Você está na página 1de 11

BAB I

LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis merupakan penyakit yang dapat diobati dan
dicegah yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel,
bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi terhadap zat berbahaya,
disertai efek ekstraparu yang mempengaruhi derajat berat penyakit (GOLD, 2010 dalam
Astuti, dkk, 2010).
Penyakit paru obstruksi kronis merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak
menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia saat ini, tidak hanya
bagi negara maju namun juga bagi Indonesi sebagai negara berkembang (Depkes, 2008
dalam Helmi, dkk, 2013).
Hal ini dikarenakan, PPOK tidak hanya menimbulkan masalah di bidang
pelayanan kesehatan, namun juga dapat memiliki dampak yang cukup besar di bidang
perekonomian. Beban biaya tahunan langsung dan tidak langsung yang ditimbulkan oleh
PPOK cukup besar yakni lebih dari biaya rawat inap pasien selama mendapatkan
perawatan di rumah sakit (NICE, 2004 dalam Helmi, dkk, 2013).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis sering ditandai oleh sekresi yang sangat banyak
dan sekresi tersebut harus di keluarkan untuk mencegah komplikasi paru. PPOM atau
COPD merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang
menahun dan presisten dari jalan nafas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini
adalah: bronkitis menahun, empisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis
(Murwani,2011:22).
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi penyebab
utama kesakitan dan kematian didunia. Data badan kesehatan dunia menunjukkan pada
tahun 2008, PPOK menempati urutan ke 3 bersama asma (4.2 juta kematian), setelah
penyakit kardiovaskular (17 juta kematian) dan kanker (7.6 juta kematian) (WHO, 2008
dalam Astuti, dkk, 2010).
Di Indonesia sendiri, belum ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Pada
survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL di lima rumah sakit
provinsi di Indonesia (Jawa Tenggah, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera
Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang
angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkhial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya
(2%) (Depkes RI, 2004 dalam Astuti, dkk, 2010).
Pada asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Krinis
akan muncul masalah yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang disebabkan oleh
hipersekresi, pasien mengalami batuk produktif kronik, sesak nafas, intoleransi aktifitas
karena suplei oksigen terganggu, mengi (Francis, 2008:69).
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka dilakukan Intervensi
keperawatan yang dilaksanakan pada pasien Penyakit paru obstruksi kronis yaitu
membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara, pengobatan simtomatik
(lihat tanda dan gejala yang muncul), sesak nafas diberi posisi yang nyaman semi fowler,
dehidrasi 3 diberi minum yang cukup, penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang
timbul, mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi jumlah udara yang
terperangkap, memberi penjelasan tentang teknik-teknik relaksasi dan cara untuk
menyimpan energi (Padila, 2012:100).
Salah satu intervensi keperawatan yang dilaksanakan pada pasien PPOK yaitu
mengeluarkan mukus atau lendir agar saluran pernafasan kembali efektif. Salah satunya
yaitu tindakan mandiri yang bisa di laksanakan klien untuk mengeluarkan sputum yaitu
teknik terapi batuk efektif (Pranowo, 2008).
Tehnik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan
sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah untuk meningkatkan ekspansi
paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek samping dari retensi sekresi seperti
pneumonia, atelektasis dan demam. Dengan batuk efektif pasien tidak harus
mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan sekret (Subrata, 2006 dalam Pranawo,
2008).
Caranya adalah sebelum dilakukan batuk, klien dianjurkan untuk minum air
hangat dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak. Setelah itu dianjurkan untuk
inspirasi dalam. Hal ini dilakukan selama dua kali. Kemudian setelah inspirasi yang
ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat (Depkes, 2007 dalam Pranowo,
2008).
Berdasarkan berbagai data dan informasi di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan studi kasus tentang efektifitas pemberian terapi batuk efektif pada pasien
Penyakit Paru Obstruksi Kronis, karena pada kasus ini pasien mengalami batuk produktif
dan peningkatan frekuensi infeksi saluran 4 pernafasan bawah yang menghasilkan sputum
purulen. Pada dasarnya jika sputum tidak segera di keluarkan maka akan terjadi
pengumpalan sekresi pernafasan pada area jalan nafas dan paru-paru serta menutup
sebagian jalan udara yang kecil sehingga menyebabkan ventilasi menjadi tidak adekuat
dan gangguan pernafasan, maka tindakan yang harus segera dilakukan adalah mobilisasi
sputum (Pranowo, 2008).
Dari pengamatan atau observasi yang didapatkan penulis, perawat hanya memberi
tempat sputum dan mengatakan kepada pasien untuk menampung sputum, perawat tidak
menjelaskan bagaimana tekhnik terapi batuk efektif kepada klien sehingga klien tidak
mengetahui bagaimana cara mengeluarkan sputum dengan maksimal. Pada kenyataan
yang sering kita temukan pasien tidak melakukan batuk efektif sehingga hanya air ludah
yang lebih dominan di bandingkan sputum. Sehingga penulis tertarik untuk
mengaplikasikan terapi batuk efektif pada pasien PPOK untuk membantu pengeluaran
sputum yang lebih dominan dari pada air liur.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah keadaan penyakit yang
ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. keterbatasan
aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang
abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya (Rubenstein, dkk, 2005:
64).
Istilah Penyakit Paru Obstruksi Kronis (Chronic Obstructive Pulmonary
Disease) penyakit ini tidak hanya mempengaruhi jalan napas, penyakit ini juga mengenai
parenkim paru dan sirkulasi pulmonal (Francis, 2008: 60).
Faktor risiko utama berkembangnya penyakit PPOK terdiri dari faktor paparan
lingkungan (rokok, pekerjaan, polusi udara dan infeksi) dan faktor resiko host (usia,
jenis kelamin, adanya riwayat gangguan fungsi paru dan predisposisi genetik yaitu
defisiensi antitripsin (AAT) (Ikawati, 2011: 66).
Penyakit Paru Obstruksi kronis dicirikan oleh obstruksi aliran udara biasanya
progresif, tidak sepenuhnya reversibel dan tidak berubah secara bermakna setelah
beberapa bulan. Merokok secara dominan menyebabkan penyakit ini (NICE, 2004 dalam
Helmi, 2013).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis sering ditandai oleh sekresi yang sangat
banyak dan sekresi tersebut harus di keluarkan untuk mencegah komplikasi paru. PPOM
atau COPD merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi
yang menahun dan presisten dari jalan nafas di dalam paru, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah: bronkitis menahun, empisema paru, asma terutama yang menahun,
bronkiektasis (Murwani, 2011: 22).
2.2 Klasifikasi
a. Bronkitis kronis
Adanya gangguan klinis yang ditandi dengan hiperproduksi mukus dari
percabangan bronkus dengan pencerminan batuk yang menahun. Simtom tersebut terus
terdapat setiap hari selama 2 tahun berturut-turut. Hal ini terdapat pada TBC paru,
tumor paru dan abses paru.
b. Empisema
Adanya kelainan paru dengan pelebaran abnormal dari ruang udara distal dari
bronkiolis terminal yang disertai dengan penebalan dan kerusakan di dinding alveoli.
c. Bronkitis empisema adalah campuran bronkitis menahun dan empisema.
d. Asma kronis dan bronkitis asmatis
1. Asma menahun pada asma bronkial menahun yang menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas.
2. Bronkitis asmatis adalah bronkitis yang menahun kemudian menunjukkan tanda-
tanda hiperaktifitas bronkus, yang di tandai dengan sesak nafas dan wheezing.
e. Penyakit TBC yang berkembang menjadi PPOM
(Murwani, 2011: 23)
2.3 Etiologi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya
hidup, yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab
timbulnya 80-90% kasus PPOM. Faktor resiko lain termasuk keadaan sosial-ekonomi dan
status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat dengan lokasi
pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi udara dan konsumsi alkohol yang
berlebih, laki-laki dengan usia antara 30 sampai 40 tahun paling banyak menderita PPOM
(Padila, 2012: 98).
a. Usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis sebelum
usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk perkeculian yang jarang dari pernyataan
umum ini seringkali berhubungan dengan sifat yang terkait dengan defisiensi bawaan
dari antitripsin alfa-1. Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan seseorang
mengalami emfisiema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko menjadi
semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008: 68).
b. Merokok
Ini merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup 80% dari
semua kasus PPOK yang ditemukan. Diduga bahwa sekitar 20% orang yang merokok
akan mengalami PPOK, dengan resiko perseorangan meningkat sebanding dengan
peningkatan jumlah rokok sigaret yang dihisapnya. Mengenai merokok, jumlah yang
diisap oleh seseorang diukur dengan istilah pack years, Satu pack years = menghisap
20 batang rokok per hari selama satu tahun. Dengan demikian, seseorang yang
merokok 40 batang rokok per hari selama satu tahun atau mereka yang merokok 20
batang rokok selama dua tahun akan memiliki akumulasi yang ekuivalen dengan 2
pack years (Francis, 2008: 68).
c. Latar belakang genetik dan keluarga
Telah ditemukan keterkaitan keluarga yang lemah, tidak seperti pada asma di
riwayat asma sebelumnya di dalam keluarga sangat dipertimbangankan sebagai faktor
resiko yang penting (Francis, 2008: 68).
2.4 Manifestasi klinis
a. Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah terkena iritasi oleh iritan-iritan
inhalan, udara dingin atau infeksi.
b. Sesak nafas dan dispnea.
c. c.Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastsitas paru menyebabkan dada
mengembang.
d. Hipoksia dan hiperkapnea.
e. Takipnea.
f. Dispnea yang menetap.
(Padila, 2012: 98)
2.5 Patofisiologi
Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologis berikut biasanya
terjadi secara berurutan: hipersekesi mukus, disfungsi sillia, keterbatasan aliran udara,
hiperinflanasi pulmonal, abnormalitas pertukuran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas
perifer menjadi tempat utama obstruksi pada pasien PPOK. Perubahan struktural dinding
jalan nafas adalah penyebab terpenting peningkatan tahanan jalan nafas perifer.
Perubahan inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mukus juga menyebabkan
penyempitan jalan nafas perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh stimulasi
pembesaran kelenjar yang menyekresi
mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediatior inflamasi seperti
leukosillia mengalami metaplasia skuoamosa, yang menyebabkan gangguan pembersihan
mukosillia, yang biasanya merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali tejadi
pada PPOK.
Abnormalitas ini dapat terjadi selama beberapa tahun sebelum abnomalitas
lain terjadi. Keterbatasan aliran udara ekspirsi adalah temuan penting pada PPOK. Ketika
proses penyakit berkembang, volume ekspirasi kuat dalam satu detik (forced expiratory
volume in 1 second, FEV 1) dan kapasitas vital kuat (forced vital capacity, FPC)
menurun, hal ini berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas,
penurunan kelekatan alveolar dan penurunan recoil elastis paru. Sering kali tanda pertama
terjadi keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio FEV1 pasca bronkodilator
kurang dari 80% dari nilai prediksi yang dikombinasikan (Morton,dkk, 2012: 737).
2.6 Komplikasi
a. Kegagalan respirasi akibat sesak nafas atau dispnea.
b. Kardiovaskuler yaitu kor pulmonal aritmia jantung.
c. Ulkus peptikum.
d. PPOK umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu yang lama, penderita
jadi cacat dan tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari.
e. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi dan kematian mendadak karena
aritmia jantung.
(Muwarni, 2011:25)
2.7 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologi
1. Bronkodilator
Perburukan sesak nafas biasanya dapat ditangani dengan penambahan
bronkodilator kerja-singkat biasa maupun dengan meningkatkan frekuensi
penggunaannya. Penggunaan nebulezier untuk memberikan pengobatan inhalasi
secara rutin digunakan di rumah sakit, walaupun demikian jika pasien mampun
mempertahankan tehnik inhalasi yang baik dengan menggunakan spacerbervolume
besar, maka metode ini telah terbukti sama efektifnya dengan terapi nebulisasi
(Francis, 2008: 82).
2. Antibiotik
Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK, dengan pemilihan
antibiotik bergantung kepada kebijakan lokal, terapi secara umum berkisar pada
penggunaan yang disukai antara amoksisilin, klaritromisin, atau trimetopri. Biasanya
lama terapi tujuh hari sudah mencukupi (Francis, 2008: 82).
3. Indikasi oksigen
Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun yang tidak
dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek dengan ekserbasi akut, dan
serangan akut pada asma
(Murwani, 2011: 26).
b. Penatalaksanaan non farmakologi
1. Aktivitas olah raga
Program aktivitas olahraga untuk PPOK dapat terdiri atas sepeda ergometri,
latihan treadmill, atau berjalan dengan diatur waktunya, dan frekuensinya dapat
bekisar dari setiap hari sampai setiap minggu (Morton,dkk , 2012: 741).
2. Konseling nutrisi
Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada lebih dari 50%
pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan
derajat abnormalitas pertukaran gas (Morton,dkk , 2012: 741).
3. Penyuluhan
Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif dalam
mengurangi resiko terjadinya PPOK dan memperlambat kemajuan tingkat penyakit.
Sesi konseling singkat untuk mendorong perokok berhenti merokok menyebabkan
angka berhenti menjadi 5% sampai 10% (Morton,dkk , 2012: 741).
Pemeriksaan diagnostik
1. Uji fungsi paru
Bisa menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara pada kasus PPOK
merupakan hal yang paling penting secara diagnostik. Hal ini biasanya dilakukan
menggunakan laju aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow, PEF). Pada
beberapa kasus dimana PPOK dicurigai, perlu dipertimbangkan untuk mengunakan
peak expiratory flow pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat volume keluaran
yang lebih kecil dengan menyediakan skala yang tepat untuk akurasi yang lebih
baik. Hal ini sangat berguna jika sebelumnya peak expiratory flow dewasa
menunjukkan angka yang rendah dan berubah-rubah atau jika pasien mengalami
kesulitan merapatkan mulut disekitar mouthpiece pada peak expiratory flow
dewasa. Penting untuk dicatat bahwa, sementara nilai laju aliran ekspirasi puncak
yang normal saja tidak dapat menyingkirkan diagnosis PPOK, nilai FEV1 normal
yang diukur dengan spirometer akan menyikirkan diagnosis PPOK (Francis, 2008:
70-71).
2. Spirometri
Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji reversibilitas
digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat. Perbedaan dapat dibuat dengan
membandingkan hasil spirometri yang didapat saat episode debilitas respirasi
dengan hasil yang didapat setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus asma uji
reversibilitas akan menunjukkan bahwa terjadi perbaikan setelah pemulihan, data
numerik yang diperoleh dapat berada diantara batas normal atas dan bawah. Hal ini
tidak khas pada PPOK dimana data akan menunjukkan terjadinya sedikit perbaikan
(Francis, 2008: 71).
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit
b. Eritrosit
c. Hemoglobin
d. BBS atau LED
e. Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen)
f. Semuanya sama dengan penyakit primernya
(Murwani,2012: 25)
4. Photo thoraks
a. Bayangan lobus
b. Corakan paru bertambah (bronkitis akut)
c. Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema)
(Murwani,2012: 25)
BAB III

KONSEP ASKEP

3.1
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

Você também pode gostar

  • Format Sap
    Format Sap
    Documento7 páginas
    Format Sap
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Ekg
    Ekg
    Documento11 páginas
    Ekg
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Hipertiroid
    Hipertiroid
    Documento8 páginas
    Hipertiroid
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Distosia
    Distosia
    Documento25 páginas
    Distosia
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Dismatur
    Dismatur
    Documento13 páginas
    Dismatur
    Devi Putriani
    50% (2)
  • Leaflet Batuk
    Leaflet Batuk
    Documento1 página
    Leaflet Batuk
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • BAB I Mei
    BAB I Mei
    Documento8 páginas
    BAB I Mei
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Anak 2
    Anak 2
    Documento11 páginas
    Anak 2
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Latihan Exel
    Latihan Exel
    Documento1 página
    Latihan Exel
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Pengertian Polusi Dan Polutan
    Pengertian Polusi Dan Polutan
    Documento27 páginas
    Pengertian Polusi Dan Polutan
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Ekg
    Ekg
    Documento11 páginas
    Ekg
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Praktikum 5e
    Praktikum 5e
    Documento2 páginas
    Praktikum 5e
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Senam Kegel
    Senam Kegel
    Documento9 páginas
    Senam Kegel
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • LEUKIMIA
    LEUKIMIA
    Documento12 páginas
    LEUKIMIA
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Makalah Anti Angina
    Makalah Anti Angina
    Documento28 páginas
    Makalah Anti Angina
    venus_asih
    Ainda não há avaliações
  • Hipotiroid
    Hipotiroid
    Documento10 páginas
    Hipotiroid
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Far Mako
    Far Mako
    Documento4 páginas
    Far Mako
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Hemofilia Diet
    Hemofilia Diet
    Documento1 página
    Hemofilia Diet
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Far Mako
    Far Mako
    Documento4 páginas
    Far Mako
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações
  • Hipertiroid
    Hipertiroid
    Documento8 páginas
    Hipertiroid
    Devi Putriani
    Ainda não há avaliações