahan Kritis Kaitannya dengan Penataan Ruang
dan Kegiatan Rehabilitasi Lahan di Kabupaten Sumedang. [tesis].
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kristiani, Y. 2007. Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dan
Hubungannya dengan Lahan Kritis Menggunakan Data Inderaja dan SIG
Kasus DAS Citarum Hulu [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan). Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
76

Mather, A.S. 1986. Landuse. Longman. London and New York.


Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/Tanah
Indonesia. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Setiawan, H. 2007. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis Menggunakan Sistem
Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh Kasus Sub DAS Citarum
Hulu, Propinsi Jawa Barat. [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sitorus, S.R.P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan.
Laboratorium Pengembangan Wilayah. Jurusan Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Soesilo, I. 1994. Peranan Data Satelit Penginderaan Bumi Untuk Eksplorasi
Geologi in Soesilo, I. 1994. Teknologi Penginderaan jauh di Indonesia.
Aksara Buana. Jakarta Timur. Hal : 138-142.
Suharyadi. 1996. Petunjuk Praktikum Studi Kota. Jurusan Kartografi dan
Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi. UGM. Yogyakarta.
Sutanto. 1986. Pengantar Penginderaan Jauh. Gajah Mada University press.
Yogyakarta.
Swain, PH, and Shirley M. Davis. 1978. Remote Sensing (The Quantitative
Approach). Mc. Graw-Hill, Inc. USA.
Thornbury, W.D. 1954. Principles of Geomorphology. 2nd ed. John Wiley & Sons,
Inc. New York.
UGM dan Bakosurtanal. 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol Kualitas
Pemetaan Tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang.
Kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Bakosurtanal. Yogyakarta.
Wiradisastra, U, et al. 2002. Geomorfologi dan Analisis Landsekap. Laboratoriun
Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
77

Gambar Lampiran 1. Peta Tekstur Tanah Daerah Penelitian


78

Gambar Lampiran 2. Peta Kedalaman Efektif Tanah Daerah Penelitian


79

Tabel Lampiran 1. Data Curah Hujan Daerah Penelitian Tahun 2002-2006


Tahun Curah Hujan Bulanan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
2002 312 261 162 185 117 72 64 64 55 100 152 178
2003 842 1.561 1.259 161 992 29 436 346 324 331 200 1.168
2004 221 348 176 86 174 4 51 0 58 33 81 235
2005 305 287 192 87 42 163 185 44 66 149 70 181
2006 224 234 345 85 152 31 10 8 0 6 11 150
rata-rata 1.724,8 2.503,8 1.858 536 1.355,4 274,2 738 455,6 503 614,2 505,2 1.792
/tahun
80

Tabel Lampiran 2. Nilai OIF pada Daerah Model Bentuklahan Marin, Fluvial, Karst, Struktural, dan Vulkanik. (Asriningrum, 2002)
No. Marin Fluvial Karst Struktural Vulkanik
Fusi OIF Fusi OIF Fusi OIF Fusi OIF Fusi OIF
1 147 111.163 347 98.790 347 51.444 347 51.232 345 51.361
2 347 124.090 147 84.136 247 44.871 134 44.574 347 49.459
3 457 137.156 247 79.048 457 44.316 345 43.763 147 46.551
4 145 106.610 134 73.247 345 44.296 147 42.475 145 48.453
5 247 113.789 234 66.639 147 43.078 234 40.741 134 43.305
6 345 119.537 345 62.917 234 42.846 247 39.074 234 44.109
7 157 120.163 457 56.247 134 41.048 145 35.907 247 47.355
8 134 93.544 145 52.672 245 37.951 457 33.913 457 54.607
9 357 133.090 124 51.845 357 37.330 245 32.436 245 49.257
10 245 109.236 245 48.927 237 36.741 124 30.994 124 41.201
11 257 46.493 357 33.370 145 36.299 357 25.190 357 19.255
12 234 45.171 257 30.751 137 35.282 257 21.900 157 19.203
13 124 42.084 157 30.578 257 34.488 157 21.658 135 18.447
14 135 41.855 237 28.628 124 34.424 235 20.958 257 17.485
15 137 41.128 137 28.282 235 34.240 135 20.564 235 17.292
16 235 39.898 135 26.875 157 33.111 237 19.682 125 16.473
17 237 39.885 235 26.792 135 32.842 137 18.852 137 14.967
18 125 37.165 127 25.452 127 32.128 125 16.981 237 14.495
19 127 36.959 125 23.257 123 30.906 127 16.063 127 13.910
20 123 28.037 123 19.557 125 29.436 123 13.101 123 11.359
81

Tabel Lampiran 3. Nilai Erodibilitas (K) Beberapa Jenis Tanah


Nilai K
Jenis Tanah Bahan Induk Rata-
Kisaran
Rata
Latosol Darmaga (Haplorthox) Tufa Volkan 0,02-0,04 0,03
Latosol Citayam (Haplorthox) Tufa Volkan 0,08-0,09 0,09
Regosol Tanjung Hardjo Batu Liat
0,11-0,16 0,14
(Troporthents) Berkapur
Grumusol Jegu, Blitar
Napal 0,24-0,30 0,27
(Chromuderst)
Podsolik Jonggol (Tropudults) Batu Liat 0,12-0,19 0,16
Mediteran Citayam
Tufa Volkan 0,09-0,11 0,1
(Tropohumults)
Mediteran Putat (Tropudafs) Breksi Berkapur 0,16-0,29 0,23
Mediteran Punung (Tropudafs) Breksi Berkapur 0,18-0,25 0,22
Podsolik Merah Kuning
Pekalongan, Lampung Tengah Dasitik 0,32
(Tropudults)
(Udang Kurnia dan Suwardjo, 1984).

Tabel Lampiran 4. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kota Cilegon Tahun
2004-2006
Tahun Kagiatan Luas/Unit Lokasi
125 Ha Pabean dan Randakari
Hutan Rakyat
12 Ha Gunung Sugih
2004
Penghijauan Kota 100 Ha Cibeber, Cilegon, dan Citangkil
Sumur Resapan 50 Unit Cibeber dan Citangkil
Gunung Sugih, Kepuh, Lebak
300 Ha Denok, Dringo, Grogol, dan
Hutan Rakyat
Gerem
25 Ha Lebakgede dan Kepuh
2005
Pengkayaan Kec. Pulomerak
200 Ha
Tanaman
Sumur Resapan 20 Unit Kalitimbang dan Cikerai
Gully Plug 10 Unit Grogol dan Gerem
25 Ha Cikerai
Hutan Rakyat Pabean, Tegalbunder, dan
75 Ha
Purwakarta
Pengkayaan Bulakan
2006 25 Ha
Tanaman
Hutan Rakyat Randakari dan Banjarnegara
100 Ha
Kemitraan
Gully Plug 8 Unit Mekarsari dan Lebakgede
82

a) b)

Gambar Lampiran 3. a) Contoh Manajemen Lahan Kelas Sedang,


b) Contoh Manajemen Lahan Kelas Buruk

Gambar Lampiran 4. Contoh Foto-Foto Lahan Kritis di Lapangan

Você também pode gostar