Você está na página 1de 41

BAB 1

PENDAHULUAN

Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada

penyakit hati tingkat berat, baik akut maupun kronis, yang bersifat fungsional dan

progresif.3 Berdasarkan International Ascites Club, sindrom hepatorenal adalah

sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati

lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan

abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive

endogen.4 Pada sindrom hepatorenal ditemukan adanya vasokonstriksi di

sirkulasi ginjal yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah dan vasodilatasi

arteriol yang luas pada sirkulasi di luar ginjal sehingga menyebabkan penurunan

resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi.4,5

Sindrom hepatorenal umumnya terjadi pada pasien sirosis hepatis dengan

asites, hepatitis yang disebabkan oleh penggunaan alkohol berat (alcoholic

hepatitis), atau gagal hati akut.6 Selain itu, kejadian sindrom hepatorenal dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan fungsi hati

semakin memburuk dengan cepat, misalnya infeksi (spontaneous bacterial

peritonitis), perdarahan dari traktus gastrointestinal, parasentesis volume besar

tanpa infus albumin, ketidakseimbangan elektrolit, atau penggunaan obat-obat

diuretik yang berlebihan.1,2

Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

penyakit sirosis. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi

ginjal yang normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun

1
dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit.3 Gines dkk melaporkan

kemungkinan insiden SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun

pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.1,5

Pada stadium awal, gangguan fungsi ginjal pada sindrom hepatorenal

bersifat reversibel, yaitu dapat membaik dengan intervensi medis. Akan tetapi,

stadium ekstrim dari gangguan fungsi ginjal ini bersifat ireversibel.3 Secara umum

prognosis sindrom hepatorenal adalah buruk. Tanpa transplantasi hati atau

pengobatan dengan vasokonstriktor yang tepat, rerata angka ketahanan hidup

kurang dari 2 minggu.3 Oleh karena itu, pencegahan terjadinya sindrom

hepatorenal harus mendapat perhatian utama.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Tn. AB

Usia : 68 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Puloh Gadeng Kecamatan Dewantara

Tanggal masuk RS : 24 April 2016

No. RM : 07.53.xx

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan utama

Badan kuning

2.2.2 Keluhan tambahan

Sesak nafas

2.2.3 Riwayat penyakit sekarang

Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Arun yang masuk dengan

keluhan badan menjadi kuning. Keluhan tersebut awalnya muncul kira

– kira sejak 2 minggu sebelum masuk ke rumah sakit. Keluarga

pasien mengatakan badannya juga menjadi gatal – gatal semenjak kulitnya

menguning tersebut. BAK berwarna seperti teh pekat. Beberapa hari

terakhir pasien juga mengeluhkan sakit perut pada kuadran kanan atas

Selain itu pasien mengeluhkan sesak nafas. Sesak nafas sering

memberat pada malam hari dan jika melakukan aktifitas sehari -

3
hari pasien akan merasa cepat lelah. Sesak nafas juga akan

muncul jika pasien tidur dengan posisi terlentang tanpa

menggunakan bantal. Pasien sudah mengalami keluhan sesak nafas

tersebut dalam satu tahun belakangan ini. Keluarga mengatakan pasien

juga pernah di rawat di rumah sakit karena keluhan sesak nafas

dan bengkak pada kaki. Namun saat ini keluhan bengkak pada kaki

disangkal.

2.2.4 Riwayat penyakit dahulu

Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi.

2.2.5 Riwayat pemakaian obat

Keluarga mengatakan pasien meminum obat untuk hipertensinya namun

lupa nama obatnya.

2.2.6 Riwayat keluarga

Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit serupa dengan

pasien.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : somnolen

Tekanan darah : 90/60 mmHg

Frekuensi nadi : 64x/ menit,

Frekuensi nafas : 24x/menit

Suhu :37 o C

4
Status Internus

Kepala

a. Tengkorak : normocephali

b. Muka : normal

c. Mata

Letak : normal

Pergerakan : kiri normal /kanan normal

Palpebra : normal

Reaksi cahaya : kiri normal /kanan normal

Kornea : normal

Refleks kornea : kiri normal /kanan normal

Pupil : isokor

Sklera : ikterik +/+

Konjungtiva : pucat -/-

d. Telinga : normal

e. Hidung

Pernapasan cuping hidung : tidak ada

f. Bibir

Sianosis : tidak ada

Kering : tidak ada

g. Gigi dan gusi : normal

h. Lidah

5
Pergerakan : tidak terbatas

Permukaan : licin

Tremor : tidak ada

i. Rongga mulut : normal, mukosa tidak hiperemis

j. Rongga leher

Faring : normal, mukosa tidak hiperemis

Tonsil : normal, T1/T1

Leher

Inspeksi

 Kelenjar tiroid : tidak ada

 Pembesaran vena : tidak ada

 Reflex hepatojugular : tidak ada

Palpasi

 Kaku kuduk : tidak ada

 Kelenjar tiroid : normal

 Kelenjar getah bening: tidak ada

 Lain-lain : JVP 5 + 3 cm H2O

Thorax

Inspeksi

 Bentuk umum : normal

 Sudut epigastrium : normal

 Sela iga : tidak melebar

 Frontal dan sagital : normal

6
 Pergerakan : normal

 Skeletal : normal

 Kulit : ikterik

 Iktus kordis : tidak terlihat

 Tumor : tidak ada

 Pembesaran vena : tidak ada

Palpasi

 Kulit : hangat

 Vokal fremitus : simetris kiri dan kanan

 Mammae : normal

Iktus kordis

Lokalisasi : ICS VI linea mid clavikula 2 cm lateral

Intensitas : tidak kuat angkat

Pelebaran : tidak terdapat

Irama : reguler

Thrill : (-)

Perkusi

Paru-paru

 Kanan : sonor

 Kiri : sonor

 Batas paru hati : ICS 5 dextra

Cor

Batas atas : ICS II linea midclavikula sinistra

7
Batas kanan : ICS V 2 jari lateral linea parasternal dextra

Batas kiri : ICS VI linea mid clavikula 2 cm lateral

Auskultasi

Paru-paru

 Suara pernafasan : vesikuler

 Suara tambahan : ronki basah basal paru (+/+)

Cor

 Bunyi jantung : M1>M2, T1>T2, A2 > A1, P2 > P1, S3 (-),

Murmur sistolik (-)

Abdomen

Inspeksi

 Bentuk : normal

 Kulit : ikterik

 Pergerakan waktu nafas: simetris

Palpasi

 Dinding perut : soepel

 Nyeri tekan : (+)

 Nyeri lokal : nyeri pada kuadran kanan atas

Hepar

 Pembesaran : tidak ada

Lien

 Pembesaran : tidak ada

8
Ginjal

 Pembesaran : tidak ada

 Nyeri tekan : tidak ada

Perkusi

Asites

 Batas kiri : tidak ada

 Batas kanan : tidak ada

 Batas atas : tidak ada

Pekak pindah : tidak ada

Nyeri ketok CVA

 Kiri : tidak ada

 Kanan : tidak ada

Auskultasi

 Bising usus : normal

Kaki dan tangan

Inspeksi

 Bentuk : normal

 Kulit : ikterik

 Pergerakan : tidak terbatas

 Palmar eritrema : tidak ada

 Clubbing finger : tidak ada

 Udema : tidak ada

9
Palpasi

Nyeri kulit : tidak ada

Sendi

Inspeksi

 Kelainan bentuk : tidak ada

 Tanda radang : tidak ada

 Pergerakan : tidak ada

Palpasi : normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal 25 April 2016

Hematologi Klinik
Parameter Normal Limit Hasil
Hemoglobin L = 13 - 18 g % 11.5 g%
P = 12 - 16 g%
Eritrosit L = 4.5 - 6.5 x 106/mm3 4.9 x 106/mm3
P = 3.6 - 5.8 x 106/mm3
Hematokrit 7- 47 % 33.5 %
MCV 76 - 96 fl 68 fl
MCH 27 - 32 pg 23.3 pg
MCHC 30 - 35 g% 34.3 g%
Trombosit 150 - 450 x 103/mm3 421 x 103/mm3
Leukosit 4 - 11 x 103/mm3 8.8 x 103/mm3
RDW 11 – 15 % 21.4 %
Fungsi Hati
Bilirubin total 0.1 – 1.0 mg/dl 8.99 mg/dl
Bilirubin direct 0.0 – 0.3 mg/dl 7.62 mg/dl
SGOT 10 – 37 IU/L 211 IU/L
SGPT 10 – 40 IU/L 213 IU/L
Alkaline fosfatase Dewasa: 31 – 97 IU/L 963 IU/L
Total protein 6.0 – 8.3 g/dl 7.3 g/dl
Albumin 3.2 – 5.2 g/dl 3.1 g/dl
Globulin 2.6 – 3.6 g/dl 4.2 g/dl

10
Fungsi Ginjal
Ureum 20 - 40 mg/dl 213 mg/dl
Kreatinin 0.6 – 1.6 mg/dl 5.04 mg/dl
Uric acid < 7.2 mg/dl 13.7 mg/dl
Analisa Urin
Makroskopis
Kekeruhan Jernih Keruh
Warna Kuning muda Kuning muda
Berat jenis 1.010 – 1.035 1.020
pH 4.6 – 8.0 8.0
Blood dan Hb Negatif +3
Leukosit Negatif +2
Mikroskopis
Eritrosit 0 – 3/LPB 25 – 50 /LPB
Leukosit 0 – 5/LPB 25 -50 /LPB
Epitel 0 – 5/LPK 5 – 10/LPK
Metabolisme KH
Glukosa sewaktu 110 – 200 mg/dl 116 mg/dl
Imunoserology
Anti HBs Negatif Negatif
HBsAg Negatif Negatif

Foto Thorax

Interpretasi : Kardiomegali + edema pulmonal

11
USG

Ren dextra

Ukuran dan echostruktur normal, batas korteks medulla tegas, SPC tak melebar,

tampak lesi hyperechoic 6.23 mm dengan acoustic shadow (+)

Ren sinistra

Ukuran dan echostruktur normal, batas korteks medulla tegas, tak tampak batu /

massa

Kesan : nefrolitiasis dekstra

2.5 Diagnosa

Obstruktif jaundice ec. kolesistitis + CHF ec PJK

Obstruksi jaundice ec. Hepatitis + CHF ec PJK

Sirosis hepatis + CHF ec PJK

12
2.6 Tatalaksana

Asering 10 gtt/i

Aminoleban 1 fls / hari

Ceftriaxone / 12 jam

Vitamin K / hari

Omeprazole / 12 jam

Lasix 1 amp / hari

P.O

Urdahex 2 x 1

Curcuma 2 x 1

Lesipar 2 x 1

Spironolakton 25 mg 1 x 1

2.7 Prognosis

Quo ad vitam : ad malam

Quo ad sanationam : ad malam

Quo ad fungsionam : ad malam

2.8 Follow up

Tanggal SOAP Terapi


S/ Badan kuning (+) sesak nafas (+) NaCl 0.9 % 10 gtt/i
sakit pinggang (+) lemas (+) Ceftriaxone 1 amp/12 jam
Sakit perut (+) Sakit kepala (+) Omeprazole 1 amp/12 jam
Susah tidur (+) Gatal-gatal (+) Farsix 1 amp/12jam (Aff
24/04/2016
sementara)
O/ TD : 100/60 mmHg P.O
(IGD)
HR : 64 x / menit Spironolakton 25 mg 1 x 1
RR : 21 x / menit Klopidogrel 75 mg 1 x 1
Temp : 370C Bisoprolol 2,5 mg 1 x 1
Curcuma 2 x 1

13
A/ Obstruktif jaundice e.c batu empedu Salicyl talc
+ CHF e.c PJK + dermatitis atopik Miconazole salf

P/ Darah rutin
Urin rutin
KGDS
LFT
RFT
HBsAg
S/ Badan kuning (+) Sakit pinggang (+) Asering 10 gtt/i
Sakit perut (+) Batuk berdahak (+) Aminoleban 1 fls / hari
Sakit kepala (+) Ceftriaxone / 12 jam
Vitamin K / hari
O/ TD : 90/60 mmHg
HR : 64 x / menit
RR : 24 x / menit
25/04/2016
Temp : 37.30C

A/ SH

P/ Periksa HBsAg
Periksa albumin dan globulin

S/ Badan kuning (+) Lemas (+), Susah Asering % 10 gtt/i


tidur (+) Gelisah (+), tidak BAB Aminoleban 1 fls / hari
4 hari Ceftriaxone / 12 jam
Vitamin K / hari
O/ TD : 90/60 mmHg Omeprazole / 12 jam
HR : 66 x / menit Lasix 1 amp / hari
26/04/2016 RR : 24 x / menit P.O
Temp : 36.50C Urdahex 2 x 1
Propanolol 2 x 1
A/ SH Curcuma 2 x 1
Lesipar 2 x 1
P/ Konsul Sp. KGH untuk hasil RFT Spironolakton 25 mg 1 x 1
USG
S/ Badan kuning (+) Lemas (+) Sesak Terapi dilanjutkan,
nafas (+) Susah tidur (+) tidak mau ditambahkan dobutamin
27/04/2016
makan (+) 2.5 cc / jam

14
O/ TD : 90/60 mmHg
HR : 64 x / menit
RR ; 28 x / menit
Temp : 370C

A/ HVA
AKI
Susp. HRS
CHF ?

P/ Foto thorax
NGT
S/ Penurunan kesadaran (+) O2 2 – 3 L
Diet sonde 30 gr protein
O/ TD : 90/60 mmHg Asering 10 gtt/i
HR : 64 x/menit Aminoleban 1 fls / hari
RR : 28 x/menit Ceftriaxone / 12 jam
0
Temp : 37 C Vitamin K / hari
Omeprazole / 12 jam
A/ HVA Lasix 1 amp / hari
28/04/2016
AKI Dobutamin 2.5cc/jam
Susp. HRS P.O
CHF ? Urdahex 2 x 1
Propanolol 2 x 1
P/ Pindah ICU (ICU penuh) Curcuma 2 x 1
Lesipar 2 x 1
Spironolakton 25 mg 1 x 1
Digoksin 1 x 0.25 mg
S/ Penurunan kesadaran (+) O2 2 – 3 L
Diet sonde 30 gr protein
O/ TD : 90/40 mmHg Asering 10 gtt/i
HR : 60 x / menit Aminoleban 1 fls / hari
RR : 28 x / menit Ceftriaxone / 12 jam
Vitamin K / hari
29/04/2016
A/ Coma e.c MOF Omeprazole / 12 jam
Lasix 1 amp / hari
P/ Pasien pindah ICU pukul 10.45 WIB Dobutamin 5cc/jam +
dopamine 5 cc/jam
P.O
Urdahex 2 x 1

15
Propanolol 2 x 1
Curcuma 2 x 1
Lesipar 2 x 1
Spironolakton 25 mg 1 x
Digoksin 1 x 0.25 mg
S/ Penurunan kesadaran (+) NaCl 0.9 % 10 gtt/i
Aminoleban/hari
O/ TD : 86/55 mmHg Inj. Ceftriaxone 1 amp/12j
30/05/2016 Inj. Omeprazol 1 vial/12
A/ SH + CKD stage V + CHF jam
Dopamin 7.5 cc/ jam
ICU P/ Pasien exit pukul 22.40 WIB P.O
Urdahex 2 x 1
Curcuma 2 x 1
Lesipar 2 x 1
Digoksin 1 x 1

16
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsional ginjal reversibel

yang terjadi pada seseorang dengan sirosis hati lanjut atau kegagalan hati

fulminan.1 Sindrom hepatorenal ditandai dengan berkurangnya laju filtrasi

glomerulus (GFR) dan aliran plasma renal (RPF) tanpa adanya penyebab lain dari

disfungsi ginjal.1,2 Sindrom hepatorenal bersifat fungsional dan progresif.

Sindrom hepatorenal merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu

disebabkan adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya perbaikan volume

plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal ini.2,3

Berdasarkan International Ascites Club (1994), sindrom hepatorenal

adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronis dan

kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi

ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas sistem

vasoaktif endogen.4 Karakteristik khas dari sindrom hepatorenal adalah

vasokonstriksi yang kuat dari sirkulasi ginjal disertai vasodilatasi arteriol yang

luas pada sirkulasi di luar ginjal yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular

sistemik total dan hipotensi.

3.2 Epidemiologi

Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang

normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39%

setelah 5 tahun perjalanan penyakit.3 Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden

17
SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan

meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.1,5 Pasien dengan peritonitis bakterial

spontan memiliki kesempatan sepertiga untuk mengalami perkembangan menjadi

SHR.5

3.3 Patogenesis

Sindrom Hepatorenal (SHR) merupakan salah satu komplikasi sirosis

hepatis. Karakteristik khas pada SHR adalah vasokonstriksi yang kuat dari

sirkulasi ginjal namun disertai pengurangan pengisian arteri sistemik yang

disebabkan oleh vasodilatasi arteri pada sirkulasi splanik.5 Mekanisme yang

mendasari SHR belum sepenuhnya dipahami, namun mungkin mencakup

peningkatan faktor vasokonstriktor dan penurunan vasodilator pada sirkulasi

ginjal.1 Ada tiga faktor dominan yang terlibat dalam patogenesis SHR, yaitu:1,6

- Perubahan hemodinamik dimana terjadi vasodilatasi arteri perifer yang

luas dengan sirkulasi hiperdinamik dan vasokonstriksi sirkulasi ginjal.

- Stimulasi sistem saraf simpatis ginjal.

- Peningkatan sintesis humoral dan mediator vasoaktif ginjal.

Selain itu, ada tiga teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang

timbul pada penderita SHR, yaitu:

- Hepatorenal Refleks

Teori ini berdasarkan percobaan binatang yang memperlihatkan bahwa

peningkatan tekanan intrahepatik menyebabkan peningkatan aktivitas

simpatoadrenal ginjal yang disertai dengan penurunan perfusi ginjal dan laju

filtrasi glomerular (GFR), serta peningkatan reabsorpsi natrium dan air. Studi

18
ini mendukung adanya refleks hepatorenal, yang mungkin dapat diaktivasi

melalui reseptor adenosine seperti pada binatang. Pemberian adenosine

receptor antagonist dapat mencegah peningkatan retensi natrium dan air

setelah penurunan aliran darah vena portal.5 Meskipun demikian, masih

didebatkan apakah refleks heepatorenal juga ditemukan pada manusia.

- Teori Vasodilatasi Arteri

Patofisiologi yang sesuai dengan perubahan fungsi ginjal dan sirkulasi dalam

SHR adalah vasodilatasi arterial. Pasien dengan SHR ditandai dengan

vasodilatasi splanikus yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular

sistemik dan penurunan volume efektif arterial, yang selanjutnya menginduksi

sistem neurohumoral, sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-

aldosteron.3,5,7 Aktivasi dari sistem vasokonstriktor tersebut akan menyebabkan

hipoperfusi ginjal, penurunan GFR, dan retensi natrium (sistem renin-

angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis) serta air (arginine

vasopressin) yang terjadi pada sirosis hepatis tahap lanjut.5,8 Pada pasien

dengan sirosis dan asites, konsentrasi nitrit dan nitrat serum menunjukkan

peningkatan. Nitrit oksida (NO) merupakan vasodilator dan pada pasien

dengan SHR terjadi peningkatan produksi NO endogen oleh endothelium pada

arteri splanik.7 Hal inilah yang diduga menyebabkan sirkulasi splanikus

terhindar dari efek vasokonstriktor karena adanya rangsangan vasodilator lokal

yang kuat.1,4,8

19
Gambar 1. Mekanisme Vasokonstriksi Renal pada Pasien dengan Sindrom
Hepatorenal. eNOS, endothelial nitric oxide synthase; NO, nitric oxide.8

- Vasokonstriksi Renal

Pada fase awal dari sirosis hepatis dekompensata, perfusi ginjal masih dapat

dipelihara dalam batas normal, karena adanya peningkatan sintesis dari faktor-

faktor vasodilatasi. Akan tetapi, pada fase lanjut, perfusi ginjal tidak dapat

dipelihara lagi karena adanya vasodilatasi sistemik yang luar biasa dan

penurunan volume efektif arterial. Penurunan volume efektif arterial ini dapat

menyebabkan aktivasi progresif dari mediator baroreseptor dan vasokonstriktor

disertai dengan penurunan produksi vasodilator renal.5,8

Gambar 2. Patogenesis Sindroma Hepatorenal 4

20
Seperti penjelasan sebelumnya, pada pasien sindrom hepatorenal

ditemukan vasokonstriksi ginjal reversibel dan hipotensi sistemik. Penyebab

utama dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi

kemungkinan melibatkan banyak faktor antara lain perubahan sistem

hemodinamik, meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor dan

penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal.4 Faktor-faktor

vasoaktif yang berperan dalam pengaturan perfusi ke ginjal pada sindrom

hepatorenal tampak pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor-Faktor Vasoaktif secara Potensial Berperan dalam Pengaturan


Perfusi ke Ginjal pada Penderita Sindrom Hepatorenal.4,6
Vasokonstriktor

- Angiotensin II
- Norepineprine
- Neuropeptida Y
- Endothelin
- Adenosine
- Cyteinyl leukotrine
- F2-isoprostanes
Vasodilator

- Prostaglandin
- Nitric oxide
- Natriuretic peptide
- Kallikrein-kinin

Faktor Vasokonstriktor

Sistem renin – angiotension dan sistem saraf simpatis merupakan mediator

utama yang mempunyai efek vasokonstriksi sirkulasi ginjal pada sindrom

hepatorenal.4 Aktifitas dari sistem vasokonstriksi ini meningkat pada penderita

dengan sirosis dan asites, terutama penderita dengan sindrom hepatorenal dan

berkolerasi terbalik dengan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.4,6,7

21
Selain itu, penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan SHR

menunjukkan bahwa konsentrasi plasma endothelin-1 meningkat. Endothelin-1

merupakan salah satu substansi vasokonstriktor ginjal. Peningkatan level

endothelin-1 mungkin berkontribusi pada vasokonstriksi ginjal. Hipotesis ini juga

didukung dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pemberian

antagonis reseptor endotelin menginduksi peningkatan GFR pada pasien SHR.6,7

Cysteinyl leukotriene (leukotrien C4 dan D4) merupakan vasokonstriktor

ginjal yang poten dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial secara in vitro.

Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan cysteinyl leukotrien

pada SHR.6 Tromboxane A2 juga memberikan kontribusi pada vasokonstriksi

sirkulasi ginjal dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial pada SHR.6

Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostanes dapat juga sebagai

faktor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi

mekanismenya masih belum diketahui.4

Gambar 3. Patofisiologi SHR berdasarkan Hipotesis Vasodilatasi Perifer dan


Menggambarkan Kemungkiann Hubungan antara Toksin/endotoksin, Hormon,
Eicosanoid dengan Potensi Modulator dalam Hemodinamik Ginjal dan Fungsi
Glomerulus.9

22
Faktor Vasodilator

Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada

hewan memperlihatkan bahwa sintesa faktor vasodilator lokal pada ginjal

memainkan peran yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan

melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari faktor vasokonstriktor.

Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs).4,8

Bukti yang paling kuat menyokong peran PGs ginjal dalam

mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan asites diperoleh dari penelitian

yang menggunakan obat NSAIDs untuk menghambat pembentukan prostaglandin

ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis

hati dengan asites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal

dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR

pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata.4,9

Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam

mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi

nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidak langsung dalam percobaan sirosis

dengan asites, maka akan terjadi penurunan perfusi ginjal. 4

23
Gambar 4. Patogenesis Sindrom Hepatorenal10

Sistem saraf simpatis

Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan

menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini

telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin

di pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstriksi

pada arteriol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR

dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.4

24
Gambar 5. Patofisiologi Mekanisme dari Sindrom Hepatorenal
Renal VD, renal vasodilation; Renal VC, renal vasoconstriction; SNS, sympathetic
nervous system1

3.4 Faktor Presipitasi dan Prediktif

Berbagai situasi beresiko dapat memicu terjadinya sindrom hepatorenal

dan berbagai faktor prediktif memungkinkan untuk memastikan perkembangan

sindrom hepatorenal pada pasien non-azotemik dengan sirosis dan asites. Pada

SHR tipe 1, faktor-faktor presipitasi diidentifikasi pada 70-100% pasien dengan

SHR, dan lebih dari satu kejadian dapat terjadi pada satu pasien.1 Di bawah ini

tabel faktor-faktor presipitasi dan prediktif pada pasien sirosis dan asites yang

berkaitan dengan SHR.

25
Tabel 2. Faktor Presipitasi dan Prediktif pada Pasein dengan Sirosis dan
Asites yang Berkaitan dengan Perkembangan Sindrom Hepatorenal2

Faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi mencakup infeksi

bakteri, parasentesis volume besar tanpa infuse albumin, perdarahan saluran

cerna, dan hepatitis alcohol akut dapat memicu terjadinya sindrom

hepatorenal.1,2,11

Gambar 6. Peran Faktor Presipitasi pada Sindrom Hepatorenal1

26
3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai dengan

kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal

dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi

natrium dan air, yang menimbulkan asites, edema dan dilutional hyponatremia,

yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan pengurangan

kemampuan buang air (oliguri –anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat

ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan

penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik.4 Pada pasien sirosis hepatis,

80% kasus SHR disertai asites, 75% disertai ensefalopati hepatic, dan 40%

disertai ikterus.3

Tabel 3. Gangguan Hemodinamik yang Sering Ditemukan pada Sindrom


Hepatorenal4
Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktivasi sistem vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic Shunt
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi

Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu;

1. Sindroma Hepatorenal tipe I

27
Merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan

serum kreatinin dua kali lipat.3 Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan

progresif dari BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai

kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%,

keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu.3,4 Gagal ginjal sering

dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi natrium dan

hiponatremi.4

Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat

dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati.4,6

Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik,

tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus

Sindroma Hepatorenal tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang

diketahui, kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat

yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi, seperti infeksi

bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis. Peritonitis Bakteri Spontan

(SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira

35% penderita sirosis dengan SBP timbul Sindroma Hepatorenal tipe I.4

Sindroma Hepatorenal Tipe I adalah komplikasi dengan prognosis yang

sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata

waktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua minggu, lebih buruk dari

lamanya hidup dibanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya.3,4,6

28
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II

Merupakan bentuk kronis SHR.3 Tipe II SHR ini ditandai dengan

penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50

mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR

biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi

pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup penderita

dengan kondisi ini lebih panjang dari pada Sindroma Hepatorenal tipe I.3,4,6

3.6 Diagnosis

Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik sindrom hepatorenal.

Diagnosis SHR selalu dibuat setelah eksklusi gangguan-gangguan lain yang dapat

menyebabkan gagal ginjal pada pasien sirosis.8 Kriteria diagnostik yang dianut

sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of

Hepatorenal Syndrome.

Tabel 4. Kriteria diagnostik Sindroma Hepato Renal berdasarkan International


Ascites Club1-12

Kriteria Mayor

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130 µmol/L) atau kreatinin klirens
24 jam < 40 ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
liter dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau
penyakitparenkim ginjal secara ultrasonografi

Kriteria Tambahan
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter

29
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 mEq/liter

*Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnose Sindroma


Hepatorenal, sedangkan criteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnose
Sindroma Hepatorenal

Gambar 7. Alur Diagnosis Sindroma Hepatorenal Pada Pasien Sirosis8

SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan

dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan,

diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan Pseudohepatorenal

Syndrome. Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaaan terdapatnya

kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak ada

30
hubungan satu sama lain. Beberapa penyeebab Pseudohepatorenal Syndrome

adalah:3

- Penyakit congenital, misalnya penyakit polikista ginjal dan hati

- Penyakit metabolic, misalnya diabetes, amyloidosis, penyakit Wilson

- Penyakit sistemik, misalnya SLE, arthritis rheumatoid, sarkoidosis

- Penyakit infeksi, misalnya leptospirosis, malaria, hepatitis virus, dan

lain-lain

- Gangguan sirkulasi, misalnya syok, insufisiensi jantung

- Intoksikasi, misalnya endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka

bakar, dan lain-lain

- Medikamentosa, misalnya metoksifluran, halotan, sulfonamid,

parasetamol, tetrasiklin, iproniazid

- Tumor, misalnya hipernefroma, metastasis

- Eksperimenta, misalnya defisiensi kolin, dan lain-lain.

3.7 Penatalaksanaan

SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

pada pasien sirosis hepatis.3 Oleh karena itu, pasien sirosis hepatis sangat sensitif

dengan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, maka hindari pemakaian

diuretik agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.3

- Terapi suportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein.

- Koreksi keseimbangan asam basa

- Hindari penggunaan OAINS

31
- Peritonitis bakterial spontan pada SHR harus segera diobati sedini dan

seadekuat mungkin.

- Pencegahan ensefalopatik hepatik juga harus dilakukan dalam rangka

mencegah SHR.

- Hemodialisa belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR,

namun tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping yang cukup

berat, misalnya hipotensi, koagulopati, sepsis, dan perdarahn saluran

cerna.3,4

Medikamentosa

Vasodilator

Karena penyebab langsung SHR adalah vasokonstriksi sirkulasi ginjal,

tentu masuk akal jika kita menduga perubahan hemodinamik ginjal dapat diubah

dengan menggunakan vasodilator renal, seperti dopamin, fenoldopam, dan

prostaglandin atau obat-obat antagonis vasokonstriktor renal, seperti saralasin,

ACEI, dan antagonis endothelin. Akan tetapi, tidak ada penelitian yang

menyatakan bahwa penggunaan vasodilator renal menunjukkan perbaikan dalam

perfusi ginjal atau GFR.1,10

Penelitian Barnardo dkk dan Bennett dkk melaporkan infus dopamin dosis

rendah selama 24 jam memperbaiki aliran darah korteks dan tampilan angiografi

dari korteks renal tanpa memperbaiki GFR atau aliran urin.1,2,4

Pemberian PGs intravena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral

aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR juga tidak diikuti dengan perbaikan

fungsi renal.1,3,4 Pemberian antagonis endothelin spesifik segera berhubungan

32
dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR.4 Karena efek samping

dan kurangnya manfaat, penggunaan vasodilator renal dalam SHR sudah banyak

ditinggalkan.1

Vasokonstriktor

Vasokonstriktor sistemik merupakan agen farmakologis yang paling

menjanjikan dalam manajemen SHR. Vasokonstriktor sistemik digunakan untuk

mengatasi vasodilatasi splanik.1,3 Vasokonstriktor meliputi vasopressin analog

(ornipressin dan terlipressin), somatostatin analog (octreotide), dan -adrenergik

dengan agonis (midodrine dan norepinefrin).1

Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin, angiotension II,

ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan

vasokonstriksi arteri, yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi

vaskuler sistemik.4

Infus ornipressin dikombinasikan dengan ekspansi volume atau dopamin

dosis rendah, dikaitkan perbaikan yang bermakna pada perfusi ginjal, peningkatan

RPF, GFR, dan ekskresi natrium.1 Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa

pemberian kombinasi ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan

albumin memperbaiki fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik

pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan

albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan dari renin – angiotensin dan

sistem saraf simpatis. Peningkatan kadar natriuetik peptide arteri dan hanya

memperbaiki sedikit fungsi ginjal.1,3,4 Pemberian ornipressin dan albumin selama

15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal

33
dan laju filtrasi glomerulus. Tetapi, terapi ini dapat digunakan dengan

kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena

komplikasi iskemik.1,4,11

Kombinasi terlipressin dengan albumin berkaitan dengan peningkatan

GFR yang signifikan, peningkatan tekanan arterial, normalisasi kadar

neurohumoral dan penurunan kadar kreatinin serum pada 42-77% kasus.1

Angeli dkk memberikan Midodrine dan Otreotide pada 13 penderita SHR

tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin,

vasopressin dan glucagon, 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita

dilakukan transplantasi hati dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal

hati.4 Octreotide merupakan vasokonstriktor alternatif bila terlipressin belum atau

tidak tersedia.3

Tabel 5. Obat-Obat untuk Terapi Sindrom Hepatorenal8

Portosystemic shunt

Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nonbedah dari kompresi

portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).4 Sebelumnya

digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien sirosis hepatis dengan perdarahan

34
dari varises esofagus atau lambung yang

tidak menanggapi pengobatan endoskopik dan medis.4,5 Intervensi ahli radiologi

akan menempatkan shunt portacaval side to side yang menghubungkan vena

portal dan vena hati dalam

parenkim hati.5

TIPS mengurangi tekanan portal dan mengembalikan sebagian volume

darah yang terakumulasi di sirkulasi splanknikus ke sirkulasi sistemik. Hal ini

akan menekan renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik dan

mengurangi efek vasokonstriktor pada sirkulasi ginjal.5

Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah

penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien

yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan

obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cendrung

memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien

sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati.4

Hubungan antara penurunan tekanan portal yang diinduksi oleh insersi

TIPS dan perubahan yang bermanfaat dalam faktor-faktor neurohumoral, fungsi

ginjal pada pasien sirosis, dan asites refraktori. Mekanisme TIPS pada efek

tersebut masih spekulatif, namun mungkin akibat penurunan tekanan portal,

penekanan reflex hepatorenal, perbaikan volume sirkulasi.1

TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR.

Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol

untuk dapat merokomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita

35
SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi

ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan sistem saraf simpatis3,4,6

Dialisa

Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada

penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan

dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang

mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian

tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang

meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup

tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk

pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.3,4

Transplantasi Hati

Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita

SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya.

Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk

dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat

transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat

diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai

mengalami perbaikan.3,4,5,6

36
Gambar 8. Patogenesis Sindrom Hepatorenal pada Sirosis, Berdasarkan
Teori Vasodilatasi Arterial, dan Intervensi Terapi Efektif8

37
BAB 4
PENUTUP

Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

penyakit sirosis. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi

ginjal yang normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun

dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit.3 Gines dkk melaporkan

kemungkinan insiden SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun

pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.1,5 SHR adalah

komplikasi dari penyakit hati lanjut yang ditandai tidak hanya gagal ginjal, tapi

juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem vasoaktif endogen.

Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tapi diduga karena pengurangan

pengisian sirkulasi arteriol sekunder karena vasodilatasi sirkulasi arteriol di

splanik, serta gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan

vasodilator

Penegakan Diagnosis SHR berdasarkan International Ascites Club’s yakni

kriteria mayor berupa penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan

hipertensi porta, GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24

jam < 40 ml/mnt, tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan

cairan dan mendapat obat nefrotoksik, tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan

pemberian plasma ekspander 1,5 ltr dan diuretik (penurunan kreatinin serum

menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)

serta proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruksi uropati atau penyakit

parenkim ginjal secara ultrasonografi. Selain kriteria mayor, terdapat pula kriteria

38
oambahan berupa volume urin < 500 ml / hari, natrium urin < 10 meg/liter,

Osmolalitas urin > osmolalitas plasma, Eritrosit urin < 50 /lpb, Natrium serum

<130 meg / liter.1-9 Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan

diagnosis SHR, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk

diagnosis SHR.

Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu

pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian yang utama.3 Dengan

mengetahui beberapa faktor pencetus timbulnya SHR pada penderita sirosis

dengan ascites, maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita

ini.4 Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati. Pengobatan

pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai

jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Wadei, HM, Martin LM, Nasimul A. Hepatorenal Syndrome:


Pathophysiology and Management. American Society of Nephrology
[Internet]. 2006 [Diakses pada 18 April 2010]. Didapat dari:
http://cjasn.asnjournals.org/content/i/5/1066.full.pdf.

2. Kuntz, Erwin, H. D. Kuntz. Hepatology Principles and Practice. Germany:


Springer; 2006.

3. Setiawan, P. B, Hernomo K. Sindrom Hepatorenal. Dalam: ed. Sudoyo, Ari


W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. Hal 452 – 454

4. Sri Maryani S. Sindrom Hepatorenal. Fakultas Kedokteran Universitas


Sumatera Utara [Internet]. 2003 [Diakses 18 April 2011]. Didapat dari ;
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3390/1/penydalam-
srimaryani6.pdf

5. Charles, KF, Michael HM. Hepatorenal Syndrome. Department of Chemical


Pathology, The Chinese University of Hong Kong, Prince of Wales
Hospital, Shatin, Hong Kong [Internet]. 2007. [Diakses 18 April 2011].
Didapat dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC1904420/
pdf/cbr28_1p011.pdf

6. Dagher, Moore. The Hepatorenal Syndrome. [Internet]. 2001. [Diakses 18


April 2011]. Didapat dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC1728492/pdf/v049p00729.pdf?tool=pmcentrez

7. Moreau, Richard. Hepatorenal Syndrome in Patients with Cirrhosis. Lancet


[Internet] 2003; 362: 739-747. Didapat dari: http://onlinelibrary.wiley.com/
store/10.1046/j.14401746.2002.02778.x/asset/j.1440-1746.2002.02778.x.pd
f?v=1&t=gmnm3efc&s=eeaf38237c6aceb 2669a1d48c443336411825ae9

8. Pere Glines. 2003. Hepatorenal Syndrome. Lancet 2003; 362: 1819-1826.


Didapat dari: http://www.med.upenn.edu/gastro/documents/ LancetHRS.pdf

9. Wilkinson SP, KP Moore, V Arroyo. Pathogenesis of ascites and


hepatorenal syndrome. Gut Supplement [internet] 1991 [Diakses 18 April

40
2011]. Didapat dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC1405222/pdf/gut00594-0014.pdf?tool=pmcentrez

10. Sherlock, Sheila, James Dooley. Disease of The Liver and Billiary System.
UK: Blackwell Science; 2002. Hal 140-143.

11. Younossi, Zobair. Practical Management of Liver Disease. USA: Cambrige


University; 2008.

12. Fauci, dkk. Harrison’s Priciples of Internal Medicine Edisi 17. USA: Mc
Graw-Hill Company; 2008. Chapter 302

41

Você também pode gostar