Você está na página 1de 22

Protein Gluten

| |

Article IndexProtein GlutenHal 1Hal 2Hal 3Hal 4Hal 5Hal 6Hal 7Hal 8Hal 9All Pages

1. PENDAHULUAN

1.1.Tinjauan Pustaka

Protein adalah nutrisi yang penting dan juga memiliki sifat fungsional dalam pembuatan roti, dari
tepung: oleh karena itu, kandungan protein dan kualitasnya merupakan karakteristik yang penting
dari gandum. Ketika digiling, tepung dicampur dengan air untuk membuat adonan dimana protein
terhidrasi dan terbentuk gluten, suatu substansi yang memiliki struktur kontinyu dan mempunyai
sifat elastis dan tahan lama.Untuk keperluan pembuatan roti, sangat dibutuhkan gluten kuat dengan
sifat dominan elastis; tepung untuk pembuatan roti biasanya digiling dari gandum, atau campuran
dari gandum – gandum, memiliki kandungan protein tinggi merupakan kualitas yang baik. Untuk
membuat biskuit, gluten lemah dengan sifat tahan lama sangat dibutuhkan, dan untuk keperluan ini
gandum dicampur dengan protein rendah ( Herschdoerfer, 1986 ).

Struktur utama dalam protein adalah asam amino. Asam amino mempunyai satu gugus amino
(─NH2) dan satu gugus karboksil (─COOH), rumus bangun :

R ─ C ─ COOH

NH2

Protein mempunyai massa molar yang besar, antara 5000 gr sampai 1x 107gr. Massa dar protein
mengandung elemen-elemen tetap yaitu : 50 –55 % karbon, hydrogen 7 %, oksigen 23 %, nitrogen 16
%, dan sulfur 1 % (Chang, 1991).

Wheat atau gandum merupakan bahan dasar dari pembuatan tepung terigu. Gandum adalah satu–
satunya jenis biji-bijian yang mengandung gluten. Gandum digolongkan berdasarkan keras dan warna
butirannya. Mutu gandum tergantung dari jenis dan daerah tempat gandum tumbuh. Pada umumnya
gandum dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu: hard wheat (gandum keras)
dan soft wheat (gandum lunak). Gandum keras, terutama gandum hard spring dan hard
winter mengandung protein bermutu tinggi yang membuat adonan yang kuat, kenyal dan memiliki
daya kembang yang baik. Gandum yang termasuk soft wheat (gandum lunak) yaitu soft red
wheat (gandum merah) dan soft white wheat (gandum putih). Gandum ini sebagian besar
digolongkan sebagai gandum yang mengandung protein rendah dengan ciri daya serap air yang
rendah, sulit diaduk dan diragikan (Marliyati & Sulaeman, 1999).

Fungsi dasar dari tepung gandum adalah gluten. Gluten memiliki sifat penting ketika ditambah air
dan dengan kerja mekanik akan membentuk adonan elastis. Hal ini dibentuk oleh ikatan antar
molekul protein. Ikatan tiga dimensi akan menghasilkan adonan yang kuat. Semakin lama adonan
diaduk, semakin banyak ikatan yang terbentuk. Dengan alasan inilah mengapa adonan diremas-
remas jika menginginkan struktur yang kuat. Namun bagaimanapun juga lapisan gluten dapat pecah
karena gerakan mekanik yang berlebihan seperti pengadukan atau peremasan yang berlebihan.
Karakter dari adonan tergantung dari jenis tepung yang digunakan. Tepung rendah protein
mengandung gluten yang rendah dan lapisannya mudah sobek (Potter & Hotchkiss, 1995).

Gluten adalah massa kenyal yang melengket yang menyatukan komponen-komponen roti lain seperti
pati dan gelembung gas, jadi membentuk dasar struktur lunak roti. Kerusakan gluten karena bahang
dapat terjadi karena suhu udara yang berlebihan pada pengeringan butir gandum basah. Gluten
menjadi liat dan lebih sukar diekstraksi. Tepung gandum yang terdenaturasi karena bahang,
menghasilkan roti yang tekstur dan volumenya jelek (deMan, 1997). Protein gandum atau terigu
memiliki sifat yang istimewa karena dapat menghasilkan adonan yang dapat menahan gas dan dapat
berkembang secara elastis ketika gas memuai pada waktu proses pembakaran. Sifat itu disebabkan
sifat gluten yang terhidrasi dan mengembang bila tepung terigu dicampur dengan air (Winarno,
1997).

Faktor utama yang penting dalam ciri adonan adalah matrik gluten yang menyertakan granula pati
dan fragmen serat. Protein gluten secara umum dicirikan dengan mempunyai kandungan proline dan
asam glutamik yang tinggi. Gliadin dan glutenin berbeda dalam ciri fisik, khususnya dalam
viskoelastisitasnya. Gliadin adalah kohesif, tetapi dengan elastisitas yang rendah, sementara glutenin
dan keduanya kohesif dan elastis. Gliadin mengubah protein secara relatif rendah, berat molekuler
dalam perbandingan dengan berat molekuler yang tinggi (HMW) dari fraksi glutenin (Pomeranz,
1988). Protein gluten kandungan glutaminanya tinggi, tetapi kandungan asam amino essensialnya,
yaitu lisina, metionina dan triptofan rendah. Ketidaklarutan protein gluten berkaitan langsung
dengan susunan asam aminonya. Aras rantai samping nonpolar yang tinggi disebabkan oleh
kenyataan bahwa asam glutamat dan asam aspartat terdapat dalam bentuk amida. Karena senyawa
ini tidak terionisasi, banyak terjadi ikatan apolar (hidrogen). Hal ini menyebabkan terjadinya agregasi
molekul dan mengakibatkan kelarutan rendah (deMan, 1997).

Ketika adonan dibuat dari tepung dan air, atau dari tepung dan campuran sodium chlorida, kemudian
diremas dibawah aliran air. NaCl, pati dan zat yang dapat larut kemudian dicuci kembali,
meninggalkan gumpalan gluten-protein gluten (gliadin dan glutenin) mengandung lemak, pati, gula,
sellulosa dan mineral dalam jumlah yang sedikit. Berat gluten basah seringkali digunakan sebagai
alternatif penentuan protein untuk mengetahui kualitas tepung untuk pembuatan roti (Kent, 1986).

Jika ditarik, gluten akan terentang tetapi cenderung untuk kembali ke bentuk semula jika gayanya
tidak ada lagi. Ini disebabkan karena molekul-molekul gluten membentuk gulungan sehingga
berwatak seperti pegas. Mereka dapat terentang tetapi akan kembali ke posisi semula karena
genggaman oleh ikatan-ikatan silang atas rantaian protein (Gaman & Sherrington, 1994). Proses
pemisahan pati dan gluten yang utama yang digunakan adalah proses Martin yang dalam arti luas
meliputi penyiapan adonan air tepung dan mencuci pati dari adonan supaya hanya gluten yang
seperti karet yang tertinggal (Buckle et al., 1997).
Jenis protein yang terdapat pada gandum adalah albumin, globulin, prolamin, gliandin dan glutelin.
Kadar gliandin dan glutelin sekitar 8% dan apabila kedua jenis protein ini membentuk adonan yang
kuat dengan penambahan air dan garam maka dinamakan protein gluten. Karbohidrat yang terdapat
dalam gandum sebagian besar adalah pati (Suliantari & Rahayu, 1990). Metode fraksional klasik yang
didasarkan pada ciri kelarutan menunjukkan adanya 4 fraksi utama, yang memiliki sifat kelarutan
berbeda, yaitu albumin larut dalam air, globulin larut dalam larutan garam netral, gliadin larut dalam
etanol 70%, glutenin larut dalam basa atau asam encer.Hidrasi protein gluten mengakibatkan
pembentukan fibril, dimana gliadin membentuk film, dan glutenin membentuk rantai. Gliadin dan
glutenin merupakan protein-simpan, atau pembentuk-gluten, protein gandum (deMan, 1997).

Ada 3 macam jenis terigu produksi Bogasari, yaitu:

1. Kunci biru untuk membuat kue, biskuit dan kue – kue kering lainnya.

2. Segitiga biru untuk membuat mie, roti, untuk keperluan rumah tangga.

3. Cakra kembar untuk membuat roti dan kue.

Ketiga jenis tepung di atas dibedakan berdasarkan kandungan proteinnya. Kunci Biru mempunyai
kadar protein 8 – 9%, mempunyai sifat gluten yang kurang baik yang cocok untuk membuat kue,
biskuit dan kue – kue kering yang tidak menghendaki terbentuknya gluten. Segitiga Biru berkadar
protein 10 – 11%, dihasilkan dari penggilingan campuran gandum “soft” dan “hard”, dan mempunyai
sifat gluten sedang. Sedangkan Cakra Kembar kadar proteinnya 11 – 13%, dihasilkan dari
penggilingan 100% gandum “hard”, mempunyai sifat gluten yang ulet dan kuat yang cocok untuk
pembuatan roti beragi (Arpah, 1993)

Fungsi utama air adalah untuk menghidrasi tepung sehingga dapat membentuk adonan yang baik. Air
akan berikatan dengan protein membentuk struktur gluten dan dengan pati membentuk struktur
tergelatinasi pada waktu pemanasan. Air ini juga berfungsi sebagai pelarut dari bahan – bahan lain
seperti garam, gula, susu bubuk dan lain sebagainya. Banyaknya air yang ditambahkan dalam
pembuatan adonan roti akan menentukan mutu dari roti yang dihasilkan (Marliyati & Sulaeman,
1999). Air yang digunakan dalam adonan terutama tergantung pada tingkat penyerapan air oleh
tepung. Tepung yang berprotein tinggi akan mampu menyerap air lebih banyak daripada tepung
protein rendah. Penambahan air yang berlebihan akan menyebabkan adonan lengket dan susah
diolah, adonan menjadi sangat cepat mengembang dan roti yang dihasilkan basah, lembab dan
gampang ditumbuhi oleh mikroorganisme. Sebaliknya kurangnya penambahan air menyebabkan
adonan terlalu kering, keras dan tidak mengembang dengan baik selama proses pengadukkan, selain
itu roti yang dihasilkan akan menjadi cepat basi dan mudah hancur (Matz, 1992).

Untuk mengaktifkan ikatan silang disulfida dan ikatan hidrofobik haruslah dilakukan perusakan
struktur kuartener. Juga diperlukan perusakan sampai struktur tersier karena pada struktur tersierlah
terdapat ikatan silang disulfida dan ikatan hidrofobik. Maka bila struktur tersier dipecah akan
mengakibatkan kedua jenis ikatan tersebut bebas dan siap menggabungkan protein struktur
sekunder dengan bahan lain yang ada di sekitarnya. Dan karena ikatan silang disulfida tidak rusak
(hanya lepas) maka bisa mengalami renaturasi sehingga akan terbentuk struktur kuartener lagi
namun sudah mengandung beberapa komponen lain (Quellette, 1994).
Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah
nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya
nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali
dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya
sangat sedikit, maka penentuan jumah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein
yang ada. Kelemahan lainnya yaitu tidak semua jenis protein mengandung jumlah N yang sama.
Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjedahl ini dengan demikian sering disebut sebagai
kadar protein kasar (crude protein) karena selain protein juga terikut senyawaan N bukan protein
misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin dan pirimidin. Dasar
perhitungan penentuan protein menurut Kjedahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang
menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein
murni) (Sudarmadji et al., 1996). Cara analisis Kjeldahl akan berhasil baik dengan asumsi N dalam
bentuk ikatan N – dan N – O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah besar. Kekurangan cara
analisis ini ialah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina dan
kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai N protein (Winarno, 1997).

Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak
langsung. Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan
jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya
nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali
dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya
sangat sedikit, maka penentuan jumlah nitrogren total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah
protein yang ada. Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didekstruksi
dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang
terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator (Pomeranz & Meloan, 1987).

Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjehdahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan
yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata – rata 16% (dalam
protein murni). Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya,
maka angka yang lebih tepat dapat dipakai. Apabila jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui
maka jumlah protein dapat diperhitungkan dengan jumlah N x 100/10 atau jumlah N x 6,25. Untuk
campuran senyawa protein yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti,
faktor konversinya adalah 6,25. Tetapi untuk yang sudah diketahui misalnya protein gandum = 5,70
(Sudarmadji et al, 1989).

Menurut Sudarmadji et al. (1996), ada 3 tahap analisa kadar protein menggunakan metode Kjedahl,
yaitu:

· Tahap destruksi

Pada tahap ini, sampel dipanaskan di dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi
unsur-unsurnya. Elemen karbon menjadi CO dan CO2 sedangkan elemen hydrogen menjadi H2O.
Nitrogen yang ada dalam bahan pangan tersebut akan menjadi ammonium sulfat. Khusus untuk
protein yang kaya akan asam amino histidin dan triptofan maka memerlukan waktu lama dan sukar
terdestruksi sehingga perlu dipakai katalisator selenium. Untuk mempercepat proses dertruksi sering
ditambahkan katalisator beberapa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1). Dengan penambahan
katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih capat.
Tiap 1gram K2SO4 dapat menaikkan titik didih 3°C. Suhu destruksi berkisar antara 370 - 410°C. Reaksi
yang terjadi :

HgO + H2SO4 ® HgSO4 + H2O

2 HgSO4 ® Hg2SO4 + SO2 + 2On

Hg2SO4 + 2 H2SO4 ® 2 HgSO4 + 2H2O + SO2

(CHON) + On + H2SO4 ® CO2 + H2O + (NH4)2SO4

· Tahap destilasi

Ammonium sulfate [(NH4)2SO4] biasanya digunakan karena merupakan zat yang mempunyai daya
larut tinggi, meskipun garam netral lainnya seperti NaCl atau KCl mungkin digunakan untuk
memaximalkan keefektifan pemisahan (Nielsen, 1998). Pada tahap destilasi ammonium sulfat
dipecah menjadi NH3 dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar selama
destilasi tidak terjadi superheating atau timbulnya percikan cairan dan timbulnya gas maka
ditambahkan logam Zn. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam
standar, biasanya HCl dalam jumlah yang berlebihan. Namun sebenarnya standar larutan pengumpul
ammonia yaitu asam borat 4% sehingga bisa terbentuk asam borat. Agar kontak antara asam dan
ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin di dalam
asam. Destilasi diakhiri bila semua ammonia sudah terdistilasi sempurna yang ditandai dengan
destilat tidak bereaksi basis.

· Tahap titrasi

Apabila penampung destilat yang dipakai adalah asam klorida maka yang terbentuk adalah
ammonium klorida sehingga harus dititrasi dengan NaOH (0,1N) dan ditambahkan indikator metil red
untuk menunjukkan perubahan warna merah menjadi kuning sebagai titik akhir titrasi. Namun untuk
metode standart, dipakai asam borat sehingga yang terbentuk adalah ammonium borat sehingga
harus dititrasi dengan asam sulfur atau asam hidroklorik.Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel
merupakan jumlah ekuivalen nitrogen. Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya
dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada
prosentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan.

Dalam prosedur Kjehdahl, protein dan komponen organik makanan lain dalam sampel dipecah
dengan asam sulfat sebagai katalis. Total nitrogen yang ada ditunjukkan dengan jumlah amonium
sulfat. Pemecahan dinetralisasi dengan alkali atau didistilasi dengan larutan asam borat. Hasil dari
analisa ini merupakan jumlah kasar protein yang terkandung dalam makanan. Keuntungan dari
metode Kjeldahl adalah dapat diaplikasikan untuk semua tipe pangan, relatif mudah, tidak mahal,
akurat, dan telah dimodifikasi untuk mengukur kuantitas protein mikrogram. Sedangkan kelemahan
metode Kjeldahl adalah mengukur nitrogen organik total tidak hanya nitrogen protein, presisi lebih
buruk dibandingkan metode biuret, dan reagen korosif (Pomeranz & Meloan, 1987).
Methyl Orange mempunyai range pH 3,1 – 4,4 (asidimetri) dan pada peningkatan pH terjadi
perubahan warna dari kuning ke merah. Methyl Red dengan peningkatan pH terjadi perubahan
warna dari merah ke merah muda (Petrucci, 1987).

Tanaman banyak menyediakan protein dalam bentuk asam amino dan nitrogen yang diperlukan oleh
tubuh manusia. Protein pada kacang-kacangan kaya akan asam amino yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan nak-anak kecuali lisin. Kedelai merupakan bahan panganh yang mengandung protein
paling tinggi diantara semua sereal kedelai yang mengandung fosfolipid, isoflavon, vitamin, dan
mineral (Pamela et al, 1988).

Kandungan Gizi Berbagai Jenis Kacang

Jenis

Protein

(g)

Lemak

(g)

Serat

(g)

Kalsium (mg)

Besi

(mg)

Kacang almond

Kacang mete (cashew nut)

Kacang tanah (peanut)

Kacang kastanye (chesnut)

Kacang kemiri (hazelnut)

Kacang makademia

Kacang pistasio

Kacang kenari (walnut)

20

15-17
26

3.2

14.8

7.6–8

19.7

14.4

55.2

49.2

50

2.2

61.4

76.2

50.6

69.2

8.8

5.9

12.9

10.4

6.4

235

34

29

86
48

90

89

3.5

0.9

3.2

1.8

3.9

2.5

( Anonim 2006 ).

1.2.Tujuan Praktikum

Tujuan dilaksanakannya praktum ini adalah untuk mengetahui perbedaan kadar protein pada bahan
pangan nabati (kacang merah) maupun hewani (mujahir) yang dipengaruhi oleh berbagai proses
pengolahan (mentah, goreng, rebus), mengetahui prinsip kerja penentuan kadar protein dengan
metode Kjeldahl, serta membandingkan kadar gluten yang terkandung dalam tiap jenis tepung
(terigu cakra, terigu kunci, pati) yang digunakan dalam konsentrasi yang berbeda-beda.

2. MATERI DAN METODA

2.1. Materi

2.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain bekker glass, labu Kjehdahl, alat
destilasi Kjeldahl, labu destilasi, erlenmeyer, mortar, alu, pipet tetes, pipet ukur, pompa, corong,
timbangan elektrik, kain kering, buret dan statif.

2.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain terigu cakra, terigu kunci, pati, kacang
merah, ikan mujair K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, Na2S2O3 4 %, NaOH 50 % dingin, Zn, HCl 0,1N, NaOH
0,1N, aquades, air hangat, dan aquades dingin.

2.2. Metoda
2.2.1 Gluten

Pertama-tama dibuat campuran adonan untuk masing-masing kelompok praktikum dengan


perlakuan kelompok C1 adonan dibuat dari Terigu Cakra 100 % sebanyak 50 gram, kelompok C2
adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 75% ditambah Terigu Kunci 15% dan pati 10%, untuk
kelompok C3 adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 50% ditambah Terigu Kunci 25% dan pati
25%, kelompok C4 adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 25% ditambah Terigu Kunci 50% dan
pati 25%, dan untuk kelompok C5 adonan dibuat dengan bahan Terigu Cakra 25% ditambah Terigu
Kunci 25% dan pati 50%. Masing-masing perlakuan tersebut kemudian dicampur dengan aquadest
sedikit demi sedikit sebanyak 10 ml hingga terbentuk adonan yang dapat dipulung dengan tangan.
Adonan tersebut direndam dengan air hangat selama 30 menit didalam bekker glass. Kemudian
adonan tersebut diremas-remas selama 10-15 menit hingga terbentuk gluten yang sempurna, lalu
adonan dicuci hingga pati dalam tepungnya hilang. Setelah itu gluten tersebut dikeringkan dengan
kain kering. Gluten tersebut diletakkan diatas kertas yang sudah diketahui beratnya terlebih dahulu,
selanjutnya gluten diatas kertas tersebut ditimbang, dan kadar gluten dapat dihitung dengan rumus :

Kadar gluten = (berat gluten + kertas) – berat kertas x 100 %

berat sample

2.2.2. Analisa Kadar Protein (Metode Kjeldahl

Sampel dari masing-masing kelompok dihaluskan sebanyak 0,25 gr, kemudian sampel tersebut
dimasukkan ke dalam labu Kjedahl dengan ditambah dengan 7,5 gr K2SO4, 0,35 gr HgO dan 15 ml
H2SO4 pekat. Sampel yang digunakan yaitu kacang merah untuk kelompok C1, kacang merah goreng
untuk kelompok C2, kacang merah rebus untuk kelompok C3, mujahir yang telah digoreng untuk
kelompok C4, mujahir yang telah direbus untuk kelompok C5, dan juga blanko. Kemudian larutan
tersebut dipanaskan di dalam ruang asam hingga jernih. Setelah larutan itu jernih, larutan tersebut
didinginkan dan dipindahkan ke labu destilasi. Larutan tersebut dibilas dengan 100 ml aquades
dingin, ditambahkan 0,2 gr Zn, 15 ml Na2S2O3 4%, dan NaOH 50% dingin. Pada erlenmeyer
penampung destilat diisi dengan HCl 0,1N sebanyak 50 ml dan diletakkan dibawah kondensat dengan
ujung kondensornya tercelup, kemudian dilakukan proses destilasi hingga dihasilkan 75 ml destilat.
Larutan tersebut ditambah dengan indikator methyl red dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai
terbentuk warna kuning. Percobaan ini diulang lagi untuk perlakuan blanko. Kemudian volume titrasi
dicatat dan % proteinnya dihitung dengan menggunakan rumus :

% N = vol NaOH ( blanko – sampel ) x N NaOH x 14,008 x 100 %

W sampel ( g ) x 1000

% Protein = % N x faktor konversi

3. HASIL PENGAMATAN

3.1.Kadar Gluten
Hasil analisa kadar gluten dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.

KEL

BAHAN

BERAT GLUTEN

(gr)

KADAR GLUTEN

C1.

Tepung cakra 100 %

18,30

36,6

C2.

Cakra 75 % + kunci 15 % + pati 10 %

15,60

31,2

C3.

Cakra 50 % + kunci 25 % + pati 25 %

15,32

30,64

C4.

Cakra 25 % + kunci 50 % + pati 25 %

9,30

18,60

C5.

Cakra 25 % + kunci 25 % + pati 50 %

3,80
7,6

3.2. Kadar Protein

Hasil analisa Kadar Protein dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.

KEL

BAHAN

VOL NaOH

%N

% PROTEIN

C1.

Kacang merah

21,7

3,25

17,745

C2.

Kacang merah goreng

22

3,08

16,817

C3.

Kacang merah rebus

26

0,84

4,586

C4.

Mujahir goring
13,5

7,84

49

C5.

Mujahir rebus

18,9

4,82

30,125

Blanko

27,5

4. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini adalah percobaan mengenai analisa kadar protein dangluten pada berbagai macam
tepung. Menurut Herschdoerfer (1986), protein adalah nutrisi yang penting dan juga memiliki sifat
fungsional dalam pembuatan roti, dari tepung: oleh karena itu, kandungan protein dan kualitasnya
merupakan karakteristik yang penting dari gandum. Ketika digiling, tepung dicampur dengan air
untuk membuat adonan dimana protein terhidrasi dan terbentuk gluten, suatu substansi yang
memiliki struktur kontinyu dan mempunyai sifat elastis dan tahan lama. Untuk keperluan pembuatan
roti, sangat dibutuhkan gluten kuat dengan sifat dominan elastis; tepung untuk pembuatan roti
biasanya digiling dari gandum, atau campuran dari gandum – gandum, memiliki kandungan protein
tinggi merupakan kualitas yang baik. Untuk membuat biskuit, gluten lemah dengan sifat tahan lama
sangat dibutuhkan, dan untuk keperluan ini gandum dicampur dengan protein rendah.

Kandungan Gizi Berbagai Jenis Kacang

Jenis

Protein

(g)

Lemak
(g)

Serat

(g)

Kalsium (mg)

Besi

(mg)

Kacang almond

Kacang mete (cashew nut)

Kacang tanah (peanut)

Kacang kastanye (chesnut)

Kacang kemiri (hazelnut)

Kacang makademia

Kacang pistasio

Kacang kenari (walnut)

20

15-17

26

3.2

14.8

7.6–8

19.7

14.4

55.2

49.2

50

2.2

61.4
76.2

50.6

69.2

8.8

5.9

12.9

10.4

6.4

235

34

29

86

48

90

89

3.5

0.9

3.2

1.8

3.9

2.5
( Anonim 2006 ).

4.1. Gluten

Pada percobaan ini, dilakukan penentuan kadar gluten. Menurut deMan (1997), pengertian dari
gluten adalah massa kenyal yang melengket yang menyatukan komponen-komponen roti lain seperti
pati dan gelembung gas, jadi membentuk dasar struktur lunak roti. Kerusakan gluten karena bahang
dapat terjadi karena suhu udara yang berlebihan pada pengeringan butir gandum basah. Gluten
menjadi liat dan lebih sukar diekstraksi.

Dalam penentuan kadar gluten ini, digunakan bahan dasar yang berupa terigu cakra, terigu kunci,
dan pati. Penggunaan terigu disini dimaksudkan karena terigu mengandung gluten. Hal ini sesuai
dengan teori wheat atau gandum merupakan bahan dasar dari pembuatan tepung terigu. Gandum
adalah satu–satunya jenis biji-bijian yang mengandung gluten. (Marliyati & Sulaeman, 1999). Teori ini
juga ditunjang oleh teori ada 3 macam jenis terigu produksi Bogasari, yaitu:

1. Kunci biru untuk membuat kue, biskuit dan kue – kue kering lainnya.

2. Segitiga biru untuk membuat mie, roti, untuk keperluan rumah tangga.

3. Cakra kembar untuk membuat roti dan kue.

Kunci Biru mempunyai sifat gluten yang kurang baik. Segitiga Biru mempunyai sifat gluten sedang.
Sedangkan Cakra Kembar mempunyai sifat gluten yang ulet dan kuat yang cocok untuk pembuatan
roti beragi (Arpah, 1993)

Langkah awal yang dilakukan yaitu pencampuran ketiga jenis tepung tersebut dengan
air. Pencampuran ini bertujuan untuk mendapatkan adonan elastis yang dapat dipulung dengan
tangan. menurut Potter & Hotchkiss (1995), gluten memiliki sifat penting ketika ditambah air dan
dengan kerja mekanik akan membentuk adonan elastis. Hal ini dibentuk oleh ikatan antar molekul
protein. Ikatan tiga dimensi akan menghasilkan adonan yang kuat. Semakin lama adonan diaduk,
semakin banyak ikatan yang terbentuk. Dengan alasan inilah mengapa adonan diremas-remas jika
menginginkan struktur yang kuat. Namun bagaimanapun juga lapisan gluten dapat pecah karena
gerakan mekanik yang berlebihan seperti pengadukan atau peremasan yang berlebihan. Karakter
dari adonan tergantung dari jenis tepung yang digunakan. Tepung rendah protein mengandung
gluten yang rendah dan lapisannya mudah sobek. Fungsi air disini digunakan untuk membentuk
adonan supaya menjadi lebih baik. Fungsi utama air adalah untuk menghidrasi tepung sehingga
dapat membentuk adonan yang baik. Air akan berikatan dengan protein membentuk struktur gluten
dan dengan pati membentuk struktur tergelatinasi pada waktu pemanasan. Air ini juga berfungsi
sebagai pelarut dari bahan – bahan lain seperti garam, gula, susu bubuk dan lain sebagainya.
Banyaknya air yang ditambahkan dalam pembuatan adonan roti akan menentukan mutu dari roti
yang dihasilkan (Marliyati & Sulaeman, 1999). Air yang digunakan dalam adonan terutama
tergantung pada tingkat penyerapan air oleh tepung. Tepung yang berprotein tinggi akan mampu
menyerap air lebih banyak daripada tepung protein rendah. Penambahan air yang berlebihan akan
menyebabkan adonan lengket dan susah diolah, adonan menjadi sangat cepat mengembang dan roti
yang dihasilkan basah, lembab dan gampang ditumbuhi oleh mikroorganisme. Sebaliknya kurangnya
penambahan air menyebabkan adonan terlalu kering, keras dan tidak mengembang dengan baik
selama proses pengadukkan, selain itu roti yang dihasilkan akan menjadi cepat basi dan mudah
hancur (Matz, 1992).

Setelah pencampuran dengan air, dilakukan proses adonan direndam dalam air hangat dan diremas-
remas hingga terbentuk gluten yang sempurna. Maksud dari perendaman ini adalah untuk
menhilangkan pati yang masih ada di dalam tepung. Ketika adonan dibuat dari tepung dan air, atau
dari tepung dan campuran sodium chlorida, kemudian diremas dibawah aliran air. NaCl, pati dan zat
yang dapat larut kemudian dicuci kembali, meninggalkan gumpalan gluten-protein gluten (gliadin dan
glutenin) mengandung lemak, pati, gula, sellulosa dan mineral dalam jumlah yang sedikit. Berat
gluten basah seringkali digunakan sebagai alternatif penentuan protein untuk mengetahui kualitas
tepung untuk pembuatan roti (Kent, 1986). Sedangkan peremasan dilakukan untuk menghasilkan
struktur gluten yang kuat. Gluten memiliki sifat penting ketika ditambah air dan dengan kerja
mekanik akan membentuk adonan elastis. Hal ini dibentuk oleh ikatan antar molekul protein. Ikatan
tiga dimensi akan menghasilkan adonan yang kuat. Semakin lama adonan diaduk, semakin banyak
ikatan yang terbentuk. Dengan alasan inilah mengapa adonan diremas-remas jika menginginkan
struktur yang kuat. Namun bagaimanapun juga lapisan gluten dapat pecah karena gerakan mekanik
yang berlebihan seperti pengadukan atau peremasan yang berlebihan. Karakter dari adonan
tergantung dari jenis tepung yang digunakan. Tepung rendah protein mengandung gluten yang
rendah dan lapisannya mudah sobek (Potter & Hotchkiss, 1995). Proses pemisahan pati dan gluten
yang utama yang digunakan adalah proses Martin yang dalam arti luas meliputi penyiapan adonan air
tepung dan mencuci pati dari adonan supaya hanya gluten yang seperti karet yang
tertinggal (Buckle et al., 1997).

Setelah proses pencucian selesai, dilakukan penimbangan dan penghitungan kadar gluten. Kadar
gluten yang paling banyak dihasilkan dari penggunaan bahan terigu cakra 100% yaitu sebesar 36,6%.
Cakra 75 % + kunci 15 % + pati 10 % kadar glutennya 31,2. Cakra 50 % + kunci 25 % + pati 25 % kadar
glutennya 30,64. Cakra 25 % + kunci 50 % + pati 25 % kadar glutennya 18,60. Sedangkan kadar gluten
yang paling rendah didapat dari pencampuran tepung cakra 25 % + kunci 25 % + pati 50 % yaitu
sebesar 7,6%. Kadar gluten yang paling tinggi didapatkan dari tepung cakra karena tepung cakra
merupakan tepung berprotein paling tinggi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa Cakra Kembar kadar
proteinnya 11 – 13%, dihasilkan dari penggilingan 100% gandum “hard”, mempunyai sifat gluten
yang ulet dan kuat yang cocok untuk pembuatan roti beragi (Arpah, 1993). Gandum berprotein tinggi
akan mmpunyai daya serap air yang tinggi pula sehingga kadar glutennya tinggi. Menurut Marliyati &
Sulaeman (1999), gandum sebagian besar digolongkan sebagai gandum yang mengandung protein
rendah dengan ciri daya serap air yang rendah, sulit diaduk dan diragikan.

4.2. Penentuan Kadar Protein

Tanaman banyak menyediakan protein dalam bentuk asam amino dan nitrogen yang diperlukan oleh
tubuh manusia. Protein pada kacang-kacangan kaya akan asam amino yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan nak-anak kecuali lisin. Kedelai merupakan bahan panganh yang mengandung protein
paling tinggi diantara semua sereal kedelai yang mengandung fosfolipid, isoflavon, vitamin, dan
mineral (Pamela et al, 1988).
Percobaan penentuan kadar protein dengan bahan kacang merah dengan perlakuan digoreng dan
direbus dan mujahir dengan perlakuan digoreng dan direbus dilakukan dengan
metode Kjehdahl. Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan
makanan secara tidak langsung. Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan
adalah dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. Dalam penentuan
protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi
secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain
protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah nitrogren total ini tetap
dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah sebagai
berikut: mula-mula bahan didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium
oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator
(Pomeranz & Meloan, 1987). Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjedahl ini dengan
demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein) karena selain protein juga terikut
senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino,
amida, purin dan pirimidin. Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjedahl ini adalah hasil
penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur
N rata-rata 16% (dalam protein murni) (Sudarmadji et al., 1996). Cara analisis Kjeldahl akan berhasil
baik dengan asumsi N dalam bentuk ikatan N – dan N – O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah
besar. Kekurangan cara analisis ini ialah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino
besar, kreatina dan kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai N protein (Winarno, 1997).

Menurut Sudarmadji et al. (1996), ada 3 tahap analisa kadar protein menggunakan metode Kjedahl.
Tahap pertama disebut tahap destruksi. Pada tahap ini, sampel dipanaskan di dalam asam sulfat
pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon menjadi CO dan
CO2 sedangkan elemen hydrogen menjadi H2O. Nitrogen yang ada dalam bahan pangan tersebut
akan menjadi ammonium sulfat. Khusus untuk protein yang kaya akan asam amino histidin dan
triptofan maka memerlukan waktu lama dan sukar terdestruksi sehingga perlu dipakai katalisator
selenium. Untuk mempercepat proses dertruksi sering ditambahkan katalisator beberapa campuran
Na2SO4 dan HgO (20:1). Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan
dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih capat. Tiap 1gram K2SO4 dapat menaikkan titik didih
3°C. Suhu destruksi berkisar antara 370 - 410°C. Hal ini sesuai dengan percobaan praktikum bahwa
dekstruksi dilakukan pada ruang asam dengan jernih.

Tahap kedua disebut tahap destilasi. Ammonium sulfate [(NH4)2SO4] biasanya digunakan karena
merupakan zat yang mempunyai daya larut tinggi, meskipun garam netral lainnya seperti NaCl atau
KCl mungkin digunakan untuk memaximalkan keefektifan pemisahan (Nielsen, 1998). Pada tahap
destilasi ammonium sulfat dipecah menjadi NH3 dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan
dipanaskan. Agar selama destilasi tidak terjadi superheating atau timbulnya percikan cairan dan
timbulnya gas maka ditambahkan logam Zn. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap
oleh larutan asam standar, biasanya HCl dalam jumlah yang berlebihan. Namun sebenarnya standar
larutan pengumpul ammonia yaitu asam borat 4% sehingga bisa terbentuk asam borat. Agar kontak
antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam
mungkin di dalam asam. Destilasi diakhiri bila semua ammonia sudah terdistilasi sempurna yang
ditandai dengan destilat tidak bereaksi basis.hal ini sesuai dengan langkah percobaan praktikum
bahwa HCL digunakan untuk menampung destilat.

Sebelum proses titrasi menggunakan NaOH, dilakukan penambahan Methyl Red. Penambahan ini
dimaksudkan untuk mendapatkan warna merah sebelum titrasi. Methyl Orange mempunyai range
pH 3,1 – 4,4 (asidimetri) dan pada peningkatan pH terjadi perubahan warna dari kuning ke merah.
Methyl Red dengan peningkatan pH terjadi perubahan warna dari merah ke merah muda (Petrucci,
1987).

Tahap terakhir yaitu tahap titrasi. Pada tahap ini, digunakan NaOH untuk titrasi. Titik akhir titrasi
dapat dilihat dengan berubahnya warna merah muda menjadi kuning. Hal ini sesuai dengan teori
Sudarmadji et al. (1996), apabila penampung destilat yang dipakai adalah asam klorida maka yang
terbentuk adalah ammonium klorida sehingga harus dititrasi dengan NaOH (0,1N). Namun untuk
metode standart, dipakai asam borat sehingga yang terbentuk adalah ammonium borat sehingga
harus dititrasi dengan asam sulfur atau asam hidroklorik. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel
merupakan jumlah ekuivalen nitrogen. Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya
dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada
prosentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan.

Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya, maka angka yang
lebih tepat dapat dipakai. Apabila jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui maka jumlah protein
dapat diperhitungkan dengan jumlah N x 100/10 atau jumlah N x 6,25. Untuk campuran senyawa
protein yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, faktor konversinya
adalah 6,25. Tetapi untuk yang sudah diketahui misalnya protein gandum = 5,70 (Sudarmadji et al,
1989). Dari hasil percobaan, didapatkan % protein kacang merah adalah 17,745%. % protein kacang
merah goreng adalah 16,817%. % protein kacang merah rebus adalah 4,586%. % protein mujahir
goreng adalah 49%. Dan % protein mujahir rebus adalah 49%. Dari hasil ini dapat kita lihat 5 protein
bahan alami lebih besar daripada 5 protein bahan yang telah mengalami perlakuan. Hal ini sesuai
dengan teori dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjehdahl ini adalah hasil penelitian dan
pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata – rata
16% (dalam protein murni).

Penggunaan metode Kjeldahl ini mempunyai keuntungan dan kekurangan. Keuntungan dari metode
Kjeldahl adalah dapat diaplikasikan untuk semua tipe pangan, relatif mudah, tidak mahal, akurat, dan
telah dimodifikasi untuk mengukur kuantitas protein mikrogram. Sedangkan kelemahan metode
Kjeldahl adalah mengukur nitrogen organik total tidak hanya nitrogen protein, presisi lebih buruk
dibandingkan metode biuret, dan reagen korosif (Pomeranz & Meloan, 1987).

5. KESIMPULAN

Digunakan terigu sebagai bahan analisa gluten disebabkan oleh tingginya kadar gluten yang ada di
dalam terigu. Penambahan air sedikit demi sedikit untuk memberikan waktu pada gliadin dan
glutenin untuk bersatu membentuk gluten, mencegah penambahan air yang berlebih ke dalam
campuran Penambahan air dilakukan dengan tujuan menghidrasi protein tepung pati hingga
membentuk gluten. Reaksi gliadin dan glutenin dengan air (hidrasi) akan membentuk massa elastis
yang sering disebut gluten. Peremasan menyebabkan terbentuknya ikatan 3 dimensi pada struktur
protein, mengaktifkan ikatan silang disulfida dan ikatan hidrofobik yang ada dalam
protein. Pencucian adonan dibawah air mengalir untuk melarutkan protein-protein larut air, sehingga
dihasilkan gluten yang tidak larut air dengan sempurna. Pencucian adonan di bawah air bertujuan
untuk mendapatkan gluten yang murni. Gluten yang tidak larut air dipengaruhi susunan asam amino
dan aktifnya ikatan hidrofobik. Kandungan protein dapat diuji dengan berat gluten basah dan
metode Kjeldahl. Cakra 100% merupakan penghasil gluten yang tertinggi. Penentuan %N dan
%protein merupakan metode penentuan protein kasar. Metode Kjeldahl meliputi proses destruksi,
destilasi, dan titrasi. Penambahan HgO dan K2SO4 pada destruksi protein bertujuan untuk
mempercepat proses destruksi. Penambahan Zn pada destilasi bertujuan untuk mencegah terjadinya
superheating. Na2S2O3 berfungsi untuk memecah senyawa kompleks merkuri-amonia menjadi
amonium sulfat.

6. DAFTAR PUSTAKA

Anonim,(2000).Kacang-Kacangan Si Gurih Kaya Gizi. Info Ayah Bunda. Jakarta.

www.ayahbunda-online.com//artikel/kacang-kacangan.htm

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Buckle, K. A.; R.A Edwards; G.H Sheet & M. Wootton. (1997). Ilmu Pangan.Universitas Indonesia
Press. Jakarta.

Chang, R. (1991). Chemistry Fourth Edition. McGraw-Hill, Inc. New York.

deMan, J.M. (1997). Kimia Makanan. Edisi Kedua. ITB Bandung. Bandung.

Gaman, P. M. & Sherrington, K. B. (1994). Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan
Mikrobiologi Edisi Kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Herschdoerfer, S. M. ( 1986 ). Quality Control in Fodd Industry volume 3 2ndEdition. Academic Press
Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. London.

Kent, N. L. (1986). Quality Control in The Food Industry Vol 3 2nd edition. Academic Piers, Inc.
London.

Marliyati, S.A; Sulaiman, A. & Faizal, A. (1999). Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. IPB.
Bogor.

Matz, S. A. (1992). Bakery Technology and Enginering, 3th Edition. Van Nostrand Reinhold. New York.

Nielsen, S. S. (1998). Food Analysis Second Edition. Aspen Publishers, Inc. Indiana.

Pamela, M.K, PhD.; Shane B, PhD.; Susan M.O, PhD. (1988). Folate Bioavailability in Humans : Effects
of Wheat Bran And Beans. American Society for Clinical Nutrition, Vol. 80, No. 8, 1988.

Petrucci, R.H. (1987). Kimia Dasar. Erlangga. Jakarta.


Pomeranz, Y. & C. E. Meloan. ( 1987 ). Food Analysis Theory and Practice 2nd Edition. Van Nostrand
Reinhold Company, Inc. USA.

Pomeranz, Y. (1988). Wheat Chemistry and Technology. The American Association of Cereal
Chemistry, Inc. USA.

Potter, N.N. & Hotchkiss, J. H. (1995). Food Science. CBS Publishers & Distributors. New Delhi

Quellette, R.J. (1994). Organic Chemistry : A Brief Introduction 2nd Edition. Prentice-Hall. New Jersey

Sudarmadji, S.; B. Haryono & E. Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan. Liberty. Yogyakarta.

Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta.

Winarno, F. G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

7. LAMPIRAN

7.1. Perhitungan

7.1.1. Gluten

Rumus : Kadar Gluten = Berat gluten x 100%

Berat sampel

Kelompok C1

Kadar Gluten = 18,3 x 100 %

50

= 36,6 %

Kelompok 2

Kadar Gluten = 15,60 x 100 %

50

= 31,2 %

Kelompok 3

Kadar Gluten = 15,32 x 100 %

50
= 30,64 %

Kelompok 4

Kadar Gluten = 9,30 x 100 %

50

= 18,6 %

Kelompok 5

Kadar Gluten = 3,80 x 100 %

50

= 7, 6 %

7.1.2. Kadar Protein

Rumus : % N = vol NaOH (blanko-sampel) x N NaOH x 14,008 x 100%

W sampel (gr) x 1000

% Protein = % N x factor konversi

Kelompok C1

% N = (27,5 – 21,7) x 0,1 x 14,008 x 100 %

0,25 x 1000

= 3,25 %

% protein = 3,25 x 5,46

= 17,745 %

Kelompok C2

% N = (27,5 – 22) x 0,1 x 14,008 x 100 %

0,25 x 1000
= 3,08%

% protein = 3,08 x 5,46

= 16,817%

Kelompok C3

% N = (27,5 – 26) x 0,1 x 14,008 x 100 %

0,25 x 1000

= 0,84 %

% protein = 0,84 x 5,46

= 4,586 %

Kelompok C4

% N = (27,5 – 13,5) x 0,1 x 14,008 x 100 %

0,25 x 1000

= 7,84 %

% protein = 7,84 x 5,46

= 49 %

Kelompok C5

% N = (27,5 – 18,9) x 0,1 x 14,008 x 100 %

0,25 x 1000

= 4,82 %

% protein = 4,82 x 5,46

= 30,125 %

Copyright © 2011 SMK KIMIA INDUSTRI THERESIANA SEMARANG.

All Rights Reserved.

Você também pode gostar