Você está na página 1de 8

Investigasi dan Audit Investigatif

Dalam filsafat auditing, kita mengenal konsep due audit care, prudent auditor, seorang
professional yang berupaya menghindari tuntutan dengan tuduhan teledor (negligent) dalam
melaksanakan tugasnya. Untuk itu, pemeriksa fraud atau investigator perlu mengetahui tiga
aksioma dalam pemeriksaan fraud.

Suatu investigasi hanya dimulai apabila ada dasar yang layak, yang dalam investigasi
dikenal sebagai predication. Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya
pembuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara)
yang berlaku.

 Aksioma Dalam Investigasi


Dalam pandangan para filsuf Yunani, aksioma adalah klaim atau pernyataan yang dapat
dianggap benar, tanpa perlu pembuktian lebih lanjut. Tradisi ini diteruskan dalam logika yang
tradisional, bahkan sampai kepada (apa yang kita sebut) ilmu-ilmu eksakta.
Aksioma atau postulate adalah pernyataan (proposition) yang tidak dibuktikan atau tidak
diperagakan, dan dianggap sudah jelas dengan sendirinya (self-evident). Kebenaran dari
proposisi ini tidak dipertanyakan lagi (taken for granted). Aksioma merupakan titik tolak untuk
menarik kesimpulan tentang suatu kebenaran yang harus dibuktikan (melalui pembentukan
teori).
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menyebut tiga aksioma dalam
melakukan investigasi atau pemeriksaan fraud. Ketiga aksioma ini oleh ACFE diistilahkan fraud
axions (aksioma fraud), yang terdiri atas:
1. Fraud is Hidden
Berbeda dengan kejahatan lain, sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi. Metode atau
modus operandinya mengandung tipuan, untuk menyembunyikan sedang
berlangsungnya fraud. Hal ini terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi
atau berlangsung.
Metode untuk menyembunyikan fraud begitu banyak; pelaku fraud sangat kreatif
mencari celah-celah untuk menyembunyikan fraud-nya, sehingga investigator yang
berpengalaman pun sering terkicuh. Memberikan pendapat bahwa fraud terjadi
(padahal fraud tidak terjadi) atau sebaliknya, memberikan pendapat bahwa fraud tidak
terjadi (padahal sebenarnya fraud terjadi), membuat investigator berisiko menghadapi
tuntutan hukum.
2. Reverse Proof
Reverse proof secara harafiah berarti “pembuktian secara terbalik”. ACFE menjelaskan
mengenai aksioma fraud yang kedua “The axamination of fraud is approached from
two perspectives. To prove that a fraud has occurred, the proof must include attempts
to prove it has not occurred. The reverse is also true. In attempting to prove fraud has
not occurred, that proof must also attempt to prove that it has”.
3. Existence of Fraud
Aksioma ini secara sederhana ingin mengatakan bahwa hanya pengadilan yang dapat
(berhak) menetapkan bahwa fraud memang terjadi atau tidak terjadi. Pemeriksa fraud
berupaya membuktikan terjadi atau tidak terjadinya fraud. Namun, hanya pengadilan
yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan hal itu.
 Predication
Langkah pertama akuntan forensik dalam audit investigatifnya adalah menyusun
predication. Fraud Examiners Manual (2006) menjelaskan predication adalah keseluruhan dari
peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang
membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman dengan kehati-hatian yang
memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang, atau akan berlangsung. Predication
adalah dasar untuk memulai investigasi. Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan
tanpa adanya predication yang tepat.
Setiap investigasi dimulai dengan keinginan atau harapan bahwa kasus ini berakhir dengan
suatu litigasi. Padahal ketika memulai investigasi, pemeriksa belum memiliki bukti yang cukup.
Seperti hipotesis yang harus diuji oleh ilmuwan, pemeriksa fraud membuat teori tentang
bagaimana fraud itu terjadi, yang disebut teori fraud. Investigasi dengan pendekatan teori fraud
meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Analisis data yang tersedia;
2. Ciptakan (atau kembangkan) hipotesis berdasarkan analisis di atas;
3. Uji atau tes hipotesis tersebut;
4. Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian sebelumnya.
 Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) mengatur
tahapan hukum acara pidana sebagai berikut:
1. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya penyidikan dilakukan. Penyelidikan tidaklah berdiri sendiri atau terpisah dari
penyidikan, melainkan merupakan satu rangkaian yang mendahului tindakan penyidikan
lainnya, yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Penyelidik
mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya dugaan tindak pidana;
b. Mencari keterangan dan barang bukti;
c. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri.
Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan;
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
c. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Wewenang penyelidik seperti mencari keterangan dan barang bukti sudah memasuki
ruang lingkup pembuktian. Kalau keterangan yang diperoleh dari beberapa orang saling
bersesuaian satu sama lain, apalagi kalau ada keterkaitan dengan barang bukti yang
ditemukan, maka penyidik dapat menduga telah terjadi suatu tindak pidana. Selanjutnya
penyidikan dapat dilakukan.
2. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan
bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi untuk
menemukan tersangkanya. Untuk mencari dan mengumpulkan bukti, undang-undang
memberi wewenang kepada penyidik untuk:
a) Menggeledah dan menyita surat dan barang bukti;
b) Memanggil dan memeriksa saksi, yang keterangannya dituangkan dalam berita
acara pemeriksaan saksi;
c) Memanggil dan memeriksa tersangka, yang keterangannya dituangkan dalam berita
acara pemeriksaan tersangka;
d) Mendatangkan ahli untuk memperoleh keterangan ahli yang dapat juga diberikan
dalam bentuk laporan ahli;
e) Menahan tersangka, dalam hal tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana.
Apabila dari bukti-bukti yang terkumpul diperoleh persesuaian antara yang satu dengan
yang lainnya, dan dari persesuaian itu diyakini bahwa memang telah terjadi tindak
pidana dan tersangka itulah yang melakukannya, maka penyidik menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum. Hasil penyidikan ini tertuang dalam berkas
perkara yang didalamnya terdapat bukti-bukti.
3. Penuntutan
Prapenuntutan adalah tindakan jaksa (penuntut umum) untuk memantau perkembangan
penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulaikan penyidikan dari penyidik,
mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima
dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat
menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap
penuntutan. Penuntut umum tidak akan menerima berkas perkara hasil penyidikan yang
barang buktinya tidak lengkap.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum yang melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang, sesuai dengan cara yang diatur dalam hukum acara
pidana, dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah atau
belum memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan. Apabila penuntut umum
berpendapat bahwa tidak dapat dilakukan penuntutan karena dari hasil penyidikan tidak
terdapat cukup bukti, maka penuntut umum dengan surat ketetapan menghentikan
penuntutan.
Sebaliknya apabila penuntut umum berpendapat bahwa terdapat cukup bukti
maka ia segera membuat surat dakwaan. Bersama berkas perkara, surat dakwaan
dilimpahkan ke pengadilan untuk selanjutnya dijadikan dasar pemeriksaan di sidang
pengadilan.
4. Pemeriksaan di sidang Pengadilan
Seperti pada tahap-tahap sebelumnya, acara pemeriksaan di sidang pengadilan tidak lain
berkenaan dengan pembuktian. Bukti-bukti yang diperoleh di tingkat penyidikan
diperiksa kembali di sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti adalah berikut ini:
a) Saksi-saksi yang telah diperiksa oleh penyidik dipanggil kembali ke sidang
pengadilan untuk memperoleh alat bukti keterangan saksi;
b) Tersangka yang sudah diperiksa ditahap penyidikan, diperiksa kembali di sidang
pengadilan, untuk mendapat alat bukti keterangan terdakwa;
c) Ahli yang telah memberikan keterangan di penyidikan atau yang telah membuat
laporan ahli, dipanggil lagi untuk didengar pendapatnya atau dibacakan laporannya
di sidang pengadilan, agar diperoleh alat bukti keterangan ahli;
d) Surat dan barang bukti yang telah disita oleh penyidik diajukan ke sidang
pengadilan untuk dijadikan alat bukti surat dan petunjuk.
Itulah cara memperoleh alat bukti di sidang pengadilan. Hanya alat bukti yang sah yang
diperoleh di sidang pengadilan, yang dapat meyakinkan hakim tentang kesalahan
terdakwa. Alat bukti yang sah ini terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
keterangan terdakwa, dan petunjuk. Pemeriksaan di sidang pengadilan mempunyai satu
tujuan saja, yaitu mencari alat bukti yang membentuk keyakinan hakim tentang bersalah
atau tidaknya terdakwa.
5. Putusan Pengadilan
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. Kesalahan
terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan atas
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang harus ada persesuaian satu dengan
yang lain. Berdasarkan alat bukti yang diperoleh di sidang pengadilan, hakim
menjatuhkan putusan berikut ini:
a. Putusan pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa terbukti
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
b. Putusan bebas, apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan.
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apabila pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana atau terbukti tetapi terdakwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya.
6. Upaya Hukum
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali, atau hak Jaksa Agung untuk mengajukan
kasasi demi kepentingan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Upaya hukum ada dua macam, yaitu Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum
Luar Biasa. Upaya Hukum Biasa terdiri atas Pemeriksaan Tingkat Banding dan
Pemeriksaan Kasasi. Upaya Hukum Luar Biasa terdiri atas Pemeriksaan Kasasi Demi
Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Permintaan banding ke pengadilan tinggi dilakukan terhadap putusan
pemidanaan. Permintaan kasasi dapat diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum
untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung terhadap semua putusan selain putusan
Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas murni. Permintaan peninjauan kembali
diajukan oleh terpidana untuk diperiksa Mahkamah Agung terhadap semua putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas, atau lepas dari
segala tuntutan hukum. Dasarnya adalah novum (bukti baru) yang ditemukan setelah
putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
7. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
8. Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Tahap 1 sampai dengan tahap 6 merupakan satu rangkaian pemeriksaan yang merupakan
upaya pembuktian.
 Bukti Dan Pembuktian-Auditing Dan Hukum
Dari penjelasan di bagian terdahulu, jelas bahwa keenam tahapan dalam KUHAP (mulai
Tahap Penyelidikan sampai Tahap Upaya Hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya
hukum luar biasa) berkenaan dengan pembuktian. Juga penjelasan mengenai fraud theory tidak
lain dari proses mengumpulkan bukti yang dapat diterima di pengadilan.
Tabel 1.1
Comparative Classification of Evidence in Two Fields
Significant Characteristics Law Auditing
Special purpose of area to Maintenance of justice Protection of statement
wich evidence is pertinent readers
Subject matter to which Occurrances at given times Financial statement
evidence is pertinent and place propositions
Method of collection or Presentation by opposing Submission by interested and
development parties disinterested parties
Rational deduction and Collected and developed by
inference independent party
Rationalization
Role of judgment-maker in Passive Both positive and passive
collection or development
Nature of rules governing the Logical presumptions Rules of Professional standards
study of evidence admissibility and relevance
Importance of time in A controlling factor A controlling factor
judgment formation and
evidence collection
Compulsiveness of evidence in persuasive Varies from absolute to
judgment formation persuasive
Para auditor yang berlatar belakang pendidikan akuntansi mengenal istilah bukti audit.
Mereka bahkan mengira bahwa pengertian bukti dalam auditing sama dengan pengertian yang
digunakan di pengadilan atau dalam bidang hukum.
Subjek dalam pengauditan adalah auditor yang mempunyai bakat dan kemampuan
memahami dan meyakini karena ia mempunyai indera, intelek (otak), dan hati. Untuk
memperoleh pemahaman dan keyakinan itu auditor melakukan aktivitas observasi, inspeksi,
konfirmasi, dan wawancara terhadap objek pengauditan. Objek pengauditan adalah konkret dan
riil yaitu bukti-bukti atau evidence. Hasil dari aktivitas itu adalah kognisi atau pemahaman dan
keyakinan akan bukti-bukti pengauditan. Pemahaman dan keyakinan akan bukti-bukti
pengauditan itulah yang dimaksud dengan evidential matter. Jadi, evidential matter ada di dalam
benak auditor, bukan suatu realitas objektif dan konkret yang berada di luar kesadaran intelektual
dan mental auditor. Evidential matter tidak sama dengan evidence seperti pada tabel dibawah ini:

Perbandingan Sifat antara Evidential Matter dan Evidence


Evidential Matter Evidence
1. Ada didalam benak atau kesadaran Ada di luar benak auditor
intelektual dan mental auditor
2. Abstrak Konkret, empiris
3. Realitas subjektif Realitas objektif
4. Realitas substantif Realitas bentuk

Você também pode gostar