Você está na página 1de 8

Risalah Pemikiran Ulrich Bech dalam Buku World at Risk yang tidak dipikirkan Samantha

Besson pada Buku Morality of Conflict

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
Risalah Pemikiran Ulrich Bech dalam Buku World at Risk yang tidak dipikirkan Samantha
Besson pada Buku Morality of Conflict

Setelah saya membuat tulisan tentang Refleksi kritis (critical reflection) atas risalah
filsafat dari Buku Morality of Conflict karya Samantha Besson. Kali ini saya akan membedah
buku World at Risk karya Ulrich Beck. Saya akan membedah mengacu pada pemikiran-
pemikiran Besson. Dalam beberapa Bab buku ini, banyak hal yang saya temukan di buku ini
yang tidak dipikirkan oleh Besson dan menjadi pembelajaran bagi saya tersendiri.

Chapter 1 : Introduction: Staging Global Risk

Menurut Ulrich, dalam masyarakat risiko, konsekuensi dan keberhasilan modernisasi


menjadi masalah dengan kecepatan proses modernisasi. Sebuah dimensi baru risiko muncul
karena kondisi untuk menghitung dan kelembagaan memprosesnya dengan memecah ke
dalam bagian-bagian. Dalam proses ini, fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi juga berubah.

Ulrich memiliki beberapa poin mengenai masyarakat risiko, antara lain:

- Risiko memiliki 'daya rusak perang' (global community of threats). Bahasa ancaman
menular dan mengubah ketimpangan sosial: kebutuhan sosial hirarkis, ancaman baru,
sebaliknya, demokratis. Ini mempengaruhi bahkan kaya dan berkuasa. Guncangan
dirasakan di semua bidang masyarakat. Pasar runtuh, sistem hukum gagal untuk mendaftar
pelanggaran, pemerintah menjadi sasaran tuduhan.
- Takut menentukan sikap terhadap kehidupan. Keamanan menggusur kebebasan dan
kesetaraan dari posisi tertinggi pada skala nilai. Hasilnya adalah pengetatan undang-
undang, sebuah 'totalitarianisme pertahanan terhadap ancaman' yang terkesan rasional.

Chapter 3 : the cosmopolitan moment of world at risk society or: Enforced enlightenment

Ulrich mengungkapkan bahwa pandangan dunia terhadap risiko sudah salah kaprah
sejak dahulu. Pengakuan terhadap risiko adalah penting, hampir sama pentingnya dengan
tindakan untuk meminimalisir dampak buruk dari risiko itu sendiri. Yang sangat menarik adalah
ungkapan bahwa „mengabaikan risiko globalisasi memperburuk globalisasi risiko‟. Ungkapan
lainnya adalah bahwa semakin tegas masyarakat risiko ditolak, semakin ia menjadi kenyataan.
Saya sangat mendukung pernyataan ini, terlebih lagi dengan contoh yang amat konkret, yaitu
tentang virus Avian. Dikatakan bahwa kegagalan untuk mengakui penyebaran global virus ini,

1
justru mempercepat penyebaran global risiko infeksinya. Mungkin, jika saya boleh mengambil
contoh lain, khususnya fenomena-fenomena di Indonesia. Dalam hal ini, fenomena penggunaan
gadget. Pada era awal munculnya gadget, khususnya handphone, anak-anak jarang
diperbolehkan untuk menggunakannya. Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu tidak baik.
Ada risiko anak-anak akan lebih suka bermain gadget daripada sekolah. Sayangnya, lama
kelamaan, pandangan itu berubah. Para orang tua mulai memberikan akses terhadap gadget
(handphone) kepada anak-anaknya. Sejalan dengan hal tersebut Martin and Schinzinger juga
berpendapat:1

“We often lack the knowledge to reliably assess the risks of a new technology before it
has come into use. We often do not know the probability that something might go wrong, and
sometimes we even do not know, or at least not fully, what might go wrong and what possible
negative consequences may be.”
Selanjutnya, tentang pembahasan sikap masayarakat kini terhadap risiko. Ada yang
menolak, ada yang apatis, dan ada pula yang menghadapinya dengan transformasi. Dampak-
dampak buruk dari risiko-risiko tersebut harus dikontrol. Memang, ada beberapa risiko yang
seolah tidak bisa dihindari, seperti bencana alam. Namun, faktanya, dengan kemajuan
teknologi, bahkan bencana alam pun bisa diperhitungkan sebelumnya. Tidak selalu tepat, tetapi
bisa menjadi alat prediksi yang baik.

Saya sangat setuju dengan hal ini. Contoh menarik di Indonesia. Ketika terjadi longsor
di suatu daerah, sang pejabat pemerintah datang ke lokasi kejadian. Setelah melihat-lihat dan
memeriksa semua sudut lokasi, pejabat tersebut justru memarahi pimpinan daerah setempat.
Dia mengatakan bahwa tempat tersebut sudah diprediksi berpotensi longsor sejak beberapa
waktu lalu. Bahkan ada beberapa tim ahli yang menyampaikan hal tersebut disertai bukti dari
alat pengukut gerakan tanah. Sehingga, ketika bencana longsor terjadi, yang salah adalah
pemimpin setempat atau siapapun yang memiliki informasi terkait risiko bencana tersebut.

Chapter V Global Public Sphere and Global Subpolitics or: How Real is Catastrophic
Climate Change?
Ulrich mengangkat tentang The realism–constructivism debate. Ada dua kemungkinan
jawaban atas pertanyaan pembenaran untuk konsep ini, seorang realis satu dan satu
konstruktivis. Ulrich mengangkat perdebatan dalam masa industrialisasi. dalam pandangan
realis, konsekuensi dan bahaya produksi industri maju yang sekarang adalah universal.

1
Martin, M. W., and R. Schinzinger (2005) Ethics in engineering. 4th edition. Boston, MA: McGraw-Hill.

2
Perdebatan Ini didukung oleh data ilmiah . Perspektif realis melihat world risk society dalam
kontesk sosialisasi luas biasanya didukung dengan adanya ancaman buatan manusia. Dengan
debat tersebut kita dapat menilai apa yang perlu kita lakukan dengan Institutional constructivism
untuk menghadapi resiko yang kita hadapi bersama sama dalam masyarakat.
Indicators, conditions of emergence and forms of expression of a global subpolitics
membahas tentang siapapun yang berbicara tentang masyarakat risiko dunia juga harus
mengatasi bagaimana dunia ancaman mengarah pada tindakan. Berikut dua arena atau pelaku
dapat dibedakan: pertama, globalisasi dari atas (misalnya, melalui perjanjian internasional dan
lembaga) dan, kedua, globalisasi dari bawah (misalnya, melalui aktor transnasional baru yang
beroperasi di luar sistem parlementer politik yang menantang mendirikan organisasi politik dan
kelompok kepentingan). Dengan pembahasan globalisasi dari atas dan bawah tersebut. Kita
dapat melihat berbagai peristiwa peristiwa sejarah dan menilainya dari sudut pandang berbeda.
Dalam buku ini, Ulrich mengangkat masalah kemungkinan adanya Perang Dunia Ketiga karena
kekurang pahaman masyarakat akan konsep subpolitik ini secara luas. J.J Rousseau
mengatakan bahwa kebebasan dasar umat manusia akan hancur segera setelah mereka
memasuki masyarakat. Sebab disitu, yang kuat memanipulasi yang lemah, dan selanjutnya
membenarkan kekuasaan mereka dengan argumen-argumen palsu mengatasnamakan
keadilan.2

Chapter VI The Provident State or: On the Antiquatedness of Linear Pessimism


Concerning Progress,
Tulisan berikut ini “The unpredictable is transformed into something predictable; what
has not yet occurred becomes the object of present (precautionary) action.” merupakan hal
yang sekarang terjadi di abad ini, dahulu kala banyak hal-hal yang tidak bisa diprediksi dan
orang-orang takut untuk melakukan hal-hal tersebut, tapi sekarang karena telah terjadi
perkembangan dalam berbagai bidang dengan sangat pesat maka hal-hal yang tidak dapat
diprediksi tersebut menjadi dapat diprediksi dan itu bagus. Di bab 6 ini hal-hal yang diutarakan
Ulrich sangatlah sesuai dengan kenyataan yang terjadi sekarang ini, contoh-contoh yang
diambil sesuai dengan keadaan yang terjadi sekarang ini, dan mengutarakan teori-teori yang
bagus. Di bab ini juga menggambarkan keadaan politik yang terjadi pada jaman ini, masalah
tentang kalau sekarang ini yang dicari adalah kekuasaan. Disini juga menyiratkan bahwa

2
J.J Rousseau, (1751), Discourse on the Origin and Foundations of Inequity, Transaleted by G.D.H. Cole, adapted
from Journal MIT Open Courseware, https://ocw.mit.edu/courses/literature/21l-449-end-of-nature-spring-
2002/readings/lecture10.pdf.

3
sebaiknya orang-orang agar lebih berani menjadi decision-makers atau pengambil keputusan,
biarpun terdapat resiko. Di bab ini terdapat kata-kata dari Zygmunt Bauman yang mengatakan
kalau orang-orang lebih baik duduk dan tidak melakukan apa-apa, karena setiap solusi dari
masalah kita adalah benih dari masalah yang lebih besar. Ini bukanlah opini yang harus kita
lakukan, karena jika orang-orang melakukan itu maka pasti akan terjadi masalah yang. Jadi
lebih baik melakukan sesuatu, kemudian mendapatkan masalah,kemudian menyelesaikan
masalahnya dan mendapat masalah yang lebih besar. Daripada tidak melakukan apa-apa dan
mati sia-sia.3

Chapter VII Knowledge or Non-Knowing? TwoPerspectives of ‘Reflexive Modernization’

Refleksif modernisasi merupakan sesuatu tentang modernisasi mutakhir. Modernisasi


yang refleksif ini adalah kunci politik yang modern. Modernisasi yang biasa, terjadi di Asia
Selatan dimana disitu proses modernisasi terjadi sangat lambat. Sedangkan di Negara barat,
disitu terjadi modernisasi refleksif sehingga pertumbuhan di barat jauh lebih cepat daripada di
Negara lain. Di Barat, pertumbuhan industri berkembang pesat dan menstimulus untuk
pengembangan aspek-aspek yang lain.

Akan tetapi, modernisasi refleksif ini masih banyak yang belum mengerti dengan
gamblang. Maka, Gidden mempunyai pendekatan mengenai hal tersebut yakni:4

 Semakin banyak masyarakat yang modern, semakin banyak pengetahuan yang


dihasilkan
 Semakin banyak pengetahuan yang dihasilkan, semakin banyak pengetahuan itu
diterapkan
 Pengetahuan memaksa pembuatan keputusan dan konteks baru dalam tindakan

Kesulitan dalam penerapan pendekatan ini adalah pengetahuan, kesadaran, dan informasi
yang relevan ini tidak hanya relevan untuk masyarakat modern. Dalam masyarakat tradisional
pun berlaku demikian. Setiap aspek tersebut adalah fitur dasar yang melandasi terjadinya
proses interaksi social juga sehingga hal ini sangat vital perannya dalam mengetahui informasi
dan pengetahuan yang saling berkaitan.

3
Zygmunt Bauman, (1998), The Human Consequence, Columbia University Press, Hal 136
4
Anthony Giddens and Pierson, (1998), Theory and Education: A Case of Structuration Theory, Stanford University
Press, Hal.77

4
Chapter IX Felt War, Felt Peace: Staging Violence

Ulrich menjelaskan bahwa siapa pun yang ingin menemukan hubungan antara risiko
dan kesenjangan sosial harus mengungkapkan inti konsep sosiologis dari risiko itu sendiri, yaitu
risiko yang tidak ada sebelumnya dan hanya didistribusikan dengan cara yang tidak sama
secara sosial nantinya. Risiko dan kesenjangan sosial yaitu mengenai risiko dan dominasi,
serta risiko dan kekuasaan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Ini adalah bagian dari
logika risiko pertentangan, untuk meniadakan dan stigma (mencap).

Menurut Ulrich hubungan antara risiko dan ketidaksetaraan berada dalam bagian ini.
Potensi keuntungan jatuh ke 'kami' dari pengambil keputusan, terlepas dari fakta bahwa, dalam
kebajikan posisi kekuasaan sosial mereka, mereka mampu membuat keputusan tersebut dalam
cara yang (relatif) otonom dalam artian menyalahgunakan kebebasan investasi, kebebasan
penelitian dan ilmu pengetahuan dan/atau kekuatan ekonomi dan militer mereka yang superior.
Karena benar menurut Alexis de Tocqueville yang mengatakan salah satu persoalan abadi
masyarakat demokratis yaitu tirani mayoritas.5

Kemudian pada bagian ini Ulrich mempertanyakan peran dari legitimasi. Perang risiko
tergantung pada tingkat tertinggi pada legitimasi. Ini berarti bahwa gagasan secara luas
diadakan yang bila ada keraguan, hukum dan legitimasi muncul dari 'klub terbesar' yang
sedang dipalsukan, memang hal ini menjadi kontraproduktif dalam masyarakat risiko dunia.
Pada yang terakhir, penggunaan kekuatan militer tidak lagi dapat dilegitimasi secara eksklusif
pada tingkat negara-bangsa (melalui persetujuan parlemen atau keinginan umum), tetapi
panggilan justru datang dari “legitimasi kosmopolitan” (cosmopolitan legitimation). Perang risiko
dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan cara-cara yang sah untuk masyarakat global
hanya dalam konteks resolusi PBB.

Chapter XI Critical Theory of World Risk Society


Pada chapter ini, Ulrich berkata bahwa konflik resiko kosmopolitan yang
dilakukan oleh media dapat menyebabkan terjadinya impor moral. Ulrich mencontohkan berita
perang teluk yang ditayangkan oleh media. Berita perang teluk menayangkan kekerasan yang
sudah tidak ada keras, yang memiliki suatu bobot moral tertentu tanpa melibatkan penonton
5
Alexis de Tocqueville,(1835), Democracy in America, by Alexis de Tocqueville, translated by Gerald Bevan,
Penguin Classics. Vol. I, Part 2, Chapter 5.

5
secara langsung. Ulrich mengatakan bahwa pernyataan itu benar dan salah. Hal ini dekat
dengan mediasi totaliter namun gagal dalam menyadari bahwa dalam masa pementasan
membuat jarak dan kedekatan yang menantang untuk mengadopsi posisi etis yang melampaui
batas.

Ulrich menuliskan teori dari world risk society. Teori-teori tersebut antara lain, the new
historical character of the world risk society, theory of institutional contradictions, risk
antagonism, theory of reflexivity and the real cosmopolitanism of global risk, the scientific basis
of social theory with critical intent, dan critical theory of world risk society as social self-critism.

Ulrich mengatakan bahwa the new historical character of the world risk society menilai
ancaman dan ketidakpastian merupakan hasil dari kesuksesan dari moderenisasi. Pada era
sebelumnya, social-science dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan riset karena masih
menggunakan metode sosiologi yang sangat terspesialisasi dan sangat abstrak .

Ulrich menjelaskan bahwa theory of institutional contradiction adalah teori bahwa


ancaman global yang berasal dari moderenisasi bukan merupakan tanggung jawab dari sains ,
ekonomi maupun politik tetapi merupakan hasil produksi dari sub-sistem masyarakat yang tidak
mampu menghadapi permasalahan yang dibuat oleh diri sendiri .

Chapter XII Dialectics of Modernity: How the Crises of Modernity Follow from the
Triumphs of Modernity

Pada tahun 1861, selama masa kelahiran masyarakat modern, Charles Baudelaire
menulis dalam kata pengantar untuk Les Fleurs du mal:6 „Paris is the centre and splendour of
universal stupidity. Who would ever have believed that France would pursue the path of
progress with such verve?‟ yang menunjukkan bahwa suatu saat Paris akan menjadi pusat dari
kemegahan yang bodoh di seluruh universal, dan tidak ada yang menyangka bahwa Paris
berada di rute tersebut saat ini. Dan yang dimaksud Baudelaire sebagai "universal stupidity"
adalah adanya modernisasi pada diri mereka, dan kemenangan modernitas yang tak
terbendung. Kini pemikiran menang atas kepercayaan, dan manusia menjadi ukuran atas
segala sesuatu.

Tentu saja, kemenangan modernitas sejak awal dibayang-bayangi oleh kritik. Sastra,
khususnya, sudah melawan modernitas sebelum sepenuhnya lahir. Namun, kekecewaan ini

6
Charles Baudelaire , (1983), Les Fleurs Du Mal, David L Godin Publisher, Hal.1 (foreword)

6
tidak menghasilkan efek politik sampai paruh kedua abad kedua puluh. Penolakan-penolakan
terhadap modernitas terus dilakukan oleh berbagai kalangan karena meskipun modernitas
berarti progresif dan progresif berarti inovatif, inovatif memang menguntungkan perusahaan-
perusahaan karena perusahaan-perusahaan dituntut untuk terus berinovasi dan maju, namun
disisi lain, modernitas membawa dampak buruk bagi masyarakat. Hal ini terjadi karena pada
awalnya ini disebut pencerahan, dan kemudian disebut sebagai modernitas, kemudian kita
menganggap ini sebagai proyek modernitas, dan kemudian disebut postmodernity hingga
akhirnya memunculkan sesuatu yang disebut world risk society.

REFERENSI

Anthony Giddens and Pierson, (1998), Theory and Education: A Case of Structuration Theory,
Stanford University Press

Alexis de Tocqueville,(1835), Democracy in America, by Alexis de Tocqueville, translated by


Gerald Bevan, Penguin Classics

Charles Baudelaire , (1983), Les Fleurs Du Mal, David L Godin Publisher

J.J Rousseau, (1751), Discourse on the Origin and Foundations of Inequity, Transaleted by
G.D.H. Cole, adapted from Journal MIT Open Courseware,
https://ocw.mit.edu/courses/literature/21l-449-end-of-nature-spring-2002/readings/lecture10.pdf.

Martin, M. W., and R. Schinzinger (2005) Ethics in engineering. 4th edition. Boston, MA:
McGraw-Hill.

Zygmunt Bauman, (1998), The Human Consequence, Columbia University Press

Você também pode gostar