Você está na página 1de 11

ALIRAN KHAWARIJ; PEMIKIRAN DALAM ILMU KALAM DAN PENGARUHNYA

TERHADAP DUNIA ISLAM

A.Pendahuluan
Ilmu kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan
menjadi bagian dari tradisi kajian agama Islam. Ilmu kalam yang mengarahkan
pembahasannya kepada segi-segi mengenai ke-Tuhanan dan berbagai derivasinya.
Oleh karena itu, maka sering disebut sebagai ilmu Teologi. Sedangkan ketiga yang
lainnya adalah tasawuf, fiqih, dan filsafat. Jika ilmu fiqih membidangi segi-segi
formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik,
mengenai hal-hal lahiriah. Sedangkan ilmu tasawuf membidangi segi-segi
menghayati dan mengamalkan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga
tekanan orientasinya pun sangat bersifat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah.
Dan ilmu filsafat membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang
hidup ini dengan skope yang sangat luas.
Sebagai unsur yang sangat klasik dalam pemikiran keislaman, ilmu kalam
menempati posisi yang sangat terhormat dalam tradisi keilmuan kaum muslimin.
Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain kepada ilmu itu, yaitu: ilmu ‘aqa’id
(ilmu akidah-akidah), ilmu tauhid (ilmu tentang ke-Esaan Tuhan), dan ilmu ushul
ad-Din (ilmu pokok-pokok agama).
Tapi membicarakan tentang sejarah yang menggunakan pendekatan studi
fenomenologi (approach of phenomenology), yang menjadi arah pengkajiannya
lebih difokuskan pada pengalaman-pengalaman serta mengamati gejala-gejala
aktivitas manusia. Hal ini yang menyebabkan -bukan saja- pandangannya
diarahkan ke belakang, ke masa lalu yang telah terjadi, tetapi juga yang berkaitan
dengan studi teks (analysis of text) yang merupakan hasil rekontruksi para
sejarahwan. Jika kemampuan analistik tidak bisa dikedepankan, maka yang terjadi,
dari tulisan ini, adalah tak lebih hanya sebatas pengulangan (review) tulisan yang
pernah ditulis oleh orang lain (sejarahwan). Disinilah kesulitan yang dihadapi oleh
penulis dalam menjelaskan dan memaparkan tentang sejarah wa bi al-Husus aliran
dalam ilmu kalam.
Sama halnya dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain, ilmu kalam juga tumbuh dan
berkembang pada beberapa abad setelah wafat Nabi Saw. Tetapi lebih dari disiplin-
disiplin keilmuan Islam lainnya, ilmu kalam sangat erat terkait dengan skisme
dalam Islam. Oleh karena itu, dalam proses penelusurannya pun akan sampai pada
peristiwa pembunuhan Utsman Ibn Affan. Dimana peristiwa itu adalah suatu
peristiwa yang sangat menyedihkan dan menghebohkan dalam sejarah dunia
Islam. Oleh karena itu, peristiwan itu sering disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (the
biggest of slander). Dan dari sanalah pangkal timbulnya berbagai permasalah
dalam dunia Islam, khususnya bidang politik, sosial, dan paham keagamaan.
Termasuk juga ilmu kalam, pertama kali munculnya pada saat terjadinya peristiwa
tersebut.
B. Latar Belakang Timbulnya Aliran Khawarij
Dalam dunia Islam, persoalan yang pertama kali muncul adalah dalam bidang
politik (the first of conflict) dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi seiring dengan
perkembangan zaman, persoalan politik tersebut menyebar dan meningkat menjadi
persoalan teologi (kalam). Petumbuhan dan perkembangan pemikiran kalam itu
sendiri adalah tumbuh dikalangan kaum muslimin yang ditandai dengan munculnya
kelompok (aliran) Khawarij.
Aliran Khawarij diberikan kepada golongan yang keluar dari jama’ah Ali, di waktu
Ali menerima tahkim (arbitrase) dari Mu’awiyah dalam pertempuran Shiffin. Nama
tersebut berasal dari kata kharaja yang berarti ke luar. Dan nama itu juga
didasarkan pada QS. al-Nisa: 100, yaitu: “Ke luar dari rumah lari kepada Allah dan
Rosul-Nya”. Mereka juga dinamakan dengan sebutan Syurah, karena mereka
menganggap bahwasanya diri mereka telah mereka jual kepada Allah. Mereka
dinamakan juga dengan Haruriyah, karena mereka pergi berlindung ke suatu kota
kecil dekat Kuffah yang bernama Harura. Mereka dinamakan dengan Muhakkimah,
karena mereka selalu menggunakan semboyan “La hukma illa lillah”.
Aliran Khawarij muncul ketika terjadinya perselisihan antara Muawiyah bin Abi
Sufyan yang masih menjabat sebagai gubernur Syiria (Damaskus) pada saat
khalifah Utsman bin Affan dengan Ali bin Abi Thalib yang menajdi khalifah ke-4,
sebagai pengganti khalifah Utsman. Namun ketika Ali menjabat sebagai khalifah
Mu’awiyah dipecat dari jabatanya dengan alasan stabilitas politik yang diterapkan
oleh Ali pada awal pemerintahannya. Walaupun sebelumnya Ali sudah diberi tahu
oleh Mughirah ibnu Syu’bah dan Abdullah ibnu Abbas, agar tidak memecat jabatan
Mu’awiyah sebab bisa membahayakan pemerinyahannya. Namun Ali tetap
bersikeras untuk memecatnya.
Kelompok Khawarij pada awalnya adalah bagian dari pasukan Ali bin Abi Thalib
dalam memerangi pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah. Namun ketika
terjadi tahkim (arbitrase), pasukan tersebut keluar dari Ali. Dalam bukunya Amir
al-Najjar (1994) dinyatakan bahwa akibat dari arbitrase tersebut menimbulkan
perpecahan di pihak Ali, dengan munculnya Khawarij sebagai lawan Syi’ah yang
mendukung keputusan Ali untuk menerima tawaran damai itu.
Pertempuran tersebut mencapai puncaknya dengan pecahnya perang Shiffin pada
bulan shafar tahun 37 H. Ketika akan kalah Mu’awiyah menyuruh tentaranya
supaya mengangkat mushaf dan meminta supaya menyerahkan masalah
peperangan ini kepada keputusan al-Quran. Oleh karena itu, kedua kelompok yang
bertikai tersebut pada akhirya sepakat untuk mengadakan perundingan, dan
keduanya juga sepakat untuk kembali ke Kitabullah. Walaupun pada awalnya Ali
menampik tawaran mereka, sebab beliau mengetahui bahwasanya Mu’awiyah dan
kawan-kawannya sangat pandai dalam memperdaya lawan. Karena adanya
paksaan dan desakan dari pengikut-pengikutnya, maka Ali pun menerima untuk
tahkim dengan pihak Mu’awiyah. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan
pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amr ibn Ash. Mereka berkumpul di Daumatul Jandal
dalam bulan Ramadlan. Dalam perundingan itu terjadi pengelabuan yang dilakukan
oleh Amr ibn Ash terhadap Abu Musa al-Asy’ari.
Sesudah selesai urusan tahkim, Ali kembali ke Kuffah beserta para tentaranya. Dari
tentaranya tersebut ada yang menyetujui tahkim dan ada pula yang tidak. Setelah
sampai di Kuffah ada sebagian orang –sebanyak 12 orang, dari tentaranya pergi
berlindung di Harura dan menyusun barisan. Dan dari kejadian itu menimbulkan
krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan sekolompok kaum muslimin yang
kebanyakan berasal dari Bani Tamim. Mereka kemudian menyatakan ketidakpuasan
terhadap proses dan hasil perundingan dengan menyatakan: “Laa hukma illallah”.
Ali pun memberikan komentar dengan ucapannya yang masyhur: “Kata-kata haq
yang dimaksudkan bahtil; sungguh mereka tidak ingin adanya pemimpin, dan harus
ada pemimpin yang baik ataupun yang jahat”.
Sekelompok orang yang membangkang tadi berkumpul menuju Haruraa’, suatu
tempat yang tidak jauh dari Kuffah, sehingga Ali menyusul mereka dengan maksud
untuk meluruskan mereka dan kembali kepadanya dalam satu barisan. Akhirnya
mereka pun kembali ke Kuffah, namun kesadaran itu tidak lama mengendap dalam
hati mereka, sehingga mereka kembali lagi kepada pemikiran semula karena Ali,
dalam pandangan mereka, Ali telah melepaskan tampuk pimpinan. Kemudian Ali
mengutus Abdullah ibnu Abbas untuk menyadarkan mereka kembali, agar tidak
terjadi fitnah yang lebih besar lagi dalam tubuh umat Islam. Namun mereka masih
tetap dalam pendirian mereka dan bahkan mereka ingin ke luar dari kelompok Ali.
Konon kaum yang membelot ke Harura itu berjumlah 12.000 orang. Mereka
mengangkat Abdullah ibnu al-Kawa’ al-Yasykari dan Syabt ibnu Rabi’ sebagai
pimpinan. Tetapi setelah Ali berdialog dengan mereka, Abdullah ibnu al-Kawa’
bersama 1000 orang pengikutnya bergabung kembali dengan barisan Ali.
Selebihnya pergi ke Nahrawan dang akhirnya mereka membai’at Abdullah bin Wahb
ar-Rasibi dan Harqus ibn Zubair al-Jabali sebagai pimpinan mereka. Namun sekali
lagi Ali melakukan dialog dengan mereka dan berhasil menyadarkan mereka. Dan
sisanya sebanyak 4000 orang termasuk Abdullah menolak untuk bergabung dengan
Ali. Mereka akhirnya diperangi dan hampir semuanya terbunuh termasuk ar-Rasibi.
Sisanya lari berpencar dan berhasil mengembangkan paham Khawarij sampai
dinasti Abbasiyah.
Tentang sikap ekstrim dan puritan yang kemudian lebih dikenal menjadi ciri utama
Khawarij itu, umumnya para sejarahwan menyatakan bah€wa watak keras itu lebih
disebabkan karena latar belakang kehidupan yang berasal dari Arab Badawi
(pegunungan). Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat
sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan
bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Sebagai orang Badawi
mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ajaran-ajaran Islam,
baik al-Quran maupun as-Sunnah, mereka artikan menurut lafaznya saja dan harus
dilaksanakan sepenuhnya .
Dan bahkan M. Abu Zahra menyatakan bahwa mereka itu umumnya Arab
pegunungan yang ceroboh dan tidak begitu cinta pada ilmu. Namun Abu Zahra
menyatakan pula bahwa sebenarnya mereka banyak yang ikhlas dalam beragama,
tetapi keikhlasan mereka itu dibarengi dengan kesempitan berfikir yang hanya
tertuju pada satu arah tertentu saja.
Pendapat di atas bertolak belakang dengan fakta sejarah yang ada, sehingga perlu
adanya penjelasan lagi. Sebagai contoh misalnya, sikap penentangan kaum
Khawarij terhadap Ali maupun Mu’awiyah. Sikap tersebut, penulis fikir, merupakan
bukan sebagai suatu atas kedangkalan akan pola berfikirnya kaum Khawarij. Akan
tetapi sikap liberalis, bebas untuk mengungkapkan sesuatu dan bahkan dan
menentang sekalipun, biasanya terdapat pada diri orang-orang yang berfikir, bukan
sebaliknya. Dan, bisa juga, dengan apa yang dilakukan oleh kaum Khawarij
tersebut itu adalah bagian dari tindakan yang logis, akibat reaksi keras, dalam
prespektif kaum Khawarij, terhadap konprontasi (tahkim) yang dilakukan oleh
pihak Ali dan Mu’awiyah.
Memang benar bahwa kaum Khawarij, pada umumnya, dari Arab pegunungan yang
berfikiran dangkal, namun hal ini barangkali terjadi di tingkat pengikutnya saja.
Sementara di tingkat elitnya adalah orang-orang yang berfikiran maju sehingga
mereka berani berbeda dan menentang pimpinan mereka sendiri. Bahkan Ali sendiri
sangat bersimpatik terhadap mereka, sehingga beliau berpesan kepada
pengikutnya (Syi’ah) “Janganlah kalian memerangi Khawarij sesudah aku mati.
Tidaklah sama orang yang mencari kebenaran kemudian ia salah, dengan orang
yang mencari kabathilan lalu ia dapatkan”.
Dengan demikian kaum Khawarij adalah kelompok pertama yang muncul dalam
pergumulan pemikiran Islam, meskipun mereka berada dalam posisi sebagai
oposan (kaum oposisi). Dan bahkan dianggap sebagai kaum terorisme atau
pembangkang (bughat) terhadap kekuasaan dan pemerintahan yang sah. Namun
mereka mempunyai perana yang besar dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Yang
paling menonjol adalah peranan mereka dalam memberikan stimulan bagi
pertumbuhan dan perkembangan pemikiran-pemikiran baru dan telaah-telaah
mendalam terhadap konsep-konsep aqidah dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Hal
ini pada gilirannya menimbulkan aliran-aliran kalam, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah,
dan sebagainya.
C. Kelompok dan Doktrin Aliran Khawarij
Menelusuri doktrin-doktrin Khawarij dan aliran-aliran masa awal, tampaknya harus
dimulai dengan mengungkapkan perkembangan yang terjadi dalam aliran-aliran
dan isi pokok doktrinya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa penulis,
bahwa dalam aliran Khawarij telah terpecah ke dalam beberapa aliran atau
kelompok. Menurut al-Syahrastani yang dikutip dari bukunya Harun Nasution
mengatakan bahwa Khawarij terpecah ke-18 golongan dan menurut al-Baghadadi
20 sub sekte. Diantaranya yang paling terkenal adalah sebagai berikut:
Pertama, Golongan al-Muhakkimah al-Ula. Adalah aliran Khawarij yang pertama
dan asal mulanya merupakan pengikut Ali, disebut demikian karena ketika menolak
tahkim, mereka menyatakan :”Laa hukma illa lillah” (tiada hukum di luar hukum
Allah). Berdasarkan ajaran ini mereka menyalahkan dan bahkan mengkafirkan
semua orang –termasuk Ali, Mu’awiyah, ke dua pengantara, yaitu ‘Amr ibn Ash dan
Abu Musa al-Asy’ari-- yang terlibat dalam peristiwa arbitrase tersebut. Ajaran
tentang pengkafiran ini, pada akhirnya meluas terhadap setiap pelaku dosa besar
yang dilakukan oleh seorang muslim, misalnya zina, membunuh, dan lain
sebagainya dan pelakunya dipandang sebagai seorang kafir.
Dalam bidang politik, aliran inilah yang mempelopori kebebasan mementukan dan
memilih sesuatu (demokrasi), khususnya dalam menentukan pemimpinnya, yakni
tidak harus dari bangsawan Arab Quraisy –bahkan bukan hanya orang Arab dan
bahkan budak sekalipun, tetapi saja yang sanggup asal orang Islam . Khalifah yang
terpilih harus terus memegang jabatannya selama bersikap adil dan menjalankan
syari’at Islam. Tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia wajib
dijatuhkan atau dibunuh.
Kedua, Golongan al-Azariqah. Adalah aliran Khawarij yang paling ekstrim yang
dipimpin oleh Abi Rasyid Nafi ibn al-Azraq, yang terbunuh 60 H dalam pertempuran
dengan pasukan Abdullah ibn Zubair di Uhqaz (Irak) dan alirannya dihancurkan
oleh bani Umayah di zaman al-Hajjaj. Golongan ini adalah golongan yang terkuat
dan memiliki banyak pengikutnya. Golongan ini mempunyai daerah kekuasaan
yang terletak di perbatasan Irak dan Iran dengan pengikutnya sekitar 20 ribu
orang.
Adapun ajaranya yang paling menonjol adalah pelaku dosa besar itu bukan saja
kafir, tetapi juga musyrik (polytheist) dan dalam Islam syirk dan polytheisme
merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr, musyrik itu dosa tak
terampuni. Sebagaimana dalam QS. al-Nisa: 48, makanya wajib untuk diperangi.
Dan yang tidak sepaham dengan mereka dipandang pula sebagai seorang yang
musyrik (daru al-Syirki). Bahkan orang Islam yang sefaham denganya pun kalau
tidak mau berhijrah ke dalam lingkungannya, maka disebut juga musyrik. Maka
mereka mewajibkan bagi anggota barunya untuk membunuh tawanan yang sesuku
dengannya, jika ingin diterima sebagai anggota al-Azariqah.
Mereka memandang tidak wajib adanya hukum rajam bagi pezina karena al-Quran
hanya menyuruh setiap pezina dicambuk saja. Demikian juga mereka mewajibkan
hukum had atas orang yang menuduh wanita muhshanah berzina, tidak dikenakan
hukuman had atas penuduh yang menuduh laki-laki yang muhshan.
Kesimpulannya, teologi mereka sangat puritan dan ekstrim yang membenarkan
terorisme dan pembunuhan. Bagi mereka kebenaran adalah milik mereka sendiri
dan yang lainnya adalah salah.
Ketiga, Golongan al-Najdah. Aliran ini dinisbatkan kepada pemimpinya, yaitu
Najdah ibn Amir al-Hanafi dari Yamamah, yang membelot dari aliran Azariqah
karena tidak sepaham dengan ajarannya. Diantaranya tentang orang yang tidak
berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqoh adalah musyrik dan boleh membunuh
dan halal dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tidak sefaham dengan al-
Azariqoh.
Ajaran dalam aliran ini yang paling menonjol adalah jika aliran yang lain tidak
memandang ijtihad sebagai sumber hukum Islam, seperti tidak wajin merajam
pezina karena tidak ada ayat yang menyebutkan demikian, maka Nadjah
sebaliknya. Dalam hal perbuatan dosa, mereka beranggapan bahwa orang yang
melakukan dosa kecil secara terus menerus pun adalah musyrik. Tetapi jika orang
Najdah yang melakukan dosa besar namun tidak terus menerus tidaklah
merupakan syirik, dan darah ahlul ahdi wadzdzimmah di dalam darut taqiyah, halal
ditumpahkan.
Dalam bidang politik Najdah berpendapat bahwa adanya imam perlu, hanya jika
maslahat menghendaki yang demikian. Dalam arti bahwa seorang imam boleh
untuk diangkat demi mewujudkan kerukunan dalam masyarakat. Dalam hal ini
mereka sebenarnya dekat ajaran komunisme yang menyatakan bahwa negara akan
hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis.
Keempat, Golongan al-Ajaridah. Aliran ini merupakan aliran pecahan dari Najdah,
yang tidak termasuk moderat (lunak). Sehingga mereka tidak mewajibkan umat
Islam harus berhijrah ke wilayah yang dikuasai mereka, seperti halnya aliran
Najdah dan Azariqah. Bagi mereka berhijrah atau menjadi pengikut aliran mereka
hanya merupakan sikap kebajikan (fadhilah) bukan suatu kewajiban, sehingga bagi
anggota ini boleh tidak tinggal di wilayah mereka dengan tanpa dicap kafir.
Pendapat aliran ini yang agak radikal adalah pengingkaran mereka terhadap surat
Yusuf, sebagai bagian dari al-Quran. Sebagai kita suci, al-Quran, tidak wajar dan
tidak mungkin mengandung love story. Yaitu surat Yusuf yang berisi kisah cinta, itu
tidak mungkin merupakan bagian dari al-Quran. Diantara aliran ini ada aliran al-
Maimunah, yang menyatakan paham semua perbuatan manusia, baik atau buruk,
timbul dari dan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Yang kemudian dikenal dengan
aliran Qodariyah.
Kelima, Golonga al-Sufriah. Golongan ini adalah pengikut Abdullah ibnu Saffar.
Mereka dinamakan demikian, karena wajah mereka pucat lantaran banyak
beribadah malam. Dalam hal pemikirannya, mereka hampir sama dengan golongan
al-Azariqoh. Oleh karena itu, golongan ini juga termasuk kepada golongan yang
ekstrim. Tapi ada hal-hal yang membuat golongan ini kurang ekstrim, diantaranya
adalah terhadap orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir. Orang
yang disebut dengan kafir adalah orang yang berbuat dosa yang tidak disanksi di
dunia, yaitu orang yang meninggalkan shalat dan puasa dan juga orang yang kufr
bin inkar al-Ni’mah (mengingkari rahmat Tuhan) dan kufr bi inkar al-Rububiah
(mengingkari Tuhan). Jadi term kafir tidak selamanya dibuat untuk orang yang ke
luar dari Islam saja.
Keenam, Golongan al-Ibadliyah. Nama aliran ini dinisbatkan kepada kata Ibadh,
nama sebuah kampung yang terletak di dekat Yamamah. Pendirinya adalah
Abdullah ibn Ibadh al-Maqaisi.
Doktrin keagamaannya yang paling moderat, bila dibandingkan aliran-aliran yang
lainnya, misalnya mereka menyatakan bahwa orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka bukanlah musyrik dan bukan mukmin, tetapi kafir. Oleh karena itu,
syahadat mereka dapat diterima, darah mereka haram ditumpahkan, dan boleh
melakukan perkawinan di luar wilayah Ibadhiyah. Orang yang berbuat dosa besar
tidak bisa disebut mukmin, karena tidak menyempurnakan makana iman, atau
kafir, karena pada mereka ada dasar tauhid, tetapi termasuk Muwahid (yang meng-
Esakan Tuhan). Jika dikategorikan kafir hanya sebagai kufur nikmat, bukan kafir
millah, yakni tetap dipandang sebagai muslim.
Mereka juga tidak berkenyakinan dapat melihat Allah di akhirat, berdasarkan
ayat:”Laatudrikuhu al-Absar”, sehingga beberapa masalah yang berkaitan dengan
persoalan akhirat mereka ta’wilkan secara majazi –sesuai dengan teologi--, seperti
kata mizan dan shirat. Mereka berpendapat, tidak ada satu manzilah diantara iman
dan kafir. Keduanya bertentangan secara diamental, seperti antara hidup dan mati,
bergerak dan diam. Mereka berpendapat, seseorang yang tidak keluar dari
keimanan kecuali kalau ia kafir. Karena itu, seseorang tidak beriman, maka pasti
dia itu kafir, berdasarkan ayat :”Imma syakiran wa imma kafuran”.
D. Akidah-akidah Aliran Khawarij
Setelah menjelaskan dan mengetahui beberapa golongan yang ada dalam lingkup
aliran Khawarij, ternyata diantara mereka ada yang memiliki kesamaan presepsi
dalam hal akidahnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Khilafah atau kepemimpinan negara tertinggi bukanlah hak orang-orang tertentu,
tetapi harus diadakan lewat pemilihan langsung oleh umat Islam. Apabila khalifah
menyimpang dari kebenaran, wajiblah dipecat dan dibunuh.
Dari sinilah maka kalau kita telaah bahwa yang namanya negara demokratis,
pemilihan langsung, itu sudah ada sejak zaman dulu. Dan pemikiran tentang kultur
–negara demokratis, itu bukan berasal dari negara-nagara Barat, melainkan berasal
dari negara Islam (Timur). Jadi amat salah sekali, ada sebagian orang, yang
berpendapat bahwa negara domokratis tidak sesuai dengan ajaran agama Islam
atau dengan kata lain bukan ciri khas (bagian) dari negara Islam.
2.Mengerjakan shalat, berpuasa, berhaji, dan ibadah-ibadah yang lain, serta
menjauhi segala yang dilarang adalah bagian dari iman. Orang yang tidak
melaksanakan ibadah itu dan tidak menjauhi larangan, tidak dinamakan mukmin,
namun dinamakan fasik.
E. Metode Pemikiran Aliran Khawarij
Untuk mengamati tentang perkembangan pemikiran, khususnya kelompok
Khawarij, tertumpu pada dua teori, yaitu: tekstual dan kontekstual, ketika
memahami teks-teks ajaran agama Islam, baik yang ada dalam al-Quran maupun
as-Sunnah. Pendekatan konstektual (contextual approach) tampaknya digunakan
untuk menta’wil pertanyaan-pertanyaan yang secara zhahir bertentangan dengan
teologi yang dianutnya. Namun, pada umumnya, kaum Khawarij dalam memahami
ayat atau hadits lebih menitikberatkan pada pendekatan tekstual (textual
approach). Sebagai contoh misalkan; ketika berhadapan dengan ayat tentang
kewajiban melaksanakan haji:
”…... Melaksanakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari alam semesta”.

Khawarij menetapkan bahwa orang yang meninggalkan haji menjadi kafir. Karena
meninggalkan haji adalah dosa besar, maka yang berdosa telah menjadi kafir.
Firman Allah:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang Diturunkan oleh Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang kafir”.
Semua orang yang berdosa telah memutuskan hukum untuk dirinya dengan
landasan yang bukan wahyu. Karena itu ia menjadi kafir. Ayat ini disebutkan Allah
beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya :”Banyak muka pada hari itu berseri-
seri, tertawa dan bergembira ria. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup
debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi
durhaka”.
Wajah orang yang fasik (pelaku dosa) akan berdebu, tentunya karena
kekafirannya. Ayat itu diantaranya “… akan tetapi orang-orang yang zalim itu
mengingkari ayat-ayat Allah” .
Dari ayat di atas menyatakan bahwa kezaliman adalah keingkaran dan kekafiran,
sementara pelaku dosa sudah pasti orang zalim.
Semua dalil di atas dipahami dalam bentuk makna dhahir (textual) ayat. Padahal
kebanyakan ayat itu menjelaskan peristiwa tentang Musyrik Mekkah, sehingga
sifat-sifat yang digambarkan adalah ditujukan kepada mereka. Di dalam dalil
pertama, kekafiran bukanlah sifat dari orang yang tidak melaksanakan haji, tetapi
orang yang mengingkari kewajiban haji. Karena Khawarij berpegang kepada makna
zhahir nash, maka pemahamannya pun menjadi kurang tepat.
F.Aliran Khawarij sebagai Bibit Gerakan Radikalisme Islam
Sebenarnya radikalisme terjadi di semua agama di dunia. Dalam setiap agama
selalu terdapat kelompok minoritas, militan, ekstrem dan radikal. Sedangkan dalam
Islam, gejala kemunculan radikalisme telah disinyalir semenjak Rasulullah saw
masih hidup.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, dikisahkan ketika Rasulullah
saw membagi fai' (harta rampasan perang) di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-
tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah (bani Tamim) melayangkan
protes kepada Nabi Muhammad saw dengan mengatakan, "Bersikaplah adil wahai
Muhammad" Nabi Muhammad menjawab, "Celaka kamu, tidak ada orang yang
lebih adil dari aku, karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah”.
Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhammad saw bersabda, Sayakunu ba'di
min ummati qaumun yaqra'unal Quran, laa yujawwizu halaaqii-mahum, hum
syarrul khalq wal khaliiqah" (Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari
umatku yang membaca Alquran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka
itu sejelek-jeleknya makhluk).
Hadis sahih di atas kemudian terbukti pasca-Nabi Muhammad saw seperempat
abad kemudian. Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh secara mengenaskan
oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada
masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari
umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa
politis, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang
dikenal dengan paham Khawarij. Pada saat khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup,
kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir khalifah Ali bin Abi Thalib
dengan dasar kesalahan beliau dalam arbitrase. Karena bagi Khawarij, laa hukma
illa Allah, arbitrase itu hanya dari Allah.
Kaum Khawarij, memang, telah punah, tetapi gagasan-gagasan dan pandangan-
pandangannya masih tetap eksis hingga saat ini. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh seorang tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), yaitu Ulil Abshar Abdala yang
menyatakan bahwa aksi teror yang dilakukan oleh sebagian umat Islam sebagai
gejala munculnya Khawarij modern. Dulu, di zaman klasik, ada kelompok Khawarij
yang begitu radikal dan mudah sekali mengkafirkan musuh-musuhnya. Kelompok-
kelompok Islam modern yang memakai pendekatan teroretis adalah Khawarij
modern. Orang-orang yang melakukan pemboman di Bali, hotel JW Marriot dan
bom Kuningan adalah orang-orang yang semata-mata “marah” pada orang-orang
yang mereka anggap sebagai “musuh Islam”. Mereka mempunyai tafsiran
keagamaan yang radikal, bahkan mereka adalah orang-orang yang secara ibadah
agama sangat shaleh. Tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Sa’duddin Ibrahim,
mereka ini lebih banyak membahayakan Islam ketimbang membawa manfaat.
Mereka, dengan tafsirannya itu, telah mengubah citra Islam dari agama
perdamaian (rahmatan lil’alamin), menjadi agama teror, persis seperti orang-orang
Khawarij di zaman klasik dulu.
Maka gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini memang harus
diakui eksistensinya. Mereka sebenarnya terpengaruh pola-pola Khawarij pada
masa umat Islam periode awal. Kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya
menggelisahkan kalangan nonmuslim, tetapi umat Islam pun terkena dampaknya.
Karenanya, menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam untuk meluruskan
pemahaman mereka atas agama Islam. Sikap mereka yang ingin menempuh jalan
apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya merupakan
cuatan dari pemahaman mereka yang sathiyyah (setengah-setengah), rigid dan
belum tuntas terhadap ajaran Islam.
G.Pengaruh Perkembangan Aliran Khawarij terhadap Pemikiran Dunia Islam
Diakui atau tidak atas kebenaran gerakan politik kaum Khawarij dan aliran pada
masa awal yang telah memposisikan dari sebagai gerakan oposan (oposisi)
terhadap pemerintahan yang sah, maupun gerakan keagamaannya yang
memunculkan nuansa teologi di kalangan umat Islam masa awal. Mereka telah
memberikan konstribusi penting bagi cara berpikir (rethinking) umat Islam sesudah
mereka maupun sekarang, dalam meyelesaikan berbagai masalah agama maupun
umat Islam itu sendiri. Yang terpenting dari itu semua adalah konstribusinya di
bidang pemikiran dunia Islam (the most important contributions to muslim thinking
on religious matters) .
Demikian penegasan William M. Watt bahwa aliran Khawarij dan aliran masa awal
telah berjasa bagi pemikiran Islam yang lebih mendasar, karena mereka
berpandangan bahwa keputusan-keputusan praktis harus didasarkan pada prinsip-
prinsip al-Quran. Namun kemudian, para penulis muslim mempermasalahkan
paham keagamaan para penganut aliran itu. Demikian nampaknya mereka tidak
berfikir bahwa aliran-aliran itu telah memberikan konstribusi positif bagi
perkembangan pemikiran di dunia Islam.
Oleh karena itu, jika kita perhatikan pendapatnya William M. Watt tampak bertolak
belakang dengan para penulis sebelumnya yang memberikan tanggapan yang baik
terhadap kaum Khawarij baik dari prespektif ajaran maupun gerakan politik.
Padahal –diakui atau tidak- kaum Khawarij telah memberikan konstribusi
pemikirannya terhadap kebebasan untuk mengekspresikan sikap dan
kenyakinannya sekalipun menentang tradisi yang telah mapan yang diikuti oleh
kebanyakan umat Islam. Hal ini hampir sama dengan apa yang diinginkan oleh
kelompok JIL, JIL menghendaki bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam
keadaan bebas. Dan kebabasan adalah anugerah terpenting yang diberikan Tuhan
kepada manusia. Kebabasan berpendapat, selain itu, juga merupakan hak individu
yang tak seorang pun berhak mencegahnya. Bahkan --dalam sebuah ayat al-
Qur’an-- Tuhan pun tak mampu mencegah makhluknya untuk berpendapat (QS. al-
Baqarah, 2: 30). Kebebasan berpikir adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah
masyarakat. Masyarakat yang terkekang dan tak boleh mengemukakan
pendapatnya, adalah masyarakat mandek yang tak memiliki masa depan.
H. Penutup
Dari paparan di atas dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa:
1.Aliran Khawarij adalah sebagai sebuah pelopor dan pendobrak akan kefakuman
dalam hal berfikir umat Islam. Selama itu umat Islam, hanya bersifat sami’na wa
atha’na, baik masalah teologi maupun politik, tapi kaum Khawarij mengawali untuk
membuka pintu demokratis di kalangan umat Islam. Walaupun mereka sangat
ekstrim, tapi itu adalah sebagai sebuah tanggung jawab (sense of belong) terhadap
kemurnian akan keimanan umat Islam.
2.Walaupun disinyalir bahwa aliran/kaum Khawarij ini telah tiada (musnah), tapi
ajaran-ajaran dan doktrinnya masih tetap eksis dan dipakai oleh sekelompok umat
Islam sekarang ini, dengan sebuta Khawarij modern. Ini terbukti dengan julukan,
yang diberikan kepada umat Islam sekarang-sekaran ini, yaitu Islam teroris.
Karena di media masa maupun elektronik, hampir semua, pelaku terorisme adalah
orang-orang yang memeluk dan mengaku beragama Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Qohir al-Bagdadi


1973 al-Farq bain al-Firaq wa Bayan al-Firqatin Najiah Minhu. Bairut.
Afif Muhammad
2005 Pelangi Islam I; Ragam Corak Pemahaman Islam. Khazanah Intelektual.
Bandung.
Amir al-Najjar
1994 Aliran Khawarij; Mengungkap Akar Perselisihan Umat. Terj. Shalihin Rasyidi
dan Afif Muhammad. Lentera. Jakarta.
Ali Musthafa al-Ghurabi
tt. Tarikh al-Firoq al-Islamiyah wa Nasy Ilmu Kalam Inda al-Muslimun.Kairo.
Depag RI
2004 Al-'Aliyy Al-Quran dan Terjema'ahnya, Diponegoro, Bandung
Harun Nasution
1989 Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. UI Press. Jakarta.
____________
1986 Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jilid I-II. UI-Press. Jakarta.
Muhammad Abu Zahra
1996 Aliran Politik dan Akidah dalam Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan A.
Qarib. Logos. Jakarta.
Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah
1994 Islam Tidak Bermazhab. Terj. A.M. Basalamah. Gema Insani Press. Jakarta.
Mongomery M. Watt
1988 Islamic Fondamentalism and Modernity. Routletge. London and New York.
Nurcholis Madjid
2000 Islam Dokrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Paramadina. Jakarta
Tengku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy
1999 Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Pustaka Rizky Putra. Semarang.
www.islamlib.com

Link: http://www.nurhamzah.co.cc/2009/04/aliran-khawarij-pemikiran-dalam-ilmu.html

Você também pode gostar