Você está na página 1de 40

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN RESPIRATORY

PADA ANAK
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Oleh
Albertus Budi Arianto (30120110001)

Yunda Putri Indraswari (301200110024)

Claudia Olivia (301200110026)

Ferina Santi (301200110028)

Malvin Paula Batlolona (301200110038)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN SANTO BORROMEUS

BANDUNG

2011
BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang
paling sering dan penting pada anak, terutama pada bayi, karena saluran pernafasannya masih
sempit dan daya tahan tubuhnya masih rendah. Disamping faktor organ pernafasan , keadaan
pernafasan bayi dan anak juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain, seperti suhu tubuh yang
tinggi, terdapatnya sakit perut, atau lambung yang penuh.
Penilaian keadaan pernafasan dapat dilaksanakan dengan mengamati gerakan dada dan
atau perut. Neonatus normal biasanya mempunyai pola pernafasan abdominal. Bila anak
sudah dapat berjalan pernafasannya menjadi thorakoabdominal. Pola pernafasan normal
adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada
inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan
bekerja secara pasif.Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang
paling sering adalah takipneu..
Ganguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic,
trauma, alargi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir. Gangguan
pernapasan yang sering ditemukan pada bayi baru lahir (BBL) termasuk respiratory distress
syndrome (RDS) atau idiopatic respiratory distress syndrome (IRDS) yang terdapat pada bayi
premature. Sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN) dalam bahasa inggris disebut
respiratory disstess syndrome, merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispeu atau
hiperpneu.
Sindrom ini dapat trerjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru. Oleh karena itu,
tindakannya disesuaikan sengan penyebab sindrom ini. Beberapa kelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membram
hialin (PMH), pneumonia, aspirasi, dan sindrom Wilson- Mikity (Ngastiyah, 1999).
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena produksi surfaktan, yang
dimulai sejak kehamilan minggu ke 22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadi RDS dan kelainan ini merupakanpenyebab utama kematian bayi
prematur.
Banyak teori yang menerangkan patogenesis dari syndrom yang berhubungan dengan
kerusakan awal paru-paru yang terjadi dimembran kapiler alveolar.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang
interstitial, seolah-olah dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan. Akibatnya terjadi tanda-tanda
atelektasis. Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru. Plasma dan
sel darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin perdarahan
merupakan manifestasi patologi.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. TUBERCULOSIS
1. Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis
yang ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982.

2. Etiologi
 disebabkan oleh bakteri mycobacterium
tuberculosis biasanya melalui udara,
 . Selain itu, penularan dapat juga melalui peroral
misalnya minum susu yang mengandung basil
tuberculosis, biasanya mycobacterium bovis.
 Selain mycobacterium tuberculosis perlu juga
dikenal golongan mycobacterium lain yang dapat
menyebabkan kelainan yang menyerupai tuberculosis,
golongan ini disebut mycobacterium atipic atau disebut
juga unclassified mycobacterium ( Sri Rezeki
S.Hadinegoro, dkk,2005)

3. Penularan
Cara penularan bagi anak yang terinfeksi tuberculosis antara lain :
1. Dari orang dewasa dengan sputum TB positif. Kuman terdapat di tetesan ludah
atau cairan yang tersembur ke udara saat orang dewasa yang menderita
tuberculosis paru tersebut batuk. Hal tersebut dapat tertular pada anak- anak
terutama bila ditempat tertutup. Anak yang terinfeksi hampir selalu tertular oleh
anggota keluarganya atau tetangga dekat yang menderita Tuberkulosis paru.
2. Dari makanan atau susu. Anak-anak bisa menderita TB dari susu atau makanan
dimana infeksi bisa di mulai pada mulut atau usus. Susu dapat mengandung TB
dari sapi, bila sapi didaerah tersebut menderita tuberculosis dan susu tidak direbus
sebelum diminum. Hal ini bisa menyebabkan infeksi primer pada usus atau
terkadang pada amandel.
3. Melalui kulit. Kuman TBC dapat masuk dan menyebabkan infeksi yang serupa
dengan yang ditemukan pada paru, bila terdapat luka atau goresan pada kulit dan
kuman TBC masuk kedalamnya. Infeksi kulit terutama timbul pada permukaan
yang paling terpajan seperti wajah, tungkai atau kaki. ( jhon, Crofton, Norman
Home dan Fred Miller,2002)
Epidemiologi Dan Penularan TBC
Dalam penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah:
1. Reservour, sumber dan penularan
Manusia adalah reservoar paling umum, sekret saluran pernafasan dari
orang dengan lesi aktif terbuka memindahkan infeksi langsung melalui droplet.
2. Masa inkubasi
Yaitu sejak masuknya sampai timbulnya lesi primer umumnya memerlukan
waktu empat sampai enam minggu, interfal antara infeksi primer dengan reinfeksi
bisa beberapa tahun.
3. Masa dapat menular
Selama yang bersangkutan mengeluarkan bacil Turbekel terutama yang
dibatukkan atau dibersinkan.
4. Immunitas
Anak dibawah tiga tahun paling rentan, karena sejak lahir sampai satu bulan
bayi diberi vaksinasi BCG yang meningkatkan tubuh terhadap TBC.

4. Patofisiologi
Kuman Mycobacterium Tuberculosis masuk melalui saluran pernapasan dan
masuk kedalam paru-paru. Kuman yang masuk itu kemudian diatasi oleh mekanisme
imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman Myobacterium
Tuberculosis (TB) dan akan menghancurkan sebagian besar kuman TB. Magrofag pada
sebagian kecil kasus tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman-kuman itu akan
bereplikasi di dalam magrofag yang lama kelamaan menyebabkan magrofag lisis. Kuman
TB kemudian akan keluar dan membentuk koloni di paru-paru. Lokasi utama koloni
kuman TB di jaringan paru adalah focus primer ghon (Flor M. Munoz and Jeffrey Starke,
2000). Kuman TB dari focus primer menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan
inflamasi pada kelenjar limfe regional (limfadenitis). Gabungan antara focus primer,
saluran limfe yang mengalami inflamasi dan kelenjar limfe yang mengalami inflamasi
disebut kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer disebut masa inkubasi TB. Masa inkubasi biasanya berlangsung 4-8 minggu. Pada
masa ini kuman akan tumbuh dan menghasilkan kuman mencapai jumlah 1.000-10.000.
Jumlah ini cukup merangsang imunitas seluler. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah infeksi kuman TB primer telah terjadi, yang ditandai dengan terbentuknya
hipersensitifitas terhadap tuberkuloprotein (respon positif terhadap uji tuberculin). (Unit
Kerja Koordinasi Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005)
Apa yang kemudian terjadi tergantung dari kemampuan sang anak untuk melawan
perkembangbiakan kuman, dan untuk membatasi proses yang terjadi. Kemampuan
tersebut berbeda-beda pada setiap usia. Anak yang masih kecil adalah individu yang
paling lemah. Kemampuan tersebut juga dipengaruhi keadaan gizi, gizi yang buruk dapat
menurunkan kekebalan tubuh. (Jhon Crofton, Norman Home dan Fred Miller, 2002)
Sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi dengan baik,
imunitas selulernya akan berkembang , dan proliferasi kuman TB terhenti. Namun
sebagian kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. (Unit Kerja Koordinasi
Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005). Setelah imunitas seluler terbentuk,
focus primer dijaringan paru mengalami resolusi dan membentuk kalsifikasi atau fibrosis
setelah mengalami nekrosis perkejuan atau enkapsulisasi. Kelenjar limfe juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulisasi, tetapi penyembuhannya kurang sempurna, dan
kuman TB dapat tetap idup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. (Flor
M.Munoz and Jeffrey Starke,2000)

Perkembangan dari terbentuknya kompleks primer, yaitu :


a. Pembesaran focus primer menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal
b. Terjadi nekrosis perkejuan dan kavitas
c. Pembesaran kelenjar limfe hilus dan paratrakeal
d. Obstruksi parsial bronkus menyebabkan hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi
total bronkus menyebabkan atelektasis.
e. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat menimbulkan erosi
dinding bronkus sehingga menyebabkan TB endobronkial dan fistula. (Flor M.Munoz
and Jeffrey Starke,2000)

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, terjadi penyebaran


kuman secara limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen menyebabkan terbentuknya
focus primer di kelenjar limfe regional. Sedangkan penyebaran secara hematogen dapat
melalui tiga cara, yaitu :

a. Penyebaran Hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Kuman Tb


menyebar sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
akan mencapai organ-organ yang biasanya memiliki vaskularisasi yang banyak seperti
otak, tulang, ginjal dan paru. Kuman TB akan bereplikasi dan akan dibatasi
replikasinya setelah terbentuk imunitas seluler
b. Penyebaran Hematogenik Generalisata Akut (acute generalized hematogenik spread).
Pada penyebaran ini sebagian besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah
menuju ke seluruh tubuh dan dapat menimbulkan manifestasi klinis TB secara akut
yang disebut TB diseminata. TB diseminata berlangsung selama 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Penyebaran ini bisa menyebabkan TB milier dengan jumlah yang
besar.
c. Penyebaran secara protected hematogenic spread, yang terjadi bila satu focus
perkejuan menyebar ke vascular didekatnya. (Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005)

Penyebaran kuman melalui darah dimana kuman akan terbawa oleh aliran darah ke
bagian-bagian tubuh yang lebih jauh, seperti hati, limfa, tulang, otak, ginjal. Kebanyakan
kuman-kuman tersebut membentuk tuberel-tuberkel kecil, hal ini tidak menimbulkan
penyakit secara klinis dan sembuh oleh kekebalan tubuh anak sendiri. Tetapi pada anak yang
masih kecil dimana kekebalan tubuh masih lemah dan pada anak-anak yang kekurangan gizi
atau menderita infeksi seperti campak, batu rejan, HIV dan lainnya, infeksi primer dapat
segera diikuti tuberculosis milier dan TB meningitis.

Bila system kekebalan anak tersebut lebih baik, atau jumlah kuman yang tersebar
tidak terlalu banyak, salah satu lesi kronis setelah beberapa bulan atau tahun dapat
menimbulkan gejala, yaitu tuberculosis pada tulang, sendi, ginjal dan sebagainya.(Jhon
Crofton, Norman Home dan Fred Miller,2002). Menurut Wallgren, TB paru pada anak
memiliki tiga bentuk dasar, yaitu :

a. Penyebaran Limfohematogen. Sebanyak 0,5-3% penyebaran limfohematogen


akan menjadi TB milier atau meningitis TB (3-6 bulan setelah infeksi primer)
b. Tuberkulosis endobronkial. Lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional (3-9 bulan)
c. TB paru kronik, yang terjadi akibat reaktivasi kuman didalam lesi yang tidak
mengalami resolusi secara sempurna (Uit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005)
Lokasi focus primer pada percobaan yang dilakukan oleh Ghon dan Kudlich ialah;
Paru 95,93%, telinga tengah 0,09%, hidung 0,09%, usus 1,14%, kelenjar parotis 0,05%, tonsil
0,09%, kulit 0,14%, konjungtiva 0,05%, tidak diketahui 2,41%.

Lesi paru pada anak dapat terjadi dimanapun, terutama di perifer dekat pleura, namun
lebih banyak terjadi di lapangan bawah paru dibandingkan dengan lapangan atas paru,
sedangkan pada orang dewasa lapangan atas paru merupakan predileksi. Pembesaran kelenjar
regional lebih banyak terdapat pada anak dibandingkan orang dewasa. Penyembuhan pada
anak terutama kearah kalsifikasi, sedangkan pada orang dewasa terutama kearah fibrosis.
Penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil. Sebagian besar
komplikasi tuberculosis primer terjadi dalam 12 bulan setelah terjadinya penyakit.
Penyebaran hematogen atau milier dan meningitis biasanya terjadi dalam 4 bulan setelah
terjadinya kompleks primer. Efusi pleura dapat terjadi 6-12 bulan setelah terbentuknya
kompleks primer. (Erwin Sarwono,1982)
TUBERCULOSIS PATHWAY

Infeksi Mycobacterium Tuberculosa

Masa
Fagositosis oleh magrofag alveolus Inkubasi
Kuman mati
paru 2-12 minggu

Kuman hidup berkembang biak

Pembentukan fokus primer

Uji Tuberkulin

Penyebatran Limfogen

Penyebaran hematogen

Kompleks primer
Terbentuk imunitas spesifik seluler

Sakit TB Infeksi TB

Komplikasi kompleks primer


Komplikasi penyebaran hematogen
Komplikasi penyebaran limfogen

Meninggal Sembuh Sakit TB

Reaktivasi infeksi
5. Penanganan
a. Promotif
1) Penyuluhan kepada masyarakat tentang TBC
2) Pemberitahuan kepada masyyarakat baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya
TBC, cara penularan, cara pencegahan, faktor resiko (kampanye)
3) Mensosialisasiklan BCG di masyarakat.
b. Preventif
1) Vaksinasi BCG
2) Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.
3) Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui secara
dini.

c. Kuratif
1) .Isoniazid (INH)

Inh besifat bakterisid dan bakeriostatik,efektif pada intrasel dan ekstrasel.


Kuman, dapat menginfeksi kr dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk
cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asiles,jaringan kaseosa.INH diberikan
secara oral dengan dosis harian 5-15 mg/kg/hr dan dosis maksimal 300 mg/hari,
dengan satu kali pemberian setiap hari,tersedia dlam bentuk tablet 100 mg, 300 mg
dan dlam bentuk sirup 100 mg /5ml.

INH mempunyai 2 efek toksisk utama, yaitu hepatotoksisk dan neritis perifer.
3-10 % anak yang menggunakan INH mengalami peningkatan kadar transaminase
darah.Hepatotoksis akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan rifampsin
dan PZA. INH tidak dilanjutkan bila kadar transaminase serum meningkat 3 kali
harga normal atau terjadi manifestasi klinik hepatis berupa mual, muntah, nyeri perut
dan kuning.Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau
kesemutan pada tangan dan kaki. Pencegahannya adalah pemberian piridoksin satu
kali sehari 25 mg atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg INH.

2. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat masuk ke


semua jaringan dapat membunuh kuma semi dormand yang tidak dibunuh oleh INH,
diabsorbsi denagn baik melalui sistem gastrointestinal saat erit kosong, dengan kadar
puncak dalam 2 jam.Rifampisisn diberikan dlam bentuk oral dengan dosisnya 10-20
mg /kgBB/ hr dosis maksimal 600 mg/hari, satu kali pemberian perhari .Jika diberikan
bersama dengan INH .dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hr dan dosis INH
10 mg/kgBB/hr.Distribusinya luas, masuk ke jaringan dan cairan tubuh termasuk
CSF.efek yang kurang menyenangkan adalah perubahan warna urine,ludah,keringat,
sputum dan air mata menjadi warna orange kemerahan.Efek sampingnya adalah
gangguan gastrointestinal, hepatotoksis, yang ditandai dengan peningkatan kadar
transaminase serum yang asimtomatik. Rifampisin dapat berinteraksi dengan berbagai
obat, tersedia dlam kapsul 150,300,450 mg.
3. Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat nikotinamod, penetrasinya baik ke dalam


jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bersifat bakterisid
hanya pada intrasel pada suasana asam, diabsorbsi baik pada saluran cerna.
Pirazinamid diberikan secara oral dengan dosis 15-30 mg/kgBB/hr dengan malsimal 2
gr/hr.Kadar serum puncak 45 ug/ml dalam waktu 2 jam, tersedia dlam bentuk tablet
500mg. Efek sampingnya hiperurikemia, namun jarang terjadi pada anak-anak.Efek
sampingnya yang mungkin terjadi hepatotoksis, anoreksia dan iritasi saluran cerna.

4. Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak- anak karena mempunyai efek toksik
pada mata.Dosis 15-20 mg/kgBB/hr dengan dosis maksimal 1,25 gr/hr,dengan dosis
tunggal.Kadar serum puncak 5 ug/ml dlam waktu 2-4 jam.Ekskresi melalui ginjal dan
saluran cerna tersedia dlam tablet 250 mg dan 500 mg,dan bersifat
bakteriostatik.Toksisitas utamanya adalah neuritis optik dan buta warna merah
hijau.Etambutol biasanya diberikan pada anak dengan TB resisten obat jika obat- obat
lain tidak tersedia atau tidak dapat digunakan .Etambutol bersifat bakeriosid, jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.

5. Sterptomis
Steroptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik kuman ektraseluler,
biasanya diberikan hanya pada keadaan pengobatan TB yang resisten
obat.Streptomisin diberikan dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hr dan dosis maksimal 1
gr/hr , kadar puncak 40-50 ug/ml dalam waktu 1-2 jam.Streptomisin dapat melewati
selaput otak yang meradang , berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura
dan diekresi melali ginjal .Toksisitas utama pada nervus VIII yang menyebabkan
gangguan keseimbangan dan pendengaran.

Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin , dosisnya < 10 mg/kgBB/hr


Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailablitas rifampisin.

Panduan Obat Tuberkulosis

Prinsip dasar pengobatan TB minimal 2 macam obat dan diberikan dalam


waktu ralatif lama (6-12 bulan).Tujuannya mencegah terjadi resistensi obat ,
membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mngurangi kemungkinan
terjadinya relaps.Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu : fase intensif (2 bulan
pertama) dan fase lanjutan. OAT pada anak diberikan setiap hari. Susunan OAT pada
anak adalah 2RHZ/4RH. Yaitu fase intensif terdiri dari rifampisin , INH, dan
pirazinamid yang diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2RHZ) dan fase lanjutan
terdiri dari rifampisin dan INH yang diberikan setiap hari selama 4 bulan.
Pada keadaan TB berat ,baik pulmonal maupun ektrapulmonal seperti TB
milier, meningitis TB, TB tulang dan lain lain pada fase intensif diberikan 4 macam
obat (rifampisin , INH, pirazinamide, etambutol dan steptomisin ) sedangkan fase
lanjutan diberikan rifampisin, INH 10 bulan. Pada kasus tertentu, seperti TB milier,
efusi pleura TB, pericarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB
diberikan kortikosteroid dengan dosis dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hr, dibagi dalam 3
dosis.Lama pemberian 2-4 minggu dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu
yang sama.

Fixed Dose Combination

Sediaan obat kombinasi dengan dosis yang telah ditentukan (Fixed dose combination)
dapat diberikan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
TB yang relatif lama dan jumlah obat yang banyak.

Berat badan 2 Bulan RHZ 4 bulan RHZ


(kg) (75/50/150mg) (75/50 mg)

5-9 I Tablet I Tablet


10-19 2 Tablet 2 Tablet
20-32 4 Tablet 4 Tablet
Tabel Penggunaan Fixed dose combination

6. Manifestasi Klinis
a. Manifestasi klinis sistemik
 Demam lama (> 2 minggu), yang dapat disertai dengan keringat malam.
 Demam umumnya tidak tinggi dan tanpa sebab yang jelas
 Batuk lama > 3 minggu
 BB turun tanpa sebab yang jelas
 Nafsu makan tidak ada dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan
adekuat
 Lesu atau malaise
 Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

b. Manifestasi spesifik organ/lokal


 Kelenjar limfe superficialis (terbanyak di regio colli)
= multiple, tidak nyeri tekan, unilateral, tidak hangat saat perabaan,
mudah digerakkan
 Susunan saraf pusat
= meningitis TB, tuberkuloma otak
 Sistem skeletal
- tulang punggung (spondilitis) : gibbus
- tulang panggul (koksitis) : pincang
- tulang lutut (gonitis) : pincang, bengkak
 Kulit : skrofuloderma
 Mata : konjungtivitis fliktenularis, tuberkel koroid
 Organ-organ lainnya : peritonitis TB, TB ginjal, dll.
FREKUENSI GEJALA DAN TANDA TB PARU SESUAI KELOMPOK UMUR

Kelompok Usia Bayi Anak Akil Balik


Gejala
Demam Sering Jarang Sering
Keringat Malam Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Batuk Sering Sering Sering
Batuk Produktif Sangat jarang Sangat jarang Sering
Hemoptisis Tidak pernah Sangat jarang Sangat jarang
Dispnu Sering Sangat jarang Sangat jarang
Tanda
Ronkhi basah Sering Jarang Sangat jarang
Mengi Sering Jarang Jarang
Fremitus Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Perkusi pekak Sangat jarang Sangat jarang Jarang

7. Diagnosis

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada


pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan cerebrospinal, cairan pleura, atau biopsi
jaringan.
Pada anak, diagnosis TB ditegakkan berdasarkan:
a. Manifestasi Klinis
b. Pemeriksaan Penunjang
 Uji Tuberkulin
 Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD
RT-23 2TU atau PPD S 5TU, intrakutan, pada volar lengan bawah 48-
72 jam kemudian dibaca.
 Disuntik pada orang yang terinfeksi TB  indurasi di lokasi suntikan
(vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, akumulasi sel-sel inflamasi di
daerah suntikan).
o Diameter indurasi,
(-) = d : 0-4mm
(+) = d : 5-9mm (meragukan)
(+) = d>10mm
bila telah diimunisasi BCG  (+) = d :10-14mm

 Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada :


a. Infeksi TB alamiah
- infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
- Infeksi TB dan sakit TB
- TB yang telah sembuh
b. Imunisasi BCG
c. Infeksi mikobakterium atipik
 Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada :
a. Tidak ada infeksi TB
b.Dalam masa inkubasi infeksi TB
c.Anergi (penekanan pada sistem imun tubuh oleh berbagai keadaan
sehingga tubuh tidak memberikan respon terhadap tubekulin)

 Pemeriksaan Radiologi
 Foto toraks posisi AP dan lateral
 Gambarannya tidak khas dan tidak dapat digunakan secara tunggal
untuk diagnosis TB pada anak.
 Gambaran sugestif :
o Pembesaran kelenjar hilus dan paratrakea dengan atau tanpa
infiltrat
o Konsolidasi segmental/lobar
o Milier
o Kalsifikasi dengan infiltrat
o Atelektasis
o Efusi pleura
o Tuberkuloma

 Pemeriksaan Mikrobiologis

 Foto toraks posisi AP dan lateral


 Gambarannya tidak khas dan tidak dapat digunakan secara tunggal untuk
diagnosis TB pada anak.
 Gambaran sugestif :
o Pembesaran kelenjar hilus dan paratrakea dengan atau tanpa
infiltrat
o Konsolidasi segmental/lobar
o Milier
o Kalsifikasi dengan infiltrat
o Atelektasis
o Efusi pleura
o Tuberkuloma

B. EFUSI PLEURA
1. Definisi

Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam
rongga pleura. Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses
penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain.
Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau
dapat berupa darah atau pus.
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang
pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas
yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.
Gambar 2.1 Anatomi Rongga Pleura Gambar 2.2 Anatomi Rongga Pleura (Mikro)

2. Etiologi
Disebabkan oleh :
 Pneumonia (parapneumonic effusion) 50% - 70%
 Renal disease 9%
 Trauma 7%
 Viral disease 7%
 Malignancy 5% - 10%
 Congenital heart disease 5% - 11%
 Others (liver failure, sickle cell anemia, meningitis) 3%

3. Tanda Dan Gejala


Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah
cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
Pada anak masalah pernapasan adalah hal yang paling sering dikeluhkan. Apabila
dihubungkan dengan penyebabnya berupa pneumonia maka gejala yang muncul adalah
batuk, demam, sesak nafas, menggigil. Apabila penyebabnya bukan pneumonia, maka
gejala pada anak mungkin tidak ditemukan sampai efusi yang timbul telah mencukupi
untuk menimbulkan gejala sesak nafas atau kesulitan bernafas.
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri
dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi
jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian
atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki.
4. Patofisiologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi
seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh
kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya
tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis,
sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase
cairan disini mencapai 1 liter seharinya.5
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat
inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena
(gagal jantung). Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat
pleura. Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai
peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang
menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan
keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan
ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya
rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.
PATHWAY EFUSI PLEURA

Infeksi Penghambatan drainase Tekanan Osmotik


limfatik Koloid Plasma

Peradangan
permukaan Tekanan kapiler paru Transudasi cairan
pleuradrainase limfatik meningkat intravaskulerdrainase
limfatik

Permeabilitas Tekanan Hidrostatik Edema


Vaskuler

Transudasi Cavum pleura

EFUSI PLEURA

Penumpukan cairan
dalam rongga pleura

Ekspansi paru
menurun

Pola napas tidak Sesak napas


efektif

Nyeri dada Nafsu makan


menurun

Gangguan pola tidur Gangguan


pemenuhan
kebutuhan Nutrisi
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik efusi pleura akan tergantung dari jumlah cairan yang ada serta
tingkat kompresi paru.
Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya <250 ml), mungkin belum menimbulkan
manifestasi klinik dan hanya dapat dideteksi dengan X-ray foto thorakks. Dengan
membesarnya efusi akan terjadi restriksi ekspansi paru dan pasien mungkin mengalami :
1.Dispneu bervariasi
2.Nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit pleura
3.Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
4.Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
5.Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
6.Perkusi meredup di atas efusi pleura
7.Egofoni di atas paru-paru yang tertekan dekat efusi
8.Suara nafas berkurang di atas efusipleura
9.Fremitus vokal dan raba berkurang

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati
menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan
permukaan melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan
tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan
posterior, pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah
(hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa
transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam
(untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase,
laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan pH.
Pada pemeriksaan fisik, dengan bantuan stetoskop akan terdengar adanya
penurunan suara pernafasan. Untuk membantu memperkuat diagnosis, dilakukan
pemeriksaan berikut:
a. Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.
b. CT-Scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa
menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor
c. USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang
jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
d. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui
torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara
sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
Pada orang dewasa, torakosentesis sebaiknya dilakukan pada setiap pasien
dengan efusi pleura yang sedang-berat, namun pada anak-anak tidak semuanya
memerlukan torakosentesis sebagai prosedur yang sama. Efusi parapneumonik yang
dihubungkan dengan sudut costoprenicus yang tumpul minimal tidak seharusnya
mendapat prosedur torakosentesis.
Torakosentesis atau penyaluran saluran dada (chest tube drainage)
dianjurkan pada pasien anak-anak yang memiliki demam menetap, toksisitas,
organism tertentu (misalnya S.aereus atau pneumococcus), nyeri pleura, kesulitan
dalam bernafas, pergeseran mediastinum, gangguan pernafasan yang
membahayakan. Chest tube drainage semestinya segera dilakukan apabila dari hasil
analisa cairan pleura menunjukkan pH kurang dari 7,2 kadar glukosa < 40mg/dl dan
kadar LDH lebih dari 1000 U/mL.

e. Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka
dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
Pada anak dilakukan apabila peradangan efusi pleura tidak bisa dijelaskan.
Teknik ini memiliki peran yang terbatas pada anak-anak namun memiliki
kepentingan yang besar dalam membedakan TB atau keganasan. Yang menjadi
komplikasi utama adalah pneumotoraks dan perdarahan.
f. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan
yang terkumpul.

7. Terapi
Kebanyakan pasien anak-anak yang memiliki efusi parapneumonik memberikan
respon yang baik dengan pemberian terapi antibiotic sehingga tidak memerlukan
torakostomi. Pengobatan empyema (efusi parapneumonik yang telah mengalami
komplikasi) pada anak dimulai dengan terapi konservatif. Pemberian awal terapi antibiotic
didasari pada infeksi penyebab yang mendasarinya dan pengurasan/pengeluaran cairan
yang terinfeksi dengan torakosentesis atau torakostomi tertutup.

Antibiotik pilihan sesuai dengan kuman penyebab


Antibiotik harusnya dipilih untuk mengatasi kebanyakan dari kuman penyebab
pneumonia pada kelompok usia anak-anak. Sampai kondisi sebenarnya telah tegak
didiagnosa, pemberian antibiotic spectrum luas diperbolehkan/dibenarkan untuk
mengurangi angka kematian yang tinggi dan kesakitan yang berhubungan dengan
empyema. Antibiotic secara intravena harus diteruskan sampai kondisi anak bebas
demam setidaknya 7-10 hari, telah bebas dari penggunaan oksigen dan tidak lagi terlihat
sakit. Antibiotic secara oral kemudian diberikan selama 1-3 minggu.
Drainage atau pengurasan dari empyema mencegah dari perkembangan lokulasi
dan pengelupasan jaringan fibrotic. Lebih lanjut dari tahap kedua penyakit, pengurasan
akan menjadi kurang efektif. Apakah seluruh empyema membutuhkan pengurasan masih
menjadi hal yang controversial, tidak ada data yang dengan jelas menggambarkan
penggunaannya pada anak-anak. Keseluruhannya, torakostomi dengan pipa tertutup yang
segera sebaiknya menjadi pertimbangan yang kuat dengan indikasi
a. pH cairan pleura kurang dari 7,2 atau lebih dari 0,05 unit dibawah pH arterial
b. glukosa cairan pleura kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L)
c. LDH cairan pleura lebih besar dari 1,000 U/L
d. Adanya pus yang terus-menerus
e. Terkontaminasi gram positif
f. Sepsis oleh karena S.aereus atau H.influenzae

Saat pengurasan cairan dengan pipa di dada mencapai kurang dari 30-50 ml/L
dan tingkat konstitusional pasien mengalami perbaikan, pipa di dada bisa dilepaskan.
Pengobatan untuk lokulasi efusi parapenumonik (khususnya tahap 2 dan 3) atau anak-
anak yang masih ada demam, sakit/sedih, dan kehilangan nafsu makan beberapa hari
setelah terapi antibiotic secara intravena jauh bervariasi.
Terapi efektif lainnya yang sedang diperkenalkan adalah streptokinase (SK) atau
urokinase (UK) ke dalam rongga empyema, yang telah menunjukkan
mengurangi/mengecilkan perlekatan/adhesi, meningkatkan pengurasan, dan memutus
gejala. SK adalah protein turunan bakteri yang aktifitas tidak langsungnya di system
fibrinolisis. Masalah yang ikut menyertai pengobatan ini adalah reaksi alergi dan
neutralisasi antibody terhadap SK. Secara umum pemberian SK adalah efektif dan aman,
dan bisa membantu menyingkirkan kemungkinan operasi/pembedahan pada kebanyakan
kasus. Kombinasi dari terapi mesti diberikan seawall mungkin setelah diganosa efusi
parapneumonik ditegakkan.8
UK adalah aktifator plasminogen langsung. Tidak seperti SK, pada UK ada satu
per satu hubungan dari produksi plasmin dari setiap molekul UK, membuatnya
penggunaannya semakin efisien. UK bukan antigen. Beberapa penelitian mencatatkan
penyelesaian yang lengkap dari pengambilan cairan dengan lokulasi yang menetap
dengan mengikuti pemasukan UK ke dalam pipa dada. Tidak ada komplikasi yang
dilaporkan baik pada kedua seri. Indikasi dasar untuk UK pada efusi pleura termasuk :
a. Lokus yang multiple (banyak), sesuai yang digambarkan oleh USG atau Ct-Scan
b. Dugaan lokus multiple, sesuai dengan indikasi melalui pengurasan dengan hasil
yang kurang seperti diharapkan.

Kontraindikasi yang relative untuk penggunaan UK termasuk diantaranya adalah


perdarahan aktif, pembedahan beberapa waktu terakhir dan kehamilan. Dosis yang
diberikan bervariasi dari 20.000-100.000 U ke dalam pipa dada dicampur dengan larutan
normal saline (20-100 mL), dosis optimal belum dapat ditentukan. Setelah pemasukan
UK, pipa dada ditutup selama 1-2 jam, pasien didoronng untuk mengubah-ubah posisi
agar larutan terdistribusi merata. Pemberian UK mungkin bisa diulang sebanyak 2-3 kali
dalam 2-3 hari.
Karena penanganan empyema, khususnya pada tahap kedua dan ketiga masih
menjadi controversial, beberapa diantaranya menyarankan penggunaan bedah lebih awal,
seperti Video Assisted Thoracoscopy (VATS) atau thorakoskopi dengan bantuan video,
dengan pembuangan perlekatan pada jaringan pleura. Pendekatan seperti ini harus
disesuaikan dengan tahapan penyakit, pathogen penyebab, respon terhadap pemberian
terapi awal dan derajat terjebaknya paru.
Pada fibropurulent yang lama dan tahap organisasi, pengurasan pleura
berkepanjangan tidak mencukupi. Jika pasien masih memiliki kesulitan dalam bernafas,
demam sehari-hari, dan leukositosis yang menetap sesuai pemberian terapi antibiotic,
VATS sebaiknya patut untuk dipertimbangkan. Saat empyema mencapai tahap
organisasi, ada sedikit kebebasan untuk tidak melakukan prosedur.
VATS harus dipertimbangkan bagi anak-anak yang telah dipilih dengan efusi
parapneumonik atau empyema yang gejala klinisnya tidak mengalami perbaikan,
terperangkapnya paru berat, atau empyema yang disebabkan oleh infeksi bakteri selain
dari S.aereus. USG atau CT-Scan yang menunjukkan lokus multiple atau perlekatan
pleura yang luas dan terperangkapnya paru menyarankan agar penggunaan VATS lebih
cepat. Secara umum, pembedahan seharusnya tidak dilakukan pada anak-anak selain
daripada alasan sepsis pleura yang menetap karena perbaikan klinis, fungsi system
pernafasan dan radiografi yang tidak normal terutama pada populasi anak-anak.
Dalam laporan terbaru yang membanding penggunaan terapi empyema dengan
pengurasan, fibrinolisis atau pembedahan dalam hal ini menggunakan VATS,
penggunaan VATS dinyatakan sebagai terapi terbaik dalam menangani empyema karena
membantu mengurangi length of stay (waktu rawat pasien).

8. Prognosis
Anak-anak yang memiliki efusi parapneumonik tanpa komplikasi memberikan respon
yang baik dengan penanganan yang konservatif tanpa tampak sisa kerusakan paru. Virus
dan mikoplasma penyebab penyakit pleura secara umum sembuh spontan. Pasien dengan
empyema memerlukan perawatan yang lebih lama di Rumah Sakit. Secara nyata tidak
ada kematian yang muncul dengan terapi yang benar. Kasus kematian rata-rata 3-6%
telah dilaporkan pada beberapa seri saat ini, dengan angka tertinggi muncul diantara bayi
usia kurang dari 1 tahun

C. HMD
1. Definisi
 Hyaline membrane disease merupakan keadaan akut yang terutama ditemukan
pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi
dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat badan dibawah
1500 gram.
 Hyaline membrane disease merupakan perkembangan yang imatur pada sistem
pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.
 Hyaline Membrane Disease (HMD) merupakan sindrom gawat napas yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa
gestasi kurang.
Jadi, Hyaline membrane disease merupakan hal yang paling sering terjadi pada
bayi premature yang disebabkan karena defisiensi surfaktan akibat
perkembangan imatur pada system pernafasan.

2. Etiologi dan factor presipitasi.


 Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu).
 Gangguan atau defisiensi surfactan
 Bayi prematur yang lahir dengan operasi caesar
 Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau
prematur.
3. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan
kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang
sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-
paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi
berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi
yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan
mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan
tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.
Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan
yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari
rongga udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding
alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi
duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan
napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari
darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam
setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72
jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang12
immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Gambaran radiologi tampak adanya retikulogranular karena atelektasis,dan air
bronchogram.

4. Manifestasi klinis
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli
sehingga menghambat fungsi surfaktan.
Gejala klinis yang timbul yaitu :
 Adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir yang ditandai dengan
 Takipnea (> 60 x/menit).
 Pernapasan cuping hidung
 Grunting
 Retraksi dinding dada
 Sianosis
 Gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
 Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara,
 Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
 Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram
udara lebih luas.
 Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat
dilihat.

5. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :

 Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,


pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi
dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau
bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
 Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2
respirasi.
 Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi ada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak
pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan


yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju
ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :

 Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang


disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin
A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
 Retinopathy premature
 Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan
dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

6. Tes Diagnostik
 Kajian foto toraks
 Analisa Gas Darah
 Imaturs lecithin-sphingomiolin
 Darah lengkap
 Elektrolit : Kalium,calsium,Natrium dan lain-lain.

D. ASMA
1. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada jalan nafas tempat banyak sel (sel mast,
eosinofil dan limfosit T) memegang peranan pada anak yang rentan, inflamasi menyebabkan
episode mengi kambuhan, sesak napas, dada sesak, dan batuk, terutama pada malam hari
atau pagi hari.
2. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
 Faktor Predisposisi
a. Genetik
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus
 Faktor Presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh: perhiasan, logam,
dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin, serbuk
bunga, dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan memperberat
serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk menyelesaikan
masalah pribadinya karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
d. Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma.

3. Patofisiologi
Asma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan
respon terhadap bahan iritasi dan stimulus lain.
Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat
antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di
muculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan
pengeluaran histamin dan zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala
asthma.
Respon astma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate yang ditandai
dengan bronkokontriksi ( 1-2 jam ); tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang
dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama ; tahap late yang ditandai dengan
peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan.
Astma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan, kecemasan, dan udara
dingin. Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan peningkatan sekresi
mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian meningkatkan
resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan
Anak yang mengalami astma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena
edema pada jalan nafas.Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan
pertukaran gas.Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan
saturasi 02, sehingga terjadi penurunan p02 ( hipoxia).Selama serangan astmati, CO2 tertahan
dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis
respiratory dan hypercapnea. Kemudian sistem pernafasan akan mengadakan kompensasi
dengan meningkatkan pernafasan (tachypnea), kompensasi tersebut menimbulkan
hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO2 dalam darah (hypocapnea).
4. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronkhial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera.
2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan
3. Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai penyakit
asma. Meliputi pengobatan dan perjalanan penyakitnya sehingga penderita
mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau
perawat yang merawat.
Pengobatan-pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1. Pengobatan non farmakologik.
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisioterapi
e. Beri O₂ bila perlu
2. Pengobatan farmakologik
 Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
1. Simpatomimetik/andrenergik (adrenalin dan efedrin)
Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), fenoterol (berotec), terbutalin (bricasma).
2. Santin (teofilin).
Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard), Teofilin
(Amilex). Penderita dengan penyakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum
obat ini.
 Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan tetapi merupakan obat pencegah
serangan asma. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain
dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian 1 bulan.
 Ketolifen
Mempunya efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan
dosis 2 kali 1 mg/hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan secara oral.

E. POLIPS
1. Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak
karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat
berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram dan lebih
kenyal (polip fibrosa).

2. Etiologi
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
3. Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat
di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler,
sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa
yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung
sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk
suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus
etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini
terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh
orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis
alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim
sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip
akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.

4. Manifestasi Klinik

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat
keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau
anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan
terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.

Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan
iritasi di hidung. Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan
hidung yang meningkat, hiposmia sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan
drainase post nasal persisten. Sakit kepala dan nyeri pada muka jarang ditemukan dan
biasanya pada daerah periorbita dan sinus maksila. Pasien polip dengan sumbatan
total rongga hidung atau polip tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep apnea
obstruktif dan pernafasan lewat mulut yang kronik.

Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala obstruktif


hidung yang dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun satu atau lebih polip
yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis
bila polip menyumbat ostium sinus. Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan
muara sinus, sehingga aliran udara tidak terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap
dalam sinus. Dalam hal ini dapat timbul perasaan penuh di kepala, penurunan
penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi cenderung
terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada
hidung.

Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan
rutin. Polip yang terletak posterior biasanya tidak teridenfikasi pada waktu
pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip yang kecil pada daerah dimana polip
biasanya tumbuh dapat menimbulkan gejala dan menghambat aliran saluran sinus,
menyebabkan gejala-gejala sinusitis akut atau rekuren.
Gejala Subjektif:

 Hidung terasa tersumbat


 Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
 Nyeri kepala
 Rhinore
 Bersin
 Iritasi di hidung (terasa gatal)
 Post nasal drip
 Nyeri muka
 Suara bindeng
 Telinga terasa penuh
 Mendengkur
 Gangguan tidur
 Penurunan kualitas hidup

Gejala Objektif:

 Oedema mukosa hidung


 Submukosa hipertropi dan tampak sembab
 Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau kebiruan
 Bertangkai

F. ISPA
1. Definisi
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan
atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus,
maupun reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru.
ISPA adalah masuknya mikroorgamisme (bakteri, virus, riketsia) ke dalam
saluran pernafasan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung
sampai 14 hari.

2. Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus,
hemofilus, bordetella, dan korinebacterium. Virus penyebabnya antara lain
golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma,
herpesvirus.
Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranya
bakteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza yang di udara bebas
akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu
tenggorokan dan hidung.
3. Manifestasi Klinik
Tanda-tanda klinis

1. Pada sistem respiratorik: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding
thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting
expiratoir dan wheezing.
2. Pada sistem cardial: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac
arrest.
3. Pada sistem cerebral: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil
bendung, kejang dan coma.
4. Pada keadaan umum: letih dan berkeringat banyak.

Tes diagnostik

1. hypoxemia,
2. hypercapnia dan
3. acydosis (metabolik dan atau respiratorik)

4. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan

 Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen


dan sebagainya.
 Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak
mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrimoksasol
keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu
ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
 Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di
rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain
yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan,
antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat
adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher,
dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi
antibiotik (penisilin) selama 10 hari.

Perawatan dirumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang
menderita ISPA.

• Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera
dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya,
tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan
kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
• Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk
nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali
sehari.

• Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu
lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang
menyusu tetap diteruskan.

• Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak
dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita.

5. Pencegahan dan Pemberantasan


Pencegahan dapat dilakukan dengan :
• Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
• Imunisasi.
• Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.
• Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

Pemberantasan yang dilakukan adalah :


• Penyuluhan kesehatan yang terutama di tuj ukan pada para ibu.
• Pengelolaan kasus yang disempurnakan.
• Imunisasi

G. SINUSITIS
1. Definisi
Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa
sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Bila yang
terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena
disebut pansinusitis.

2. Etiologi
a. Rinogen
Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis) yang disebabkan oleh :
• Rinitis Akut (influenza)
• Polip, septum deviasi

b. Dentogen
Penjalaran infeksidari gigi geraham atas
Kuman penyebab :
- Streptococcus pneumoniae
- Hamophilus influenza
- Steptococcus viridans
- Staphylococcus aureus
- Branchamella catarhatis

3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus
juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat
bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan
terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista.
4. Manifestasi Klinis

Gejala sinusitis bervariasi tergantung pada tipe infeksinya. Gejala umum


infeksi sinus pada anak :

 Demam yang berlangsung lebih dari 10-14 hari. Terkadang demam tidak terlalu
tinggi.
 Hidung tersumbat
 Keluar lendir yang berwarna kuning kehijauan dari hidung.
 Lelehan lendir dari hidung, kadang mengarah ke atau terlihat seperti sakit
tenggorokan, batuk, nafas yang berbau, pusing dan atau muntah-muntah.
 Sakit kepala, biasanya sebelum umur 6 tahun
 Mudah tersinggung/ tidak senang atau kelelahan
 Bengkak di sekitar mata
Pada sinus alergi gejala utamanya adalah bersin-bersin, pengeluaran cairan
terhambat, hidung terasa panas dan gatal. Infeksi sinus alergi berhubungan
dengan alergi rhinitis (radang selaput lendir hidung). Gejala sinusitis lainnya
adalah nafas berbau tidak sedap.

Pada infeksi sinus akut gejala utamanya selain hidung tersumbat juga diikuti
ingusan sesudah 24 – 48 jam dan akhirnya mengeluarkan cairan nasal disertai nanah.
Gejala lainnya yaitu badan terasa sakit, sakit tenggorokan dan pusing.

5. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan

Beberapa pengobatan yang dapat diberikan pada sinusitis antara lain :

 Pengobatan alergi yang mendasari timbulnya sinusitis. Penanganan alergi yang


terbaik adalah harus mencari dan menghindari penyebabnya.
 Dekongestan dan kortikosteroid, baik kortikosteroid yang semprotkan di hidung
maupun yang diminum.
 Pereda nyeri dan anti demam.
 Semprotan larutan garam ke dalam rongga hidung beberapa kali sehari.
 Operasi Sinus. Operasi hanya dipertimbangkan jika pengobatan medis tidak
memungkinkan atau jika ada gangguan hidung yang tidak dapat diperbaiki
dengan obat-obatan.
 Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) disarankan untuk beberapa tipe
tertentu dari penyakit sinusitis. Dengan endoskopi, ahli bedah dapat melihat
secara langsung ke dalam hidung, dimana pada saat yang sama mengambil
jaringan yang terkena penyakit dan polip dan membersihkan saluran kecil
diantara sinus.
 Balloon Sinuplasty & Pengembangan inovatif lainnya. Terdapat banyak
pengembangan/ inovasi, yang paling terkenal diantaranya adalah Balloon
Sinuplasty dimana sebuah balon khusus dimasukan tepat ke dalam sinus yang
terinfeksi dengan bantuan Fluorokopi. Pengembangan balon akan
mengakibatkan pembesaran pada pembukaan alami sinus (ostia) tanpa
mengakibatkan kerusakan yang tidak diinginkan terhadap bagian dalam kulit
yang sangat rapuh (mucosa).

Pencegahan Sinusitis :

 Menghirup uap hangat untuk menghindari berkembangnya sinusitis sewaktu


penyakit demam atau alergi menyerang,
 Gunakan pelega sumbatan oral atau semprotan pelega sumbatan hidung untuk
jangka waktu pendek
 Keluarkan lendir hidung secara perlahan-lahan, tutup 1 lubang hidung pada saat
mengeluarkan lendir dari lubang hidung yang lain.
 Minum banyak cairan supaya lendir tidak mengental
 Hindari perjalanan udara. Jika anda harus bepergian dengan pesawat, gunakan
semprotan pelega sumbatan hidung sebelum pesawat tinggal landas, tujuannya
untuk mencegah penyumbatan di sinus sehingga lendir bisa dikeluarkan.
 Jika mempunyai alergi, cobalah untuk menghindari hal-hal yang menyebabkan
alergi tersebut. Jika tidak dapat dihindari, gunakan antihistamine yang dijual di
toko atau dengan resep dokter dan atau semprotan hidung atas resep dokter
untuk mengendalikan serangan alergi.
 Kompres hangat menggunakan handuk di sekitar hidung, pipi, dan mata untuk
mengurangi nyeri wajah.

H. BRONKOPNEUMONIA
1. Definisi
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat
(Whalley and Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif
yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat,
pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson,
1994).

2. Etiologi
 Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus
Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni),
Mycobacterium Tuberculosis.
 Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
 Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices
Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp, Candinda Albicans,
Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
 Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah daya tahan
tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP), penyakit
menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.

3. Patofisiologi
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan
oleh virus penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga
terjadi peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi bronkus ditandai adanya
penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan
mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang
terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.
Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan
napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan
produksi surfaktan sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga
fleura. Emfisema (tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak
lanjut dari pembedahan. Atelektasis mngakibatkan peningkatan frekuensi napas,
hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan
yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas. Secara singkat patofisiologi dapat
digambarkan pada skema proses.

4. Manifestasi Klinis
Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini
umumnya timbul mendadak, suhu meningkat 39-40O C disertai menggigil, napas
sesak dan cepat, batuk-batuk yang non produktif “napas bunyi” pemeriksaan paru
saat perkusi redup, saat auskultasi suara napas ronchi basah yang halus dan nyaring.
Batuk pilek yang mungkin berat sampai terjadi insufisiensi pernapasan
dimulai dengan infeksi saluran bagian atas, penderita batuk kering, sakit kepala,
nyeri otot, anoreksia dan kesulitan menelan.

5. Penatalaksanaan
 Kemotherapi untuk mycoplasma pneumonia, dapat diberikan Eritromicin 4 X
500 mg sehari atau Tetrasiklin 3 – 4 mg sehari.
 Obat-obatan ini meringankan dan mempercepat penyembuhan terutama pada
kasus yang berat. Obat-obat penghambat sintesis SNA (Sintosin Antapinosin
dan Indoksi Urudin) dan interperon inducer seperti polinosimle, poliudikocid
pengobatan simtomatik seperti :
 Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah.
 Simptomatik terhadap batuk.
 Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif
 Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan
broncodilator.
 Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat.
Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebab yang
mempunyai spektrum sempit.
I. ASUHAN KEPERAWATAN

 Pengkajian
1. Riwayat Perjalanan Penyakit

a. Pola aktivitas dan istirahat


Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek),
sulit
tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut;
infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C)
hilang timbul.

b. Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.

c. Respirasi
Subjektif :Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif :Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent,
mukoid
kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar
bunyi
ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau
fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan
pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan
penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).

d. Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa
Timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul
pleuritis.

e. Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada
harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah
tersinggung.

2.Data Penunjang
a. Kultur sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.
b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72
jam).
c. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini tampak
gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas ; Pada kavitas
bayangan, berupa cincin ; Pada kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi.
d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB
paru.
e. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
f. Spirometri: penurunan fuagsi paru dengan kapasitas vital menurun

 B.Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
2. Gangguan pertukaran gas
3. Resiko Infeksi
4. Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
5. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi,pengobatan,pencegahan

 C.Intervensi

1. Bersihan jalan napas tidak efektif

Tujuan: Mempertahankan jalan napas pasien. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.


Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi
dalam program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial
komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Intervensi:
a. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan
penggunaan otot aksesori..
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum, adanya hemoptisis.
c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan
napas dalam.
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi..g. Berikan obat: agen mukolitik,
bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.

2. Gangguan pertukaran gas

Tujuan: Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan


oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
Bebas dari gejala distress pernapasan.
Intervensi:
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi,
keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan
warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.

3. Resiko infeksi

Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran


infeksi. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang. aman.
Intervensi:
a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui
bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko
infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga,
teman, orang dalam satu perkumpulan.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan
yang tertutup jika batuk.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
e. Monitor temperatur.
f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis
paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan
obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional: Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan
kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut
sampai 3 bulan.
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS),
sikloserin, streptomisin.
Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
j. Monitor sputum BTA
Rasional: Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien
terhadap terapi.

4. Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Tujuan: Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai


laboratoriurn
normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa
mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau
diare.
b. Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya
dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar
(BAB).
e. Anjurkan bedrest.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
i. Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah
makan.
j. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
k. Berikan antipiretik tepat.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan
pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan
umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.
Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
Menerima
perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian,
kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media,
orang dipercaya.
b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya:
hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran,
vertigo.
c. Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan
intake cairan yang adekuat.
d. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum
obat.
e. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi
dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat
Tuberkulosis dengan obat lain.
f. Jjelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan
penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah
g. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
h. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.. k.
Anjurkan untuk berhenti merokok.
KESIMPULAN

Bernafas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Jika hal ini
tidak terpenuhi, maka akan menghambat proses kimiawi dan mekanik dalam tubuh dimana oksigen
(H2O) merupakan komponen yang penting dalam proses metabolisme tubuh.

Asuhan keperawatan pada sistem respirasi ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah


respirasi yang menghambat jalannya sistem pernapasan khususnya pada masalah kebutuhan dasar
manusia pada pemenuhan Oksigenisasi dalam berbagai langkah-langkah yang sistematis.
DAFTAR PUSTAKA

Diana Kristanti , dkk.Sistem Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha,


Bandung 2007.

http://viethanurse.wordpress.com/2009/02/25/asuhan-keperawatan-anak-preschool-
dengan-ispa/

http://www.scribd.com/document_downloads/direct/51584015?extension=doc&ft=131
7426154&lt=1317429764&uahk=53qs5RdYeGbYB2fIfpYd9mObFz8

http://www.scribd.com/document_downloads/direct/58944681?extension=docx&ft=1
317425601&lt=1317429211&uahk=siexovFZWYeFPEa+Zhl/nLtyXzA

http://www.scribd.com/document_downloads/direct/51444966?extension=docx&ft=13174
26965&lt=1317430575&uahk=uxKk9xKhR++ZFMSHBWDSwMRQcjk’

http://www.scribd.com/document_downloads/direct/46109102?extension=docx&ft=13174256
42&lt=1317429252&uahk=W3A5cD7QDkeOWlNLDKhCpfH7EJg

http://www.scribd.com/document_downloads/direct/48736821?extension=docx&ft=13174
26912&lt=1317430522&uahk=ateKntAx0yeLJAHxDGpvIun23s8

Você também pode gostar