Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1. Lebih mengkomunikasikan dengan para karyawan tentang perhatian dan tujuan yang
terkait dengan kesehatan
2. Mengimplementasikan program promosi kesehatan untuk membuat pemahaman di
tempat kerja
3. Membuat komitmen tetap untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan karyawan.
4. Kolaborasi Masyarakat
Mengatur pembicara yang berhubungan dengan kesehatan atau group diskusi pada
jam makan siang
Meminta restauran sekitar untuk memasak dengan rendah lemak
Mendanai kegiatan masayarakat dan mendorong keikutsertaan karyawan dan
keluarganya
Mengadakan lomba untuk anak karyawan membuat poster untuk promosi kesehatan
Mendanai program sekolah/taman/rekreasi untuk kesehatan
Dapatkan pemasok alat kesehatan untuk mendanai Lomba di perusahaan
Keadaaan gizi
Terkait erat dengan ”gisi kesehatan masyarakat” adalah ”kesehatan gizi masyarakat,” yang
mengacu pada cabang populasi terfokus kesehatan masyarakat yang memantau diet, status
gizi dan kesehatan, dan program pangan dan gizi, dan memberikan peran kepemimpinan
dalam menerapkan publik kesehatan prinsip-prinsip untuk kegiatan yang mengarah pada
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pengembangan kebijakan dan
perubahan lingkungan.
Definisi Gizi kesehatan masyarakat merupakan penyulingan kompetensi untuk gizi kesehatan
masyarakat yang disarankan oleh para pemimpin nasional dan internasional dilapangan.
Gizi istilah dalam kesehatan masyarakat mengacu pada gizi sebagai komponen dari cabang
kesehatan masyarakat , ”gizi dan kesehatan masyarakat” berkonotasi koeksistensi gizi dan
kesehatan masyarakat, dan gizi masyarakat mengacu pada cabang kesehatan masyarakat yang
berfokus pada promosi kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat dengan menyediakan
layanan berkualitas dan program-program berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan
kebutuhan yang unik dari komunitas yang berbeda dan populasi. Gizi masyarakat meliputi
program promosi kesehatan, inisiatif kebijakan dan legislatif, pencegahan primer dan
sekunder, dan kesehatan di seluruh rentang hidup
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau
dapat dikatakan bahwa status gizi merupakan indikator baik-buruknya penyediaan makanan
sehari-hari. Adapun definisi lain menurut Suyatno, Ir. Mkes, Status gizi yaitu Keadaan yang
diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan (“intake”) zat gizi dan jumlah
yang dibutuhkan (“requirement”) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: (pertumbuhan
fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya). Status gizi yang baik
diperlukan untuk mempertahankan derajat kebugaran dan kesehatan, membantu pertumbuhan
bagi anak, serta menunjang pembinaan prestasi olahragawan. Status gizi ini menjadi penting
karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan atau kematian. Status
gizi yang baik pada seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap
kemampuan dalam proses pemulihan kesehatan. Status gizi juga dibutuhkan untuk
mengetahui ada atau tidaknya malnutrisi pada individu maupun masyarakat. Dengan
demikian, status gizi dapat dibedakan menjadi gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih.
ü Faktor Lingkungan
Lingkungan yang buruk seperti air minum yang tidak bersih, tidak adanya saluran
penampungan air limbah, tidak menggunakan kloset yang baik, juga kepadatan penduduk
yang tinggi dapat menyebabkan penyebaran kuman patogen.
Lingkungan yang mempunyai iklim tertentu berhubungan dengan jenis tumbuhan yang dapat
hidup sehingga berhubungan dengan produksi tanaman.
ü Faktor Ekonomi
Di banyak negara yang secara ekonomis kurang berkembang, sebagian besar penduduknya
berukuran lebih pendek karena gizi yang tidak mencukupi dan pada umunya masyarakat yang
berpenghasilan rendah mempunyai ukuran badan yang lebih kecil.
Masalah gizi di negara-negara miskin yang berhubungan dengan pangan adalah mengenai
kuantitas dan kualitas. Kuantitas menunjukkan penyediaan pangan yang tidak mencukupi
kebutuhan energi bagi tubuh. Kualitas berhubungan dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi
khusus yang diperlukan untuk petumbuhan, perbaikan jaringan, dan pemeliharaan tubuh
dengan segala fungsinya.
ü Faktor Sosial-Budaya
Indikator masalah gizi dari sudut pandang sosial-budaya antara lain stabilitas keluarga
dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di lingkungan
keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit gizi kurang. Juga indikator
demografi yang meliputi susunan dan pola kegiatan penduduk, seperti peningkatan jumlah
penduduk, tingkat urbanisasi, jumlah anggota keluarga, serta jarak kelahiran.
Tingkat pendidikan juga termasuk dalam faktor ini. Tingkat pendidikan berhubungan dengan
status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan seseorang, kemungkinan akan
meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli makanan.
ü Faktor Biologis/Keturunan
Sifat yang diwariskan memegang kunci bagi ukuran akhir yang dapat dicapai oleh anak.
Keadaan gizi sebagian besar menentukan kesanggupan untuk mencapai ukuran yang
ditentukan oleh pewarisan sifat tersebut. Di negara-negara berkembang memperlihatkan
perbaikan gizi pada tahun-tahun terakhir mengakibatkan perubahan tinggi badan yang jelas.
ü Faktor Religi
Religi atau kepercayaan juga berperan dalam status gizi masyarakat, contohnya seperti tabu
mengonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur tertentu yang sebenarnya makanan
tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh kelompok umur tersebut. Seperti ibu hamil yang
tabu mengonsumsi ikan.
Pengaturan makanan adalah upaya untuk meningkatkan status gizi, antara lain menambah
berat badan dan meningkatkan kadar Hb. Berikut adalah pengaturan makanan yang bertujuan
untuk meningkatkan status gizi:
Kebutuhan energi dan zat gizi ditentukan menurut umur, berat badan, jenis kelamin,
dan aktivitas;
Susunan menu seimbang yang berasal dari beraneka ragam bahan makanan, vitamin,
dan mineral sesuai dengan kebutuhan
Menu disesuaikan dengan pola makan;
Peningkatan kadar Hb dilakukan dengan pemberian makanan sumber zat besi yang
berasal dari bahan makanan hewani karena lebih banyak diserap oleh tubuh daripada
sumber makanan nabati;
Selain meningkatkan konsumsi makanan kaya zat besi, juga perlu menambah
makanan yang banyak mengandung vitamin C, seperti pepaya, jeruk, nanas, pisang
hijau, sawo kecik, sukun, dll.
1. H. Penanggulangan Masalah Gizi
Seperti yang telah kita ketahui, masalah gizi yang salah kian marak di negara kita. Dengan
demikian diperlukan penanggulangan guna memperbaiki gizi masyarakat Indonesia. Berikut
ini cara-cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi gizi salah, baik gizi kurang maupun
gizi lebih.
ü Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yng diarahkan pada pemberdayaan
keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga;
ü Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas dan Rumah Sakit;
ü Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG);
ü Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang pangan dan gizi masyarakat;
ü Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A, Iodium, dan Zat Besi;
Dilakukan dengan cara menyeimbangkan masukan dan keluaran energi melalui pengurangan
makanan dan penambahan latihan fisik atau olahraga serta menghindari tekanan hidup/stress.
Penyeimbangan masukan energi dilakukan dengan membatasi konsumsi karbohidrat dan
lemak serta menghindari konsumsi alkohol.
Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini
hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan
dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan
Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor.
Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang pada bagan 1 dan bagan 2, penyebab
yang mendasar adalah:
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan
konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan (lihat tabel 10):
40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan 25% rumah
tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari atau mengkonsumsi <70%
dari kecukupan yang dianjurkan. (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG,
2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan jumlah rumah tangga adalah 51.513.364,
berarti masalah ketahanan pangan melanda 20-25 juta rumah tangga di Indonesia.
Walaupun ada perbaikan pada tahun 2003 terhadap ketahanan pangan rumah tangga,
kajian ini masih menujukkan rasio pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total
keluarga yang masih tinggi. Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20% kabupaten
di perdesaan dimana rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio
pengeluaran pangan/non pangan antara 65-75%.
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan kemiskinan, yang
berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi penduduk miskin adalah 18.2%
atau 38,4 juta penduduk (BPS, 2002). Sebaran penduduk miskin tingkat kabupaten
sangat bervariasi, masih ada sekitar 15% kabupaten dengan persen penduduk miskin
> 30%.
Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang terlihat dari variasi
prevalensi berat ringannya masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan masalah
kemiskinan. Seperti diungkapan pada uraian sebelumnya bawah ada 75% kabupaten
di Indonesia menanggung beban dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%.
Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan
pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi yang
masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita antara lain
ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997 prevalensi ISPA tidak
menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT 2001
prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994 dan 1997
juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing 11%, 12% and
10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.
Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang tidak
berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari jumlah
balita yang ada.
Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya kecenderungan yang
menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut pemberian ASI saja sampai 6
bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu pemberian makanan
pendamping ASI menjadi masalah dan berakibat pada penghambatan pertumbuhan.
Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia
merupakan masalah kronis.
Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya pendapatan dan
rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM rendah.
Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan non-
pemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan untuk
gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun).
Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka dapat diprediksi
proyeksi kecenderungan gizi yad seperti berikut:
1. Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita
Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita (berat badan menurut
umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai dengan 2003 adalah sebesar 27% atau
penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah banyak intervensi yang dilakukan untuk
meningkatkan status gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi melalui Posyandu. Dengan
meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan dengan peningkatan konseling
gizi kepada masyarakat, diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama
dengan periode sebelumnya atau sebesar 30%. Pada hasil kajian Susenas 2003, prevalensi
gizi kurang adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%. Dengan asumsi penurunan 30%, diperkirakan
pada tahun 2015 prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi
5.7%
2. Proyeksi prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah
Perubahan ukuran fisik penduduk merupakan salah satu indikator keberhasilan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudah diketahui bersama bahwa dibanyak negara
anak-anak tumbuh lebih cepat dari 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya matang lebih
awal tetapi juga mencapai pertumbuhan dewasa lebih cepat. Dari beberapa penelitian yang
dilakukan pada beberapa negara, menunjukkan adanya perbedaan tinggi badan antara
kelompok usia 20 tahun dan 60 tahun pada pria maupun wanita dewasa setinggi kurang lebih
8 cm.
Dinyatakan pula bahwa pada kebanyakan negara sedang berkembang ‘secular trend” dari
kenaikan tinggi badan adalah 1 cm untuk setiap decade semenjak tahun 1850. Perubahan ini
sangat erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perubahan kualitas hidup manusia.
Di Indonesia penelitian “secular trend” kenaikan tinggi badan penduduk dari satu waktu
tertentu. Informasi yang ada adalah hasil survei ansional 1978 dan 1992 pada anak balita dari
15 provinsi. Dari hasil kedua survei tersebut, dinyatakan bahwa ada perubahan rata-rata
tinggi badan sebesar 2,3 cm pada anak laki-laki dan 2,4 cm pada anak perempuan dalam
jangka waktu 14 tahun.
Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang
(stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting atau
pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat lambat.
Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara sedang
berkembang pada umumnya setinggi 1 cm dalam periode 10 tahun. Kenaikan tinggi badan
rata-rata anak baru masuk sekolah dari tahun 1994 ke tahun 1999 dalam waktu 5 tahun
berkisar antara 0.1-0.3 cm. Dengan situasi tahun 1999 dengan penurunan hanya 3,7% dalam
kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi yang sama dengan penurunan prevalensi
gizi kurang pada balita, yaitu 40% maka pada tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru
masuk sekolah diasumsikan akan menjadi 24%.
Berdasarkan kajian Susenas 1999-2003, penurunan proporsi risiko KEK berkisar antara 5-8%
dalam kurun waktu 4 tahun tergantung pada kelompok umur. Kelompok wanita usia subur
sampai dengan tahun 2003 belum menjadi prioritas program perbaikan gizi. Untuk
peningkatan status gizi penduduk, kelompok umur ini terutama pada WUS usia 15 – 19 tahun
harus menjadi prioritas untuk masa yang akan datang. Seperti yang terlihat pada Figure 10,
35-40% WUS usia 15-19 tahun berisiko KEK.
Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak terlalu kompleks
dibanding intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan tetapi intervensi yang dilakukan akan
lebih banyak bermanfaat untuk membangun sumber daya manusia generasi mendatang.
Dengan menggunakan asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 – 2003 untuk
kelompok umur 15-19 tahun.
Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun 2015 asumsinya akan
menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun 2015
diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR, menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita
dan juga mempercepat kenaikan tinggi badan anak Indonesia.
Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta bervariasinya faktor penyebab
masalah ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik
di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait
menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah.
Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain:
1. Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai
dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam
perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian strategi program yang efisien
untuk masa yang datang mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai
dengan kabupaten.
2. Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat
preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok
masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti
perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara professional
mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.
3. Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di
daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga
dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta.
4. Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan strategi
jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan
kesehatan
b) Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-data mengenai
statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur
tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka
penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c) Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi
karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan
budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab
kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna
untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2002).
Etiologi
Busung lapar disebabkan oleh keadaan kurang gizi karena rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari mereka sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG). Keadaan kurang gizi itu biasa disebut dengan kurang energi protein (KEP).
Busung lapar yang dalam bahasa Belanda disebut honger oedem (HO) itu antara lain dapat
terjadi karena masalah ekonomi orang tua yang terimpit kemiskinan. Anak menderita sakit
yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan. Sanitasi lingkungan yang buruk dan
pemahaman warga terhadap kesehatan kurang. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh pola
konsumsi yang tidak memperhatikan keseimbangan gizi. Hal itu dapat menimpa siapa saja,
tidak mengenal status ekonomi. Anak orang yang berkecukupan pun bila tidak diperhatikan
keseimbangan gizinya dapat terkena gizi buruk
Klasifikasi
Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang BB anak
dibandingkan dengan umur dan menggunakan KMS dan Tabel BB/U Baku Median WHO-
NCHS
KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita warna kuning
KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah Garis Merah
(BGM).
KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U <60% baku median WHO-NCHS.Pada
KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk dan KEP sedang, sehingga untuk
menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS
Dengan mengukur tinggi badan dan LIngkar Lengan Atas (LILA) bila tidak sesuai dengan
standar anak yang normal waspadai akan terjadi gizi buruk
Tanda-tanda
Ada 3 jenis busung lapar (gizi buruk) yang sering ditemui dan sangat berbahaya yaitu
kwashiorkor, marasmus dan gabungan dari keduanya marasmic-kwashiorkor.
Tanda-tanda busung lapar (Gizi Buruk) berbeda-beda menurut jenisnya.
Untuk jenis Kwashiorkor tanda-tanda yang terjadi adalah sebagai berikut:
Bengkak pada seluruh tubuh terutama pada punggung kaki dan bila ditekan akan
meninggalkan bekas seperti lubang
Otot mengecil dan menyebabkan lengan atas kurus sehingga ukuran LILA-nya kurang dari 14
cm
Timbulnya ruam berwarna merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas
Tidak nafsu makan
Rambutnya menipis berwarna merah seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menimbulkan rasa sakit
Wajah anak membulat dan sembab (moon face)
Cengeng/rewel dan apatis
Sering disertai infeksi, anemia dan diare
Sedangkan untuk jenis Maramus tanda-tandanya :
Anak sangat kurus tampak tulang terbungkus kulit.
Tulang rusuk menonjol
Wajahnya seperti orang tua (monkey face)
Kulit keriput (jaringan lemak sangat sedikit sampai tidak ada )
Cengeng/rewel
Perut cekung sering disertai diare kronik (terus menerus) atau susah buang air kecil
Tanda-tanda Marasmic – Kwashiorkor adalah:
Campuran dari beberapa tanda tanda Kwashiorkor dan maramus disertai pembengkakan yang
tidak menyolok.
Dampak dari gizi buruk (busung lapar) pada anak bukan hanya tubuh yang kurus tetapi lebih
dari itu. Gizi buruk dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kecerdasan anak, rabun senja
dan penderita gizi buruk lebih rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
Penatalaksanaa
Penanganan KEP meliputi pemberian diet dengan protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral
kualitas tinggi. Apabila KEP terjadi sebagai akibat diare, tiga tujuan penanganan harus
diidentifikasi :
Rehidrasi dengan larutan rehidrasi oral yang juga ,mengganti elektrolit
Obat seperti antibiotik dan antidiare
Pemberian nutrisi yang adekuat baik dengan pemberian ASI maupun diet yang baik saat
penyapihan. Bila anak terlalu sakit untuk mentoleransi cairan oral, pemberian cairan dan
elektrolit intravena diperlukan untuk mencegah kematian
Kemiskinan tampaknya sudah menjadi masalah lama yang terus-menerus dihadapi bangsa
ini. Semenjak bangsa ini mengukuhkan kemerdekaannya hingga berkali-kali terjadinya
pergantian kepala negara, persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah yang belum juga
terselesaikan.
Masalah kemiskinan sebenarnya telah diperingatkan bahkan sejak setengah abad yang lalu.
Ketika itu tahun 1950-an, bekerja sama dengan beberapa universitas, sejumlah sarjana dan
mahasiswa melakukan riset, perbandingan dan studi mendalam tentang sebab-sebab
terjadinya stagnasi ekonomi di pedesaan. Desa menjadi fokus perhatian karena mayoritas
rakyat Indonesia hidup di sana. Buku Clifford Geertz, yang sudah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia berjudul ’Involusi Pertanian di P Jawa’ adalah bagian dari hasil riset
tersebut.
Geertz menguraikan kemiskinan kolektif beranak pinak berbarengan dengan merosotnya
produktivitas dan fragmentasi lahan pertanian. Tidak hanya para peneliti, sastrawan pun telah
mengingatkan masalah kemiskinan ini.
Dalam Majalah Siasat Edisi 18 Juni 1950, sastrawan Sultan Takdir Alisahbana mengatakan,
pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan bagi
70 juta rakyat Indonesia. Kalau STA masih hidup, ia pasti heran, ketidakmampuan itu
ternyata justru berkesinambungan hingga saat ini. Bahkan, saat mulai terjadi kelaparan di
beberapa kecamatan di Nusa Tenggara Timur, banyak pemimpin maupun elite partai politik
mengabaikan fakta-fakta kemelaratan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang baru
terjadi kemarin.
Setelah lebih dari setengah abad, masalah kemiskinan ternyata masih saja mendera bangsa
ini. Berbagai peristiwa di abad modern ini telah membuktikan hal ini. Munculnya wilayah
rawan pangan, beragam peristiwa kelaparan di berbagai daerah, semakin membeludaknya
para pencari kerja, hingga keluhan-keluhan merosotnya daya beli mereka dalam menghadapi
kenaikan harga barang kebutuhan tampaknya sudah menjadi keseharian hidup masyarakat
yang kian menempatkan mereka dalam lilitan jerat-jerat kemiskinan.
Tahun 2004 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan mencapai 36,1
juta dari 217 juta penduduk Indonesia. Suatu jumlah yang memilukan. Masalah kemiskinan
makin mencuat ketika muncul kasus busung lapar akibat gizi buruk di beberapa daerah di
tanah air. Busung lapar hanyalah muara dari permasalahan bangsa ini yang belum kunjung
terselesaikan: kemiskinan.
Namun, kemiskinan di Indonesia adalah suatu hal yang sangat ironi. Bank Dunia mencatat,
jumlah penduduk Indonesia yang berpendapatan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per
hari mencapai 60 persen. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar jumlahnya
meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada sejumlah bank,
diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya.
emerintah yang diharapkan mampu menolong masyarakat miskin dari persoalan ini
belum banyak diharapkan. Selama ini langkah kebijakan para penguasa negara dianggap
belum mampu mengatasi persoalan kemiskinan di negeri ini. Hal demikian tampak pula
dalam berbagai persoalan lainnya, seperti perbaikan kondisi perekonomian, upaya
meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, hingga penyediaan sarana pendidikan maupun
kesehatan yang dinilai masih jauh dari kondisi memadai. Padahal, yang tidak kalah
mengkhawatirkan, saat ini sejalan dengan terjadinya peningkatan harga-harga barang
kebutuhan membuat beban kehidupan ekonomi mereka kian memberat.
Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik dari semua itu? Pada 1970-an posisi Indonesia
belum begitu buruk dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan, dibanding dengan
Korea selatan, kemampuan industri otomotif Indonesia lebih kurang sama. Dua dekade
kemudian, Korsel sudah memproduksi mobil sendiri dan mengekspornya. Sementara
Indonesia tetap sebagai perakit dan importir. Lebih ironis lagi dibandingkan dengan
Malaysia. Tahun 1970-an negara jiran ini mendatangkan tenaga dokter, guru, montir, ahli
pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan dari Indonesia. Ribuan mahasiswa Malaysia
belajar di Indonesia atas biaya pemerintahnya. Sejarah berputar dua dekade kemudian.
Ribuan mahasiswa Indonesia belajar tentang pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan
di Malaysia. Jika diukur dari pendapatan per kapita, saat ini Malaysia mencapai 4.000 dollar
AS, sedangkan Indonesia masih berkisar 725 dollar AS.
Kemajuan ekonomi rakyat Malaysia lebih nyata lagi diukur dari porsi ekonomi yang
dikuasai warga Melayu, yang tadinya merupakan lapisan termiskin. Melonjak dari 1,5 persen
tahun 1970 menjadi 23 persen tahun 2003. Sedangkan equity korporasi meningkat dari 2,5
persen tahun 1970 menjadi 30 persen tahun 1990. Sekarang diperkirakan mendekati 40
persen.
Sementara keadaan di Indonesia sendiri tidak banyak berubah. Banyak kalangan yang buta
terhadap fakta ini, dengan dalih penduduk Malaysia hanya 25,5 juta jiwa. Mereka lupa tidak
ada hubungan kemelaratan dengan jumlah penduduk. AS dengan wilayah dan penduduk yang
lebih besar dari Indonesia, misalnya, pendapatan per kapitanya lebih 30 kali Indonesia.
Penduduk RRC sekitar 1,3 miliar, namun tidak menyebabkan rakyat melarat dan pemerintah
mengemis utang luar negeri.
Komitmen pemerintah, siapa pun presidennya, harus dijaga untuk secara konsisten
memberantas kemiskinan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengentaskan
kemiskinan, yang beberapa hal telah dilakukan pemerintah sebelumnya –menunjukkan
indikasi keberhasilan. Diantaranya adalah menggerakkan ekonomi pedesaan melalui program
Inpres Desa Tertinggal (IDT) atas prakarsa (alm) Prof Mubyarto, program babonisasi di
Bantul (DIY) atas prakarsa Bupati Idham Samawi, maupun program gaduhan ternak. Jika
langkah-langkah penting itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai program
nasional yang berkelanjutan, akan menjadikan perekonomian di desa bergerak lebih cepat
sekaligus mampu mengangka derajad masyarakat pedesaan
Gizi buruk yang terjadi di gudang beras seperti Indonesia seharusnya tidak boleh
terjadi. Ironis sekali negara berlabel agraris namun rakyatnya kelaparan. Sehingga pemerintah
berkewajiban untuk nenuntaskan masalah ini hingga tuntas dan melakukan langkah-langkah
antisipatif agar kejadian serupa tidak terulang lagi dikemudian hari. Adapun langkah-langkah
yang mungkin direalisasikan adalah sebagai berikut:
1) Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama melalui peningkatan
produksi beraneka ragam pangan
2) Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yng diarahkan pada
pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga.
3) Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas dan Rumah Sakit.
4) Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistem Kewaspadaan Pangan
dan Gizi (SKPG).
5) Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang pangan dan gizi
masyarakat.
6) Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan berbagai produk pangan yang
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas.
7) Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian makanan tambahan (PMT),
distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta kapsul minyak
beriodium.
8) Peningkatan kesehatan lingkungan.
9) Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A, Iodium, dan Zat Besi.
10) Upaya pengawasan makanan dan minuman.
11) Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi
Kesehtan pada ibu
Program kesehatan yang terkait dalam meningkatkan status kesehatan ibu dan anak
Masa remaja ditinjau dari rentang kehidupan individu merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Sifat-sifat remaja sebagian besar sudah tidak menunjukkan
sifat-sifat nasa kanak-kanaknya, tetapi belum juga menunjukkan sifat orang dewasa. Menurut
Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun.
Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh
pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan fisik yang cepat pada tubuh remaja, luar dan
dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikt terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta
pribadi kepribadian remaja. Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang
berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990).
Masa remaja pada usia 18 tahun merupakan masa yang matang, sebagai peralihan masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja mempunyai ciri sebagai berikut :
1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal
masa storm dan stress.
2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual.
3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain.
4. Perubahn nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak
menjadi kurang sudah mendekati dewasa.
5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi.
Masalah-masalah yang dihadapi remaja dari yag bersifat fisik seperti anemia, maslah
kegemukan, masalah mental, kejiwaan seperti gangguan belajar, masalah perilaku beresiko
seperti merokok, hubungan seks pranikah hingga penyalah gunaan NAPZA dan terjangkit
HIV/AIDS. Bila kita kaji lebih mendalam, maka periode remaja merupakan “window
opportunity” periode waktu yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai, norma dan kebiasaan
yang baik agar tidak mengalami maslah kesehatan dikemudian hari, dan menjadi manusia
dewasa yang sehat dan produktif.
Pengetahuan yang harus dimiliki remaja tentang kesehatan reproduksi remaja antara lain
tumbuh kembang remaja, kesehatan reproduksi remaja, IMS/ISR, HIV/AIDS,
penyalahgunaan NAPZA, komunikasi dan konseling pendidikan keterampilan hidup
sehat/PKHS.
Penyebab utama kematian pada perempuan atau remaja usia 15-19 tahun adalah komplikasi
kehamilann, persalinan dan komplikasi keguguran. Penduduk muda usia 15-24 tahun
menderita penyakit menulr seksual yang paling tinggi adalah komplikasi kehamilan,
persalinan, abortus. Remaja usia 15-24 tahun menderita penyakit menular seksual sangat
tinggi, termasuk HIV. Remaja merupakann transisi, pertumbuhan dan eksplorasi, sehingga
apabila kurang mendaapat informasi tentang bagaimana cara melindungi kesehatan seksual
mereka akan berakibat mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy),
resiko kesehatan sehubungan dengan kehamilan usia remaja organ reproduksi, biologis dan
psikologis belum matang, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual dan HIV.
International conference on population and development (ICPD) pada tahun 1994, melakukan
upaya untuk pengembangan program yang cocok untuk kebutuhann kesehatan reproduksi
remaja, strategi kunci untuk menjangkau dan melayani generasi muda :
Untuk mengatasi masalah kesehatan remaja diperlukan pendekatan yang adolescent friendly,
baik dalam menyampaikan informasi pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR), yang
diharapkan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan masalah dan memenuhi
kebutuhan remaja.
Perkawinan adalah merupakan ikatan yang suci, yang dibangun dengan bertujuan untuk :
1. 3. Keluarga sehat
Keluarga terdiri pasangan suami isteri yang sah dan anak. Hal ini merupakan penegertian dari
keluarga inti (nueclear family). Adapun cakupan pengertian keluarga secara luas adalah
keluarga terdiri dari pasangan suami istri yang sah, anak serta anggota keluarga yang lain
yang tinggal didalam keluarga tersebut. Hal ini disebu juga keluarga dalam arti lebih luas
atau extended family. Keluarga yang sehat tentunya harus dibentuk oleh individu-individu
yang sehat dalam keluarga tersebut.
Dilihat dari aspek kesehatan reproduksi ada beberapa fase dalam keluarga.
1. Fase menunda atau mencegah kehamilan bagi pasangan suami isteri dengan usia
kurang dari 20 tahun dianjurkan untuk menunda kehamilannya. Alasan menunda atau
mencegah kehamilan adalah umur kurang dari 20 tahun adalah usia yang sebaiknya
tidak mempunyai anak dahulu, karena organ reproduksi belum matang, sehingga
resiko penyulit atau komplikasi terkait dengan kehamilan, persalinan dan nifas sangat
tinggi.
1. Fase menjarangkan kehamilan pada periode usia isteri antara 20-30 atau 35 tahun
merupakan periode usia paling baik untuk hamil, melahirkan, dengan jumlah anak 2
orang dan jarak antara kelahiran adalah 2-4 tahun
1. Fase menghentikan atau mengakhiri kehamilan atau kesuburan adalah periode usia
isteri diatas 35 tahun, sebaiknya mengakhiri kesuburan setelah mempunyai 2 orang
anak, karena jika terjadi kehamilan, persalinan pada periode ini, ibu mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi seperti obstetri, misalnya perdarahan, pre-
eklampsi, eklampsi, persalinan lama, atonia uteri dan lain-lain. Pada usia yang lebih
tua juga mempunyai resiko untuk terjadinya penyakit yang lain, misalnya penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, keganasan dan kelainan metabolik biasanya meningkat.
Keluarga yang sehat membentuk masyarakat dan bangsa yang sehat dan generasi penerus
bangsa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Masalah kesehatan reproduksi mempunyai dampak yang sangat luas dan menyangkut
berbagai aspek kehidupan, dan menjadi parameter kemampuan negara dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Sehingga kesehatan sistem
reproduksi sangat erat kaitannya dengan angka kematian ibu dan anakk. Indonesia
mempunyai angka kematian ibu tertinggi diantara negara-negara ASEAN. Hasil survey
demografi kesehatan indonesia (SDKI) tahun 2003 anka kematian ibu berkisar 307/100.000
kelahiran hidup, tahun 2007 adalah berkisar 248/100.000 kelahiran hidup. Dilihat dari angka
tersebut belum menunjukkan penurunan angka kematian ibu yang bermakna, atau dapat
dikatakan masih sangat lamban. Kesehatan reproduksi merupakan kemampuan seorang
wanita untuk memanfatkan alat reproduksi dan mengatur kesuburannya (fertilitas) dapat
menjalani kehamilan dan persalinan secara aman serta dapat melahirkan bayi tanpa resiko
dan komplikasi (well health mother and well born baby) dan selanjutnya mengembalikan
kesehatan reproduksi dalam batas normal.
1. 5. Penykit yang berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan dan
sebaliknya
Penyulit yang terjadi dalam persalinan adalah kelainan yang terdapat pada masing-masing
faktor yang dpat diperinci sebagai berikut :
1. Kelainan power, merupakan kelainan kekuatan his dan tenaga mengejan. Beberapa
contoh keadaan diamna his mengedan adalah inersia uteri, his yang tidak
terkoordinasi, kelelahan ibu mengedan, salah pimpinan ibu kala II.
Contoh kelainan jalan lahir adalah kelainan bentuk panggul, kesempitan panggul,
ketidakseimbangan sefalopelvik dan kelainan jalan lahir lunak.
Contoh kelainan passanger adalah kelainan bentuk dan besar janin, misalnya anensefalus,
hidrosephalus, makrosomia janin, kelainan presentasi (presentasi puncak kepala, presentasi
muka, posisio oksipito posterior), dan kelainan letak janin (letak sungsang, letak melintang,
letak mengolak, presentasi rangkap).
1. Masalah psikologis ibu. Terdapat lingkaran setan antara masalah psikologis ibu
dengan his ibu bersalin. Ibu bersalin yang cemas, ketegangan meningkat,
mempengaruhi kontraksi uterus, dapat terjadi his yang lemah atau jelek (inersia uteri),
sehingga terjadi persalinan lama atau tidak maju.
1. Tumor pada jalan lahir, dapat berupa: kelainan tulang pada jalan lahir, tumor yang
berasal dari ovarium, dan tumor yang berasal dari vagina
1. Penyulit pada kala III dan kalaIV persalinan berupa perdarahan postpartum, retensio
plasenta, inversio uteri dan robekan jalan lahir
Sikap adalah perbuatan, perilaku, gerak-gerik yang berdasarkan pendirian, pendapat atau
keyakinan. Pengukuran sikap dapt dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernytaan responden terhadap suatu
objek. Sikap merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi
untuk menyesuaikan diri dalm situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon
terhadap stimulasi sosial yang telah terkondisikan. Sikap juga merupakan evaluasi umum
yang dibuat mmanusia terhadap diri sendiri, orang lain, objek atau isu-isu. Sikap sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi
tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya. Komponen
kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotype yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
Sikap ibu hamil merupakan faktor predisposisi terbentuknya perilaku didalam kehamilan dan
persalinan. Sikap yang positif akan mendorong perilaku pemeliharaan kesehatan ibu hamil
dan persalinan yang positif pula. Sikap ibu hamil jug dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal,
misalnya pengaruh budaya, lingkungan, orang terdekat dan juga faktor internal pengetahuan
dan sikap ibu hamil. Status emosional dan psikologis ibu turut menentukan sikap ibu hamil
dan mempengaruhi keadaan yang timbul sebagai akibat atau diperburuk oleh kehamilan,
sehingga dapat terjadi pergeseran yakni kehamilan sebagai proses fisiologis menjadi
kehamilan patologis.
Sikap ibu hamil dan bersalin yang dipengaruhi oleh sosial budaya, kultur, dan lingkungan
dikenal dengan mitos-mitos dalam kehamilan dan persalinan. Adakalanya mitos yang muncul
bertentangan dengan konsep asuhan pada ibu hamil dan bersalin, ini merupakan mitos negatif
yang merugikan atau membahayakan asuhan pada ibu hamil dan bersalin. Namun sebaliknya
apabila mitos terkait denagn kehamilan dan persalinan tersebut menguntungkan dalam asuhan
kebidanan ibu hamil dan bersalin, maka mitos tersebut dapat dilakukan oleh ibu. Mitos yang
negatif atau membahayakan harus dihindari. Bidan harus melakukan upaya konseling pada
ibu untuk memperbaiki sikap dan perilaku ibu. Beberapa mitos pada ibu hamil, contohnya:
kenduri, mitoni, makan amis-amis, sawanen dan tidak boleh makan udang dll.
Beberpa contoh bentuk ibu hamil yang lain adalah mengenai tanggapan atau sikap ibu
terhadap pentingnya pemeriksaan kehamilan bagi ibu, akan membentuk perilaku yang
positife mengenai perilaku yang positife mengenai perilaku pemeriksaan antenatal. Sikap ibu
hamil yang positife tentang tanda bahaya akan membentuk perilaku yang positife mengenai
perilaku yang positife untuk mencegah terjadinya bahaya dalam kehamilan dan persalinan.
Sikap yang positife tentang pentingnya tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan, akan
membawa ibu pada perilaku yang positife untuk bersalin ditenaga kesehatan.
Peristiwa kehamilan adalah peristiwa fisiologis, namun proses alami tersebut dapat
mengalami penyimpangan sampai berubah menjadi patologis.
Menurut SDKI tahun 1994 angka kematian ibu adalah 390/100.000 kelahiran hidup, pada
SDKI tahun 2002/2003 angka kematian ibu adalah 307/100.000 kelahiran hidup, selanjutnya
SDKI tahun 2007 angka kematian ibu adalah 248/100.000 kelahiran hidup. Namun
penurunan AKI ini sangat lambat. Pada tahun 1990 WHO sudah meluncurkan strategi
Making Pregnancy Sfer (MPS), salah satu program MPS adalah menempatkan safe
motherfood sebagai prioritas utama dalam rencana pembangunan nasional maupun
internasional. Sehingga salah satu upaya yang diselenggarakan untuk menurunkan AKI
adalah melalui 4 pilar upaya safe motherfood, dengan intervesi yang dilakukan adalah:
Kebijakan program kunjungan pemeriksaan kehamilan dilakukan paling sedikti 4 kali selama
kehamilan, sesuai dengan anjuran WHO , yaitu :
Pelayanan atau asuhan standar yang diberikan pada pemeriksaan kehamilan adalah 7T, yaitu:
Selama kehamilan mempunyai kemungkinan untuk dapat berkembang menjadi masalah atau
komplikasi, sehingga memerlukan pemantauan selama kehamilan. Asuhan pada ibu hamil
secara keseluruhan meliputi aspek-aspek berikut ini, yaitu :
Pemberian tablet besi adalah sebesar 60 mg dan asam folat 500 mg adalah kebijakan program
pelayanan antenatal dalam upaya untuk mencegah anemia dan untuk pertumbuhan otak bayi,
sehingga mencegah kerusakan otak (neural tube). Sedangkan kebijakan imunisasi TT adalah
dalam upaya pencegahan terjadinya tetanus neonaturum.
1. Masa perinatal dan neonatal merupakan masa yang kritis bagi kehidupan bayi. Dua
pertiga kematian bayi terjadi dalam waktu 4 minggu setelah persalinan, dan
60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir. Dengan
pemantauan melekat dan asuhan pada ibu dan bayi masa nifas dapat mencegah angka
kematian bayi. Faktor-faktor yang Perdarahan
2. Hipertensi
3. Infeksi
4. Kelainan preterm atau bayi berat lahir rendah
5. Asfiksia
6. Hipotermi
Penanganan bayi baru lahir yang kurang baik dapat menyebabkan hipotermi, cold stress (stres
dingin atau hipotermi sedang), yang selanjutnya dapat menyebabkan hipoksemi, hipoglikemi
dan mengakibatkan kerusakan otak. Akibat selanjutnya adalah perdarahan otak, syok, dan
keterlambatan tumbuh kembang.
Menurut Hurlock, tahapan-tahapan tumbuh kembang manusia pada fase awal adalah sebagai
berikut :
Tumbuh adalah bertambah besranya anak (aspek kuantitas), misalnya anak bertambah berat
tinggi badanya, organ-organ tubuh bertambah besar dan berat. Kembang adalah bertambah
pandainya anak, sebagai hasil proses pematangan organ-organ tubuh (aspek kualitas).
1. Tumbuh kembang adalah proses yang berkelanjutan sejak didala kandungan samapi
dewasa, yang terjadi secara bersama-sama
2. Tumbuh kembang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan
3. Pola perkembangan anak adalah sama pada semua anak, tetapi kecepatannya berbeda
antara ank satu dengan anak lainnya
4. Arah perkembangan anak adalah dari atas ke bawah (cephalo-caudal).
5. Contohnya: anak harus dapat menegakkan kepala dulu, sebelum dapat berjalan
6. Aktifitas seluruh tubuh diganti dengan reaksi yang khas
Contohnya: bayo akan menggerakkan seluruh tubuhnya, tangan dan kakinya kalau melihat
sesuatu yang menarik, tetapi pada anak yang lebih besar reaksinya hanya tertawa atau meriah
benda tersebut.
Kebutuhan dasar anak balita yang diperlukan untuk tumbuh kembang adalah:
1. Asuh
Anak memerlukan makanan bergizi, pemukiman yang layak, sedang, perawatan dasar antara
lain imunisasi, pemberian ASI, penimbangan yang teratur, pengobatan kalau sakit dan
sebagiannya. Imunisasi sangat penting bagi anak, karena akan memberikan perlindungan bagi
anak terhadap penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan iminisasi. Lima imunisasi dasar
lengkap, yaitu: imunisasi HB, BCG, polio, DPT dan campak. Selain imunisasi dasar ini juga
terdapat berbagai imunisasi pengembangan, misalnya: imunisasi HIB, MMR, influenza,
alergi dan sebagainya.
1. Asih
Kasih sayang dari orang tuanya dan anggota keluarga lainnya akan menciptakan ikatan batin
yang erat, yang sangat penting untuk tumbuh kembang anak dan pendidikan agama sedini
mungkin.
1. Asuh
Anak memerlukan stimulasi mental dini, misalnya melalui program BKB (Bina Keluarga
Balita). Stimulasi mental ini penting untuk perkembanagn mental anak seperti kecerdasan,
keterampilan, kemandirian, kreativitas, kepribadian, agama, moral, etika, produktifitas dan
sebagainya.
1. Faktor bawaan
Faktor bawaan ini merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh
kembang anak
1. Faktor lingkungan
Lingkungan yang baik akan memberikan optimalisasi potensi bawaan yang postif. Secara
garis besarnya, faktor lingkungan dibagi menjadi:
Faktor ini meliputi gizi ibu hamil, obat-obatan, penyakit ibu (infeksi TORCH), stres, posisi
janin, gangguan hormon, dll
Faktor ini meliputi: persalinan lama, persalinan macet, persalinan dengan pertolongan,
misalnya: vakum ekstraksi, forep, seksio sesaria, persalinan dengan letak lintang, presentase
bokong, presentasi kaki, asfiksia, ikterus neonatorum serta infeksi.
3) Lingkungan setelah anak lahir (post-natal)
Faktor ini misalnya: gizi anak, penyakit-penyakit (infeksi), gangguan hormon, lingkungan
rumah, kebersihan, stress, kasih sayang, stimulasi, stabilitas rumah tangga, adat istiadat dan
rumah tangga.
Pertumbuhan anak dapat dinilai dengan memantau berat badan (BB), tinggi badan (TB),
lingkar kepala (LK), lingkar lengan atas (LILA), dan tebalnya lipatan kulit. BB paling mudah
dikerjakan. Ukutan BB juga sangat peka terhadap adanya kelainan atau penyakit yang terjadi
pada anak, terutama penyakit akut, misalnya: diare dan muntah.
Penykit menular
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya
penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk
lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional
kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan
permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari
segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial.