Você está na página 1de 4

OPINI KEBIRI KIMIA

GRATIFIKASI KESEHATAN

Guna Memenuhi Tugas

drg. Hari P Nugroho

Oleh :

Aldila Geri Istantina


15.C2.0042

MAGISTER HUKUM KESEHATAN XXIV


UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJA PRANATA
2016
OPINI KEBIRI KIMIA DI INDONESIA

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


(Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke 2 atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini juga mengatur mengenai hukuman kebiri kimia
bagi penjahat seksual. Hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual sudah lama diterapkan
pada beberapa negara seperti Amerika Serikat Negara bagian California merupakan yang
negara bagian AS pertama yang memberlakukan hukuman kebiri secara kimiawi bagi pelaku
kejahatan seksual terhadap anak. Hukuman kebiri di California diterapkan sejak tahun 1996.
Kebiri kimia juga diberlakukan di negara Polandia, Argentina, Australia, Korsel dan Rusia.
Hukuman kebiri kimia yang akan diberlakukan pemerintah bukan tanpa hambatan, dan
diperlukan pertimbangan secara komprehensif. Dimana dokter yang tergabung dalam IDI
menolak melakukan kebiri kimia dengan memberikan suntikan kebiri kepada pelaku. IDI
bukan menolak adanya hukuman kebiri bagi para pelaku tindak kejahatan seksual hanya saja
kebiri kimiawi dirasa tidak selaras dengan etika kedokteran.
Menurut saya kebiri kimia bukan menjadi salah satu solusi yang tepat untuk
menyelesaiakan maraknya kasus kejahatan seksual di Indonesia. Bukan hanya efek samping
yang akan dialami pelaku tentunya selain “infertilitas” masih perlu dikaji tentang efek samping
lain yang akan dialami para pelaku. Kebiri kimia tanpa pengawasan setelah para pelaku
kejahatan seksual dibebaskan nyatanya menurut saya tidak akan memberikan efek jera karena
pelaku akan tetap dapat mengalami “libido” dan “active seksual” dan mereka justru akan tidak
terbebani dengan hal itu karena bebas dari perasaan takut ketahuan ataku akan “menghamili”
korbannya. Jika nantinya hukuman kebiri akan resmi dilakukan di Indonesia pemerintah perlu
membentuk peraturan yang menyeluruh bukan hanya soal teknis kebiri kimia, tetapi juga
tentang efek samping dari obat yang digunakan dan kreteria kesehatan pelaku yang layak
mendapatkan hukuman kebiri kimia, pemerintah juga perlu menjelaskan siapakah yang akan
melakukan kebiri masal jika IDI menolak melakukannya. Pelaksanaan hukuman kebiri kimia
harus diawasi dengan ahli dibidang kesehatan.
Pemerintah perlu merinci kejahatan seksual seperti apa yang layak diberi hukuman
kebiri, mengingat hukuman kebiri di negara yang telah terlebih dahulu melegalkannya seperti
Polandia hanya memberikan hukuman kebiri kepada pelaku pedofilia. Hukuman kebiri
memang dirasakan cukup memberi efek jera bagi negara yang telah terlebih dahulu
menerapkannya namun untuk diterapkan di Indonesia rasanya pemerintah masih perlu banyak
menyiapkan materi untuk rancangan Perppu tersebut.
OPINI GRATIFIKASI KESEHATAN

Bagi sebagian orang yang bergelut dibidang kesehatan kedatangan medical


representation (medrep) dari suatu perusahaan farmasi adalah hal yang biasa ditemui. Bukan
hal yang susah dibanyak tempat layanan kesehatan sering kita melihat medrep menunggu
dokter untuk menawarkan produk farmasi ataupun sekedar meminta tanda tangan sebagai bukti
serah terima. Hal ini tentu menjadi masalah seperti gunung es yang terlihat runcing
dipermukaan namun menyimpan masalah yang lebih besar di dasar.

Jika hubungan tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dan medrep memang untuk
menawarkan obat yang dibutuhkan tentu tidak menjadi masalah, akan tetapi hal ini erat
kaitanya dengan gratifikasi, dimana pihak farmasi menawarkan “sesuatu” baik berupa barang
ataupun uang sebagai imbalan sang dokter harus meresepkan obat tertentu dalam jumlah dan
waktu tertentu. Hal ini jelas salah bukan saja menyalahi hukum dan merupakan tindak kolusi
dibidang kesehatan namun juga melanggar etika kedokteran. Dimana kemandirian profesi
dokter tidak lagi terjaga karena ada campur tangan pihak ketiga.

Dokter cenderung meresepkan obat tertentu dengan harga yang tentunya sebagian besar
tidak murah, meski kita tidak dapat tutup mata tidak semua obat ada generikanya, tidak semua
obat ada di form list obat yang dapat ditanggung asuransi seperti BPJS, ada obat tertentu yang
mau tidak mau jika pasien membutuhkannya perlu diresepkan obat brand . Seorang dokter
semestinya mampu bersikap profesional dan menjunjung etika kemandirian profesi
meresepkan obat tetap rasional tepat obat, tepat dosis, tepat administrasi. Jika pasien memang
membutuhkan obat diluar list form BPJS atau tidak tersedia generiknya dokter perlu melakukan
komunikasi yang sejelas mungkin kepada pasien sehingga pasien tidak merasa “diperas” atau
“dimanfaatkan” dokter yang kejar setoran medrep. Jangan sampai pasien merasa diberatkan
dokter dan kesembuhannya menjadi lahan empuk oknum dokter untuk mendapatkan gratifikasi
dari pihak farmasi.

Menjadi kewajiban dokter untuk berusaha sebaik mungkin untuk kesembuhan pasien
termasuk pemilihan obat tetapi jangan sampai hal yang tidak profesional atau dengan iming-
iming gratifikasi seorang dokter jadi bertindak tidak profesional dan melanggar etika
kedokteran. Pihak farmasi juga dirasa memiliki andil dalam maraknya kasus gratifikasi yang
diberikan kepada oknum dokter. Masih ada dokter yang mengobati pasien dengan
mengedepankan etika kedokteran dan profesional jangan sampai karena oknum kepercayaan
masyarakat terhadap dunia kesehatan jadi berkurang.

Você também pode gostar