Você está na página 1de 34

Nama : Hasna Mujahidah

NIM : 04011381320025
Kelompok Tutorial 8

LEARNING ISSUE
I. Cacing Tambang
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan
dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda
usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil
Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
A. Ascaris lumbricoides
- Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm,
sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina
dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur
yang tidak dibuahi.
Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan
menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju
pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah
ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke
trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke
usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih
2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10).
- Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan
(malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).
Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006)
gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.
- Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan
mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak
bergairah dan kurang konsentrasi belajar.
Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut
sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau
sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja
sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di
dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
beratnya infeksi (Menteri Kesehatan, 2006).
- Epidemiologi
Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak terkena
sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A.
lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau
minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri Kesehatan,2006).
- Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan
individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel
pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan massal
harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat, mempunyai
efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa
jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).
B. Ancylostoma (cacing tambang)
- Morfologi dan Daur Hidup
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang
yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan
9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan
kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada
sepasang gigi.
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama
tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam
waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan
dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan
mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya
kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron.
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru.
Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing
dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama
makanan (Menteri Kesehatan , 2006).
- Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing
tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan.
Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan
sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan
gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering
terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)
- Gejala Klinik dan Diagnosis
Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,,
prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di
samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)
- Epidemiologi
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat
tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun
luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat
menyebabkan anemia yang lebih berat.
Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat
penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal
atau sepatu bila keluar rumah.
C. Trichuris trichiura
- Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm.
Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus.
Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000
butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang
lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes),
kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum.
Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur
sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).
- Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di
dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh
kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat
menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga
dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006)
- Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak
menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-
kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai
dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di
dalam tinja (Gandahusada, 2000).
- Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius.
Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia
frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah
dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan
tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan,
mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera
yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura
sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris
trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH.
Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain :
- Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota
atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Hotes
(2003) bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah
perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi
tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih
hidup dalam kekurangan.
- Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah
dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan
suhu yang berkisar antara25ºC-30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris
lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan
untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC
dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah
yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000).
- Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena
tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang
paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah
perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002).
- Perilaku
Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah
(Peter J. Hotes, 2003:21). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena
biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci
tangan (Oswari, 1991).
- Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip
Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang
rendah.
- Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan
(absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat
menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein
serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan
dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh
sehinggamudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).

II. Anemia Mikrositik Hipokrom


A. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006).
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai
oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah,
dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).
B. Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme.
Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi.
Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah.
Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain)
karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke
fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi
heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border
dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri
direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh
protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh
divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian
disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam
kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara
lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk
kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT
1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus
(Zulaicha, 2009).
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur
oleh “set point” yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta (Gambar 2.3).
Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi
sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator
dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta, 2006).
c. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus.
Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin
dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan
berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas (Gambar 2.4).
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin
(clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom.
Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan
transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1,
sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke
permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan sebagian
masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan heme.
Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan
metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero
menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga
terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu
atom besi fero ditengahnya (Murray, 2003).
B. Etiologi
Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan
kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi
bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi),
dan kalsium (susu dan produk susu).
C. Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang
meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun (Bakta, 2006).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif,
yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar
feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum
tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong
sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai
iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC)
meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah
besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun (Tabel 2.2). Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai
anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).
Tabel 2.1. Distribusi normal komponen besi pada pria dan wanita (mg/kg)

Tabel 2.2. Perbandingan tahap keseimbangan zat besi yang negatif

D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala
ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan
di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin
< 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
2. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia
jenis lain adalah (Bakta, 2006):
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
E. Pemeriksaan
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan
antara lain:
- Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang
beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan
Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan
minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan
rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik
hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan
pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.
4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru,
dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak
kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari
kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin.
MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan
zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik.
Nilai normal 15 %.
5. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes
darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut
kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi.
Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh
transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei
populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
6. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi
habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang
luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan
darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan
malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
status besi yang spesifik.
7. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum
transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan
indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit
peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan
indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran
yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik
untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita
dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria
meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik
secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan
mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin
jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi,
keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay
immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
- Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun
mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk
menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat
besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa,
jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum
tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan
besi dalam populasi umum.

III. Eritropoesis
A. Definisi Eritropoesis
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini
berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada
sumsum tulang. (Dorland edisi 31)
B. Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum
tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang
akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit
pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan
rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah
matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya
sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan
hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan
menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

C. Sel Seri Eritropoesis


Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam
sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Dengan
pulasan Romanowsky inti berwarna biru kemerah-merahan sitoplasmanya berwarna biru.
Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah rubriblast
dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti
Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada pewarnaan
kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak, sitoplasma sedikit
mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit
kemerah-merahan. Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4
% dari seluruh sel berinti.
Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat
tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih
kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena
kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena kandungan
hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini dalam sumsum
tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.
Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini
kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih
banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari
RNA. Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10 %.
Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel,
masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini
berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Pada saat proses
maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga mengandung berbagai
fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau
eritrosit polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam sel ini hanya dapat dilihat dengan
pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum ini juga dapat terlihat segai bintik-bintik
abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus biasa. Polikromatofilia yang merupakan kelainan
warna eritrosit yang kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya
disebabkan oleh bahan ribosom ini. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan
beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama 120
hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit.
Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran diameter 7-8
um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan
pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung
hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama beredar dalam
sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya
oleh limpa. Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama beredar dalam darah, baik
mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di makan oleh
Parasit.
Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi
di luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai
eritropoesis ekstra meduler
D. Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis
Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya
keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting,
karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah
eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah.
Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru
diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang
yang sehat. Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai
dari besi, asam amino dan vitamin B tertentu.
 Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin (
EPO ) dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO.
Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia ( kekurangan O2 ), ginjal akan mempercepat
pelepasan eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada defisiensi
besi )
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia.
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran
O2 ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi
eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan
langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan
stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang.
Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone
sex wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada
wanita lebih rendah daripada pria.
 Eritropoeitin
- Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati
- Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
- ↓ penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke dalam
darah → merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi dan
pematangan eritrosit →jumlah eritrosit meningkat→kapasitas darah mengangkut O2 ↑ dan
penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal → stimulus awal yang mencetuskan
sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
- Pasokan O2 ↑ ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah
melepaskan O2 : stimulus eritroprotein turun
- Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus berproliferasi
menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
- Bekerja pada sel-sel tingkat G1
- Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O2 & kebutuhan
mengatur pembentukan eritrosit.

IV. Pemeriksaan Feses


Pemeriksaan feses penting untuk mendiagnosis adanya kelainan pada sistem
gastrointestinal seperti diare, infeksi, perdarahan saluran cerna, ulkus peptikum, karsinoma,
dan sindrom malabsorbsi. Pemeriksaan dan tes yang dapat dilakukan pada feses meliputi
pemeriksaan makroskopis, mikroskopis, mikrobiologi, dan kimia.
Feses normal terdiri dari sisa-sisa makanan yang tidak tercerna, air, bermacam produk
hasil pencernaan makanan, dan kuman-kuman nonpatogen. Untuk mendapatkan hasil yang
baik perlu diperhatikan tahap-tahap berikut ini:
A. Pemeriksaan Makroskopis
- Praanalitik
Persiapan Pasien:
Sebelum pemeriksaan pasien tidak dibenarkan makan obat-obat tertentu seperti
pencahar, preparat besi, barium, bismuth, dan obat anti diare.
Persiapan Sampel:
Feses untuk pemeriksaan sebaiknya berasal dari defekasi spontan yang dikumpulkan pagi
hari sebelum sarapan atau dapat juga feses sewaktu dan harus segera diperiksa dalam 2-3 jam
setelah defekasi (feses segar); kalau dibiarkan mungkin sekali unsur-unsur dalam tinja
menjadi rusak. Pasien diberitahu agar sampel tidak tercampur urine atau sekresi tubuh
lainnya.
Pengumpulan/Pengambilan Sampel:
Wadah pengumpulan/pengambilan feses sebaiknya ialah pot kaca/plastik yang bermulut
lebar, tertutup rapat, dan bersih. Wadah diberi label/identitas pasien, dan keterangan klinis
pasien. Pilihlah selalu sebagian dari tinja yang memberi kemungkinan sebesar-besarnya
untuk menemui kelainan seperti bagian yang bercampur darah atau lendir.
- Analitik
Sampel diperiksa di tempat yang terang. Perhatikan warna, bau, konsistensi, adanya
darah, lendir, nanah, cacing.
- Pasca Analitik
Hasil dan Interpretasi
1. Warna: tinja normal berwarna kuning coklat / coklat muda / coklat tua. Warna
tinja yang dibiarkan pada udara menjadi lebih tua karena terbentuknya lebih banyak urobilin
dari urobilinogen yang dieksresikan lewat usus. Selain urobilin yang normal ada, warna tinja
dipengaruhi oleh jenis makanan, kelainan dalam saluran cerna, dan oleh obat-obat yang
diberikan.
2. Bau: Bau normal disebabkan oleh indol, skatol, dan asam butirat. Bau busuk
disebabkan proses pembusukan protein yang tidak dicerna oleh bakteri, bau asam
menunjukkan pembentukan gas dan fermentasi karbohidrat yang tidak dicerna atau diabsorbsi
sempurna/lemak yang tidak diabsorbsi. Bau anyir dapat disebabkan adanya perdarahan pada
saluran cerna.
3. Bentuk dan Konsistensi: Feses normal berbentuk sosis dan agak lunak. Pada
diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan pada konstipasi didapat tinja
dengan konsistensi keras.
4. Lendir: Pada feses normal tidak ada lendir. Bila terdapat lendir berarti ada
iritasi atau radang dinding usus. Jika lendir hanya ditemukan dibagian luar feses, lokasi iritasi
mungkin usus besar, jika bercampur dengan feses mungkin iritasi berasal dari usus halus.
5. Darah: Feses normal tidak mengandung darah. Jika terdapat darah, perhatikan
apakah darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam dan apakah bercampur atau hanya
dibagian luar feses saja. Perdarahan yang terjadi di bagian proksimal saluran cerna
menyebabkan feses berwarna hitam. Jumlah darah yang banyak mungkin disebabkan oleh
ulkus, varises esofagus, karsinoma atau hemoroid.
6. Cacing: cacing mungkin dapat terlihat
B. Pemeriksaan Mikroskopis
- Praanalitik
Persiapan pasien, persiapan dan pengumpulan sampel sama dengan pemeriksaan
mikroskopis
- Analitik
Sediaan hendaknya tipis, agar unsur-unsur jelas terlihat dan dapat dikenal.
- Pasca analitik
Hasil dan Interpretasi
1. Sel epitel: Beberapa sel epitel yang berasal dari dinding usus bagian distal
dapat ditemukan dalam keadaan normal. Jika sel epitel berasal dari bagian yang lebih
proksimal, sel-sel itu sebagian atau seluruhnya rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak
kalau ada peradangan dinding usus.
2. Makrofag: Sel- sel berinti satu memiliki daya fagositosis; dalam plasmanya
sering dilihat sel-sel lain (leukosit, eritrosit) atau benda-benda lain.
3. Leukosit: Lebih jelas terlihat kalau feses dicampur dengan beberapa tetes
larutan asam acetat 10%. Kalau hanya dilihat beberapa dalam seluruh sediaan, tidak ada
artinya. Jumlah leukosit meningkat pada disentri basiler, kolitis ulserosa, dan peradangan
lain.
4. Eritrosit: Hanya dilihat kalau lesi mempunyai lokalisasi dalam kolon, rektum
atau anus. Keadaan ini selalu bersifat patologis.
5. Kristal-kristal: Pada umumnya tidak banyak artinya. Dalam feses normal
mungkin terlihat kristal tripelfosfat dan kalsium oksalat. Kristal Charcot-Leyden biasanya
ditemukan pada kelainan ulseratif usus, kristal hematoidin dapat ditemukan pada perdarahan
usus.
6. Sisa makanan: Sebagian besar berasal dari makanan daun-daunan dan
sebagian lagi dari makanan yang berasal dari hewan, seperti serat otot, serat elastik, dan lain-
lain.
7. Telur dan larva cacing
PROSEDUR KERJA
A. Pemeriksaan Makroskopis
- Sampel diperiksa di tempat yang terang.
- Perhatikan warna, bau, konsistensi, adanya darah, lendir, nanah, cacing.
B. Pemeriksaan Mikroskopis
Bahan dan alat : kaca objek, kaca penutup, larutan/reagen: Larutan NaCl 0,9% atau larutan
eosin 1-2%, larutan asam asetat 10% (untuk memperjelas leukosit), lidi atau aplikator
lainnya, mikroskop.
C. Prosedur Kerja
1. Tetesi kaca objek di sebelah kiri dengan 1 tetes NaCl 0,9% dan sebelah kanan dengan 1
tetes larutan eosin 1-2%
2. Dengan lidi ambil sedikit tinja di bagian tengahnya atau pada bagian yang mengandung
lendir/darah/nanah.
3. Campurkan dengan tetesan larutan sampai homogen, buang bagian-bagian kasar
4. Tutup dengan kaca penutup sedemikian rupa sehingga tidak terbentuk gelembung –
gelembung udara
5. Periksa secara sistematik dengan menggunakan pembesaran rendah (objektif 10x/lapangan
pandang kecil=LPK), kemudian dengan objektif 40X/lapangan pandang besar=LPB.
6. Jumlah unsur-unsur yang nampak dilaporkan secara semikuantitatif, yaitu jumlah rata-rata
per LPK atau per LPB (untuk eritrosit dan leukosit). Unsur-unsur yang kurang bermakna
seperti epitel dan kristal dilaporkan dengan + (ada), ++ (banyak), +++ (banyak sekali). Untuk
memperlambat kekeringan pada sediaan maka tepi sediaan dapat direkatkan dengan lilin
cair/entelan/pewarna kuku (kuteks). Pada pewarnaan dengan eosin, sediaan harus tipis
sehingga warnanya merah jambu muda. Bila warnanya merah jambu tua atau jingga maka
berarti sediaan terlampau tebal.

V. Pemeriksaan Darah Tepi


A. Sediaan Apus Darah Tepi
Sediaan apus darah tepi adalah suatu cara yang sampai saat ini masih digunakan pada
pemeriksaan di laboratorium. Prinsip pemeriksaan sediaan apus ini adalah dengan
meneteskan darah lalu dipaparkan di atas objek glass, kemudian dilakukan pengecatan dan
diperiksa dibawah mikroskop.
Guna pemeriksaan apusan darah:
1. Evaluasi morfologi dari sel darah tepi (eritrosit, trombosit, dan leukosit)
2. Memperkirakan jumlah leukosit dan trombosit
3. Identifikasi parasit (misal : malaria. Microfilaria, dan Trypanosoma).
Sediaan apus darah tepi dapat diwarnai dengan berbagai macam metode termasuk larutan-
larutan yang sederhana antara lain: pewarnaan Giemsa, pewarnaan acid fast, pewarnaan
garam, pewarnaan wright, dan lainlain.
Pewarnaan Giemsa disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode pewarnaan ini banyak
digunakan untuk mempelajari morfologi sel-sel darah, sel-sel lien, sel-sel sumsum dan juga
untuk mengidentifikasi parasit-parasit darah misal Tripanosoma, Plasmodia dan lain-lain dari
golongan protozoa. (Maskoeri, 2008)
Pewarnaan Giemsa (Giemsa Stain) adalah teknik pewarnaan untuk pemeriksaan
mikroskopis yang namanya diambil dari seorang peneliti malaria yaitu Gustav Giemsa.
Pewarnaan ini digunakan untuk pemeriksaan sitogenetik dan untuk diagnosis histopatologis
parasit malaria dan juga parasit jenis lainnya. (Jason and Frances, 2010 )
Dasar dari pewarnaan Giemsa adalah presipitasi hitam yang terbentuk dari penambahan
larutan metilen biru dan eosin yang dilarutkan di dalam metanol. Yaitu dua zat warna yang
berbeda yaitu Azur B ( Trimetiltionin ) yang bersifat basa dan eosin y ( tetrabromoflurescin )
yang bersifat asam seperti kromatin, DNA dan RNA. Sedangkan eosin y akan mewarnai
komponen sel yang bersifat basa seperti granula, eosinofili dan hemoglobin. Ikatan eosin y
pada azur B yang beragregasi dapat menimbulkan warna ungu, dan keadaan ini dikenal
sebagai efek Romanowsky giemsa. Efek ini terjadi sangat nyata pada DNA tetapi tidak terjadi
pada RNA sehingga akan menimbulkan kontras antara inti yang berwarna dengan sitoplasma
yang berwarna biru. ( Arjatmo Tjokronegoro, 1996)
Pewarnaan giemsa adalah teknik pewarnaan yang paling bagus dan sering digunakan
untuk mengidentifikasi parasit yang ada di dalam darah ( blood-borne parasite ). ( Ronald dan
Richard , 2004 )
Bahan pemeriksaan yang terbaik adalah darah segar yang berasal dari kapiler atau vena,
yang dihapuskan pada kaca obyek. Pada keadaan tertentu dapat pula digunakan EDTA
(Arjatmo Tjokronegoro, 1996)
Jenis apusan darah :
1. Sediaan darah tipis
Ciri- ciri apusan sediaan darah tipis yaitu lebih sedikit membutuhkan darah untuk
pemeriksaan dibandingkan dengan sediaan apus darah tebal, morfologinya lebih jelas. bentuk
parasit plasmodium berada dalam eritrosit sehingga didapatkan bentuk parasit yang utuh dan
morfologinya sempurna. Serta lebih mudah untuk menentukan spesies dan stadium parasit
dan perubahan pada eritrosit yang dihinggapi parasit dapat dilihat jelas.
2. Sediaan darah tebal
Ciri- ciri apusan sediaan darah tebal yaitu membutuhkan darah lebih banyak untuk
pemeriksaan dibanding dengan apusan darah tipis, sehingga jumlah parasit yang ditemukan
lebih banyak dalam satu lapang pandang, sehingga pada infeksi ringan lebih mudah
ditemukan. Sediaan ini mempunyai bentuk parasit yang kurang utuh dan kurang begitu
lengkap morfologinya. (Sandjaja, 2007)
B. Giemsa
Pewarna Giemsa 10% sebagai pewarna yang umum digunakan agar sediaan terlihat lebih
jelas. Pewarnaan ini sering disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode pewarnaan ini
banyak dipakai untuk mempelajari morfologi darah, sel-sel sumsum dan juga untuk
identifikasi parasit-parasit darah misalnya dari jenis protozoa. Zat ini tersedia dalam bentuk
serbuk atau larutan yang disimpan di dalam botol yang gelap. (Kurniawan, 2010).
Zat warna yang digunakan dalam metode Romanovsky adalah Giemsa yang sebelumnya
telah diencerkan dengan aquades. Semakin lama pewarnaan yang dilakukan maka
intensitasnya menjadi semakin tua. Preparat apus yang telah selesai dibuat kemudian diamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Gambar yang didapat dalam hasil menunjukan
sel-sel butir darah baik eritrosit, leukosit, trombosit, atau jenis parasit yang lain (Maskoeri,
2008).
Sediaan apus darah secara rutin diwarnai dengan campuran zat warna khusus. Pewarnaan
ini disebabkan karena oksidasi methylen blue dan pembentukan senyawa baru dalam
campuran yang dinamakan azure. Setelah pemberiaan campuran jenis Romanosky,
diferensiasi sel-sel dapat dilakukan
Berdasarkan 4 sifat pewarnaan yang menyatakan afinitas struktur sel oleh masing-masing
zat warna dari campuran, yaitu:
1. Afinitas untuk methylen blue
2. Afinitas untuk azure dikenal sebagai azurefilik ( ungu).
3. Afinitas untuk eosin (suatu zat warna asam ) dikenal sebagai asidofilik atau
eosinofilia.(merah muda kekuningan ).
4. Afinitas untuk komplek zat warna yang terdapat dalam campuran, secara tidak tepat
dianggap netral, dikenal sebagai neutrofilia (salmon-pink smplilac ). ( Safar, 2009 ).
Giemsa adalah zat warna yang terdiri dari eosin dan metilen azur memberi warna merah
muda pada sitoplasma dan metilen biru memberi warna pada inti leukosit . Ketiga jenis
pewarna ini dilarutkan dengan metil alkohol dan gliserin. Larutan ini dikemas dalam botol
coklat ( 100 – 500 – 1000 cc ) dan dikenal sebagai giemsa stock dengan pH 7 . ( Depkes RI,
1993 ).
Pedoman pemakaian Giemsa
1. Giemsa stock baru boleh diencerkan dengan aquadest, air buffer atau air sesaat akan
digunakan agar diperoleh efek pewarnaan yang optimal.
2. Encerkan gimesa sebanyak yang dibutuhkan, sebab bila berlebihan terpaksa harus dibuang.
3. Untuk mengambil stock giemsa dari botolnya, gunakan pipet khusus agar stock giemsa
tidak tercemari.
4. Methanol dapat menarik air dari udara, sebab itu stock giemsa harus ditutup rapat dan tidak
boleh sering dibuka .
5. Tolak ukur sebagai dasar perhitungan :
a. 1cc = 20 tetes
b. Seluruh permukaan kaca sediaan dapat ditutupi cairan sebanyak 1 cc
c. Berdasarkan tolak ukur ini dapat dihitung banyaknya giemsa encer yang harus
digunakan sesuai dengan kebutuhan terutama bila melakukan pewarnaan.
6. Takaran pewarnaan, Untuk melakukan pewarnaan individu pada stock giemsa 1 tetes dapat
ditambah dengan pengencer sepuluh tetes lama pewarnaan 15 – 20 menit ( giemsa 10 % )
atau stock giemsa 1 tetes ditambah pengencer 1 cc ( 20 tetes ) dengan lama pewarnaan 45 –
60 menit ( giemsa 20 % ) .
7. Gunakan air pengencer yang mempunyai pH 6.8 – 7.2 ( paling ideal dengan pH 7.2). (
Depkes RI, 1993 ).
Menguji mutu giemsa
Apakah stock giemsa yang akan digunakan masih baik, perlu diadakan pengujian. Ada 2 cara
menguji mutu Giemsa :
1. Dilakukan pewarnaan sel darah 1- 2 sel darah lalu diperiksa mikroskop. Jika hasilnya
dengan kriteria yang ada, berarti giemsa dan air pengencernya masih baik. Pengujian seperti
ini perlu dilakukan setiap kali akan melakukan pewarnaan.
2. Dilakukan tes menggunakan kertas saring dan metil alkohol
a. Meletakkan kertas saring di atas gelas supaya bagian tengah kertas saring tidak
tersentuh apapun.
b. Meneteskan 1 – 2 stock giemsa pada kertas saring, menunggu sampai meresap dan
melebar, kemudian meneteskan 3 – 5 tetes metil alkohol absolute dipertengahan bulatan
giemsa satu persatu dengan jarak waktu beberapa detik, sampai garis tengah giemsa menjadi
5 – 7 cm maka akan berbentuk bulatan biru ( metilen blue ) di tengah, lingkaran cincin ungu (
metilen azure ) berada di luarnya, serta lingkaran tipis warna merah ( eosin ) dipinggir sekali.
Jika warna ungu atau merah tidak terbentuk berarti giemsa sudah rusak dan tidak boleh
dipakai lagi. ( Depkes RI, 1993 ).
C. Pewarnaan Sediaan Darah
Sediaan darah tebal biasanya di hemolisis terlebih dulu sebelum pewarnaan, sehingga
parasit tidak lagi tampak dalam eritrosit. Kelebihan dari sediaan ini yaitu dapat menemukan
parasit lebih cepat karena volume darah yang digunakan lebih banyak. Jumlah parasit lebih
banyak dalam satu lapang pandang, sehingga pada infeksi ringan lebih mudah ditemukan.
Sedangkan kelemahan dari sediaan darah tebal bentuk parasit yang kurang lengkap
morfologinya. (Safar, 2009)
a. Ciri-ciri sediaan yang baik :
Sediaan yang dibuat harus bersih yaitu sediaan tanpa endapan zat pewarnaan. Sediaan juga
tidak terlalu tebal, ukuran ketebalan dapat dinilai dengan meletakkan sediaan darah tebal di
atas arloji. Bila jarum arloji masih dapat dilihat samar-samar menunjukkan ketebalan yang
tepat. Selain menggunakan arloji dapat juga dengan cara meletakkan sediaan darah tebal di
atas koran, kalau tulisan di bawah koran sediaan masih terbaca, berarti tetesan tadi cukup
baik. (Sandjaja, 2007)
b. Hasil sediaan darah tebal yang baik : Inti sel darah putih biru lembayung tua, granula
biasanya tidak tampak, hanya granula eosinofil. Trombosit berwarna lembayung muda dan
sering berkelompok. Parasit tampak kecil, batas sitoplasma sering tidak nyata. Titik Maurer
dan titik Ziemen (P. malariae) biasanya hilang. Titik Scuffner sering masih terlihat sebagai
zona merah. Bentuk cincin sering tampak sebagai “koma”, “tanda seru”, atau “burung
terbang”, terutama pada P. falciparum. Tropozoit yang sudah agak besar tampak pigmen.
Sitoplasma P. Vivax dapat terlihat jelas seperti amuboid. Sitoplasma pada P. malariae mulai
mengumpul disekitar inti, dan bentuk schizon tampak jelas. (Irianto, 2009)
c. Parasit yang ada dalam sediaan darah tebal
1. Plasmodium Vivax
Ciri khas dari Plasmodium vivax yaitu eritrosit yang dihinggapi membesar, bila tropozoid
tumbuh maka bentuknya tidak teratur, berpigmen halus. Tropozoid yang sedang berkembang
biak dari Plasmodium vivax berbeda-beda dan tidak beratur bentuknya. Eritrosit yang
terinfeksi oleh parasit ini mengalami pembesaran dan pucat karena kekurangan
hemoglobin.Tropozoit muda tampak sebagai cincin dengan inti pada satu sisi.Tropozoit tua
tampak sebagai cincin amuboid akibat penebalan sitoplasma yang tidak merata. Dalam waktu
36 jam parasit akan mengisi lebih dari setengah sel eritrosit yang membesar. Proses
selanjutnya inti sel parasit akan mengalami pembelahan dan menjadi bentuk schizont yang
berisi merozoit berjumlah antara 16 – 18 buah. Gametosit mengisi hampir seluruh eritrosit.
Mikrogametosit berinti besar dalam pewarnaan Giemsa akan berwarna merah muda
sedangkan sitoplasma berwarna biru. Makrogametosit berinti padat berwarna merah letaknya
biasanya di pinggir.Terdapat bintik-bintik merah yang disebut titik Schuffner pada eritrosit
yang terinfeksi parasit ini. ( Sungkar S, 1994 )
2. Plasmodium Malariae
Plasmodium malariae ukurannya lebih kecil, berbentuk cincin apabila dicat dengan
giemsa mirip cincin Plasmodium vivax hanya sitoplasma lebih biru dan parasit lebih kecil,
teratur serta padat. Parasit ini juga dapat berbentuk pita yang melintang pada sel darah merah
bentuk kromatin seperti benang ( Sungkar S, 1994 )
3. Plasmodium Falciparum
Pasmodium falciparum, dapat menyebabkan penyakit tertian maligna ( malaria tropica ),
infeksi oleh spesies ini menyebabkan parasitemia yang meningkat jauh lebih cepat
dibandingkan spesies lain dan merozoitnya menginfesi sel darah merah dari segala umur (
baik muda maupun tua ). Hanya ditemukan bentuk tropozoit dan gametosit pada darah tepi,
kecuali pada kasus infeksi yang berat. Schizogoni terjadi di dalam kapiler organ dalam
termasuk jantung. Sedikit schizont di darah tepi, terkait berat ringannya infeksi. Schizont
berisi merozoit berjumlah 16 – 20 buah. Eritrosit yang terinfeksi tidak mengalami
pembesaran. Bisa terjadi multiple infeksi dalam eritrosit (ada lebih dari satu parasit dalam
eritrosit), bentuk acolle (inti menempel dinding eritrosit) dan spliting (inti parasit terpecah
dua). Gametosit berbentuk pisang, makrogametosit inti kompak (mengumpul) biasanya di
tengah sedangkan makrogametosit intinya menyebar. Sitoplasma eritrosit terdapat terdapat
bercak-bercak merah yang tidak teratur disebut titik Maurer.
4. Plasmodium Ovale
Plasmodium ovale merupakan parasit yang jarang terdapat pada manusia bentuknya mirip
dengan plasmodium vivax sel darah merah yang dihinggapi akan sedikit membesar,
bentuknya lonjong dan bergerigi pada satu ujungnya adalah khas plasmodium ovale.
Plasmodium ovale menyerupai plasmodium malariae pada bentuk skizon dan tropozoid yang
sedang tumbuh. ( Sungkar S, 1994 )
d. Faktor yang harus diperhatikan untuk mencapai pewarnaan yang baik
1. Kualitas dari stock giemsa yang digunakan standar mutu
a) Stock giemsa yang belum tercemar air
b) Zat warna giemsa masih aktif
2. Kualitas dari air pengencer giemsa
a) Air pengencer harus jernih dan tidak berbau
b) Derajat keasaman pengencer hendaknya berada 6,8 - 7,2 perubahan pH pada larutan
giemsa berpengaruh pada sel-sel darah
3. Kualitas pembuatan sediaan darah
Dalam pembuatan sediaan darah tebal yang perlu diperhatikan adalah tebalnya sediaan.
Ketebalan dikatakan memenuhi syarat apabila disetiap lapang pandang terdapat 10 – 20 sel
darah putih.
4. Kebersihan sediaan darah
Zat warna yang mengendap dipermukaan pada akhir pewarnaan tertinggal pada sel darah
dan akan mengotorinya. Oleh karna itu pada akhir pewarnaan larutan giemsa harus dibilas
dengan air yang mengalir .
5. Syarat sediaan Kaca
Kaca sediaan dipakai untuk menempelkan darah yang sering kali diambil dari tempat
yang jauh, sediaan darah ini kemudian diproses, diperiksa dan kemudiaan disimpan atau
dicuci kembali, maka penting sekali penggunaan kaca sediaan yang baik dan bermutu. Syarat
untuk kaca sediaan yang baik adalah :
a. Bening atau jernih
b. Permukaan licin, tidak tergores-gores
c. Bersih ( bebas dari lemak, debu, asam, atau alkalis )
d. Tebal antara 1,1 dan 1,3 mm
e. Ukurannya sama ( Depkes RI, 1993)
e. Prosedur pewarnaan darah tebal :
1) Teteskan darah pada sebuah slide bersih.
2) Tetesan darah dilebarkan sambil dengan kaca secara berputar, sampai menjadi sediaan
darah dengan diameter 1 - 2 cm.
3) Biarkan mengering di udara .
4) Pengecatan sediaan darah tebal :
- Rendam apusan darah dalam air untuk melisiskan sel darah merah.
- Setelah darah lisis rendam atau genangi dengan giemsa selama 15-20 menit.
- Biarkan sampai kering, periksa sediaan darah dibawah mikroskop.
5 ) Pemeriksaan darah tebal dilakukan dengan cara :
- Siapkan mikroskup yang sudah dibersihkan dengan xylol.
- Pasang sediaan dengan perbesaran 100x dengan diberi anisol.
- Catat hasil pengamatan.
f. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pewarnaan giemsa :
- Perhatikan agar metanol tidak mengenai sediaan tetes tebal karena akan membuat bagian
tersebut terfiksasi dan hasil pewarnaan tidak sesuai dengan hasil yang diinginkan.
- Hati-hati pada saat membilas sediaan tetes tebal karena bagian tersebut tidak difiksasi dan
tidak menempel dengan kuat ke slide kaca. (http://cabogun.blogspot.com)
D. Sumber Kesalahan
Dalam pemeriksaan laboratorium untuk mendapatkan hasil yang akurat harus mengacu
kepada GLP ( Good Laboratory Procedure ) yaitu melalui 3 tahap prosedure antara lain:
1. Pre Analitik
Dapat dikatakan sebagai tahap persiapan awal, dimana tahap ini sangat menentukan
kualitas sampel yang nantinya akan dihasilkan dan mempengaruhi proses kerja berikutnya .
Faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan seperti penyakit, puasa / tidak, diet, variasi
diurnal, aktifitas fisik, obat – obatan serta labeling. Sampel yang diambil haruslah sampel
yang sesuai/tepat dengan jenis pemeriksaannya, cara pengambilan sampel pun harus benar.
Penggunaan bahan pembantu yang tidak tepat tentunya akan merusak sampel. Kondisi
lingkungan seperti suhu, kebersihan tentunya mempengaruhi stabilitas dan kualitas sampel
sehingga dapat berakibat terhadap hasil pemeriksaan. Kualitas bahan pembantu juga
mempengaruhi hasil karena jika kualitasnya tidak baik tentunya dapat merusak sampel dan
atau menurunkan kualitas yang ada.
2. Analitik
Analitik adalah tahap pengerjaan pengujian sampel sehingga diperoleh hasil pemeriksaan.
Spesimen yang tepat mengenai jenis dan volume sampel, alat sesuai standar, reagen yang
berkualitas, standar dan tidak kadaluarsa, giemsa yang digunakan pada proses pewarnaan
adalah giemsa yang sesuai standar, penggunaan air sesuai dengan standar, pemeriksaan sesuai
suhu, kalkulasi dan pelaporan yang tepat.
3. Pasca Analitik
Pre analitik ialah tahap akhir pemeriksaan yang dikeluarkan untuk meyakinkan bahwa
hasil pemeriksaan yang dikeluarkan benar – benar valid atau benar,meliputi :
1. Pencatatan hasil
2. Pelaporan hasil
3. Pengiriman hasil dari keluarnya hasil pemeriksaan, proses penyalinan hasil sampai
diberikan kepada pasien. ( Buletin PRODIA, 2007)

VI. Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis
pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk melihat
bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga pemeriksaan ini sering
dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien yang menderita suatu
penyakit infeksi.
Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter pemeriksaan, yaitu
1. Hemoglobin
2. Hematokrit
3. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
4. Trombosit (platelet)
5. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
6. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
7. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
8. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
9. Platelet Disribution Width (PDW)
10.Red Cell Distribution Width (RDW)
Pemeriksaan Darah Lengkap biasanya disarankan kepada setiap pasien yang datang ke
suatu Rumah Sakit yang disertai dengan suatu gejala klinis, dan jika didapatkan hasil yang
diluar nilai normal biasanya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik terhadap
gangguan tersebut, sehingga diagnosa dan terapi yang tepat bisa segera dilakukan. Lamanya
waktu yang dibutuhkan suatu laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ini berkisar
maksimal 2 jam.
Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai media
transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari
jaringan tubuh ke paru paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat
darah berwarna merah.
Dalam menentukan normal atau tidaknya kadar hemoglobin seseorang kita harus
memperhatikan faktor umur, walaupun hal ini berbeda-beda di tiap laboratorium klinik, yaitu:
• Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl • Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
• Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl • Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
• Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl • Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
• Anak anak : 11-13 gram/dl • Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl
Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan istilah anemia. Ada banyak
penyebab anemia diantaranya yang paling sering adalah perdarahan, kurang gizi, gangguan
sumsum tulang, pengobatan kemoterapi dan penyakit sistemik (kanker, lupus,dll).
Sedangkan kadar hemoglobin yang tinggi dapat dijumpai pada orang yang tinggal di
daerah dataran tinggi dan perokok. Beberapa penyakit seperti radang paru paru, tumor,
preeklampsi, hemokonsentrasi, dll.
Hematokrit
Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan banyaknya jumlah sel darah merah
dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam persent (%). Nilai normal hematokrit untuk pria
berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar 36,1% - 44,3%.
Seperti telah ditulis di atas, bahwa kadar hemoglobin berbanding lurus dengan kadar
hematokrit, sehingga peningkatan dan penurunan hematokrit terjadi pada penyakit-penyakit
yang sama.
Leukosit (White Blood Cell / WBC)
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi infeksi yang
disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll. Nilai normal leukosit
berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.
Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi virus,
penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit
infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal ginjal, dll
Trombosit (platelet)
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam proses
pembekuan darah dan menjaga integritas vaskuler. Beberapa kelainan dalam morfologi
trombosit antara lain giant platelet (trombosit besar) dan platelet clumping (trombosit
bergerombol). Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/ul darah.
Trombosit yang tinggi disebut trombositosis dan sebagian orang biasanya tidak ada
keluhan. Trombosit yang rendah disebut trombositopenia, ini bisa ditemukan pada kasus
demam berdarah (DBD), Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP), supresi sumsum tulang,
dll.
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen darah yang paling banyak, dan
berfungsi sebagai pengangkut / pembawa oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh
tubuh dan membawa kardondioksida dari seluruh tubuh ke paru-paru.
Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,7 juta - 6,1 juta sel/ul darah, sedangkan pada
wanita berkisar 4,2 juta - 5,4 juta sel/ul darah.Eritrosit yang tinggi bisa ditemukan pada kasus
hemokonsentrasi, PPOK (penyakit paru obstruksif kronik), gagal jantung kongestif, perokok,
preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit yang rendah bisa ditemukan pada anemia, leukemia,
hipertiroid, penyakit sistemik seperti kanker dan lupus, dll
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Biasanya digunakan untuk membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu kondisi di
mana ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang biasanya dipakai antara lain :
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER), yaitu volume
rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter (fl)
MCV = Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (HER), yaitu
banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan pikogram (pg)
MCH = Hemoglobin x 10
Eritrosit
Nilai normal = 27-31 pg
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau Konsentrasi Hemoglobin
Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang didapt per eritrosit, dinyatakan
dengan persen (%) (satuan yang lebih tepat adalah “gr/dl”)
MCHC = Hemoglobin x 100
Hematokrit
Nilai normal = 32-37 %
Laju Endap Darah
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah kecepatan
sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED
merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut,
infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid,
malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan).
International Commitee for Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan
untuk menggunakan metode Westergreen dalam pemeriksaan LED, hal ini dikarenakan
panjang pipet Westergreen bisa dua kali panjang pipet Wintrobe sehingga hasil LED yang
sangat tinggi masih terdeteksi. Nilai normal LED pada metode Westergreen : Laki-laki : 0 –
15 mm/jam Perempuan : 0 – 20.
Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai jenis leukosit.
Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki fungsi yang khusus dalam
melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil
hitung jenis leukosit memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses
penyakit. Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis
sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%)
dikalikan jumlah leukosit total dan hasilnya dinyatakan dalam sel/μl. Nilai normal : Eosinofil
1-3%, Netrofil 55-70%, Limfosit 20-40%, Monosit 2-8%
Platelet Disribution Width (PDW)
PDW merupakan koefisien variasi ukuran trombosit. Kadar PDW tinggi dapat ditemukan
pada sickle cell disease dan trombositosis, sedangkan kadar PDW yang rendah dapat
menunjukan trombosit yang mempunyai ukuran yang kecil.
Red Cell Distribution Width (RDW)
RDW merupakan koefisien variasi dari volume eritrosit. RDW yang tinggi dapat
mengindikasikan ukuran eritrosit yang heterogen, dan biasanya ditemukan pada anemia
defisiensi besi, defisiensi asam folat dan defisiensi vitamin B12, sedangkan jika didapat hasil
RDW yang rendah dapat menunjukan eritrosit yang mempunyai ukuran variasi yang kecil.
ANALISIS MASALAH
1. Apa saja parasit yang bisa masuk melalui kulit kaki?
Jawab:
Cacing tambang (Ancylostoma dan Necator americanus)

2. Apa dampak kekurangan asupan nutrisi pada kasus ini?


- Dampak terhadap system imun
Jawab:
Defisiensi gizi menyebabkan Daya tahan tubuh terhadap tekanan atau stress menurun.
System imunitas dan antibody berkurang, sehingga lebih mudah terserang infeksi.
Selenium merupakan antioksidan yang sanggup mencegah virus-virus berbahaya dan sel
penyebab kanker. Jika tubuh kekurangan mineral ini maka sistem imun menurun
efektivitasnya sehingga lebih mudah sakit dan beresiko besar menderita kanker.
Sumber selenium adalah jamur, bawang putih, kubis, wortel, lobak, brokoli, hati, kerang,
ikan tuna, salmon, dan daging unggas.
Sudah lama diketahui bahwa orang yang kekurangan gizi lebih berisiko terhadap penyakit
infeksi karena tanggapan kekebalannya tidak cukup. Infeksi kemudian mengarah pada
peradangan dan keadaan gizi yang memburuk, yang memperburuk sistem kekebalan. Ini
yang disebut ‘lingkaran setan.' Dampak dari penyakit infeksi tertentu, termasuk HIV dan
tuberkulosis (TB), dapat menjadi lebih buruk apabila orang yang terinfeksi kekurangan
gizi. Kekurangan gizi protein-kalori mempunyai dampak negatif yang bermakna terhadap
berbagai komponen sistem kekebalan. Penelitian menunjukkan penurunan fungsi organ
sistem kekebalan (timus, limpa, kelenjar getah bening) pada orang yang kekurangan gizi.
Cabang sistem kekebalan yang membuat antibodi melemah pada kasus malanutrisi,
terutama dengan menurunnya jumlah sel-B yang beredar dan tanggapan antibodi. Terkait
dengan cabang sistem kekebalan lain, orang yang kekurangan gizi menunjukkan
penurunan jumlah sel CD4 dan CD8, dan sel ini kurang mampu untuk menggandakan diri
atau menanggapi organisme yang menular seperti virus yang hidup dalam diri mereka.
Mekanisme lain yang membunuh organisme infeksi juga ditekan pada malanutrisi. Fungsi
sitokin, zat kimia yang berperan sebagai pembawa pesan sel, berubah pada orang yang
kekurangan gizi.Mengganti kalori dan protein adalah intervensi yang sulit namun penting
bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS untuk ditingkatkan seefektif seperti tanggapan
kekebalan untuk melawan infeksi oportunistik.
3. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
- Konjungtiva palpebra anemis
Jawab:
Pada kasus, Adi mengalami konjungtiva palpebra anemis dikarenakan cacing tambang
yang masuk ke dalam tubuhnya. Cacing tambang tersebut hidup di dalam rongga usus
halus dan menghisap darahnya. Pada hasil laboratorium juga menunjukkan kadar feritin
yang rendah. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Oleh karena itu, ada pemeriksaan
fisik ditemukan konjungtiva palpebra anemis.

4. Pada kondisi apa saja di temukan:


- Konjungtiva palpebra anemis
Jawab:
Pada kondisi anemia dapat ditemukan konjungtiva palpebra anemis.

5. Apa hubungan gambaran eritrosit diatas dengan kasus?


Jawab:
- Mikrositik
Mikrositik berarti ukuran eritrosit lebih kecil dari normal. Hal ini dapat disebabkan adanya
defek pada pembentukan hemoglobin. Biasanya khas ditemukan pada anemia defisiensi
besi dan thalasemia.
- Hipokrom
Hipokrom berarti warna eritrosit terlihat pucat. Dapat disebabkan:
Konsentrasi Hb : Kegagalan pembentukan heme pada anemia defisiensi Fe dan anemia
sideroblastik
Kegagalan pembentukan globin pada thalassemia
- Anisopoikilositosis
Anisositosis adalah variasi abnormal dalam ukuran eritrosit. Poikilositosis adalah bentuk
eritrosit yang bermacam-macam. Jadi, anisopoikilositosis adalah variasi abnormal ukuran
dan bentuk eritrosit.
- Chigar-shaped cell
Disebut juga sebagai Elliptocyte dan ovalocyte, yaitu seldarah merah yang berbentuk elips
atau lonjong. Biasanya terjadi pada elliptositosis herediter dan anemia defiseiensi besi.
- Pencil cell
Merupakan subtype dari cigar-shape cell. Memiliki bentuk elips dan oval juga.
Dari pemeriksaan darah tepi ditemukan anemia mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis,
chigar-shaped cell, dan pencil cell yang khas pada anemia mikrositik hipokrom.

6. Bagaimana cara pemeriksaan telur cacing tambang?


Jawab:
A. Pemeriksaan secara Kualitatif
1. Metode Natif (Direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat,
tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini
menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2%
dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran
disekitarnya.
2. Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang
didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati.
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara
kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung
dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam
tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma,
Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari family Taenidae, telur-
telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
3. Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing
Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan
Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan
telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama
kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat pada
ujung kantong plastik.
4. Metode Selotip
Metode ini digunakan untuk mengetahui adanya telur cacing Enterobius
vermicularis pada anak yang berumur 1 – 10 tahun.
B. Pemeriksaan secara Kuantitatif
1. Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik
Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong “cellahane tape”. Teknik ini
lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini
dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi
telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa.

Você também pode gostar