Você está na página 1de 24

REFERAT

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN DAN


PENATALAKSANAANNYA

Dokter Pembimbing :
dr. Arief lianto Lie Sp.PD

Disusun oleh :
Nofris Manto
11-2013-190

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Mardi Rahayu
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Hingga saat ini, hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah kesehatan
serius di bidang obstetri di seluruh dunia. World Health Organization (WHO)
memperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait
dengan kehamilan dan persalinan. Dari jumlah kematian maternal, prevalensi paling besar
adalah pre-eklampsia dan eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu. Insidensi
pre eklamsia di Indonesia sekitar 3 – 10%, menyebabkan mortalitas maternal sebanyak 39.5%
pada tahun 2001, dan sebanyak 55.56% pada tahun 2002.3
Hipertensi gestasional diartikan sebagai setiap onset baru hipertensi tanpa komplikasi
selama kehamilan bila tidak ada bukti jelas dari sindrom preeklampsia. Sedangkan pre
eklamsia sendiri merupakan hipertensi pada kehamilan yang disertai dengan proteinuria.4
Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada wanita yang sebelumnya memiliki penyakit
hipertensi primer atau dapat juga pada wanita dengan hipertensi sekunder kronik, dan pada
wanita tanpa riwayat hipertensi dengan onset terjadinya hipertensi yang baru muncul setelah
setengah masa kehamilan.
Hipertensi pada kehamilan memiliki resiko baik terhadap ibu dan juga janinnya. Pada
ibu, hipertensi dapat menjadi pre eklamsia atau eklamsia yang mengancam jiwa. Sedangkan
pada bayi akan menyebabkan kematian perinatal, 5% bayi lahir dengan kelainan congenital.
Biasanya pada kehamilan pertama, 8 – 10% bayi akan lahir premature (kurang dari 34
minggu) sebagai konsekuensi dari pre eklamsia, tapi pada wanita dengan pre eklamsia berat,
50%nya mengalami kelahiran preterm.3
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi
yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum
terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20
usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida
biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur
lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian
janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau
1
vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara
berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam
kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan
kerusakan end organ lainnya.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Klasifikasi


Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada hipertensi
secara umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP (National High Blood
Pressure Education Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy)
memiliki klasifikasi tersendiri karena pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan
hemodinamik yang mempengaruhi tekanan darah.1

Tabel 2.1. Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak Hamil1
Klasifikasi JNC 7 (Tidak Hamil) Klasifikasi NHBPEP (Hamil)
Normal: Normal/acceptable pada kehamilan
TDS ≤ 120 mmHg TDS ≤ 140 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD ≤ 90 mmHg
Pre Hipertensi:
TDS 120 - 139 mmHg
TDD 80 - 89 mmHg
Hipertensi Stage 1: Hipertensi Ringan:
TDS ≤ 120 mmHg TDS 140 -150 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg TDD 90 - 109 mmHg
Hipertensi Stage 2 Hipertensi Berat
TDS 160 - 179 mmHg TDS ≥ 160 mmHg
TDD 100 - 110 mmHg TDD ≥ 110 mmHg
Hipertensi Stage 3
TDS 180 - 209 mmHg
TDD 110 - 119 mmHg

Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology tersendiri. Disadur dari Report


on the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy, hipertensi dalam kehamilan meliputi:1

3
1. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada
kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan darah kembali normal < 12
minggu pasca persalinan.
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan dan separuhnya
berkembang menjadi preeklamsia dengan ditemukannya proteinuri. Diagnosis pasti
sering dibuat di belakang, Jika tes laboratorium tetap normal dan tekanan darah
menurun pasca melahirkan, maka diagnosisnya adalah hipertensi gestational
(sebelumnya disebut transcient hypertension). Wanita dengan hipertensi gestational
harus dianggap beresiko terjadinya preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap saat,
termasuk minggu pertama pasca melahirkan. Sekitar 15% hingga 45% perempuan
awalnya didiagnosis dengan hipertensi gestational akan mengembangkan preeklamsia,
dan kemungkinan lebih besar pada pasien yang memiliki riwayat preeklamsia
sebelumnya, miscarriage, dan riwayat hipertensi kehamilan sebelumnya.1
2. Preeklamsi
Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis seperti new-onset
hypertension pada saat kehamilan (setelah usia kehamilan 20 minggu, tetapi biasanya
mendekati hari perkiraan lahir), berhubungan dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300
mg dalam 24 jam urin tampung. Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh
kehamilan. Pengobatan antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk
menyembuhkan atau memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan
secara tiba-tiba pada wanita muda, pada wanita yang sebelumnya normotensive,
sehingga perlu pencegahan gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai
konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan tekanan darah, hal ini adalah tujuan
utama manajemen klinis yang membutuhkan kebijaksanaan penggunaan obat
antihipertensi.1
3. Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general dan
dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar
10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah
postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan
intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa
seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum.2
4
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi
Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang sudah
mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20
minggu.1
5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention)
Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.
Wanita usia subur dengan hipertensi esensial stage I yang tidak memiliki kerusakan
organ target dan dalam kondisi kesehatan yang baik memiliki prognosis yang baik
dalam kehamilan. Walaupun terdapat peningkatan resiko terjadi superimposed
preeclampsia, akan tetapi secara fisiologi akan terjadi penurunan tekanan darah selama
kehamilan dan penurunan kebutuhan terhadap agen antihipertensi. Capaian
tatalaksananya adalah mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko
gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang minimal.1
Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan akan tetap hipertensi
setelah melahirkan. Pada pasien ini kemungkinan besar memiliki hipertensi kronis yang
sudah ada sebelumnya, yang tertutup/tak tampak di awal kehamilan oleh karena respon
fisiologis dari kehamilan yakni vasodilasi. Kejadian hipertensi pada periode pasca
melahirkan dan waktu maksimum untuk normalisasi tekanan darah belum diketahui.
Pada umumnya, hipertensi > 140/90 mm Hg menetap lebih dari 3 bulan pasca
melahirkan didignosis sebagai hipertensi kronis.1

B. DIAGNOSIS
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna
memantau perubahan dalam hematologi, ginjal, dan hati yang dapat mempengaruhi
prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk
memantau pasien hipertensi dalam kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit untuk
memantau hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional.
Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis
untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein urin 24 jam. Kreatinin
serum diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal, yang umumnya pada kehamilan kreatinin
serum menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya dipakai
sebagai tanda beratnya pre eklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi

5
kronik. Seperti juga pada kehamilan tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan
gula darah dan kultur urin.1
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah ditemukannya peningkatan
tekanan darah pada pemeriksaan vital sign. Standar pengukuran tekanan darah adalah
sebagai berikut. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff
setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi
berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah.
Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit.
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg
atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah
diastolik. Dahulu telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg
atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan
darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi
dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki
kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai
tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan
diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15
mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga
banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap patologis bila
menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu
terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi.
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari The Associety of
Obstetrician and Gynaecologists of Canada adalah: 1. Pemeriksaan tekanan darah harus
dilakukan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan primer, 2. Hipertensi dalam
kehamilan didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90 mmHg, didapatkan pada minimal 2
kali pemeriksaan pada lengan yang sama, 3.Wanita dengan sistolik >140mmHg harus
dipantau untuk mengawasi adanya perkembangan kea rah hipertensi diastolic, 4.
Hipertensi berat, didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan
darah diastolic ≥110mHg,5. Untuk hipertensi tidak berat, pemeriksaan tekanan darah serial
harus dicatat sebelum menegakkan diagnosis hipertensi, 6. Pada hipertensi berat,
konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15 menit1

1. Hipertensi Gestasional
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
6
 TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
 Tidak ada proteinuria.
 TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
 Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
 Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium
atau trombositopenia.

2. Pre Eklamsia dan Eklamsia


Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
 TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
 Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
 TD 160/110 mmHg.
 Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
 Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.
 Trombosit <100.000/mm3.
 Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
 Peningkatan ALT atau AST.
 Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
 Nyeri epigastrium persisten.
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang
dapat dilihat pada Tabel 2.2. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut,
semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara
preeklamsi ringan dan berat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan
dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan
hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat
proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan
wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang.

7
Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului
nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual.
Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan darah yang tinggi
sehingga terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa adanya riwayat epilepsy dan bukan
merupakan proses intracranial. Keadaan ini dikenal sebagai keadaan eklamsia.1

Tabel 2.2. Gejala berat hipertensi dalam kehamilan1


Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Tekanan darah Trace - 1+ Persisten ≥ 2+
diastolik
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut Tidak ada Ada
bagian atas
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan Minimal Nyata
enzim hati
Hambatan Tidak ada Nyata
pertumbuhan
janin
Oedem paru Tidak ada Ada

3. Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
 Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum
kehamilan 20 minggu.
 Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit
<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan
20 minggu3

8
4. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
 Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
 Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada
penyakit trofoblastik.
 Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak
mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi
kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita
hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin
merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama
kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari
penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah
sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai
konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari.Seperti:
1. Obesitas
2. Hipertensi esensial
3. Kelainan arterial : Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
4. Gangguan-gangguan endokrin : Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
5. Glomerulonephritis (akut dan kronis)
6. Hipertensi renoprival : Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy
7. Penyakit jaringan konektif : Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa

9
8. Penyakit ginjal polikistik
9. Gagal ginjal
Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat
sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria,
maka preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari
hipertensi kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi
murni, dan hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi sudah
diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk menggolongkan preeklamsi
yang mendasari hipertensi kronis tersebut.1
Faktor risiko

1. Primigravida , primipatermitas
2. Hiperplasentosis misalnya molahidatidosa, kehamilan multipel, diabetes militus,
hidrofetalis, bayi besar.
3. Umur yang ekstrim yaitu > 35 thn
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/ eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas.

C. PENATALAKSANAAN
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi
tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder
yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya.
Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani
skrining adanya faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi
apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester
untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi
(140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan
beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara
ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang
ringan dapat menjalani rawat jalan. 1

10
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui
mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan
selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan
dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat,
terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya
proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :
 Pemeriksaan detail diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit
kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara
cepat.
 Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.
 Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
 Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat pertengahan
tengah malam dengan pagi hari.
 Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati, frekuensi
pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
 Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan
menggunakan ultrasonografi.
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang
berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet
harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak
diperlukan asal tidak berlebihan.1

11
1. Pengobatan Hipertensi Kronis
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup
karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal.
Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu
hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan
aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah
plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia. Walaupun data pada
wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam
sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan
sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan
obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi
yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan
efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi
apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan.
Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi
diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau
tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti
hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya
penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini
pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi
(menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat
digunakan.1

12
Tabel 2.3. Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan hipertensi kronis dalam
kehamilan
Obat (resiko FDA) Dosis Keterangan
Agen yang umum 0.5- 3.0 gram/hari Pilihan obat berdasar NHBEP,
diberikan: tercatat aman pada trimester awal
Methyldopa
Lini kedua
Labetalol 200-1200 mg/hari Dapat dikaitkan dengan fetal
growth restriction
Nifedipin 30-120 mg/hari Dapat menghambat persalinan
dengan preparat dan memiliki efek sinergis dengan
lepas lambat MgSO4 untuk menurunkan
tekanan darah
Hydralazin 20-300 mg/hari Dapat digunakan bersama agen
dibagi dalam 2-4 simpatolitik, dapat menyebabkan
dosis pemberian trombositopenia neonates
Β-Blocker Tergantung pada Menurunkan tekanan darah
agen yang dipilih uretroplasenta, menyebabkan
stress hipoksia janin, resiko
growth restriction pada trimester
I-II (atenolol), dosis terlalu tinggi
menyebabkan hipoglikemi
neonates
Hidrochlortiazid 12.5 – 25 mg/hari Menyebabkan gangguan
elektrolit, dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan
metildopa dan vasodilator untuk
mengurangi retensi cairan.
Kontraindikasi ACE- Menyebabkan fetal death,
inhibitor dan ARB gangguan jantung, fetophaty,
tipe I oligohidramnion, growth
restriction, renal agenesis dan
neonatal anuric renal failure

Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada trimester pertama.
Terapi dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronis tanpa komplikasi dan saat

13
tekanan diastolic ≥100mmHg. Tatalaksana dengan dosis yang lebih rendah diberikan
pada pasien dengan diabetes mellitus, gagal ginjal, atau kerusakan organ target.1

2. Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan Eklamsia


Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan preeklamsia dan eklamsia
adalah untuk mencegah hipertensi meningkat secara progresif, mempertahankan
tekanan darah pada level yang memiliki resiko terendah terhadap gangguan
kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu. Pada keadaan hipertensi yang berat dalam
kehamilan, didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/110mmHg, keadaan ini
membutuhkan pengobatan karena pada keadaan ini terjadi peningkatan resiko
terjadinya perdarahaan cerebral, terapi pada keadaan ini untuk mencegah kematian ibu.
Target pengobatan terhadap kedaruratan hipertensi berat dalam kehamilan adalah
penurunan tekanan diastolic menjadi 90-100mmHg.
Tabel 2.4 Pilihan obat dalam control kedaruratan pada Hipertensi Berat dalam
kehamilan1
Obat (resiko FDA) Dosis dan pemberian Keterangan
Labetalol 10-20 mg IV, dilanjutkan Insidensi hipotensi maternal
20-80 mg setiap 20-30 lebih rendah dan efek
menit. Maksimal 300mg, samping, penggunaan
dengan infuse kecepatan 1- labetalol saat ini
2mg/menit menggantikan hydralazin,
tidak diperbolehkan pada
wanita dengan asma dan
CHF.
Hydralazin 5 mg, IV atau IM, Merupakan pilihan obat dari
dilanjutkan 5-10 mb tiap NHBEP, telah lama
20-40 menit. Evaluasi diketahui keamanan dan
tekanan darah setiap 3 jam. efikasinya
Kecepatan infuse 0.5-
10mg/jam, bila tidak
berhasil diturunkan dengan
20 mg IV atau 30mg IM,
diganti obat lain
Nifedipin Hanya direkomendasi Lebih disarankan preparat
dengan tablet, diberikan 10- yang long acting, akan

14
30mg per oral, diulang tetapi pada bidang obstetric
setiap 45 menit bila perlu lebih banyak disukai
preparat short acting
Diazoxide 30-50mg IV setiap 5-15 Jarang digunakan,
menit menyebabkan berhentinya
persalinan, hiperglikemia
Kontraindikasi Drip 0.25-5 ug/kgBB/menit Dapat menyebabkan
relatif nitroprusid keracunan sianoda bila
digunakan >4 jam

Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau eklamsia membutuhkan


terapi antihipertensi parenteral untuk menurunkan mean arterial pressure. Wanita
dengan preeklamsia,perlu pertimbangan dalam memberikan terapi hipertensi berat yang
akut. Diberikan dosis yang lebih rendah karena pada pasien ini terjadi deplesi volume
intravascular dan meningkatnya resiko terjadi hipotensi.

3. Pengelolaan hipertensi pasca melahirkan


Pada masa post partum, wanita hamil yang sebelumnya normotensive
mengalami peningkatan tekanan darah, maksimum pada hari kelima post partum, dan
pada 1 penelitian 12% pasien mencapai tekanan diastolik yang melebihi 100 mmHg.
Hal ini diduga konsekuensi dari ekspansi volume fisiologis dan pergerakan cairan pada
periode post partum. Periode pemulihan tekanan darah secara alamiah dalam hipertensi
gestational dan preeklamsia tidak diketahui. Tidak ada literature yang pasti mengenai
obat antihipertensi pada periode post partum. Tan dan de Swiet (2002) menyarankan
bahwa obat-obatan antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik melebihi 150
mmHg atau tekanan darah diastolic melebihi 100 mmHg dalam 4 hari pertama periode
post partum. Pilihan agen antihipertensi pada periode post partum dipengaruhi juga
dengan keadaan menyusui, tetapi pada umumnya agen yang digunakan dalam periode
antepartum dilanjutkan hingga post partum (tabel 2.3). Medikasi dihentikan ketika
tekanan darah berangsur normal. Hal ini dapat terjadi dalam hari bahkan hingga
beberapa minggu pasca melahirkan.
Dalam suatu kasus wanita dengan preeklamsia berat, tampak beberapa manfaat
pemberian diuretik furosemide pada periode pasca melahirkan, khususnya untuk pasien
dengan hipertensi disertai gejala edema paru dan edema perifer.

15
4. Penggunaan antihipertensi masa menyusui
Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik untuk menilai efek neonatal
dari obat antihipertensi yang dikonsumsi ibu dan kemudian dikeluarkan melalui ASI.
Pengaruh obat yang ditelan oleh bayi menyusu tergantung pada volume yang ditelan,
interval antara minum obat dan menyusui, oral bioavailability, dan kapasitas bayi untuk
mengekskresi obat. Neonatus yang terpapar methyldopa saat menyusu masih dalam
batas aman dan biasanya kemungkinannya kecil (tabel 2.5). Atenolol dan metoprolol
yang terkonsentrasi di ASI, dapat mencapai konsentrasi yang memiliki efek terhadap
bayi. Sebaliknya, paparan labetalol dan propranolol konsentrasinya rendah. Meskipun
konsentrasi diuretik dalam susu rendah dan dianggap aman, agen ini dapat secara
signifikan mengurangi produksi susu. Terdapat laporan bahwa Calsium channel blocker
dapat masuk ke dalam air susu ibu, akan tetapi tanpa efek samping. Terdapat cukup
data yang memaparkan keamanan 2 obat dari golongan ACEinhibitor, yakni captopril
dan enalapril; konsentrasi captopril adalah 1% dari yang ditemukan dalam darah,
dengan konsentrasi yang diterima bayi 0.03% dari dosis reguler. Kadar enalapril tidak
signifikan berada di ASI, berdasarkan penelitian ini, American Academy of Pediatrics
menganggap obat ini dapat diterima pada masa menyusui. Saat ini tidak cukup data
pada penelitian terhadap angiotensin II receptor blocker; variasi kadar obat dalam ASI
hewan coba sangat tinggi dan sebagai rekomendasi keamanan, obat jenis ini tidak
diberikan.4
Tabel 2.5. Pengobatan antihipertensi ibu yang dapat digunakan saat masa menyusui
Captopril Minoxidil
Diltiazem Nadolol
Enalapril Nifedipine
Hydralazine Oxprenolol
Hydrochlorothiazide Propranolol
Labetalol Spironolactone
Methyldopa Timolol
Verapamil
Diuretik (furosemid, hidrochlortiazid, dan spironolacton) dapat
menurunkan produksi ASI. Metroprolol dapat digunakan pada masa
menyusui meskipun terkonsentrasi dalamASI. Acebutolol dan atenolol
tidak boleh digunakan.

16
D. PILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah
menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan
keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan
laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan
ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa
saat dalam kandungan.3
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti
hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika
persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena
keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis
kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian
antihipertensi parenteral lebih praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum
induksi persalinan pada tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan
menurunkannya sampai 95-105 mmHg1
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :

1. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti
hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat
ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju
jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan
menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk
aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer
lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi
retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa
biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil.
Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi
2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan

17
obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.1
2. Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang
dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon
simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac
output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin
dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai
110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis
hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang
memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak
terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan
lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina.
Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan
efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.1
3. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-
adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok β 1 dan non
selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan.
Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek
takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih
efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun
dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40
mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif
mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit,
efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol
secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman
membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin.
Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode
pengobatan

18
4. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan
dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari
sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam
dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga,
tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek
samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan
krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai
sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.5
5. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat
menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa
menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90%
ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi
menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian,
kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat
menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini
dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan
tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga
sering dikombinasikan dengan beta bloker.5
6. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung
dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi
sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta
karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume
tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal.
Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah
karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek
samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada
kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
19
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko
defek janin.5
7. ACE-inhibitor
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi
angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah
jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin
vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat
ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril
8. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini
menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian
memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik
minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama
hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi
penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena
alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung
janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.5
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per
jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti
nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat
menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini
dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut
penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau
nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa
efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja
terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam
mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan
obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek
20
samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan
pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan
darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping
terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena
sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti
hipertensi potensi sedang.1

21
BAB III
KESIMPULAN

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000)
dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi gestasional, preeklamsi, eklamsi, preeklamsi
superimposed pada hipertensi kronis, dan hipertensi kronis.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah invasi
trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara jaringan plasenta
ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari
kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama
pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.

2. Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu

Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 614-15.

3. Brooks M. 2005. Pregnancy and Preeclampsia. http : //www.emedicine.com.

4. Gibson P dan Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. http :

//emedicine.medscape.com/article/261435.

23

Você também pode gostar