Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PRESENTASI KASUS
ANESTHESIA PEDIATRIK
PADA LAPAROTOMI DALAM KASUS PERITONITIS
Disusun oleh :
Disusun Oleh :
Irawati Hidayah
20174011029
Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An
HALAMAN PENGESAHAN
ANESTHESIA PEDIATRIK
PADA LAPAROTOMI DALAM KASUS PERITONITIS
Disusun Oleh :
Irawati Hidayah
20174011029
Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga
perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah,
misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun
di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas
bedah.1,3,4
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan
diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-
kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi
sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh
untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan
dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4
B. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari
selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan
penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum
parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral
yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang
mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan
viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum
4
dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut
asites.5
Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan
dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut
tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon
asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai
organ retroperitoneal.5
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-
lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.5
Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan
nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma
diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi
sesuai organ yang ditutupinya.5
Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen
agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek
mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam
waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan
peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul
adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6
C. Peritonitis
1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-
sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7
5
β-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal
hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran
langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.
Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu
beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan
dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat
penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan
idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4
3. Patofisiologi
Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat
kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase
interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi.4
Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari
kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum
yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan
gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma. Cairan tersebut melewati stomata
pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan limfe
akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus substernal. Septikemia
yang terbentuk umumnya melibatkan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan
berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.4
Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan
anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.
Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan
imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur
7
klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid
yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan
komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel
peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk
interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
inflammatory protein-1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk
memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan
fibroblas pada submesotelium.4
Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk melokalisasi
infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang mengurung mikroba di
dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme efektor fagositik lokal.
Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan
pembentukan dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas
pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum menentukan
apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisiskan atau dibentuk
menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor necrosis factor-α menstimulasi
produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum, yang
menghambat degradasi fibrin.4
4. Manifestasi Klinis
Pada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan metabolik.
Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya akan meningkat sebagai
hasil dari refleks volumetrik, intestinal, diafragmatik, dan nyeri. Asidosis
metabolik dan peningkatan sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan
katekolamin yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi.
Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat tubuh sedang
memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat. Ileus paralitik dapat terjadi,
yang kemudian akan menyebabkan sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya
elektrolit dan eksudat kaya protein. Distensi abdomen yang hebat akan
menyebabkan elevasi diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan
8
pneumonia. Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika
peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.4
5. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya
termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis,
perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit
(contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang
mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh
lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi.
Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan
hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif,
pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan
peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal
organ multipel pun dapat terjadi.3,4
Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis,
posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding
abdominal relaksasi.3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan
tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.
Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons
involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara
usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata)
bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama
dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik.
Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan
fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7
Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa
dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses
tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis
berat.3
9
adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,8
6. Diagnosis Banding
Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi
saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain
nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik
bilier.4
7. Penatalaksanaan
a. Terapi Konservatif
Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi telah terlokalisasi
(misalnya appendix mass); (2) penyebab peritonitis tidak membutuhkan tindakan
pembedahan (misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk anestesi
umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien lanjut usia, pasien sekarat
dengan komorbiditas yang hebat); dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung
manajemen bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa adalah
hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum luas. Terapi suportif
sebaiknya mencakup early enteral feeding (daripada total parenteral nutrition)
untuk pasien dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4
b. Terapi Segera (Immediate)
Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang tetap mengikuti
kaidah primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan
Exposure).9,10,11
Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus dijaga. Penilaian adanya
obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan
napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.9,10,11
Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada
sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya
pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan
adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera
lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua
pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan
Analisis Gas Darah (AGDA).4,9,10,11
Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian
kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan
11
tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,
terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang
dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting
dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian
kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat
dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.
Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel
darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan,
golongan darah dan cross match, dan AGDA.4,9,10,11
Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat
kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS).
Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya.4,9,10,11
Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan
pencegahan hipotermia.9
Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah
dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada
secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara
lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem
peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih
(bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal
(bone/B6).9
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan
mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan
cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis
penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.12
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun,
kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus
berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul
gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan
lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan
Kussmaul.12,13
12
atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan
dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.
Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan
penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien
berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat
pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan
penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14
Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Kebutuhan Nornal Cairan Rumatan12,13,14
Berat Badan Jumlah cairan
0 – 10 kg 4ml/kg/jam
10 – 20 kg berikutnya Tambahkan 2ml/kg/jam
Untuk setiap kg di atas 20kg Tambahkan 1ml/kg/jam
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 7 tahun
Alamat : Jl. Blotongan
Tanggal Masuk : 3 November 2017
Pukul : 13.00 WIB
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapangan perut
RPS : Hal ini dialami pasien ± sejak 1 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati
17
D. Penanganan di IGD
- Oksigenisasi nasal canule 2 liter/menit
- Pasang IV line
- Pemasangan NGT
- Pemasangan kateter urin
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan crossmatch
- Persiapan alat dan obat anestesi
- Foto toraks, foto polos abdomen
- Puasakan pasien sejak direncanakan operasi
F. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
-
Hemoglobin : 15,70 g%
-
Hematokrit : 43,50 %
-
Leukosit : 23,49x103/mm3
-
Trombosit : 302x103/mm3
Faal Hemostasis
- PT/APTT : 13,4 (12,2)/33,2 (26,8)
G. Pemeriksaan Radiologi
Foto Toraks
Foto Polos
Abdomen
I. Anestesi
Teknik anestesi (GA ETT)
o Premedikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 mcg
secara IV
o Induksi dengan propofol 100 mg
o Relaksasi dengan rocuronium 60 mg
o Intubasi ETT no.7
o Suara pernapasan: kanan = kiri
o Fiksasi pada kedalaman 20cm
Maintenance dengan N2O : O2 = 2 l/i : 2l/i dan isoflurane 1%
J. Durante Operasi
- Lama operasi : 2 jam
- TD : 120-130/70-90 mmHg
- HR : 75-92 x/menit
- RR : 14 x/menit
- SpO2 : 100%
- Perdarahan : ±100cc
BAB III
ANESTHESIA PEDIATRI
Anestesia pada bayi dan anak berbeda dengan anestesia pada orang
dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada
anestesia untuk orang yang dewasa, anestesia anak dan bayi khususnya harus
diketahui betul sebelum melakukan anestesia karena alas an itu anestesia pediatri
seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah
berpengalaman.
20
fisiologis terjadi pada umur bayi 10-15 jam yang disebabkan kontraksi otot polos
pada akhir arteri pulmonalis dan secara anatomis pada usia 2-3 minggu.
Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan
kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang ditoleransi.
Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti
mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi
volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap
penggantian volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap
terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi
bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.
d. Sistem Ekskresi Dan Elektrolit
Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar
30% disbanding orang dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi terhadap
natrium, glukosa, fosfat organic, asam amibo dan bikarbonas juga rendah. Bayi
baru lahir sukar memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine
seperti orang dewasa. Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus
mendekati lengkap sekitar umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap
setelah 2 tahun.
Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan
juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan
air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa
sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan
elektrolit terutama hiponatremia. Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan
atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih disbanding pada orang dewasa.
Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap
pemberian cairan.
e. Fungsi Hati
Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang
rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis
metabolik. Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia.
23
Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir
adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui
tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang.
Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan
konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir
dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg intra muscular. Hati-hati penggunaan opiat
dan barbiturat, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.
f. Sistem Saraf
Waktu perkembangan sistem syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan
myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus
belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4 tahun), sedangkan berat
otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat
sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia.
Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat
melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak
mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih rendah disbanding orang dewasa.
Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat
mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non
depolarizing.
Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas
parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya
refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama pada
saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.
Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya
mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan
akumulasi obat-obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan
aksi yang lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat
relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat menyebabkan
kelelahan otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca
anestesi.
24
dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan pengenceran. Hati-
hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.
Penenang
Tidak dianjurkan, karena susunan saraf pusat belum berkembang, mudah
terjadi depresi, kecuali pasca anestesi dirawat diruang perawatan intensif.
d. Masa Anestesi
Induksi
Pada waktu induksi sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar
berjalan dengan trauma sekecil mungkin. Umumnya induksi inhalasi dengan
Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.
Intubasi
Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal,
epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Laringoskopi pada neonatus tidak
membutuhkan bantal kepala karena occiputnya menonjol. Sebaiknya
menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya. Hati-hati
bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Waktu intubasi
perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam
keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan
akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk
bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi premature. Yang
berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma,
yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot.
Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa
cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi
aterm 2,5-3,5 mm. idealnya menggunakan pipa trachea yang paling besar yang
dapat masuk tetapi masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-25
cmH2O masih sedikit bocor.
e. Pemeliharaan Anestesi
28
g. Pengakhiran Anestesia
Pembersihan sekret dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-
hati. Pemberian O2 100% selama 5-15 menit setelah agent dihentikan. Bila masih
ada pengaruh obat pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan
neostigmin (0,04 mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg). kemudian dilakukan
ekstubasi.
B. Anestesi pada Anak
1. Pernafasan.
29
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding orang
dewasa. Pada orok dan bayi antara 30 - 40 x semenit. Tipe pemafasan; orok,
dan bayi ialah abdominal, lewat hidung, sehingga gangguan pada kedua bagian
ini memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. . Paru-paru lebih mudah
rusak karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga menyebabkan
pneumotoraks, atau pneumomediastinum.4 Laju metabolisme yang tinggi
menyebabkan cadangan oksigen yang jauh lebih kecil; sehingga kurangnya
kadar oksigen yang tersedia pada udara inspirasi, dapat menyebabkan ter-
jadinya bahaya hipoksia yang lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.
Neonatus tampaknya lebih dapat bertahan terbadap gangguan hipoksia
daripada anak yang besar dan orang dewasa, tetapi hal ini bukan alasan untuk
mengabaikan hipoksia pada neonatus .4
Ada 5 perbedaan mendasar anatomi dari airway pada anak-anak dan
dewasa.2
1. Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah jug alebih besar
2. Laring yang letaknya lebih anterior
3. epiglottis yang lebih panjang
4. Leher dan trache yang lebih pendek daripada dewasa
5. Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan airway
HbA (adult). Jumlah darah bayi secara absoluts sedikit, walaupun untuk
perhitungan mengandung 90 miligram berat badan Karena itu perdarahan dapat
menimbulkan gangguan sistem kardiosirkulasi. Dan juga duktus arteriosus dan
foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum menutup selama
beberapa hari setelah lahir. 4
Umur EBV
Premature 90-100cc/kg
Baru lahit 80-90 cc/kg
3 bulan-1 tahun 70-80 cc/kg
>1tahun 70 cc/kg
Dewasa 55-60 cc/kg
2. Anak-anak di bawah usia sekolah yang tidak dapat dipisahkan dari orang
tuanya secara mudah, dimana ahli anestesi merasa kehadiran orang tuanya
pada saat induksi tidak akan menguntungkan.
3. Anak-anak yang terbatas komunikasinya yang disebabkan karena
keterbelakangan mental (misalnya autisme), dan orang tua berperan sebagai
perantara untuk berkomunikasi dengan sang anak saat induksi.
4. Keadaan-keadaan dimana induksi harus dilakukan tanpa ada usaha
perlawanan dari ataupun sikap tidak kooperatif, atau menangis dari sang anak.
5. Remaja yang menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi. Remaja sering
merasa ketakutan akan kehilangan penampilan tubuhnya, kematian.
c. Anak-anak Yang Cenderung Mengalami Komplikasi
Ada beberapa kelompok anak-anak yang memiliki kecenderungan lebih
untuk mengalami komplikasi, dan perhatian lebih tentu harus diberikan sebelum
premedikasi dilakukan.
Riwayat spesifik seperti obstruksi saluran pernafasan atas, aspirasi, control
refleks yang buruk, batuk dan muntah yang tak terkoordinasi, harus diperhatikan
sebelum pemberian premedikasi. Riwayat apnoe, obstruksi, merupakan
kontraindikasi yang absolute. Anak-anak yang memiliki kelainan seperti di bawah
ini harus diperlakukan secara berhati-hati dalam pemberian premedikasi:
1. Hipertropi Adenoid
Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar untuk
mengalami obstruksi jalan nafas dari tingkat sedang sampai parah. Komplikasi
yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak yang memiliki hipertropi tonsil.
2. Macroglossia Fungsional
Baik karena sindrom hipertropi lidah ataupun syndrome hipomandibularisme
relative, obstruksi jalan nafas merupakan komplikasi potensial pada pasien-pasien
ini.
3. Pasien dengan Kelainan Neurologi
Respon dari anak yang mengalami kelainan neurology berbeda-beda. Dapat
terjadi aspirasi, diskoordinasi menelan, batuk, yang membuat kelompok anak-
33
anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan sewaktu diberikan sedasi,
bahkan dengan dosis yang telah dikurangi.
4. Distrofi muscular.
Pasien pada kelompok ini , bila mereka menggunakan kursi roda, dokter harus
lebih berhati-hati , terutama terhadap efek depresi respiratorik.
5. Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg
Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg tidak memerlukan sedasi pre operasi,
karena mereka dapat dipisahkan dengan mudah dari orang tuanya dengan tingkat
kecemasan yang rendah,. Onset , durasi, efek samping obat-obatan terhadap anak-
anak ini tak dapat diramalkan.
d. Cara Pemberian Obat
Banyak cara pemberian obat dalam premedikasi. Oral dan rectal
merupakan cara yang sering dipilih. Meskipn begitu, bukan berarti kedua cara di
atas merupakan cara yang paling aman, dimana tidak dapat diramalkan karena
fluktuasi dari bioavalabilitas dan substansi “first past effect”.
Cara Oral
Biasanya merupakan cara yang paling dapat diterima. Hal-hal yang perlu diperhatikan berupa jumlah obat , onset, durasi, tingkah
laku selama penyembuhan, interaksi dengan obat lain, dan efek samping. Kadang kala anak membuang kembali obat yang telah ditelan.
Biasanya ini terjadi karena kurang kooperatifnya anak ataupun kurang lembutnya sikap sang premedikator. Obat-obat yang sering digunakan
meningkat
Opioids Morfin IM 0,1-0,2 15-30 Depresi system
Meperidin IM mg/kgBB 15-30 pernafasan
Fentanil oral 0,5-1 5-15 Depresi system
mg/kgBB pernafasan
10-15 Depresi sitem
µg/kgBB pernafasan
Barbiturat Pentobarbital Oral 3mg/kgBB 60 Eksitasi
Tiopental Rectal 30mg/kgBB 5-10 postoperative
yang
memanjang
Depresi system
pernafasan,
Eksitasi
postoperative
yang
memanjang
Antikolinergi Atropin Oral 20µg/kgBB 15-30 Flushing
k Scopolamin IM 20µg/kgBB 5-15 Mulut kering
IV 10- 30 Rasa gembira
IM 20µg/kgBB 15-30 halusinasi
20µg/kgBB
H2 Antagonis Cimetidine Oral 7,5mg/kgBB 60
Ranitidine Oral 2 mg/kgBB 60
Keterangan : IM : Intra Muscular
IV : Intra Vena
TD : Tekanan Darah
Tabel . Nama obat-obat premedikasi, dosis, cara pemberian dan efeknya 5
Midazolam
Obat makan yang sering digunakan. Dosis yang dianjurkan adalah
0,5mg/kgBB sampai 20mg/kgBB. Dosis ini hamper selalu efektif dan mempunyai
batas aman yang luas. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit
35
setelah pemberian. Patel dan Meakin 5 telah membandingkan midazolam oral dan
diazepam-droperidol sampai trimeprazine, dan mendapatkan hasil yang lebih baik
pada pre-operatif dan post-operatif pada midazolam dalam menghilangkan
kecemasan dan menimbulkan efek sedasi.
Fentanyl
Telah banyak berhasil digunakan. Memiliki efikasi yang sama dengan obat
oral cair meperidine, diazepam dan atropine. Namun efek samping yang tak dapat
diramalkan berupa depresi pernafsan, pruritus dan mual muntah merupakan
kerugian sehingga tidak diterima secara universal.
Ketamin
Bentuk oral merupakan alternative yang popular. Gutstein dan koleganya
membandingkan efek placebo dari 3 sampai 6 mg/kgBB dari ketamin oral.
Ketamin tidak berefek terhadap depresi pernafasan, dan takikardi. Ketamin juga
dapat diberikan bersamaan dengan permen pada dosis 5-6mg/kgbb tanpa
hambatan.
Barbiturat
Telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai obat premedikasi.
Memiliki onset of action yang lambat, dan durasi yang lama. Pentobarbital
3mg/kgBB sampai 30mg/kgBB memiliki onset satu jam dan durasi samapai 6 jam
5 .
Kerugiannya adalah efek sedasi yang panjang dan tidak cocok untuk
pembedahan yang singkat atau emergensi yang memerlukan persiapan yang cepat.
Cara Nasal
Premedikasi Intranasal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tetes dan
inhalasi. Dosis yang tepat tentu diperlukan dan onset yang berulang dapat dicapai
jika cara nasal digunakan. Namun, pasien biasanya akan merasakan rasa yang
tidak nyaman, meskipun hanya sebentar. Sewaktu midazolam 100µg/kgBB
intranasal dibandingkan dengan 10µg/kgBB afentanyil intranasal, efek sedasi
yang didapatkan sama, namun tidak ditemukan rasa hidung terbakar pada anak-
anak yang menerima alfentanil, dimana 70% dari anak-anak yang mengunakan
midazolam merasakan rasa hidung terbakar 5
Cara Rectal
36
Cara ini kadangkala bergantung pada sang ahli anestesi sendiri. Telah
dilaporkan bahwa cara rectal merupakan cara yang popular di Eropa,sedangkan
di Negara-negara lain tidak 5Cara rectal telah dibandingkan dengan midazolam
5
oral oleh Khazin dan Ezra yang menemukan bahwa keduanya sama efektif,
namun cara rectal lebih di toleransi. Pada anak dewasa, cara rectal tidak begitu
dianjurkan karena alas an estetika dan volume yang dibutuhkan untuk
menghantarkan dosis yang adekuat.
Cara Intramuskular dan Subkutan
Cara ini tidak begitu dianjurkan mengingat anak-anak sangat takut denga
jarum, dan bahkan dapat membuat rasa ketakutan yang berlebih pada tindakan
tindakan selanjutnya. Keuntungan cara ini adalah tidak dibutuhkannya sikap
kooperatif dari pasien , dan tanpa harus mengkhawatirkan pasien tersebut
memuntahkan kembali obat yang telah diberi secara oral 5
Cara Sublingual
Meskipun cara ini memiliki keuntungan , yaitu onset yang lebih cepat,
namun tidak begitu popular karena sulit memberikannya pada anak yang tidak
kooperatif.
e. Puasa
Merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien anak. Dulu
pentingnya puasa tidak begitu diapresiasi dengan baik. Namun setelah ada
laporan bahwa regurgitasi dan refluks gaster yang sering terjadi pada anak yang
tidak dipuasakan, akhinya puasa menjadi suatu persiapan pre operasi yang mulai
banyak digunakan 5
Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari banyak factor, seperti
jenis operasi, waktu makan terakhir samapi terjadinya cedera (pada operasi
emergensi), tipe makanan, dan pengobatan yang diberikan pada pasien sebelum
operasi.
Tipe makanan Rekomendasi lama puasa
Cairan Minimum 2 jam
Pasien sehat Minimum 4 jam
Pasien sakit Penganganan tersendiri (pasang NGT,
37
kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak akan membantu , atau bahkan menjadi
lebih sulit.
Jika pasien telah ter sedative, keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana
hal ini tidak akan berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan orang tua
saat induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi yang
diberikan, pasien dan sang ahli anestesi sendiri.
Banyak ahli anestesi pediatrik, yang terampil dalam menangani vena yang
kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka
menggunakan induksi inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai
atau tanpa nitrogen oksida. Entluran efektif tetapi kurang kuat dan harus
menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih
sering dipakai dibeberapa tempat, tetapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga
seringkali tidak disediakan. 4
g. Intubasi.
Anestesi sebelum intubasi tidak penting bagi anakanak dengan berat
badan kurang dari 5 kg, dan dapat berbahaya.Risiko stridor meningkat karena
pembengkakan mukosa pada saluran pernapasan kecil akibat ititasi laring oleh
pipa, perala tan atau uap. Pipa tak bertutup yang cukup kecil untuk pengeluaran
gas dapat dipakai. Suatu bungkus tenggorokan akan menghentikan cairan melalui
pipa yang masuk ke paru-paru. Bayi kecil yang berat badannya kurang dari 5 kg
tidak dapat mempertahankan pemapasan spontan dengan pipa trakea yang sempit,
sehingga hams diberikan ventilasi. 4
Para abli anestesi harus memutuskanantara penggunaan masker anestesi
dan intubasi. Penggunaan intubasi dapat dicapai dengan atau tanpa bantuan
relaksan otot. Pada anak yang kecil, atau jika terdapat kelainan sa luran
pemapasan, paling aman untuk memperdalam anestesi sampai pipa dapat
disisipkan sementara pernapasan spontan berlangsung. Jika terdapat keraguan
tentang kemampuan saluran pernapasan untuk dilalui pipa, seorang ahli anestesi
barus memperlibatkan babwa ia dapat memberikan ventilasi pada paru
menggunakan kantong, dan masker sebelum membuat penderita menjadi lumpuh
dengan relaksan otot
Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala.
Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Dengan adanya perbedaan
anatomis padajalan nafas bagian atas, lebih mudah menggunakan laringoskop
dengan bilah lurus pada bayi.
Blade laringkoskop yang lebib kecil'digunakan untuk anak, jenisnya
tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya gangguan saluran pernapasan.
41
Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip babwa pipa yang dapat dibengkokkan
tidak digunakan di bawab nomor 7, dan dua nomor lebih rendah harus disiapkan
bila diperlukan. Daerah aliran udara paling sempit pada anak kecil adalah di
bawah pita suara
Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau
diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi
sadar pada neonatus usia kurang dari 10-14 hari . Hati-hati terhadap hipertensi
dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin dapat menyebabkan
perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan intubasi.
Lebih digemari intubasi sesudah tidur dengan atau tanpa pelumpuh otot.
Kalau tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau anak ditidurkan sampai
dalam lalu diberikan analgesia topikal barn dikerjakan intubasi. Dengan
pelumpuh otot digunakan suksinil-kolin dosis 2 mg/kgBB secara intravena
setelah bayi/anak tidur.
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff.
Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus laparotomi atau
jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea
.sama dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung.
Bayi prematur menggunakan pipa bergaris tengah 2.0-3.0 mm, bayi
cukup bulan 2.5-3.0 mm. Sampai 6 bulan 4.0 mm dan sam pail tahun 4.5 mm.
Untuk usia diatas 1 tahun digunakan minus sebagai berikut: Garis tengah bagian
dalam pipa trakea ialah : umur dalam tahun /4+ 4. 5 mm. Pilihlah pipa trakea
yang paling besar yang dapat masuk dengan sedikit longgar dan pada tekanan
inspirasi 20-25 em H20 terjadi sedikit kebocoran. Dianjurkan menggunakan
pipa mulut faring untuk fiksasi pipa trakea supaya tidak terlipat.
Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan trauma,
perdarahan adenoid dan infeksi.
Peralatan dengan ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-
Jackson Rees harus digunakan. Neonatus harus dijaga agar tetap hangat, karena
daerah permukaan kulit yang luas dibandingkan massa tubuhnya, perkembangan
system pengaturan suhu yang belum berkembang, dan lemaknya masih
42
3. Komplikasi
Semua pasien, terutama yang diintubasi, lebih memiliki resiko untuk
mengalami komplikasi pada anestesi pediatric. Biasanya hal ini dapat
ditanggulangi dengan acetaminophen 2
Mual dan munatah adalah hal yang paling sering terjadi, terutama pada
pasien berumur 2 tahun ke atas. Terjadi karena pipa ETT dipasang terlalu erat,
sehingga mukosa trachea menjadi bengkak
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.
2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal
Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.
3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.
4. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery
2007; 26 (3): 98-101.
5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and
Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System.
6. Ramli, Rosdiana. 2011. Peradangan Peritoneum. Available from:
http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaksanaan-
pada-penyakit-peritonitis.html/feed.
7. James, Brian Daley. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview.
8. Rasad, S., Kartoleksono, S., dan Ekayuda, I. Radiologi Diagnostik. Jakarta:
Gaya Baru, 1999; Abdomen Akut.
9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk
Dokter.
10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.
Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J
Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.
Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah.
12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Terapi Cairan pada Pembedahan.
47
13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:
282-320.
14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Transfusi Darah pada Pembedahan.
15. Hardiono, Hanindito, Elizeus, Rahardjo, Puger, dan Rahardjo, Eddy. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Keseimbangan Cairan,
Elektrolit, dan Asam Basa.
16. Said A L, Suntoro A. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta. 1989: 115-122.
17. Anonimus, Pediatric Anesthesiolgy:The Basics.
http://www.anesthesia.wisc.edu/ med3/ Peds/ pedshandout.html.
18. Anonimus. Anatomy of The Respiratory System.
http://www.ohsuhealth.com/dch/ health/ respire/acute_lower_bronchio. Html
19. Boulton TB. Anestesiologi. Alih Bahasa : Oswari J. Editor: Wulandari WD.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994 : 134-141.
20. Bissonette B, Dalens BJ. Pediatric Anesthesia: Principles And Practice.
McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York.2002 : 405-413, 483-
503
21. Anonimus. Parent Present Induction. http://www.archildrens.org/
medical_services/clinical/anesthesia/parent_present_induction.asp.
22. Krane E. Orientation to Pediatric Anesthesia. http://anesthesia.stanford.edu/
kentgarman/ clinical/ped%20orient.htm. Diakses pada tanggal 8 Mei 2011