Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
KD :
2.1 Membaca Q.S. Al-An’am: 162-163 dan Al-Bayyinah: 5.
2.2 Menyebutkan arti Q.S. Al-An’am: 162-163 dan Al-Bayyinah: 5.
2.3 Menampilkan perilaku ihklas dalam beribadah.
AL-AN’AM
1. Membaca Surat Al An’am : 162 – 163
Lafadz Arti
اي
َ َم ْح َي
hidupku
يك
َ ال ش َِر Tiada sekutu
َأ َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِمين Orang yang pertama kali menyerahkan diri
3. TERJEMAHAN AYAT
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah)”.(QS:al-An’am: 162-163)
Sebelum kita mencari dan menghayati makna ayat ini maka kita harus tau lebih dalam
tentang pengertian ikhlas itu karena tanpa pengetahuan tentang dasar pengertian ikhlas kita
akan sulit untuk mencari sari makna dari ayat diatas
Secara bahasa ikhlas terambil dari akar kata kholasha, khulushon, khalashon yang
berkonotasi murni dan terbebas dari kotoran. Kata ikhlas menunjukkan makna murni, bersih,
terbebas dari segala sesuatu yang mencampuri dan mengotorinya. Sedangkan secara istilah,
Ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya
dengan yang lain.( syamsury. 2006: 18)
Dalam ayat diatas merupakan ayat yang menjelaskan tentang ikhlas beribadah ayat diatas
menjelaskan tentang kebenaran agama yang dibawa oleh nabi ibrahim dan sekaligus
gambaran tentang sikap nabi Muhammad yang mengajak kaumya untuk beriman ayat ini
memerintakan: katakanlah wahai nabi Muhammad, bahwa sesungguhny a shlataku, dan
semua ibadahku termasuk korban dan penyembelihan binatang yang kulakukan dan hidupku
bersama yang terkait denganya, baik tempat waktu, maupun aktifitas dan matiku, yakni iman
dan amal saleh yang akan aku bawa mati, kulakukan secara ikhlas dan murni hanyalah
semata-mata untuk Allah. Tuhan pemelihara semesta alam, tiada sekkutu baginya dalam zat,
sifat, dan perbuatanya.
Kata nusuk biasa juga diartikan sembelihan, namun yang dimaksud dengan ya adalah ibadah,
termasuk shalat dan sembelihan itu, pada mulanya kata ini digunakan untuk melukiskan
sepotong perak yang sedanga dibakar, agar kotoran dan bahan-bahan lain tidak menyertai
potongan perak itu tidak terlepas darinya, shingga yang tersisa adalah perak murni, ibadah
dinamai nusuk untuk menggambarkan bahwa ia seharusnya suci, murni dilaksanakan dengan
pernuh keikhlasan demi karena Allah, tidak tercampur sedikitpun oleh selain keikhlasan
kepada Allah
Penyebutan kata shalat sebelum penyebutan kata ibadah kendati shalat adalah salah satu
bagian dari ibadah dimaksudkan untuk menunjukan rukun islam yang kedua itu. Ini karena
shalat adalah satu-satunya kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan sebanyak lima kali sehari
apapun alasanya berbeda dengan kewajiban yang lainya.
Ayat ini menjadi sebuh bukti ajakan beliau kepada umat agar meninggalkan kesesatan dan
memeluk islam, tidak beliau maksudkan untuk meraih keuntungan pribadi dari mereka karena
seluruh aktifitas beliau hanya demi karena Allah semata,( Jalaluddin Al-mahali dan
Jalaluddin Al-Suyuthi. 2002: 2763)
Oleh karena itu, bagi seorang muslim sejati makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan
seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan
kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan
atau kemunduran.
Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa kita dituntut ikhlas dalam menjalankan semua
ibadah kepada Allah baik yang sifatnyal vertical maupun horizontal, ketika kita hendak
melasksanakanya niat kita haruslah lurus semata-mata karena Allah bukan karena dilhat oleh
orang atau lainya yang nantinya akan dapat merusak pahala dari ibadah kita, ketika hendak
melaksanakan shalat, ketika telah bertakbir maka seluruh aktifitas badan, pikiran, dan
perasaan haruslah tertuju kepada Allah, bukan kepada yang lain begitu juga dengan ibadah
yang lain seperti menolong sesama, puasa, dan ibadah yang lain hendaknya hanyalah tertuju
kepada Allah.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras dari kerikil-kerikil dan
batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi
jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil.
Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan
segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan
menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.Tetapi
banyak dari kita yang beribadah tidak berlandaskan rasa ikhlas kepada Allah SWT,
melainkan dengan sikap riya’ atau sombong supaya mendapat pujian dari orang lain. Hal
inilah yang dapat menyebabkan ibadah kita tidak diterima oleh Allah SWT
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali jika
(dilakukan) dengan penuh keikhlasan serta ditujukan untuk mendapatkan ridha-Nya”.(Al
Hadis). Karena itu Imam Ali ra mengungkapkan bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang
memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh Allah. (Quraish Shihab. 2002, hal:
256)
Dari Amirul mukminin, Umar bin khathab “Segala amal itu tergantung niatnya, dan Setiap
orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang
hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya,
maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
Hadits diatas menjelaskan tentang dalam setiap kita melakukan suatu amal ibadah haruslah
karena Allah semata hadits ini diucapkan beliau karena ada seseorang laki-laki yang hijrah
dari Mekkah ke Madinah, kita ketahui bahwa hijrah ketika itu karena perintah dari Allah
pastilah begitu besar pahala yang akan didapat akan tetapi laki-laki itu ikut hijrah
dikarenakan dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita cantik jelita yang membuat
terpesona setiap siapa saja yang melihanya konon wanita itu bernama : “Ummu Qais” bukan
untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan
“Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal
disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan
syari’at tanpa niat yang ikhlas mengharap ridho Allah maka tidak berarti apa-apa menurut
agama Islam. Tentang sabda Rasulullah, “Semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan
pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai
syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai
penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat. Maka ketahuilah bahwa
syarat utama diterimanya ibadah ada 2: Niat yang ikhlas dan pelaksanaannya sesuai dengan
yang dicontohkan oleh Nabi SAW( http://hafidht.blogspot.com/2009/10/ikhlas.html(15-10-
09-18:30)
8. ANALISIS
materi ini yaitu ayat tentang keikhlasan beribadah jika kita analisis maka
1. Faktanya adalah pada waktu itu nabi kita Muhammad menerima wahyu atau ayat yang
menjadi bukti kepada kaum quraisy bahwa dakwah nabi bukan karena ingin mendapat
kedudukan atau keuntungan akan tetapi hanya karena Allah yang mana ayat itu kita bahas
diatas, kemudian berkenaan dengan.
2. PRINSIPNYA yaitu surah al-an’am ayat 162-163
3. Konsep nya yaitu tentang pengertian ikhlas menurut bahasa atau menurut syara’nya,
4. Nilai yang terkandung diidalam ayat diatas yaitu tentang bagai mana seharusnya yang
menjadi tujuan kita atau niat kita dalam setiap kali melakukan ibadah yaitu beribadah dengan
ikhlas dan hanya mengharap ridho Dari Allah. Menjauhkan hati dari sikap riya’ sombong dan
lain sebagainya.
5. ketrampilan yaitu dapat membaca menulis dan mengamalkan surah al-An’am ayat 162-163
dengan benar.
KESIMPULAN
Inilah sekelumit hal mengenai keikhlasan, yang patut dihadirkan dan dijaga dalam diri tiap
insan. Keikhlasan bukan hanya monopoli mereka-mereka yang pakar dalam ilmu keagamaan,
atau mereka-mereka yang berkecimpung dalam keilmuan syar’iyah. Namun keikhlasan
adalah potensi setiap insan dalam melakukan amalan ibadah kepada Allah. Bahkan tidak
sedikit mereka-mereka yang dianggap biasa-biasa saja, ternyata memiliki keluarbiasaan
dalam keimanannya kepada Allah.
Jika demikian halnya, marilah memulai dari diri pribadi masing-masing, untuk menghadirkan
keikhlasan, meningkatkan kualitasnya dan menjaganya hingga ajal kelak menjemput kita.
Wallahu A’lam bis Shawab.
AL-BAYYINAH
PENJELASAN AYAT
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang kafir baik Yahudi maupun Nasrani dan juga
penyembah berhala, (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan agama mereka
sampai datang kepada mereka bukti yang nyata yaitu datangnya Muhammad shallallâhu
'alaihi wasallam. Kemudian ketika beliau datang dengan membawa al-Qur’an kepada mereka,
sebagian mereka ada yang beriman dan meninggalkan agamanya dan ada sebagian lain yang
mengingkarinya.[1]
Hal ini berdasarkan penjelasan dari kitab-kitab mereka baik Taurat maupun Injil tentang akan
diutusnya Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai rasul akhir zaman, akan tetapi
ketika beliau datang, mereka pun berpecah belah, ada yang masuk Islam dan ada yang tetap
kafir. Sebagaimana diriwayatkan oleh Salamah bin Sallâmah bin Waqsy radhiyallâhu'anhu:
"Dulu kami mempunyai tetangga orang Yahudi dari Bani Abdul Asyhal, dia selalu
mengatakan kepada kaumnya yang menyembah berhala, tentang adanya hari kiamat, adanya
hari kebangkitan manusia dari kuburnya, adanya hari perhitungan amal, dan adanya surga dan
neraka. Kemudian mereka berkata kepada si Yahudi,
Kemudian si Yahudi tersebut memperingatkan mereka agar mereka menyelamatkan diri dari
api neraka pada hari kiamat nanti. Merekapun bertanya,
'Celakalah engkau wahai fulan! Apakah tanda-tanda yang menunjukkan datangnya hari
kiamat tersebut?'
Dia menjawab,
'Akan diutus seorang Nabi dari kota ini -dengan menunjuk ke arah Mekah dan Yaman- (ke
arah selatan Madinah)'.
'Kapan munculnya?'
Kemudian si Yahudi tadi melihatku (kata Salamah bin Sallâmah bin Waqsy
radhiyallâhu'anhu) dan waktu itu aku masih kecil, lalu dia mengatakan,
'Demi Allâh Ta'âla setelah beberapa tahun kemudian muncullah Rasûlullâh Muhammad
shallallâhu 'alaihi wasallam yang sekarang ada di sisi kami. Kemudian kami beriman
kepadanya, akan tetapi si Yahudi kufur dan mengingkarinya karena dengki dan hasad (karena
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bukan dari kaumnya).'
'Celakalah engkau wahai fulan! Bukankah ini yang kamu katakan dahulu?'
Dia menjawab,
Begitu juga kisah raja Romawi Heraclius ketika bertanya kepada Abu Sufyan –ketika Abu
Sufyan masih kafir– tentang sifat-sifat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, ajaran dan
pengikutnya, guna mencocokkan hal tersebut dengan apa-apa yang telah ia dapatkan dari
kitab agama Nasrani. Kemudian jika berita tersebut cocok, maka ia akan mengikutinya.
Ternyata apa yang disampaikan Abu Sufyan cocok dengan apa yang ia dapatkan. Tetapi
ketika datang surat dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam yang berisi seruan untuk
memeluk Islam, dia menolaknya, karena takut kehilangan pamor dan ditinggalkan oleh
rakyatnya. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di dalam
Shahîhain. [4]
Ayat ini menjelaskan ayat sebelumnya bahwa bukti yang nyata tersebut adalah seorang Rasûl
(Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam) yang membacakan lembaran-lembaran yang
disucikan.
َ ص ُحفًا ُّم
Yang dimaksud ً ط َّه َرة ُ (lembaran lembaran yang disucikan) adalah al-Qur’an yang
[6]
telah disucikan dari kebathilan . Di dalamnya terdapat ayat-ayat dan hukum-hukum yang
[7]
tertulis .
[8]
Ayat ini menjelaskan ayat sebelumnya bahwa mengapa mereka berpecah belah setelah
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam datang kepada mereka? bukankah dia adalah Rasul
yang mereka tunggu-tunggu? Padahal (sebenarnya) mereka tidak diperintahkan baik di dalam
kitab-kitab mereka dan seruan para Rasul mereka, maupun di dalam al- Qur’an dan seruan
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, kecuali untuk beribadah kepada Allâh Ta'âla semata
dan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, dengan meninggalkan semua agama yang
mereka ikuti dan memeluk agama Islam.
Mereka juga diperintahkan untuk menunaikan shalat pada waktunya dengan memperhatikan
tata cara, syarat dan rukunnya, serta diperintahkan pula mengeluarkan zakat dari harta-harta
mereka untuk para fakir dan miskin. Itulah agama yang lurus yang mengantarkan seorang
hamba untuk mendapatkan ridha-Nya dan surga yang abadi dan selamat dari siksa dan
amarah-Nya .[9]
Dalam ayat ini Allâh Ta'âla menjelaskan keadaan orang-orang yang menyelisihi kitab-kitab-
Nya dan para Rasul-Nya baik dari ahli kitab maupun orang-orang musyrik, bahwa mereka
nanti pada hari kiamat akan dimasukkan ke neraka Jahannam dan mereka kekal di dalamnya.
Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.
Kemudian pada ayat berikutnya Allâh Ta'âla menjelaskan keadaan orang-orang shalih yang
telah beriman dengan hati mereka dan melakukan amal kebajikan dengan jasad mereka,
bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk.
Dalam ayat di atas Allâh Ta'âla menyebutkan bahwa balasan orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh di sisi Rabb mereka nanti pada hari kiamat adalah surga ‘Adn, mereka
menetap di sana selama-lamanya, tidak akan pernah keluar darinya, dan juga tidak akan mati.
Di bawah pepohonannya terdapat sungai-sungai yang mengalir.
Allâh Ta'âla ridha terhadap ketaatan yang telah mereka lakukan di dunia, begitu pula
sebaliknya merekapun ridha terhadap pemberian Allâh Ta'âla berupa (nikmat) pahala dan
kemuliaan, sebagai balasan atas perbuatan baik mereka ketika di dunia. Pemberian tersebut
akan diberikan oleh Allâh Ta'âla pada hari kiamat nanti kepada orang yang beriman dan
beramal shalih serta takut kepada Allâh Ta'âla ketika di dunia, baik di waktu sepi maupun
terang-terangan, dengan terus melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.