Você está na página 1de 27

ASKEP

PADA PASIEN DENGAN


NEPHROLITHIASIS, GAGAL GINJAL AKUT DAN
GAGAL GINJAL KRONIK

DI SUSUN OLEH

HERMAN

LUKMANULHAKIM

RINIWATI

LL. HISBAINUL HADI

ROHYATUN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAMZAR


PRODI S-I KEPERAWATAN
T.A. 20156/ 2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan uremia yaitu retensi
cairan dan natrium dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2002).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan
penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi
glomerulus (GFR), di sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan
kreatinin). Laju filtrasi gromelurus yang menurun dengan cepat menyebabkan
kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen
urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai
oleh oligurea (keluaran urine < 400 ml/hari). Gagal ginjal akut adalah sindrom
yang terdiri dari penurunan kemampuan filtrasi ginjal (jam sampai hari), retensi
produk buangan dari nitrogen, gangguan elektrolit dan asam basa. Gagal ginjal
akut sering asimtomatik dan sering didapat dengan tanda peningkatan konsentrasi
ureum dan kreatinin.
Gagal ginjal akut berat yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas
tinggi melebihi 50%. Nilai ini akan meningkat apabila disertai kegagalan multi
organ. Walaupun terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka
mortalitas belum berkurang karena usia pasien dan pasien dengan penyakit
kronik lainnya.
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi.
Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10
tahun. Pada 1990, terjadi 166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada
2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010,
jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu (Djoko, 2008).
Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada
167 ribu penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000,
terjadi peningkatan menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang
tersedia dan berkat kepedulian pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup
pasien dengan GGA di Jepang bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Bahkan,
dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih dari 80
tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000
penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang
mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
Di indonesia GGA pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari
US NCHS 2007 menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10
besar sebagai penyebab kematian terbanyak. Faktor penyulit lainnya di Indonesia
bagi pasien ginjal, terutama GGA, adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal.
Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak lebih dari 80 orang. Itu pun
sebagian besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki fakultas
kedokteran. Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor
penyulit GGA terabaikan.
Melihat situasi yang banyak terbatas itu, tiada lain yang harus kita lakukan,
kecuali menjaga kesehatan ginjal. Jadi, alangkah lebih baiknya kita jangan
sampai sakit ginjal. Mari memulai pola hidup sehat. Di antaranya, berlatih fisik
secara rutin, berhenti merokok, periksa kadar kolesterol, jagalah berat badan,
periksa fisik tiap tahun, makan dengan komposisi berimbang, turunkan tekanan
darah, serta kurangi makan garam. Pertahankan kadar gula darah yang normal
bila menderita diabetes, hindari memakai obat antinyeri nonsteroid, makan
protein dalam jumlah sedang, mengurangi minum jamu-jamuan, dan
menghindari minuman beralkohol. Minum air putih yang cukup (dalam sehari 2-
2,5 liter). (Djoko, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definis dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
2. Apa etiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
3. Apa sajakah klasifikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
4. Apa manifestasi klinis GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
5. Bagaimana WOC dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
6. Bagaimana patofisiologi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
8. Apa sajakah pemeriksaan dignostik dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
10. Apa sajakah komplikasi dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?
11. Bagaimana asuhan keperawatan dari GGA (Gagal Ginjal Akut) ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan dan mengetahui konsep dasar teori serta bagaimana cara
menyusun asuhan keperawatan pada pada pasien dengan gangguan gagal ginjal
baik yang bersifat akut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa mengerti tentang definisi dari gagal ginjal akut.
2.Agar mahasiswa mengerti tentang etiologi dari gagal ginjal akut.
3.Agar mahasiswa mengetahui tentang klasifikasi dari gagal ginjal akut.
4.Agar mahasiswa mengetahui tentang manifestasi klinis dari gagal ginjal akut.
5.Agar mahasiswa dapat memahami tentang WOC dari gagal ginjal akut.
6.Agar mahasiswa dapat memahami tentang patofisiologi dari gagal ginjal akut.
7.Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan
penunjang dari gagal ginjal akut.
8.Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan
diagnostik dari gagal ginjal akut.
9.Agar mahasiswa mengetahui tentang penatalaksanaan dari gagal ginjal akut.
10.Agar mahasiswa mengetahui tentang komplikasi dari gagal ginjal akut.
11.Agar mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan gagal ginjal akut.

1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat dapat menambah
wawasan dan informasi dalam penanganan gagal ginjal akut dan mampu
mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal akut secara
tepat dan benar, serta mampu mengimplementasikannya dalam proses
keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya
dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal
dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit,
serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur
akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin,
2010).
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi
mengsekresi produk-produk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi
ginjal sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk
limbah nitrogen dalam darah dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400
ml / 24 jam (Tambayong, 2000).
Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat
penyebab-penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal
akut berhubungan dengan trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai
kondisi medic 13%, pada kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab
GGA dibagi dalam katagori renal, renal dan pasca renal
Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah
sekumpulan gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak
(Nursalam, 2006).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang
ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan
perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang
cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan
metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi
yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal
dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang menyebabkan
penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea).
2.2 Etiologi
Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut
dengan tiga kategori meliputi :
a. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal
dan turunnya laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan
kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologik pada
nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan
menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi
hal-hal sebagai berikut :
1) Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari
gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
2) Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
3) Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok
kardioenik dn emboli paru)
4) Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
b. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan
ginjal. Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal
langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak
teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal
Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga
berlangsung perlahan–lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan
di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia
kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan
ini adala :
1) Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan
sepsis dan renjatan hemoragik.
2) Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus,
lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal.
3) Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang
langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
4) Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan
iskemia lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik),
hemoglobinuria dan mioglobinuria.
5) Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya
pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun
sebagai komplikasi kelainan struktural menyebabkan kehilangan faal
ginjal secara progresif.
6) Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
c. Pascarenal / Postrenal
GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin
cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal
terutama obstruksi aliran urine pada bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca
renal adalah terjadinya anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-
renal. Kondisi yang umum adalah sebagai berikut :
1) Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
2) Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah
atau sumbatan dari tumor (Tambayong, 2000).

2.3 Klasifikasi
Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations
Group (Roesli R, 2007).
Penurunan Laju
Peningkatan Kadar Filtrasi Kriteria Urine
Kategori Serum Cr Glomerulus Output
<0,5 mL/kg/jam,
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar >6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
<0,3 mL/kg/jam,
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar >24 jam
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
Loss Minggu
End Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
stage Bulan

2.4 Manifestasi Klinis


Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal
akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode
perbaikan. Gagal ginjal akut azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih
dari 400 ml/24 jam.
a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan
peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh
ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan
magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan
produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-48
jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung
selama 3–5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa
haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi,
hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.
c. Stadium diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara
bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output
mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal.
Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika
terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
1) Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2) Berlangsung 2-3 minggu
3) Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak
mengalami hidrasi yang berlebih
4) Tingginya kadar urea darah
5) Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6) Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
d. Stadium penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu
anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai
laboratorium akan kembali normal.
Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:
1. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare,
pucat (anemia), dan hipertensi.
2. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan
yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
4. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5. Tremor tangan.
6. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
7. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai
adanya pneumonia uremik.
8. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
9. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
10. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap
darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta
asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
11. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih
menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema
paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan
kesadaran menurun sampai koma.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
b. Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
c. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
d. Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
e. Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau
hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
f. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam
setelah ginjal rusak.
g. Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb,
Mioglobin, porfirin.
h. Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh:
glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk
memekatkan; menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat.
i. PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal
ginjal kronik.
j. Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal,
dan ratio urine/serum sering.
k. Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN
dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
l. Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal
tidak mampu mengabsorbsi natrium.
m. Bikarbonat urine: Meningkat bila ada asidosis metabolik.
n. SDM urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau
peningkatan GF.
o. Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat
rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada
NTA biasanya ada proteinuria minimal.
p. Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna
tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular
ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis
glomular.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. Elektrokardiogram (EKG)
b. Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan
gagal jantung.
c. Kajian foto toraks dan abdomen
d. Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan.
e. Osmolalitas serum
f. Lebih dari 285 mOsm/kg
g. Pelogram Retrograd
h. Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
i. Ultrasonografi Ginjal
j. Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
k. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
l. Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif
m. Arteriogram Ginjal
n. Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular

2.9 Penatalakasanaan
a. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
1) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus
keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi
natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan
pemberian inotropik dan dopamin.
2) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah
kandung kemih penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri
pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya
obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan
pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
3) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik
urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes
lainnya
b. Penatalaksanaan gagal ginjal
1) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air.
Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500
ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar
jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan
harus tetap diawasi.
2) Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori
atau hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena,
penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada kedaruratan
jantung dan dialisis.
3) Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang
adekuat terjadi oliguria.
4) Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap
infeksi saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera harus
dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis
obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
5) Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa
untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula
dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan
hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin)
diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
6) Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum
tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh
melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan
dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan
hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk
pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak
adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
7) Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan
atau makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit
darah, nilai BUN dan nilai kreatinin.
8) Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit
merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia
merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini.
Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui
serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium >5.5
mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T
rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan
kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin
(natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema.
2.10 Komplikasi
a. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium.
b. Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis.
c. Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan
kesadaran, kejang.
d. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan
gastrointestinal.
e. Hematologi: anemia, diathesis hemoragik.
f. Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan
identitas penanggung jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat
menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun, khususnya bagi
orang yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan
pada umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data
yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si
penderita.

b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2. RiwayatPenyakit Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit
terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan
berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan
jumlah urine output tersebut ada hubungannya dengan predisposisi
penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah
berat, luka bakar luas, cedera luka bakar, setelah mengalami episode
serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID atau pemakaian
antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat
trauma langsung pada ginjal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem
perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi
pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal.
Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan
adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV
sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan
suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana
frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi.
tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
2. Pemeriksaan Pola Fungsi
a) B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas
dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom
akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering
didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
b) B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial
sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan
adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi
yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi
eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah,
dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah
jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan memberat kondisi
GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adanya
peningkatan.
c) B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien
berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala,
penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada
fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
d) B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode
diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan jumlah urine
secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada
pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap.
e) B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f) B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi.

d. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit
ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas
kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine :
serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang
tetap dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat
katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum
kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi
glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein
mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan
hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan
metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik
normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah
sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.

e. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi,
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis
memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium
dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan
pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau
melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah
ion kalium menjadi natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis

3.2 Diagnosa Keperawatan


a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal
akut.
b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada
ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder
perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema
paru pada respons asidosis metabolik.
c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
d. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik
e. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder
dari hiperkalemi

3.3 Intervensi
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal
akut.
Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
defisit volume cairan dapat teratasi
Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit
normal, ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari
Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin
menurun\
Intervensi:
1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output)
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan
Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine,
monitoring yang ketat pada produksi urine <600 ml/hari karena merupakan
tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
2.Kaji keadaan edema
R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas
sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga
berat badan dapat meningkat 4,5 kg
3. Kontrol intake dan output per 24 jam.
R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan kelebihan resiko cairan.
4.Timbang berat badan tiap hari.
R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan
dan masukan cairan yang tepat.
5.Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum.
R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua
sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan
cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic
membutuhkan dialysis.
6.Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan
hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya :
Furosemide.
7.Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh
mana terjadi kegagalan ginjal.

b.Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada
respons asidosis metabolik.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak
terjadi perubahan pola nafas
Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh
mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab
dasar dari asidosis metabolic.
2.Monitor ketat TTV.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang
bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan
koreksi asidosis.
3.Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan
mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan
menurunkan tekanan darah.
4.Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan urine output.
5.Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.
R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk
memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta
kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan ini.
6.Berikan bikarbonat.
R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah masukkan
klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan sumber
klorida.
7. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.
R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah
meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi
sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari
analisis gas darah berguna untuk menghindari komplikasi yang tidak
diharapkan

c.Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang
berulang tidak terjadi
Kriteria: klien tidak mengalami kejang
Intervensi:
1.Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.
R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko.
Perawat harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
2. Kaji stimulus kejang.
R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan
suhu tubuh.
3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi
R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya
masukan kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen
kalsium harus dipertimbangkan.
4. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.
R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan
kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine
5. Garam kalsium parenteral
R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan
kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium
berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar
kalsium glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena cairan
tersebut l ebih mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika
dibiarkan menginfiltrasi
6. Tingkatan masukan diet kalsium.
R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500
mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran
berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar)
7. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum.
R: Menilai keberhasilan intervensi

d. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan


serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi
jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala,
mual kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta
klien tidak mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel,
hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul koma,
kejang.
Intervensi:
1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati
pada hipertensi sistolik.
R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan
darah sistemik yang dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler
akan menyebabkan kerusakan vaskular serebral yang dapat
dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan
tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan
pejralanan infeksi.
3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk
mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
intraabdomen.Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi
dapat melindungi diri dari efek valsava.
4. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
potensial terjadi perdarahan ulang.
5. Monitor kalium serum
R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada
kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel.
e. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari
hiperkalemi
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak
terjadi aritmia.
Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS
456, tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak
mengalami defisit neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal.
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor
hiperkalemi.
R: Banyak faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan
disesuaikan dengan faktor penyebab.
2. Beri diet rendah kalium
R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari
termausk kopi, cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang
dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu dan telur juga mengandung
kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan dengan kandungan
kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus
cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root beer,
gula dan madu.
3. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.
R: Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia
pada klien hipokalemi.
4. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi
R: Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera
remuk, dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan
masih ada hal-hal lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia.
Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium harus diberikan
perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium berlebihan
latrogenik.
5. Monitoring klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium
R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah
mengenali keadaan klinis yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena
hiperkalemia adalah akibat yang bisa diperkirakan pada banyak penyakit
dan pemberian obat-obatan. Selain itu, juga harus diperhatikan agar
tidak terjadi pemberian infus larutan IV yang mengandung kalium
dengan kecepatan tinggi.
6. Pemberian kalsium glukonat.
R:Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan
selama 2-3 menit dengan pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5
menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit.
7. Pemberian glukosa 10%.
R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan
memindahkan K+ ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit
dan dapat bertahan beberapa jam.
8. Pemberian natrum bikarbonat.
R: Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan
perpindahan K+ ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit
dan dapat bertahan beberapa jam.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang
ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan
perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang
cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan
metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi
yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal
akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode
perbaikan.
a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai
dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya
diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-
kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan untuk
membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Oliguria timbul
dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia. Pada bayi, anak-
anak berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala–gejala uremia (pusing,
muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi,
hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.
c. Stadium diuresis
Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara
bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output
mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal.
Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika
terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
1. Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2. Berlangsung 2-3 minggu
3. Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak
mengalami hidrasi yang berlebih
4. Tingginya kadar urea darah
5. Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6. Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
d. Stadium penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan
selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit
membaik. Nilai laboratorium akan kembali normal.

4.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memehami dan
mengetahui penyebab, bahaya serta cara pencegahan yang ditimbulkan dari GGA
(gagal ginjal akut) sehingga dalam melakukan tindakan keperawatan di masa
mendatang dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standart asuhan
keperawatan yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta:
Salemba Medika
Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Price, S. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC
Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
Suddart, Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y.
Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Nursalam, Dr. Nurs M. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Roesli R. 2007. Kriteria “RIFLE” Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk
Menegakkan Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Bandung:
Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure: Definitions,
Diagnosis, Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Você também pode gostar