Você está na página 1de 47

1

PRESENTASI KASUS
ANESTHESIA PEDIATRIK
PADA LAPAROTOMI DALAM KASUS PERITONITIS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Irawati Hidayah
20174011029

Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
2

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

ANESTHESIA PEDIATRIK
PADA LAPAROTOMI DALAM KASUS PERITONITIS

Disusun Oleh :
Irawati Hidayah
20174011029

Hari/tanggal: November 2017

Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,

dr. Tinon Anindita, Sp. An


3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga
perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah,
misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun
di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas
bedah.1,3,4
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan
diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-
kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi
sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh
untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan
dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4
B. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari
selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan
penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum
parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral
yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang
mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan
viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum
4

dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut
asites.5
Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan
dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut
tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon
asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai
organ retroperitoneal.5
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-
lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.5
Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan
nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma
diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi
sesuai organ yang ditutupinya.5
Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen
agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek
mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam
waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan
peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul
adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6
C. Peritonitis
1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-
sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7
5

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara


inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.7
2. Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga
disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi
obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat
diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)
merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas
saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia
remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang
terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan
anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1)
invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen,
infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang
rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada
apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui
aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana
terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus
6

β-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal
hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran
langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.
Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu
beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan
dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat
penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan
idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4
3. Patofisiologi
Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat
kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase
interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi.4
Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari
kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum
yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan
gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma. Cairan tersebut melewati stomata
pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan limfe
akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus substernal. Septikemia
yang terbentuk umumnya melibatkan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan
berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.4
Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan
anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.
Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan
imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur
7

klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid
yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan
komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel
peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk
interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
inflammatory protein-1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk
memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan
fibroblas pada submesotelium.4
Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk melokalisasi
infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang mengurung mikroba di
dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme efektor fagositik lokal.
Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan
pembentukan dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas
pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum menentukan
apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisiskan atau dibentuk
menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor necrosis factor-α menstimulasi
produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum, yang
menghambat degradasi fibrin.4
4. Manifestasi Klinis
Pada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan metabolik.
Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya akan meningkat sebagai
hasil dari refleks volumetrik, intestinal, diafragmatik, dan nyeri. Asidosis
metabolik dan peningkatan sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan
katekolamin yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi.
Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat tubuh sedang
memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat. Ileus paralitik dapat terjadi,
yang kemudian akan menyebabkan sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya
elektrolit dan eksudat kaya protein. Distensi abdomen yang hebat akan
menyebabkan elevasi diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan
8

pneumonia. Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika
peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.4
5. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya
termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis,
perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit
(contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang
mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh
lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi.
Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan
hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif,
pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan
peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal
organ multipel pun dapat terjadi.3,4
Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis,
posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding
abdominal relaksasi.3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan
tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.
Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons
involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara
usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata)
bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama
dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik.
Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan
fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7
Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa
dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses
tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis
berat.3
9

Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang


mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh:
empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding
abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti
dari peritonitis.3
Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah.
Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain
pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri
tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan
pekak hati menghilang.3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien
peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis
metabolik.6
Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan
asites ≥ 500 sel/µL, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan
peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase
(LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan
peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level
glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan
asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN ≥ 250
sel/µL dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil
kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN ≥ 250 sel/µL.3
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus
buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi
supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free
air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow); dan (3) posisi Left
Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu
10

adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,8
6. Diagnosis Banding
Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi
saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain
nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik
bilier.4
7. Penatalaksanaan
a. Terapi Konservatif
Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi telah terlokalisasi
(misalnya appendix mass); (2) penyebab peritonitis tidak membutuhkan tindakan
pembedahan (misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk anestesi
umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien lanjut usia, pasien sekarat
dengan komorbiditas yang hebat); dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung
manajemen bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa adalah
hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum luas. Terapi suportif
sebaiknya mencakup early enteral feeding (daripada total parenteral nutrition)
untuk pasien dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4
b. Terapi Segera (Immediate)
Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang tetap mengikuti
kaidah primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan
Exposure).9,10,11
Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus dijaga. Penilaian adanya
obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan
napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.9,10,11
Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada
sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya
pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan
adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera
lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua
pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan
Analisis Gas Darah (AGDA).4,9,10,11
Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian
kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan
11

tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,
terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang
dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting
dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian
kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat
dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.
Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel
darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan,
golongan darah dan cross match, dan AGDA.4,9,10,11
Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat
kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS).
Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya.4,9,10,11
Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan
pencegahan hipotermia.9
Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah
dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada
secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara
lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem
peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih
(bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal
(bone/B6).9
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan
mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan
cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis
penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.12
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun,
kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus
berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul
gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan
lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan
Kussmaul.12,13
12

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi


menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14
Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Ringan Sedang Berat
Klinis
Hemodinamik Takikardi Takikardi, Takikardi,
hipotensi sianosis, nadi sulit
ortostatik, nadi diraba, akral
lemah, vena dingin
kolaps
Jaringan Mukosa lidah Lidah lunak, Atonia, mata
kering keriput cekung/corong
Turgor Kulit < << <<<
Urin Pekat Pekat, jumlah Oliguria
menurun
Kesadaran Normal Apatis, gelisah Koma
Defisit 3-5% BB 6-8% BB 10% BB

Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi menjadi:


(1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2) dehidrasi isonatremik atau isotonik,
dan (3) dehidrasi hipernatremik atau hipertonik.12,13,14
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih
besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat
kadar natrium serum 120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual,
muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di bawah 115 mEq/L,
akan terjadi kejang, koma, bahkan kerusakan neurologis permanen. Kehilangan
natrium dapat dihitung dengan rumus :
Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan
dalam kg).12,13,14,15
Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan sama
dengan konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air adalah sama
jumlahnya/besarnya dalam kompartemen cairan ekstravaskular maupun
13

intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L. Tidak


ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik.12,13,14,15
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan yang hilang
mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan cairan hipotonik),
kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit
daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke
intravaskular meminimalisir penurunan volume intravaskular. Dehidrasi
hipertonik dapat terjadi karena pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak
daripada air. Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula
garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap
kejadian hipernatremia. Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar
karena hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan
perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri ini dapat
mengakibatkan defisit neurologis menetap.12,13,14,15
Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangn cairan tubuh
yang hilang patologis kembali menjadi normal. Algoritme penanganan pasien
dengan dehidrasi meliputi langkah-langkah berikut ini: (1) Pemasangan jalur
intravena ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai kondisi
umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran,
untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3)
Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat
badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya
dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi
tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit.
Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan
setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan
yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam.
Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah
dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah
dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan
14

atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan
dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.
Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan
penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien
berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat
pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan
penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14
Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Kebutuhan Nornal Cairan Rumatan12,13,14
Berat Badan Jumlah cairan
0 – 10 kg 4ml/kg/jam
10 – 20 kg berikutnya Tambahkan 2ml/kg/jam
Untuk setiap kg di atas 20kg Tambahkan 1ml/kg/jam

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang


hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob
dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Sefalosporin generasi ketiga dan
metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang sering diberikan. Untuk
pasien yang menderita peritonitis yang didapat di rumah sakit (misalnya
kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis
kedua dengan meropenem atau kombinasi piperacilin dan tazobactam
direkomendasikan. Terapi antijamur juga sebaiknya dipertimbangkan untuk
menjangkau spesies Candida yang mungkin menginfeksi. Penggunaan antibiotik
lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien
dengan syok septik yang berhubungan dengan peritonitis. Selain untuk
15

dekompresi saluran cerna, penggunaan pipa nasogastrik juga berfungsi untuk


mengurangi risiko pneumonia aspirasi.1,4
c. Terapi Definitif
Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle
incision (bergantung pada dugaan lokasi patologis). Tujuan dari laparotomi
adalah: (1) membuktikan penyebab peritonitis, (2) mengontrol sumber sepsis
dengan membuang organ yang meradang atau iskemik (atau menutup organ yang
bocor), (3) melakukan pencucian kavum peritoneum yang efektif.4
Mengontrol sumber utama sepsis adalah hal yang esensial. Hanya
terdapat sedikit bukti tentang manfaat klinis irigasi peritoneum. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya resistensi koloni mikroba peritoneum terhadap pencucian
peritoneum, atau karena adanya kerusakan ikutan yang timbul pada sel
mesotelium. Pembuangan debris-debris, fekal, atau pus dari kavum peritoneum
mungkin cukup berguna daripada melakukan irigasi yang hebat pada kavum
peritoneum. Antibiotik dapat diberikan hingga 5 hari setelah operasi pada kasus
peritonitis difusa atau kompleks.4
Laparoskopi juga merupakan modalitas terapi alternatif yang dapat
dilakukan. Laparoskopi juga terbukti efektif untuk penanganan apendisitis akut
dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi juga bisa digunakan untuk perforasi
kolon, namun angka konversi ke laparotomi tinggi Syok atau ileus merupakan
kontraindikasi laparoskopi.4
Penggunaan drain cenderung efektif untuk mendrainase ruang yang
terlokalisasi, namun kurang efektif bila digunakan untuk mendrainase seluruh
kavum peritoneum. Hanya sedikit bukti yang mendukung penggunaan drain
profilaksis setelah laparotomi.4
8. Prognosis
Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis
sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai
prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga,
tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2)
24 – 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya 20 %.
Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk
memprediksi keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin-
16

18 intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,


namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.4
9. Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan
di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis
abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor
prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang
berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi
dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.4

BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 7 tahun
Alamat : Jl. Blotongan
Tanggal Masuk : 3 November 2017
Pukul : 13.00 WIB

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapangan perut
RPS : Hal ini dialami pasien ± sejak 1 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati
17

kemudian menjalar ke perut kanan bawah dan menetap selama ± 3 hari,


kemudian menjalar ke seluruh lapangan perut. Mual dan muntah tidak
dijumpai. Demam dialami sejak 2 hari ini. BAB tidak dijumpai dan BAK
dijumpai.
RPD : Riwayat hipertensi, jantung, DM, kejang, asma disangkal
oleh pasien
RPK : Adanya anggota keluarga yang memiliki penyakit
hipertensi, jantung, DM, asma disangkal oleh pasien

C. Pemeriksaan Fisik Primary Survey


A (Airway): Clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-)
B (Breathing) : Spontan, RR: 30 x/menit, SP: vesikuler ka=ki, ST:
-/-, pernapasan cuping hidung (-), hematopneumotoraks (-), jejas pada toraks
(-), flail chest (-)
C (Circulation) : Akral D/M/K, Nadi: 100 x/menit, reguler, t/v
kurang, TD: 110/70 mmHg, suhu: 38,8°C
D (Disability) : GCS 15 (E4V5M6), pupil: isokor, ø ka=ki
(3mm/3mm), RC +/+, pingsan (-), kejang (-), muntah (-)
E (Exposure) : Edema (-), fraktur (-)

D. Penanganan di IGD
- Oksigenisasi nasal canule 2 liter/menit
- Pasang IV line
- Pemasangan NGT
- Pemasangan kateter urin
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan crossmatch
- Persiapan alat dan obat anestesi
- Foto toraks, foto polos abdomen
- Puasakan pasien sejak direncanakan operasi

E. Pemeriksaan Fisik Secondary Survey


B1 : Airway clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-), RR: 30
x/mnt, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-, Mallampati: 1cm, JMH > 6 cm, GL:
bebas, BM: 3 jari. Riwayat asma/batuk/sesak/alergi : -/-/-/-
B2 : Akral: D/M/K, TD 110/70, HR 100 x/menit, reguler, T/V
kurang, bibir kering (+), suhu : 38,7°C
B3 : Sens: Compos mentis, pupil isokor, ø 3mm=3mm, RC +/+
B4 : UOP residual 80 cc, kateter terpasang warna kuning pekat
18

B5 : Abdomen distensi, nyeri tekan pada seluruh lapangan perut


(+), peristaltik (+) lemah, MMT 12 jam SMRS, NGT terpasang warna
kuning kehijauan.
RT: perineum biasa, sfingter ani ketat, mukosa licin, ampula rekti kosong,
nyeri tekan pada seluruh arah, ST: feses (-), lender (-), darah (-)
B6 : Edema (-), fraktur (-)

F. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
-
Hemoglobin : 15,70 g%
-
Hematokrit : 43,50 %
-
Leukosit : 23,49x103/mm3
-
Trombosit : 302x103/mm3
Faal Hemostasis
- PT/APTT : 13,4 (12,2)/33,2 (26,8)

G. Pemeriksaan Radiologi
Foto Toraks

Foto Polos
Abdomen

H. Rencana Pre- Operasi


19

Diagnosa Pre-Operasi : Diffuse Peritonitis


Tindakan : Explorasi Laparotomy + Appendectomy
ASA : 2
Anestesi : GA-ETT
Posisi : Supine

I. Anestesi
 Teknik anestesi (GA ETT)
o Premedikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 mcg
secara IV
o Induksi dengan propofol 100 mg
o Relaksasi dengan rocuronium 60 mg
o Intubasi ETT no.7
o Suara pernapasan: kanan = kiri
o Fiksasi pada kedalaman 20cm
 Maintenance dengan N2O : O2 = 2 l/i : 2l/i dan isoflurane 1%
J. Durante Operasi
- Lama operasi : 2 jam
- TD : 120-130/70-90 mmHg
- HR : 75-92 x/menit
- RR : 14 x/menit
- SpO2 : 100%
- Perdarahan : ±100cc

BAB III
ANESTHESIA PEDIATRI

Anestesia pada bayi dan anak berbeda dengan anestesia pada orang
dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada
anestesia untuk orang yang dewasa, anestesia anak dan bayi khususnya harus
diketahui betul sebelum melakukan anestesia karena alas an itu anestesia pediatri
seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah
berpengalaman.
20

Pembagian pediatri berdasarkan perkembangan biologis:1

1. neonatus usia dibawah 28 hari


2. infant usia 1 bulan - 1 tahun
3. child usia 1 tahun -12 tahun

A. Anestesi Pada Neonatus


Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan
usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam
rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada
semua sistem.
Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan didalam rahim yang
serba tergantung pada ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri.
Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi
ini hampir meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah
system pernafasan sirkulasi, ginjal dan hepar. Maka dari itu sangatlah diperlukan
penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi
terhadap neonatus.
1. Sistem Pernafasan
a. Jalan Nafas
Otot leher bayi masih sangat lunak, leher lebih pendek, sulit menyangga atau
memposisikan kepala, dengan tulang occipital yang menonjol. Lidah neonatus
relative besar, epiglottis berbentuk “U” dengan proyeksi lebih ke posterior dengan
sudut sekitar 450, relatif lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan
menempel pada palatum molle sehingga cenderung bernafas melalui hidung.
Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi kadangkala
diperlukan pengangkatan epiglottis untuk visualisasi. Sementara lubang hidung,
glottis, pipa tracheobronkial relatif sempit, sehingga dapat meningkatkan
resistensi jalan nafas, mudah sekali tersumbat oleh adanya sekret atau edema.
Trakea neonatus yang pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter
tersempit adalah pada bagian cricoid.2
b. Pernafasan :
21

Pada neonatus thoraks ukurannya kecil dengan iga horizontal. Diafragma


terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam
memelihara tekanan negatif intratorakal dan volume paru rendah sehingga
memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas
secara diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negatif dapat timbul dalam lambung
pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke
dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya
kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong
diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya
elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC (Functional Residual Capacity)
sementara volume tidalnya relatif tetap. Untuk meningkatkan ventilasi alveolar
dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus mudah sekali
gagal nafas. Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat
metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga
tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative
lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat
menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat,
terlebih pada neonatus prematur, karena adanya stress dingin maupun sumbatan
jalan nafas.
c. Sistem Sirkulasi Dan Hematologi
Aliran darah fetal bermula dari vena umbilikalis, akibat tahanan pembuluh
paru yang besar (lebih tinggi dibanding tahanan vaskuler sistemik =SVR) hanya
10% dari keluaran ventrikel kanan yang sampai paru, sedang sisanya (90%)
terjadi shunting kanan ke kiri melalui ductus arteriosus Bottali.
Pada waktu bayi lahir, terjadi pelepasan dari plasenta secara mendadak (saat
umbilical cord dipotong/dijepit), tekanan atrium kanan menjadi rendah, tahanan
pembuluh darah sistemik (SVR) naik dan pada saat yang sama paru mengembang,
tahanan vaskuler paru menyebabkan penutupan foramen ovale (menutup setelah
beberapa minggu), aliran darah di ductus arteriosus Bottali berbalik dari kiri ke
kanan. Kejadian ini disebut sirkulasi transisi. Penutupan ductus arteriosus secara
22

fisiologis terjadi pada umur bayi 10-15 jam yang disebabkan kontraksi otot polos
pada akhir arteri pulmonalis dan secara anatomis pada usia 2-3 minggu.
Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan
kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang ditoleransi.
Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti
mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi
volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap
penggantian volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap
terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi
bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.
d. Sistem Ekskresi Dan Elektrolit
Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar
30% disbanding orang dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi terhadap
natrium, glukosa, fosfat organic, asam amibo dan bikarbonas juga rendah. Bayi
baru lahir sukar memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine
seperti orang dewasa. Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus
mendekati lengkap sekitar umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap
setelah 2 tahun.
Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan
juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan
air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa
sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan
elektrolit terutama hiponatremia. Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan
atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih disbanding pada orang dewasa.
Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap
pemberian cairan.
e. Fungsi Hati
Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang
rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis
metabolik. Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia.
23

Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir
adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui
tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang.
Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan
konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir
dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg intra muscular. Hati-hati penggunaan opiat
dan barbiturat, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.
f. Sistem Saraf
Waktu perkembangan sistem syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan
myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus
belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4 tahun), sedangkan berat
otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat
sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia.
Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat
melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak
mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih rendah disbanding orang dewasa.
Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat
mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non
depolarizing.
Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas
parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya
refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama pada
saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.
Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya
mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan
akumulasi obat-obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan
aksi yang lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat
relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat menyebabkan
kelelahan otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca
anestesi.
24

Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia


dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong
baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.
g. Pengaturan Temperatur
Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang, walaupun sudah
aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh
(perbandingan luas permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak
subkutan, kulit lebih permeable terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur
suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik).
Produksi panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang
dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula, axila,
mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi panas dari lemak
coklat.
Hipotermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas, selimut
atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal:
atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan
yang rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infus atau tranfusi darah
dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum (yang menekan
pusat regulasi suhu) maupun obat vasodilator.
Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 270C.
Paparan dibawah suhu ini akan mengandung resiko diantaranya: cadangan energi
protein akan berkurang, adanya pengeluaran katekolamin yang dapat
menyebabkan terjadinya kenaikan tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh
lagi dapat menyebabkan lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis
metabolik. Untuk mencegah hipotermia bias ditempuh dengan : memantau suhu
tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu
penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu pula gas anestesi, cairan
irigasi maupun cairan antiseptic yang digunakan yang hangat.
h. Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada
neonatus berbeda dibandingkan dengan dewasa karena pada neonatus :
25

1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler


berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi
obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver
dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan : ventilasi
alveolar tinggi, Minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien
partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan
mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih peka terhadap zat
anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme kompensasi yang belum sempurna
dan depresi miokard hebat.
Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate agaknya sangat
toksisk pada neonatus disbanding dewasa. Hal ini mungkin karena obat-obat
tersebut sangat mudah menembus sawar darah otak, kemampuan metabolisme
masih rendah atau kepekaan pusat nafas sangat tinggi. Sebaliknya neonatus
tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin. Bayi umumnya membutuhkan
dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi disbanding dewasa karena ruang
extraselulernya relatif lebih besar. Respon terhadap pelumpuh otot non
depolarisasi cukup bervariasi
i. Persiapan Anestesi
Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi,
elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati
normal. Sebagian pembedahan bayi baru lahir merupakan kasus gawat darurat.
Proses transisi sirkulasi neonatus, penurunan PVR (Pulmonary Vascular
Resistance) berpengaruh pada status asam-basanya.
26

Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat


mungkin menggunakan incubator yang telah dihangatkan. Sebelum bayi masuk
kamar bedah hangatkan kamar dengan mematikan AC misalnya.
Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran gas
harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan. Untuk anestesi yang
lama, kalau mungkin gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan
pelembab listrik. Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi
system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari Jackson-Rees.
a. Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa
yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan berilah air gula 2 jam sebelum
anestesi.
b. Infus
Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti
cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll. Untuk
pemeliharaan digunakan preparat D5%-10% dalam cairan elektrolit.
Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami dehidrasi
akibat puasa lama atu sulit minum, kehilangan cairan lewat gastrointestinal,
evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau sekuestrasi cairan ke dalam
lumen usus atau kompartemen tubuh lainnya. Dehidrasi/hipovolemia sangat
mudah terjadi karena luas permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan
ekstra seluler relative lebih besar serta fingsu ginjal belum matang.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3
jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%. Kecukupan hidrasi dapat
dipantau melalui produksi urin (>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010)
,aupun dengan pemasangan CVP (Central Venous Pressure).
c. Premedikasi
 Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran,
Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg
27

dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan pengenceran. Hati-
hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.
 Penenang
Tidak dianjurkan, karena susunan saraf pusat belum berkembang, mudah
terjadi depresi, kecuali pasca anestesi dirawat diruang perawatan intensif.

d. Masa Anestesi
 Induksi
Pada waktu induksi sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar
berjalan dengan trauma sekecil mungkin. Umumnya induksi inhalasi dengan
Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.
 Intubasi
Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal,
epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Laringoskopi pada neonatus tidak
membutuhkan bantal kepala karena occiputnya menonjol. Sebaiknya
menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya. Hati-hati
bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Waktu intubasi
perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam
keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan
akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk
bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi premature. Yang
berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma,
yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot.
Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa
cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi
aterm 2,5-3,5 mm. idealnya menggunakan pipa trachea yang paling besar yang
dapat masuk tetapi masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-25
cmH2O masih sedikit bocor.
e. Pemeliharaan Anestesi
28

Dianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali. Pada umunya


menggunakan gas anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, enfluran, isofluran
ataupun sevofluran. Pelumpuh otot golongan non depol sangat sensitive sehingga
harus diencerkan dan pemberiannya secara sedikit demi sedikit.
f. Pemantauan
1. Pernafasan
- Stetoskop prekordial
- Pada nafas spontan, gerak daad, dan bag reservoir
- Warna ekstremitas
2. Sirkulasi
- Stetoskop perikordial
- Perabaan nadi
- EKG dan CVP
3. Suhu
- Rektal
4. Perdarahan
- isi dalam botol suction
- Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah
- Periksa Hb dan Ht secara serial
5. Air Kemih
- Isi dalam kantong air kemih

g. Pengakhiran Anestesia
Pembersihan sekret dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-
hati. Pemberian O2 100% selama 5-15 menit setelah agent dihentikan. Bila masih
ada pengaruh obat pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan
neostigmin (0,04 mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg). kemudian dilakukan
ekstubasi.
B. Anestesi pada Anak
1. Pernafasan.
29

Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding orang
dewasa. Pada orok dan bayi antara 30 - 40 x semenit. Tipe pemafasan; orok,
dan bayi ialah abdominal, lewat hidung, sehingga gangguan pada kedua bagian
ini memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. . Paru-paru lebih mudah
rusak karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga menyebabkan
pneumotoraks, atau pneumomediastinum.4 Laju metabolisme yang tinggi
menyebabkan cadangan oksigen yang jauh lebih kecil; sehingga kurangnya
kadar oksigen yang tersedia pada udara inspirasi, dapat menyebabkan ter-
jadinya bahaya hipoksia yang lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.
Neonatus tampaknya lebih dapat bertahan terbadap gangguan hipoksia
daripada anak yang besar dan orang dewasa, tetapi hal ini bukan alasan untuk
mengabaikan hipoksia pada neonatus .4
Ada 5 perbedaan mendasar anatomi dari airway pada anak-anak dan
dewasa.2
1. Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah jug alebih besar
2. Laring yang letaknya lebih anterior
3. epiglottis yang lebih panjang
4. Leher dan trache yang lebih pendek daripada dewasa
5. Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan airway

Variable Anak-anak Dewasa


Frekuensi pernafasan 30-50 12-16
Tidal Volume ml/kg 6-8 7
Dead space ml/kg 2-2.5 2.2
Alveolar ventilation 100-150 60
FRC 27-30 30
Konsumsi Oxygen 6-8 3
Tabel. Perbedaan fisiologi pernafasan pada anak dan dewasa2
2. Kardio-Sirkulasi.
Frekuensi jantung/nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 x
permenit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang lebih
dominan. Kadar hemoglobin orok tinggi (16-20 gr%), tetapi kemtidian menurun
sampai usia 6 bulan (10-12 gr%), karena pergantian dari HbF (fetal) menjadi
30

HbA (adult). Jumlah darah bayi secara absoluts sedikit, walaupun untuk
perhitungan mengandung 90 miligram berat badan Karena itu perdarahan dapat
menimbulkan gangguan sistem kardiosirkulasi. Dan juga duktus arteriosus dan
foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum menutup selama
beberapa hari setelah lahir. 4

Umur Heart Rate Tekanan Systolic Tekanan Diastolic


Preterm 1000g 130-150 45 25
Baru lahit 110-150 60-75 27
6 bulan 80-150 95 45
2 tahun 85-125 95 50
4 tahun 75-115 98 57
8 tahun 60-110 112 60
Tabel. Perbedaan heart rate, dan tekanan darah pada pediatric berdasarkan
umur
Bayi bersifat poikilotennik, karena luas permukaan tubuhnya relative lebih
luas dibanding orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan bahaya hipotermia pada
lingkungan yang dingin, dan hipertermia pada lingkungan yang panas. Disamping
itu pusat pengaturan suhu di hipotalamus belum berkembang dengan baik1,6,7
3. Cairan tubuh.
Bayi lahir cukup bulan mengandung relatif banyak air yaitu dari berat
badan 75%, setelah berusia 1 tahun turun menjadi 65% clan setelah dewasa
menjadi 55-60 %. Cairan ekstrasel orok ialah 40% dari berat badan, sedangkan
pada dewasa ialah 20%. Pada Tabel 4. dapat dilihat perbedaan EBV (Estimated
Blood Volume) pada pediatric berdasarkan umur.

Umur EBV
Premature 90-100cc/kg
Baru lahit 80-90 cc/kg
3 bulan-1 tahun 70-80 cc/kg
>1tahun 70 cc/kg
Dewasa 55-60 cc/kg

C. Penerapan Anestesi Pada Pediatri


31

1. Tahap Pra Bedah


Kunjungan pra-anestesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu
24 jam sebelum tindakan anestesia. Perkenalan dengan orang tua penderita
.sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan
anestesia yang akan dilakukan. Pada kunjungan tersebut kita mengadakan
penilaian tentang keadaan. umum, keadaan fisik dan mental penderita.
a. Premedikasi pada anak
Anak-anak dan orang tuanya sering merasa cemas saat-saat pre operatif.
Kecemasan saat pre-operasi dapat bervariasi dengan berbagai macam cara.
Sesuai dengan umurnya, bentuk-bentuk kecemasan ini dapat berupa verbal atau
tingkah laku. Menangis, agitasi, retensi urine, nafas dalam, tak mau bicara,
pernafasan dalam, merupakan bentuk dari anak yang cemas. Kecemasan ini
dapat mencapai puncaknya saat induksi anestesi. Ada berbagai cara untuk
menekan kecemasan pre-operatif ini.
Tujuan dan definisi dari premedikasi ini bervariasi pada tiap tenaga medis,
dan pasien dan orangtuanya memiliki persepsi sendiri terhadap arti premedikasi
5,7
. Bagi tenaga medis, premedikasi berfungsi untuk pendekatan psikologis
memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya, tentang apa yang akan
dilakukan sebelum dan sesudah operasi beserta yang akan terjadi kemudian. Dan
juga untuk memisahkan sang pasien dari orang tuanya dengan tenang pada saat
akan dilakukan operasi, dan juga penggunaan obat-obatan analgesi dan hipnotik
yang bertujuan untuk membuat amnesia ataupun mengurangi nyeri post operasi.
Tujuan lainnnya dapat berupa menekan biaya obat yang akan digunakan, anti
emesis, memudahkan saat induksi, dan hal-hal lain yang tak diinginkan.
b. Indikasi , Keuntungan dan Kerugian pada Premedikasi
Pasien anak-anak yang memerlukan premedikasi dan sedasi untuk
membuat mereka menjadi kooperatif, adalah yang termasuk di bawah ini:
1. Anak-anak yang memiliki riwayat operasi sebelumnya sehingga menjadi
terlalu takut akan ketidaknyamanan akan perawatan di rumah sakit dan operasi
berikutnya.
32

2. Anak-anak di bawah usia sekolah yang tidak dapat dipisahkan dari orang
tuanya secara mudah, dimana ahli anestesi merasa kehadiran orang tuanya
pada saat induksi tidak akan menguntungkan.
3. Anak-anak yang terbatas komunikasinya yang disebabkan karena
keterbelakangan mental (misalnya autisme), dan orang tua berperan sebagai
perantara untuk berkomunikasi dengan sang anak saat induksi.
4. Keadaan-keadaan dimana induksi harus dilakukan tanpa ada usaha
perlawanan dari ataupun sikap tidak kooperatif, atau menangis dari sang anak.
5. Remaja yang menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi. Remaja sering
merasa ketakutan akan kehilangan penampilan tubuhnya, kematian.
c. Anak-anak Yang Cenderung Mengalami Komplikasi
Ada beberapa kelompok anak-anak yang memiliki kecenderungan lebih
untuk mengalami komplikasi, dan perhatian lebih tentu harus diberikan sebelum
premedikasi dilakukan.
Riwayat spesifik seperti obstruksi saluran pernafasan atas, aspirasi, control
refleks yang buruk, batuk dan muntah yang tak terkoordinasi, harus diperhatikan
sebelum pemberian premedikasi. Riwayat apnoe, obstruksi, merupakan
kontraindikasi yang absolute. Anak-anak yang memiliki kelainan seperti di bawah
ini harus diperlakukan secara berhati-hati dalam pemberian premedikasi:

1. Hipertropi Adenoid
Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar untuk
mengalami obstruksi jalan nafas dari tingkat sedang sampai parah. Komplikasi
yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak yang memiliki hipertropi tonsil.
2. Macroglossia Fungsional
Baik karena sindrom hipertropi lidah ataupun syndrome hipomandibularisme
relative, obstruksi jalan nafas merupakan komplikasi potensial pada pasien-pasien
ini.
3. Pasien dengan Kelainan Neurologi
Respon dari anak yang mengalami kelainan neurology berbeda-beda. Dapat
terjadi aspirasi, diskoordinasi menelan, batuk, yang membuat kelompok anak-
33

anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan sewaktu diberikan sedasi,
bahkan dengan dosis yang telah dikurangi.
4. Distrofi muscular.
Pasien pada kelompok ini , bila mereka menggunakan kursi roda, dokter harus
lebih berhati-hati , terutama terhadap efek depresi respiratorik.
5. Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg
Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg tidak memerlukan sedasi pre operasi,
karena mereka dapat dipisahkan dengan mudah dari orang tuanya dengan tingkat
kecemasan yang rendah,. Onset , durasi, efek samping obat-obatan terhadap anak-
anak ini tak dapat diramalkan.
d. Cara Pemberian Obat
Banyak cara pemberian obat dalam premedikasi. Oral dan rectal
merupakan cara yang sering dipilih. Meskipn begitu, bukan berarti kedua cara di
atas merupakan cara yang paling aman, dimana tidak dapat diramalkan karena
fluktuasi dari bioavalabilitas dan substansi “first past effect”.
 Cara Oral
Biasanya merupakan cara yang paling dapat diterima. Hal-hal yang perlu diperhatikan berupa jumlah obat , onset, durasi, tingkah

laku selama penyembuhan, interaksi dengan obat lain, dan efek samping. Kadang kala anak membuang kembali obat yang telah ditelan.

Biasanya ini terjadi karena kurang kooperatifnya anak ataupun kurang lembutnya sikap sang premedikator. Obat-obat yang sering digunakan

per-oral dapat dilihat pada table 5.


5
Nama Obat Agen Cara Dosis Onset Efek
Pemberian (menit)
Benzodiazepi Midazolam Oral 0,3- 15-30 Depresi system
n Diazepam Nasal 0,7mg/kgBB 5-10 pernafasan,
0,1- eksitasi
0,2mg/kgBB postoperative
eksitasi
Dissosiatif Ketamin Oral 3-8mg/kgBB 10-15 Eksitasi
IM 2-5mg/kgBB 2-5 Meningkatkan
TD, tekanan
intra cranial
34

meningkat
Opioids Morfin IM 0,1-0,2 15-30 Depresi system
Meperidin IM mg/kgBB 15-30 pernafasan
Fentanil oral 0,5-1 5-15 Depresi system
mg/kgBB pernafasan
10-15 Depresi sitem
µg/kgBB pernafasan
Barbiturat Pentobarbital Oral 3mg/kgBB 60 Eksitasi
Tiopental Rectal 30mg/kgBB 5-10 postoperative
yang
memanjang
Depresi system
pernafasan,
Eksitasi
postoperative
yang
memanjang
Antikolinergi Atropin Oral 20µg/kgBB 15-30 Flushing
k Scopolamin IM 20µg/kgBB 5-15 Mulut kering
IV 10- 30 Rasa gembira
IM 20µg/kgBB 15-30 halusinasi
20µg/kgBB
H2 Antagonis Cimetidine Oral 7,5mg/kgBB 60
Ranitidine Oral 2 mg/kgBB 60
Keterangan : IM : Intra Muscular
IV : Intra Vena
TD : Tekanan Darah
Tabel . Nama obat-obat premedikasi, dosis, cara pemberian dan efeknya 5
Midazolam
Obat makan yang sering digunakan. Dosis yang dianjurkan adalah
0,5mg/kgBB sampai 20mg/kgBB. Dosis ini hamper selalu efektif dan mempunyai
batas aman yang luas. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit
35

setelah pemberian. Patel dan Meakin 5 telah membandingkan midazolam oral dan
diazepam-droperidol sampai trimeprazine, dan mendapatkan hasil yang lebih baik
pada pre-operatif dan post-operatif pada midazolam dalam menghilangkan
kecemasan dan menimbulkan efek sedasi.
Fentanyl
Telah banyak berhasil digunakan. Memiliki efikasi yang sama dengan obat
oral cair meperidine, diazepam dan atropine. Namun efek samping yang tak dapat
diramalkan berupa depresi pernafsan, pruritus dan mual muntah merupakan
kerugian sehingga tidak diterima secara universal.
Ketamin
Bentuk oral merupakan alternative yang popular. Gutstein dan koleganya
membandingkan efek placebo dari 3 sampai 6 mg/kgBB dari ketamin oral.
Ketamin tidak berefek terhadap depresi pernafasan, dan takikardi. Ketamin juga
dapat diberikan bersamaan dengan permen pada dosis 5-6mg/kgbb tanpa
hambatan.
Barbiturat
Telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai obat premedikasi.
Memiliki onset of action yang lambat, dan durasi yang lama. Pentobarbital
3mg/kgBB sampai 30mg/kgBB memiliki onset satu jam dan durasi samapai 6 jam
5 .
Kerugiannya adalah efek sedasi yang panjang dan tidak cocok untuk
pembedahan yang singkat atau emergensi yang memerlukan persiapan yang cepat.
 Cara Nasal
Premedikasi Intranasal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tetes dan
inhalasi. Dosis yang tepat tentu diperlukan dan onset yang berulang dapat dicapai
jika cara nasal digunakan. Namun, pasien biasanya akan merasakan rasa yang
tidak nyaman, meskipun hanya sebentar. Sewaktu midazolam 100µg/kgBB
intranasal dibandingkan dengan 10µg/kgBB afentanyil intranasal, efek sedasi
yang didapatkan sama, namun tidak ditemukan rasa hidung terbakar pada anak-
anak yang menerima alfentanil, dimana 70% dari anak-anak yang mengunakan
midazolam merasakan rasa hidung terbakar 5
 Cara Rectal
36

Cara ini kadangkala bergantung pada sang ahli anestesi sendiri. Telah
dilaporkan bahwa cara rectal merupakan cara yang popular di Eropa,sedangkan
di Negara-negara lain tidak 5Cara rectal telah dibandingkan dengan midazolam
5
oral oleh Khazin dan Ezra yang menemukan bahwa keduanya sama efektif,
namun cara rectal lebih di toleransi. Pada anak dewasa, cara rectal tidak begitu
dianjurkan karena alas an estetika dan volume yang dibutuhkan untuk
menghantarkan dosis yang adekuat.
 Cara Intramuskular dan Subkutan
Cara ini tidak begitu dianjurkan mengingat anak-anak sangat takut denga
jarum, dan bahkan dapat membuat rasa ketakutan yang berlebih pada tindakan
tindakan selanjutnya. Keuntungan cara ini adalah tidak dibutuhkannya sikap
kooperatif dari pasien , dan tanpa harus mengkhawatirkan pasien tersebut
memuntahkan kembali obat yang telah diberi secara oral 5
 Cara Sublingual
Meskipun cara ini memiliki keuntungan , yaitu onset yang lebih cepat,
namun tidak begitu popular karena sulit memberikannya pada anak yang tidak
kooperatif.
e. Puasa
Merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien anak. Dulu
pentingnya puasa tidak begitu diapresiasi dengan baik. Namun setelah ada
laporan bahwa regurgitasi dan refluks gaster yang sering terjadi pada anak yang
tidak dipuasakan, akhinya puasa menjadi suatu persiapan pre operasi yang mulai
banyak digunakan 5
Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari banyak factor, seperti
jenis operasi, waktu makan terakhir samapi terjadinya cedera (pada operasi
emergensi), tipe makanan, dan pengobatan yang diberikan pada pasien sebelum
operasi.
Tipe makanan Rekomendasi lama puasa
Cairan Minimum 2 jam
Pasien sehat Minimum 4 jam
Pasien sakit Penganganan tersendiri (pasang NGT,
37

Operasi emergensi dll)


Susu Minimum 4 jam
ASI Minimum 6 jam
Susu non ASI
Padat 1 hari sebelum operasi
Operasi elektif Penanganan tersendiri
Operasi emergensi
Tabel 6. Rekomendasi waktu puasa pada tahap pra-bedah dikutip dari5

f. Induksi Pada Pediatri


Cara induksi pada pasien pediatric tergantung pada umur, status fisik ,dan
tipe operasi yang akan dilakukan (ijo). Ahli anestesi tentu memiliki cara dan
taktik tersendiri dalam menginduksi pasien pediatric, namun juga harus memiliki
rencana kedua jika rencana pertama gagal dilakukan yang mungkin disebabkan
oleh situasi klinik tertentu.
Namun, apapun jenis situasi klinik yang dialami, tujuan dari induksi
adalah sama, yaitu 5:
· Memisahkan sang pasien dari orangtuanya sebisa mungkin
· Pasien bersikap kooperatif saat dilakukan induksi
· Induksi yang berjalan mulus tanpa komplikasi apapun
· Pencapaian dan pemantauan system respirasi, kardiovaskular, dan cairan yang
stabil selama induksi
· Tercapainya efek hipnotik, sedative dan relaksasi
Persiapan induksi
Ahli anestesi harus memiliki informasi yang adekuat dari pasien yang akan
diinduksi, minimal umur dan berat badan pasien, jenis pembedahan, apakah
emergensi atau elektif, status fisik dan mental (kooperatif/tidak) pasien.
Dari informasi ini, tentu dapat dipersiapkan keperluan-keperluan seperti pipa
ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi, dan
perawatan intensif yang memadai. Jika hal-hal ini telah terpenuhi, tentu intubasi
akah berjalan dengan lancar dan dengan komplikasi yang minimal.
Persiapan-persiapan yang harus dilakukan tersebut meliputi 5:
38

 Persiapan kamar operasi


 Rencana untuk mendapatkan sikap kooperatif dari pasien
 Penggunaan klinik dari agen-agen induksi
 Obat adjuvant untuk induksi anestesi
 Monitoring pasien
 Rencana-rencana tambahan dalam menghadapi berbagai macam situasi
klinik yang tak terduga.
Persiapan Kamar Operasi
Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial, dan tergantung
pada ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode induksi, dan rencana airway
manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu dan ventilator diatur
sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai, dan juga oral airway.
Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik, dan ukuran blade
yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan , tube trakea, stylet yang sesuai juga
merupakan hal yang esensial dalam persiapan. Peralatan untuk resusitasi, obat-
obat emergensi juga harus dipersiapkan.
Karena permukaan tubuh anak lebih besar daripada dewasa,
yangcenderung untuk terjadinya hipotermi, suhu di ruangan operasi tentu harus
disesuaikan juga, dan alat pemanas dapat disediakan untuk dapat menjaga suhu
pasien.
Keberadaan Orang Tua Pasien
Salah satu tujuan dari anestesi pediatric adalah menyediakan tahap pre-
operatif sebaik dan semulus mungkin. Keberadaan orang tua di sisi pasien,
merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan pada pasien, selain
dengan menggunakan obat-obatan. Banyak rumah sakit yang telah menyediakan
video tentang petunjuk baik bagi sang pasien ataupun orang tuanya, tentang apa
dan bagaimana persiapan preoperative yang sebenar dan sebaiknya 5. Hal ini dapat
membantu terutama pada pasien usia pra sekolah.
Anak yang berusia lebih dari 4 tahun dengan orang tua yang memiliki
tingkat kecemasan lebih rendah mendapatkan keuntungan untuk mengurangi
kecemasan pada sang pasien sendiri. Namun jika orang tua pasien memiliki
39

kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak akan membantu , atau bahkan menjadi
lebih sulit.
Jika pasien telah ter sedative, keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana
hal ini tidak akan berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan orang tua
saat induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi yang
diberikan, pasien dan sang ahli anestesi sendiri.

Penggunaan klinik dari agen-agen induksi


Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu.
Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil mungkin.
Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau seintravena.
Induksi inhalasi.
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang takut
disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N20 dalam oksigen
50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 1 vol% kemudian dinaikkan setiap
beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka mula-mula
jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur barn
dirapatkan ke muka penderita.
Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada mereka yang
sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya dengan tiopenton (pentotal) 2~4
mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak
Induksi dapat juga dengan ketamin (ketalar) 1-2mg/kg.LV. Kadang-kadang
ketalar diberikan secara intra muskular. 1
Banyak ahli anestesi pediatrik, yang terampil dalam menangani vena yang
kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka
menggunakan induksi inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai
atau tanpa nitrogen oksida. Entluran efektiftetapi kurang kuat dan harus
menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih
sering dipakai dibeberapa tempat, tctapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga
seringkali tidak disediakan.
40

Banyak ahli anestesi pediatrik, yang terampil dalam menangani vena yang
kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka
menggunakan induksi inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai
atau tanpa nitrogen oksida. Entluran efektif tetapi kurang kuat dan harus
menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih
sering dipakai dibeberapa tempat, tetapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga
seringkali tidak disediakan. 4
g. Intubasi.
Anestesi sebelum intubasi tidak penting bagi anakanak dengan berat
badan kurang dari 5 kg, dan dapat berbahaya.Risiko stridor meningkat karena
pembengkakan mukosa pada saluran pernapasan kecil akibat ititasi laring oleh
pipa, perala tan atau uap. Pipa tak bertutup yang cukup kecil untuk pengeluaran
gas dapat dipakai. Suatu bungkus tenggorokan akan menghentikan cairan melalui
pipa yang masuk ke paru-paru. Bayi kecil yang berat badannya kurang dari 5 kg
tidak dapat mempertahankan pemapasan spontan dengan pipa trakea yang sempit,
sehingga hams diberikan ventilasi. 4
Para abli anestesi harus memutuskanantara penggunaan masker anestesi
dan intubasi. Penggunaan intubasi dapat dicapai dengan atau tanpa bantuan
relaksan otot. Pada anak yang kecil, atau jika terdapat kelainan sa luran
pemapasan, paling aman untuk memperdalam anestesi sampai pipa dapat
disisipkan sementara pernapasan spontan berlangsung. Jika terdapat keraguan
tentang kemampuan saluran pernapasan untuk dilalui pipa, seorang ahli anestesi
barus memperlibatkan babwa ia dapat memberikan ventilasi pada paru
menggunakan kantong, dan masker sebelum membuat penderita menjadi lumpuh
dengan relaksan otot
Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala.
Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Dengan adanya perbedaan
anatomis padajalan nafas bagian atas, lebih mudah menggunakan laringoskop
dengan bilah lurus pada bayi.
Blade laringkoskop yang lebib kecil'digunakan untuk anak, jenisnya
tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya gangguan saluran pernapasan.
41

Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip babwa pipa yang dapat dibengkokkan
tidak digunakan di bawab nomor 7, dan dua nomor lebih rendah harus disiapkan
bila diperlukan. Daerah aliran udara paling sempit pada anak kecil adalah di
bawah pita suara
Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau
diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi
sadar pada neonatus usia kurang dari 10-14 hari . Hati-hati terhadap hipertensi
dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin dapat menyebabkan
perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan intubasi.
Lebih digemari intubasi sesudah tidur dengan atau tanpa pelumpuh otot.
Kalau tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau anak ditidurkan sampai
dalam lalu diberikan analgesia topikal barn dikerjakan intubasi. Dengan
pelumpuh otot digunakan suksinil-kolin dosis 2 mg/kgBB secara intravena
setelah bayi/anak tidur.
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff.
Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus laparotomi atau
jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea
.sama dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung.
Bayi prematur menggunakan pipa bergaris tengah 2.0-3.0 mm, bayi
cukup bulan 2.5-3.0 mm. Sampai 6 bulan 4.0 mm dan sam pail tahun 4.5 mm.
Untuk usia diatas 1 tahun digunakan minus sebagai berikut: Garis tengah bagian
dalam pipa trakea ialah : umur dalam tahun /4+ 4. 5 mm. Pilihlah pipa trakea
yang paling besar yang dapat masuk dengan sedikit longgar dan pada tekanan
inspirasi 20-25 em H20 terjadi sedikit kebocoran. Dianjurkan menggunakan
pipa mulut faring untuk fiksasi pipa trakea supaya tidak terlipat.
Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan trauma,
perdarahan adenoid dan infeksi.
Peralatan dengan ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-
Jackson Rees harus digunakan. Neonatus harus dijaga agar tetap hangat, karena
daerah permukaan kulit yang luas dibandingkan massa tubuhnya, perkembangan
system pengaturan suhu yang belum berkembang, dan lemaknya masih
42

merupakan penyekat tubuh yang buruk. Suhu ruang bedah sekurang-kurangnya


22°C (75°F), selimut, dan kasur hangat digunakan
2. Tahap Intra Bedah
a. Pemeliharaan anestesia.
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali.
Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pacta bayi hanya untuk
tindakan ringan yang tidak lama.
Gas anestetika yang umum digunakan adalah N20 dic;ampur dengan 02
perbandingan (0-65%) dan (35-100%). Walapun N20 mempunyai sifat
analgesia kuat, tetapi sifat anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering
dicampur dengan halotan, enfluran atau isofluran.
Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau pacta berat diatas 10
kg .Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot
non depolarisasi sangat sensitif, karena itu haus diencerkan dan diberikan secara
sedikit demi sedikit.
Infus.
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Untuk bedah kecil, ringan sebentar dengan
perdarahan yang sangat minimal tidak diperlukan terapi cairan. Apalagi segera
setelah pembedahan diperbolehkan mmum. Walaupun demikian diperlukan jalur
vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan pacta waktu anestesia, atau kalau
diperlu kan infus segera dapat diberikan. Biasanya dipasang semprit berisi NaCI
fisiologis dengan jarum sayap
Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan yang hilang pada waktu
puasa, pada waktu pembedahan (translokasi), adanya perdarahan dan oleh
sebab-sebab lain misalnya adanya cairan lambung, cairan fistula dan lain-
lainnya.
Besamya cairan yang hilang akibat trauma bedah/anestesia yang hams diganti
menurut Lockhart1
Cairan yang seharusnya masuk,karena puasa harus dtganti. Misalnya puasa
6 jam harus diganti 25% dari kebutuhan.dasar 2,.4 jam.
43

Cara menggantinya sebagai berikut:


-Pada jam I diberikan 50% nya
- Pada jam II diberikan 25% nya
- Pada jam III diberikan 25% oya
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan cairan
kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam Ringer-Iaktat
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan1:
1. mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum dan
sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan keduanya
kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang
menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain penutup dan lain-lain.
2. mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada
neonatus harus diganti dengan darah.
3. Tahap Pasca Bedah
a. Pengakhiran anestesia.
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya.
Berikan zat asam murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari
lendir kalau perlu.
Kalau menggunakan pelumpuh otot, netralkan dengan prostigmin (0,04
mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh narkotika-analgetika
netralkan dengan naloksin 0,2-0,4mg secara titrasi.
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota
badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat. Ekstubasi dalam
keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau
bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang
traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik
dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi
b. Perawatan di Ruang Pulih.
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan
ke ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif
44

dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke


ruangan biasa dihitung dulu. skomya menurut Lockhart1

Yang Dinilai Nilai


Pergerakan 2
Gerak bertujuan 1
Gerak tak bertujuan 0
diam
Pernafasan 2
teratur, batuk , menangis 1
depresi 0
perlu dibantu
Warna 2
merah muda 1
pucat 0
sianosis
Tekana Darah 2
berubah sekitar 20% 1
berubah 20-30% 0
berubah lebih dari 30%
Kesadaran 2
benar-benar sadar 1
bereaksi 0
tak bereaksi

3. Komplikasi
Semua pasien, terutama yang diintubasi, lebih memiliki resiko untuk
mengalami komplikasi pada anestesi pediatric. Biasanya hal ini dapat
ditanggulangi dengan acetaminophen 2
Mual dan munatah adalah hal yang paling sering terjadi, terutama pada
pasien berumur 2 tahun ke atas. Terjadi karena pipa ETT dipasang terlalu erat,
sehingga mukosa trachea menjadi bengkak
45

Laringospasme adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi.


Biasanya terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat
digunakan, bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi.
46

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.
2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal
Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.
3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.
4. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery
2007; 26 (3): 98-101.
5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and
Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System.
6. Ramli, Rosdiana. 2011. Peradangan Peritoneum. Available from:
http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaksanaan-
pada-penyakit-peritonitis.html/feed.
7. James, Brian Daley. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview.
8. Rasad, S., Kartoleksono, S., dan Ekayuda, I. Radiologi Diagnostik. Jakarta:
Gaya Baru, 1999; Abdomen Akut.
9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk
Dokter.
10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.
Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J
Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.
Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah.
12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Terapi Cairan pada Pembedahan.
47

13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:
282-320.
14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Transfusi Darah pada Pembedahan.
15. Hardiono, Hanindito, Elizeus, Rahardjo, Puger, dan Rahardjo, Eddy. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Keseimbangan Cairan,
Elektrolit, dan Asam Basa.
16. Said A L, Suntoro A. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta. 1989: 115-122.
17. Anonimus, Pediatric Anesthesiolgy:The Basics.
http://www.anesthesia.wisc.edu/ med3/ Peds/ pedshandout.html.
18. Anonimus. Anatomy of The Respiratory System.
http://www.ohsuhealth.com/dch/ health/ respire/acute_lower_bronchio. Html
19. Boulton TB. Anestesiologi. Alih Bahasa : Oswari J. Editor: Wulandari WD.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994 : 134-141.
20. Bissonette B, Dalens BJ. Pediatric Anesthesia: Principles And Practice.
McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York.2002 : 405-413, 483-
503
21. Anonimus. Parent Present Induction. http://www.archildrens.org/
medical_services/clinical/anesthesia/parent_present_induction.asp.
22. Krane E. Orientation to Pediatric Anesthesia. http://anesthesia.stanford.edu/
kentgarman/ clinical/ped%20orient.htm. Diakses pada tanggal 8 Mei 2011

Você também pode gostar