Você está na página 1de 7

Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) dan Literasi Sains dalam Alikasinya

di Indonesia
Standar Isi SD – SMP – SMA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Problematika Pendidikan Biologi yang
dibimbing Oleh Dr. Susriyati Mahanal, M.Pd

RESUME2

Disusun Oleh :

Jimmi Andrew Mamahit


170341864527
Off A/2017

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FEBRUARI 2018
A. Prinsip Pendidikan Kesejagatan Unesco Dalam Aplikasinya Di Inodnesia

Perkembangan pesat dalam merubah berbagai aspek maupun tatanan hidup


menuntut pada perubahan abad 21 dimana harus semakin maju dan berkembang dalam
pengetahuan global. Perubahan suatu kemajuan pendidikan di berbagai dunia sangat
berpengaruh penting dalam kemajuan Negara mereka masing-masing dimana pola
tatanan berbagai pengaturan sistem pendidikan telah dirancang sebaik mungkin untuk
mendapatkan tujuana atau hasil yang diharapkan.

Suatu badan organisasi yang berpengaruh dalam dunia adalah UNESCO


sebagai penggerak bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya dimana
kesemuanya itu merupakan hal yang sangat penting dalam aspek suatu kemajuan
dalam setiap masing-masing Negara.

Pilar-pilar UNESCO

Dalam Delors (1996), pilar-pilar pendidikan menurut United Nations


Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), sebagai berikut:

a. Learning to know
Learning to know adalah belajar untuk mengetahui. Kegiatan belajar apapun
maksud serta tujuannya adalah mengetahui bahan-bahan yang dipelajari agar
seseorang mempunyai banyak informasi yang kelak berguna. Adapun maksud
subtansinya adalah mengetahui yang tidak sebatas memiliki materi informasi yang
sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan setepat-
tepatnya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah diberikan akan tetapi
kemampuan memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya.
b. Learning to do
Learning to do (belajar bertindak/berbuat/berkarya) erat hubungannya dengan
belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Adapun maksud
UNESCO dari learning to do adalah bagaimana pendidikan mengajarkan perserta
didik untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya dan mengarahkan
pada kemampuan profesional terhadap dunia pekerjaan di masa depannya.
B. Prinsip Literasi Sains Dalam Aplikasinya Di Inodnesia
Proyek 2061 mendefinisikan literasi sains secara luas yaitu menekankan
hubungan antara gagasan di bidang ilmu alam dan sosial, matematika, dan teknologi.
Proyek Science for all Americans mendifinisikan sesorang yang literat secara keilmuan
atau dikenal dengan Scientifically literate person) sebagai seorang yang menyadari
bahwa sains, matematika dan teknologi berkaitan erat dengan manusia secara
interdependen dimana ada kekuatan maupun keterbatasannya, yaitu memahami konsep
dan prinsip-prinsip sains akrab dengan dunia alam dan mengakui keragaman dan
kesatuannya; serta menggunakan pengetahuan ilmiah dan cara berpikir ilmiah untuk
tujuan-tujuan individu maupun sosial.’ Kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah
dan cara berpikir ilmiah akan sangat bermanfaat ketika individu dihadapkan pada
persoalan sehari-hari maupun dalam konteks memberi kontribusi terhadap
pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik. Berpikir ilmiah merupakan
tuntutan warga negara, bukan hanya ilmuwan.
Jurnal The meaning of science, menyatakan literasi sains berarti penghargaan
pada ilmu pengetahuan dengan cara meningkatkan komponen-komponen belajar
dalam diri agar dapat memberi kontribusi pada lingkungan sosial, Holbrook (2009).
PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi literasi yang
bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas
III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika
(mathematics literacy), dan sains (scientific literacy).
Penelitian yang dilakukan PISA meliputi tiga periode, yaitu tahun 2000, 2003,
dan 2006. Pada tahun 2000 penelitian PISA difokuskan kepada kemampuan membaca,
sementara dua aspek lainnya menjadi pendamping. Pada tahun 2003 aspek matematika
menjadi fokus utama kemudian diteruskan aspek sains pada tahun 2006. Studi PISA
yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation &
Development) dan Unesco Institute for Statistics itu mengukur kemampuan siswa pada
akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan
masyarakat-pengetahuan (knowledge society) dewasa ini. Penilaian yang dilakukan
dalam PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan anak muda itu
untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi
tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang
dicantumkan dalam kurikulum sekolah.
Pengembangan evaluasi untuk mengetahui pencapaian literasi sains merujuk
pada proses sains, yaitu proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan
atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta
menerangkan kesimpulan. PISA (2006) menetapkan lima komponen proses sains
dalam penilaian literasi sains, yaitu:
a. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara
ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
b. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini
melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab
pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan
untuk memperoleh bukti itu.
c. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan
menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya
mendasari kesimpulan itu.
d. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara
tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
e. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni
kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa
yang telah dipelajarinya.

Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar PISA yakni


proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada
proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan
masalah, seperti mengidenifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan
kesimpulan. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk
memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui
akitivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan
konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi materi kurikulum sains sekolah,
namun termasuk pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain.
C. STANDAR ISI SD-SMP-SMA
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan
umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. Kelompok mata pelajaran estetika;
e. Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam
kompetensi yang terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap
tingkat dan/atau semester. Standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk setiap mata
pelajaran pada setiap tingkat dan semester disajikan pada lampiran-lampiran Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional ini yang terdir atas: Lampiran 1 Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI dan SDLB, Lampiran 2 Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Tingkat SMP/MTs dan SMPLB, dan Lampiran 3 Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK.
Satuan pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan menyelenggarakan
program pendidikan dengan menggunakan sistem paket atau sistem kredit semester.
Kedua sistem tersebut dipilih berdasarkan jenjang dan kategori satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Satuan pendidikan SD/MI/SDLB melaksanakan program pendidikan dengan
menggunakan sistem paket. Satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK kategori standar menggunakan sistem paket atau
dapat menggunakan sistem kredit semester. Satuan pendidikan SMA/MA/SMALB dan
SMK/MAK kategori mandiri menggunakan sistem kredit semester. Kegiatan tatap
muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses interaksi antara peserta didik
dengan pendidik. Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada
masing-masing satuan pendidikan ditetapkan sebagai berikut:
a. SD/MI/SDLB berlangsung selama 35 menit;
b. SMP/MTs/SMPLB berlangsung selama 40 menit;
c. SMA/MA/SMALB/ SMK/MAK berlangsung selama 45 menit.
Beban belajar kegiatan tatap muka per minggu pada setiap satuan pendidikan
adalah sebagai berikut:
a. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk SD/MI/SDLB:
1) Kelas I s.d. III adalah 29 s.d. 32 jam pembelajaran;
2) Kelas IV s.d. VI adalah 34 jam pembelajaran.
b. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk SMP/MTs/SMPLB adalah
34 jam pembelajaran.
c. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk SMA/MA/SMALB/
SMK/MAK adalah 38 s.d. 39 jam pembelajaran.

Pendidikan Kelas Satu jam Jumlah Minggu Waktu Jumlah jam


pemb. tatap jam pemb. Efektif per pembelajaran per tahun
muka Per minggu tahun per tahun (@60 menit)
(menit) ajaran
SD/MI/ I s.d. 35 26-28 34-38 884-1064 jam 516-621
SDLB*) III pembelajaran
(30940 –
37240 menit)
IV s.d 35 32 34-38 1088-1216 jam 635-709
VI pembelajaran
(38080 –
42560 menit)
SMP/MTs/ VII 40 32 34-38 1088 – 1216 725-811
SMPLB*) s.d. IX jam
pembelajaran
(43520 –
48640 menit)
SMA/MA/ X s.d. 45 38-39 34-38 1292-1482 jam 969-1111,5
SMALB*) XII pembelajaran
(58140 –
66690 menit)
SMK/MAK X s.d 45 36 38 1368 jam 1026
XII pelajaran (standar
(61560 menit) minimum)

*) Untuk SDLB SMPLB, SMALB alokasi waktu jam pembelajaran tatap muka
dikurangi 5 menit
Referensi
Delor, Jacques et al. 1996. Learning: The Terasure Within. Report to UNESCO of the
International Commission on Education for the Twenty-first Century. France:
UNESCO Publishing.
Holbrook, J, & Rannikmae, M. 2009. The Meaning of Scientific Literacy.
International Journal of Environmental & Science Education, 4 (3), 275-278.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Nomor 22 Tahun 2006.
Tentang Standar Isi. Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Menteri
Pendidikan Nasional
Science for All Americans Education for a changing future Akses internet:
http://www.project2061.org/publications/sfaa/. 31 Januari 2018. 15.32 pm
Pertanyaan !
1. Dengan perkembangan di era globalisasi, bagaimana organisasi UNESCO dalam
menghayati perkembangan zaman dimana bisa menanggulangi setiap dampak
negatif dalam perkembangan zaman yang semakin modern ?
2. Bagaimana mengukur atau menilai kemajuan literasi bagi setiap siswa dengan
perkembangan kognitif atau pengetahuan siswa dari SD ke SMP, SMP ke SMA
serta SMA ke Perguruan Tinggi ?
3. Bagaimana bisa diketahui dalam setiap aspek alokasi waktu terhadap materi ajar
yang disampaikan apakah sudah sesuai dengan RPP atau masih membutuhkan
waktu di luar alokasi waktu yang tertera pada RPP sesuai dengan tingkat
kesusahan suatu materi atau konsep pada satuan pendidikan, baik SD, SMP
maupun SMA?
Jawab !
1. dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya telah meneliti perubahan
kehidupan itu semua dan mengantisipasinya melalui perubahan visi atau cara
pandang pendidikan
2. memberikan beberapa bentuk pertanyaan seputar materi atau bahan pelajaran yang
selama ini didapat dengan memperhatikan tingkatan soal, dimana dalam setiap
pertanyaan tersebut memuat tentang bagaimana cara siswa menanggapai dengan
logis pertanyaan serta dikaitkan dengan kemampuan jawaban literasi siswa
tersebut.
3. Fonomena tersebut bisa diketahui ketika guru atau pendidik dalam melaksanakan
proses kegiatan belajar mengajar adalah mampu untuk menguasai kelas, materi
ajar maupun waktu yang diberikan serta profesionalisme guru tersebut dapat
diketahui bagimana guru menyampaikan materi ajar yang rumit dan sesuai dengan
alokasi waktu.

Você também pode gostar