Você está na página 1de 3

Artikel tentang World Wide Fund for Nature (WWF)

World Wide Fund for Nature (WWF) adalah sebuah organisasi non-pemerintah
internasional yang menangani masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan
restorasi lingkungan, dulunya bernama World Wildlife Fund dan masih menjadi nama
resmi di Kanada dan Amerika Serikat. WWF adalah organisasi konservasi independen
terbesar di dunia dengan lebih dari 5 juta pendukung di seluruh dunia yang bekerja di lebih
dari 100 negara, mendukung sekitar 1.300[4] proyek konservasi dan lingkungan. WWF
adalah sebuah yayasan[5] yang pada tahun 2010 mendapatkan 57% pendanaannya dari
pihak perorangan dan warisan, 17% dari sumber-sumber internasional (seperti Bank
Dunia, DFID, USAID) dan 11% dari berbagai perusahaan.[6]

Grup ini memiliki misi "menghalangi dan memutarbalikkan penghancuran lingkungan


kita".[7] Saat ini, sebagian besar tugas mereka terfokus pada konservasi tiga bioma yang
berisikan sebagian besar keragaman hayati dunia, yaitu hutan, ekosistem air tawar, dan
samudera dan pantai. Selain itu, WWF juga menangani masalah spesies terancam punah,
polusi dan perubahan iklim.

Hari Badak Nasional, WWF: Badak Indonesia Kritis

Populasi Badak Jawa di Ujung Kulon Makin Berkurang. Tempo/Darma Wijaya

TEMPO.CO, Jakarta - Bertepatan dengan Hari Badak Nasional pada 22 September, ada
fakta yang membuat miris. Menurut World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, dua spesies
badak Nusantara, badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus) saat ini tengah menghadapi situasi darurat.

Situasi kritis ini terjadi karena beberapa faktor, seperti tekanan habitat yang cukup masif di
Sumatera, bencana alam letusan Gunung Anak Krakatau, penyakit yang ditularkan ternak,
dan invasif tanaman langkap. "Pemerintah Indonesia perlu bereaksi cepat agar badak tidak
bernasib sama seperti harimau Jawa yang sudah punah," ujar Arnold Sitompul, Direktur
Konservasi WWF Indonesia, dalam keterangan yang diterima Tempo, Jumat, 22 September
2017.

Menurut dia, habitat badak Sumatera semakin habis. Dari delapan kantong habitat badak,
saat ini hanya tersisa di tiga kawasan konservasi dan lindung. Ironisnya, status kawasan
tidak menjamin kehidupan badak bebas dari ancaman. Jumlah badak diperkirakan kurang
dari 100 dalam lima tahun terakhir.
"Kita berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan badak Indonesia agar nasibnya tidak
sama dengan harimau Jawa," kata Arnold.

Menurut dia, perlindungan terhadap habitat dan perkembangbiakan secara alami tidak
cukup untuk menyelamatkan kelangsungan hidup badak. Arnold mengatakan badak perlu
segera dipindahkan ke tempat yang aman, pembiakan semi alami yang lebih aktif, dan
manajemen kawasan yang lebih baik.

Kondisi serupa juga terjadi pada populasi badak Jawa. Meski jumlahnya terbilang lebih
baik ketimbang badak Sumatera, tapi habitatnya terancam. Kawasan semenanjung Ujung
Kulon merupakan zona rawan tsunami karena letusan Gunung Anak Krakatau dan
pergeseran lempeng benua.

Selain habitat, penyakit juga mempengaruhi populasi badak. Sensus yang dilakukan
terhadap ternak masyarakat menunjukkan 90 persen kerbau milik masyarakat positif
mengidap bakteri tripanosoma. Aktivitas ternak yang dibiarkan bebas di kawasan Taman
Nasional Ujung Kulon dikhawatirkan bisa menyebarkan bakteri tersebut kepada badak
Jawa.

"Bukan tidak mungkin bisa menyebabkan kematian," ujar Arnold.

Untuk menghindari punahnya populasi karena bencana alam, perlu dilakukan pemecahan
populasi badak Jawa di tempat baru dan dibutuhkan konservasi jangka panjang. Tantangan
lain dalam konservasi badak Jawa di Ujung Kulon, menurut Arnold, adalah hadirnya
pohon langkap, tanaman invasif yang memberikan gangguan terhadap pertumbuhan pakan
badak.

Arnold mengatakan badak merupakan kebanggaan bangsa Indonesia. "Indonesia gagal


menyelamatkan badak Sumatera dan badak Jawa dari kepunahan. Dunia akan kehilangan
dua spesies ini," ucapnya.

Laporan WWF: Terumbu Karang Sulawesi Tenggara Terancam Rusak

Seorang turis mancanegara bersama warga melakukan transplantasi (pencangkokan)


terumbu karang di kawasan pantai Pulau Menjangan Kecil, Karimunjawa, Jepara, Jawa
Tengah, 21 Oktober 2016. Karimunjawa tidak hanya dikunjungi wisatawan domestik saja,
tapi juga dari mancanegara. ANTARA/Yusuf Nugroho

TEMPO.CO, Kendari – Sebagian besar ekosistem terumbu karang di perairan Sulawesi


Tenggara berada dalam kondisi rusak. Berdasarkan hasil Ekspedisi Sulawesi Tenggara
yang dilakukan oleh WWF-Indonesia, kerusakan ini ditandai dari rendahnya tutupan
karang keras serta tingginya tutupan patahan karang dan tingkat sedimentasi. “Perairan
Sulawesi Tenggara berada di bawah ancaman serius akibat meningkatnya aktivitas
pertambangan nikel di provinsi ini,” kata Estradivari, Koordinator Konservasi Kelautan
WWF-Indonesia, dalam keterangan tertulis, Ahad, 13 November 2016.

Selain itu, ada ancaman blooming bintang laut berduri (crown of thorns/Acanthaster
planci), yang mencapai 30 individu per lokasi pengambilan data pada 14–25 Oktober lalu.
Selain itu, masih marak penggunaan bom, yang tercatat mencapai tujuh kali letusan di satu
lokasi, sehingga mengancam ekosistem terumbu karang. “Sementara di beberapa desa
pesisir, tim masih melihat adanya pemanfaatan karang untuk fondasi rumah,” kata Estra.

Meski berada di bawah tekanan, ekosistem pesisir di Sulawesi Tenggara memiliki


kesempatan besar untuk pulih. Di beberapa lokasi, tim mencatat jumlah karang keras
berukuran kecil yang cukup banyak, tutupan karang keras yang tinggi, gerombolan ikan
naso dan barakuda ekor kuning, serta berbagai jenis spesies yang dilindungi, seperti penyu
sisik, penyu hijau, penyu belimbing, paus, hiu paus, lumba-lumba, duyung, dan pari manta.

Staf Seksi Konservasi dan Rehabilitasi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi
Tenggara Anung Wijaya mengatakan pihaknya telah melakukan kajian biofisik untuk
menilai keterkaitan antarkawasan untuk mengoptimalkan rancangan jejaring kawasan
konservasi perairan di Sulawesi Tenggara. Hasil kajian ini merekomendasikan
pembentukan tiga kelompok jejaring kawasan konservasi perairan di provinsi ini. “Taman
Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Lasolo dan Kawasan Konservasi Perairan Daerah
(KKPD) Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari salah satu kelompok
tersebut,” ujarnya.

Anung menjelaskan, Sulawesi Tenggara, yang didominasi 75 persen perairan, merupakan


laut yang potensial dengan keanekaragaman hayatinya. Menurut dia, status KKPD Provinsi
Sulawesi Tenggara telah memasuki tahap penyusunan dokumen rencana pengelolaan dan
zonasi kawasan konservasi. “Semoga penetapan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
segera diputuskan,” ujarnya.

Você também pode gostar