Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
NIM : 04011381320025
Kelompok Tutorial 8
LEARNING ISSUE
I. Cacing Tambang
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan
dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda
usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil
Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
A. Ascaris lumbricoides
- Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm,
sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina
dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur
yang tidak dibuahi.
Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan
menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju
pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah
ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke
trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke
usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih
2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10).
- Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan
(malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).
Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006)
gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.
- Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan
mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak
bergairah dan kurang konsentrasi belajar.
Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut
sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau
sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja
sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di
dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
beratnya infeksi (Menteri Kesehatan, 2006).
- Epidemiologi
Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak terkena
sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A.
lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau
minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri Kesehatan,2006).
- Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan
individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel
pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan massal
harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat, mempunyai
efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa
jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).
B. Ancylostoma (cacing tambang)
- Morfologi dan Daur Hidup
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang
yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan
9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan
kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada
sepasang gigi.
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama
tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam
waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan
dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan
mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya
kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron.
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru.
Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing
dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama
makanan (Menteri Kesehatan , 2006).
- Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing
tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan.
Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan
sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan
gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering
terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)
- Gejala Klinik dan Diagnosis
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,,
prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di
samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
- Epidemiologi
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat
tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun
luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat
menyebabkan anemia yang lebih berat.
Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat
penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal
atau sepatu bila keluar rumah.
C. Trichuris trichiura
- Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm.
Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus.
Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000
butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang
lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes),
kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum.
Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur
sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).
- Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di
dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh
kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat
menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga
dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006)
- Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak
menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-
kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai
dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di
dalam tinja (Gandahusada, 2000).
- Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius.
Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia
frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah
dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan
tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan,
mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera
yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura
sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris
trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH.
Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain :
- Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota
atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Hotes
(2003) bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah
perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi
tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih
hidup dalam kekurangan.
- Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah
dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan
suhu yang berkisar antara25ºC-30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris
lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan
untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC
dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah
yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000).
- Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena
tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang
paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah
perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002).
- Perilaku
Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah
(Peter J. Hotes, 2003:21). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena
biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci
tangan (Oswari, 1991).
- Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip
Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang
rendah.
- Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan
(absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat
menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein
serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan
dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh
sehinggamudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).
D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala
ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan
di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin
< 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
2. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia
jenis lain adalah (Bakta, 2006):
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
E. Pemeriksaan
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan
antara lain:
- Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang
beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan
Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan
minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan
rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik
hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan
pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.
4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru,
dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak
kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari
kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin.
MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan
zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik.
Nilai normal 15 %.
5. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes
darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut
kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi.
Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh
transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei
populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
6. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi
habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang
luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan
darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan
malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
status besi yang spesifik.
7. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum
transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan
indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit
peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan
indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran
yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik
untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita
dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria
meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik
secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan
mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin
jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi,
keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay
immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
- Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun
mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk
menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat
besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa,
jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum
tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan
besi dalam populasi umum.
III. Eritropoesis
A. Definisi Eritropoesis
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini
berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada
sumsum tulang. (Dorland edisi 31)
B. Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum
tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang
akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit
pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan
rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah
matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya
sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan
hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan
menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.