Você está na página 1de 9

Laksatif Oral Lawan Laksatif Rektal Untuk Pengobatan Konstipasi

Fungsional Pada Anak – Anak


Wiji Joko Pranoto, Supriatmo, Melda Deliana, Atan Baas Sinuhaji

Abstrak
Latar belakang
Konstipasi Fungsional adalah sebuah kondisi anak-anak yang sering terjadi. Keuntungan
penggunaan laksatif oral dan rektal dalam pengobatan dan rekurensi konstipasi fungsional pada
anak – anak masih mengandung kontroversi.
Objektif
Untuk membandingkan efektivitas penggunaan laksatif oral dan rektal dalam
penyembuhan dan rekurensi pada anak dengan konstipasi fungsional.
Metode
Anak berumur 8 – 17 tahun yang memenuhi kriteria ROME III untuk konstipasi fungsional,
didaftarkan pada open randomized trial. Data didapatkan melalui kuesioner, wawancara, dan
pemeriksaan fisik. Partisipan akan diberikan laksatif stimulan (bisacodyl 5mg) secara acak baik
secara oral tiga hari berturut – turut atau secara rektal dosis tunggal. Subjek dicatat untuk merekam
defekasi selama 7 hari, dan di follow up pada hari ke 14, 21, 28, 35, dan 42. Perbandingan pattern
defekasi dan rekurensi konstipasi diantara dua grup di bandingkan dengan menggunakan Chi –
Square.
Hasil
Dari 99 subjek, 46 anak – anak (5 laki – laki dan 41 perempuan) yang menerima laksatif
oral (grup 1) dan 45 anak – anak (8 laki – laki dan 37 perempuan) yang menerima laksatif rektal
(grup 2). Empat anak dari dua grup tersebut drop out. Karakteristik dasar diantara 2 grup tersebut
dapat dibandingkan. Kecepatan penyembuhan pada 7 hari pertama lebih tinggi pada laksatif oral
dibandingkan dengan laksatif rektal (84.8% oral, dan 73.3% rektal, namun hal ini tidak siknifikan
secara ilmu statistic (P= 0.278). Pada minggu kedua, tingkat rekurensi konstipasi pada laksatif
rektak lebih tinggi (57.5%) dibanding dengan laksatif oral (42.5%) (P=0.026).
Konklusi
Meskipun kualitas penyembuhan terlihat lebih tinggi pada laksatif oral jika dibandingkan
dengan laksatif rektal, tetapi perbedaanya tidak begitu siknifikan secara statistic. Tingkat rekurensi
lebih tinggi pada minggu kedua setelah pengobatan menggunakan laksatif rektal.

Kata kunci: Laksatif Stimulan, Konstipasi Fungsional, Anak

Konstipasi adalah sebuah masalah yang paling umum terjadi pada anak-anak, terjadi antara
16-37% anak-anak usia sekolah dan 4% anak-anak belum sekolah. Kira-kira antara 90-95% kasus
konstipasi fungsional terjadi pada anak lebih dari umur 1 tahun. Hanya 5-10% kasus konstipasi
disebabkan oleh organic atau kelainan patologis. Konstipasi pada dasarnya bukanlah sebuah
diagnosis klinis, tetapi penyebab terjadinya suatu konstipasi fungsional adalah menahan
pergerakan usus, ketakutan akan toilet atau ada sejarah bahwa terjadinya sakit di beberapa kali
buang air. Konstipasi fungsional di anak-anak umumnya akan berlanjut hingga anak menjadi
dewasa nanti. Berdasrkan studi kros seksional, sebanyak 24% anak-anak yang mengalami
konstipasi persisten akan mengalami konstipasi kronik pada saat dewasa nanti, dimana bisa
menyebabkan terganggunya Quality of Life.
Tatalaksana konstipasi fungsional antara lain adalah evakuasi feses, pengobatan dengan
obat-obatan, modifikasi kebiasaan, dan intervensi makanan. Pengobatan awal akan meningkatkan
perbaikan simtom konstipasi. Evakuasi feses bisa dilakukan dengan laksatif oral, supositori atau
enema. Berdasarkan Randomized Control Trial terhadap 100 orang yang terdiri dari anak berumur
8-18 tahun menunjukkan bahwa penambahan laksatif rectal terhadap laksatif oral menghasilkan
peningkatan frekuensi defekasi normal, tapi tidak dengan kesuksesan terapi secara keseluruhan.
Disimpeksi rectal biasanya dilakukan sebelum terapi maintenans dilakukan. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa disimpeksi rectal memiliki efektivitas pengobatan dengan laksatif
oral, rectal, atau gabungan keduanya. Meskipun ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa
adanya efektivitas dengan penggunaan bisacodyl hanya sebagai terapi awal tetapi tidak dengan
terapi pemeliharaan. Lalu, belum ada randomized study yang membandingkan antara laksatif oral
dan laksatif rektal dalam hal perbaikan dan rekurensi di anak dengan konstipasi fungsional.
Metode Penelitian
Randomized Control Trial terbuka dilakukan di Regensi Mandailing Natal, provinsi
Sumatera Utara dari bulan May – Juni 2010. Subjek yang mengikuti penelitian adalah Murid
Sekolah Menengah dengan kelompok umur 8 – 17 tahun yang didiagnosis dengan konstipasi
fungsional dengan dasar penilaian ROME III. Kriteria ROME III antara lain adalah: defekasi ≤ 2
kali dalam 1 minggu, mempunyai sejarah retensi feses dalam waktu lama, sejarah mengalami
kesusahan dalam berdefekasi, memiliki massa feses dalam rectum yang bisa diraba, dan memiliki
sejarah untuk pengeluaran feses yang sangat besar ukurannya hingga bisa memblokade toilet.
Penulis mengeksklusi subjek yang menolak untuk memakan obat, orang yang mengalami BAB
berdarah, muntah, diare kronik, demam tanpa sebab, feces tidak normal, perbesaran organ, atau
kelainan gastrointestinal seperti apendisitis, dan peritonitis.
Subjek di randomisasi dengan metode random table ke dua grup. Grup pertama menerima
5mg Bisacodyl 1 kali untuk 3 hari berturut-turut. Grup kedua, menerima dosis tunggal 5 mg
Bisacodyl rectal. Subjek di follow up tiap hari untuk 7 hari pertama, dan pada hari ke 14, 21, 28,
35 dan 42 untuk mengases rekurensi konstipasi dan frekuensi defekasi. Penyembuhan adalah
peningkatan defekasi sebanyak lebih dari 3 kali / minggu. Rekurensi adalah frekuensi defekasi
kembali sebanyak kurang dari dua kali / minggu setelah recovery period. Orang tua subjek telah
memberikan informed consent. Studi ini sudah di sahkan oleh komite etik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Penulis meggunakan SPSS versi 17.0 untuk proses data. Analisis primer melibatkan semua
pasien yang yang di pilih secara random. Recovery Rate dan rekurensi dibandingkan antara 2 grup
menggunakan Chi – Square. Siknifikansi statistic adalah P<0.05

Hasil Penelitian
Antara Bulan May dan Juni 2010, dari 109 anak yang di skrining, 99 anak telah dimasukkan
kedalam studi. Dimana mereka secara acak dibagi menjadi 2 grup yang berbeda. 50 anak ke oral
laxatives, dan 49 anak menuju ke rectal laxative. (Figur 1)
Seperti yang bisa dilihat pada Tabel 1, 2 grup pengobatan adalah sama di dalam
karakteristik.

Tabel 2, menunjukkan kecepatan penyembuhan di tiap grup. Didapatkan bahwa 39 anak


(85%) dengan pengobatan oral, dan 33 anak (73%) dengan pengobatan rektal mengalami
kesuksesan pengobatan, tetapi secara statsitik tidak terlihat adanya perbedaan yang siknifikan
(P=0.278).

Tabel 3, menunjukkan bahwa adanya rekurensi terhadap konstipasi di tiap grup. Pada saat
minggu kedua, laksatif rektal mengalami rekurensi lebih banyak dibanding grup laksatif oral (P=
0.026). Tetapi, pada observasi minggu ketiga, keempat, kelima, dan keenam ditemukan bahwa
tidak adanya perbedaan dalam rekurensi antara 2 grup tersebut.

Diskusi Jurnal
Dalam pembelajaran ini, ditemukan bahwa tidak adanya siknifikansi secara statistik
terhadap penyembuhan konstipasi antara penggunaan laksatif oral dan rektal meskipun terlihat
adanya tren bahwa laksatif oral memiliki tingkat penyembuhan yang lebih tinggi dibanding rektal
laksatif. Rekurensi di minggu kedua setelah pengobatan terjadi lebih sering pada rektal dibanding
dengan pengobatan oral. Karena sample size kecil maka penemuan harus dikonfirmasi ulang
dengan subjek yang lebih banyak.
Konstipasi sangat sering pada anak-anak, tetapi hanya 3% anak yang mengalami konstipasi
yang dibawa oleh orang tuanya datang ke dokter, dan hanya 10-25% anak yang mengalami hal
tersebut dibawa ke klinik gastroenterology pediatric. Prevalensi terjadinya konstipasi pada anak
usia 4-17 tahun dilaporkan sebanyak 22.6%, sedangkan pasien dibawah 4 tahun adalah 16%. Studi
yang lain menunjukkan bahwa 18% anak kisaran umur 9-11tahun mengalami konstipasi.
Didalam studi penulis, umur rata-rata subjek (anak) yang mengalami konstipasi fungsional
tidaklah memiliki perbedaan yang siknifikan yakni umur 15 tahun pada kelompok laksatif oral,
dan 15.1 tahun untuk kelompok laksatif rektal. Studi ini melibatkan anak berumur 8-17 tahun
sebagai subjek karena adanya prevalensi yang tinggi terhadap konstipasi fungsional pada grup
umur diatas. Selain itu, konstipasi yang disebabkan oleh kelainan organic atau patologis sangat
jarang terjadi pada grup umur ini.
Intervensi awal bisa meningkatkan kesempatan untuk resolusi komplit oleh konstipasi
fungsional. Disimpaksi sangat penting sebelum inisiasi terapi maintenans. Dimana bisa dicapai
dengan laksatif oral ataupun rektal. Pendekatan laksatif oral adalah non invasif dan memberikan
sense of power kepada anak kecil, tetapi ketaatan terhadap pengobatan ini masih menjadi masalah.
Pendekatan secara rektal lebih cepat, tetapi invasif. Enema dan Polyethylene Glycol memiliki
efektivitas yang sama delam mengobati konstipasi dan impaksi feses pada anak umur 4-16 tahun.
Laksatif stimulan seperti bisacodyl sangat sering di preskribsi dan bisa dibeli tanpa
menggunakan resep dokter. Hanya sedikit bisacodyl yang bisa diserap oleh usus kecil setelah
administrasi oral, sama seperti dengan usus besar setelah administrasi rektal. Bisacodyl bekerja
secara local untuk meningkatkan motilitas dan mengurangi waktu transit feces di dalam kolon, dan
juga meningkatkan cairan di dalam feces.
Konstipasi fungsional sangat sulit disembuhkan dan rekurensi sangat tinggi. Dalam sebuah
studi kasus, 52% anak dengan konstipasi dan enkopresis masih memiliki simtoms setelah 5 tahun
pengobatan. Studi lain menemukan 30% anak yang telah diobati secara medis untuk konstipasi
dengan rata-rata 6.8 tahun terus menerus mengalami konstipasi. Tambahan, dalam stuydi sebanyak
418 pasirn konstipasi yang memiliki umur lebih dari 5 tahun, ditemukan bahwa grup anak yang
telah sukses diobati akan mengalami setidaknya sebanyak 50% rekurensi.
Dalam studi penulis, tidak terdapat adanya perbedaan yang siknifikan antara rekurensi
konstipasi di minggu ketiga sampai minggu keenam, antara laksatif oral dan rektal dengan
penyembuhan total. Tetapi rekurensi yang lebih besar terjadi di laksatif rektal di minggu kedua
setelah administrasi.
Ada beberapa limitasi dalam studi ini, penyembuhan didasari hanya dengan peningkatan
defekasi lebih dari 3 kali/minggu, tanpa adanya follow up long term dan tanpa mengases retensi
feses, sejarah rekurensi tentang sakit atau susah defekasi, dan palpasi abdomen untuk massa fekal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan konstipasi fungsional seperti, aktivitas
fisik, intake fiber, dan availabilitas fasilitas, seperti toilet. Studi effikasi tentang laksatif oral dan
rektal sebagai terapi pertama dan terapi maintenans, bersama dengan faktor yang mempengaruhi
penyembuhan dan rekurensi konstipasi harus dilakukan.
Sebagai konklusi, laksatif oral lebih memiliki kecendrungan utnuk penyembuhan
dibanding lakstaif rektal, perbedaannya tidak terlihat dengan statistic dan studi harus dilakukan
dengan jumlah subjek yang lebih banyak. Rekurensi konstipasi lebih sering terjadi di minggu
kedua setelah diberikan laksatif rektal.

Penolakan: Tidak ada


Konflik Kepentingan: Tidak ada
Sumber pendanaan: Tidak ada
Referensi:
1. Jufrie M, Soenarto YS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani SN. Gastroenterologi-
Hepatologi. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. p. 201-13.
2. Prasetyo D. Konstipasi pada anak. In: Sinuhaji AB, Lubis M, Supriatmo, Nafianti S, Lubis BM,
editors. From basic to community. Medan: Badan Koordinasi Gastroenterologi Indonesia
(BKGAI); 2010. p. 55-63.
3. Brennan LK. Constipation. In: Zaotis LB, Chiang ZW, editors. Comprehensive pediatric
hospital medicine. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007. p. 612-6.
4. Bongers ME, Benninga MA, Maurice-Stam H, Grootenhuis MA. Health-related quality of life
in young adults with symptoms of constipation continuing from childhood into adulthood. Health
Qual Life Outcomes. 2009;7:20. doi: 10.1186/1477-7525-7-20.
5. Biggs WS, Dery WH. Evaluation and treatment of constipation in infants and children. Am Fam
Physician. 2006;73:469-77.
6. Bongers ME, van den Berg MM, Reitsma JB, Voskuijl WP, Benninga MA. A randomized
controlled trial of enemas in combination with oral laxative therapy for children with chronic
constipation. Clin Gastroenterol Hepatol. 2009;7:1069-74.
7. Coughlin EC. Assessment and management of pediatric constipation in primary care. Pediatr
Nurs. 2003;29:296-301.
8. Wyllie R. Constipation. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors.
Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007; p. 1525-65.
9. Loening-Baucke V. Prevalence rates for constipation and faecal and urinary incontinence. Arch
Dis Child. 2007;92:486-9.
10. Saps M, Sztainberg M, Di Lorenzo C. A prospective community-based study of
gastroenterological symptoms in school-age children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;43:477-
82.
11. McGrath ML, Mellon MW, Murphy L. Empirically supported treatments in pediatric
psychology: constipation and encopresis. J Pediatr Psychol. 2000;25:225-54.
12. Bekkali NL, van den Berg MM, Dijkgraaf MG, van Wijk MP, Bonges ME, Liem O, et al.
Rectal fecal impaction treatment in childhood constipation: enemas versus high doses oral PEG.
Pediatrics. 2009;124:1108-15.
13. Altman DV. Obat yang digunakan dalam penyakit gastrointestinal. In: Bagian farmakologi FK
UNAIR. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: Salemba Medika; 2004. p. 541-64.
14. Manabe N, Cremonini F, Camilleri M, Sandborn WJ, Burton DD. Effects of bisacodyl on
ascending colon emptying and overall colonic transit in healthy volunteers. Aliment Pharmacol
Ther. 2009;30:930-6.
15. Staiano A, Andreotti MR, Greco L, Basile P, Auricchio S. Long-term follow-up of children
with chronic idiopathic constipation. Dig Dis Sci. 1994;39:561-4.
16. Sutphen JL, Borowitz SM, Hutchison RL, Cox DJ. Long-term follow-up of medically treated
childhood constipation. Clin Pediatr. 1995;34:576-80.
17. van Ginkel R, Reitsma JB, Buller HA, van Wijk MP, Taminiau JA, Benninga MA. Childhood
constipation: longitudinal follow-up beyond puberty. Gastroenterology. 2003;125:357-63

Você também pode gostar