Você está na página 1de 17

Analisis retrospektif terhadap penatalaksanaan dan Outcome Sindroma

Stevens Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik pada 87 pasien Jepang

Abstrak
Latar belakang: Sindroma steven Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik
(NET) merupakan reaksi obat yang tidak diharapkan yang jarang terjadi namun
berat dengan mortalitas yang tinggi.
Metode: Untuk menyajikan karakteristik klinis SSJ dan NET di Jepang dan
mengevaluasi efektivitas penatalaksanaan, kami secara retrospektif menganalisis
kasus-kasus SSJ dan NET yang diobati di 2 rumah sakit universitas selama tahun
2000 – 2013.
Hasil: Lima puluh dua kasus SSJ (21 laki-laki dan 31 perempuan; rata-rata usia,
55.1 tahun) dan 35 kasus NET (17 laki-laki dan 18 perempuan; rata-rata usia 56.6
tahun) diikutsertakan dalam penelitian ini. Dua puluh delapan kasus SSJ (53.8%)
dan semua kasus NET disebabkan oleh obat. Hepatitis merupakan keterlibatan
obat yang paling sering ditemukan baik pada SSJ maupun NET. Disfungsi ginjal,
gangguan pada usus, dan gangguan pernapasan juga terlibat dalam beberapa
kasus. Komplikasi utamanya adalah pneumonia dan sepsis. Semua kecuali 3 kasus
diobati secara sistemik dengan kortikosteroid. Terapi steroid dosis denyut
dilakukan pada 88.6% NET. Plasmapharesis dan atau terapi imunoglobulin
dikombinasikan dengan terapi steroid terutama pada NET setelah 2007. Angka
mortalitas adalah 6.9% dan angka untuk SSJ dan NET adalah 1.9% dan 14.3%,
secara berturut-turut. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan mortalitas yang
diprediksi menurut sistem penentuan skor tingkat keparahan penyakit untuk skor
Prognosis NET (SCORTEN). Ketika membandingkan angka mortalitas antara
tahun 2000 – 2006 dan 2007- 2013, angka ini menurun dari 4.5% menjadi 0.0%
pada SSJ dan dari 22.2% menjadi 5.3% pada NET.
Kesimpulan: Penatalaksanaan dengan terapi steroid dosis denyut dalam kombinasi
dengan plasmaparesis dan/atau terapi imunoglobulin tampak berkontribusi atas
perbaikan prognosis pada SSJ/NET.
Pendahuluan
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET)
merupakan penyakit yang berpotensi mematikan, yang ditandai dengan demam
tinggi, eksantema makula yang membentuk bula dan menyebar luas, dan lesi
target yang atipikal, disertai dengan keterlibatan mukosa.1-3 Kedua penyakit ini
seringkali disertai dengan komplikasi pada sejumlah organ, seperti hati, ginjal,
dan paru, yang mempersulit penatalaksanaan dan kadangkala menentukan
lamanya convalescent. Penyakit ini dianggap merupakan penyakit yang berada
pada spektrum yang sama namun dengan tingkat keparahan yang berbeda. 4,5 Pada
SSJ, yang merupakan kondisi yang lebih ringan diantara keduanya, pengelupasan
epidermis terjadi pada kurang dari 10% area permukaan tubuh. Area pengelupasan
epidermis lebih luas pada NET, dan penyakit ini seringkali disertai dengan lebih
banyak komplikasi pada lebih banyak organ dibandingkan dengan yang
ditemukan pada SSJ.
Penatalaksanaan penyakit ini belum ditetapkan dengan baik. Selain
perawatan suportif, kortikosteroid sistemik,6,7 imunoglobulin intravena dosis
8-11
tinggi (IVIG), dan plasmapharesis12-14 telah digunakan dan dianggap efektif
dalam banyak laporan. Namun, efek penatalaksanaan ini masih kontroversial.15 Di
Jepang, penatalaksanaan dengan kortikosteroid telah semakin banyak digunakan,
semenjak pedoman untuk penatalaksanaan SSJ dan NET telah ditetapkan pada
tahun 2007 dan direvisi pada tahun 2009 oleh Japanese Research Committee on
Severe Cutaneous Adverse reaction (J-SCAR) yang didukung oleh Ministry of
Health, Labour and Welfare Jepang.16 Dibawah pedoman ini, kortikosteroid
dianggap sebagai penatalaksanaan lini pertama, dan, dalam kasus-kasus yang
berat, terapi steroid dengan dosis denyut direkomendasikan. IVIG dan
plasmapharesis dianggap sebagai modalitas tambahan untuk digunakan secara
bersamaan hdengan kortikosteroid sistemik. Setelah plasmaparesis untuk
SSJ/TEN memenuhi persyaratan untuk termasuk dalam cakupan oleh asuransi
kesehatan di Jepang pada tahun 2006, penggunaan plasmapharesis dalam
penatalaksanaan SSJ/NET telah semakin banyak, terutama pada NET yang
bersifat sulit disembuhkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyajikan karakteristik SSJ/NET dan
untuk mengevaluasi penatalaksanaan terkini penyakit ini. Kami secara retrospektif
menganalisis kasus-kasus SSJ/NET yang diobati di 2 rumah sakit universitas dari
tahun 2000 hingga 2013. Data menunjukkan rendahnya mortalitas dengan
penatalaksanaan intensif, terutama pada pasien-pasien yang diobati setelah tahun
2007.

Metode
Kami mengumpulkan kasus-kasus SSJ dan NET, yang diobati di Rumah
sakit Universitas Yokohama City dan Pusat kesehatan Universitas Yokohama City
antara Januari 2000 dan Desember 2013. Diagnosis SSJ/NET didasarkan pada
kriteria Bastuji-Garin.3 Untuk SSJ, gejala harus mencakup kondisi akut yang
ditandai dengan erosi membrana mukosa dan lesi kulit (yang digambarkan sebagai
makula, lesi yang menyerupai target atipikal, bula, atau erosi) dengan maksimum
pengelupasan epidermis sebesar kurang dari 10% dari area permukaan tubuh total
(BSA); dan untuk NET gejalanya harus mencakup maksimum pengelupasan
epidermis sebesar lebih dari 10% BSA selain gejala-gejala diatas. Kasus-kasus
yang dikelompokkan sebagai pertumpang-tindihan SSJ/NET menurut kriteria
Bastuji-Garin dengan maksimum pengelupasan epidermal sebesar 10 – 30% BSA
dalam penelitian ini dimasukkan sebagai NET.
Dilakukan pengumpulan data untuk variabel berikut: informasi demografi
(usia dan jenis kelamin), riwayat medis masa lampau yang relevan, dan kelainan
yang ada secara bersamaan, penggunaan obat yang mendahului, waktu antara
asupan obat kausatif pertama dan onset gejala, pengelupasan epidermis
maksimum sebagai persentase BSA, ada dan luasnya keterlibatan membrana
mukosa, data laboratorium, hasil uji tempel dan uji stimulasi limfosit dengan
menggunakan obat yang diduga, keterlibatan organ dan komplikasi,
penatalaksanaan yang terdiri atas terapi kortikosteroid, terapi imunoglobulin
intravena (IVIG), dan plasmaparesis, dan mortalitas. Obat kausatif ditetapkan
dengan mempertimbangkan riwayat pemberian obat dan hasil uji tempel dan uji
stimulasi limfosit jika dilakukan.
Untuk mengevaluasi efektivitas penatalaksanaan, SCORTEN, digunakan
suatu sistem pemberian skor untuk tingkat keparahan penyakit untuk prognosis
NET. SCORTEN, yang terdiri atas 7 nilai klinis, diusulkan oleh Bastuji-Garin S
dkk pada tahun 2000 dan saat ini diterima secara luas sebagai alat prognostik
standar untuk prediksi mortalitas pada pasien-pasien dengan NET dan SSJ.17
Kriteria SCORTEN adalah: nitrogen urea darah serum > 10 mmol/L,
bikarbonat serum < 20 mmol/L, glukosa serum > 14 mmol/l, usia ≥ 40 tahun,
adanya keganasan, denyut jantung > 120 kali per menit, dan persentase BSA
dengan pengelupasan epidermis ≥ 10%. Angka mortalitas diprediksi menurut skor
total SCORTEN, yaitu sebagai berikut sebagai berikut: 0 – 1 poin, 3.2%; 2 poin
12.1%; 3 poin, 35.3%; 4 poin, 58.3%; dan 5 poin atau lebih, 90%.
Hasil
Usia dan jenis kelamin (gambar 1)
Delapan puluh tujuh kasus yang terdiri atas 52 SSJ dan 35 NET diobati
selama 14 tahun periode penelitian dan semua dari mereka dianalisis dalam
penelitian ini. Pasien dengan SSJ, yang terdiri atas 21 laki-laki dan 31 perempuan,
berusia antara 17 dan 87 tahun (rata-rata, 55.1 tahun). Pasien dengan NET, yang
terdiri atas 17 laki-laki dan 18 perempuan, berusia antara 2 dan 80 tahun (rata-rata
56.6 tahun). Rata-rata usia tidak berbeda antara SSJ dan NET, namun puncaknya
tercatat pada pasien yang berusia pada sekitar 40-an dan 70-an untuk SSJ dan
pasien pada usia 70-an untuk NET.
Interval antara konsumsi obat pertama dan onset gejala (gambar 2)
Inteval waktu antara konsumsi obat pertama dan onset gejala pada 41 kasus
SSJ dan 24 kasus NET disajikan dalam gambar 2. Rata-rata intervalnya adalah
18.0 hari pada SSJ dan 11.7 hari pada NET. Pada NET, gejalanya biasanya terjadi
dalam waktu 7 hari setelah konsumsi obat pertama; oleh karena itu NET tampak
terjadi lebih dini setelah konsumsi obat dibandingkan SSJ.

Total jumlah hari rawat inap (gambar 3)


Total jumlah hari rawat inap dihitung untuk mengevaluasi periode yang
dibutuhkan untuk SSJ/NET. Semua pasien, kecuali 2 pasien dengan SSJ yang
gejalanya termasuk dalam kategori ringan, dirawat inap untuk penatalaksanaan.
Dalam kasus adanya pasien mengalami SSJ/NET saat sedang menjalani
penatalaksanaan terhadap penyakit yang ada secara bersamaan di rumah sakit,
total jumlah hari rawat inap dihitung dari hari konsultasi pertama dengan ahli
dermatologi hingga hari kondisi yang hampir pulih.
Rata-rata jumlah hari rawat inap adalah 20.8 hari pada SSJ dan 34.1 hari
pada NET. Satu pasien dengan SSJ dirawat inap selama 77 hari dengan infeksi
Cytomegalovirus, pneumonia Aspergillus, dan hepatitis akut karena obat
antijamur. Pasien NET yang dipulangkan dalam waktu 14 hari mencakup 2 kasus
kematian. Kecuali untuk kasus-kasus tersebut, 1 kasus dipindahkan ke rumah sakit
lain karena adanya penyakit psikologi yang ditemukan secara bersamaan dan
kasus lainnya didaftarkan ke departemen penyakit kardiovaskular karena stenosis
mitral berat. Hanya satu pria yang berusia 35 tahun dengan tumpang tindih
SSJ/NET yang meninggalkan rumah sakit selama 13 hari. Ia tidak mengalami
komplikasi apapun kecuali hepatitis ringan dan diobati dengan kortikosteroid saja.
Ia segera pulih tanpa mengalami komplikasi apapun setelah ia masuk rumah sakit.

Penyebab SSJ dan NET


Pada SSJ, 28 kasus (53.8%) dianggap disebabkan oleh reaksi terhadap obat
yang tidak diharapkan, dan 8 kasus (15.4%) diduga disebabkan oleh infeksi,
termasuk 3 kasus Mycoplasma pneumonia. Penyebab kasus-kasus lain tidak
ditetapkan. Sebaliknya, semua kasus NET diduga disebabkan oleh reaksi terhadap
obat yang tidak diharapkan. Obat kausatif SSJ dan NET disajikan dalam tabel 1.
Sesuai dengan laporan sebelumnya, antibiotika, obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS), obat demam, dan obat antikonvulsan merupakan obat kausatif yang
utama. Namun, cukup perlu diperhatikan bahwa antikonvulsan sangat sering
ditemukan sebagai obat kausatif pada SSJ.
Lesi kulit dan mukokutaneus
Derajat pengelupasan epidermis maksimum pada NET sangat berbeda-beda.
Rentangnya adalah 10% - 100% BSA dan rata-rata adalah 44.7% BSA. Satu
pertiga pasien NET menunjukkan pengelupasan epidermis maksimum sebesar
lebih dari 50% dan 5 kasus (14%) menunjukkan pengelupasan epidermis
maksimum sebesar lebih dari 90% BSA.
Sedangkan untuk lesi mukokutaneus, keratokonjungtivitis teramati pada 39
kasus (75.0%) SSJ dan 17 kasus (48.6%) NET. Keratokonjungtivitis mencakup
gambaran klinis seperti injeksi kornea dan erosi keratokonjungtiva,
pseudomembran konjungtiva, dan mukus pada mata. Bibir yang terasa nyeri dan
erosi oral teramati pada 50 kasus (96.2%) SSJ dan 19 kasus (54.3%) NET.
Masalah-masalah genitalia, yang terutama ditemukan dengan nyeri selama
berkemih, teramati pada 19 kasus (36.5%) SSJ dan 17 kasus (48.6%) NET.
Keterlibatan organ dan komplikasi
Keterlibatan organ dan komplikasi lainnya seringkali menyertai baik itu SSJ
maupun NET (Tabel 2), dan ditemukan lebih sering pada NET. Hepatitis
merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada SSJ (26 kasus, 50%)
dan NET (15 kasus, 42.9%). Disfungsi ginjal (5 kasus, 9.6%) dan gangguan
gastrointestinal (5 kasus, 9.6%) mengikuti disfungsi hati pada SSJ. Sedangkan
untuk NET, disfungsi ginjal dan gangguan gastrointstinal teramati pada 8 kasus
(22.9%) dan 4 kasus (11.4%) secara berturut-turut. Satu kasus NET dengan
disfungsi ginjal berat mendapatkan hemodialisis. Ensefalopati kadangkala
berkaitan dengan SSJ dan NET. Kelainan ini teramati pada frekuensi yang lebih
tinggi (5 kasus, 14.3%) pada NET dibandingkan pada SSJ (2 kasus, 3.8%). Satu
kasus mengalami kejang dan yang lainnya bermanifestasi sebagai penurunan
tingkat kesadaran tanpa disertai dengan gangguan serebrovaskular.
Infeksi seperti pneumonia dan sepsis merupakan komplikasi utama baik
pada SSJ maupun NET. Terutama pada NET, sepsis merupakan masalah yang
serius dan 3 dari 6 kasus yang mengalami sepsis berlanjut menjadi koagulasi
intravena diseminata (DIC).
Dalam 3 kasus ini, 2 kasus meninggal (dijelaskan dalam kasus kematian)
dan hanya 1 kasus yang bertahan hidup. Kasus yang berhasil hidup adalah pria
yang berusia 72 tahun dan ia juga mengalami hepatitis dan disfungsi ginjal berat
yang perlu mendapatkan hemodialisis. Satu kasus sepsis pada SSJ adalah wanita
yang berusia 87 tahun yang telah mengalami pneumonia saat ia mengalami SSJ
dan penatalaksanaan dimulai 9 hari setelah terjadinya SSJ.

Penatalaksanaan
Penataaksanaan sistemik utama yang digunakan selain perawatan suportif
adalah kortikosteroid, IVIG, dan plasmapharesis. Penatalaksanaan yang dilakukan
disajikan dalam tabel 3. Semua kasus, kecuali 2 kasus SSJ dan 1 kasus NET,
diobati dengan kortikosteroid dengan atau tanpa terapi lainnya. Penurunan segera
untuk dosis steroid dilakukan sejalan dengan perbaikan gejala. Pada SSJ, sebagian
besar kasus (45 kasus, 86.5%) diobati dengan kortikosteroid saja. Dari kasus-
kasus ini, 18 pasien (34.6% dari semua SSJ) mendapatkan terapi dosis denyut
(500 – 1000 mg /hari metilprednisolon selama 3 hari). Di sisi lain, pada NET,
terapi steroid dosis denyut dilakukan pada 31 kasus (88.6%) dari semua kasus.
Kurang dari setengah kasus (14 kasus, 40%) diobati dengan kortikosteroid
saja dan diantara mereka sebanyak 12 kasus mendapatkan terapi dosis denyut (500
– 1000 mg/hari metilprednisolon selama 3 hari). Kasus yang diobati tanpa steroid
adalah wanita yang berusia 62 tahun yang diobati dengan IVIG (20g/hari selama 2
hari) saja, karena ita mengalami pneumonia Staphylococcus aureus resisten
methicilin (MRSA) setelah operasi untuk diseksi aorta akut ketika ia mengalami
NET. IVIG sangat efektif dalam kasus ini dan mengahasilkan perbaikan yang
sangat jelas dari erupsi NET.
Kombinasi penatalaksanaan dengan IVIG dan kortikosteroid hanya
dilakukan pada 3 kasus SSJ. Ketiga kasus ini mendapatkan kurang dari 2 g/kg
(lebih dari 1 g/kg) imunoglobulin secara total. Dua dari 3 kasus mendapatkan
terapi dosis denyut (500 – 1000 mg/hari metilprednisolon selama 3 hari. Satu
kasus SSJ telah diobati dengan metilprednisolon 60mg/hari untuk lupus
eritematosus sistemik ketika ia mengalami SSJ dan ia mendapatkan
penatalaksanaan tambahan plasmaparesis filtrasi ganda (DFPP). Kasus SSJ
lainnya diobati dengan kortikosteroid, IVIG, dan plasmapharesis secara berurutan.
Kasus ini mengalami SSJ sebagai reaksi terhadap diaphenylsulfone (DDS) yang
dikonsumsi untuk pemfigus foliaceus. Untuk mengobati pemfigus foliaceous dan
SSJ secara bersamaan, dilakukan DFPP.
Di sisi lain, terapi kombinasi dipilih secara positif pada NET. Sebelum
memulai IVIG atau plasmapharesis, semua kasus mendapatkan terapi steroid dosis
denyut. Delapan kasus (22.9%) diobati dengan kombinasi IVIG (lebih dari 1 g/kg)
dan kortikosteroid, dan 10 kasus (28.6%) dengan kombinasi plasmaparesis dan
kortikosteroid. Dua kasus (5.7%) diobati dengan steroid dosis denyut, IVIG dan
plasmaparesis karena perburukan gejala. Berkebalikan dengan SSJ, 2 kasus NET
yang diobati dengan IVIG setelah 2008 diberikan dengan jumlah total sebesar
lebih dari 2 g//kg imunoglobulin. Semua tindakan plasmapharesis yang dilakukan
pada NET adalah berupa tindakan pertukaran plasma (PE) kecuali untuk 1 kasus
yang diobati dengan steroid dosis denyut, IVIG (1 g/kg) dan DFPP sebelum tahun
2006.
Mortalitas, kasus kematian dan sekuele
Mortalitas total adalah 6.9% . Satu kasus SSJ (angka mortalitas 1.9%) dan 5
kasus NET (angka mortalitas, 14.3%) mengalami kematian. Rata-rata skor
SCORTEN adalah 2.43, oleh karena itu angka mortalitas yang diprediksi adlaah
25.3% (8.9 kasus) pada NET.

Rangkuman kasus-kasus kematian disajikan dalam tabel 4. Kasus SSJ yang


mengalami kematian adalah seorang pria yang berusia 47 tahun. Ia mengalami
gangguan pernapasan akut setelah erupsi mulai menunjukkan tanda-tanda
pemulihan. Kematian diragukan disebabkan oleh limfoma maligna yang
merupakan penyakit primernya. Sedangkan untuk NET, usia kasus-kasus yang
mengalami kematian beragam dari 39 hingga 79 tahun, dengan rata-rata 63.4
tahun. Semua kasus diobati dengan kortikosteroid dan 3 dari mereka diobati denga
terapi kombinasi IVIG (< 2 g/kg) atau PE. Sepsis dan DIC menyertai NET pada 3
kasus. Wanita yang berusia 79 tahun mengalami sepsis dan DIC setelah
mengalami disfungsi ginjal berat. Dalam kasus ini, dosis kortikosteroid yang
diberikan ditingkatkan secara bertahap dari prednisolon 30 mg/hari hingga 100
mg/hari dan pada akhirnya diubah menjadi betamethasone 20 mg/hari. Satu kasus
seorang pria yang berusia 54 tahun telah menunjukkan kondisi umum yang sangat
berat pada saat dimulainya penatalaksanaan NET, yang mempersulit pemberian
kortikosteorid dosis tinggi, dan berakhir dengan syok septik. Seorang wanita yang
berusia 71 tahun mengalami NET selama penatalaksanaan demauntuk fever of
unknown origin, yang dicurigai untuk mengalami beberapa jenis infeksi sistemik
yang tersembunyi dan menyebabkan syok septik dan DIC.
Tidak ada kasus yang menunjukkan sekuele yang berat baik pada SSJ
ataupun NET. Hanya 1 kasus NET, yaitu seorang pria yang berusia 17 tahun, yang
menunjukkan hilangnya kuku jari tangan. Meskipun banyak laporan yang
menunjukkan bahwa komplikasi mata seringkali menyebabkan sekuele mata yang
berat, tidak ada kasus dalam penelitian ini yang menunjukkan sekuele pada mata.
Perbandingan modalitas penatalaksanaan yang digunakan dan angka mortalitas
antara 2000-2006 dan 2007 – 2013 pada NET
Setelah plasmapharesis untuk SSJ/NET memenuhi persyaratan untuk
termasuk dalam cakupan oleh asuransi kesehatan pada tahun 2006, pilihan
modalitas penatalaksanaan yang tersedia untuk NET telah berubah. Oleh karena
itu, kami memisahkan kasus-kasus menurut tanggal masing-masing 7 tahun
sebelum dan setelah perubahan ini (2000-2006 dan 2007-2013) dan
membandingkan modalitas penatalaksanaan yang digunakan dan angka mortalitas
pada 2 periode ini. Dari 2000 hingga 2006, dilakukan evaluasi terhadap 22 kasus
SSJ dan 17 kasus NET. Dari 2007 hingga 2013, dilakukan evaluasi terhadap 30
kasus SSJ dan 18 kasus NET. Meskipun terapi steroid dosis denyut dan kombinasi
terapi IVIG (< 2 g/kg) dengan terapi kortikosteroid merupakan suatu pilihan yang
banyak digunakan hingga 2006, frekuensi kasus yang diobati dengan kombinasi
plasmapharesis dan terapi kortikosteroid sangat meningkat setelah tahun 2007
(disajikan dalam gambar 4).
Angka mortalitas menunjukkan penurunan yang besar setelah 2007,
dibandingkan dengan 2000 – 2006, dari 4.5% menjadi 0.0% pada SSJ dan dari
23.5% menjadi 5.6% pada NET, meskipun rata-rata skor SCORTEN sedikit
meningkat setelah 2007 (2.18 pada 2000-2006 dan 2.50 pada 2007-2013). Kami
membandingkan angka mortalitas yang diprediksi untuk kasus NET dengan angka
kejadian aktual. Hanya sedikit perbedaan yang terlihat pada tahun 2000-2006;
angka prediksi adalah 23.9% (4.1 kasus) dan angka aktual adalah 23.5% (4 kasus).
Namun, angka ini menunjukkan kesenjangan yang relatif besar pada tahun 2007 –
2013; angka prediksi adalah 26.5% (4.8 kasus) dan angka aktual adalah 5.6% (1
kasus). Selain itu, ketika membandingkan rata-rata skor SCORTEN dari kasus
yang tidak mengalami kematian antara 2 periode, angka menunjukkan
peningkatan yang relatif besar dari 1.69 menjadi 2.47.

Pembahasan
SSJ dan NET merupakan penyakit yang jarang terjadi namun mengancam
nyawa. Angka mortalitas untuk kondisi ini baru-baru ini dilaporkan sebesar 34%
pada 1 tahun untuk SSJ/NET di Eropa18 dan 3% dan 19% untuk SSJ dan NET,
secara berturut-turut, di Jepang.19 Penelitian terbaru telah mengungkapkan rincian
yang baru mengenai jalur apoptosis keratinosit dan perubahan imunologi yang
berkaitan dengan reaksi obat yang tidak diharapkan dalam penyakit ini.8,20-23
Selain sitotoksisitas langsung oleh sel T sitotoksik (CTL), beberapa faktor yang
larut seperti tumor necrosis factor alfa, nitrit oksida, ligan Fas yang larut (sFasL),
granulisin, annexin A1 saat ini dianggap memediasi apoptosis keratinosit. Abe dkk
melaporkan bahwa sel-sel mononuklear darah perifer (PBMC) dari pasien
SSJ/NET menyekresikan sFasL pada saat adanya stimulasi oleh obat penyebab.
Selain itu, mereka menunjukkan bahwa serum pasien memicu apoptosis pada
keratinosit yang dikultur, yang menunjukkan bahwa sFasL yang diproduksi oleh
PMBC dapat berkontribusi terhadap patogenesis SSJ/NET.21 Chung dkk
menegaskan bahwa granulisin yang dihasilkan oleh CTL atau konsentrasi natural
killer cells pada cairan bulla lesi kulit SSJ/NET dua hingga empat tingkatan
besarnya lebih tinggi dibandingkan perforin, granzyme B atau konsentrasi sFasL,
dan mengurangi granulosin akan mengurangi sitotoksisitas keratinosit. Selain itu,
mereka menunjukkan bahwa injeksi granulosin kedalam kulit mencit
menghasilkan gambaran yang menyerupai SSJ-NET.22 Baru-baru ini Saito dkk
mengungkapkan kontribusi annexin A1 dalam nekroptosis keratinosit pada
SSJ/NET. Pengurangan annexin A1 oleh antibodi spesifik mengurangi
sitotoksisitas supernatan. Keratinosit SSJ/NET mengekspresikan reseptor peptida
formyl 1 dalam jumlah yang sangat besar, yang merupakan reseptor untuk annexin
A1, sementara keratinosit kontrol tidak. Mereka juga menunjukkan bahwa inhibisi
necroptosis benar-benar mencegah respon yang menyerupai SSJ/NET pada model
SSJ/NET tikus.23
Tidak terdapat terapi yang telah ditetapkan untuk SSJ/NET, meskipun
banyak modalitas penatalaksanaan termasuk kortikosteroid, plasmaparesis dan
IVIG yang telah digunakan. Tantangannya masih terletak pada kesulitan untuk
menilai efektivitas penatalaksanaan untuk penyakit yang serius dan jarang
ditemukan seperti ini dalam uji klinis terkontrol acak yang besar (RCT).
Dalam penelitian ini, kami menyajikan karakteristik klinis terbaru dan
penatalaksanaan SSJ dan TEN pada 87 pasien yang diobati di 2 rumah sakit kami
untuk mengevaluasi kegunaan penatalaksanaan ini secara retrospektif.
Usia pasien dengan SSJ dan NET terdistribusikan secara luas dari usia muda
hingga tua. Obat kausatif utama adalah antibiotika, antikonvulsan, OAINS, dan
obat flu. Dominasi obat-obatan ini dalam menyebabkan penyakit tampak telah
tidak berubah sejak Aihara dkk menganalisis 269 kasus SSJ dan 287 kasus TEN
yang dilaporkan dari tahun 1981 hingga 1997 di Jepang.24 Namun, dalam
penelitian kami, antikonvulsan lebih sering ditemukan menjadi obat kausatif
dibandingkan yang sebelumnya dilaporkan pada SSJ. Hal ini kemungkinan
berkaitan dengan fakta bahwa pada beberapa tahun terakhir, antikonvulsan tidak
hanya digunakan untuk kejang namun juga untuk penyakit lainnya, seperti nyeri
neurogenik dan gangguan bipolar.
Selain gejala kulit yang berat, banyak keterlibatan organ yang teramati.
Organ yang paling sering terlibat adalah hati dan ginjal. Namun, meskipun lebih
jarang dibandingkan hepatitis dan disfungsi ginjal, gangguan respirasi dan
gastrointestinal merupakan kondisi berat yang seringkali menyebabkan kematian.
Selain keterlibatan multiorgan, masalah utama lainnya dalam rangkaian perjalanan
klinis adalah infeksi sekunder, terutama sepsis.
Sedangkan untuk penatalaksanaan, terapi kortikosteroid sistemik adalah
yang paling utama digunakan baik pada SSJ maupun NET di Jepang.25
Penggunaan kortikosteroid didasarkan pada gagasan bahwa kortikosteroid efektif
dalam menekan respon imunitas yang berlebihan. Meskipun penggunaannya
masih bersifat kontroversial,18,26 penelitian terbaru telah menyatakan bahwa agen
ini merupakan modalitas penatalaksanaan yang valid untuk SSJ/NET.6,7,27

Gambar 4. Perubahan penatalaksanaan yang digunakan antara tahun 2000-2006


dan 2007-2013 pada NET. A. Steroid (tanpa terapi dosis denyut); B. Terapi steroid
dosis denyut; C, steroid dan IVIG; D steroid dan plasmaparesis; E, steroid, IVIG
dan plasmaparesis, F. IVIG (tanpa kortikosteroid), IVIG, imunoglobulin
intravena.. Tujuh belas kasus NET (2000-2006) dan 18 kasus NET (2007-2013)
dievaluasi.

Tripathi dkk meninjau 67 pasien, dan hanya 1 pasien yang meninggal


dengan penyebab yang tidak berkaitan dengan terapi steroid.6 Mereka
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid sistemik dosis tinggi segera selama
periode yang relatif singkat untuk penatalaksanaan SSJ. Hirahara dkk
mengevaluasi 8 pasien yang diobati dengan metilprednisolon dosis denyut.
Mereka melaporkan tidak adanya kematian diantara pasien-pasien ini, sedangkan
mortalitas yang diprediksi adalah 1.6 kematian menurut sistem pemberian skor
SCORTEN (rata-rata skor SCORTEN adalah 2.1).27
Dalam penelitian ini, kortikosteroid digunakan untuk mengobati semua
kecuali 3 pasien, dan banyak dari mereka yang diobati dengan terapi steroid dosis
denyut. Mortalitas berjumlah 6 kematian (6.9%) dan semua kasus kematian
diobati dengan steroid. Namun, angka mortalitas ini jauh lebih rendah
dibandingkan mortalitas yang diprediksi (8.9 kematian, 25.3% pada NET)
menurut sistem skoring SCORTEN. Sebagaimana yang telah kami sebutkan
secara rinci mengenai 3 kasus kematian NET dengan sepsis, 2 kasus mendapatkan
pemberian kortikosteroid dalam dosis yang tidak adekuat. Sebanyak satu kasus
lainnya dengan fever of unknown origin diduga mengalami infeksi sistemik yang
mendasarinya. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa kortikosteroid dapat
mempermudah infeksi sekunder, menurunkan dosis segera setelah perbaikan
gejala SSJ/NET dipertimbangkan untuk mengurangi risiko efek samping
kortikosteroid sistemik yang mematikan.
Selain terapi steroid, plasmapharesis (terutama PE) dan IVIG diberikan pada
kasus NET berat. Plasmapharesis telah dilaporkan efektif dalam beberapa
penelitian NET setelah petengahan tahun 1980-an.13,14,28,29 Mekanisme
efektivitasnya masih bersifat spekulatif, namun kemungkinan besar melibatkan
pembersihan obat dan metabolit obat, ligan Fas larut, dan mediator-mediator
kimia dari sirkulasi darah. Dalam penelitian kami, 14 pasien yang mencakup 12
pasien NET dengan skor SCORTEN rata-rata sebesar 2.58 (mortalitas yang
diprediksi 3.68 kematian, 30.6%) diobati dengan plasmapharesis dan hanya satu
pasien NET yang meninggal (angka mortalitas 7.4%). Data ini mungkin
menunjukkan kemungkinan bahwa plasmapHaresis merupakan modalitas yang
berguna dalam penatalaksanaan NET refraktorik setelah memulai terapi steroid.
Terapi IVIG pada pasien NET akut pertama kali dilaporkan oleh Viard dkk
pada tahun 1998.8 Setelah laporan tersebut, banyak penelitian yang telah
memperlihatkan efektivitas terapi IVIG. Mekanisme yang diduga melibatkan
inhibisi kematian keratinosit yang dimediasi Fas oleh antibodi penghambat Fas
yang muncul secara alami pada imunoglobulin yang diberikan dan inhibisi
sitokin-sitokin inflamasi. Selain itu, telah diduga bahwa IVIG bekerja melalui
mekanisme inhibisi sel-sel inflamasi dan modulasi fungsi imunitas pada penyakit
inflamasi.30 Namun, efek IVIG masih bersifat kontroversial. 31,32 Pada tahun 2006,
French dkk merangkum penelitian klinis yang dilaporkan dan menyatakan bahwa
penggunaan imunoglobulin intravena sebesar lebih dari 2 kg/berat badan beguna
untuk mortalitas yang berkaitan dengan NET.9 Barron dkk33 melakukan sebuah
metaanalisis dengan meta-regresi terhadap 13 penelitian observasional yang
dilakukan selama periode 1966 – 2011 untuk menilai IVIG dalam penatalaksanaan
SSJ/TEN berdasarkan sistem skoring SCORTEN. Mereka menunjukkan bahwa
IVIG pada dosis 2 gram atau lebih tampak secara signifikan mengurangi
mortalitas. Chen dkk34 juga merekomendasikan penggunaan IVIG dengan dosis
total sebesar lebih dari 2g/kg untuk penatalaksanaan SSJ/TEN. Mereka
melaporkan bahwa penggunaan steroid secara dini memberikan efek yang
menguntungkan, dan bahwa terapi kombinasi dengan steroid dan IVIG
memperlihatkan efek terapeutik yang lebih baik dibandingkan dengan steroid saja.
Dalam penelitian kami, 15 pasien yang termasuk 11 NET dengan rata-rata skor
SCORTEN 2.09 (mortalitas yang diprediksi 2.59 kematian, 23.6%) diobati dengan
IVIG dan angka mortalitas adalah 13.3% (2 kematian). Total jumlah yang
diberikan berjumlah kurang dari 2 g/kg pada 13 kasus, termasuk 2 kasus kematian
yang diberikan dengan IVIG total 60 g masing-masing (skor SCORTEN 4 dan 6,
secara berturut-turut). IVIG diberikan dalam kombinasi dengan kortikosteroid
kecuali pada 1 kasus TEN dengan infeksi yang mendasari. Pada 2 dari kasus-
kasus dengan NET ini, plasmapharesis juga dilakukan setelah pemberian IVIG
karena penatalaksanaan initidak cukup efektif. Selain itu, karena hanya 2 pasien
yang diobati dengan IVIG pada dosis sebanyak lebih dari 2 g/kg dalam periode
penelitian, kami tidak mampu membahas efektivitas IVIG dalam keadaan
dependensi dosis. Saat dipertimbangkan secara bersama, sulit untuk mengevaluasi
efek tambahan IVIG secara akurat dari data ini.
Dalam perbandingan data antara tahun 2000-2006 dan 2007-2013,
dibuktikan bahwa rata-rata skor SCORTEN untuk kasus yang tidak mengalami
kematian telah meningkat dari 1.69 menjadi 2.47 setelah 2007 dan angka
mortalitas menurun dari 23.5 % menjadi 5.6% pada NET. Perubahan ini tampak
disebabkan oleh perubahan pada penatalaksanaan yang secara dominan digunakan
untuk NET antara 2 periode waktu ini. Lebih banyak kasus yang diobati dengan
kombinasi terapi kortikosteroid dan PE pada stadium dini masing-masing
penyakit setelah tahun 2007, karena plasmapharesis sebagai penatalaksanaan SSJ
dan TEN telah memenuhi persyaratan untuk cakupan oleh asuransi kesehatan
pada April 2006 di Jepang. Selain itu, terapi IVIG pada dosis yang lebih dari 2
g/kg dimulai mulai diberikan pada beberapa tahun terakhir. Pada pasien-pasien
ini, penatalaksanaan masing-masing dimulai segera setelah tindakan
penatalaksanaan yang lainnya, ketika penatalaksanaan awal diduga tidak cukup
efektif. Dari fakta ini, adalah hal yang berkemungkinan bahwa penatalaksanaan
yang didasarkan pada terapi steroid yang dikombinasikan dengan plasmapharesis
dan kemungkinan IVIG efektif dalam SSJ dan NET. Tampaknya faktor utama
yang mempengaruhi efektivitas terapi kombinasi adalah dosis steroid dan
pemilihan waktu dimulainya masing-masing penatalaksanaan.
Kesimpulannya, teramati adanya peningkatan perbaikan mortalitas SSJ/NET
pada tahun 2007-2013, dibandingkan dengan tahun 2000-2006. Penatalaksanaan
dengan steroid yang dikombinasikan dengan plasmapharesis dan/atau IVIG
sebanyak lebih dari 2g/kg tampak telah berkontribusi terhadap perbaikan ini.
Untuk memberikan informasi mengenai perbaikan pedoman untuk menentukan
regimen penatalaksanaan yang optimum, dibutuhkan penelitian RCT. Namun sulit
untuk melakukan RCT untuk penyakit ini karena masalah etik.

Você também pode gostar