Você está na página 1de 15

Kelompok 5

Ali bin Abi Thalib


Disusun Oleh
Nama : 1. Efri Vernando (1711010321)
2. Sepri Okta Wijaya (1711010293)
Jurusan / Kelas : PAI / J
Semester : 2
Nama Dosen : Nabilla, S. Pd. I, M.Pd.I

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
Ali bin Abi Thalib
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Ali bin Abi Thalib ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................... ii


Daftar Isi ........................................................................................................................ iii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................................................... 1
Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
Bab II : PEMBAHASAN ............................................................................................. 2
Biodata Ali bin Abi Thalib ....................................................................................... 2
Proses Pengangakatan Ali bin Abi Thalib ................................................................. 2
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ............................................................................... 4
Kebijakan Ali bin Abi Thalib .................................................................................... 7
Peristiwa Tahkim pada masa Ali bin Abi Thalib ....................................................... 7
Bab III : PENUTUP ..................................................................................................... 11
Kesimpulan ............................................................................................................... 11
Saran ......................................................................................................................... 11
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah berakhir pemerintahan khalifah Usman bin Affan (35H/656M) dengan
kematiannya di ujung pedang para pemberontak yang tidak puas terhadap kebijakan-
kebijakan politik dan pemerintahannya, umat Islam pada waktu itu mengalami kegoncangan
dan perpecahan dalam menentukan siapa pemimpin mereka selanjutnya. Dalam suasana ini
akhirnya Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah yang keempat menggantikan Utsman
bin Affan. Walaupun Ali dipilih oleh mayoritas umat dari kalangan Anshar dan Muhajirin,
namun tidak didukung secara bulat oleh sahabat-sahabat senior dan juga dari keluarga Bani
Umaiyah. Hal ini tentu di kemudian hari menimbulkan problematika dalam mengendalikan
kepemimpinannya.
Sejak awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib perpecahan di kalangan umat Islam sudah
tak terelakkan lagi. Tercatat dalam lembaran sejarah, masa ini sebagai masa awal timbulnya
disintegrasi umat Islam, yang diawali perpecahan dalam bidang politik pemerintahan, dengan
adanya perlawanan dan pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib yang melibatkan
para sahabat senior Nabi. Dari masalah politik ini perpecahan melebar ke masalah
pemahaman terhadap teologi.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa itu Ali bin Abi Thalib?
2. Bagaimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah?
3. Apa saja konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib?

C. Tujuan
1. Untuk menetahui siapa itu Ali bin Abi Thalib
2. Untuk mengetahui pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ali bin Abi Thalib


Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthalib . Ia adalah sepupu Nabi Muhammad
SAW yang kemudian menjadi menantunya karena menikahi putri Nabi Muhammad SAW,
Fatimah. Ia telah ikut bersama Rasulullah SAW sejak bahaya kelaparan mengancam kota
Mekah dan tinggal di rumahnya. Ia masuk Islam ketika usianya sangat muda dan termasuk
orang yang pertama masuk Islam dari golongan pria. Pada saat Nabi menerima wahyu
pertama, Ali berumur 13 tahun, sedangkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur 9
tahun. Dia berkepala botak, tidak begitu tingggi, perutnya besar, janggutnya lebat hingga
memenuhi kedua bahunya dan berwarna putih laksana kapas, berkulit sawo matang. Beliau
dilahirkan pada 23 tahun sebelum Hijrah, atau tahun 601 M.
Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang
kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang
jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat
hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan
yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua
yang berpengaruh setelah Muhammad.1

B. Proses Pengangakatan Ali bin Abi Thalib


Pengukuhuan Ali sebagai khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah
sebelumnya. Ali dibai’at ditengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman,
pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi
khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu
persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi
Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khattab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka
menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih
menginginkan Ali menjadi khalifah. Ia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok
tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia
menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan

1
Samsul Munit Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakart6a:Amzah), hlm. 109

2
dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengaemukakan
bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang
lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ia dibai'at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat,
seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin
Umar bin Khattab, Muhammad bit Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan
Abdullah bin Salma yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai'at Ali.
Ibn Umar dan Saad misalnya bersedia berbai’at kalau seluruh rakyat sudah berbai’at
Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka berbai’at secara terpaksa. Riwayat lain
menyatakan mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di
Kufah dan Bashrah. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair
bersama kaum Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai'at
menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali
memilih Ali.
Dengan demikian, Ali tidak dibai'at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena
banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-
wilayah taklukan baru dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat
Islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar
di Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai'at Ali dan
menunjukkan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan
Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas
terbunuhnya Utsman.2
Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah di Masjid Nabawi, ia
menyampaikan pidato penerimaan jabatannya sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab suci Al-Quran sebagai petunjuk yang
menerangkan yang baik dan yang buruk maka hendaklah kamu ambil yang baik dan
tinggalkan yang buruk. Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan
membawa kamu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan apa yang haram, dan
memuliakan kehormatan seorang muslim, berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, dan
memuliakan keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklah setiap muslim
menyelamatkan manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakiti
seorang muslim, kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan

2
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 94

3
kepentingan umum. Sesungguhnya (urusan) manusia menanti di depan kamu dan orang yang
di belakang kamu sekarang bisa membatasi, meringankan (urusan) kamu. Bertakwalah
kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-hamba-Nya dan negeri-Nya.
Sesungguhnya kamu bertanggung jawab (dalam segala utusan) termasuk urusan tanah dan
binatang (lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan jangan kamu mendurhakainya. Apabila
kamu melihat yang baik, ambillah dan jika kamu melihat yang buruk, tinggalkanlah. Dan
ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit iagi tertindas di muka bumi. Wahai manusia, kamu
telah mmbai'at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-mamah yang
dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika
pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus
tunduk dan patuh. Bai'at terhadap diri saya ini adalah bai'at yang merata dan umum. Barang
siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.

C. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib


Ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia
dikenal sebagai seorang orator. Ia juga seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga menjadi
penasihat pada zaman khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Ia mengikuti hampir semua
peperangan pada zaman Nabi Muhamad SAW. Ia tidak sempat membai'at Abu Bakar, karena
sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW. Dan keturunan Nabi Muhammad SAW.
berkelanjutan dari beliau.
Setelah wafatnya Utsman bin Affan, banyak sahabat yang sedang mengunjungi
wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, yang diantaranya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin Awwam. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menyebabkan perpecahan di kalangan
umat Islam menjadi empat golongan, yakni: 1) pengikut Utsman, yaitu yang menuntut balas
atas kematian Utsman dan mengajukan Muawiyah sebagai khalifah; 2) pengikut Ali, yang
mengajukan Ali sebagai khalifah; 3) kaum moderat, tidak mengajukan calon, menyerahkan
urusannya kepada Allah; 4) golongan yang berpegang pada prinsip jamaah, di antaranya Saad
bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamah bin Zaid, dan Muhammad bin Maslamah
yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan tabi'in yang memandang bahwa Utsman dan Ali
sama-sama sebagai pemimpin3
Ali adalah calon terkuat untuk menjadi khalifah, karena banyak didukung oleh para
sahabat senior, bahkan para pemberontak kepada khalifah Utsman mendukungnya termasuk

3
Ibid, hlm. 96

4
Abdullah bin Sabaxdan tidak ada seorang pun yang bersedia dicalonkan. Sa'ad bin Abi
Waqqash dan Abdullah bin Umar tidak mendukungnya, walaupun kemudian Sa'ad ikut
kembali Ali. Yang pertama kali membai'at Ali adalah Thalhah bin Ubaidilah diikuti oleh
Zubair bin Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqash, kemudian diikuti oleh banyak orang dari
kalangan Anshar dan Muhajirin. Asal mulanya, Ali menolak pencalonan dirinya, namun
kemudian menerimanya demi kepentingan Islam pada tanggal 23 Juni 656 M. Alasan
penolakan Ali karena ia selalu berpandangan bahwa, “Ada orang yang lebih baik
daripadanya.” .
Yang pertama dilakukan Khalifah Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah
dibagikan Khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan
mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, di antaranya Ibnu Amir penguasa
Bashrah digantl Utsman bin Hanif, Gubernur Mesir yang dijabat oleh Abdullah diganti oleh
Qays, Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk meletakkan jabatan tetapi menolak,
bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Pemerintahan Khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil
karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Oposisi terhadap
khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-
masing mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka
sepakat menuntut khalifah segera menghukum semua pembunuh Utsman. Tuntutan yang
sama juga diajukan oleh Mu’awiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk
menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan
menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat
menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas
utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu
ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Kedua,
menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, Khalifah Utsman tidak dibunuh oleh
hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab secara langsung terlibat
dalam perbuatan makar tersebut.
Dikatakan demikian, karena Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam
perang melawan Ali. Pemberontakan yang kedua datang dari Muawiyah, yang menolak
meletakkan jabatan. bahkan menempatkan dirinya setingkat dengan khalifah walaupun ia
hanya sebagai gubernur Suriah, yang berakhir dengan Perang Shiffin.

5
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bai'at oleh Thalhah dan Zubair, karena
alasan bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh
Khalifah Utsman. Bahwa penolakan khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyah yang
merupakan kerabatnya di perjalanan pulang dari Mekah, yang tidak tahu mengenai kematian
Khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Bashrah. Siti
Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zub'air untuk menentang Khalifah Ali, karena alasan
penolakan Ali menghukum pembunuh Utsman, bisa juga karena alasan pribadi, atau karena
hasutan Abdullah bin Zubair. Muawiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, tetapi
hanya terbatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas khalifah di mata umat Islam,
dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan khalifah berada di balik pembunuhan Khalifah
Utsman.
Khalifah Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan
kompromi, tetapi beliau tidak berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran antara Khalifah
Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukannya. Perang
ini terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dan
Aisyah dikembalikan ke Madinah. Dan puluhan ribu Islam gugur pada peperangan ini.
Setelah khalifah menyelesaikan pemberontakan Thalhah dan Zubair, pusat kekuasaan
Islam dipindahkan ke Kufah, sehingga Madinah tidak lagi menjadi ibukota kedaulatan Islam
dan tidak ada seorang khalifah pun setelahnya yang menjadikan Madinah sebagai pusat
kekuasaan Islam.
Peperangan antara umat Islam terjadi lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama
pasukannya dengan Muawiyah sebagai gubernur Suriah bersama pasukannya. Perang ini
terjadi karena Khalifah Ali ingin menyelesaikan pemberotakan Muawiyah yang menolak
peletakan jabatan dan secara terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya. Peperangan
ini terjadi di kota Shiffin pada tahun 37 yang hampir saja dimenangkan oleh Khalifah Ali.
Namun, atas kecerdikan Muawiyah yang dimotori oleh panglima perangnya Amr bin Ash,
yang mengacungkan Al-Quran dengan tombaknya, yang mempunyai arti bahwa mereka
mengajak berdamai dengam menggunakan Al-Quran. Khalifah Ali mengetahui bahwa hal
tersebut adalah tipu muslihat, namun karena didesak oleh pasukannya, khalifah menerima
tawaran tersebut. Akhirnya, terjadi peristiwa tahkim yang secara politis Khalifah Ali
mengalami kekalahan, karena Abu Musa Al Asy'ari sebagai wakil khalifah menurunkan Ali
sebagai khalifah, sementara Amr bin Ash tidak menurunkan Muawiyah sebagai gubernur
Suriah, bahkan menjadikan kedudukannya setingkat dengan khalifah.

6
D. Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Selama Ali bin Abi Thalib memerintah, ia membuat kebijakan-kebijakan tertentu sesuai
dengan situasi yang mengiringinya atau situasi yang dihadapinya, sehingga kebijakan Ali
sangat berbeda dengan kebijakan sebelum-sebelumnya. Diantara kebijakan Ali bin Abi
Thalib yang terkenal adalah:
1. Penundaan Pengusutan Pembunuhan Utsman
Setelah terbunuhnya Utsman, tuntutan para sahabat terutama yang turunan Umayyah
untuk segera mengusut pembunuh Utsman juga sangat kuat. Namun menyadari kondisi
pemerintahannya yang masih labil, Ali memilih untuk menunda pengusutan tersebut.
2. Mengganti Pejabat dan Penataan Administrasi
Diantara pemicu terjadinya fitnah di zaman Utsman adalah kecenderungan
pemerintahannya yang dianggap nepotis, yang mengangkat kerabatnya untuk menduduki
suatu jabatan tertentu. Hal inilah antara lain yang digugat oleh kaum pemberontak. Ali segera
mengambil kebijaksanaan untuk mengganti gubernur yang diangkat Utsman tersebut.
3. Memberi tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal, tanpa
melihat apakah masuk islam dahulu atau belakangan.
4. Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat.
5. Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan
kerabat Utsman.
6. Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.4

E. Peristiwa Tahkim Pada Masa Ali bin Abi Thalib


Konflik politik antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Ah Sufyan diakhiri
dengan tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diam. seorang ulama yang terkenal sangat jujur
dan tidak “cerdik” dalam politik yaitu Abu Musa Aki-Asy'ari. Sebaliknya, dari pihak
Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang terkenal sangat ”cerdik” dalam berpolitik
yaitu Amr ibn Ash
Dalam tahkt'm tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn
Abi Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari.
Pendukung Ali ibn Abi Thalib kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama
adalah merekz yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada
Ali ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil

4
http://taufiqaliromdloni.blogspot.co.id/2016/04/makalah-ali-bin-abi-thalib.html

7
tahtkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menyatakan diri
keluar dari pendukung Ali lbr Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan
terhadap semu pihak yang terlibat dalam Tahkim ternasuk Ali Ibn Abi Thalib.
Sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, Khawarij mengeluarkan beberapa
statenten yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai orang-orang kafir.
Khawarij berpendapat bahwa Utsman bin Affan telah menyeleweng dari ajaran Islam.
Demikian pula, Ali bin Abi Thalib juga telah menyeleweng dari ajaran Islam karena
melakukan tahkim. Utsman ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib dalam pandangan Khawarij,
yaitu murtad dan telah kafir Di samping dua khalifah umat Islam di atas, politisi lain yang
dipandang kafir oleh Khawarij adalah Muawiyah, Amr Ibn Ash, Abu Musa Al-Asy'ari, dan
semua orang yang menerima tahkim.
Dalam mengeluarkan statemen politiknya, Khawarij tampaknya tidak lagi berada dalam
jalur politik, tetapi berada dalam wilayah atau jalur teologi atau kalam yang merupakan
fondasi bagi keberagamaan umat Islam. Khawarij dinilai keluar dari wilayah politik karena
menilai kaiir terhadap orang-orang yang telah terlibat dan menerima tahkim. Kafir dan
mukminnya seseorang, paling tidak, menurut Harun Nasution, bukan wilayah politik, tetapi
wilayah kalam atau teologi. Karena menilai kafir terhadap Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib, Muawiyah, Abu Musa Al Asy’ari, Amr Ibn Ash, Khawarij tidak lagi dinilai sebagai
aliran politik, tetapi dianggap sebagai aliran kalam
Di samping penentang, Ali Ibn Abi Thalib memiliki pendukung yang sangat fanatik dan
setia kepadanya. Dengan adanya oposisi terhadap pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib, kesetiaan
mereka terhadap Ali Ibn Abi Thalib semakin bertambah, apalagi setelah Ali Ibn Abi Thalib
wafat dibunuh oleh kalangan Khawarij. Mereka yang fanatik terhadap Ali Ibn Abi Thalib
dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi'ah.
Peristiwa tahkim tersebut menyebabkan sebagian pengikut Ali tidak setuju, dan mereka
keluar dari barisan Ali, kemudian mereka menjadikan Nahrawan sebagai markasnya serta
terus-menerus merongrong pemerin.tahan Ali. Golongan yang keluar dari barisan Ali tersebut
biasa disebut sebagai Khawarij. Kerepotan khalifah dalam menyelesaikan kaum Khawarij ini
digunakan Muawiyah untuk merebut Mesir. Padahal, Mesir dapat dikatakan sebagai sumber
kemakmuran dan ekonomi dari pihak Ali.5
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali,
banyak pengikut Ali gugur dan juga berkurang serta hilangnya sumber ekonomi dari Mesir

5
Ibid, hlm. 99

8
karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kharisma khalifah menurun, sementara
Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah Ali
menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Penyelesaian melalui kompromi dengan Muawiyah itu sebenarnya merupakan
kegagalan bagi Ali. Berbagai kerusuhan yang harus dibahadapi Ali sejak penobatannya
menjadi khalifah, terutama disebabkan oleh kegagalannya menindas pemberontakan
Muawiyah. Pemberontakan yang hebat dari Thalhah dan Zubair memperlemah kedudukan
Ali dan memperkuat kekuasaan Muawiyah. Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula di
Bashrah, Mesir, dan Persia untuk mendapat kemerdekaan. Khalifah Ali harus menangani
pemberontakan-pemberontakan ini dan memulihkan ketertiban di dalam imperium, terutama
kaum Khawarij sangat mempan lemah kekuatannya dan terus-menerus menyibukkannya
Jumlah manusia, keuangan, dan sumber-sumber kekayaan Muawiyah jauh lebih kuat
dibandingkan dengan Khalifah Ali. Ali tidak memiliki sumber-sumber kekayaan yang
memadai dan memimpin suatu kaum yang kesetiaannya kepadanya berubah-ubah dan
meragukan. Sebaliknya, Muawiyah memiliki sumber-sumber yang kaya di Siria dan memiliki
dukungan yang tangguh dari keluarganya. Bani Umayah maupun orang-orang Siria dengan
kuat berada di belakangnya dan memasokmya dengan sumber-sumber kekuatan yang tak
habis-habisnya. Ali hanyalah seorang jenderal dan seorang prajurit yang gagah berani,
sedangkan Muawiyah adalah seorang diplomat yang licik dan seorang politikus yang pintar.
Dia memainkan kelicikan apabila keberanian bertarung tidak berhasil. Dengan cerdik, dia
memanfaatkan pembunuhan Khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama dan memperlemah
Khalifah Ali dan membantu rencananya Karena dia sendiri adalah orang yang paling licik
pada waktu itu, Muawiyiah menjalin persahabatan dan persekutuan dengan Amar, yang juga
orang yang paling cerdik dan banyak akal pada saat itu. Karena gagal dalam menggunakan
pedang, Muawiyah dan sekutunya menipu dan nengalahkn Khalifah Ali dengan permainan
kecerdikan dan kelicikan di dalam Perang Shiffin.6
Penyelesaian kompromi Ali dengan Muawiyah tidak disukai oleh kaum perusuh karena
hal itu membebaskan khalifah untuk menurutku perhatiannya pada tugas menghukum
mereka. Kaum Khawarij merencanakan unmk membunuh Ali, Muawiyah dan Amar memilih
seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka, yang dengan bebas dipilih dari seluruh umat
Islam. Karena itu, Abdurrahman, pengikut setia kaum Khnuarij, memberikan pukulan yang

6
Ibid, hlm. 101

9
hebat kepada Ali sewaktu dia akan adzan di masjid. Pukulan itu fatal, dan Khalifah Ali wafat
pada tangggal 17 Ramadhan 40 H, bertepatan dengan tahun 661 M.
Dalam kisah lain diceritakan bahwa kematian Khalifah Ali diakibatkan oleh pukulan
pedang beracun Abdurahman ibn Muljam, sebagaimana dijelaskan Philip K. Hitty, bahwa:
Pada 24 Januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, ia
terkena hantaman pedang beracun di dahinya. Pedang yang mengenai otaknya tersebut
diayunkan oleh seorang pengikut kelompok Khawarij, Abd Ar-Rahman ibn Muljam, yang
ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh di
Nahrawan. Tempat terpencil di dekat Kufah yang menjadi makam Ali, kini Masyhad Ali di
Najaf, berkembang menjadi salah satu pusat ziarah terbesar dalam agama Islam.
Hasab sebagaia anak tertua Ali mengambil alih kedudukan ayahnya sebagai khalifah
kurang lebih selama lima bulan. Tentaranya dikalahkan oleh pasukan Syiria, dan para
pendukungnya di Irak meninggalkannya sehungga dengan demikian tidak dapat lebih lama
lagi mempertahankan kekuasaannya, kemudian turun tahta. Syarat-syarat yang tercantum
dalam perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah penguasa absolut dalam wilayah
kerajaan Arab. Pada bulan Rabitsani tahun 4 H (661 M) Muawiyah memasuki kota kufah
yang oleh Ali dipilih sebagai pusat kekuasaannya. Sumpah kesetiaan diucapkan kepadanya
dihadapan dua putra Ali, Hasan dan Husein. Rakyat berkerumun di sekelilingnya sehingga
pada tahun4 H disebut sebagai ‘Amul Jamaa’ah, tahun jamaah.7

7
Samsul Munit Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakart6a:Amzah), hlm. 112-113

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ali menjadi Khalifah ditunjuk oleh para sahabat.
2. Masa kekhalifahannya 35-40 H / 656-661 M
3. Memindahkan pusat pemerintahan ke Kuffah.
4. Memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman dan mengirim kepala daerah
yang baru yang menggantikan
5. Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan
kerabat Utsman dengan jalan yang tidak sah.
6. Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.
7. Perang Jamal => Pemberontakan yang dipimpin oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah =>
menuntut balas atas terbunuhnya Utsman dan Ali tidak mau menghukum pembunuh
Utsman. Perang dimenangkan Ali.
8. Perang Shiffin => Pemberontakan oleh Mu’awiyah. Diakhiri dengan Tahkim.
9. Perang Nahrawan => Pemberontakan oleh Khawarij.
10. 20 Ramadhan 40 H (24 Januari 661 M), Ali dibunuh Abdurrahman bin Muljam.

B. Saran
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga kami dapat mengaplikasikan
kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
bapak/ibu dosen yang telah membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini,
serta teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Kami mohon maaf apabila didalam makalah ini terdapat beberapa kesalahan dan
beberapa kekurangan. Kami sebagai penulis meminta kritik dan saran agar dalam penulisan
makalah berikutnya kami bisa lebih bagus dan lebih kreatif.

11
DAFTAR PUSTAKA

Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah


Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam., Bandung: CV Pustaka Setia
http://taufiqaliromdloni.blogspot.co.id/2016/04/makalah-ali-bin-abi-thalib.html

12

Você também pode gostar