Você está na página 1de 5

Ahok Tidak Bersalah.

Tinjauan Hukum Pidana


Penulis M. Putra - Senin, 7 November 2016

Trajunews.com (Rohil) – Indonesia di dituntut untuk cerdas, baik para pemimpin dan rakyatnya, sehingga
siapa saja bisa melihat dari sudut pandang yang positif, dengan kejadian hangat yang terjadi di tanah air
baru-baru ini, Indonesia diguncang berbagai polemik di Republik, sehingga pro dan kontra dan setanah
air menjadi pemicu gesekan, namun apakah yang tengah terjadi di NKRI, berikut trajunews.com mengutip
sebuah artikel tinjauan pidana yang menyatakan ahok tidak bersalah.

Melihat dan mengamati ‘Aksi Bela Islam’ pada Tanggal 4 November 2016 kemarin, kita menemukan
beberapa hal yang menjadi paradox dalam tuntutan para demonstran itu. Pertama, mereka menamakan
aksi bela Islam itu sebagai ‘Jihad Konstitusi’. Maknanya adalah bahwa Ahok yang diduga telah menistakan
al-Qur’an harus diproses secara hukum seadil-adilnya. Dan Pemerintah tidak boleh melindunginya.

Namun, dalam yel-yel dan selebaran-selabaran dan bahkan beberapa kali dalam orasi yang disampaikan,
mereka bersuara dan menuntut seakan-akan ahok telah bersalah, telah menista. Padahal, proses hukum
itu belum berjalan. Bukankah segala sesuatu, di Negara hukum, jika ada suatu perbuatan melawan hukum,
maka perbuatan itu mestilah dilihat sebagai suatu ‘dugaan’. Artinya, selama hakim belum memutuskan,
maka tidak ada yang berwenang dan berhak menghakimi Ahok bersalah. Apalagi sampai menyuarakan
bahwa Ahok harus dihukum mati!

Jangan sampai kita menuntut keadilan, memaksa Negara untuk berbuat adil, akan tetapi kita
sesungguhnya telah memperkosa makna keadilan itu sendiri. Betapa tidak, hakim belum memutuskan,
tapi mereka berteriak dan telah memvonis terlebih dahulu bahwa Ahok bersalah, sehingga harus di
penjara, bahkan bilaperlu harus dihukum mati. Keadilan macam apa dan darimana jika gaya dan caranya
seperti itu?

Kedua, katanya ’jihad konstitusi’, tetapi tingkah sebagian mereka sungguh jauh dari apa yang disebut
konstitusi. Kontitusi itu sederhananya aturan main dalam bernegara. Yang secara formal yuridis mengatur
proses dan mekanisme pengambilan keputusan. Artinya tidak boleh sepihak semaunya, apalagi karena
tunduk dan mengikut saja kepada kemauan mayoritas. Konstitusi adalah aturan formal yuridis yang
terstruktur dan teratur. Tidak semaunya sendiri.

Maknanya adalah, jikalau menuntut ahok diadili, maka harus mengikuti proses. Dan proses itu memakan
waktu yang telah ditentukan dalam aturan. Jadi tidak bisa dipaksakan. Demo hari ini, lalu berharap besok
sudah harus jadi tersangka, dan lusa di penjarakan. Konstitusi macam apa itu! Jangan ngawur!

Semua paradox diatas sejatinya menggambarkan keegoisan mereka dalam memaksakan kehendak.
Pokoknya, ahok bersalah! Oleh karena itu dia harus di penjara! Bahkan bila perlu dia harus dihukum mati!
Loh, piye, katanya taat konstitusi, mau ngikut konsitusi, kok vonisnya lebih dulu, dan memaksa
kemauannya kepada Negara. Emang Negara ini milik mbahmu?!

Aku sebenarnya tidak yakin, bahwa apabila proses hukum ahok berjalan, dan pada akhirnya dia
dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, oleh karena unsur-unsur penistaaan agama yang diduga telah
dilakukan ahok tidak terpenuhi, sebagian dari mereka itu akan legowo menerimanya. Bahkan, bisa jadi
mereka semakin geram, dan semakin memuncak kemarahannya. Pada akhirnya nanti, mereka akan
kembali menggelar aksi. Entah dengan judul apa. Yang jelas, tidak mungkin dengan judul jihad konstitusi
lagi.

Kasus Ahok Dalam Tinjauan Hukum Pidana

Kenapa saya katakana demikian, sebenarnya saya mau mencoba memakai logika dan cara berfikir
sebagian mereka-mereka itu. Kalau mereka bisa memvonis Ahok duluan, bahwa ia bersalah karena
‘katanya’ dia telah menista agama, maka apa salahnya jika saya yang seorang Sarjana Hukum juga ingin
memvonis duluan bahwa Ahok tidak bersalah. Tentu dengan disiplin ilmu hukum yang saya ketahui.

Pertama, bahwa Ahok di duga menista al-Qur’an ketika ia berpidato di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu,
pada Tanggal 27 September 2016. Dalam pidatonya itu, ia mengatakan; “jadi jangan percaya sama orang.
Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena di bohongin pakai al-Maidah 51 macem-
macem. Itu hak hak bapak ibu ya…”

Kita akan menganilisis struktur kalimat yang akhirnya menjadi polemik dan masalah diatas. Apakah
memenuhi unsur delik penistaan agama ataukah sebnarnya tidak. Sebab, jika kita berpolemik apakah ahok
bersalah atau tidak, sedang disatu sisi yang kita bahas adalah penistaan agama yang juga merupakan delik
pidana, dan tidak memakai pendekatan dan tinjauan hukum, maka aku kira yang ada hanyalah debat kusir
dan tidak akan ketemu titik terangnya.

Karena penistaan agama adalah termasuk perbuatan yang diatur dalam hukum pidana, maka biasanya
ada yang disebut unsur pidana. Unsur pidana itu sederhannya adalah struktur suatu perbuatan yang
dilarang atau tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan. Misalanya, dalam kasus
pencemaran nama baik. Dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP diatur bahwa;

“ Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia
melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena
menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan penjara atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 4.500,-“

Unsur pidana pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP diatas
adalah; 1. Barangsiapa, 2. Merusak kehormatan atau nama baik seseorang, 3. Dengan jalan menuduh
melakukan sesuatu perbuatan, 4. Dengan maksud nyata akan tersiarnya tuduhan itu.

Dari uraian datas, kita dapat mengetahuhi bahwa seseorang itu telah melakukan perbuatan pencemaran
nama baik adalah ketika ia telah dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang merusak kehormatan
atau nama baik seseorang dengan sengaja. Perbuatan merusak kehormatan itu juga harus jelas kepada
siapa.

Kemudian perbuatan merusak kehormatan itu harus dengan jalan/cara menuduh. Maksudnya bahwa
seseorang yang di duga melakukan perbuatan merusak kehormatan itu harus menuduh seseorang yang
lain melakukan suatu perbuatan, padahal seseorang yang dituduh itu tidak melakukannya.

Yang terakhir, perbuatan merusak kehormatan atau nama baik seseorang yang dilakukan dengan cara
menuduh seseorag telah melakukan sesuatu perbuatan, yang sebenarnya tidak dilakukan olehnya, harus
didepan umum, atau minimal diketahui atau disebar kemuka umum.
Jika perbuatan merusak kehormatan atau nama baik itu tidak diketahui umum, maka unsur pencemaran
nama baik tidak akan terpenuhi. Sebab kehormatan atau nama baik adalah label atau penilaian
masyarakat atau orang lain terhadap seseorang. sederhannya, jika tidak diketahui orang maka seseorang
itu tidak akan rusak atau tercemar nama baiknya.

Artinya pencemaran nama baik itu harus jelas siapa yang melakukan, apakah yang dilakukan dapat
merusak kehormatan atau nama baik seseorang, dan apakah perbuatan itu dilakukan dengan jalan/cara
menuduh seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud agar tuduhan diketahui oleh orang
banyak.

Nah, sekarang mari kita lihat kasus Ahok yang dituduh/diduga telah melakukan penistaan agama. Dengan
mengatakan bahwa sebagian umat islam telah diboongin ‘pakai’ al-Maidah 51. Apakah pernyataan ahok
itu telah memenuhi unsur delik pidana, ataukah tidak sama sekali.

Dalam KUHP Pasal yang mengatur tentang penistaan agama adalah Pasal 156 dan 156a. yang rumusannya
sebagai beirikut:

Pasal 156

“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan
pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa
bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan
menurut hukum tata Negara”

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Mari kita bedah unsur pidana dari perkataan ahok menurut apa yang diatur dalam pasal penistaan agama
diatas. Apakah penyataan ahok di kepulauan seribu itu dapat dikategorikan (bestandel) delik pidana
penistaan agama ataukah tidak.

Unsur pasal 156 diatas adalah sebagai berikut: 1. Barangsiapa, 2. Dimuka umum, 3. Menyatakan perasaan
permusuhan, Kebencian atau penghinaan, 5. Terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia.

Menurut pasal ini, kategori penistaan itu tidak hanya terhadap agama saja. Sehingga frasa yang digunakan
adalah ‘Golongan’. Yang dimnaksud golongan adalah ras, negeri asal, agama, asal, keturunan, kebangsaan
atau kedudukan menurut hukum tata Negara. Karena agama masuk dalam kategori golongan, maka
termasuk menista agama jika pernyataan permusuhan itu dinyatakan terhadap agama tertentu oleh
seseorang atau lebih dimuka umum.
Mari kita analisa pernyataan Ahok dikepulauan seribu, apakah masuk unsur penistaan agama,
sebagaimana yang telah terlanjur di tuduhkan kepadanya. Ia berkata; “jadi jangan percaya sama orang.
Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena di bohongin pakai al-Maidah 51 macem-
macem. Itu hak hak bapak ibu ya…”

Melihat kalimat diatas, sebenarnya tidak terdapat satu unsure yang bisa dimasukkan kedalam delik Pasal
156. Sebab pernyataan diatas tidak ada kalimat atau ungkapan perasaan permusuhan terhadap golongan
tertentu, dalam hal ini agama agama islam.

Kenapa aku katakana demikian, sebab, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pernyataann
Ahok ‘jangan percaya sama orang’. Kalimat ini tidak sama sekali menyatakan bahwa al-Qur’an berbohong.
Yang berbohong itu orang, bukan ayatnya. Kedua, pernyataan ‘karena dibohongin pakai al-Maidah 51′.
kalimat ini menggambarkan bahwa sebagian orang telah berbohong memakai al-Maidah ayat 51.

Jika kita memakai logika membaca pernyataan Ahok diatas secara terbalik, maka bunyinya kurang lebih
seperti berikut: ‘karena dibohongin pakai al-Miadah 51’, maka ‘bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa
pilih saya’, sehingga ‘jangan percaya sama orang’.

Artinya, pernyataan Ahok itu sesungguhnya ditujukan kepada orang-orang yang berbohong sehingga
bapak ibu (masyarakat) di kepulauan seribu tidak bisa memilih dia. Pernyataan itu bukan ditujukan kepada
al-Maidah Ayat 51. Kalaupun pernyataan itu ingin dikatakan sebagai ungkapan permusuhan, kebencian
atau penghinaan, maka hal itu dilakukan bukan ditujuiterhadap al-Qur’an, melainkan lebih tepat kepada
orang yang di sangkakan oleh Ahok itu sendiri.

Kemudian Pasal 156a, bahwa “Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.

Pasal ini justru menerangkan bahwa Ahok tidak sama sekali mengeluarkan perasaan yang bersifat
permusuhan terhadap agama tertentu. Apalagi menyalahgunakan ayat itu dengan menafsir sendiri atau
memlintir ayat itu. Atau tidak juga mengolok-mengolok Qs. Al-maidah Ayat 51 sehingga ia ternoda, apalagi
ingin memusuhi menyalahgunakan dan atau menodai agama islam.

Pernyataan Ahok itu juga tidak mengandung unsur yang bertujuan agar orang menjauhi agama islam,
memusuhi agama islam dan lain sebagainya. Ahok hanya menyerang sebagian pihak yang dikatakannya
sebagai ‘orang’. Yang menurutnya telah berbohong memakai ayat tersebut.

Dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan dari uraian diatas, bahwa dugaan penistaan agama yang
selama ini di tuduhkan kepada Ahok adalah tidak tepat. Lebih tepat itu adalah dugaan pencemaran nama
baik terhadap orang-orang yang dimaksudkan Ahok telah berbohong pakai al-Maidah 51.

Hanya saja, kemungkinan Ahok tidak dapat memenuhi unsur delik pencemaran nama baik sangat besar.
Sebab orang yang disebutkan olehnya tidak jelas siapa dan dimana. Padahal, pencemaran nama baik
hanya bisa dikatakan pencemaran nama baik apabila korbannya jelas. Dalam arti bahwa pernyataan ahok
itu tidak jelas di tujukan kepada siapa.

Ahok hanya mengatakan ‘jangan percaya sama orang’. Orang disini tidak jelas siapa. Dengan begitu, nama
baik siapa yang tercemar, kehormatan siapa yang telah rusak? Jelas tidak ada subjek yang tercemar atau
rusak karena pernyataan itu.

Contohnya, saya mengatakan ‘jangan percaya sama si Mu’awiyah, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu
tidak bisa pilih saya, karena dibohongin pakai al-Maidah 51’. Nah, jika saya menyatakan seperti ini, maka
tentu si mu’awiyah dapat melaporkan saya di kepolisian dengan dugaan mencemarkan nama baikknya.
Karena saya telah menduhnya berbohong. Artinya jelas, siapa yang dituju. Sedangkan kalimat Ahok diatas
tidak menyertakan siapa subjek yang berbohong itu.

Kalaupun yang merasa tehina atau tercemar nama baiknya adalah sebagian ulama, ustad dll, maka apa
dasarnya mereka dapat mengatakan bahwa kalimat itu ditujukan kepada mereka, apa buktinya mereka
menuduh seperti itu? Toh Ahok tidak menuduh mereka dengan menyebutkan nama mereka satu-perrsatu.
Artinya, kedudukan mereka sebagai pihak yang merasa dirugikanpun tidak dapat diterima.

Karena bisa saja ayat itu digunakan bukan hanya oleh sebagian ulama, ustad dll. Para politisi, partisan
partai, tim sukses dll, juga menggunakan ayat itu untuk kampanye politik. Kenapa saya katakana demikian,
itu karena dalam melihat pernyataan ahok, adalah dalam konteks Pilkada DKI.

Maksudnya bahwa sangat naïf jika sebagian orang mengatakan itu tidak ada hubungannya dengan politik,
tidak ada hubungannya dengan kampanye politik, tidak ada hubungannya dengan pilkada DKI. Padahal,
pernyataan Ahok itu sendiri adalah dalam konteks Pilkada DKI.

Kalimat ‘kan bisa aja ibu bapak tidak memilih saya’ adalah kalimat yang bermuatan politis. Mengenai
memilih dan dipilih. Dengan demikian, memisahkan pernyataan Ahok dari konteks ruang dan waktu
adalah kesalahan berfikir yang sangat memalukan.

Akhirnya, mari kita tunggu proses hukum dugaan penistaan agama yang telah dilakukan oleh Basuki
Tjahya Purnama alias Ahok. Apakah ia akan dinyatakan bersalah oleh Hakim, ataukah bebas sebebas-
bebasnya. Jika ia bersalah dan terbukti melakukan penistaan agama, maka saya yakin, mereka akan
bersorak sorai kesenangan. Namun jika tidak, maka aku harap mereka harus menerima segala keputusan
hakim. Sebab ini Negara Konstitusi, ini Negara Hukum.

M. Fazwan Wasahua

Sumber : Qureta.com

Você também pode gostar