Você está na página 1de 49

MODUL SKILL LAB BLOK 9

PERTEMUAN 1

PEMASANGAN INFUS INTRAVENA PERIFER

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah memasukan cairan atau
obat langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan
menggunakan infusion sets dengan tujuan pengobatan atau pemberian nutrisi.

Lokasi Pemasangan Infus

Insersi jarum infus dapat dilakukan pada pembuluh darah vena sentral maupun perifer.
Secara umum, beberapa lokasi pembuluh darah vena yang biasa digunakan untuk insersi
jarum infus adalah sebagai berikut:

a. Vena perifer
 Vena metacarpal dorsal
 Vena sefalika
 Vena basilika
 Vena dorsalis pedis
 Vena safena magna
 Vena temporalis frontalis (khusus untuk anak-anak)
 Vena mediana cubiti (hanya dianjurkan pada kasus gawat darurat)

b. Vena sentral
 Vena subklavia
 Vena Jugularis interna dan eksterna
 Vena femoralis

Indikasi

Beberapa indikasi pemberian terapi intravena melalui infus antara lain:

a. Mengganti atau mempertahankan balans cairan dan elektrolit

 Dehidrasi/kehilangan cairan tubuh dan elektrolit, misalnya pada kasus diare


dengan dehidrasi sedang-berat dan luka bakar yang luas.

1|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

 Persiapan prosedur operasi besar, intraoperatif, dan pasca operatif (sebelum


pemberian oral dapat dilakukan).

b. Mengganti atau memenuhi kebutuhan darah atau komponen darah

 Perdarahan masif, misalnya fraktur pelvis, fraktur femur, perdarahan internal


(misalnya: ruptur hepar, ruptur lien, kehamilan ektopik terganggu (KET)), dan
lain-lain.

 Kekurangan komponen darah, misalnya: DHF, hemofilia, dan anemia.

c. Memberikan nutrisi parenteral (asam amino, lemak, dekstrosa, vitamin, dan


mikronutrien lain)

 Pada kasus gangguan menelan, misalnya pada lansia, tumor leher, dan lain-lain.

 Pada keadaan saluran cerna harus diistirahatkan, misalnya: pasca operasi, ileus,
perdarahan saluran cerna, dan lain-lain.

 Pada kasus yang disertai dengan penurunan kesadaran, misalnya trauma kepala,
syok, intoksikasi, dan lain-lain.

d. Memberikan obat-obatan secara intravena

 Obat-obatan intravena yang diberikan secara kontinyu atau intermitent, misalnya


pemberian vasopresor pada kasus syok.

Kontra Indikasi

Lokasi pemasangan infus tidak boleh dilakukan pada daerah dengan keadaan sebagai
berikut:

a. Daerah yang memiliki tanda-tanda inflamasi, infeksi, infiltrasi, atau trombosis.

b. Vena yang berada di bawah daerah insersi vena sebelumnya atau di bawah area
flebitis.

c. Vena yang sklerotik atau bertrombus.

2|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

d. Daerah yang mengalami gangguan aliran balik vena, misalnya lengan yang berada
pada sisi yang sama dengan payudara yang mengalami operasi mastektomi.

e. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk
pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

f. Daerah dengan pembuluh vena kecil dan aliran darahnya lambat (bila obat-obatan
yang diberikan berpotensi iritan terhadap pembuluh darah), misalnya vena di daerah
tungkai dan kaki.

Jenis Cairan Infus

Berdasarkan osmolaritasnya terhadap serum, cairan infus dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Cairan hipotonik

Cairan ini memiliki osmolaritas lebih rendah dibandingkan plasma dan mempunyai
konsentrasi partikel aktif yang secara osmotik lebih rendah dari cairan intraseluler
(konsentrasi Na lebih rendah). Akibatnya, air akan bergerak ke luar pembuluh darah
dan masuk ke dalam sel, sehingga sel akan membengkak. Cairan ini digunakan pada
keadaan dehidrasi sel, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis), dalam terapi dengan
diuretik, dan pada pasien hiperglikemia dengan ketoasidosis diabetik. Contoh cairan
hipotonik antara lain NaCl 0,45% (1/2NS), air, dan lain-lain.

b. Cairan isotonik

Cairan ini memiliki osmolaritas yang mendekati osmolaritas plasma dan mempunyai
konsentrasi partikel aktif yang secara osmotik sama dengan cairan intraseluler,
sehingga cairan akan tetap berada di dalam pembuluh darah. Cairan ini bermanfaat
pada kasus hipovolemi yang menyebabkan penurunan tekanan darah. Contoh: Ringer
Laktat, PZ atau NaCl 0,9%.

c. Cairan hipertonik

Cairan ini memiliki osmolaritas yang lebih tinggi dibandingkan plasma dan
mempunyai konsentrasi partikel aktif yang secara osmotik lebih tinggi dari cairan
intraseluler. Akibatnya, cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel akan ditarik ke
dalam pembuluh darah sehingga sel akan mengkerut. Contoh D 5, D10, D20, D5RL,

3|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

D5+NaCl 0,9% (D5NS), D5+NaCl 0,45% (D5 1/2NS), NaCl hipertonik (3% dan 5%),
manitol 25%, dan albumin 25%.

Persiapan Alat

a. Infusion set (gambar 1.1) / blood transfusion set (gambar 1.2)

Gambar 1.1 Kiri: Macroinfusion set, kanan: microinfusion set

Gambar 1.2. Blood transfusion set

b. Cairan infus (dalam botol atau bag) sesuai kebutuhan.

c. Jarum/kateter IV (wing needle/abbocath/venocath) sesuai dengan ukuran yang


dibutuhkan (gambar 1.3). Satuan yang digunakan adalah Gauge (G). Semakin besar
ukuran jarum, maka kalibernya semakin kecil.

4|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Nomor 16G : digunakan pada pasien trauma atau akan menjalani prosedur bedah
mayor.

Nomor 18G : digunakan untuk pemberian darah dan produk darah serta
pemberian obat-obatan dengan viskositas tinggi (kental).

Nomor 20G : digunakan pada kebanyakan pasien dewasa.

Nomor 22G : digunakan pada kebanyakan pasien, terutama pasien anak dan
orang tua.

Nomor 24G : digunakan pada pasien anak dan neonatus.

Gambar 1.3. Kateter intravena (IV)

d. Perlak kecil
e. Torniquet
f. Kapas alkohol dalam tempatnya, bisa juga dengan betadin
g. Plester, hipafix, dan gunting
h. Bengkok
i. Spalk bila perlu (untuk anak-anak)
j. Sarung tangan
k. Tiang infus

Komplikasi Pemasangan Infus

a. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya


pembuluh darah arteri, vena, atau kapiler yang terjadi akibat penekanan yang kurang
tepat saat memasukkan jarum atau penusukan berulang pada pembuluh darah.

5|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

b. Ekstravasasi/infiltrasi cairan, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan


sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus keluar dari pembuluh
darah.
c. Tromboflebitis atau inflamasi pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang
terlalu lama atau waktu pemasangan yang kurang steril.
d. Overload cairan, terjadi akibat pengaturan tetesan yang kurang tepat.
e. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat
masuknya udara yang ada dalam selang infus ke dalam pembuluh darah.
f. Komplikasi sistemik lain seperti bakteremia/septikemia, trombosis, dan reaksi
alergi.

Kegagalan Pemberian Infus

Beberapa keadaan yang mengakibatkan kegagalan dalam pemberian cairan perinfus


antara lain:

a. Jarum infus tidak tepat masuk vena (ekstravasasi).


b. Selang infus tersumbat (karena jendalan darah atau terlipat).
c. Pipa penyalur udara tak berfungsi.
d. Jarum infus atau vena terjepit karena posisi lengan dalam keadaan fleksi.
e. Jarum infus bergeser atau menusuk ke luar dari vena (ekstravasasi).

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

a. Kelancaran cairan dan jumlah tetesan harus tepat sesuai dengan program pengobatan.
b. Bila terjadi hematoma, pembengkakan, atau keradangan di tempat insersi jarum, maka
infus harus dihentikan dan pemasangannya dipindahkan ke bagian tubuh lain.
c. Perhatikan reaksi pada 15 menit pertama. Bila timbul reaksi alergi (misalnya
menggigil, urtikaria, atau syok), maka tetesan infus segera diperlambat atau
dihentikan, kemudian segera dilaporkan pada penanggung jawab ruangan atau dokter
yang bersangkutan.
d. Buatlah catatan infus secara terperinci, yang meliputi:
 Tanggal, hari, dan jam dimulainya pemasangan infus.
 Macam dan jumlah cairan atau obat serta jumlah tetesan permenitnya.
 Keadaan umum pasien (tanda vital: tensi, nadi, dan pernafasan) selama
pemberian infus.

6|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

 Reaksi pasien yang timbul akibat pemberian cairan atau obat (bila ada).
 Nama dokter, petugas pelaksana atau penanggung jawab.
e. Cairan atau obat untuk pemberian selanjutnya (dipersiapkan).
f. Teknik septik dan aseptik selama pemasangan infus.

Prosedur Pemasangan Infus

a. Melakukan informed consent pada penderita.


b. Mengatur letak dan posisi berbaring penderita sebaik mungkin.
c. Mencuci tangan dan mengeringkannya dengan handuk.
d. Mendesinfeksi tutup botol cairan dengan kapas alkohol, menghubungkan botol cairan
dengan infusion set (gambar 1.4), kemudian menggantungkan botol cairan tersebut ke
tiang infus. Setelah itu, bagian klem digeser hingga 10 cm dari bagian ruang tetesan,
kemudian bagian klem dirapatkan (ditutup) dengan cara memutarnya ke arah bawah.

Gambar 1.4. Menghubungkan infusion set dengan botol cairan infus

e. Tabung tetesan pada infusion set diisi cairan dengan cara menekan bagian ruang
tetesan hingga terisi sebagian dan jangan sampai penuh (gambar 1.5, Kiri), kemudian
klem selang dibuka sehingga cairan akan mengalir memenuhi selang dan udara dalam
selang keluar (gambar 1.5, Kanan). Setelah selang infus terisi cairan dan tidak
mengandung gelembung udara, klem selang ditutup kembali.
f. Meletakkan perlak di bawah tempat ( vena ) yang akan diinsersi jarum infus.
g. Melakukan pembendungan ±10 cm diatas tempat penusukan dan menganjurkan
penderita untuk menggenggam (bila penderita sadar).
h. Memakai sarung tangan steril dengan benar.

7|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

i. Mengidentifikasi vena yang akan diinsersi jarum kemudian mendesinfeksi daerah


yang akan ditusuk dengan kapas alkohol.
j. Menusukkan kateter IV ke dalam vena dengan sudut 10° secara perlahan dengan
lubang jarum menghadap ke atas (gambar 1.6, Kiri). Bila berhasil, darah akan keluar
dan terlihat pada indikator (gambar 1.6, Kanan). Masukkan seluruh kateter sambil
menarik keluar bagian jarumnya.

Gambar 1.5. Kiri:Mengisi ruang tetesan infus, Kanan: Menghilangkan udara dalam selang

Gambar 1.6. Kiri: menusuk vena dengan sudut 10°, Kanan: Tampak darah pada indikator.

k. Setelah bagian jarum dari kateter IV dikeluarkan, bagian atas vena ditekan
menggunakan ibu jari tangan kiri sehingga darah tidak keluar dan kateter IV
dihubungkan ke selang infus. Tourniquet dan klem selang infus kemudian dibuka

8|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

untuk melihat kelancaran tetesan. Bila aliran cairan infus lancar, maka daerah insersi
ditutup dengan kassa steril dan kateter IV di plester (difiksasi) pada kulit.
l. Memasang plester berikutnya untuk mengamankan selang infus, kemudian
mengatur posisi anggota gerak agar jarum tidak bergeser (bila perlu dipasang spalk).
m. Membuka pengatur tetesan (bagian klem) dan mengatur kecepatan tetesan sesuai
dengan kebutuhan cairan.
n. Menuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus pada plester atau hipafix.
o. Merapikan peralatan, kemudian melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan.

Cara Mengatur Kecepatan Tetesan

Pada pemberian cairan perinfus, harus dihitung jumlah tetesan permenitnya agar pasien
mendapatkan jumlah cairan sesuai dengan kebutuhan yang telah dijadwalkan. Untuk
mengetahui jumlah ml cairan yang masuk tiap jam dapat digunakan rumus:

Tetesan/menit (makro): Jumlah cairan infus (ml)

Lama pemberian infus (jam) X 3

Tetesan/menit (mikro) : Jumlah cairan infus (ml)

Lama pemberian infus (jam)

Skenario

Pak Surip, 56 tahun tiba-tiba tidak sadarkan diri saat nonton tv bersama istri
dan anak-anaknya. Keluarga langsung membawa Pak Surip ke RS. Saat anamnesis,
istrinya mengatakan bahwa beberapa jam yang lalu suaminya usai menghadiri pesta
yang diadakan teman sekantornya. Sejak 15 tahun yang lalu suaminya didiagnosis
menderita DM. Beliau menjalani pengobatan namun tidak teratur. Pola makannya
juga tidak mengikuti anjuran dokter. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium
didapatkan kesadaran koma, tekanan darah 80/60mmHg, nadi 120 kali/menit,
pernapasan 40 kali/menit tipe Kussmaul, temperatur 37,8°C, GDA 540 mg/dl.
Sebagai dokter jaga IGD, dr. Untung segera menyusun rencana terapi, salah
satunya adalah tindakan pemasangan infus intravena. dr. Untung juga menentukan
jenis cairan yang dipakai, kebutuhan cairan dan kecepatan tetesannya .

9|P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Checklist

Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Melakukan informed consent dan mengatur letak serta posisi
berbaring penderita
2. Mengecek alat-alat yang diperlukan
3. Mencuci tangan dan mengeringkannya dengan handuk
4. Menghubungkan infusion set dengan botol cairan infus
kemudian menggantungkan botol cairan infus pada tiang
infus
5. Mengisi tabung infusion set dengan cairan sampai garis batas
dengan cara ditekan
6. Membuka klem pada infusion set dan mengalirkan cairan
dalam selang hingga bebas udara, kemudian menutup klem
kembali
7. Memasang perlak di bawah lokasi pemasangan dan
memasang torniquet pada regio brachium penderita
8. Memakai sarung tangan steril dengan benar
9. Mengidentifikasi vena yang akan diinsersi jarum
10. Melakukan desinfeksi permukaan kulit di atas vena yang
akan ditusuk
11. Menusukkan kateter IV ke vena dengan sudut 10° dan
melihat darah pada indicator
12. Memasukkan kateter perlahan-lahan sambil menarik keluar
bagian jarum kateter
13. Menekan vena agar darah tidak keluar dan kemudian
menghubungkan pangkal kateter dengan infusion set
14. Membuka torniquet pada penderitan dan membuka klem
pada infusion set
15. Memeriksa kelancaran aliran infus
16. Melakukan fiksasi kanula dengan kassa steril dan
plester/hipafix
17. Melakukan pengaturan kecepatan tetesan sesuai kebutuhan
cairan
18. Menuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus pada
plester atau hipafix
19. Merapikan peralatan, melepaskan sarung tangan dan mencuci
tangan
Total Skor

Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

10 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Nilai: Total skor (...) X 100


2 X jumlah item

Referensi

a. Cheever, K.H. 2008. I.V. Therapy Demystified: A Self Teaching Guide. New York:
Mc Graw Hill.

b. Janice, R. 1996. Modules for Basic Nursing Skills. Philadelphia: Lippincot-Raven


Publishers.

c. Rocca, et.al. 1998. Seri Pedoman Praktis: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC.

11 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

PERTEMUAN II

INJEKSI

Injeksi (penyuntikan) merupakan salah satu teknik pemberian obat secara


parenteral yang bersifat invasif, sehingga harus dilakukan dengan steril untuk
menghindari risiko infeksi. Rute penyuntikan dapat dilakukan secara intravena (IV),
intramuskular (IM), subkutan (SC), dan intrakutan (IC). Lokasi injeksi yang dipilih harus
bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, atau saraf besar dibawahnya.

Indikasi

Pada umumnya, injeksi dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses


penyerapan (absorbsi) obat sehingga didapatkan efek yang cepat, kuat, dan lengkap. Obat
yang diinjeksikan secara intravena mempunyai awitan kerja yang paling cepat karena
langsung beredar secara sistemik. Injeksi intramuskular diabsorbsi lebih cepat dibanding
injeksi subkutan atau intradermal karena otot memiliki jaringan pembuluh darah yang
lebih banyak dibanding kulit atau jaringan subkutan. Injeksi intradermal diabsorbsi paling
lambat karena obat harus melalui beberapa jaringan epitel sebelum akhirnya masuk
kedalam pembuluh darah. Oleh karena itu, injeksi intradermal digunakan untuk
menyuntikkan zat asing untuk mengetahui reaksi organ dan jaringan terhadap adanya
alergi yang biasa disebut skin test.

Indikasi lain pemberian obat dengan cara injeksi yaitu adanya beberapa obat yang
merangsang atau dirusak oleh getah lambung (hormon) atau tidak direarbsorbsi oleh usus,
misalnya streptomisin. Injeksi juga dilakukan pada pasien yang tidak sadar atau tidak
mau bekerja sama sehingga tidak dimungkinkan pemberian obat oral.

Komplikasi

a. Bahaya terkena infeksi bila injeksi tidak dilakukan dengan steril. Pada suntikan
secara intramuskular dan subkutan dapat terbentuk abses.
b. Bahaya terjadi kerusakan pembuluh darah atau saraf bila tempat injeksi tidak dipilih
dengan tepat.
c. Reaksi anafilaktik (syok anafilaktik).

12 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Persiapan Alat-alat

a. Jarum

Saat ini, jarum yang umum digunakan bersifat sekali pakai (disposable) untuk
mencegah penularan infeksi. Ukuran jarum menggunakan satuan Gauge (G),
semakin besar nomor jarum, ukuran lumen jarum semakin kecil, dan lebih sedikit
menimbulkan rasa sakit bagi pasien. Ukuran jarum yang paling umum digunakan
adalah jarum dengan ukuran panjang ½ sampai 2 inci dan 18 sampai 25 gauge.
Macam-macam ukuran jarum dapat dilihat pada gambar 2.1.

Salah satu dasar pemilihan ukuran jarum adalah viskositas relatif obat yang akan
disuntikkan dan lokasi penyuntikan. Misalnya, sebagian besar larutan cair yang
jernih bisa diberikan secara intramuskular dengan jarum berukuran 22-23 gauge.
Injeksi subkutan dengan cairan semacam ini bisa dilakukan dengan jarum berukuran
25 atau 26 gauge. Obat yang lebih kental yang diberikan secara intramuskular
memerlukan jarum berukuran 20-21 gauge. Jarum berukuran lebih besar digunakan
terutama untuk transfusi darah dan untuk menyuntikkan beberapa cairan tertentu
secara intravena.

Gambar 2.1. Macam-macam ukuran jarum suntik

b. Spuit (syringes) sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan.

13 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Spuit tersedia dalam berbagai ukuran, bentuk, dan bahan. Ukuran spuit tersedia
mulai dari 1, 3, 5, 10, 20, 30, dan 50 ml (gambar 2.2). Pemilihannya disesuaikan
dengan volume obat yang akan diberikan. Ada juga spuit yang memiliki ciri khusus,
misalnya spuit insulin dan spuit tuberkulin. Gambar 2.3 adalah bagian-bagian dari
suntikan.

Gambar 2.2. Macam-macam ukuran spuit

Gambar 2.3. Bagian-bagian suntikan

c. Obat yang akan disuntikkan (dalam ampul atau vial) dan cairan pelarut seperti aqua
for injection (bila diperlukan)

 Kontainer obat dalam bentuk vial

Vial adalah wadah bulat kecil terbuat dari kaca dengan tutup karet yang dibatasi
dengan rim dari bahan besi. Prosedur penyedotan larutan dari vial adalah sebagai
berikut:

1. Mencuci tangan.

14 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

2. Membersihkan tutup karet vial menggunakan kapas alkohol dengan gerakan


memutar. Biarkan alkohol mengering agar bakteri benar-benar hilang.

3. Menyiapkan spuit dan jarum (dengan ukuran sesuai kebutuhan). Jaga agar
jarum, ujung spuit, bagian dalam botol, dan sisi plunger tetap steril untuk
mencegah kontaminasi obat.

4. Menarik plunger untuk menyedot udara sebanyak volume obat yang


dibutuhkan.

5. Menusukkan jarum pada tutup karet vial, kemudian memasukkan udara ke


dalam vial dengan menekan plunger. Tindakan ini mencegah terjadinya
gelembung udara ketika akan menyedot obat.

6. Memegang vial dengan salah satu tangan dalam posisi sejajar mata anda dan
ujung vial menghadap ke bawah. Kemudian menarik plunger untuk
menyedot obat dalam jumlah sesuai kebutuhan. Pastikan bahwa ujung jarum
tetap berada di dalam cairan dalam vial yang terbalik dan anda tidak
menyentuh sisi plunger ketika menyedot obat.

7. Memeriksa adanya gelembung udara dalam cairan obat. Bila ada, hilangkan
dengan cara memegang spuit secara vertikal dan menjentikkan jari anda
pada sisi barrel spuit di atas gelembung yang terjadi. Kemudian, tekan
plunger untuk membuang udara ke dalam vial. Jika gelembung tidak naik
ketika barrel spuit diketuk, maka anda harus memasukkan kembali obat ke
dalam vial lalu menyedotnya lagi.

8. Setelah seluruh udara bisa dihilangkan, pastikan bahwa jumlah obat telah
sesuai dengan kebutuhan.

9. Mencabut jarum dari vial.

10. Mengganti jarum jika obat menimbulkan iritasi pada jaringan dan jika ujung
jarum tumpul karena telah digunakan untuk menusuk vial.

 Kontainer obat dalam bentuk ampul

Ampul adalah wadah obat dari kaca dengan bagian leher menyempit. Bagian atas
ampul harus dipecahkan untuk mengambil obat. Prosedur pengambilan larutan
dari ampul adalah sebagai berikut:

15 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

1. Mencuci tangan.

2. Jika obat berada di bagian atas ampul, pegang bagian atas ampul lalu kocok
ke atas dan ke bawah seperti mengocok termometer.

3. Membersihkan bagian leher ampul dengan kapas alkohol dengan gerakan


memutar.

4. Menyiapkan spuit dan jarum (dengan ukuran sesuai kebutuhan). Kesterilan


peralatan harus selalu dijaga.

5. Membalut bagian leher ampul dengan kassa untuk mencegah agar tangan
anda tidak terluka. Pecahkan bagian atas ampul. Caranya, pegang bagian
dasar ampul dengan salah satu tangan, genggam bagian atas kuat-kuat
dengan tangan yang lain, lalu tekan. Buang bagian ujung atas pada wadah
tersendiri.

6. Melepas penutup jarum.

7. Memegang erat ampul dengan salah satu tangan, diantara ibu jari dan
telunjuk. Kemudian memasukkan jarum ke dalam ampul. Hati-hati agar
jarum hanya menyentuh bagian dalam ampul.

8. Menarik plunger. Jaga agar jarum tetap di dalam cairan untuk mencegah
udara masuk ke dalam spuit.

9. Menarik jarum dari ampul ketika anda telah menyedot larutan sedikit
melebihi kebutuhan.

10. Jarum dipegang dengan arah vertikal, lalu plunger ditarik perlahan untuk
menyedot cairan dari jarum ke dalam spuit.

11. Tekan plunger dengan lembut sampai 1 tetes obat nampak di ujung jarum.
Tetesan ini bisa dihilangkan dengan menggoyangkan spuit dan jarum sambil
diketukkan pada bak atau wadah.

12. Memastikan apakah jumlah obat telah sesuai kebutuhan.

13. Mengganti jarum jika obat bisa meniritasi jaringan.

d. Kapas alkohol dalam tempatnya

e. Bengkok

f. Torniquet dan alas bila perlu

16 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

g. Sarung tangan

Prosedur Umum Penyuntikan

a. Melakukan informed consent pada pasien.

b. Mengatur posisi penderita (sesuai tempat penyuntikan) dan menenangkan penderita


(bila perlu).

c. Menentukan jenis obat yang harus diberikan kepada pasien.

d. Menghitung dosis yang tepat yang akan diberikan pada pasien. Aturan pemakaian
obat biasanya tertulis dalam jumlah miligram. Anda harus membaca label untuk
menentukan berapa miligram yang ada tiap satu mililiter cairan obat, untuk
menghitung berapa mililiter cairan obat yang perlu anda berikan.

e. Mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan.

f. Mencuci tangan, mengeringkan, dan memakai sarung tangan secara aseptik.

g. Mengambil obat dalam dosis yang tepat (dengan teknik yang telah dijelaskan
sebelumnya). Untuk menjaga sterilitas alat, ampul atau vial dapat dipegang oleh
asisten.

h. Memilih lokasi penyuntikan yang tepat, kemudian melakukan desinfeksi dengan


kapas alkohol, diusap dengan gerakan memutar dari tengah mengarah keluar.
Biarkan agar alkohol pada kulit mengering.

i. Melepaskan penutup jarum. Usahakan agar tarikan dilakukan lurus dengan arah
menjauhi jarum. Jarum hanya boleh menyentuh bagian dalam pelindung. Gunakan
teknik satu tangan dalam melepaskan dan memasang tutup/pelindung jarum.
Selanjutnya, melakukan teknik injeksi sesuai urutan jalur masing-masing.

j. Setelah penyuntikan selesai, tempatkan pada posisi yang nyaman.

k. Buang spuit dan jarum di wadah khusus untuk benda tajam tanpa melepaskan
penutup jarum. Jika wadah tersebut terkumpul di satu tempat, lepaskan penutup
jarum dengan teknik satu tangan untuk mencegah agar tidak tertusuk.

l. Evaluasi kembali benar tidaknya lokasi yang telah dipergunakan, keefektifan obat,
dan efek samping yang terlihat yang harus segera ditangani.

m. Mencatat prosedur penyuntikan (jenis obat, dosis, jalur, waktu, dan tanda tangan)
pada rekam medis pasien.

17 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Macam-macam Teknik, Lokasi, dan Prosedur Khusus Injeksi

1. Injeksi Intravena

Pengertian

Memasukkan obat dengan suntikan ke dalam pembuluh darah vena. Injeksi intravena
juga biasa dilakukan untuk pengambilan sampel darah vena (sampling).

Lokasi

Lokasi injeksi biasanya dilakukan pada pembuluh vena anggota gerak yang terletak
superfisial dan besar. Paling umum dilakukan pada anggota gerak bagian atas.
Pilihlah vena yang lurus (tanpa atau dengan cabang dalam jumlah minimal), terletak
lebih distal dari jantung, dan hindari memilih lokasi pada sendi proksimal siku.
Beberapa kontraindikasi suntikan intravena yang harus diperhatikan adalah adanya
selulitis pada lokasi penyuntikan, phlebitis, vena sulit teridentifikasi, linfangitits
tangan, dan ada pemasukan cairan intravena di bagian distal dari lokasi penyuntikan.

Cara penyuntikan

a. Setelah mencuci tangan, mengeringkan, dan memasang sarung tangan serta


menentukan lokasi penyuntikan, pengalas kemudian dipasang dan bengkok
didekatkan ke bagian tubuh yang akan disuntik. Selanjutnya memasang torniquet
di atas lokasi penyuntikan (gambar 2.4).

Gambar 2.4. Injeksi intravena

b. Melakukan desinfeksi permukaan kulit daerah suntikan dengan kapas alkohol,


kemudian menegangkan kulit daerah suntikan dengan ibu jari dan telunjuk tangan
kiri (tangan non dominan).

18 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

c. Jarum disejajarkan dengan arah vena yang teridentifikasi. Kemudian menusukkan


jarum ke dalam pembuluh darah yang dimaksud dengan lubang jarum
menghadap ke atas membentuk sudut 15-30° agar menembus kulit di samping
vena sedalam 0,5 cm, diikuti dengan mengurangi sudut yang terbentuk agar
jarum masuk ke dalam vena.

d. Menarik sedikit penghisap spuit (plunger). Bila jarum berhasil masuk ke dalam
pembuluh vena (posisi benar), maka darah akan masuk ke dalam bagian jarum
atau barrel. Torniquet segera dibuka dan obat dimasukkan dengan menekan
plunger perlahan-lahan sampai habis. Tetapi bila tidak ada darah yang keluar,
berarti jarum suntik tidak masuk ke dalam pembuluh vena dan jarum segera
dicabut. Penyuntikan dipindahkan pada bagian lain dengan prosedur yang sama.

e. Setelah semua obat telah dimasukkan, jarum dicabut dengan cepat dan bekas
tusukan jarum ditekan dengan kapas alkohol.

f. Bila pemberian cairan/obat melalui vena dilakukan dalam jumlah besar dan
waktu yang lama, maka pemberiannya dilakukan dengan cara pemasangan infus.

g. Membereskan alat-alat, melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan.

2. Injeksi Intramuskular

Pengertian

Memasukkan obat dengan suntikan ke dalam jaringan otot. Pemasukan obat secara
intramuskular mampu menampung dosis yang lebih banyak dibanding secara
intrakutan dan subkutan. Obat yang menimbulkan iritasi biasanya diberikan secara
intramuskular karena hanya ada sedikit urat saraf yang berpangkal di jaringan otot
bagian dalam.

Lokasi

Injeksi dipilih pada otot dengan massa yang besar, vaskularisasi baik, dan jauh dari
saraf. Pada pasien lanjut usia dan pasien berbadan kurus sering memiliki lebih
sedikit massa otot. Pada keadaan ini, dapat dilakukan ‘bunch up’ (pengumpulan) otot
sebelum injeksi dilakukan.

Ada lima lokasi untuk melakukan injeksi intramuskular. Yang harus diperhatikan
adalah mengidentifikasi penanda anatomi. Lokasi tersebut antara lain:

19 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

a. Otot deltoid (otot pangkal lengan)

Otot ini biasanya digunakan untuk penyuntikan vaksin seperti Hepatitis B dan
tetanus toksoid. Meskipun mudah dicari, penggunaan lokasi ini terbatas karena
otot yang kecil tidak mampu menyerap obat dalam jumlah yang besar (hanya
dapat menampung volume cairan obat ±1 ml). Selain itu, penyuntikan di daerah
ini dapat membahayakan saraf radial. Namun, risiko ini dapat dihindari dengan
cara menusukkan jarum suntik hingga membuat sudut 45-60° mengarah pada
akromion.

Lokasi deltoid berbentuk persegi empat. Batas atas kurang lebih selebar dua atau
tiga jari di bawah acromion process di lengan bagian luar. Batas bawah
berhadapan dengan aksila. Dengan kata lain, lokasi ini berada di separuh antara
akromion dan insersi pada tengah humerus. Garis yang paralel dengan lengan,
yang berupa sepertiga atau dua pertiga bagian dari jalur di sekitar lengan bagian
samping, membentuk batas samping (gambar 2.5).

Gambar 2.5. Injeksi intramuskular di otot deltoid

b. Otot dorsogluteal

Penyuntikan di dorsogluteal menggunakan otot gluteus maximus. Komplikasi


yang mungkin terjadi pada injeksi di lokasi ini berupa luka pada serabut saraf
sciatic atau arteri superior gluteal. Untuk penyuntikan di lokasi ini, posisi pasien
harus miring dengan lutut sedikit ditekuk atau telungkup dengan ibu jari kaki
menghadap ke bawah. Saat jari kaki sedikit ditekuk, maka otot akan mengendur
dan rasa sakit akibat penyuntikan akan berkurang.

20 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Penanda anatomi dari dorsogluteal adalah krista iliaka bagian atas, lipatan pantat
bagian dalam, outer lateral edge dari tubuh pasien, dan di lipatan pantat inferior.
Untuk menemukan lokasi ini harus dilakukan palpasi, tidak hanya mengandalkan
penglihatan saja. Kesalahan mudah terjadi terutama pada krista iliaka.

Ada beberapa metode untuk menentukan lokasi ini. Metode pertama adalah
ketika anda telah menentukan lokasi upper outer quadran, cari tempat sekitar 5-
7,5 cm di bawah krista iliaka. Metode kedua adalah dengan cara menghubungkan
krista iliaca dan tuber ischiadika dengan sebuah garis imajiner. Garis tersebut
kemudian dibagi menjadi tiga bagian. 1/3 craniolateral adalah daerah aman
karena tidak berpotensi mencederai saraf-saraf gluteal. Metode ketiga yang dapat
digunakan untuk menentukan lokasi ini secara lebih akurat adalah dengan
meminta pasien dalam posisi miring. Kemudian, tarik garis imajiner antara spina
iliaka posterior superior (SIPS) dengan trochanter mayor tulang femur (gambar
2.6).

Area injeksi

Gambar 2.6. Injeksi intramuskular di otot gluteus

c. Otot ventrogluteal

Penyuntikan di ventrogluteal dapat mencapai otot gluteus medius dan merupakan


pilihan yang lebih aman. Keuntungan injeksi di daerah ini adalah tidak ada saraf

21 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

atau pembuluh darah besar di area ini, tidak banyak jaringan lemak, dan pasien
yang berbaring di tempat tidur tidak perlu berbalik. Selain itu, pada anak-anak,
lokasi ini lebih disukai dibanding di dorsogluteal karena otot gluteal belum
berkembang sempurna, paling tidak sampai anak tersebut bisa berjalan.

Penanda anatomi ventrogluteal adalah trochanter mayor, krita iliaca, spina iliaka
anterior superior (SIAS). Untuk menemukan lokasi ini, pertama cari penanda
tersebut. Kemudian letakkan pangkal telapak tangan anda pada trochanter mayor.
Letakkan satu jari pada SIAS dan jari di dekatnya pada krista iliaka sehingga
membentuk segitiga. Gunakan salah satu tangan anda yang non dominan untuk
menemukan lokasi ini sehingga tangan dominan anda bebas dalam mengatur
spuit.

d. Otot Rektus Femoris

Otot ini berada di permukaan depan paha bagian samping agak ke tengah. Untuk
penyuntikan di bagian ini, posisi pasien harus berbaring miring atau duduk. Otot
ini hanya digunakan untuk suntikan kecil (pada orang dewasa karena otot vastus
lebih besar), untuk bayi yang belum bisa berjalan, dan yang otot glutealnya
belum berkembang. Pada anak-anak dan orang yang lebih tua atau orang dewasa
yang berbadan kurus, otot mungkin perlu di bunch up agar bisa diperoleh
kedalaman otot yang memadai.

e. Otot vastus lateralis

Otot vastus lateralis merupakan otot quadrisep di paha bagian samping


(anterolateral). Area ini bebas dari urat saraf utama dan pembuluh darah. Lokasi
ini terutama direkomendasikan bagi bayi hingga berusia tujuh bulan (yang otot
glutealnya belum berkembang) karena pada bayi otot ini paling tebal dan besar.
Pada orang dewasa, otot ini batas atasnya adalah selebar telapak tangan di bawah
trochanter mayor. Batas bawah adalah selebar telapak tangan diatas lutut. Di
bagian depan tungkai, bagian midanterior paha berfungsi sebagai batas. Pada sisi
lateral tungkai, batasnya adalah bagian midlateral paha. Hasilnya berupa jalur
sempit (lebar sekitar 3 inci).

Untuk lebih mudahnya, buat garis imajiner yang menghubungkan trochanter


mayor dengan condylus femoris lateralis. Penyuntikan dilakukan pada daerah
batas sepertiga bagian atas dan tengah karena lokasi ini merupakan bagian otot

22 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

yang paling tebal dan padat. Jarum yang ditusukkan harus membuat sedut 45-60°
terhadap permukaan kulit, dengan posisi jarum mengarah ke lutut.

Cara penyuntikan

a. Mencuci tangan, mengeringkan dan memakai sarung tangan.

b. Menentukan lokasi penyuntikan, membebaskan daerah yang akan diinjeksi dari


pakaian atau benda yang menempel, dan memasang perlak beserta alasnya.

b. Melakukan desinfeksi permukaan kulit daerah suntikan dengan kapas alkohol,


kemudian dengan tangan non dominan, tarik kulit dengan arah menyamping pada
lokasi yang akan disuntik sampai meregang.

c. Menusukkan jarum suntik tegak lurus membentuk sudut 90° dengan permukaan
kulit secara hati-hati (Gambar 2.7), 2/3 jarum menembus kulit. Dengan cara ini,
jarum akan mencapai otot. Besar sudut dapat bervariasi, tergantung tebal tipisnya
jaringan lemak di bawah kulit dan otot.

Gambar 2.7. Teknik injeksi IC, SC, dan IM

d. Segera setelah jarum masuk ke kulit, gunakan ibu jari dan jari telunjuk dari salah
satu tangan anda untuk memegang spuit, dan gunakan tangan lain untuk
melakukan aspirasi dengan menarik sedikit plunger untuk memastikan tidak ada
darah yang masuk. Bila ada darah, lokasi injeksi harus dipindahkan.

23 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

e. Memasukkan obat secara perlahan-lahan hingga habis, tunggulah beberapa detik,


kemudian mencabut jarum dari tempat penusukan dengan cepat. Bekas tusukan
jarum ditekan dengan kapas alkohol.

f. Membereskan alat-alat, melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan

3. Injeksi Subkutan (SC)

Pengertian

Memasukkan obat dengan suntikan ke dalam jaringan ikat longgar di bawah kulit
(dermis). Karena tindakan ini akan menembus pertahanan pertama tubuh yaitu kulit,
maka kesterilan dalam keseluruhan proses penyuntikan wajib dijaga demi keamanan
pasien.

Lokasi

Lokasi yang paling tepat untuk melakukan injeksi SC antara lain daerah lengan atas
sebelah luar, daerah abdomen mulai dari batas bawah costa sampai krista iliaka, dan
bagian anterior paha. Lapisan subkutan pada daerah tersebut kaya akan pembuluh
darah. Namun, injeksi SC juga dapat dilakukan di tempat lain yang dianggap perlu.

Obat yang diberikan melalui rute SC hanya obat dosis kecil (jumlah maksimum
larutan sekitar 1-2 ml) yang larut dalam air karena jaringan SC sensitif terhadap
larutan yang mengiritasi dan obat dalam volume yang besar. Bila obat yang
diinjeksikan mempunyai volume yang besar, maka kumpulan obat dalam jaringan
dapat menimbulkan abses steril yang tampak seperti gumpalan yang mengeras dan
nyeri di bawah kulit. Bila penyuntikan dilakukan berulang-ulang (misalnya untuk
penyuntikan insulin pada pasien DM), sebaiknya lokasi penyuntikan berpindah-
pindah untuk mencegah terjadinya iritasi.

Perhatian khusus harus diberikan terhadap injeksi heparin yang biasanya diberikan
secara subkutan. Obat ini biasanya menimbulkan luka memar, sehingga ketika
memberikan obat, jangan melakukan aspirasi atau memijit lokasi penyuntikan.
Tindakan ini dapat meningkatkan kerusakan pembuluh kapiler dan mengakibatkan
luka memar.

Cara penyuntikan

24 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

a. Mencuci tangan, mengeringkan, dan memakai sarung tangan.

b. Menentukan lokasi penyuntikan, membebaskan daerah yang akan diinjeksi dari


pakaian atau benda yang menempel, dan memasang perlak beserta alasnya.

c. Melakukan desinfeksi permukaan kulit daerah suntikan dengan kapas alkohol,


kemudian mengangkat sedikit permukaan kulit dengan ibu jari dan telunjuk
tangan kiri (dengan tangan non dominan). Teknik ini dapat memisahkan jaringan
adipose dari otot dibawahnya, terutama pada pasien yang berbadan kurus.

d. Menusukkan jarum suntik dengan lubang jarum menghadap keatas dan


membentuk sudut 45° dengan permukaan kulit (Gambar 2.7). Bila menggunakan
jarum insulin (ukuran 5,6 sampai 8 mm), besar sudut yang direkomendasikan
untuk injeksi insulin saat ini adalah sebesar 90°.

e. Segera setelah jarum masuk ke kulit, gunakan ibu jari dan jari telunjuk dari salah
satu tangan anda untuk memegang spuit, dan gunakan tangan lain untuk
melakukan aspirasi dengan menarik sedikit plunger untuk memastikan tidak ada
darah yang masuk. Bila ada darah, lokasi penyuntikan dipindahkan.

f. Memasukkan obat secara perlahan-lahan hingga habis, kemudian mencabut jarum


dari tempat penusukan dengan cepat. Bekas tusukan jarum ditekan dengan kapas
alkohol.

g. Membereskan alat-alat, melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan

4. Injeksi Intrakutan (intradermal)

Pengertian

Memasukkan obat dengan suntikan ke dalam kulit. Misalnya, untuk uji coba obat
(skin test antibiotik), imunisasi BCG, anestesi lokal, dan uji diagnostik pada tes
tuberkulin (Mantoux). Karena jumlah obat yang disuntikkan sangat sedikit, maka
spuit yang digunakan berukuran 1 ml atau jenis tuberkulin dengan jarum pendek
(1/4-5/8 inci) dan fine gauge (ukuran 25-27 gauge).

Lokasi

25 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Lokasi yang ideal dan umum digunakan adalah pada lengan bawah sebelah dalam
(bagian volar) dan di daerah skapula. Dapat juga dilakukan pada daerah lain yang
dianggap perlu (lokasi penyuntikan lain sama dengan lokasi penyuntikan secara
subkutan).

Cara penyuntikan

a. Mencuci tangan, mengeringkan dan memakai sarung tangan.

b. Menentukan lokasi penyuntikan, membebaskan daerah yang akan diinjeksi dari


pakaian atau benda yang menempel, dan memasang perlak beserta alasnya.

c. Melakukan desinfeksi permukaan kulit daerah suntikan dengan kapas alkohol


(untuk tujuan imunisasi, desinfeksi tidak diperlukan bila kulit telah bersih),
kemudian menegangkan permukaan kulit dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri.

d. Menusukkan jarum suntik dengan lubang jarum menghadap keatas dan


membentuk sudut antara 10-15° dengan permukaan kulit (Gambar 7).

e. Memasukkan obat secara perlahan-lahan hingga terlihat indurasi di permukaan


kulit (permukaan kulit pada tempat injeksi menggembung).

f. Setelah semua obat sudah dimasukkan, jarum suntik dicabut dengan cepat dengan
sudut yang sama saat penusukan. Bekas suntikan dibiarkan dan tidak boleh
ditekan dengan kapas alkohol.

g. Melingkari area penyuntikan dengan pena penanda kulit bila lokasi tersebut akan
diperiksa kembali reaksinya. Jika tujuan injeksi intradermal adalah pengujian
alergi, area tersebut harus diberi label tanda antigen sehingga respon alergi bisa
dimonitor setelah jangka waktu tertentu.

h. Memeriksa kembali lokasi suntikan pada selang waktu yang tepat untuk
memeriksa adanya indurasi yang melebihi batas lingkaran.

i. Mencatat reaksi yang terjadi pada daerah tusukan sesuai dengan jangka waktu
tertentu (tergantung tujuan penyuntikan) dan melaporkan hasilnya kepada
penanggung jawab ruangan atau dokter yang bersangkutan untuk menentukan
tindakan selanjutnya.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

26 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

1. Tempat dan cara penyuntikan harus tepat dan benar.

2. Kesterilan. Selalu lakukan prosedur aseptik dalam melakukan penyuntikan untuk


menjaga agar obat tetap steril. Sebaiknya gunakan jarum suntik dan spuit yang
disposable.

3. Jenis, dosis, cara pemberian, dan cara mencampur atau melarutkan obat harus benar.
Jangan lupa membaca etiket obat terlebih dahulu sebelum diinjeksikan. Periksa
tanggal kadaluarsa obat sebelum digunakan.

4. Reaksi yang terjadi pada saat atau setelah penyuntikan obat harus diperhatikan dan
dicatat (misalnya: urtikaria, menggigil, syok, dan mungkin dapat terjadi abses,
nekrosis, atau hematom di daerah suntikan). Bila perlu pemberian obat dihentikan.

5. Hindari terjadinya emboli udara. Pastikan bahwa tidak ada gelembung udara yang
terhisap dalam prosedur penyuntikan, terutama injeksi intravena.

6. Selalu patuhi universal precaution dan berhati-hati agar tidak tertusuk.

7. Buang alat yang sudah tidak terpakai pada tempatnya.

Beberapa Rekomendasi agar Penyuntikan Tidak Menimbulkan Rasa Sakit

1. Beri informasi yang memadai kepada pasien tentang prosedur yang akan dilakukan
sehingga mereka memahami prosedur dan mematuhi instruksi yang diberikan.

2. Ganti jarum suntik setelah menyiapkan obat dan sebelum menyuntikkannya untuk
memastikan bahwa alat tersebut bersih, tajam, kering, dan memiliki ukuran panjang
yang tepat.

3. Jika menggunakan jalur intramuskular, pilih lokasi di ventrogluteal sebagai pilihan


pertama untuk memastikan bahwa obat mencapai lapisan otot (pada orang dewasa
dan anak-anak diatas usia tujuh bulan).

4. Atur posisi pasien sedemikian rupa sehingga kumpulan otot meregang dan menjadi
lebih rileks.

5. Jika kulit dibersihkan (didesinfeksi) sebelum penyuntikan, pastikan bagian kulit


tersebut telah kering dari alkohol atau cairan lain.

6. Pertimbangkan untuk menggunakan es atau semprotan pembeku agar kulit mati rasa
sebelum penyuntikan, terutama pada anak-anak atau pasien yang takut pada jarum
suntik.

27 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

7. Pada kasus suntikan yang harus diberikan secara teratur, misalnya suntikan insulin
pada penderita DM, lakukan rotasi lokasi penyuntikan pada sisi kanan dan kiri secara
bergantian.

8. Tusukkan ke dalam kulit dengan tekanan yang terkontrol dengan posisi jarum pada
sudut yang sedekat mungkin dengan 90°, untuk mencegah terpotong atau rusaknya
jaringan.

9. Suntikkan obat dengan mantap dan perlahan, sekitar 1 ml perdetik (atau lebih lambat
untuk obat tertentu), agar otot mampu menampung cairan.

10. Beri waktu10 detik setelah penyuntikan agar otot bisa menampung cairan yang
dimasukkan dan obat menyebar, baru kemudian jarum dicabut membentuk sudut
yang sama dengan ketika menusukkan.

11. Setelah penyuntikan, jangan memijat tempat yang disuntik, tapi siapkan alat untuk
memberikan tekanan lembut seperti kasa atau kapas.

Skenario

Rachel, mahasiswi FK UNEJ yang sedang koass di puskesmas sangat


antusias berpartisipasi dalam kegiatan posyandu. Oleh bidan yang bertugas, dirinya
diberi kesempatan untuk memberikan imunisasi BCG, polio, DPT-HB, dan campak
pada bayi dan balita sesuai jadwalnya. Dengan perasaan gugup, Rachel berusaha
mempraktikkan cara pemberian masing-masing vaksin dengan penuh kehati-hatian.
Keesokan harinya, ada seorang bayi dibawa ibunya ke puskesmas karena
mengalami kejang. Ibunya berkata bahwa malam hari setelah diimunisasi, puteranya
demam sangat tinggi dan paginya kejang. Rachel menduga mungkin ini adalah salah
satu manifestasi kejadian ikutan pasca imunisasi. Dokter puskesmas memberikan
oksigen dan obat kejang yang dimasukkan melalui rektal. Bayi tersebut kemudian di
rujuk ke RS. Di RS, bayi tersebut mendapatkan obat kejang yang langsung
dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Tak lama setelah itu, kejangnya berhenti.

Checklist

Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
Prosedur Umum

28 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

1. Melakukan informed consent dan mengatur posisi penderita


senyaman mungkin
2. Menentukan jenis obat, jumlah dosis, dan jenis teknik injeksi
(sesuai indikasi)
3. Menyiapkan dan mengecek alat-alat yang diperlukan
4. Mencuci tangan, mengeringkan dan memakai sarung tangan
5. Menentukan lokasi penyuntikan, membebaskan daerah yang akan
diinjeksi dari pakaian atau benda yang menempel, dan memasang
perlak beserta alasnya
6. Memasang torniquet pada bagian proksimal tempat injeksi
(khusus injeksi IV)
7. Melakukan desinfeksi permukaan kulit daerah suntikan dengan
kapas alkohol dengan diusap memutar dari tengah mengarah
keluar. Biarkan mengering dengan sendirinya.
Prosedur Khusus
Injeksi intradermal/intrakutan (IC)
8. Menegangkan kulit daerah suntikan dengan ibu jari dan telunjuk
tangan kiri (tangan non dominan)
9. Menusukkan jarum suntik dengan lubang jarum menghadap
keatas dan membentuk sudut antara 10-15°dengan permukaan
kulit
10. Memasukkan obat secara perlahan-lahan hingga terlihat indurasi
pada permukaan kulit (permukaan kulit pada tempat injeksi
menggembung)
11. Mencabut jarum dengan sudut yang sama saat penusukan
12. Membuat marker disekitar tempat injeksi
13. Melakukan observasi dan mencatat reaksi lokal dan sistemik
sesuai dengan waktu yang ditentukan
Injeksi Subkutan (SC)
14. Mengangkat sedikit permukaan kulit dengan ibu jari dan telunjuk
tangan kiri (tangan non dominan)
15. Menusukkan jarum suntik dengan lubang jarum menghadap
keatas dan membentuk sudut 45° dengan permukaan kulit
(gunakan sudut 90° bila menggunakan jarum insulin)
16. Melakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang
terhisap
17. Memasukkan obat secara perlahan-lahan hingga habis
18. Mencabut jarum dengan cepat kemudian menekan dengan lembut
tempat penusukan dengan kapas alkohol
Injeksi Intramuskular (IM)
19. Menegangkan permukaan kulit dengan ibu jari dan telunjuk
tangan kiri (tangan non dominan)
20. Menusukkan jarum suntik tegak lurus membentuk susut 90°
dengan permukaan kulit
21. Melakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang
terhisap
22. Memasukkan obat secara perlahan-lahan hingga habis
23. Mencabut jarum dengan cepat kemudian menekan dengan lembut
tempat penusukan dengan kapas alkohol
Injeksi Intravena (IV)
24. Menusukkan jarum ke dalam pembuluh darah yang dimaksud

29 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

dengan lubang jarum menghadap ke atas membentuk sudut 15°-


30° agar menembus kulit 0,5 cm di samping vena, diikuti dengan
mengurangi sudut yang terbentuk agar jarum masuk ke dalam
vena
25. Menarik plunger sedikit, bila darah masuk spuit, torniquet
dilepaskan
26. Memasukkan obat dengan menekan plunger secara perlahan-lahan
hingga habis atau menarik plunger bila tujuannya adalah
mengambil sampel darah
27. Mencabut jarum dengan cepat kemudian menekan dengan lembut
tempat penusukan dengan kapas alkohol
Prosedur Umum
28. Merapikan peralatan, melepaskan sarung tangan, dan mencuci
tangan
29. Mendokumentasikan kegiatan, melakukan observasi dan mencatat
reaksi lokal dan sistemik (bila ada)
Total Skor

Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Nilai: Total skor (...) X 100


2 X jumlah item

Referensi

a. Janice, R. 1996. Modules for Basic Nursing Skills. Philadelphia: Lippincot-Raven


Publishers.
b. Ranuh, I.G.N. at al. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
c. Workman, B. 1999. Safe Injection Techniques Nursing Standard.

PEREMUAN III

PUNGSI VENA DAN KAPILER

30 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Pungsi Vena

a. Dasar Teori

Pungsi vena sebaiknya dilakukan bila jumlah darah yang dibutuhkan lebih dari 0,5
ml. Pada umumnya, semua vena yang cukup besar dan terletak superfisial dapat
digunakan untuk pengambilan darah. Pada orang dewasa, lokasi tersering yang
digunakan untuk pengambilan darah adalah vena di fossa cubiti, sedangkan pada
anak kecil atau bayi, lokasi tersebut juga dapat digunakan, bila perlu lokasi
pengambilan darah juga dapat dilakukan di vena jugularis eksterna, vena femoralis,
atau bahkan dari sinus sagitalis superior. Teknik pengambilan darah vena sebenarnya
tidaklah sukar, namun bahaya yang dapat terjadi bila tidak dikerjakan dengan hati-
hati jauh lebih besar dibanding pengambilan darah kapiler.

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pungsi vena, antara lain:

1. Lokasi yang akan disampling harus memenuhi syarat dan tidak terdapat kontra
indikasi.
2. Vena yang dipilih adalah vena yang cukup besar, superfisial, dan terfiksasi.
3. Pada orang gemuk, letak vena yang agak dalam dapat ditentukan dengan
palpasi.
4. Vena-vena kecil yang terlihat sebagai garis-garis biru biasanya sukar digunakan.
5. Untuk memudahkan pengambilan darah vena, tekanan darah dalam vena dapat
dinaikkan dengan mengadakan pembendungan pada bagian proksimal dari vena
tersebut. Bila diambil dari vena di fossa cubiti, sebelumnya penderita
dianjurkan untuk mengepal dan membuka tangannya berulang-ulang.
6. Pembendungan vena tidak boleh terlalu lama karena dapat menyebabkan
hemokonsentrasi serta perubahan pada kadar elektrolit dan enzim serum.
7. Bila vena terletak agak dalam dan lokasinya sulit ditentukan, jangan berusaha
untuk melakukan pengambilan darah dengan cara coba-coba.
8. Penderita yang takut harus ditenangkan terlebih dahulu.
9. Sebelum memulai penusukan, udara di dalam spuit dibuang terlebih dahulu
hingga kedap udara.

Kesalahan yang sering dilakukan saat pungsi darah vena, antara lain:

1. Menggunakan spuit dan jarum yang basah.

31 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

2. Pembendungan darah (torniquet) dipasang terlalu lama atau terlalu keras.


3. Terjadi bekuan karena lambat bekerja.
4. Terjadi bekuan pada botol penampung karena pencampuran dengan
antikoagulansia yang tidak optimal.

b. Prosedur Tindakan

Alat

1. Spuit, jarum, wing needle

Besarnya spuit yang digunakan tergantung dari kebutuhan, sedangkan jarum yang
biasanya digunakan adalah jarum yang berukuran 18-21 Gauge (ukuran USA)
atau no.1 atau 2 (ukuran Eropa). Pada bayi dan anak-anak dapat digunakan jarum
dengan ukuran yang lebih kecil karena ukuran vena lebih kecil. Spuit dan jarum
harus bersih. kering, dan steril, serta ujung jarum harus lurus dan tajam. Saat ini
banyak digunakan spuit dan jarum satu kali pakai buang (disposable). Wing
needle adalah jarum yang pada pangkalnya terdapat plastik bersayap. Alat ini
dipakai untuk bayi, anak kecil, atau orang tua. Sedangkan vacutainer adalah
tabung gelas dengan tutup dari karet dan kedap udara.

2. Torniquet

Alat ini digunakan untuk melakukan pembendungan vena sementara. Bila tidak
ada,dapat diganti dengan manset tensimeter atau selang karet yang lunak.

3. Botol untuk menampung darah

Botol-botol ini harus bersih, kering, serta bertutup. Ukuran volumenya tidak
boleh terlalu besar dari jumlah darah akan yang ditampung karena dapat
menyebabkan hemolisis. Botol penampung ini harus diberi label.

4. Sarung tangan

Persiapan

32 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

1. Bacalah formulir permintaan pemeriksaan laboratorium dengan teliti untuk


menentukan berapa banyak darah yang akan diambil dan mempersiapkan botol
penampung yang sesuai untuk masing-masing pemeriksaan.

2. Perhatikan urut-urutan langkah sewaktu pengambilan darah sesuai dengan tujuan


pungsi, misalnya saat pengambilan darah untuk uji koagulasi, 1 ml darah yang
terambil pertama kali harus dibuang dulu.

3. Cuci tangan dengan sabun sebelum melakukan pengambilan darah.

4. Minta pasien duduk dengan lengan bawah diletakkan di atas meja dan telapak
tangan menghadap ke atas. Untuk kenyamanan, siku pasien dapat dialasi bantal
kecil.

Teknik Pengambilan Darah Vena

1. Dengan memegang bagian atasnya, pasang bevel pada spuitnya. Periksa dan
pastikan bahwa bevel tidak mampat dan spuit dalam kondisi kedap udara.

2. Pasang torniquet pada lengan atas dan minta pasien untuk membuka tutup
telapak tangan beberapa kali agar vena lebih terlihat jelas.

3. Palpasi vena yang akan dipungsi dengan ujung jari telunjuk tangan kiri.

4. Desinfeksi lokasi pungsi dengan alkohol 70% dengan gerakan melingkar ke


arah luar, kemudian dikeringkan dengan kapas atau kasa steril.

5. Fiksasi vena dengan cara menegangkan kulit pada bagian distal dari vena
tersebut dengan bantuan ibu jari dan telunjuk tangan kiri kita (jangan sampai
menyentuh area yang telah didesinfeksi).

6. Dengan lubang jarum menghadap ke atas, vena ditusuk pelan-pelan. Bila ujung
jarum telah masuk ke dalam vena, maka rasakan bahwa tekanan seolah-olah
berkurang dan darah akan memasuki spuit. Pada vena yang besar, jarum dapat
ditusuk secara langsung, sedangkan pada vena yang agak kecil lebih baik jarum
dimasukkan dulu diantara kulit dan vena kemudian vena ditembus.

7. Bila darah berhasil memasuki spuit, tari pluger pelan-pelan hingga didapatkan
jumlah darah yang diinginkan.

8. Setelah itu, kendorkan torniquet dan buka kepalan tangan.

33 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

9. Letakkan kapas steril pada tempat penusukan, kemudian keluarkan jarum pelan-
pelan.

10. Tekan lokasi penusukan dengan kapas selama 3 menit dengan lengan
diluruskan. Penekukan siku untuk menjepit kapas tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan hematoma.

11. Lepaskan jarum dari spuit, masukkan darah ke dalam botol penampung secara
perlahan-lahan agar tidak timbul buih. Sebaiknya darah dialirkan melalui
dinding botol sewaktu memasukkannya.

12. Bila digunakan antikoagulansia, kocok segera darah ini pelan-pelan di meja
dengan gerakan melingkar hingga tercampur rata.

Catatan

- Pungsi darah vena pada bayi dan anak-anak lebih sulit dibanding pada orang
dewasa. Pungsi harus dilakukan minimal oleh 2 orang, 1 adalah pengambil darah
sedangkan sisanya yang memangku dan memegangi anak. Keduanya dapat
petugas laboratorium atau bila hanya ada satu petugas, orang tua dapat diminta
untuk membantu memegangi anak.

- Pada bayi atau anak, lokasi pungsi tersering adalah vena di antecubiti, vena di
dorsum manus, atau vena di dorsum pedis. Vena jugularis dan vena femoralis
kadang digunakan.

Pungsi Kapiler (Finger Prick)

a. Dasar Teori

Pengambilan darah kapiler dilakukan bila jumlah darah yang dibutuhkan sedikit atau
bila terdapat keterbatasan untuk melakukan pungsi vena, misalnya pada neonatus
dan bayi. Wadah penampung untuk pungsi kapiler tergantung tujuan yang
digunakan, dapat tabung microtainer, tabung kapiler, atau kertas strip. Pada orang
dewasa, tempat yang dipilih untuk pengambilan darah kapiler adalah ujung jari
(lokasi terbaik adalah jari III dan IV dari tangan non dominan) atau pada cuping
telinga, sedangkan pada bayi dapat diambil dari tumit atau bantalan ibu jari kaki
(gambar 3.1).

34 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Gambar 3.1. Heel stick site

Hal yang perlu diperhatikan dengan seksama sebelum penusukan adalah keadaan
dari lokasi penusukan. Keadaan seperti adanya bekas luka (scar), peradangan,
dermatitis, atau oedema merupakan kontra indikasi menjadi lokasi penusukan. Bila
tangan penderita pucat atau sianosis, sebelumnya perlu dipijat-pijat, digosok-gosok,
direndam dalam air hangat, atau dibungkus dengan handuk hangat 42°C supaya
peredaran darah menjadi lebih baik. Penusukan pada ujung jari sebaiknya dilakukan
pada bantalan jari bagian tengah, jangan dibagian ujung atau sisi jari karena banyak
serabut saraf dan dekat dengan tulang.

Bila dilakukan di cuping telinga, penusukan dilakukan pada bagian pinggirnya.


Kelebihannya, di lokasi ini tidak begitu nyeri seperti di ujung jari. Namun,
perdarahan yang terjadi di daerah ini biasanya sukar dihentikan, sehingga bila
penderita diketahui mempunyai kelainan perdarahan, seyogyanya penusukan tidak
dilakukan di daerah ini. Penderita yang takut harus ditenangkan terlebih dahulu
dengan memberi penjelasan mengenai apa yang akan dilakukan beserta tujuannya.
Dengan penjelasan yang baik, rasa takut penderita akan berkurang dan penderita
akan lebih kooperatif.

Beberapa kesalahan yang harus dihindari saat pungsi kapiler karena dapat
menyebabkan perubahan susunan darah yang akan diperiksa, antara lain:

1. Mengambil darah dari lokasi yang terdapat parut (scar) atau gangguan peredaran
darah, seperti vasokonstriksi (pucat), vasodilatasi akibat peradangan dan tauma,
serta kongesti atau sianosis setempat.

35 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

2. Tusukan yang dilakukan kurang dalam sehingga darah tidak keluar dengan lancar
dan harus diperas-peras. Usaha untuk melancarkan pengeluaran darah dengan
memijat-mijat lokasi setempat adalah sia-sia, karena darah yang keluar tidak
dapat digunakan lagi akibat telah bercampur dengan cairan jaringan dan telah
terjadi pengenceran sehingga hasil-hasil pemeriksaan seperti penentuan kadar
hemoglobin atau penghitungan sel-sel darah akan lebih rendah dari nilai yang
sebenarnya.

3. Kulit yang ditusuk basah oleh alkohol sehingga terjadi pengenceran darah dan
hemolisis. Selain itu, darah akan melebar sehingga sulit ditampung.

4. Tetes darah pertama yang digunakan untuk pemeriksaan. Tetesan pertama ini
tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan karena banyak mengandung cairan
jaringan.

5. Terjadi bekuan dalam tetesan darah karena lambat bekerja.

b. Prosedur Tindakan

Alat

1. Blood lancet

Bentuk alat ini bermacam-macam, namun yang terbaik adalah yang disposable
lancet. Alat ini harus tajam dan steril.

Gambar 3.2 Macam macam blood lancet

2. Kapas alkohol 70%

3. Sarung tangan vinyl (bila menggunakan bahan latex, harus dicuci terlebih dahulu
karena bedak pada sarung tangan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan).

36 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

4. Tempat penampung (microtainer, kertas strip, tabung kapiler, dll)

Teknik Pengambilan Darah Kapiler

1. Pasien duduk di kursi dengan lengan dihiperekstensikan.

2. Lokasi penusukan didesinfeksi dengan alkohol 70%, kemudian dikeringkan


dengan kapas yang bersih.

3. Peganglah bagian yang akan ditusuk supaya tidak bergerak dan tekan sedikit
supaya rasa nyeri berkurang.

4. Lakukan penusukan dengan cepat dan adekuat hingga seluruh ujung lancet
penetrasi seluruhnya pada bantalan ujung jari.

5. Tetesan darah pertama dihapus dengan kapas bersih dan kering.

6. Tetesan selanjutnya ditampung untuk pemeriksaan.

Skenario

Seorang laki-laki berusia 18 tahun mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu disertai
mual dan muntah. Badannya terlihat lemah dan sedikit ikterik. Pasien tersebut
kemudian memeriksakan diri ke dokter. Setelah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik lengkap, dokter meminta pasien untuk menjalani serangkaian tes
laboratorium darah.

Tugas
Lakukan pungsi darah vena dan kapiler!

Referensi

a. Gandosoebrata, R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.


b. Laboratory Department Coast Provincial General Hospital Ministry of Health. 2005.
Standard Operating Procedures for Laboratory Services. Kenya: Rational
Pharmaceutical Management Plus Program.

c. WHO. 2004. Pedoman Teknik Dasar untuk Laboratorium Kesehatan. Edisi 2. Alih
bahasa oleh Chairlan dan Lestari, E. Editor Mahode, A.A. Jakarta: EGC.

37 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

PERTEMUAN 1V

PEMERIKSAAN KIMIA URINE

Pemeriksaan Glukosa Urine Metode Reduksi

a. Dasar Teori

Glukosa difiltrasi secara bebas di glomerulus, namun hampir seluruhnya direabsorbsi


di tubulus proksimal. Adanya glukosa dalam urine mencerminkan tingginya kadar
glukosa dalam plasma, sebagai akibatnya terjadi peningkatan glukosa yang terfiltrasi
oleh glomerulus melebihi ambang batas kemampuan reabsorbsi glukosa oleh tubulus
proksimal. Renal threshold untuk glukosa adalah 180 sampai 200 mg/dl.

Pada orang normal, glukosuria dapat terjadi bila mengkonsumsi makanan yang kaya
akan glukosa. Pada keadaan tersebut, skrining menggunakan sampel urine puasa
direkomendasikan. Sebaliknya, untuk tujuan monitoring diabetes, sampel urine yang
biasa digunakan adalah urine 2 jam post prandial. Pemeriksaan glukosa urine sering
dilakukan bersama-sama dengan pemeriksaan glukosa darah.

Pada penyakit dengan gangguan fungsi hormon seperti pankreatitis, kanker pankreas,
akromegali, sindrom Chusing , hipertiroid, dan feokromositoma sering terjadi
hiperglikemia dan glukosuria. Hormon-hormon pada penyakit tersebut misalnya
glukagon, epinefrin, kortisol, tiroksin, dan hormon pertumbuhan bekerja secara
berlawanan dengan efek insulin.

Glukosuria tanpa hiperglikemia dapat terjadi bila kemampuan tubulus proksimal


mereabsorbsi filtrasi normal glukosa oleh glomerulus menurun, keadaan ini sering
disebut sebagai renal glycosuria. Keadaan ini dapat terjadi pada penyakit ginjal
terminal, sistinosis, dan sindrom Fanconi atau karena mutasi pada transporter
SGLT2.

Pemeriksaan adanya glukosa dalam urine termasuk pemeriksaan penyaring. Metode


yang digunakan dapat bermacam-macam, salah satunya adalah cara reduksi. Reaksi
reduksi bertujuan untuk mengetahui adanya zat-zat yang dapat mereduksi dalam
urin, salah satunya adalah glukosa. Akan tetapi, bila tes reduksi positif, belum tentu
dalam urine terdapat glukosa, sebab banyak zat-zat lain yang juga mempunyai sifat
mereduksi, seperti monosakarida lain (misalnya: galaktosa, fruktosa, dan pentosa),
disakarida (laktosa), asam homogentisic, zat-zat alkapton, formalin yang dipakai

38 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

sebagai pengawet urine, glukoronat-glukoronat, salisilat dalam dosis tinggi, vitamic


C, dan protein (khususnya albumin) dalam jumlah banyak. Reaksi reduksi terdiri atas
Fehling dan Benedict. Kedua cara ini bersifat semi kuantitatif.

b. Prosedur Pemeriksaan

Prinsip

Dalam suasana alkalis, glukosa dapat mereduksi cupri menjadi cupro (Cu 2O) yang
mengendap dan berwarna merah. Intensitas warna merah ini secara kasar
menunjukkan jumlah glukosa.

1. Cara Fehling

Reagensia

Fehling A: Fehling B:
Cupri sulfat 69,3 K, Na tartrat 346
Aquadest ad 1000 ml Na hidroksida 100
Aquadest ad 1000 ml

Teknik Pemeriksaan

- Campurlah 2 ml Fehling A dan 2 ml Fehling B di dalam sebuah tabung,


kemudian tambahkan 1 ml urine.
- Panaskan dengan api kecil hingga mendidih.
- Kocok isinya, kemudian baca hasilnya.

Interpretasi

Negatif (-) : tetap biru atau sedikit kehijau-hijauan dan jernih


Positif + (1+) : hijau kekuning-kuningan dan keruh
Positif ++ (2+) : kuning kehijauan dengan endapan kuning
Positif +++ (3+) : jingga atau warna lumpur keruh (kuning kemerahan),
endapan kuning kemerahan.
Positif ++++ (4+) : merah jingga sampai merah bata, keruh dan terdapat
endapan

2. Cara Benedict

39 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Reagensia:

CuSO4 5 aq 17,3
Na sitrat 173
Na karbonat 100
Aquadest Ad 1000 ml

Teknik Pemeriksaan

- 5 ml reagen Benedict ditambah 8 tetes urine (dapat juga 2,5 ml reagen


ditambah 4 tetes urine).
- Panaskan dengan api kecil dampai mendidih.
- Biarkan dingin, kemudian baca hasilnya seperti pada Fehling.

Pemeriksaan Keton Urine

a. Dasar Teori

Produksi keton meningkat bila terjadi perubahan dalam metabolisme glukosa. Keton
akan dihasilkan bila terjadi peningkatan pemecahan asam lemak. Senyawa keton
terdiri atas aseton, asam diasetat (aceto acetic acid), dan asam beta hidroksibutirat.
Pada keadaan normal, keton tidak terdeteksi di urine karena semua hasil
metabolisme lemak dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Peningkatan produksi
dan akumulasi keton dalam darah akan menyebabkan senyawa ini dapat ditemukan
dalam urine (ketonuria).

Ketonuria paling banyak didapatkan pada pasien yang mengalami gangguan intake
akibat muntah berlebihan, malabsorbsi (pancreatic disorder), atau kelaparan
(starvation). Ketonuria juga didapatkan pada keadaan diabetes mellitus tak
terkontrol, diet rendah karbohidrat tinggi lemak (diet ketogenik), penyakit hati, olah
raga berat, serta penyakit gangguan pembentukan dan penyimpanan glikogen. Keton
bodies dapat dideteksi dalam urine menggunakan pemeriksaan Rothera, Acetest
(tablet), maupun carik celup (reagent strip).

b. Prosedur Pemeriksaan

Prinsip

40 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Na-nitroprusida dalam suasana alkalis akan terpecah menjadi Na 4Fe(CN)6, NaNO2,


dan Fe(OH)3. Bahan ini dapat mereduksi aseton dan asam diasetat sehingga terjadi
warna ungu.

Reagensia

- Na-nitroprusida
- Amonium sulfat jenuh
- NH4OH pekat (amoniak pekat)

Teknik Pemeriksaan

- Campurlah 2 ml urine dan 2 ml NH4-sulfat jenuh (amonium sulfat jenuh).


- Tambahkan 2-3 tetes larutan Na-nitroprusida.
- Tambahkan amoniak melalui dinding tabung secara hati-hati sehingga terbentuk
dua lapisan.
- Amati hasilnya pada perbatasan kedua lapisan.

Interpretasi

- Negatif (-) : tidak terlihat perubahan warna atau warna coklat.


- Positif + (1+) : terbentuk cincin ungu tipis.
- Positif ++ (2+) : terbentuk cincin ungu yang segera timbul dan lebar.

Catatan

- Tidak mudah menentukan asam beta hidroksibutirat, namun senyawa ini selalu
terdapat bersama-sama dengan aseton dan asam diasetat.

- Sampel urine yang digunakan dalam reaksi Rothera harus baru. Hal ini karena
asam diasetat mudah teroksidasi menjadi aseton, sedangkan tes ini lebih sensitif
terhadap asam diasetat. Selain itu, aseton dalam urine mudah menguap, sehingga
apabila urine tidak segera diperiksa, akan menyebabkan hasil negatif palsu.

Pemeriksaan Protein Urine

a. Dasar Teori

41 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Dalam keadaan normal, sejumlah kecil albumin dan protein dengan berat molekul
rendah terfiltrasi melalui dinding kapiler glomerulus. Sebagian besar dari protein
berat molekul rendah di reabsorbsi di tubulus, sedangkan protein lain seperti
mikroglobulin serum dan tubular, protein Tamm-Horsfall, protein dari cairan prostat,
seminal, dan vagina disekresi. Dengan demikian, pada urine normal dapat
mengandung protein dalam jumlah yang sangat sedikit, kurang dari 10mg/dL atau
100 mg/24 jam.

Pemeriksaan protein pada urine termasuk pemeriksaan rutin. Bila pemeriksaan


semikuantitatif menunjukkan hasil +1, maka pasien harus monitoring. Adanya
peningkatan jumlah protein dalam urine dapat menandakan adanya penyakit ginjal,
meskipun kadang-kadang ada beberapa keadaan menyebabkan hasil false
positive/negative. Dengan demikian, diperlukan pemeriksaan tambahan apakah
proteinuria adalah kondisi normal atau patologis. Proteinuria disebut signifikan bila
mencapai jumlah 30 mg/dL (300 mg/L).

Penyebab tersering proteinuria pada pasien yang asimtomatik adalah proteinuria


ortostatik, namun diagnosis ini dapat disingkirkan dengan pemeriksaan protein urine
menggunakan sampel urine pagi sebelum melakukan pemeriksaan lain. Berdasarkan
lokasi asal protein, penyebab proteinuria dapat dibagi menjadi 3 yaitu prerenal,
renal, dan post renal. Pada penyakit glomerular, protein utama yang diekskresi
adalah albumin, sedangkan pada penyakit tubular adalah protein dengan berat
molekul rendah, yang pada kondisi normal protein ini direabsorbsi.

Kebanyakan prosedur pemeriksaan protein dalam urine didasarkan pada timbulnya


kekeruhan pada sampel urine setelah dilakukan prosedur tertentu. Padat atau
kasarnya kekeruhan menjadi ukuran jumlah protein dalam urine. Oleh karena itu,
sampel urine untuk pemeriksaan protein haruslah jernih. Bila sampel yang digunakan
keruh, urine dapat disaring berkali-kali hingga jernih atau dipusingkan untuk
kemudian diambil supernatannya. Tindakan ini dilakukan untuk menghilangkan
pengaruh bagian-bagian berbentuk (formed element) seperti sel-sel darah, bakteri,
dan torak (cast) yang dapat memberikan reaksi positif semu (false positif).

b. Prosedur Pemeriksaan Protein dengan Percobaan Rebus (semi kuantitatif)

Prinsip

42 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Dalam suasana asam lemah, bila protein dipanaskan akan mengalami denaturasi dan
terbentuk endapan. Protein yang diperiksa adalah albumin dan globulin. Pemberian
asam asetat dilakukan untuk mencapai atau mendekati titik iso-elektrik protein.

Reagensia

Asam cuka 3 sampai 6 %

Teknik Pemeriksaan

- Saring atau sentrifuge 10 ml urine dengan kecepatan 1500-2000 rpm selama 5


menit, kemudian tuanglah sebanyak 3 ml supernatannya ke dalam tabung reaksi.
- Panaskan supernatan urine dalam tabung reaksi sampai mendidih dengan api
kecil, bila timbul endapan mungkin karena kandungan fosfat.
- Tetesi 2-3 tetes asam cuka 6%, kemudian panaskan lagi sampai mendidih.
- Biarkan dingin dan baca hasilnya

Interpretasi

Negatif (-) : tetap jernih


Positif + (1+) : terlihat kekeruhan yang minimal, huruf cetak pada kertas
masih dapat dibaca menembus kekeruhan ini (kuantitatif
antara 0,01-0.05 g%).
Positif ++ (2+) : terlihat kekeruhan nyata dengan butir-butir halus, garis tebal
masih dapat dilihat menembus kekeruhan ini (kuantitatif
antara 0,05-0,2 g%).
Positif +++ (3+) : terlihat gumpalan-gumpalan nyata (kuantitatif antara 0,2-0,5 g
%).
Positif ++++ (4+) : terlihat gumpalan-gumpalan besar atau membeku (kuantitatif
> 0,5 g%).

Catatan

- Urine encer yang mempunyai berat jenis rendah (antara 1,003 sampai 1,006)
tidak baikdigunakan untuk tes ini. Tambahlah larutan NaCl jenuh sebanyak 1/5
dari volume urine.

43 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

- Positif palsu dapat terjadi bila urine mengandung nukleoprotein atau mucin
(kekeruhan timbul setelah pemberian asam asetat sebelum pemanasan), proteose
(presipitat oleh zat ini terjadi setelah campuran reaksi mendingin dan hilang bila
dipanaskan kembali), tolbutamide, sulfonamide, dan zat azam IVP.

- Negatif palsu dapat terjadi pada pemberian asam asetat yang berlebihan.
Kekeruhan yang halus mungkin hilang karena pemberian cairan ini.

- Adanya protein dalam jumlah sedikit, tidak selalu menunjukkan keadaan yang
patologis. Beberapa keadaan yang menyebabkan proteinuria tersebut adalah:

 Albuminuria fisiologis dapat terjadi setelah latihan fisik yang agak berat,
banyak mengkonsumsi protein, dan lain-lain.

 Accidental / false albuminuria dapat terjadi apabila urine mengandung banyak


sel-sel darah/ nanah, misalnya pada penyakit pyelitis, sistitis, uretritis, dan
lain-lain.

 Orthostatic/ postural albuminuria dapat terjadi setelah berdiri lama dan dapat
menghilang setelah istirahat/ tidur.

 Penyakit-penyakit dengan demam, keracunan, kehamilan, dan lain-lain.

- Proteinuria patologis terdapat pada penyakit-penyakit ginjal yang menyebabkan


gangguan daya penyaring (permeabilitas) glomerulus.

- Bila pada percobaan rebus didapatkan hasil positif ++ (2+) atau lebih, harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan protein kuantitatif menurut Esbach.

- Bila pada pemanasan sekitar 40°C - 60°C timbul endapan, dan hilang pada
pemanasan lebih lanjut (suhu lebih tinggi), kemudian timbul lagi pada
pendinginan 40°C -60°C, harus dipikirkan kemungkinan adanya protein Bence-
Jones.

44 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

Skenario

Seorang laki-laki berusia 52 tahun tampak kurus. Dokter mendiagnosisnya menderita


diabetes mellitus sehingga ia harus menjalani diet dan pengobatan teratur. Namun, ia sering
melanggar pantangan makan dan sering lupa minum obat. Gula darahnya sering tidak
terkontrol. Saat kontrol terakhir bulan lalu, tekanan darahnya 150/110 mmHg. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan abnormalitas pada gula darah, kolesterol, dan fungsi
ginjalnya. Mungkin keadaan ini akibat komplikasi penyakit kencing manis yang dideritanya.
Kini, ia dibawa ke rumah sakit akibat tidak sadarkan diri setelah menghadiri pesta
pernikahan saudaranya.

Tugas
a. Lakukan pemeriksaan kimia urine yang sesuai dengan kondisi di atas!
b. Bagaimana interpretasinya?
c. Bagaimana korelasi hasil pemeriksaan kimia urine anda dengan kasus di atas?
`

Referensi

a. Gandosoebrata, R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.


b. Patel, H.P. 2006. The Abnormal Urinalysis. Pediatr Clin N Am, 53:325– 337.
c. Strasinger, S.K. dan Lorenzo, M.S.D. 2008. Urinalysis and Body Fluids. 5th Edition.
Philadelphia: F. A. Davis Company.

45 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

PERTEMUAN V

BERAT BADAN BERLEBIH DAN OBESITAS: PENCEGAHAN DAN


PENANGANAN

Pencegahan

Mencegah seseorang dengan berat badan berlebih menjadi obes seharusnya lebih mudah,
lebih murah, dan lebih efektif daripada mengatasi obesitas yang sudah terlanjur terjadi,
yang memerlukan penurunan berat badan yang lebih banyak. Akan tetapi, pada kondisi
berat badan berlebih yang ringan, mungkin tidak ada motivasi untuk menurunkan berat
badan.

Prinsip penurunan berat Badan

1. Perencanaan pola makan sehat dan rasional dengan mengurangi konsumsi energi

Sejumlah organisasi pelangsingan mempunyai perencanaan diet yang seimbang dan


menggunakan system poin atau penukar yang memungkinkan peserta untuk
menyesuaikan asupan mereka berdasarkan kuota energy yang ditargetkan. Beberapa
program mencakup kegiatan olah raga dan menyediakan dukungan dan bantuan
secara berkelompok melalui pertemuan berkala. Program-program semacam ini,
umumnya aman dan memenuhi criteria –kriteria yang penting.

2. Diet yang mempertahankan rasa kenyang.

Cara paling pasti untuk mengurangi konsumsi energy adalah mengurangi makan,
tetapi agar cara ini dapat diterapkan, rasa kenyang harus dipertahankan. Hal ini dapat
dicapai dengan:

- Meningkatkan asupan semua makanan nabati. Cara ini dapat menggantikan


makanan berenergi tinggi, terutama produk tinggi lemak, sekaligus memenuhi
saluran cerna dengan volume makan yang besar sehingga menimbulkan rasa
kenyang yang bertahan lama dan mencegah rasa lapar. Pendekatan ini digunakan
dalam banyak perencanaan diet yang sehat dan merupaka landasan yang tepat
bagi upaya menurunkan berat badan.

46 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

- Mengkonsumsi makanan yang berindeks glikemik (IG) yang rendah sebagai ganti
makanan yang ber-IG tinggi memperlambat absorbs glukosa dan pelepasan
insulin. Dianggap bahwa insulin pada kadar tinggi memacu penyimpanan lemak,
sehingga membuat makanan ber-IG tinggi lebih menggemukkan. Sekarang ini
belum ada data yang cukup tentang efek IG pada diet campuran karena sebagian
besar studi dilakukan pada makanan tunggal, maka pada saat ini belum ada bukti
bahwa diet ini cocok untuk mengurangi berat badan

3. Diet yang menyesuaikan kandungan mikronutrien

Diet rendah lemak. Lemak dalam diet mengandung lebih banyak energy daripada
makronutrien lain dan diyakini berhubungan dengan overkonsumsi energy pasif
sehingga pengurangan asupan lemak merupakan pendekatan yang cukup logis.
Terdapat banyak diet rendah lemak, dengan asupan lemak sebesar 20 -30% energy
total dan peningkatan kandungan karbohidrat kompleks.

Cara ini memperbaiki factor risiko kardiovaskular dan dapat melindungi tubuh dari
penyakit kronik lainnya. Berfokus pada konsumsi makanan berlemak akan
membentuk kebiasaan makan yang sehat sehingga penurunan berat badan dapat
dipertahankan dalam jangka panjang. Kombinasi antara penurunan persentase lemak
dan pengurangan asupan energy keseluruhan akan lebih efektif menurunkan berat
badan daripada sekedar mengganti lemak dengan karbohidrat.

Diet rendah karbohidrat. Metode ini lebih banyak dipromosikan dengan sumber
energy berasal dari protein dan lemak. Dan yang terkenal adalah diet Atkins. Pada
mulanya terjadi penurunan berat badan yang cepat karena cadangan glikogen dan air
yang terikat padanya akan menurun. Kekurangan karbohidrat untuk keperluan
metabolism menyebabkan ketosis yang menyebabkan mual dehidrasi dan bau mulut.
Konstipasi mungkin terjadi karena rendahnya asupan serat. Asupan lemak yang tinggi
bertentangan dengan semua prinsip pola makan sehat. Penurunan berat badan
memang terjadi, tetapi hal ini disebabkan oleh efek anorektik (penekan nafsu makan)
akibat diet berprotein tinggi, dan penurunan asupan energy keseluruhan. Rendahnya
asupan mineral dan vitamin akan menyebabkan defisiensi, jika tidak diatasi dengan
pemberian suplemen.

47 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

4. Diet yang menetapkan komposisi hidangan atau waktu makan

Kombinasi makanan (food combining) mengajarkan bahwa makanan berproteian


tidak boleh dikonsumsi bersama makanan yang mengandung karbohidrat karena
keduanya tidak dapat dicerna bersama-sama. TIdak ada bukti ilmiah mengenai hal
ini. Berat badan mungkin turun karena peserta diet memperhatikan makanan yang
dikonsumsinya sehingga asupan makanan keseluruhan mungkin menjadi berkurang.

Diet lain menganjurkan konsumsi makanan hanya sebelum waktu tertentu dalam
sehari agar tubuh dapat menyelesaikan proses pencernaan sebelum malam tiba. Pada
diet ini pun, efek utamanya adalah membatasi asupan makanan total.

5. Diet yang mengisi system pencernaan dahulu sebelum makan

Dua contoh pola makan yang disarankan adalah mengkonsumsi buah sebelum makan
untuk menyediakan enzim atau mengkonsumsi buah grapefruit untuk menghilangkan
lemak namun tak satupun yang memilki dasar ilmiah. Pada kedua kasus ini, pengisian
saluran cerna sebelum makan dapat mengurangi makanan yang dikonsumsi pada
waktu makan.

Minum air sebelum makan untuk menurunkan berat badan dapat menimbulkan
perasaan kenyang saat makan, mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi pada
waktu makan. Akan tetapi, air cepat diabsorbsi dari lambung sehingga efeknya hanya
berlangsung sebentar.

6. Diet yang menghindari makanan yang dianggap memicu reaksi alergi

Diet ini mengklaim bahwa berat badan berlebih disebabkan oleh reaksi alergi tubuh
terhadap komponen makanan yang tidak cocok, termasuk mengkonsumsi berbagai
jenis makanan yang tidak cocok, termasuk mengkonsumsi berbagai jenis makanan
yang tidak cocok dengan golongan darahnya atau muatan listriknya. Keduanya
berfokus pada eliminasi seluruh kelompok makanan, berbahaya dari segi gizi, dan
tidak memiliki landasan ilmiah.

48 | P age
MODUL SKILL LAB BLOK 9

7. Diet yang memerlukan suplemen

Terdapat beraneka ragam diet semacam ini yang dilaporkan dapat meningkatkan
energy, menghilangkan racun, memperbaiki aktivitas selular dan lain-lain. Kecuali
jika ada alasan medis yang jelas atas buruknya fungsi pencernaan atau absorbsi dari
lambung sehingga efeknya hanya berlangsung sebentar.

8. Mengkonsumsi hanya satu jenis makanan

Tersedia produk diet tunggal yang berenergi sangat rendah dan bergizi seimbang yang
dapat digunakan untuk penurunan berat badan secara cepat dalam jangka pendek.
Diet popular menganjurkan konsumsi produk tunggal, seperti sup kubis (cabbage
soup), tidak memiliki kredibilitas nutrisi dan tidak dapat dijalankan dalam jangka
waktu lama.

Sifat monoton dan kebosanan dari diet ini akan membatasi asupan, dan konsumen
tidak akan belajar apa pun mengenai diet sehat seimbang untuk mengontrol berat
badannya di masa mendatang. Jika terdapat risiko defisiensi yang serius.

9. Puasa/ Tidak makan

Ini mungkin dipandang sebagai cara termudah untuk menurunkan berat badan, tetapi
tidak bertahan lama, dan dapat menyebabkan ketidakteraturan asupan makanan
dengan akibat berupa risiko defisiensi gizi. Risiko dehidrasi dalam jangka pendek
serta gangguan makan dalam jangka panjang juga mungkin terjadi.

Penurunan berat badan perlu ditangani dengan pendekatan kesehatan masyarakat


yang akan lebih berhasil daripada saat ini; sementara itu, individu yang rentan akan
terus terpajan oleh program pelangsingan yang tidak tepat dan tidak aman. Akan
sangat membantu jika setidaknya kesadaran akan apa yang dicari dalam program
penurunan berat badan telah disebarluaskan.

Daftar Pustaka

a. Barasi, Mary,.2009. Nutrition at a Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga.

49 | P age

Você também pode gostar