Você está na página 1de 16

PENGARUH LINDI TPA BANJARAN PURBALINGGA TERHADAP

BEBERAPA KUALITAS FISIK DAN KIMIA AIR PADA SALURAN


IRIGASI BANJARAN PURBALINGGA

EFFECT LEACHATE TPA BANJARAN PURBALINGGA AGAINST


SOME OF THE PHYSICAL AND CHEMICAL QUALITY OF WATER
IN IRRIGATION CANAL BANJARAN PURBALINGGA
Yoni Dwinur Yuninda, Asrul Sahri Siregar dan Norman Arie Prayoga

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman


Email : yoniyuninda@gmail.com

ABSTRAK
Lindi merupakan bahan pencemar yang berpotensi mengganggu lingkungan dan
kesehatan manusia. Penelitian ini berjudul Pengaruh Lindi TPA Banjaran Purbalingga
Terhadap Beberapa Kualitas Fisik dan Kimia Air Pada Saluran Irgasi Banjaran Purbalingga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas fisik dan kimia air, perbedaan kualitas fisik
dan kimia air, dan stastus pencemaran berdasarkan standar baku mutu antar stasiun sebelum
dan setelah tercemari lindi. Penelitian ini dilaksanakan 2 stasiun sebelum tercemar lindi dan 3
stasiun setelah tercemar lindi TPA Banjaran Purbalingga, masing-masing stasiun dua ulangan
pada waktu pagi dan siang hari. Analisis uji F menunjukkan hasil tidak beda nyata pada
temperatur, bau dan warna. Beda nyata pada kekeruhan, TSS, DO, pH, BOD dan COD. Hasil
rata-rata kualitas fisik dan kimia air pada saluran irigasi sebelum dan setelah tercemari lindi,
temperatur berkisar 27,27 ± 0,35 0C dan 25,92 ± 0,52 0C, kekeruhan kisaran 4,02 ± 0,93 NTU
dan 6,93 ± 2,06 NTU, TSS kisaran 58,15 ± 6,6 mg/L dan 113,83 ± 11,13 mg/L, DO 6,40 ±
0,41 mg/L dan 4,27 ± 0,23 mg/L, pH kisaran 7,61 ± 0,02 dan 8,48 ± 0,06, BOD kisaran 0,34 ±
0,29 mg/L dan 71,05 ± 9,02mg/L dan COD kisaran 13,92 ± 1,02 mg/L dan 303,43 ± 38,67
mg/L. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saluran irigasi Banjaran, telah tercemari
lindi TPA Banjaran namun masih cukup baik untuk kelangsungan hidup biota air.. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa saluran irigasi Banjaran, telah tercemari lindi TPA
Banjaran namun masih cukup baik untuk kelangsungan hidup biota air.

Kata kunci : Lindi, kualitas fisik dan kimia air, saluran irigasi Banjaran, Purbalingga.

ABSTRACT
Leachate is a pollutant that potentially disturb the environment and human health. This
research entitled Effect of Landfill Leachate Banjaran Purbalingga Against Multiple Physical
and Chemical Quality Air On Channel Irgasi Banjaran Purbalingga. This study aims to
determine the physical and chemical quality of water, differences in physical and chemical
water quality and pollution stastus based quality standards between the stations before and after
the contaminated leachate. The research was conducted before the polluted leachate 2 station
and 3 station after contaminated landfill leachate Banjaran Purbalingga, each station two
replications in the morning and afternoon. F test analysis showed no significant difference in
the results of temperature, odor and color. Real difference in turbidity, TSS, DO, pH, BOD and
COD. The average yield of the physical and chemical quality of the water in the irrigation
station before and after the contaminated leachate, the temperature ranges from 27.27 ± 0.35
0
C and 25.92 ± 0.52 0C, turbidity range of 4.02 ± 0.93 NTU and 6 , 93 ± 2.06 NTU, TSS range
of 58.15 ± 6.6 mg /L and 113.83 ± 11.13 mg/ L, DO range of 6,40 ± 0,41 mg/L and 4,27 ± 0,23
mg/L, pH range of 7.61 ± 0.02 and 8.48 ± 0.06, BOD range of 0.34 ± 0.29 mg/L and 71,05 ±
9,02mg/L and COD range of 13,92 ± 1.02 mg/L and 303,43 ± 38,67 mg/L. It be concluded that
the irrigation channels Banjaran, has contaminated landfill leachate Banjaran but still good
enough for the survival of aquatic biota.

Keyword : leachate, physical and chemical quality of water, irrigation channels Banjaran,
Purbalingga.

PENDAHULUAN
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah adalah tempat untuk menimbun sampah dan
merupakan bentuk akhir dari program pengelolaan sampah (Depkes RI, 1987). Undang-undang
nomor 18 tahun 2008 tentang pengeloalaan sampah, menyatakan bahwa Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) sampah merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam
pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemimdahan atau pengangkutan,
pengolahan dan pembuangan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah tempat untuk
memproses dan mengembalikansampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan
lingkungan.
Setiap wilayah kota atau kabupaten besar di Indonesia memiliki TPA untuk menangani
sampah domestik. TPA di wilayah Purbalingga berada di Desa Banjaran, Kecamatan
Bojongsari Kabupaten Purbalingga. TPA banjaran didirikan pada tahun 2001, dengan luas 4,7
hektar. Pada tahun 2009, jumlah sampah yang membebani lingkungan hidup pada tahun
tersebut diperkirakan mencapai 13.520.535 kg (Perda Kab. Purbalingga No 6 tahun 2011).
Tumpukan sampah yang berada di TPA Banjaran yang menghasilkan air lindi. Lindi
merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali
senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar yang sangat tinggi, khususnya zat
organik.
Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak
sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar yang sangat tinggi,
khususnya zat organik. Cairan tersebut kemudian mengisi rongga-rongga pada sampah, bila
kapasitasnya telah melampaui kapasitas tekanan air dari sampah, maka cairan tersebut akan
keluar dan mengekstraksi bahan organik dan an-organik hasil proses físika, kimia dan biologis
yang terjadi pada sampah. Oleh karena itu, lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran
air, baik air permukaan, air tanah maupun air bawah tanah, maka perlu dikelola dengan baik
(Pinem et al, 2014). Karakteristik lindi mempunyai karakteristik khas, karena memiliki
konsentasi BOD yang tinggi (Damanhuri et al, 2006). BOD merupakan banyaknya oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik dalam keadaan aerobik
menurut reaksi biokimia (Chatib, 1998).
Bahan organik dan anorganik yang terkandung pada air lindi dan langsung dibuang
kebadan perairan akan menimbulkan pencemaran yang menyebabkan adanya perubahan-
perubahan pada sifat fisik dan kimia air. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring dan
pengelolaan untuk menjamin kualitas air, baik fisika maupun kimia air yang diinginkan sesuai
peruntukannya, agar tetap dalam kondisi stabil (Kesuma, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui kondisi, perbedaan kualitas fisik dan kimia
air dan stastus tingkat pencemaran berdasarkan standar baku mutu air antar stasiun sebelum
dan setelah tercemari lindi TPA Banjaran Purbalingga pada saluran irigasi Banjaran.

MATERI DAN METODE

Materi Penelitian
Alat
Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, botol Winkler 250 mL,
gelas ukur 100 mL, gelas ukur 5 mL, biuret, statif, labu Erlenmeyer, pipet karet atau pipet
seukuran, kompor listrik (pemanas), botol sampel (botol mineral), termometer celcius, keping
sechi, tali rafia, ice box, timbangan digital, turbidimeter, label, tisuue, dan oven.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian in adalah sampel air, akuades larutan
MnSO4, larutan KOH-KI, larutan H2SO4 pekat, indikator amilum 0,5%, larutan Na2S2O3 0,025
(Uji BOD), larutan KMnO4 0,01 N, larutan asam oksalat 0,01 N, dan larutan H2SO4 4 N (Uji
COD), larutan SiO2 (uji kekeruhan), kertas Whatman no 41 dan aquades (uji TSS).

Metode Penelitian
Metode dan Teknik Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Teknik pengambilan
sampel menggunakan metode stratified sampling (titik pengambilan sampel sesuai tingkatan).
Lokasi penelitian terdiri dari lima stasiun. Penentuan stasiun-stasiun pengambilan sampel
berdasarkan pada lingkungan dan keberadaan sumber bahan pencemar, dilakukan dua kali
ulangan dan pengambilan dua kali waktu yaitu pagi dan siang.
Pada stasiun I saluran sebelum tercemar lindi, di stasiun ini difungsikan untuk
memancing dan pengairan persawahan. Stasiun II berjarak ± 100 m sebelum lindi masuk ke
perairan, pada saluran ini digunakan untuk memcunci oleh warga sekitar. Pada stasiun III
saluran saat setelah lindi masuk ke badan perairan, tidak ada kegiatan manusia. Pada stasiun
IV saluran berjarak ± 100 m dari lindi masuk ke perairan, saluran difungsikan hanya untuk
buangan kegiatan mandi dan mencuci. Stasiun V saluran setelah tercemar lindi yang
difusingkuan untuk pengairan perkebunan dan persawahan.
Tabel 1. Lokasi Stasiun-stasiun Pengambilan Sampel
Stasiun Lokasi
I Saluran irigasi berjarak 500 m sebelum terkena air lindi
II Saluran irigasi berjarak 100 m sebelum terkena air lindi
III Saluran irigasi saat terkena air lindi
IV Saluran irigasi berjarak 100 m dari stasiun III
V Saluran irigasi berjarak 500 m dari stasiun III
Gambar 1. Denah lokasi pengambilan sampel

St V

St IV

St III

St I

St II

Parameter Penelitian
Parameter penelitian meliputi yaitu temperatur, kekeruhan, TSS, bau, warna, DO, pH,
BOD dan COD.

Prosedur Penelitian
Sampel air diambil dengan menggunakan botol Winkler 250 mL dan botol sampel 600
mL. engambilan sampel oksigen terlarut dilakukan dengan secara hati-hati agar tidak ada
gelembung udara yang masuk. Samapel air dapat diukur insitu dan exitu. Pengambilan sampel
air untuk analisis yang bersifat insitu (langsung diukur di lapangan) tidak dilakukan
pengawetan temperatur, bau, warna dan kedalaman, sedangkan pengambilan sampel air untuk
yang bersifat eksitu (pengamatan laboratorium) didinginkan dalam ice box Biological Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Kekeruhan, pH, Dissolved Oxygen (DO)
dan TSS.

Pengukuran Parameter Penelitian


a) Temperatur
Temperatur air diukur dengan metode pemuaian atau termometer celcius (APHA, 2005).
Pengukuran dilakukan menggunakan termometer celcius yang memiliki tingkat ketelitian 10C.
Untuk mengukur suhu air, termometer digantung menggunakan seutas tali, kemudian
dicelupakan ke dalam air dan ditungggu ± 10 menit sampai skala pada termometer
menunjukkan angka konstan. Angka tertera pada termometer dicatat sebagai data.
b) Total Suspened Solid
TTS atau jumlah padatan tersusupensi diukur dengan metode Gravimetri (APHA, 2005).
Pengukuran dilakukan dilakukan menggukan kertas Whatman No. 41. Kertas tersebut, terlebih
dahulu dibilas dengan akuades, selanjutnya dikeringan dalam pada suhu 103-1050C selama 1
jam, kemudian didinginkan selama ± 15 menit dan ditimbang beratnya (Nilai B). Sampel air
diambil sebanyak 100 mL dan disaring dengan kertas tersebut. Setelah disaring, kertas tersebut
dikeringan kembali dalam oven pada suhu 103-1050C selama 1 jam, kemudian didinginkan
selama ± 15 menit dan ditimbang beratnya (Nilai A). Beratnya TSS dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
(𝐴−𝐵)𝑥 1000
TSS = mg/L
𝐶
Keterangan :
A = berat kertas saring + residu
B = berat kertas saring
C = volume sampel air yang disaring (100 mL)

c) Kekeruhan
Kekeruhan diukur dengan menggunakan metode turbidimeter (APHA. 2005) merek
lamote model 2005. Caranya turbidemeter dikalibrasikan dahulu dengan larutan standar SiO2
(0,5 dan 0,05 NTU), setelah itu kurvet diisi dengan air contoh sampai batas yang sudah
ditentukan, diukur, dana dicatat hasilnya.

d) Bau
Pengukuran bau perairan dilakukan secara insitu dengan menggunakan organoleptik.

e) Warna
Pengukuran warna perairan dilakukan secara insitu dengan menggunakan organoleptik.

f) pH
Nilai pH air diukur menggunakan metode konduktivimetri atau dengan alat pH meter (APHA,
2005). Ambil sampel air dari sungai, letakkan ke dalam ice box. Ukur nilai pH dengan
menggunakan pH meter. Kalibrasi terlebih dahulu alat larutan ber-pH 4 dan pH 7. Ambil
sampel secukupnya pada cawan. Celupkan pH meter ke dalam air sampel, tunggu hingga stabil.
Lihat nilai pH pada alat dan catat hasilnya.

g) Oksigen Terlarut (DO)


Oksigen terlarut (DO) diukur dengan metode Winkler (APHA, 2005). Pengukran ini dilakukan
dengan mengambil sampel air menggunakan botol Winkler sebanyak 250 mL. Pengambilan
sampel air dilakukan dengan hati-hati, agar jangan ada gelembung udara dalam botol. Sampel
air dalam botol, ditambah MnSO4 dan KOH-KI masing-masing sebanyak 1 mL. Botol sampel
ditutup, lalu dihomogenkan dengan membolak-balikkan botol ± 15 kali dan didiamkan
beberapa saat sampai terbentuk endapan yang berwaran cokelat. Setelah terbentuk endapan,
kemudian ke dalam botol tersebut ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 1 mL. Botol kemudian
ditutupkan dihomogenkan kembali sampai endapan larut, selanjutnya diambil sebanyak 100
mL dan dimaksukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan indikator amilum 0,5%
sebanyak 10 tetes yang menyebabkan warnanya berubah menjadi biru tua. Selanjutnya, ditritasi
dengan Na2S2O3 0,025 N sampai warna biru tepat hilang. Volume Na2S2O3 dipergunakakn
untuk titrasi dicatat. Kandungan O2 terlarut dihitung dengan rumus sebagai berikut :
1000
Kandungan O2 = p x q x 8 mg/L
100
Keterangan :
p = volume larutan Na2S2O3 yang dipakai untuk titrasi
q = normalitas larutan Na2S2O3 0,025 N
8 = bobot setara O2
100 = volume air sampel (mL)

h) Biological Oxygen Demand (BOD)


Biological Oxygen Demand (BOD) dikur dengan menggunakan meode Winkler (APHA,
2005). Pengukuran dilakukan dengan mengambil sampel air menggunakan botol Winkler
sebanyak 500 mL. sampel air tersebut kemudian diencerkan, tingkat pengenceran tergantung
jenis air sampel, untuk air sungai antara 10-100%. Satsiun I pengenceran sebesar 80%, satiun
II sebesar 80%, stasiun III sebesar 2%, stasiun IV sebesar 5% dan stasiun V 8%. Siapkan botol
Winkler sebanyak 20 buah 2 botol untuk masing masing sampel dan blanko. Sampel air yang
telah diencerkan, selanjutnya dimasukan ke dalam 2 buah botol BOD sampai penuh, masing-
masing digunakan untuk pengukuran DO dampel nol hari dan DO sampel lima hari. Untuk satu
botol pertama, baik dari botol sampel maupun botol blanko langsung dukur dengan kandungan
O2 terlarutnya (prosedur yang dilakukan sama dengan pengukuran O2 terlarut) yang dinyatakan
dengan DO nol hari (A0 dan S0). Untuk botol kedua berlaku untuk sampel dan blanko dilakukan
inkubasi selama 5 hari pada suhu 2000C. Setelah hari ke-5, baru diukur kandungan O2
terlarutnya yang dinyatakan dengan DO lima hari (A5 dan S5). Rumus perhitugan BOD yaitu
sebagai berikut :
(A5 − A0 )−(S5 − S0 )
BOD5 = T mg/L
P
Keterangan :
A0 = O2 terlarut sampel pada nol hari
A5 = O2 terlarut sampel pada lima hari
S0 = O2 terlarut blanko pada nol hari
S5 = O2 terlarut blanko pada lima hari
T = persen perbandingan antara A0 : S0
P = derajat pengenceran

i) Chemical Oxygen Demand (COD)


Sampel air diambil dengan botol sampel dan dilakukan pengenceran bila perlu, tingkat
pengenceran tergantung pada kondisi sampel air yang diteliti. Pengenceran untuk stasiun I
sebesar 80%, stasiun II sebesar 80%, stasiun III sebesar 2%, stasiun IV sebesar 5% dan stasiu
V 8%. Kemudian ditempatkan ke ndalam labu Erlenmeyer sebanyak 100 mL, lalu ditambah
larutan H2SO4 4N sebanyak 5 mL dan larutan KMnO4 0,01 N sebanyak 100 mL. Selanjutnya
dididihkan 10 menitlalu didinginkan. Setelah dingin ditambahkan larutan oksalat 0,01 N
sebanyak 10 mL lalu ditritasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai berwarna merah muda.
Selanjutnya untuk faktor koreksi, pertama akuades dimabil sebanyak 100 mL dan ditempatkan
ke dalam labu Erlenmeyer lalu ditambahkan H2SO4 4N sebanyak 5 mL dan larutan oksalat 0,01
N sebanyak 10 mL. Labu digoyang-goyangkan hingga larutan merata lalu diamkan 10 menit,
selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai berwarna merah muda. Kadar COD
dapat dihitung melalui rumus sebagai berikut :
COD sampel−COD blanko
Kadar COD = P
1000
COD = x {(10 + a)F − 10 }x 0,01 31,6
100
10
F=
𝑚𝑙 𝐾𝑀𝑛𝑂4
Keterangan :
P = persen pengenceran
a = volume KMnO4 yang terpakai (mL)
F = faktor koreksi
31, 6 = berat ekuivalen

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Beberapa Kualitas Fisik dan Kimia Air


a) Temperatur

Hasil rata-rata nilai temperatur pada stasiun sebelum tercemari lindi waktu pagi dan siang
hari sebesar 26,00 0C dan 28,50 0C, sedangkan nilai rata-rataan temperatur setelah tercemar
lindi waktu pagi dan siang hari adalah sebasar 26,00 0C dan 25,83 0C rataan 26,00 0C ± 0,00
dan 28,50 ± 0,35 0C. Hasil rata-rata nilai temperatur sebelum dan sesudah tercemari lindi TPA
Banjaran dapat dilihat pada Gambar 2.
35
28.5
30 26 26 25.83
25
Temperatur (0C)

NAB Min
20
15
Pagi
10 a
a Siang
5
0
Sebelum tercemari lindi Setelah tercemari lindi
Huruf yang sama menunjukkan non significant F<0,05
Keterangan :
NAB Min = Nilai Ambang Batas Minimun
Gambar 2. Grafik temperatur saluran irigasi Banjaran sebelum dan sesudah tercemari lindi
TPA Banjaran Purbalingga
Nilai suhu sebelum dan setelah tercemari air lindi terlihat pada gambar 2 yang
menunjukkan bahwa pada stasiun sebelum dan setelah tercemari air indi tidak terdapat
perbedaan yang nyata atau non significant. Hal ini disebabkan karena selisih waktu
pengambilan yang pendek akan menyebabkan nilai suhu antara tempat satu dan lainnya sama
atau tidak seberapa mencolok, biasanya disebut sebagai temperatur relatif atau nisbi yaitu
jumlah perbandingan jumlah uap air diperairan dengan yang terkandung di perairan pada suhu
yang sama, sehingga suhu diperairan dibatasi ruang dan waktu (Hardjodinomo, 1975).
Pengaruh dari temperatur yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan viskositas, reaksi
kimia, laju reaksi, evaporasi dan volatisasi (Effendi, 2003). Peningkatan temperatur dapat
menyebabkan penurunan kelauratan gas termasuk kadar oksigen terlarut dalam air,
peningkatan metabolisme dan respirasi fitoplankton, bhentik, ikan dan organisme lainnya
(Nybakken, 1992). Banyak kegiatan biota air dikontrol oleh suhu, maka dari itu perubahan
suhu yang besar pada peraiaran dianggap merugikan.
Nilai suhu yang terkandung pada saluran irigasi Banjaran Purblingga sebelum dan setelah
tercemari lindi TPA antara 25-29 0C. Menurut Winarno (1974) bahwa standar baku mutu
temperatur perairan antara 23-320C. Dengan demikian, kondisi perairan stasiun sebelum dan
sesudah tercemari lindi masih dapat mendukung kehidupan pakan alami maupun biota air.

b) Kekeruhan

Hasil rata-rata nilai kekeruhan pada stasiun sebelum tercemari lindi adalah sebesar 4,04
± 0,93 NTU, sedangkan nilai kekeruhan setelah tercemari air lindi adalah 6,93 ± 2,06 NTU.
Hasil rata-rata nilai kekeruhan sebelum dan setelah tercemar lindi dari TPA Banjaran dapat
dilihat pada Gambar 3.

14
12
10
6.93
Kekeruhan (NTU)

8
6 4.02
NAB
4
2
0
Sebelum tercemari lindi Setelah tercemari lindi
Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang significant F>0,05
Keterangan :
NAB = Nilai ambang batas
Gambar 3. Grafik kekeruhan pasa saluran irigasi Banjaran sebelum dan setelah tercemar
lindi TPA Banjaran Purbalingga

Nilai kekeruhan sebelum dan setelah tercemari lindi terlihat pada gambar 3 yang
menunjukkan bahwa pada stasiun sebelum tercemari lindi dengan stasiun setelah tercemari
lindi terdapat perbedaan significant. Nilai dari kekeruhan sebelum dan seletah tercemari lindi
dibawah nilai ambang batas minimum, kekreuhan yang rendah akan berdampak penetrasi
cahaya mudah masuk ke saluran irigasi. Standar baku mutu kekeruhan berkisar antara <5 NTU,
dengan demikian nilai kekeruhan di saluran irigasi banjaran sebelum tercemari lindi masih
mendukung bagi kehidupan biota air dan setelah tercemari lindi TPA Banjaran kurang
mendukung bagi kehidupan biota air dan organisme perairan (Perda Prrov. Jateng No. 10 Th.
2004).

c) Total Suspened Solid (TSS)

Rata-rata nilai TSS pada stasiun sebleum tercemari lindi sebesar 58,15 ± 6,36 mg/L dan
setelah tercemari lindi 138,87 ± 11,13 mg/L. Hasil rata-rata sebelum dan setelah tercemari lindi
TPA Banjaran dapat dilihat pada Gambar .
160 138.87
140
120
100 NAB Max
58.15
TSS (mg/L)

80
60
NAB Min
40
20
0
Sebelum tercemari lindi Setelah tercemari lindi
Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang significant F>0,05
Keterangan :
NAB Min = Nilai ambang batas minimun
NAB Max = Nilai ambang batas maksimum
Gambar 4. Grafik TSS pada saluran irigasi Banjaran sebelum dan setelah teremari lindi TPA
Banjaran Purbalingga
Kandungan TSS pada sebelum dan setelah tercemari lindi terlihat pada gambar 4 yang
menunjukkan pada stasiun sebelum dengan setelah tercemari lindi terdapat perbedaan yang
nyata atau significant. Kandungan TSS yang tinggi pada perairan akan mennyebabkan
terjadinya kekeruhan yang akan menghalangi penetrasi cahaya matahari masuk ke badan
perairan dan berpengaruh pada proses fotosintesis di dalam perairan. Selain itu, TSS yang
tinggi dapat mengakibatkan tipe subtrat perairan menjadi lumpur dan menciptakan suasana
anaerobik, sehingga suplai oksigen di peraairan rendah (Effendie, 2003). Standar baku mutu
TSS perairan berkisar 50-100 mg/L, dengan demikian kandungan TSS pada stasiun sebelum
dan sesudah tercemari lindi TPA tidak mendukung untuk kehidupan pakan alami dan biota air
(APHA, 2005).

d) Bau

Hasil dari pengamatan menunjukkan perbedaan perairan pada stasiun sebelum tercemari
lindi dengan setelah tercemari lindi TPA. Pada stasiun sebelum tercemari lindi tidak berbau,
karena tingkat pencemaran relatif sedikit dan tingkat sedimentasi limbah yang rendah, sehingga
tidak meninggalkan bau. Kondisi stasiun tepat tercemari lindi yaitu stasiun III berbau busuk
menyengat. Hal ini dikarenakan letak stasiun sangat dekat dengan TPA. Bau diperairan
disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik yang membusuk dan akibat tidak langsung dari
pencemaran lingkungan, terutama sistem sanitasi. Bau yang menyengat akan berdampal
mengurangi nafsu makan serta menghambat pertumbuhan organisme perairan dan dapat
menurunkan kualitas perairan.
Baku mutu bau perairan yaitu tidak berbau, dengan demikian kondisi bau perairan pada
sebelum terpolusi lindi masih mendukung untuk kehidupan biota air dan pakan alami,
sedangkan kondisi bau perairan pada stasiun setelah tercemari lindi tidak mendukung untuk
kehidupan biota air dan pakan alami (PP No.82 Th.2001).

e) Warna

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan warna perairan pada stasiun
sebelum tercemari lindi dan setelah tercemari lindi. Pada stasiun sebelum tercemari lindi
memiliki warna cokelat jernih, hal ini disebabkan karena adanya masukan bahan anorganik dan
organik dari aktivitas limbah pertanian dan pemancingan sehingga perairan berwarna cokelat.
Kondisi stasiun setelah tercemari lindi memiliki warna cokelat tua, yang disebabkan masuknya
bahan organik dan anorganik tinggi yanng berasal dari aktivitas di TPA Banjaran. Warna
cokelat tua berasal dari partikel-partikel tanah yang mengikat beberapa mineral dan adanya
substrat lumpur dari hasil sedimentasi atau pengendapan bahan-bahan organik dan anorganik.
Warna diperairan menyebabkan terganggunya penglihatan biota air dan menyebabkan stress
pada biota air karenda rendahnya kandungan oksigen terlarut yang dicirikan dengan substrat
berlumpur serta menurunkan kualitas perairan (Supiyati et al, 2012)
Baku mutu warna perairan yaitu tidak berwarna, dengan demikian kondisi warna pada
stasiun sebelum tercemari lindi TPA cukup mendukung bagi kehidupan biota air dan pakan
alami, sebaliknya warna air pada stasiun setelah tercemari lindi TPA kurang mendukung untuk
kehidupan biota air dan pakan alami (PP No.82 Th.2001).

f) Dissolved Oxygen (DO)


Nilai DO sebelum tercemari lindi TPA Banjaran memili nilai 6,40 ± 0,41 mg/L dan
setelah tercemari lindi TPA memilik nilai 4,27 ± 0,23 mg/L. Hasil rata-rata sebelum dan setelah
tercemar lindi TPA Banjaran dapat di lihat pada Gambar 5.

8 NAB Max
6.4
7
6
5 4.27 NAB Min
DO (mg/L)

4
3
2
1
0
Sebelum tersemari lindi Setelah tercemari lindi
Huruf yang berbeda menunjukkan hasi yang significant F>0,05
Keterangan :
NAB Min = Nilai ambang batas minimun
NAB Max = Nilai ambang batas maksimum
Gambar 5. Grafik DO pada saluran irigasi Banjaran sebelum dan setelah teremari lindi TPA
Banjaran Purbalingga
Nilai DO pada saluran irgasi Banjaran sebelum dan setelah tercemar lindi TPA Banjaran
terlihat pada gambar 5 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata atau
significant. Kandungan DO yang rendah pada stasiun setelah tercemari lindi. Nilai DO yang
rendah akan berdampak mengagnggu respirasi organisme air dan terganggunya proses
degradasi senyawa organik dalam air. Menurut Sitanggang (2006) nilai DO yang terlalu rendah
atau tinggi akan menyebkan kematian pada organisme akuatik bahkan terjadi kematian.
Standar baku DO berkisar antara 5-8 mg/L, dengan demikian bahwa saluran rigasi sebelum
tercemari lindi masih mendukung kehidupan bagi biota air namun stasiun setelah tercemar
kurang mendukung bagi kehidupan biota air. (Kristanto, 2004).

g) Potensial of Hydrogen (pH)

Rata-rata nilai pH pada stasiun sebelum tercemari lindi adalah sebesar 7,61 ± 0,02,
sedangkam pada stasiun setelah tercemari lindi sebesar 8,48 ± 0,06. Hasil rata-rata nilai pH
sebelum dan sesudah tercemari lindi dari TPA Banjaran dapat dilihat pada Gambar 6.
9 8.48
7.61 NAB Max
7.5
6 NAB Min

4.5
pH

3
1.5
0
Sebelum tersemari lindi Setelah tercemari lindi
Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang significant F>0,05
Keterangan :
NAB Min = Nilai ambang batas minimun
NAB Max = Nilai ambang batas maksimum
Gambar 6. Rata-rata nilai pada saluran irigasi Banjaran sebelum dan setelah tercemar lindi
TPA Banjaran Purbalingga

Nilai pH pada saluran irigasi sebelum dan setelah tercemari lindi terlihat pada gambar
15 yang menunjukkan bahwa stasiun sebelum tercemari lindi dan stasiun setelah tercemari lindi
terdapat perbedaan yang nyata ata significant. Walaupun terdapat perbedaan yang nyata,
namun nilai pH setelah tercemari tidak terlalu tinggi. Kondisi perairan yang bersifat asam
maupun basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Menurut Boyd (1988) bahwa perairan dengan
pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk
hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat menyebabkan
kematian dan mengurangi produktivitas perairan. Standar baku pH adalah 6-9. Dengan
demikian saluran irigasi Banjaran sebelum dan setelah tercemari lindi masih memungkinkan
untuk kehidupan biota air (PP No. 82 Th. 2001).

h) Biological Oxygen Demand (BOD)


Kandungan nilai BOD sebelum tercemari lindi memiliki kisaran 0,34 ± 0,29 mg/L dan
setelah tercemari lindi memiliki nilai BOD dengan kisaran 71,05 ± 11,02 mg/L. Hasil
kandungan rata-rata nilai BOD sebelum dan setelah tercemari lindi dapat dilihat pada Gambar
6.
84 71.05
73.5
63
52.5
BOD (mg/L)

42
31.5
21
10.5 0.34 NAB Max
0 NAB Min
Sebelum tersemari lindi Setelah tercemari lindi
Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang singnificant F>0,05
Keterangan :
NAB Min = Nilai ambang batas minimun
NAB Max = Nilai ambang batas maksimum
Gambar 6. Grafik kandungan rata-rata nilai BOD pada saluran irigasi Banjaran sebelum dan
setelah tercemari lindi TPA Banjaran Purbalingga

Kandugan BOD sebelum dan setelah tercemari lindi terlihat pada gambar 6 yang
menunjukkan bahwa pada staiun sebelum tercemari lindi dengan stasiun setelah tercemari lindi
terdapat perbedaan yang nyata atau significant. Hal ini disebabkan adanya masukan bahan
pencemar dari air lindi yang mengadung senyawa organik dan anorganik, sehingga dapat
meningkatkan kandungan BOD. Dampak dari tingginya nilai BOD mengakibatkan penurunan
kualitas air dan mengganggu kehidupan biota air. Kandungan BOD yang tinggi menyebabkan
penurunan kandungan oksigen terlarut, kandungan oksigen terlarut menjadi tidak seimbang,
jika oksigen terlarut tidak seimbang maka respirasi ikan akan terganggu dan mengakibatkan
stress (Effendie, 2003).
Baku mutu kandungan BOD perairan berkisar 0,5-10 mg/L. Dengan demikian saluran
irigai sebelum tercemari lindi masih memungkinkan bagi kehidupan biota air, sedangkan
saluran setelah tercemari lindi tidak memungkinkan bagi kehidupan biota air (PP No. 82 Th.
2001).

i) Chemical Oxygen Demand (COD)


Rata-rata nilai kandunga COD sebelum tercemari lindi memiliki nilai kisaran 13,77 ±
1,02 mg/L dan setelah tercemari lindi memiliki kisaran sebesar 303,43 ± 38,67 mg/L. Hasil
kandungan rata-rata COD dapat dilihat pada Gambar 7.
360 303.43
330
300
270
240
COD (mg/L) 210
180
150
120
90
60
30 13.77
NAB
0
Sebelum tersemari lindi Setelah tercemari lindi
Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang significant F>0,05
Keterangan :
NAB = Nilai Ambang batas
Gambar 7. Grafik kadungan rata-rata COD sebelum dan setelah teremari lindi TPA Banjaran
pada saluran irigasi Banjaran

Kandungan rata-rata COD sebelum dan setelah tercemari lindi terlihat pada gambar 7
yang menunjukkan perbedaan yang nyata atau significant antara sebelum tercemari lindi dan
setelah tercemari lindi. Hal ini disebabkan karena adanya masukan bahan pencemar yang tidak
diolah terlebih dahulu sehingga kandungan COD pada setelah tercemari lindi jauh lebih tinggi
dibandingkan sebelum tercermar. Tingginya kandungan COD dipengaruhi oleh degradasi
bahan organik maupun anorganik yang berasal dari aktivitas masyarakat di sekitar saluran
irigasi serta air lindi yang tidak diolah dengan baik. Tingginya kandungan COD pada air sungai
sangat dipengaruhi oleh tingginya BOD. Akibat dari kandungan COD yang tinggi akan
berpengaruh terhadap menurunya kadar oksigen terlarut (DO) sehingga akan berpengaruh
menurunnya kualitas perairan (Peavy, 1985).
Baku mutu kandungan COD di perairan yaitu kurang dari 20 mg/L. Dengan demikian
bahwa saluran irigasi sebelum tercemar masih baik dan mendukung untuk kehidupan biota air,
sedangkan pada saluran setelah tercemari lindi tidak baik bagi kehidupan biota air (PP No. 82
Th. 2001).

KESIMPULAN
1. Nilai rata-rata kualitas fisik dan kimia air yang diperoleh stasiun sebelum dan setelah
tercemari lindi TPA Banjaran menunjukkan: Temperatur berkisar 27,27 ± 0,35 0C dan
25,92 ± 0,52 0C; Kekeruhan kisaran 4,02 ± 0,93 NTU dan 6,93 ± 2,06 NTU; TSS kisaran
58,15 ± 6,6 mg/L dan 113,83 ± 11,13 mg/L; DO kisaran 6,40± 0,41 mg/L dan 4,47 ±
0,23 mg/L; pH kisaran 7,61 ± 0,02 dan 8,48 ± 0,06; BOD kisaran 0,34 ± 0,29 mg/L dan
71,05 ± 9,02mg/L dan COD kisaran 13,92 ± 1,02 mg/L dan 303,43 ± 38,67 mg/L.
2. Parameter kualitas fisik dan kimia air antar stasiun tercemari lindi yang menunjukkan
beda nyata, yaitu kekeruhan, TSS, DO, pH, BOD dan COD. Sedangkan yang tidak beda
nyata adalah temperatur, warna, bau dan pH.
3. Parameter kualitas fisik dan kimia air pada saluran irigasi Banjaran sebelum terpolusi
lindi masih mendukung bagi kehidupan biota air, namun pada saluran irigasi setelah
tercemari lindi kurang mendukung bagi kehidupan biota air.
DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. dan Santika S. S. 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. 309 Hal

Ali, M. 2011. Rembesan Air Lindi (Leachate) Dampak pada Tanaman dan Pangan. Upn Press.
Surabaya. ISBN 978-602-9372-44-1

APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Method for Eximination of
Water and Wastewater. 21th Ed. Washington DC.

Arbain, N. K., Mardana, dan Sudana I. B. 2007. Pengaruh Air Lindi Tempat Pembuangan
Akhir Sampah Suwung Terhadap Kualitas Air Tanah Dangkal di Sekitarnya di Kelurahan
Pedungan Kota Denpasar. Ecotrphic. Vol.3 (2) : 55-60.

Ariana, D. 2002. Pemetaan Batimetri dan Karakteristik Dasar Perairan dengan Data Satelit
Penginderaan Jauh. http://www.ipb.ac.id/ipb-research. Diakses pada 23 Juni 2016.

Boyd, C. E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn
University Agricultural Experiment Stasion, Alabama. USA. Hal 359.

_____, C. E. 1999. Kualitas Air. Belanda: Kluwer Academic Publishers Group. ISBN 0-7923-
7853-9

Chatib, B. 1998. Pengelolaan Air Limbah. ITB. Bandung

Damanhuri dan Padmi, T. 2004. Pengelolaan Sampah. Departemen Teknik Lingkungan


Institut Teknologi Bandung.

Davis, M. L., anda Cornwell D. A. 1991. Introction to Enviromental Engineering. Second


Edition. Mc-Graw-Hill, Inc, New York. Hal 822.

Dini, S. 2011. Evaluasi Kualitas Air Sungai Ciliwung di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Tahun 2000-2010. Skripsi. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1987 tentang Pembuangan Sampah: 36.

Eaton, A. D., Clesceri, L. S., dan Greenberg, A. E. 1995. APHA (American Public Health
Association): Standard Method for The Examination of Water and Wastewater 19th ed.,
AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control
Federation). Washington D.C.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.
Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hardjodinomo, S. 1975. Ilmu Iklim dan Pengairan. Binacipta, Bandung.


Isnawati, I. 2013. Struktur Komunitas Makrobentos pada Saluran Irigasi Banjaran II yang
Terpolusi Air Lindi TPA Banjaran Purwokerto. Skripsi. Program Studi Manajeman
Sumberdaya Perairan, Universitas Jenderal Soedirman.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu
Air Laut.

Kesuma, D. 2013. Pengaruh Limbah Industri Tahu Terhadap Kualitas Air Sungai di Kabupaten
Klaten. Jurnal Bumi Indonesia. Vol. 2 (1): 115-124

Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Universitas Kristen Petra Surabaya. Andi, Yogyakarta.

Machdar, I. 2008. Antisipasi Sanitasi Landfill. http://www.serambinews.com. Diakses tanggal


22 Juni 2016.

Mahida, U.N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah. Rajawali. Jakarta

Nontji, A. 1986. Rencana Pengembangan Puslitbang Limnologi. LIPI pada Prosiding Expose
Limnologi dan Pembangunan. Bogor.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Sounders Company. Philadelphia, London.

Peavy, Howard. 1985. Environmental Engineering. New Delhi. McGraw-Hill Publishing


Company Ltd.

Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Limbah.

Peraturan Daerah Purbalingga Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Purbalingga

Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian
Pencemaran Air.

Pinem, J. A., Megah S. G., dan Maria P. 2014. Pengolahan Air lindi TPA Muara Fajar dengan
Ultrafiltrasi. Jurnal Teknologi. Vol. 1 ISSN : 2087 – 5428 : 43-46.

Putra, I. K. 2012. Identifikasi Arah Rembesan dan Letak Akumulasi Lindi dengan Metode
Geolistrik Resitivitas Konfigurasi Wenner-Schlumberger di TPA Temisi Kabupaten
Gianyar. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Udayana Denpasar.

Rahayu, D. T. 2008. Hubungan antara Kandungan Nitrat dan Fosfat dengan Kelimpahan
Kandungan Klorofil-a pada Tambak di Kecamatan Sayung Kab.Demak. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Dipenogoro.
Semarang.

Sachlan. 1978. Planktonologi. Jakarta: Lembaga Oceanologi Indonesia.


Shiver dan Atkins. 2010. Inorganik Chemistry Fifth Edition. Oxford University Press : 230.

Sehah dan Cahyanto W. T. 2009. Pengujian Daya Hantar Listrik Air Tanag di Sekitar Tempat
Pembangunan Akhir Gunung Tugel Kabupaten Purbalingga Menggunakan Prinsip
Jembatan Wheatsone. Molekul. Vol. 4 (1) : 39 - 47

Setyowati, 1976. Sifat Fisik dan Kimiawi Pada Air. Salatiga. Universitas Kristen Satyawacana.

Siregar, S. A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Sitanggang M dan Sarwono B., 2006. Budi Daya Gurami. Penebar Swadaya: Jakarta.

Sulinda, D. 2004. Penentuan Nilai Parameter Kinetika Lumpur Aktif pada Pengolahan Air
Lindi Sampah Secara Aerobik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor

Suparjo, M. N. 2009. Kondisi Pencemaran Perairan Sungai Babon Semarang. Jurnal Saintek
Perikanan, Vol. 1 (2): 8-19.

Supiyati, Halaudin, dan Arianty, G. 2012. Karakteristik dam Kualitas Air di Muara Sungai
Hitam Provinsi Bengkulu dengan Software Som Tollbox 2. Jurnal Ilmu Fisika Indonesia.
Vol 1 (2): 67-73.

Suroso., PS. Nugroho., dan Pasrah P. 2007. Evaluasi Kerja Jaringan Irigasi untuk
Meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi Pengelolaan Air Irigasi. Dinamika Teknik Sipil.
Vol. 7 (1) : 55-62

Tebbut, T. H. T. 1992. Principles of Water Quality Control. Fourth Edition. Pergamon Press,
Oxford. Hal 251.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008. Tentang Pengelolaan Sampah

UNNESCO/WHO/UNEP. 1992. Water Quality Assesments. Edited by Chapman, D. Chapman


and Hall Ltd. London. Hal 585.

Winarno. 1974. Mikrobiologi Air dan Dsar-dasar Pengelolaan Secara Biologis. Penerbit
Alumni Bandung.

Você também pode gostar