Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Disleksia adalah gangguan kemampuan membaca dan menulis. Disleksia seringkali dianggap
sebagai gangguan pada kemampuan membaca, kondisi ini juga meliputi ketidakmampuan
dalam menulis dengan baik. Dengan kata lain, disleksia telah dianggap sebagai sebuah
gangguan pada kemampuan belajar, bukan hanya dalam membaca.
Disleksia sudah ada sejak waktu yang lama dan sangat umum ditemui di masyarakat. Bahkan,
di Amerika Serikat, sekitar 80% dari mereka yang tidak dapat membaca dengan baik
dipercayai menderita disleksia. Selain itu, perbedaan etnis, jenis kelamin, dan latar belakang
sosioekonomi tidak berpengaruh terhadap kondisi ini.
Meskipun telah terdapat berbagai riset dan penelitian tentang disleksia, masih banyak orang
yang tidak memahami kondisi tersebut dengan baik. Berlawanan dengan kepercayaan populer,
disleksia bukanlah sebuah tahapan belajar yang dialami oleh anak pada usia tertentu.
Disleksia adalah sebuah kondisi seumur hidup, dan bisa menjadi sangat parah. Namun kini
telah ada beberapa metode perawatan yang sangat efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
Penyebab Disleksia
Salah satunya adalah keturunan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang
memiliki anggota keluarga atau kerabat yang memiliki disleksia, memiliki resiko lebih besar
untuk mengalami kondisi tersebut. Sementara itu, beberapa ahli meyakini bahwa mereka
yang menderita disleksia tidak menggunakan bagian otak kiri mereka, bagian yang mengatur
kemampuan mengeja dan membaca, dengan semestinya.
Banyak orang percaya bahwa para penderita disleksia memiliki masalah dalam mengolah
fonem, divisi terkecil dari suara ketika sebuah kata diucapkan. Membaca dan menulis
menjadi kegiatan yang sulit untuk dilakukan karena otak harus merangkai huruf untuk
membentuk kata, kemudian kalimat, atau paragraf untuk menjelaskan maksud mereka secara
tepat.
Gejala
Rata-rata gejala disleksia akan mulai muncul sejak penderita berusia muda. Beberapa gejala
yang telah diketahui antara lain:
Diagnosa
Disleksia sulit untuk didiagnosa karena tidak berdampak secara fisik pada penderitanya.
Apalagi, tidak ada perangkat khusus yang digunakan oleh para ahli dalam mendiagnosa
kondisi tersebut. Karena itu, banyak penderita yang akhirnya tidak terdiagnosa.
Namun, para ahli saat ini telah mengembangkan metode di bawah ini untuk mendiagnosa
disleksia:
Untuk hasil diagnosa terbaik, salah satu langkah awal yang harus dilakukan adalah membuat
janji dengan dokter umum yang akan melakukan tes tahap awal. Dokter tersebut mungkin
akan merujuk Anda untuk menemui dokter spesialis, tergantung pada hasil tes awal yang
telah dilakukan.
Pengobatan
Tidak ada obat dan teknik pengobatan tertentu untuk disleksia. Diagnosis yang tepat sangat
penting dalam menentukan tingkat kelemahan dari penderita, dan merancang metode
pengobatan yang sesuai.
Beberapa anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan ruang kelas, namun kebanyakan
tidak. Jadi, orangtua sangat dianjurkan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah dengan
kelas khusus atau yang menawarkan kegiatan belajar dan latihan tambahan untuk membantu
anak mereka yang memiliki disleksia. Beberapa metode pembelajaran yang terkenal antara
lain Orton Gillingham dan Slingerland.
Anak-anak yang menderita disleksia dianjurkan untuk menemui seorang ahli terapi bahasa
dan membaca serta seorang psikolog-saraf. Mereka juga sebaiknya menemui konsultan dan
guru mereka.
Disleksia dapat berdampak pada sikap dan perilaku mereka terhadap kegiatan belajar-
mengajar di sekolah. Jadi, sangat penting bagi orangtua untuk tidak pernah berhenti
mendukung anak mereka untuk terus berlatih menulis, membaca, dan berbicara.
Menurut Konsultan Neuropediatri dari Asosiasi Disleksia Indonesia, dr Purboyo Solek, Sp A (K),
disleksia biasanya diketahui pada usia 7 tahun, anak mengalami kesulitan membaca dan mengeja.
Gangguan ini berbeda dengan gangguan belajar biasa, karena kesulitan mengeja pada penyandang
disleksia bukan disebabkan oleh kurangnya kecerdasan. Gangguan ini merupakan kelainan genetik
yang dialami individu dengan Intelegency Quotient (IQ) normal atau bahkan di atas rata-rata. Karena
sering terlambat diketahui, disleksia banyak memberi dampak pada masalah belajar di sekolah.
Selain nilainya merosot, tak jarang penyandang disleksia mengalami tekanan psikologis karena tidak
percaya diri atau bahkan menjadi korban bullying (pelecehan) dari teman-teman sekolahnya.
Suatu kali hendak menggambar kubus, hasilnya malah trapesium,” ujar Aigis, seorang
penyandang disleksia, saat berbagi kisah dalam acara ”Menuju Layanan Pendidikan Prima
untuk Melindungi Seluruh Anak Indonesia”, beberapa waktu lalu.
Aigis kini terdaftar sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Hasil
sebuah perjalanan panjang. Di dunia pendidikan yang didominasi keterampilan membaca,
menulis, dan berhitung, Aigis harus bekerja keras.
Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys (kesulitan) dan lexia (kata-kata), untuk
menyebut gangguan yang memengaruhi pengembangan keterampilan literasi dan bahasa.
Orang dengan disleksia mengalami masalah belajar spesifik, terutama terkait kata-kata.
Di dalam pikiran Aigis, misalnya, huruf-huruf dalam tulisan bercampur aduk dan tidak
beraturan sehingga sulit dibaca dan diingat.
IntelegensiaTinggi
Dokter spesialis anak-konsultan saraf anak, Purboyo Solek, mengatakan, anak disleksia
berpotensi besar. Anak dengan disleksia memiliki intelegensia di atas rata-rata hingga tinggi.
Hal itu yang membedakan anak dengan kesulitan belajar spesifik seperti disleksia dengan
kesulitan belajar umumnya. ”Berbeda dengan anak dengan kesulitan belajar yang tingkat
intelegensianya di bawah normal, seperti epilepsi lena atipikal, hiperaktif, down syndrom,
dan sejumlah kasus autis. Disleksia sering kali dicampuradukkan dengan gangguan belajar
lainnya,” ujar Purboyo.
Sederet nama tokoh terkenal dan berpengaruh, seperti Albert Einstein (ilmuwan), Tom
Cruise (artis), Orlando Bloom (artis), Whoopi Goldberg (artis), dan Lee Kuan Yew (mantan
Perdana Menteri Singapura), tercatat menderita disleksia.
Riyani T Bondan, Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia, mengungkapkan, di dunia, 10 hingga
15 persen anak sekolah menyandang disleksia. Dengan jumlah anak sekolah di Indonesia
sekitar 50 juta, diperkirakan 5 juta di antaranya mengalami disleksia. ”Tanpa penanganan
tepat, negara rugi lantaran orang yang sebetulnya intelegensinya tinggi jadi kesulitan
mengembangkan potensinya,” ujarnya.
Berbasis neurologis
Ketua Pelaksana Harian Asosiasi Disleksia Indonesia sekaligus dokter spesialis anak,
Kristiantini Dewi, mengungkapkan, disleksia bukan disebabkan kebodohan, cara mengajar
tidak baik, latar belakang ekonomi buruk, kurangnya motivasi atau gangguan lain, seperti
penglihatan atau pendengaran. Disleksia berbasis neurologis. Otak individu disleksia
mempunyai cara berbeda dalam mengolah informasi terkait kata-kata. Cara mereka
membaca ”tidak sama” dengan otak individu yang tidak disleksia.
Namun, ada sisi positifnya. Mereka mempunyai kemampuan atau keterampilan di area
belajar lain yang jauh di atas rata-rata. Mereka unggul dalam kemampuan visual spatial,
analisis masalah yang mendalam, kesadaran sosial, penyelesaian masalah, geometri, catur,
atau permainan di komputer. ”Kemampuan ini jangan sampai disia-siakan,” ujarnya.
Kristiani menjelaskan, ada dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexia yang merupakan
bawaan sejak lahir. Tipe lainnya ialah acquired dyslexia yang didapat karena gangguan
perubahan cara otak kiri membaca. Penderita biasanya mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan kerusakan otak kiri.
Developmental dyslexia disandang seumur hidup dengan kondisi berbasis neurologis dan
sering kali bersifat genetik. Berkisar 70-75 persen disleksia adalah genetik. Sejumlah hasil
penelitian, antara lain, Brain abnormalities underlying altered activation in dyslexia: a voxel
based morphometry study yang dimuat dalam Journal of Neurology, Brain, mengasosiasikan
disleksia dengan disfungsi pada daerah abu-abu di otak. Terjadi perubahan aktivasi dalam
sistem membaca terkait dengan perubahan kepadatan dari materi abu-abu dan putih pada
daerah tertentu otak. Disfungsi di bagian bermateri abu-abu itu terkait dengan perubahan
konektivitas di antara area fonologis (membaca).
Kristiantini menyebutkan ada beberapa tanda awal disleksia bawaan. Tanda-tanda itu,
antara lain, telat berbicara. Pada umur dua tahun, misalnya, anak baru dapat mengucapkan
satu atau dua patah kata. Anak juga sering bingung atau tertukar antara kiri dan kanan.
Gejala lainnya ialah artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik. ”Kata kulkas, misalnya menjadi
kalkus,” ujar Kristiantini.
Beranjak di usia sekolah, kesulitan makin dirasakan lantaran anak mulai dituntut membaca,
menulis, dan berhitung. Anak kesulitan mempelajari huruf, baik bentuk maupun bunyinya.
Beberapa huruf sering kali tertukar, seperti ”b” dan ”d”, ”h” dan ”a”, serta ”t” dan ”j”. ”Pada
awal anak belajar membaca, huruf tertukar kadang terjadi. Namun, pada anak dengan
disleksia, kesulitan itu terus berlanjut,” ujarnya. Anak dengan disleksia juga kesulitan
menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat tulis
dengan baik, dan kesulitan dalam rima.
Pertanda lainnya ialah bingung konsep ruang dan waktu serta kesulitan mencerna serta
mengikuti beberapa instruksi yang disampaikan secara verbal, cepat, dan berurutan. ”Jika
ada tiga perintah yang diucapkan secara cepat, kemungkinan hanya perintah terakhir yang
diingat,” ujarnya.
Gangguan itu sering ditemukan bersama dengan gangguan pemusatan perhatian atau
konsentrasi, kesulitan matematika dan keterampilan motorik, seperti masih tumpah ketika
menyendok makanan walaupun sudah di kelas I atau II sekolah dasar.
Menurut Kristiantini, identifikasi disleksia sebaiknya sedari dini sehingga anak dapat dilatih
cara belajar yang tepat dan sesuai kebutuhannya. Jika terlambat, prestasi akademis terus
turun, anak kesulitan dalam ujian, mendapat stigma negatif, diganggu (bullying), serta
kesulitan dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan membaca dan menulis.
Orangtua Aigis yang menyadari kondisi khusus putrinya lalu memindahkan Aigis ke sekolah
khusus, SD Pantara. Di sekolah khusus itu, Aigis belajar dengan dukungan dan pemahaman
penuh terhadap kebutuhan khususnya.
Setelah itu, dia melanjutkan ke SMP negeri, SMK negeri jurusan rekayasa perangkat lunak,
dan kini belajar di sebuah perguruan tinggi swasta untuk menjadi programmer komputer.
Aigis yakin impiannya menjadi programmer kelak dapat diraih.
Ketahui sedini mungkin masalahnya. Segera bicarakan masalahnya dengan dokter anak
sedini mungkin—usia TK atau awal SD, akan lebih mudah mengerti pelajaran dan berhasil di
SMP atau SMA.
Bacakan dengan suara keras. Mulai dengan memutar rekaman audio buku cerita dan
mendengarnya bersama dengan anak saat ia berusia 6 bulan atau kurang. Setelah usia anak
dirasa sudah cukup, cobalah bacakan buku cerita tersebut dengan suara keras kepada anak.
Bekerja sama dengan guru dan sekolah. Buatlah rencana pendidikan tertulis bagi anak Anda.
Kemudian bicarakan dengan guru tentang rencana tersebut dan konsultasikan apa yang bisa
dilakukan olehnya atau sekolah untuk membantu kebutuhan khusus anak Anda. Ikut
sertakan anak ke bimbingan belajar khusus anak disleksia jika tersedia.
Bersikaplah mendukung. Kesulitan untuk membaca dapat mempengaruhi kepercayaan diri
anak, oleh karenanya Anda diharapkan agar selalu bersikap mendukung dan nyatakanlah
dalam bentuk kasih sayang. Beri dia motivasi dengan memuji bakat dan kemauannya untuk
belajar.
Bicarakan dengan anak Anda. Anda dapat menjelaskan kepadanya apa itu disleksia karena
semakin baik anak memahami kondisinya, semakin baik pula kemampuannya dalam
menghadapi disleksia.
Buat langkah-langkah untuk membantu anak di rumah. Siapkan tempat belajar yang tenang,
tertata rapih serta bersih. Jadwalkan waktu belajar yang cocok bagi anak, agar tidak
mengganggu waktunya untuk istirahat, bermain, dan makan.
Jaga hubungan baik dengan guru. Anda dapat memastikan anak mampu mengikuti
pelajaran dengan sering bertanya pada gurunya. Mintalah kepada guru agar anak mendapat
waktu yang cukup untuk membaca pada saat ulangan atau ujian. Selain itu, tanyakan kepada
guru apakah dia perlu rekaman ulang pelajaran tertentu di sekolah—dengan begitu anak
bisa mendengarnya kembali di lain waktu.
Cari bantuan dokter atau profesional lain. Anak Anda mungkin memerlukan obat medis,
terlebih jika dia memiliki gangguan belajar lain seperti ADHD. Selain itu, membantu anak
disleksia melalui terapi tertentu juga dapat bermanfaat. Dianjurkan untuk mencari bantuan
dokter atau profesional lain untuk mengetahui cara penanganan yang tepat bagi anak Anda.
http://blog.ruangguru.com/menghadapi-siswa-disleksia-dengan-metode-pembelajaran-berikut/