Você está na página 1de 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam pelayanan
kesehatan dan tindakan yang manusiawi semakin meningkat, sehingga
diharapkan adanya pemberi pelayanan kesehatan dapat memberi pelayanan
yang aman, efektif dan ramah terhadap mereka. Jika harapan ini tidak terpenuhi,
maka masyarakat akan menempuh jalur hukum untuk membelahak-haknya.
Kebijakan yang ada dalam institusi menetapkan prosedur yang tepat untuk
mendapatkan persetujuan klien terhadap tindakan pengobatan yang
dilaksanakan. Institusi telah membentuk berbagai komite etik untuk meninjau
praktik profesional dan memberi pedoman bila hak-hak klien terancam.
Perhatian lebih juga diberikan pada advokasi klien sehingga pemberi pelayanan
kesehatan semakin bersungguh-sungguh untuk tetap memberikan informasi
kepada klien dan keluarganya bertanggung jawab terhadap tindakan yang
dilakukan.
Selain dari pada itu penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan pada
kewenangan yang diberikan karena keahlian yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan
tuntutan globalisasi. Terjadinya pergeseran paradigma dalam pemberian
pelayanan kesehatan dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada
diagnosis penyakit dan pengobatan ke paradgima sehat yang lebih holistic yang
melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai focus
pelayanan (Cohen, 1996), maka perawat berada pada posisi kunci dalam
reformasi kesehatan ini. Hal ini ditopang oleh kenyataan bahwa 40%-75%
pelayanan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan (Gillies, 1994),
Swansburg dan Swansburg, 1999) dan hampir semua pelayanan promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit baik di rumah sakit maupun di tatanan
pelayanan kesehatan lain dilakukan oleh perawat. Hasil penelitian Direktorat
Keperawatan dan PPNI tentang kegiatan perawat di Puskesmas, ternyata lebih
dari 75% dari seluruh kegiatan pelayanan adalah kegiatan pelayanan
keperawatan (Depkes, 2005) dan 60% tenaga kesehatan adalah perawat yang
bekerja pada berbagai sarana/tatanan pelayanan kesehatan dengan pelayanan
24 jam sehari, 7 hari seminggu, merupakan kontak pertama dengan sistem klien.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep legal etik keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan memahami difinisi etika
b. Mengetahui dan memahami Isi dari prinsip–prinsip legal dan etis
c. Mengetahui dan memahami Masalah Legal Dalam Keperawatan
d. Mengetahui dan memahami Landasan Aspek Legal Keperawatan
e. Mengetahu dan memahami Aplikasi Aspek Legal Dalam Keperawatan
f. Mengetahu dan memahami contoh kasus terkait dengan etik dan legal
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Legal Etik


Etika keperawatan (nursing ethic) merupakan bentuk ekspresi bagaimana
perawat seharusnya mengatur diri sendiri, dan etika keperawatan diatur dalam
kode etik keperawatan.
Aspek Legal Etik Keperawatan adalah Aspek aturan Keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung
jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan kewajibannya
yang diatur dalam undang-undang keperawatan.
`Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Perawat sebagai profesi dan bagian integral dari pelayanan kesehatan tidak saja
membutuhkan kesabaran. Kemampuannya untuk ikut mengatasi masalah-
masalah kesehatan tentu harus juga bisa diandalkan.
International Council of Nurses (ICN) mengeluarkan kerangka kerja
kompetensi bagi perawat yang mencakup tiga bidang, yaitu bidang Professional,
Ethical and Legal Practice, bidang Care Provision and Management dan bidang
Professional Development “Setiap profesi pada dasarnya memiliki tiga syarat
utama, yaitu kompetensi yang diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif,
komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan
memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat”. (Budi Sampurna,
Pakar Hukum Kesehatan UI 2006)
Praktik keperawatan yang aman memerlukan pemahaman tentang batasan
legal yang ada dalam praktik perawat. Sama dengan semua aspek
keperawatan, pemahaman tentang implikasi hukum dapat mendukung pemikiran
kristis perawat. Perawat perlu memahami hukum untuk melindungi hak kliennya
dan dirinya sendiri dari masalah. Perawat tidak perlu takut hukum, tetapi lebih
melihat hukum sebagai dasar pemahaman terhadap apa yang masyarakat
harapkan dari penyelenggara pelayanan keperawatan yang profesional.
B. Prinsip – prinsip legal dan etis
1. Autonomi ( Otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap
kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki
berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip
otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang
sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi
merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat
menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya.
2. Beneficience ( Berbuat Baik )
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain.
Terkadang,dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip
ini dengan otonomi.
3. Justice ( Keadilan )
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan.
Nilai inidirefleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk
terapiyang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. d. Nonmal eficience (
Tidak Merugikan ) Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik
dan psikologis pada klien.
4. Veracity ( Kejujuran )
Prinsip ini berarti penuh dengan kebenaran. Nilai diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan
untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip ini berhubungan
dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
5. Fidellity (Metepati Janji)
Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji
serta menyimpan rahasia pasien.
6. Confidentiality ( Kerahasiaan )
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.
7. Accountability ( Akuntabilitas )
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
8. Informed Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung
pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi.
Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan
yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko
yang berkaitan dengannya.
C. Masalah Legal Dalam Keperawatan
Hukum dikeluarkan oleh badan pemerintah dan harus dipatuhi oleh warga
negara. Setiap orang yang tidak mematuhi hukun akan terikat secara hukum
untuk menanggung denda atau hukuman penjara. Beberapa situasi yang perlu
dihindari seorang perawat :
1. Kelalaian.
Seorang perawat bersalah karena kelalaian jika mencederai pasien dengan
cara tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan ataupun
tidak melakukan tugas dengan hati-hati sehingga mengakibatkan pasien jatuh
dan cedera.
2. Pencurian
Mengambil sesuatu yang bukan milik anda membuat anda bersalah karena
mencuri. Jika anda tertangkap, anda akan dihukum. Mengambil barang yang
tidak berharga sekalipun dapat dianggap sebagai pencurian.
3. Fitnah
Jika anda membuat pernyataan palsu tentang seseorang dan merugikan
orang tersebut, anda bersalah karena melakukan fitnah. Hal ini benar jika
anda menyatakan secara verbal atau tertulis.
4. False imprisonment
Menahan tindakan seseorang tanpa otorisasi yang tepat merupakan
pelanggaran hukum atau false imprisonment. Menggunakan restrein fisik atau
bahkan mengancam akan melakukannya agar pasien mau bekerja sama bisa
juga termasuk dalam false imprisonment. Penyokong dan restrein harus
digunakan sesuai dengan perintah dokter.
5. Penyerangan dan pemukulan
Penyerangan artinya dengan sengaja berusahan untuk menyentuh tubuh
orang lain atau bahkan mengancam untuk melakukannya. Pemukulan berarti
secara nyata menyentuh orang lain tanpa ijin.Perawatan yang kita berikan
selalu atas ijin pasien atau informed consent. Ini berarti pasien harus
mengetahui dan menyetujui apa yang kita rencanakan dan kita lakukan.
6. Pelanggaran privasi
Pasien mempunyai hak atas kerahasiaan dirinya dan urusan pribadinya.
Pelanggaran terhadap kerahasiaan adalah pelanggaran privasi dan itu
adalah tindakan yang melawan hukum.
7. Penganiayaan
Menganiaya pasien melanggar prinsip-prinsip etik dan membuat anda terikat
secara hukum untuk menanggung tuntutan hukum. Standar etik meminta
perawat untuk tidak melakukan sesuatu yang membahayakan pasien. Setiap
orang dapat dianiaya, tetapi hanya orang tua dan anak-anaklah yang paling
rentan. Biasanya, pemberi layanan atau keluargalah yang bertanggung jawab
terhadap penganiayaan ini. Mungkin sulit dimengerti mengapa seseorang
menganiaya orang lain yang lemah atau rapuh, tetapi hal ini terjadi. Beberapa
orang merasa puas bisa mengendalikan orang lain. Tetapi hampir semua
penganiayaan berawal dari perasaan frustasi dan kelelahan dan sebagai
seorang perawat perlu menjaga keamanan dan keselamatan pasiennya.
D. Landasan Aspek Legal Keperawatan
Landasan aspek legal keperawatan adalah undang-undang keperawatan
Aspek legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang
memberikan kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi
perawat yaitu Surat Ijin Kerja (SIK) bila bekerja di dalam suatu institusi dan Surat
Ijin Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara perorangan atau berkelompok.
Kewenangan itu, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan.
Namun, memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga
kemampuan yang didapat secara berjenjang, kewenangan yang diberikan juga
berjenjang.
Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus perawat dalam
bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal yang harus dilampaui. Dalam
profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang
kesehatan dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus
dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada
profesi masing- masing.
E. Aplikasi Aspek Legal Dalam Keperawatan
Hukum mengatur perilaku hubungan antar manusia sebagai subjek hukum yang
melahirkan hak dan kewajiban. Dalam kehidupan manusia, baik secara
perorangan maupun berkelompok, hukum mengatur perilaku hubungan baik
antara manusia yang satu dengan yang lain, antar kelompok manusia, maupun
antara manusia dengan kelompok manusia. Hukum dalam interaksi manusia
merupakan suatu keniscayaan (Praptianingsih, S., 2006).
Berhubungan dengan pasal 1 ayat 6 UU no 36/2009 tentang kesehatan berbunyi
: “Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.”
Begitupun dalam pasal 63 ayat 4 UU no 36/2009 berbunyi “Pelaksanaan
pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu”. Yang mana berdasarkan pasal ini
keperawatan merupakan salah satu profesi/tenaga. kesehatan yang bertugas
untuk memberikan pelayanan kepada pasien yang membutuhkan Pelayanan
keperawatan di rumah sakit meliputi : proses pemberian asuhan keperawatan,
penelitian dan pendidikan berkelanjutan. Dalam hal ini proses pemberian asuhan
keperawatan sebagai inti dari kegiatan yang dilakukan dan dilanjutkan dengan
pelaksanaan penelitian-penelitian yang menunjang terhadap asuhan
keperawatan, juga peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang
diperoleh melalui pendidikan dimana hal ini semua bertujuan untuk keamanaan
pemberian asuhan bagi pemberi pelayanan dan juga pasien selaku penerima
asuhan.
Berdasarkan undang-undang kesehatan yang diturunkan dalam Kepmenkes
1239 dan Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010, terdapat beberapa hal
yang berhubungan dengan kegiatan keperawatan. Adapun kegiatan yang secara
langsung dapat berhubungan dengan aspek legalisasi keperawatan :
1. Proses Keperawatan
2. Tindakan keperawatan
3. Informed Consent
Untuk melindungi tenaga perawat akan adanya tuntutan dari klien/pasien perlu
ditetapkan dengan jelas apa hak, kewajiban serta kewenangan perawat agar
tidak terjadi kesalahan dalam melakukan tugasnya serta memberikan suatu
kepastian hukum, perlindungan tenaga perawat. Hak dan kewajiban perawat
ditentukan dalam Kepmenkes 1239/2001 dan Keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik Nomor Y.M.00.03.2.6.956
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Kasus
Rabu, 18 Maret 2009 , 09:58:00 (www.kaltimpos.co.id) diakses pada Jum’at 29
Desember 2017
Misran, Korban Penerapan Undang-Undang Kesehatan, Ingin Bantu Warga,
Malah Diciduk Polisi
TENGGARONG – Malang benar nasib perawat Misran, kepala Puskesmas
Pembantu (Pusban) Kuala Samboja, Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar).
Niatnya menolong masyarakat di wilayah kerjanya dibalas dengan vonis 3 bulan
penjara. Akibatnya, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kukar
mengancam, menghentikan pelayanan kefarmasian di 128 pusban di Kukar.
Dalam sidang, Kamis (19/11) terungkap fakta, Misran terbukti memberikan
obat keras daftar G yang memiliki ciri lingkaran merah di kemasannya. Menurut
hukum, obat tersebut hanya boleh diberikan berdasarkan resep dokter. Namun
demikian, realita di lapangan seluruh pusban di Kukar tidak memiliki tenaga
dokter. Sementara di Kuala Samboja, jarak pusban ke puskesmas induk sekitar
15 kilometer.
Majelis hakim yang dipimpin Agus Nazaruddinsyah menyatakan, Misran
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena membuka
praktik kefarmasian tanpa disertai keahlian dan kewenangan. Misran didakwa
melanggar pasal 82 ayat 1 huruf b junto pasal 63 ayat 1 Undang-Undang (UU)
23/1992 tentang Kesehatan.
Dia pun dijatuhi pidana penjara selama 3 bulan potong masa tahanan,
ditambah denda Rp 2 juta dengan subsider 1 bulan kurungan. Putusan hakim
lebih ringan dibanding dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), yang mendakwa
Misran dengan pidana 10 bulan penjara dan denda Rp 2,5 juta subsider 3 bulan
kurungan, jika tidak dibayar. Hal yang memberatkan Misran, yakni perbuatannya
dapat membahayakan masyarakat.
Sementara yang meringankan, berlaku sopan di persidangan dan
Misran mengakui dan menyesali perbuatannya, belum pernah dihukum, dan
perbuatan Misran terjadi karena ketiadaan dokter di Kuala Samboja sehingga
timbul niat membantu masyarakat selama 24 jam.
Kasus Misran yang mendapat perhatian luas ini bermula, saat 3 anggota
Polda Kaltim menangkap perawat teladan Kukar ini di kediamannya pada Rabu,
3 Maret 2009 lalu, di jalan poros Balikpapan-Handil. Sebanyak 21 jenis obat
daftar G dan nota pembelian di dua apotek di Samarinda menjadi barang bukti.
Dalam persidangan sebelumnya, beberapa saksi ahli mengatakan, obat
daftar G tidak bebas diperjualbelikan dan harus digunakan dengan resep dokter.
Sementara dalam pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kukar dr Abdurrachman
yang menjadi saksi ahli, disebutkan semua pusban tidak memiliki dokter dan
perawat diberi delegasi melakukan pelayanan pengobatan.
Dalam persidangan juga terungkap, Misran membeli obat daftar G dengan
meminta bantuan saksi Ahmad Sayidin. Dua nota pembelian obat di Apotek
Obat Sehat dan Apotek Setia Jaya di Samarinda menjadi buktinya. Menurut
Misran, obat itu dibeli karena stoknya habis. Menanggapi vonis tersebut, baik
JPU Fitri Ira dan kuasa hukum Misran menyatakan masih pikir-pikir dulu. “Kami
diskusikan dulu selama 7 hari ke depan untuk mengambil sikap yang terbaik
apakah banding atau menerima. Ini terutama bagi kepentingan masyarakat yang
ingin mendapat pengobatan di pusban,” terang M Aidiansyah, kuasa hukum
Misran dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korpri Kukar.
Sementara Misran menyatakan, menyerahkan semua ke institusinya. “Semua
yang saya lakukan ini adalah instruksi dan saya tidak bisa mengambil sikap
karena ini urusan institusional. Saya akan diskusikan dengan dinas, kuasa
hukum, dan DPRD. Untuk saat ini, belum bisa juga dikatakan menerima,” kata
Misran.
HENTIKAN PRAKTIK
Ketua PPNI Kukar Abdul Jalal yang turut hadir di persidangan mengaku,
kecewa pada putusan tersebut. Jalal menyatakan perawat secara tegas
menolak unsur pendelegasian dari dokter, dan tidak akan mengeluarkan obat
dalam pelayanan farmasi di pusban. “Jika ditarik benang merahnya, kesalahan
ini karena sistem yang salah dan kebijakan yang tidak disosialisasikan.
Bagaimana bila ada masyarakat memerlukan pengobatan di pedesaan
yang tidak ada dokter? Siapa yang mau mengobati masyarakat? Apa kembali ke
dukun?” ujarnya. Kepala Puskesmas Sebulu, Kukar ini memberikan satu studi
kasus. Yakni pasien yang berobat karena infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA). “Itu ‘kan penyakit kacangan. Kalau hanya diberi anti alergi ya tidak
mempan, karena itu berkaitan dengan bibit penyakit.
Mau tidak mau, dengan pengetahuan dan pedoman di puskesmas
pembantu, harus memberi obat daftar G, seperti Amoxicilin,” jelasnya. Jalal
menegaskan, seorang perawat tidak akan memberikan obat sembarangan.
Untuk diketahui, di seluruh Kukar ada 128 pusban yang diisi perawat tanpa ada
tenaga dokter. Sementara tenaga perawat di Kukar, setidaknya berjumlah 800-
an orang.
Selain bertugas di dua rumah sakit di Tenggarong dan Samboja, 382
orang di antaranya tersebar di 18 kecamatan di Kukar. Diungkapkan Jalal, PPNI
Kukar menilai, kasus Misran harus dilihat dari aspek sistemik atau bentuk
penyalahgunaan kewenangan yang dibebankan kepada satu orang.
“Sebagai tenaga kesehatan yang ingin menolong masyarakat, harus
disadari ada bentuk pertolongan yang tidak dilindungi hukum. Termasuk
pelayanan di luar gedung dan jam kerja. Jadinya, kepala kami ingin menolong,
tapi kaki berada di dalam penjara,” tutupnya, dengan nada kecewa.(fel/kpnn)
(http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.detail&id=18348)
B. Analisa Kasus
Misran merupakan perawat yang telah bekerja selama 20 tahun di wilayah
Kutai dan pernah merasakan bui karena didakwa memberikan obat kepada
pasien tanpa memiliki keahlian dan kewenangan. Peristiwa ini tersebut berawal
ketika Misran mengambil keputusan untuk memberikan obat yang terdaftar G
(Gevaarlijk/berbahaya) karena pasien harus segera mendapatkan pertolongan.
Hal tersebut merupakan pelanggaran karena jenis obat yang berlabel G hanya
boleh diberikan kepada pasien atas wewenang dari dokter, sesuai dengan pasal
82 (1) D UU 36/2009 tentang Kesehatan.
Mungkin hal ini terdengar ganjil, akan tetapi di era globalisasi ini masih saja
ada daerah yang tidak memiliki seorang dokter termasuk wilayah Kutai tersebut,
yang ada hanya para perawat atau tenaga medis selain dokter yang biasanya
bertugas di puskesmas-puskesmas pembantu. Apaabila terjadi keadaan darurat
dan proses rujukan tidak bisa dilakukan karena terkendala faktor geografis,
wilayah, tenaga, biaya, jarak, dan ketersediaan sarana transportasi menjadi
dilema tersendiri bagi perawat. Apakah pihaknya harus membantu pasien
dengan resiko dituntut tanpa perlindungan undang-undang atau menolak
menangani pasien dan membiarkan keadaan pasien bertambah parah yang
tentunya tidak sesuai dengan kode etik keperawatan?
Wewenang apoteker bahkan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. PP ini dengan tegas menyatakan
tenaga kesehatan yang berwenang melakukan pekerjaan kefarmasian adalah
apoteker.Dengan demikian, jangankan perawat atau mantri, dokter sekalipun
tidak diperkenankan melakukan praktik kefarmasian. Kewenangan dokter diatur
terpisah dalam UU No. 29/2004. Namun, dokter diperkenankan melakukan
praktik kefarmasian secara terbatas dalam kondisi tertentu.
Adapun, aturan tentang perawat juga sudah ada, yakni SK Menteri Kesehatan
No. 1239/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Dengan SK tersebut,
perawat memiliki legitimasi dalam menjalankan praktik profesinya. Paradigma
perawat pun mulai bergeser dari sekadar perpanjangan tangan dokter menjadi
mitra sejajar dokter.
Menurut Undang-Undang No. 23, tahun 1992 tentang kesehatan pasal 4,
lingkup praktik keperawatan adalah :
a. Memberikan asuhan keperawatan pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan sederhana dan
kompleks.
b. Memberikan tindakan keperawatan langsung, terapi komplementer,
penyuluhan kesehatan, nasehat, konseling, dalam rangka penyelesaian
masalah kesehatan melalui pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam
upaya memandirikan klien.
c. Memberikan pelayanan keperawatan di sarana kesehatan dan kunjungan
rumah.
d. Memberikan pengobatan dan tindakan medik terbatas, pelayanan KB,
imunisasi, pertolongan persalinan normal.
e. Melaksanakan program pengobatan dan atau tindakan medik secara
tertulis dari dokter.
f. Melaksanakan Program Pemerintah dalam bidang kesehatan.
Namun, Misran mempunyai alasan kuat mengapa dirinya dan beberapa
perawat lain di Kukar memberikan obat keras. Pertama, di daerahnya tidak ada
dokter. Kedua, penyakit yang diderita masyarakat hanya bisa diobati dengan
obat keras. Ketiga, jika dirinya tidak mengobati bisa dijerat dengan pasal pidana
di UU 36/2009 tentang Kesehatan.
Karena, dalam Pasal 190 ayat (1) disebutkan, "Jika tenaga kesehatan tidak
memberikan bantuan pada orang yang sakit, maka dapat dipidana." Sehingga
Putusan hakim yang menjatuhi Misran hukuman pidana penjara selama 3 bulan
potong masa tahanan, ditambah denda Rp 2 juta dengan subsider 1 bulan
kurungan secara langsung menuai kontra pendapat diantaranya karena :
a. kelalaian kondisi geografis
b. pemerintah dalam menyediakan struktur medis
c. hakim dinilai melihat masalah ini hanya berdasarkan hukum formil
padahal tindakan ini tidak menyalahi hukum pidana secara materil
d. misran melanggar kewenangan yang didapat karena keahlian (authority
by expertise) sedangkan masih terdapat kewenangan yang dimiliki misran
yaitu kewenangan yang didapat karena posisi (authority by position) dan
kewenangan yang didapat karena situasi (authority by situation)
Kasus Misran merupakan sebagian kecil masalah yang terjadi dan dialami
oleh perawat dimanapun perawat berada, rasa tanggung jawab sebagai
perawat yang ingin memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat demi
kesehatan bangsa, namun rasa tanggung jawab ini tidak didukung oleh
peraturan yang dapat mendukung perawat dalam memberikan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat.
Menilik dari kasus diatas seharusnya membuat mata Indonesia bahkan
dunia terbuka bahwa tenaga medis seperti perawat juga membutuhkan
perlindungan hukum. Agaknya kasus seperti yang dialami misran merupakan
sebagian kecil dari masalah yang terjadi dan dialami oleh perawat. Rasa
tanggung jawab sebagai perawat yang ingin memberikan pelayanan terbaik
bagi masyarakat dan dengan tulus ikhlas membantu proses kesembuhan
pasien tidak didukung oleh peraturan yang dapat mendukung dan melindungi
perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan. Salah satu tujuan dari
Negara kita adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi warganya, akan
tetapi peran tenaga kesehatann khususnya perawat yang mendominasi dari
segi kuantitas masih belum ditempatkan peda porsi yang selayaknya, bahkan
seperti diabaikan.
Dalam setiap forum bahkan pendidikan yang diberikan kepada calon
perawat selalu menekankan bahwa perawat adalah ujung tombak dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena 80%
kesembuhan pasien ditentukan dari keberhasilan perawat dalam merawat
pasien selama proses penyembuhan. Di sisi lain pemenuhan hak-hak perawat
sepertinya terabaikan.. Hal ini terbukti dari tidak segera disahkannya RUU
Keperawatan menjadi UU Keperawatan. Dilihat dari sudut hukum, rancangan
UU ini nantinya dapat menjadi payung hukum perawat Indonesia dalam
menjalankan praktik profesinya. Perlindungan hukum terhadap perawat
merupakan faktor utama yang mendorong perlunya perundangan itu. Selama
ini, perawat sering kali kalah di mata hukum ketika memiliki masalah yang
berkaitan dengan pekerjaannya.
Pada kenyataannya tidak terlihat keseriusan pemerintah untuk
mengesahkan RUU Keperawatan yang sejak dulu diperjuangkan oleh
persatuan perawat dari seliruh penjuru negeri. Padahal RUU tentang Praktik
Perawat telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Rancangan
Undang-Undang Prioritas Tahun 2005-2009. Hal ini berdasarkan Keputusan
DPR-RI No. 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan
Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009. Dalam Prolegnas 2005-2009
tersebut, telah ditetapkan 284 (duaratus delapan puluh empat) prioritas RUU
untuk digarap selama lima tahun. Masuknya RUU Praktik Perawat dalam
Prolegnas 2005-2009 melalui proses yang amat panjang. Proses penyusunan
Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Perawat Indonesia (lebih dari 500.000) merupakan 60 % dari total tenaga
Kesehatan telah memberikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia dengan
memberi pelayanan di daerah terpencil, perbatasan, desa-desa tertinggal,
pulau-pulau terluar dan seluruh tatanan pelayanan kesehatan yang ada di
Indonesia. Masyarakat perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memadai oleh tenaga perawat yang berkualitas dengan dasar regulasi yang
memadai. Disamping itu bagi perawat juga terlindungi dari berbagai resiko
kerja dan tuntutan hukum.
Selain dihadapkan pada masalah di atas dengan telah di tanda tanganinya
Mutual Recognition Agreement (MRA) di 10 negara ASEAN terutama bidang
keperawatan yang telah di berlakukan tahun 2010. Dimana diantara 10
negara Asean tersebut hanya 3 negara yang belum memiliki Undang-Undang
Keperawatan yaitu; Indonesia, Laos dan Vietnam. Maka dapat dibayangkan
bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi sasaran empuk tenaga-tenaga
kesehatan asing, tenaga perawat dalam negeri terpinggirkan, pengakuan
rendah dan gaji yang tidak memadai.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya perawat membutuhkan perangkat
hukum untuk memberikan kepastian dan perlindungan agar dikemudian hari
tidak menimbulkan kerugian bagi perawat. Dengan adanya UU Keperawatan
juga diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan mutu
pelayanan keperawatan, serta mempercepat keberhasilan upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat. Namun sayang hingga kini, belum ada kejelasan
tentang pengesahan undang-undang keperawatan di Indonesia.
B. Saran
Sebagai bagian dari profesi keperawatan, seluruh perawat di Indonesia baik
mahasiswa keperawatan, perawat di pelayanan kesehatan maupun perawat
yang berprofesi di bidang pendidikan harus bersatu mendukung disahkannya
RUU keperawatan sebagai payung hukum profesi keperawatan di Indonesia.
Tenaga keperawatan dengan kuantitas massa dan intelektualitasnya yang besar
dapat menjadi salah satu kekuatan utama dalam memperjuangkan disahkannya
undang-undang keperawatan. Berbagai aksi yang bisa dilakukan antara lain:
membuat seminar/ lokakarya bersama komisi IX DPR RI, aksi nasional untuk
menyuarakan aspirasi perawat Indonesia, dll. Aksi ini merupakan awal
perjuangan baru dalam mensukseskan UU Keperawatan, peranan sebagai
social control mutlak diperlukan terutama setelah pelaksanaan aksi dalam
menjaga kontinuitas usaha PPNI dalam memperjuangkan terciptanya UU
Keperawatan.
Diantara berbagai upaya diatas, ada satu hal terpenting yang harus kita
pikirkan dibenak masing-masing yakni “Jangankan ikut memperjuangankan
pengesahan RUU Keperawatan ke gedung DPR, jangan-jangan masih ada di
antara kita yang belum pernah membaca isi RUU tersebut dan tidak mengetahui
kenapa RUU itu harus segera disahkan”.
DAFTAR PUSTAKA

Bastian, Indra dan Suryono. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Salemba


Medika: Jakarta
DEPKES RI (2007) PEDOMAN PENDATAAN DATA DASAR PUSKESMAS
http://www.depkes.go.id/downloads/progr/Pedoman_Updating_Data_Dasar_
Puskesmas.doc+PEDOMAN+PENDATAAN+DATA+DASAR+PUSKESMAS
&hl=id&g
Harif Fadillah, http://www.unpad.ac.id/archives/41388, , “Perlu Adanya Regulasi
yang Kuat dalam UU Keperawatan” tahun 2011, di unduh pada tanggal 29
Desember 2017, jam 18.00
Helm, Ann. (2006). Malpraktek Keperawatan. EGC: Jakarta
Kozier, B., & Erb, G. (2009).Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC.
Pakiringan, Junda. (2009). Undang-Undang Keperawatan: Hak Perawat Indonesia
Untuk Mendapatkan Legislasi Profesi. Diakses 29 Desember 2017.
http://jundapakiringan.blogspot.com/2011/07/undang-undang-keperawatan-
hak-perawat.html
Republika (2011). Ironis, Lebih dari 2000 Puskesmas di Indonesia tak Punya Dokter
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/03/25/lilflv-ironis-lebih-
dari-2000-puskesmas-di-indonesia-tak-punya-dokter-umum
Kaltimpost (2009) Misran, Korban Penerapan Undang-Undang Kesehatan, Ingin
Bantu Warga, Malah Diciduk Polisi.
http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.detail&id=18348. Diakses pada
Jum’at 29 Desember 2017 pukul 17.30

Você também pode gostar