Você está na página 1de 6

Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:

‫ُقِفْ ُني ي َِّذلاَك ىَذألاَو ِِّنَمْلاِب ْمُكِت َاقَدَص ا ُولِطْ ُبت ال ا ُونَمآ َني َِّذلا ا َ ُّه َيأ َاي‬
‫ِ َلثَمَك ُ ُه َلث َ َمف ِرِخآلا ِم ْ َويْلاَو ََِّّلل ِاب ُنِم ْ ُؤي الَو ِس َّانلا َء َائِر ُ َهلاَم‬
‫ص َأف ٌبا َ ُرت ِهْ َيلَع ٍناَوْفَص‬ ِ ٌ ‫ىلَع َنوُرِدْ َقي ال ا ًدْلَص ُهَك َ َر َتف‬
َ َ ‫لباَو ُ َهبا‬ َ
‫( َني ِ ِرفاَكْلا َم ْ َوقْلا يِد ْ َهي ال ََُّّللاَو ا ُوبَسَك اَّمِم ٍءْيَش‬٢٦٤
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang
di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih
(tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir[#]."
Secara bahasa, Riya’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia,
adapun secara istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena demi
manusia,dunia yang dikehendaki dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT[1].

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah
menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan
itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah
Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati
daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan karena
niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya
kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain
memberikan penghormatan padanya[2]. Sebagaimana ulama mengatakan[3]:

ِّ ‫ص ُِّد ا ْلق ْربَ ِّةُ إِّ ْيقَاعُ َو‬


ُ‫الريَاء‬ ْ َ‫اسُ ِّلق‬
ِّ َّ‫الن‬

“Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada manusia supaya mendapat
keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”.

Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’ merupakan perbuatan haram dan satu
diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan supaya selamat dan amalnya manfaat
sampai di negeri akhirat.

Macam-macam Riya’

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2 macam, sebagaimana ulama
menguraikannya[4]:

ُ‫انُ َوه َو‬ ْ ِّ‫ ق‬: ‫اء‬


ِّ ‫س َم‬ ُ ‫اسُ ِّإ ُل َّ ا ْلق ْربَ ُةَ يَ ْفعَ َُل ُل َ كَانَُ َخا ِّل‬
ُ َ‫ص ِّري‬ ِّ َّ‫ ِّللن‬,

ِّ َُ‫للِِّ يَ ْفعَلَ َها كَان‬


ُ‫ش ْركُ َو ِّريَاء‬ ِّ َّ‫ْاْل َ َّو ُِّل ِّمنَُ أ َ َخفُ َوه َُو َو ِّللن‬
ُِّ ُ‫اس‬

“ riya’ dibagi kedalam dua tingkatan: riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya
untuk mendapatkan pujian dari manusia, riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat
menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan
keduanya bercampur”.

Fudhail Bin Iyadh berkata:“Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan karena
manusia adalah riya’ dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya”.

Oleh itu, sifat riya’ sekiranya sudah menjalar masuk ke dalam aktivitas harian dan mendarah daging
dalam tubuh kita amat susah untuk menghilangkannya, karena mereka menganggap sifat riya’
merupakan satu sikap berbuat baik kepada orang lain, dengan dalih bahwa apa yang mereka
kerjakan dalam pandangannya adalah perbuatan yang terpuji, hal ini sesuai dengan isyarat Qur’an
dalam surah Al-baqarah ayat 11-12:

‫سدوا َُل لَه ْمُ قِّي َلُ َو ِّإذَا‬ ُ ِّ ‫ص ِّلحونَُ نَحْ نُ ِّإنَّ َما قَالوا ْاْل َ ْر‬
ِّ ‫ض فِّي ت ْف‬ ْ ‫م‬
ُ‫سدونَُ همُ إِّنَّه ْمُ أ َ َل‬
ِّ ‫ن ا ْلم ْف‬
ُْ ‫يَشْعرونَُ َُل َولَ ِّك‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di muka
bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat kebaikan”.
Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang sebenar-benarnya membuat
bencana dan kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.

Diantara kelembutan riya’ adalah menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk mendapatkan apa yang
menjadi keinginannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dihikayatkan dari Abu Hamid
Al-Ghazali bahwasanya telah sampai kepadanya kabar, barangsiapa yang ikhlas kepada Alloh selama
40 hari, niscaya akan terpancar hikmah dari hatinya melalui lisannya. Ia berkata: “Aku telah berbuat
ikhlas selama 40 hari, namun tidak juga terpancar hikmah sedikitpun”. Kemudian aku ceritakan hal
itu kepada orang-orang yang arif, mereka mengatakan kepadaku: Karena kamu berbuat ikhlas
untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas karena Allah!”[5]. Yang demikian itu dikarenakan tujuan
manusia berbuat ikhlas untuk mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau untuk mendapatkan
pengagungan dan pujian manusia.

Maka hal ini sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi, bahwa kita kadang tidak bisa membedakan
antara riya’ jali (terang) dan khafi (samar), kecuali orang-orang yang benar-benar selalu
mensucikan dalam hatinya hanyalah beribadah kepada Allah semata. Karena dengan kedekatan
pada-Nya, dalam hatinya sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit yang
buruk (madzmumah)[6]:

ُ‫س ِّلمُ َو َل‬


ْ َ‫اءُ ِّمنَُ ي‬
ِّ َ‫الري‬
ِّ ِّ ‫ي‬ ُ ‫للاَ ِّْلَنَُّ ا ْلم َو ِّحد ْونَُ ا ْلعَ ِّارف ْونَُ ِّإ َُّل َوا ْل َخ ِّف‬
ُ ‫ي ِّ ا ْل َج ِّل‬ ُ ‫ن َط َّه َره ُْم‬ ِّ ِّ‫ك َدقَائ‬
ُْ ‫قُ ِّم‬ ُِّ ‫الش ْر‬
ِّ

Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:

ُ‫يُ يو َحى ِّمثْلك ْمُ بَشَرُ أَنَا إِّنَّ َما ق ْل‬


َّ َ‫احدُ إِّلَهُ إِّلَهك ُْم أَنَّ َما إِّل‬
ِّ ‫َو‬

ُ‫ع َم ًلُ فَ ْليَ ْع َم ْلُ َر ِّب ِّهُ ِّلقَا َُء يَ ْرجو كَانَُ فَ َم ْن‬ َ ُ‫أ َ َحدًا َر ِّب ِّهُ ِّب ِّعبَا َد ِّةُ يش ِّْر ْكُ َو َل‬
َ ‫صا ِّل ًحا‬

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Ayat diatas menerangkan kepada kita, sekiranya beramal tapi masih mengharapkan pujian daripada
selain Allah, maka sifat riya’ sudah masuk dalam diri kita, dan itu sangat berbahaya karena kita
beramal untuk menuai hasilnya nanti di akhirat.

Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:

ُ‫يد كَانَُ َم ْن‬ َ ‫َح ْرثِّ ِّهُ فِّي لَهُ نَ ِّز ْدُ ْاْلَ ِّخ َر ِّةُ َح ْر‬
ُ ‫ثُ ي ِّر‬

َُ ‫ن ْاْلَ ِّخ َر ُِّة فِّي لَهُ َو َما ِّم ْن َها ن ْؤتِّ ُِّه الد ْنيَا َح ْر‬
ُ‫ث ي ِّريدُ كَانَُ َو َم ْن‬ ُْ ‫نَ ِّصيبُ ِّم‬

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu
baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis ibadah yang kita lakukan, hendaklah dengan satu tujuan menghadap kepada
sang Ilaah, seperti sholat yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah, baik ketika
sholat sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah hanya untuk Allah yang Maha Mulia.
Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7:

ُ‫ص ِّلينَُ فَ َوُْيل‬


َ ‫ ِّل ْلم‬, َُ‫َن ه ْمُ الَّذِّين‬
ُْ ‫ص َلتِّ ِّه ْمُ ع‬ َ , َُ‫ ي َراءونَُ ه ُْم الَّذِّين‬, َُ‫ا ْل َماعونَُ َويَ ْمنَعون‬
َ َُ‫ساهون‬

“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-
orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.

Al Qurthubi mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan
sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan,
dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai
suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan)
sholat. Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan)
ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati manusia.[7]

Ini termasuk syirik yang tersembunyi. Nabi SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia, jauhilah
kesyirikan yang tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik yang
tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia bersungguh-
sungguh memperindah sholatnya karena dilihat manusia.
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi][8].

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang maka itu
adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, dan
barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’.(HR. Ahmad).

Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai
dilakukan. Imam Ghazali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai
melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang
lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai,
dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai serta tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu
yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk memperlihatkannya atau
membicarakannya. Namun, apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan
memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’[9].

Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’ ini, niscaya akan
ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufur. Jika hal ini berlaku, maka tentulah
dia tidak lagi layak memasuki syurga, apatah lagi mencium baunya. Rasulullah SAW menasihatkan
umatnya agar tidak sesekali menyebut kebaikan diri dan keluarga karena sikap demikian akan
mendorong seseorang kepada sifat riya’. Justeru, keikhlasan saja yang dapat membunuh perasaan
riya’ sebagaimana firman Allah[10]:

َ َُ‫الدِّينَُ لَهُ م ْخ ِّل ِّصين‬


‫للاُ ِّليَ ْعبدوا ِّإ َّلُ أ ِّمروا َو َما‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.

Dalam ayat yang lain[11]:


‫ابُ إِّلَيْكَُ أ َ ْن َز ْلنَا إِّنَّا‬ ِّ ‫للا فَاعْب ُِّد بِّا ْل َح‬
َ َ ‫قُ ا ْل ِّكت‬ ً ‫ الدِّينَُ لَّهُ م ْخ ِّل‬, ‫لل أ َ َُل‬
َُ ‫صا‬ ُِّ ُ‫ا ْل َخا ِّلصُ الدِّين‬

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran.


Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah
agama yang bersih (dari syirik).”

Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan,
seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal itu
tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya’ sebagai faktor pendorong
amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka
hal ini dapat menghapuskan pahala.

Adapun apabila riya’ menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan
tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan
apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia
memulainya lagi[12].

Dalam surah al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:

‫ص َدقَاتِّك ْمُ تب ِّْطلوا َُل آ َ َمنوا الَّذِّينَُ أَي َها يَا‬


َ ُ‫اس ِّرئ َا َءُ َمالَهُ ي ْن ِّفقُ كَالَّذِّي َو ْاْلَذَى ِّبا ْل َم ِّن‬
ُ ِّ َّ‫الن‬

“Wahai orang-orang yang beriman, Jangan rusakkan (pahala amal) sedekah kamu dengan
perkataan membangkit-bangkit dan (kelakuan yang) menyakiti, seperti (rusaknya pahala amal
sedekah) orang yang membelanjakan hartanya karena hendak menunjuk-nunjuk kepada
manusia (riya’)…”.

Secara mudah kita simpulkan bahwa riya’ adalah perbuatan yang semata-mata untuk
mengharapkan sanjungan, pujian atau penghormatan daripada orang lain. Hal ini amat
bertentangan dengan kehendak Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar beramal atau
melakukan perkara kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan mengharapkan keridhaan Allah.
Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus bersarang dalam hati seseorang, lama kelamaan ia boleh
membinasakan orang yang mengamalkannya. Kemurnian akidah, keluhuran akhlak dan
kesempurnaan amal umat Islam akan tercemar dan rusak jika tidak dilandasi keimanan dan
keikhlasan hati serta mengharapkan keridhaan Allah. Justru, dalam Islam setiap amal kebajikan
yang disertai dengan riya’ adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil yang boleh merusakkan
amal kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan mendapat kerugian hidup di dunia dan
akhirat.

Memang ada di kalangan umat Islam yang melakukan sesuatu amalan kebajikan atau mengerjakan
ibadah hanya untuk mengaburi mata orang banyak, Mereka melakukan amalan kebajikan atau
ibadah untuk menunjukkan yang kononnya mereka baik, pemurah,wara’ atau rajin beribadah.
Mereka lakukan karena didorong hawa nafsu yang selalu berusaha memalingkan mereka yang lemah
imannya. Hal ini diperingatkan Allah dalam firman-Nya[13]:

ُ‫َن فَي ِّضلَّكَُ ا ْل َه َوى تَتَّبِّ ِّعُ َو َل‬


ُْ ‫سبِّي ُِّل ع‬
َ ‫للا‬
ُِّ

“Dan janganlah kamu turuti hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu daripada (agama) Allah”.

Dalam surah Muhammad ayat 16, Allah berfirman:


َ ُ‫أ َ ْه َوا َءه ُْم َواتَّبَعوا قلوبِّ ِّه ْم‬
َُ‫علَى للاُ َطبَ َعُ الَّذِّينَُ أولَ ِّئك‬

“Mereka itu telah dicap (ditutup) Allah mata hatinya dan mereka mengikut hawa nafsunya”.

Adalah sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’ akan mendapat balasan buruk dari
Allah. Sementara Rasul sendiri selalu mengingatkan umatnya supaya menjauhi diri daripada
perbuatan riya’ dalam beberapa hadisnya. Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah kamu jangan
mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji orang (riya’), niscaya gugur
amalanmu. (HR. Ad-Dailami).

Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu
ialah syirik kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian baginda
bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Untuk menjauhkan diri atau membersihkan hati daripada perbuatan riya’, umat Islam hendaklah
mengamalkan sifat muraqabah. Muraqabah dapat memperlihatkan dan menghayati kepentingan
dan hak Allah dengan memperhitungkan diri sendiri, berapa banyak kebaikan dan dosa yang telah
dilakukan sebagai perbandingan supaya terus berhati-hati dalam setiap perbuatan dan apa jua
tindakan yang akan dilakukan.
Bertaubat adalah jalan terbaik bagi mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur
perbuatannya. Taubat dan istighfar amat dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 135:

َُ‫احش َُةً فَعَلوا ِّإذَا َوالَّذِّين‬


ِّ َ‫سه ْمُ َظلَموا أ َ ُْو ف‬
َ ‫للاُ ذَكَروا أ َ ْنف‬ ْ ‫ِّلذنو ِّب ِّه ْمُ فَا‬
َ ‫ست َ ْغفَروا‬

ُ‫وبُ يَ ْغ ِّفرُ َو َم ْن‬ َ ‫يَ ْعلَمونَُ َوه ُْم فَعَلوا َما‬


َ ‫علَى ي ِّصروا َولَ ْمُ للاُ إِّ َّلُ الذن‬

“Dan orang-orang yang melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera ingat
kepada Allah lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Dan tiada siapa yang mengampuni dosa
melainkan Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya sedang mereka mengetahui”.

Dalam surah lain Allah berfirman[14]:

َ ُ‫ا ْلمت َ َط ِّه ِّرينَُ َوي ِّحبُ الت َّ َّوابِّينَُ ي ِّحب‬


َُّ‫للاُ إِّن‬

”Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat dan mengasihi orang-orang
yang senantiasa mensucikan diri”.

Você também pode gostar