Você está na página 1de 61

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat- Nya lah, kami dapat
menyelesaikan laporan tutorial dengan skenario E Blok 6 ini dengan baik dan tepat waktu.

Laporan tutorial ini disusun dalam rangka memenuhi tugas blok 6 yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada;

1. Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan dalm penyusunan laporan ini
2. Pembimbing kami, dr. Indri Seta Septadina, M. Kes yang telah membimbing kami dalam
proses tutorial
3. Teman-teman yang telah menyediakan waktu,tenaga dan pikirannya untuk merampungkan
tugas tutorial ini dengan baik.
4. Orang tua yang telah menyediakan fasilitas dan materi yang memudahkan dalam
penyusunan laporan ini.
Saya menyadari, tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat saya harapkan agar bermanfaat bagi revisi
tugas ini.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran selanjutnya dan bagi
semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, April 2013

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………... 1

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… 2

DATA TUTORIAL…………........………………………………………………………... 3

A. Skenario E .......………….……………………………………………………………. 3
B. Klarifikasi Istilah ...........………………………………………………………….... 4
C. Identifikasi Masalah ...........……………………………………………………… 5
D. Analisis Masalah ...............................……………………..................................... 5
E. Keterkaitan Antar Masalah ...……………………………..………………………... 7
F. Learning Issue ...…………………………………………………………...... 8
G. Sintesis Masalah …...............................................................................................….. 9
1. Anatomi dan fungsi otot-otot wajah…………………………………………... 9
2. Bell’s Palsy……………………………………………………………………. 14
3. Aspek anatomi dari nuclei craniales…………………………………………… 17
4. Hubungan antara nucleus-nucleus n.VII dengan korteks motoris, sensoris, ganglia
basalis, dan sistem limbika……………………………………………………. 35
5. Fisiologi konduksi syaraf dan innervasi otot serat lintang dan patologi konduksi syaraf
(neuropraksis)…………………………………………………………………. 37
6. Neurofisiologi dari reflex yang melibatkan korneal reflex, blinking reflex to sound,
sucking reflex, hyperaccoustic reflex…………………………………………. 42
7. Neuropati akibat infeksi virus, khususnya herpes simpleks dan herpes zoster.. 45
8. Penyakit akibat herpes simpleks dan virus herpes zoster……………………... 47
9. Proses penyembuhan pada kerusakan serabut syaraf tepi…………………….. 50
10. Farmakologi Prednisone dan Acyclovir ……………………….……………... 53
H. Kerangka Konsep ………………………………………………………………... 57
I. KESIMPULAN …………………………………….…………………………….. 58
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 59

2
Data Tutorial

Tutor : Dr. Indri Seta Septadina, M.Kes

Moderator : Asnhy Anggun D.

Sekretaris : Davi Dzikirian

Waktu : 15 April 2013 dan 17 April 2013

A. Skenario E

Safira, berusia 31 tahun, dibawa oleh suaminya ke poli saraf RSMH karena
mengalami asimetri pada wajahnya sejak 3 hari yang lalu. Kelainan ini disadari oleh
penderita pada saat bangun tidur pada pagi hari. Sebelumnya penderita merasakan ada
nyeri pada liang telinga kanan namun tidak terlalu mengganggu. Dia baru kaget ketika
bercermin dan mendapati asimetri pada wajahnya. Sudut mulut sebelah kiri terlihaat lebih
tinggi sementara kelopak mata mata kanan tidak dapat tertutup dengan sempurna. Safira
juga merasa telinga kanannya berdenging dan mata kanannya terasa perih. Suaminya
mengatakan bahwa Safira harus sering menyeka mulutnya karena banyak mengeluarkan air
liur.

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan lagopthalamus (+) pada kelopak mata


kanan, reflex kornea kanan (-), hiperakusis (+) pada telinga kanan, kerutan pada kening
tidak terlihat pada sisi kanan pada waktu pasien diminta mengerutkan kening, sudut mulut
kanan tertinggal pada waktu diminta memperlihatkan gigi, rasa pengecap di bagian depan
sisi kanan lidah menurun. Terlihat butiran air pada kelopak mata bawah mata kanan. Tidak
dijumpai kelainan sensoris pada kulit wajah, tidak dijumpai vesikel pada kulit liang telinga,
tidak ada massa pada kelenjar parotis kanan. Hasil pemeriksaan fisik lain dalam batas
normal.

Penderita sedang hamil 21 minggu dan pernah mengalami infeksi vacirella pada
masa remaja dulu. Safira tidak pernah mengalami gangguan pendengaran sebelumnya.
Dokter menyatakan bahwa Safira menderita Bell’s palcy dan memberinya obat prednisone
dan acyclovir.

3
B. Klarifikasi Istilah
1. Poli saraf: unit kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat
spesialistis di bidang saraf.
2. Asimetri wajah: ketidaksamaan bagian/organ yang bersesuaian pada sisi tubuh
berlawanan yang pada keadaan normal sama pada wajah.
3. Liang telinga: meatus auditorius eksternus, dilapisi oleh kulit terdiri dari rambut,
glandula sebacea, dan seruminus.
4. Berdenging: berbunyi ‘nying’ di telinga.
5. Liur: secret kelenjar saliva yang mengandung enzim.
6. Lagopthalmus: ketidakmampuan untuk menutup mata dengan sempurna.
7. Hiperakusis: sensasi pendengaran yang sangat tajam, ambangnya sangat rendah.
8. Reflex kornea: respon otomatis tertentu yang diperankan oleh sistem saraf pada bagian
anterior mata yang transparan.
9. Vesikel: kantong kecil yang dibatasi membrane, terutama membrane plasma, kompleks
Golgi, dan mengandung cairan.
10. Kelenjar parotis: kelenjar air liur yang paling besar dari 3 kelenjar air liur yang
berpasangan, terletak di depan telinga.
11. Varicella: cacar air, penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus varicella-
zoster.
12. Bell’s palcy: gangguan fungsi motorik wajah unilateral yang timbul mendadak akibat
lesi nervus fascialis.
13. Prednisone: glukokortikoid sintesis turunan cortisone digunakan sebagai anti radang
dan imunosupresan.
14. Acyclovir: analog nukleosida purin sintetik, dengan aktivitas yang selektif terhadap
virus herpes simpleks.

4
C. Identifikasi Masalah

No Kalimat Ceklis
Safira, 31 tahun, dibawa ke poli saraf RSMH karena mengalami asimetri
1 VVV
pada wajahnya yang disadari saat bangun tidur, 3 hari yang lalu.
Sebelumnya penderita merasa nyeri pada liang telinga kanan, sudut mulut
2 sebelah kiri terlihat lebih tinggi sementara kelopak mata kanan tidak dapat V
tertutup dengan sempurna.
Safira juga merasa telinga kanannya berdenging, mata kanannya terasa
3 V
perih, dan mulutnya banyak mengeluarkan liur.
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan lagopthalamus (+) pada kelopak
mata kanan, reflex kornea kanan (-), hiperakusis (+) pada telinga kanan,
kerutan pada kening tidak terlihat pada sisi kanan pada waktu pasien
4 VV
diminta mengerutkan kening, sudut mulut kanan tertinggal pada waktu
diminta memperlihatkan gigi, rasa pengecap di bagian depan sisi kanan
lidah menurun.
Terlihat butiran air mata pada kelopak mata bawah mata kanan, tidak
5 dijumpai kelainan sensoris pada kulit wajah, tidak dijumpai vesikel pada VV
kulit liang telinga, tidak ada massa pada kelenjar parotis kanan.
Penderita sedang hamil 21 minggu dan pernah mengalami infeksi varicella
6 pada masa remaja dulu, tapi sebelumnya tidak pernah mengalami gangguan V
pendengaran.
Dokter menyatakan Safira menderita Bell’s palcy dan memberinya obat
7 -
prednisone dan acyclovir.

D. Analisis Masalah
1. Safira, 31 tahun, dibawa ke poli saraf RSMH karena mengalami asimetri pada
wajahnya yang disadari saat bangun tidur, 3 hari yang lalu.
a. Apa saja penyebab asimetri pada wajah?
b. Bagaimana hubungan asimetri pada wajah dengan usia dan jenis kelamin?
c. Kenapa asimetri pada wajah disadari pada saat baru bangun tidur?

5
d. Apa saja dampak setelah mengalami asimetri selama 3 hari?

2. Sebelumnya penderita merasa nyeri pada liang telinga kanan, sudut mulut sebelah kiri
terlihat lebih tinggi sementara kelopak mata kanan tidak dapat tertutup dengan
sempurna.
a. Apa penyabab nyeri pada liang telinga kanan?
b. Apa penyebab sudut mulut kiri lebih tinggi?
c. Apa penyebab kelopak mata kanan tidak dapat tertutup dengan sempurna?

3. Safira juga merasa telinga kanannya berdenging, mata kanannya terasa perih, dan
mulutnya banyak mengeluarkan liur.
a. Bagaimana mekanisme liang telinga kanan berdenging?
b. Apa penyebab mata kanan terasa perih?
c. Apa penyebab penderita banyak mengeluarkan air liur?

4. Pada pemeriksaan neurologis ditemukan lagopthalamus (+) pada kelopak mata kanan,
reflex kornea kanan (-), hiperakusis (+) pada telinga kanan, kerutan pada kening tidak
terlihat pada sisi kanan pada waktu pasien diminta mengerutkan kening, sudut mulut
kanan tertinggal pada waktu diminta memperlihatkan gigi, rasa pengecap di bagian
depan sisi kanan lidah menurun.
a. Apa saja yang diperiksa pada pemeriksaan neurologis pada wajah?
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan neurologis?
c. Bagaimana mekanisme hasil pemeriksaan neurologis?

5. Terlihat butiran air mata pada kelopak mata bawah mata kanan, tidak dijumpai kelainan
sensoris pada kulit wajah, tidak dijumpai vesikel pada kulit liang telinga, tidak ada
massa pada kelenjar parotis kanan.
a. Bagaimana interpretasi dan keterkaitan dengan keluhan lain pada hasil pemeriksaan
fisik?

6
6. Penderita sedang hamil 21 minggu dan pernah mengalami infeksi varicella pada masa
remaja dulu, tapi sebelumnya tidak pernah mengalami gangguan pendengaran.
a. Bagaimana keterkaitan kehamilan dengan keluhan yang dialami?
b. Bagaimana keterkaitan pernah mengalami infeksi varicella dengan bell’s palcy?
c. Kenapa dia mengalami nyeri pada liang telinga kanan padahal sebelumnya dia tidak
pernah mengalami gangguan pendengaran?

7. Dokter menyatakan Safira menderita Bell’s palcy dan memberinya obat prednisone dan
acyclovir.
a. Bagaimana etiologi Bell’s palcy?
b. Bagaimana patofisiologi Bell’s palcy?
c. Bagaimana cara kerja prednisone dan acyclovir terhadap Bell’s palcy?

E. Keterkaitan Antar Masalah

Safira, 31, mempunyai


riwayat Varicella
Sudut mulut kiri Telinga kanan
terlihat lebih tinggi berdenging

Asimetri pada wajah Mata Perih

Kelopak mata
kanan tidak dapat Mengeluarkan
tertutup dengan banyak air liur
sempurna
Pergi ke Poli Saraf

Lagophtalmos (+) Kerutan (-) dahi kanan

Sudut mulut kanan


Reflex kornea (-) Pemeriksaan Neurologis tertinggal

Hiperakusis (+) Rasa pengecap depan


telinga kanan kanan menurun

Bell’s Palsy
7
F. Learning Issue
No Learning Issues Must To Know Good To Know Referensi
1. Anatomi Regio a. Struktur Otot-otot a. Fungsi Otot-otot
Wajah wajah Wajah
b. Persarafan Otot-otot
Wajah
2. Persarafan a. Nucleus motoris a. Hubungan antara
Cranial n.VII nucleus-nucleus n.VII
(somatomotorik) dengan korteks
b. Nucleus salivatorius motoris, sensoris,
superior ganglia basalis, dan
(parasimpatis) sistem limbika
c. Nucleus solitaries b. Proses penyembuhan
(general sensorik) pada kerusakan
d. Nucleus gustatorius serabut syaraf tepi
superior (special Textbook,
sensoris)
3. Neurofisiologi a. Refleks Kornea a. Blinking reflex to Jurnal,
Refleks Wajah b. Refleks sound dan
Hyperaccoustic
4. Bell’s palsy a. Patofisiologi Bell’s a. Etiologi Bell’s palsy Artikel
palsy b. Faktor resiko Bell’s
palsy
5. Infeksi Varicella a. Neuropati akibat
infeksi virus,
khususnya herpes
simpleks dan herpes
zoster
b. Penyakit akibat
herpes simpleks dan
virus herpes zoster
6. Farmakologi a. Cara kerja obat a. Definisi
Prednisone dan b. Aspek Farmakologi
Acyclovir

8
G. Sintesis
1. Anatomi dan Fungsi Otot-otot Wajah

No Nama Origo Insertio Fungsi


1 M. Occipitofrontalis Venter frontalis : Galea Menggerakkan
kulit alis mata dan aponeurotica kulit kepala,
glabella, membentuk menciptakan
sebuah lapisan otot kerut miring di
bersama Mm. dahi.
Procerus, corrugator
supercilii, depressor
supercilii et
orbicularis oculi
 Venter occipitalis :
Linea nuchalis
suprema

2 M. Temporoparietalis Kulit temporal, fascia Galea Menggerakkan


temporalis aponeurotica kulit kepala.
3 M. Auricularis Fascia temporalis Spina helicis Menggerakkan
anterior daun telinga ke
depan dan ke
atas.
4 M. Auricularis Galea aponeurotica Bagian Menggerakkan
Superior dorsocranial daun telinga ke
pangkal belakang dan ke
auricula atas.
5 M. Auricularis Processus mastoideus, Bagian Menggerakkan
Posterior tendo M. dorsocranial daun telinga ke
sternokleimastoideus pangkal belakang
auricular
6 M. Orbicularis Oculi Pars orbitalis: pars Pars Menutup
nasalis ossis frontalis, orbitalis : kelopak mata,
Proc. frontalis maxillae, Lig. menekan saccus
Lig. Palpebrae mediale. Palpebrale lacrimalis,
Pars Palpebralis: Lig. laterale, menggerakkan
Palpebrale mediale, transisi alis mata.
saccus lacrimalis. menjadi
Pars Lacrimalis: Crista suatu otot
lacrimalis posterior of melingkar
the Os lacrimale, saccus membentuk
lacrimalis. cincin di
lateral.
Pars
palpebralis :

9
Lig.
palpebrale
laterale
Pars
lacrimalis :
Canaliculi
lacrimalis,
tepi-tepi
kelopak
mata.
7 M. Depressor Pars nasalis ossis Sepertiga Menarik turun
Supercilii frontalis, punggung medial kulit kulit dahi dan
hidung. alis mata. alis,
menciptakan
kerutan miring
tepat di atas
pangkal hidung.
8 M. Corrugator Pars nasalis ossis Sepertiga Menggerakan
Supercilii frontalis medial kulit dahi dan
(lateral) kulit alis mata ke arah
alis mata, pangkal hidung,
galea menciptakan
aponeurotica. kerut vertical
tepat di atas
pangkal hidung.
9 M. Procerus Os nasale, Cartilago nasi Kulit Menarik turun
lateralis Glabella kulit dahi dan
alis mata
10 M. nasalis Pars alaris : Jugum Pars alaris : Menggerakkan
alveolare dentis incisivi ala nasi, cupping hidung
lateralis pinggir dan hidungnya
Pars transversa : Jugum cuping sendiri
alveolare dentis canini hidung Pars alaris :
Pars membuka lebar
transversa : lebar cuping
Cartilago hidung
nasi lateralis, Pars transversa
membran : Mengecilkan
tendo lubang hidung.
dorsum nasi
11 M. Depressor septi jugum alveolare dentis cartilago Menggerakkan
nasi incisivi medialis alaris major, cupping hidung
cartilago dan hidungnya
septi nasi sendiri.
12 M. Orbicularis Oris Sebelah lateral angulus Kulit bibir Menutup bibir,
oris sehingga juta

10
menggerakkan
cuping hidung,
pipi dan juga
kulit dagu.
13 M. Buccinator Bagian posterior Proc. Angulus oris, Menegangkan
alveolaris maxillae, bibir atas dan bibir,
Raphe bawah meningkatkan
pterygomandibularis, tekanan intraoral
bagian posterior Proc. (ketika meniup
alveolaris mandibulae dan mengunyah)
14 M. Levator labii Margo infraorbitalis dan Bibir atas Menarik bibir
superioris bagian Zygomaticus atas ke lateral
maxilla di dekatnya; dan atas
berasal dari massa otot
M. Orbicularis oculi
15 M. Depressor Labii Basis mandibulae Bibir bawah, Menarik bibir
inferioris sebelah mendial foramen dagu, serabut bawah ke lateral
mentale dalam ke dan bawah
mukosa
16 M. Mentalis Jugum Alveolare dentis Kulit dagu Membentuk
incisivi lateralis bawah lekuk di dagu,
eversi bibir
bawah (bersama
dengan musculus
orbicularis oris)
17 M. Transversus Cabang oblik dari M. Kulit dagu Menggerakkan
Menti mentalis kulit dagu.
18 M. Depressor anguli Basis mandibulae, tepat Bibir bawah, Menarik sudut
oris di bawah foramen pipi mulut ke bawah.
mentale disebelah
lateral sudut
mulut, bibir
atas.
19 M. Risorius Fascia parotidea, Fascia Bibir atas, Menarik sudut
messeterica sudut mulut mulut ke lateral
dan atas,
membentuk
lesung di pipi.
20 M. Levator Anguli Fossa canina maxillae Sudut mulut Menarik sudut
Oris mulut ke arah
medial dan atas
21 M. Zygomaticus Os Zygomaticum di Bibir atas, Menarik sudut
Major dekat sutura sudut mulut mulut ke arah
zygomaticotemporalis lateral dan atas
22 M. Zygomaticus Os Zygomaticum di Sudut mulut, Menggerakkan
Minor dekat sutura bibir atas bibir, cuping

11
zygomaticomaxillaris hidung, pipi, dan
kulit dagu,
memperdalam
sulcus
nasolabialis.
23 M. Levator labii Proc. frontalis maxillae; cuping Menggerakkan
superioris alaeque berasal dari massa otot hidung, bibir, alae nasi,
nasi M. orbicularis oculi sudut mulut, pipi dan kulit
bibir atas, dagu.
serabut
dalam:
bagian lateral
dan posterior
cuping
hidung.

12
13
2. Bell’s Palsy

Bell’s Palsy adalah suatu gejala klinis penyakit mononeuropati (gangguan hanya
pada satu syaraf) yang menyerang syaraf no.7 (syaraf fascialis). Inti dari syaraf 7
berada di batang otak dan berfungsi untuk mengatur otot pergerakan organ wajah antara
lain di daerah mulut seperti meringis, bibir maju ke depan. Pada mata, syaraf ini juga
mengatur pergerakan kelopak mata seperti memejamkan mata, pergerakan bola mata
serta mengatur aliran air mata. Syaraf ini juga memiliki serabut yang menuju ke
kelenjar ludah dan juga pendengaran.

Pada kasus Bell’s Palsy, gangguan pada syaraf ini mengakibatkan tidak dapat
mengatur impuls motorik kepada otot karena tersumbat akibat pembengkakan.
Akibatnya otot-otot pada organ yang langsung berhubungan dengan syaraf tersebut
menjadi tidak berfungsi dan organ pun menjadi lumpuh.

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori
yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
a. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
b. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalahHerpes
Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktiv
asidari HSV (khususnya tipe 1).
Teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom
virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf
ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi
pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al. menginokulasi HSV dalam
telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut.
Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion
genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks
atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan
proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.

14
c. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkanpredisposisi untuk
terjadinya paresis fasialis.
d. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelumpemberian imunisasi.

Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu
minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer
atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang
dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara
dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis
bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-
pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti

15
nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik
ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan
tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan
lidah). Berdasarkan beberapa
penelitian bahwa penyebab utama
Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus
herpes zoster) yang menyerang
saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di
ganglion genikulatum, nervus
fasialis bisa ikut terlibat sehingga
menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Kelumpuhan pada Bell’s
palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak
dapat dikerutka n, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam
mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir
tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka
air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

Faktor Resiko & Prognosis

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan
gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial. Penderita

16
diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan
penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells
palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita.
Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor
kelenjar parotis

Keluhan yang dialami oleh ibu Safira merupakan tanda-tanda dari penyakit Bell’s
Palsy. Hubungan kehamilan dan potensi ibu hamil terkena bell’s palsy adalah ibu hamil
berpotensi 3x terkena Bell’s Palsy.Biasanya pada kehamilan trimester ketiga atau
menjelang melahirkan. Salah satu teori penyebab ibu hamil terkena Bell’s Palsy adalah
peningkatan cairan pada ibu hamil dapat menyebabkan pembengkakan pada saraf
wajah dimana mengarah pada saraf ketujuh.

3. Aspek Anatomi dari Nuclei Craniales


a. Nucleus motoris n.VII (special somatomotorik)

Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi untuk
motorik sensorik somatik, dan aferen eferen visceral. Gambar berikut ini
memperlihatkan cabang nervus fasialis beserta otot ygdipersarafinya. Nervus
fasialis memiliki dua subdivisi, yang pertama adalah yang mempersarafi otot
ekspresi wajah kemudian yang kedua memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu
intermediate yang membawaaferen otonom, somatik, dan eferen otonom.

17
Gambar 1. Divisi nervus fasialis

Gambar 2. Oto t yang dipersarafi nervus fasialis

18
Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut, yaitu:

 Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecualim.levator


palpebrae (N.III)), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagianposterior dan
stapedius di telinga tengah.
 Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivariussuperior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring,
palatum,rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar serta
sublingualdan lakrimalis.
 Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di
duapertiga bagian depan lidah.
 Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasaraba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi olehn.trigeminus. Daerah
overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang tindih) ini terdapat di
lidah, palatum, meatus akustikus eksternadan bagian luar gendang telinga.
Musculus yang dipersarafi nervus facialis :
1. M. Orbicularis Oris  merapatkan bibir satu sama lain
2. M. Levator labii superioris alaeque nasi
3. M. Levator labii superioris
4. M. Zygomaticus minor
5. M. Zygomaticus mayor Otot-otot dilator bibir,
membuka bibir dengan
6. M. Levator anguli oris
gerakan membuka mulut
7. M. Risorius
8. M. Depressor anguli oris
9. M. Depressor labii inferior
10. M. Mentalis
11. M. Orbicularis Oculi  menutup kelopak mata dan melipat kulit di sekitar
orbita
12. M. Corrugator supercilii  lipatan vertikal di dahi, seperti mengerutkan
dahi
13. M. Platysma

19
14. M. Levator labii superior  menarik bibir ke atas

20
21
22
23
Nukleus nervus fasialis terletak di bagian lateral bawah pons sehingga lesi
di bagian lateral bawah pons sehingga lesi di daerah batang otak sering
menimbulkan disfungsi nervus fasialis. Nervus fasialis masuk ke tulang temporal
dan letaknya dekat dengan telinga tengah sehingga saraf ini mudah terkena
trauma fraktur dasar tengkorak dan tulang temporal akibat pembedahan atau
akibat penyakit-penyakit telinga. Gangguan lain yang dapat mengakibatkan
kelemahan saraf fasialis adalah miastenia gravis dan sindrom Guillan-Barre.
Bell’s palsy merupakan paralisis saraf (CN VII) yang paling sering ditemukan).

Nukleus motorik terletak pada bagian ventrolateral tegmentum pontin


bawah dekat medula oblongata. Sewaktu di tegmentum pons, akson pertama
motorik berjalan dari arah sudut pontoserebelar dan muncul di depan nervus
vestibularis.Saraf intermediate muncul di antara saraf fasialis motorik dengan
vestibulokoklearis.

24
Nervus intermediate, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis
berjalan bersama ke lateral ke meatus akustikus internus.

25
Di dalam meatus akustikus internus, nervus fasialis dan intermediate
berpisah dengan nervus vestibulokoklearis. Nervus fasialis berjalan ke lateral
ke dalam kanalis fasialis kemudian ke ganglion geniculatum. Pada ujung
kanalis tersebut, nervus fasialis keluar cranium melalui
foramen stilomastoideus. Dari foramen tersebut, serat motorik menyebar ke
wajah, beberapa melewati glandula parotis. Nukleus motorik merupakan
bagian dari arkus refleks yakni refleks kornea dan refleks berkedip. Refleks
kornea berasal dari membran mukosa mata (aferen) dibawa melalui nervus V1
oftalmikus menuju ke nukleus sensorik trigeminus utama. Di nukleus tersebut
rangsang ditransmisikan ke neuron yang berhubungan dengan nervus fasialis
pada sisi yang sama. Bagian eferen dari refleks tersebut berasal dari neuron
eferen nervus fasialis. Refleks berkedip berasal dari mata (aferen)
mengantarkan impuls optiknyake nukleus di tektobulbaris menyebabkan
refleks berkedip jika cahaya terang.Selain kedua refleks tersebut, impuls
akustik yang berasal dari nervusvestibulokoklearis mencapai nukleus dorsalis
dan menghasilkan arkus refleksberupa tegangan otot stapedius atau relaksasi.
Persarafan supranuklear dari nervus fasialis terletak pada kedua

26
hemisferserebri untuk otot dahi, sedangkan otot wajah sisanya mendapat
persarafan dari girus presentralis kontralateral.

N. Facialis mempunyai radix motoris di sebelah medial dan radix


sensoris di sebelah lateral, disebut N. Intermedius. Radix motoris
mempersarafi otot-otot wajah, kulit kepala dan telinga, m. Buccinator, m.
Platysma, m. Stylohyoideus dan venter posterior m. Digastricus.
Perjalanan nervus facialis
Radix motoris dan sensoris n. Facialis muncul dari permukaan anterior
otak di antara pinggir bawah pons dan medulla oblongata. Semua berjalan ke
lateral dan depan di dalam fossa cranii posterior bersama dengan n.
Vestibulocohclearis menuju meatus acusticus internus. Pada dasar meatus,
saraf ini masuk ke dalam canalis facialis dan berjalan lateral di atas
vertibulum labyrinthus sampai saraf ini mencapai dinding medial cavum
tympani. Di sini, saraf membesar membentuk ganglion geniculatum.

27
Kemudian saraf membelok tajam ke belakang di atas promontorium. Nukleus
nervus facialis terletak di lateral bawah pons, sehingga lesi di daerah batang
otak akan menimbulkan disfungsi nervus facialis.
Sesampainya di dinding posterior cavum tympani, saraf ini membelok
ke bawah pada sisi medial aditus adantrum. Kemudian berjalan turun pada
dinding posterior cavum tympani, di belakang pyramis, dan akhirnya keluar
melaluli foramen stylomastoideum
Cabang-cabang penting Pars Intrapetrosa N. Facialis
 N. Petrosus Majoris
Dicabangkan dari nervus facialis pada ganglion geniculatum. Saraf ini
mengandung serabut-serabut praganglionik parasimpatis yang berjalan ke
ganglion pterygopalatinum, dan dari sini dilanjutkan melalui N.
Zygomaticus dan N. Lacrimlais ke glandula lacrimalis. Serabut
postganglionik berjalan melalui n. Nasalis dan n.palatinus ke kelenjar
mucosa hidung dan palatum.
 Saraf ke M. Stapedius
Mempersarafi otot di dalam pyramis
 Chorda Tympani
Berasal dari nervus facialis tepat di atas foramen stylomastoideum. Chorda
tympani terletak di dalam celah antara membrana mucosa dan lapisan
fibrosa membrana tympani. Chorda Tympani mengandung serabut-serabut
pengecap dari membrana mucosa dua pertiga bagian anterior lidah (tidak
termasuk papillae circumvallatae) dan dasar mulut. Saraf ini juga
mengandung serabut-serabut sekreto-motorik parasimpatis praganglionik
yang menuju ke ganglion submandibularis dan kemudian dilanjutkan ke
glandula submandibularis dan sublingualis.

28
Perjalanan Nervus Facialis

29
b. Nucleus Salivatorius Superior (parasimpatis)

Nervus facialis sebenarnya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam


perjalananya ke tepi nervuls intermedius menggabungkan padanya. Nervus
intermedius tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius
dan serabut yang menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian deran lidah.

Nervus Facialis mempunyai empat buah inti yaitu :

 Nukleus Facialis untuk saraf Somatomotoris


 Nukleus Salivatorius Superior untuk saraf Viseromotoris
 Nukleus Solitarius Untuk saraf Viserosensoris
 Nukleus Sensoris Trigeminus untuk saraf Somatosensoris

Jalur saraf parasimpatis untuk mengatur pengeluaran saliva terutama


dikontrol oleh sinyal saraf parasimpatis sepanjang jalan dari nukleus salivatorius
superior dan inferior batang otak (Guyton dan Hall, 2008).
Jalur saraf parasimpatis untuk mengatur pengeluaran saliva terutama
dikontrol oleh sinyal saraf parasimpatis sepanjang jalan dari nukleus salivatorius
superior dan inferior batang otak (Guyton dan Hall, 2008).
Obyek-obyek lain dalam mulut dapat menggerakkan refleks saliva dengan
menstimulasi reseptor yang dipantau oleh nervus trigeminal (V) atau inervasi
pada lidah dipantau oleh nervus kranial VII, IX, atau X. Stimulasi parasimpatis
akan mempercepat sekresi pada semua kelenjar saliva, sehingga menghasilkan
produksi saliva dalam jumlah banyak (Martini, 2006; Tortora dan Derrickson,
2009)

30
Nucleus salivatorius dari nervus facialis merupakan inti saraf kranial
visceromotor yang terletak pada pons, di medial dari motor VII (kurang lebih
pada pertemuan medulla dan pons dan akan terkesitasi oleh rangsangan taktil,
pengecapan lidah, rongga mulut, dan faring). Beberapa serabut preganglionik
berjalan sepanjang serabut petrosus besar melalui kanal pterygoideus (di mana
mereka bergabung dengan serabut postsinaptik dari saraf petrosus dalam dan
disebut saraf vidian) dan sinaps di ganglion pterygopalatina dimana serabut
postganglion, postsinaptik dan serabut efferent berjalan menginervasi kelenjar
lakrimal dan kelenjar mukosa hidung, palatum, faring, sinus paranasal, dan
glandula submaksilar serta sublingual dan lakrimalis. Serat parasimpatis
preganglionik juga didistribusikan sebagian melalui chorda tympani dan saraf
lingual ganglion submandibula, serabut postganglionik (vasodilator) ke kelenjar
submandibular dan kelenjar sublingual. Akson parasimpatis preganglionik timbul
dari sel-sel di ujung nukleus salovatorius superior dalam ganglion submandibular.
Serat postganglionik pendek melalui kelenjar sublingual dan submandibular yang
mana mereka merangsang sekresi. Akson parasimpatis preganglionik yang timbul
dari sel-sel di dalam inti lakrimal berakhir pada ganglion pterygopalatina. Akson
postganglionik kemudian melalui kelenjar lakrimal untuk merangsang sekresi.
Nukleus salivatorius inferior terletak di sebelah medial nucleus ambiguus di

31
medula. Sebuah lesi yang melibatkan nukleus ini akan mengakibatkan hilangnya
air liur dari kelenjar parotis ipsilateral. Sebaliknya, pada nukleus salivatorius
superior dan nukleus lacrimalis yang terletak pada medial motor VII akan
mengalami sekresi air liur berlebih.

1. Pons 6. Dorsal vagal nucleus


2. Cerebellum 7. Nucleus tractus solitarius
3. Salivatory Nucleus 8. Spinal nucleus of accessory nerve
4. Nucleus ambiguus
5. Hypoglossal nucleus

32
c. Nucleus Solitaries (general sensorik)

Kelompok sel di batang otak yang menerima informasi viscero-


sensory disebut nukleus solitarius. Terletak lateral dorsal dari motor X
(preganglionik,parasympatic CN X), dan di samping (kadang-kadang
mengelilingi, tapi ini sulit untuk dilihat/diamati). Berfungsi menghantar
impuls dari alat pengecap di 2/3 bagian depan lidah (bersama-sama dengan
N.V cab. Ramus mandibularis; sedangkan 1/3 bagian posterior oleh N.IX).
Bagian cauda dari nukleus solitarius menerima masukan dari viscera (sel
tubuh di inferior ganglion X) dan dari sinus karotis (baroreseptor, sel di
inferior ganglion IX). Proses-proses sentral berjalan dalam caudal fasciculus
solitarius dan sinaps di kauda nukleus solitarius. Bagian rostral kompleks
soliter menerima input rasa dari proses pusat sel dalam geniculate ganglion
VII, ganglion inferior IX (pengecap di bagian 1/3 lidah) dan ganglion inferior
X (tersebar pengecap di epiglotis). Akson yang timbul dari sel-sel dalam
solitarius nukleus rostral terdiri dari saluran solitariothalamic (STT). Lesi
porsi rostral dari nukleus dan tractus solitarius mengakibatkan hilangnya satu
setengah dari lidah. Lesi dari S.T.T. juga menyebabkan hilangnya rasa satu-
setengah dari lidah.

33
d. Nucleus gustatorius superior (special sensoris)
Nervus fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi
untuk motorik, sensorik, somatik, dan aferen eferen visceral. Nervus fasialis
memiliki dua subdivisi, yang pertama adalah yang mempersarafi otot ekspresi
wajah kemudian yang kedua memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu
intermediate yang membawa aferen otonom, somatik, dan eferen otonom.

Salah satu bagian dari nervus intermediate adalah serat aferen


gustatorius. Serat aferen pada gustatorik berasal dari ganglion geniculatum
yang berupa sel pseudounipolar dari ganglion spinalis, sebagian lagi berasal
dari papil lidah dua pertiga anterior. Serat aferen tersebut berjalan bersama
dengan nervus lingualis ( cabang nervus mandibulari V3) menuju ke korda
timpani kemudian ke ganglion geniculatum menjadi nervus intermedius dan
menuju ke nukleus solitarius. Nukleus tersebut menerima impuls dari nervus
glosofaringeal (sepertiga posterior lidah) dan nervus vagus (dari epiglotis).

34
Karenayang berperan dalam sistem pengecapan terdiri dari 3 saraf yang
berbeda maka kehilangan pengecapan total (ageusia) jarang terjadi.

4. Hubungan antara nucleus-nucleus n.VII dengan korteks motoris, sensoris, ganglia


basalis, dan sistem limbika (angela shinta)

Korteks Motoris dan Sensoris

Nukleus motorik berhubungan dengan korteks motoris dan sensoris dalam


mensarafi otot-otot wajah, otot-otot telinga, M. Stapedius, venter posterior M.
Digastricus, dan M. styloideus. Nukelus ini memiliki regio dorsal dan ventral. Nukleus
pada regio dorsal menginnervasi otot wajah bagian atas dan bagian ventral
menginnervasi wajah bagian bawah.

Nukleus motorik ini mendapat input dari korteks motorik primer yang terletak
pada lobus frontalis. Neuron motorik bagian atas menggunakan jalur yang disebut
corticobulbar tract. Sedangkan neuron motorik bagian dorsal dari nukleus motorik
mendapat input dari kedua korteks. Hal ini menghasilkan kedua sisi otak mengontrol
otot pada bagian atas wajah sedangkan bagian kanan otak mengontrol bagian bawah
kiri wajah dan bagian kiri otak mengatur bagian kanan bawah wajah.

Nukleus intermedius yang merupakan bagian dari nervus fascialis juga


dipengaruhi oleh korteks sensoris.

Ganglia Basalis

Ganglia basalis berfungsi untuk mengatur aktivitas motorik yang kompleks


bersama dengan korteks serebri dan traktus kortikospinalis., oengaturan kognitif dari
aktivitas motorik (nukleus kaudatus), menentukan kecepatan gerakan yang harus
dilakukan mengatur berapa besar gerakan tersebut harus dilakukan. Hal ini menyatakan
bahwa nukelus-nukleus yang berhubungan dengan aktivitas motorik dan gerakan,
dipengaruhi oleh ganglia basalis.

35
Sistem Limbika

Sistem limbika merupakan sistem yang mengatur mekanisme perilaku dan


motivasi pada otak (sensoris). Susunan limbik berkaitan dengan instink dan emosi,
hipotalamus akan mnimbulkan perubahan melalui pengenadalian atas susunan endokrn
dan susunan otonom. Yang termasuk dalam sistem limbika adalah hipotalamus,
hipokampus, nucleus amygdala, dan korteks limbik.

Secara singkat fungsi hipotalamus adalah berkaitan dengan fungsi vegetatif dan
endokrin (contoh : pengaturan cairan tubuh, pengaturan suhu tubuh, pengaturan
gastrointestinal, dll.) serta memberi efek perilaku emosional (marah, kenyang, takut,
terhukum, dll.).

Hipokampus merupakan bagian korteks serebri yang memanjang, melipat ke


dalam untuk membentuk lebih banyak bagian dalam ventrikel lateralis. Hampir setiap
jenis pengalaman sensorik menyebabkan aktivasi sedikitnya beberapa bagian
hipokampus dan menyebarkan sinyal-sinyal keluar menuju talamus anterior,
hipotalamus, dan bagian lain sistem limbik, terutama melalui fornix. Jadi, hipokampus
merupakan saluran tambahan yang dilewati sinyal sensorik yang masuk, yang dapat
memluai reaksi perilaku dengan tujuan yang berbeda. Hipokampus menjalarkan sinyal
atau sinyal-sinyal yang “dipikirkan” berulang-ulang hingga menjadi permanen.

Amigdala berfungsi untuk pengaturan rasa takut, area perilaku kesadaran yang
bekerja pada tingkat bawah sadar. Amigdala membuat respons perilaku seseorang
sesuai dengan setiap keadaan.

Korteks Limbik merupakan bagian sistem limbik yang paling sedikit


dimengerti. Korteks ini merupakan area asosiasi serebral untuk mengatur perilaku. Pada
korteks temporalis anterior, dapat dijumpai adanya asosiasi pengecapan (gustatori) dan
penghidu (olfaktori). Hal ini berhubungan dengan nukleus gustatorius superior yang
ada pada nervus facialis.

36
5. Fisiologi Konduksi Syaraf dan Innervasi Otot Serat Lintang dan Patologi Konduksi
Syaraf (Neuropraksis)

Fisiologi Konduksi Saraf

 Serabut Saraf Bermielin dan tidak Bermielin

Dalam potongan melintang saraf kecil umum, dan memperlihatkan banyak


serabut saraf besar yang membentuk sebagian besar daerah potongan melintang.
Serabut besar tersebut bermielin, dan serabut kecil tidak bermielin. Rata-rata batang
saraf terdiri atas dua kali lebih banyak serabut yang tidak bermielin daripada
serabut yang bermielin.

Dalam serabut mielin yang tipikal, terdapat ini bagian tengah serabut yang
disebut akson, dan membran akson merupakan membran yang sebenarnya
menghantarkan potensial aksi. Bagian tengah akson dipenuhi dengan aksoplasma,
yang merupakan cairan intrasel kental. Yang mengelilingi akson adalah selubung
mielin, yang seringkali lebih tebal daripada aksonnya sendiri. Kira-kira satu kali
setiap 1-3 milimeter sepanjang akson, selubung mielin diselingi oleh nodus Renvier.

Selubung mielin di sekeliling akson dibentuk oleh sel-sel Schwann dengan


cara sebagai berikut : Mula-mula membran sel Schwann akan menyelubungi akson.
Selanjutnya sel Schwann akan mengelilingi akson beberapa kali, dan membuat
banyak lapisan membran sel Schwann yang terdiri atas substansi lipid sfingomielin.
Substansi ini adalah insulator listrik yang baik sekali dan mengurangi aliran ion
yang melalui membran kira-kira 5000 kali lipat. Pada sambungan antara setiap dua
sel Schwann yang berurutan di sepanjang akson, terdapat daerah kecil yang tidak
terisolasi dengan panjang hanya 2-3 milimeter dimana ion-ion masih dapat mengalir
dengan mudah melalui membran akson di antara cairan ekstrasel dan intrasel di
dalam akson. Daerah inilah yang disebut nodus Renvier.

37
 Konduksi “Melompat” (saltatory conduction) pada Serabut Bermielin dari
Nodus ke Nodus

Walaupun hampir tidak ada ion-ion dapat mengalir melewati selubung


mielin yang tebal pada saraf bermielin, ion-ion itu dapat mengalir dengan mudah
melewati nodus Renvier. Oleh karena itu, potensial aksi timbul hanya pada nodus.
Namun potensial aksin tersebut dikonduksikan dari nodus ke nodus yang disebut
konduksi melompat (saltatory). Artinya, aliran arus listrik mengalir melalui
sekeliling cairan ekstrasel di luar selubung mielin dan melalui aksoplasma di dalam
akson dari nodus ke nodus, yang merangsang nodus-nodus secara berurutan satu per
satu. Jadi, impuls saraf melompat-lompati serabut, yang merupakan asal dari istilah
“melompat” (saltatory).

Perjalanan secara melompat ini mempunyai makna tersendiri berdasarkan


dua alasan berikut. Pertama, dengan menyebabkan proses depolarisasi melompati
interval yang cukup jauh di sepanjang sumbu serabut saraf, mekanisme ini
meningkatkan kecepatan penghantaran saraf pada serabut bermielin sebesar 5-50
kali lipat. Kedua, konduksi melompat akan menghemat energi akson karena hanya
nodus saja yang berdepolarisasi, yang memungkinkan kehilangan ion-ion sampai
100 kali lebih sedikt daripada yang seharusnya terjadi seperti yang diperlukan, dan
karena itu hanya membutuhkan sedikit metabolisme untuk menetapkan kembali
perbedaan konsentrasi natrium dan kalium di antara membran setelah timbulnya
serangkaian impuls saraf.

Gambaran lain dari penjalaran secara melompat pada serabut bermielin yang
besar adalah sebagai berikut : insulasi yang baik sekali yang disediakan oleh
membran mielin dan penurunan kapasitansi membran sebesar 50 kali lipat
memungkinkan terjadinya repolarisasi dengan sangat sedikit pemindahan ion.

38
 Kecepatan Konduksi pada Serabut Saraf
Kecepatan konduksi pada serabut saraf bervariasi dari 0,25 meter per detik
pada serabut tak bermielin yang sangat kecil sampai sebesar 100 meter per detik
(panjang lapangan sepak bola dalam satu detik) pada serabut bermielin yang sangat
besar.

Konduksi Aksonal

Penjalaran impuls saraf terjadi di sepanjang axon. Jika axon terkena


rangsangan pada pusatnya, axon itu akan mengeluarkan impuls ke salah satu arah,
yaitu menuju badan sel atau menjauhi badan sel. Gerakan impuls saraf ini
bersifatelektrokimiawi. Selaput tipis yang menghubungkan protoplasma sel
dayatembusnya tidak sama terhadap berbagai jenis muatan ion listrik yang
biasanyamengapung dalam protoplasma dan cairan sekeliling sel. Dalam keadaan
istirahat,selaput sel mengeluarkan muatan ion sodium positif (Na+) dan memberi
jalanmasuk ion potassium (K+) serta klorida(Cl-). Akibatnya terdapat kekuatan
listriklemah, atau perbedaan voltase di seberang selaput.Di bagian dalam sel saraf
lebihnegatif daripada di bagian luar.Keadaan demikian disebut potensi istirahat
(restingpotential).Jika axon terkena rangsangan, kekuatan elektrik di seberang
selaputberkurang tepat pada waktu adanya rangsang. Jika pengurangan potensi itu
cukup besar, daya tembus selaput sel mengalami perubahan sehingga ion
sodiummemasuki sel, proses ini disebut depolarisasi, dan sekarang bagian luar
selaput selmenjadi lebih negatif dibanding dengan bagian luar sel. Fenomena ini
disebutpotensial aksi(action potential) sebagai lawan dari potensi istirahat.

Transmisi Sinaps

Hubungan sinaps antar neuron merupakan hal yang sangat penting karena
disanalah sel saraf mengantar isyarat sebuah neuron dilepaskan atau dibakar,
ketikastimulus menyentuhnya melalui banyak axon yang melampaui tahap
gerbangtertentu.Aksi potensial pada neuron mengikuti asas “semuanya atau tidak
samasekali” (all or none).Terbakar atau tidaknya neuron itu tergantung pada
potensibertahap yang ada dalam dendrit dan badan sel. Potensi bertahap itu

39
digerakan olehrangsangan dari neuron di seberang sinaps, dan ukuran potensi itu
berubahmengikuti jumlah dan jenis kegiatan yang masuk.Ketika jumlah potensi
bertahapmenjadi cukup besar, depolarisasi yang memadai dikeluarkan untuk
menggerakanaksi potensial yang bersifat “all or none”, sehingga informasi dapat
dihantarkan.Misalnya neuron yang menanggapi peregangan otot akan terbakar
dalam ukuranyang sesuai dengan jumlah peregangan, makin panjang peregangan
makin banyakneuron yang terbakar.

Fisiologi Innervasi Otot Serat Melintang (Otot Rangka)

 Fisiologi Anatomi Otot Rangka

Satuan otot kerangka (skelet) umumnya disebut “serabut” (fibers) dan bukan
sel. Bentuk serabut silindris dan memiliki banyak inti sel yang terletak di tepi,
berbatasan dengan sarkolema.Pada manusia panjang serabut berkisar antara 3-4 cm,
sedangkan pada hewan dapat mencapai 12 cm. Diameter berkisar antara 10-150µ.

 Sarkolema, mengisi seluruh penjuru serabut di luar inti, organoid


(mitokondria, RE, ribosom, miofibril) dan paraplasma (glikogen, lipida,
mioglobin).
 Retikulum Sarkoplasmik, berupa jalinan sisterna atau buluh mengitari
miofibril tanpa ribosom (retikulum agranular)

Otot rangka pada mikroskop cahaya akan tampak garis-garis melintang


berupa garis terang dan garis gelap yang disebut sebagai susunan miofibril. Setiap
miofibril memiliki ratusan miofilamen yang terdiri dari filamen aktin dan filamen
miosin.

 Garis gelap bersifat anisotrop = cakram A. Cakram A dibelah oleh garis H


 Garis terang bersifat isotrop = cakram I. Cakram I dibelah oleh garis Z
 Sarkomer yaitu unit fundamental untuk berkontraksi sepanjang tiap miofibril
(daerah antara dua garis Z)
 Innervasi Otot Rangka

40
Secara embrionik, otot rangka berkembang dari mesoderm yaitu mesoderm
somatik dan mendapatkan inervasi dari saraf cerebrospinal. Aktivitasnya bersifat
volunter (dapat dikontrol).

Neuropraksis

Neuropraksis merupakan jenis lain dari hambatana konduksi lokal dimana


kontuinitas akson masih utuh dan tidak terdapat degenerasi, tetapi konduksi pada
saraf yang tertekan pulih kembali setelah beberapa minggu/bulan. Neuropraksis
biasanya merupakan lesi campuran. Biasanya pada neuropraksis terdapat paralisis
motoric total tetapi fungsi sensorik dan simpatik masih baik, fakta ini berdasarkan
pada beberapa lintasan aferen dan simpatetik dihantarkan oleh serabut kecil yang
tidak bermielin.

Patologi Neuropraksis

Neuropraksis merupakan jenis lain dari hambatan konduksi local dimana


kontinuitas akson masih utuh dan tidak terdapat degenerasi, tetapi konduksi pada
saraf yang tertekan pulih kembali setelah beberapa minggu atau bulan, istilah ini
dikemukakan oleh Saddon, lesi jenis ini dianggap akibat akut dari kerusakan myelin
local di nodus ranvier seperti yang telah dilaporkan oleh Deny-Brown serta Ocboa
dkk. Hambatan masih ada sampai perbaikan myelin local memulihkan eksibilitas
local, suatu proses yang biasanya perlu waktu beberapa minggu atau bulan. Karena
serabut besar biasanya rentan terhadapkompresi daripada serabut yang kecilmaka
neuropraksisyang sesungguhnya biasanya merupakan lesi campuran. Sesuai dengan
pengamatan seddon, biasanya pada neuropraksis didapatkan paralisis motorik total
tetapi fungsi sensorik dan simpatik dihantarkan oleh serabut saraf kecil yang tidak
bermielin.

41
6. Neurofisiologi dari Reflex yang Melibatkan Korneal Reflex, Blinking Reflex to Sound,
Hyperaccoustic Reflex
NEUROFISIOLOGI REFLEKS

Refleks Kornea (Refleks Mengedip)

 Refleks Mengedip

Refleks kornea, juga dikenal sebagairefleks berkedip atau sebuah kedipan


kelopak mata secara involuntar. Banyak sekali ilmuan mengemukakan teori
mengenai mekanisme refleks kedip seperti adanya pacemaker atau pusat kedip yang
diregulasi globus palidus atau adanya hubungan dengan sirkuit dopamin di
hipotalamus.Pada penelitian Taylor (1999) telah dibuktikan adanya hubungan
langsung antara jumlah dopaminedi korteks dengan mengedip spontan dimana
pemberian agonis dopamin D1 menunjukkan peningkatan aktivitas mengedip
sedangkan penghambatannya menyebabkan penurunan refleks kedip mata. Refleks
kedip mata dapat disebabkan oleh hampir semua stimulus perifer, namun dua
refleks fungsional yang signifikan adalah (Encyclopædia Britannica, 2007):

(1) Stimulasi terhadap nervus trigeminus di kornea, palpebra dan konjungtiva yang
disebut refleks kedip sensoris atau refleks kornea. Refleks ini berlangsung cepat
yaitu 0,1 detik.

(2) Stimulus yang berupa cahaya yang menyilaukan yang disebut refleks kedip
optikus. Refleks ini lebih lambat dibandingkan refleks kornea.

Refleks kornea dimediasi oleh:


1. cabang nasociliary dari cabang ophthalmic (V1) dari saraf kranial ke-5 (saraf
trigeminal) yang menstimulus kornea, palpebra, dan konjungtiva. Cabang ini
merupakan komponen saraf sensorik. (serat saraf aferen)
2. cabang temporal dan zygomatic darisaraf kranial ke-7 (saraf wajah) yang
menstimulus otot-otot orbikularis okuli dan memulai respon motorik. Dan cabang
ini merupakan komponen saraf motorik (serat saraf eferen)
3. mungkin dimediasi oleh medularry center.

42
Sedangkan refleksoptikdimediasi olehkorteks visual, yang beradadi lobus
oksipital otak. Refleks tidak terjadipada bayi di bawah usia 9 bulan.
 Ritme Normal Kedipan Mata
Pada keadaan terbangun, mata mengedip secara reguler dengan interval
dua sampai sepuluh detik dengan lama kedip selama 0,3-0,4 detik. Hal ini
merupakan suatu mekanisme untuk mempertahankan kontinuitas film
prekorneal dengan cara menyebabkan sekresi air mata ke kornea. Selain itu,
mengedip dapat membersihkan debris dari permukaan okuler. Sebagai
tambahan, mengedip dapat mendistribusikan musin yang dihasilkan sel goblet
dan meningkatkan ketebalan lapisan lipid (McMonnies, 2007). Iwanami (2007)
mengemukakan bahwa muskulus Riolan dan muskulus intertarsal dipercaya
berhubungan dengan sekresi kelenjar meibom.
Menurut Hollan (1972), frekuensi mengedip berhubungan dengan status
mental dan juga diregulasi oleh proses kognitif. Kara Wallace (2006) pada
Biennial International Conference on Infant Studies XVth di Jepang (Abelson,
2007) menyatakan bahwa berbicara, menghapal, dan perhitungan mental
(mental arithmatic) dihubungkan dengan peningkatan frekuensi mengedip.
Sedangkan melamun, mengarahkan perhatian dan mencari sumber stimulus
diasosiasikan dengan penurunan frekuensi mengedip mata. Namun, kedipan
mata dapat bervariasi pada setiap aktivitas seperti membaca, menggunakan
komputer, menonton televisi, mengendarai alat transportasi, dan memandang.
Frekuensi mengedip juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti
keletihan, pengaruh medikasi, stres dan keadaan afektif (Doughty, 2001).
 Blink Reflex to sounds (Refleks Mengedip)
Suara menginduksi respon pada otot orbicularis oculi yang dapat
diisolasi dan terbatas pada otot ini, atau mungkin termasuk leher dan otot-otot
ekstremitas secara umum terbatas pada orbicularis oculi, itu dikenal sebagai
refles berkedip akustik. Beberapa penulis menganggap ABR menjadi ekspresi
paling dari respon kejut umum (Wilkins et al., 1986). Namun, kekhasan
fisiologis yang berbeda telah dijelaskan berkaitan dengan kebiasaan dan latency
dari ABR dan reaksi kaget (Brown et al., 1991). Penjelasan spesifik telah

43
diusulkan untuk ABR dan reaksi kaget. Tetapi, dalam istilah praktis, jika dua
tanggapan yang berbeda yang dihasilkan oleh rangsangan suara dalam otot
orbicularis oculi, mereka tidak dapat dengan mudah dibedakan pada individu
tunggal dalam praktek rutin. Perkiraan dari respon orbicularis oculi terhadap
suara yaitu diantara 40 dan 60 ms.
 Refleks akustik
Refleks akustik (atau refleks stapedius, refleks redaman, atau refleks
pendengaran) adalah kontraksi otot tak sadar yang terjadi di telinga tengah
dalam menanggapi rangsangan suara dengan intensitas tinggi.
Ketika adanya stimulus berupa suara dengan intensitas tinggi, otot
stapedius menegangkan rantai tulang pendengaran dengan menarik stapes di
telinga tengah menjauh dari oval window di koklea dan otot tensor timpani
menegangkan rantai tulang pendengaran dengan membebani gendang telinga
ketika menarik maleus menuju telinga tengah. Refleks ini mengurangi transmisi
energi getaran ke koklea, di mana energi tersebut diubah menjadi impuls listrik
untuk diproses oleh otak. Akustik refleks biasanya hanya terjadi pada intensitas
yang relatif tinggi, aktivasi untuk suara tenang dapat menunjukkan disfungsi
telinga. Jalur yang terlibat dalam refleks akustik kompleks dan berpotensi dapat
melibatkan rantai tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes), koklea (organ
mendengar), saraf pendengaran, batang otak dan saraf wajah. Bahkan ini
merupakan penyederhanaan. Akibatnya, jika tidak adanya pemeriksaan refleks
akustik, mungkin tidak konklusif dalam mengidentifikasi sumber masalah.
Jadi, bila dilihat berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy
dapat berbeda. Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadigangguan komplit
yang menyebabkan paralisis semua ototekspresi wajah. Saat menutup kelopak
mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu,mata
dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu
muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan
dengan makananyang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan
wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.

44
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani
tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi
di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga
anterior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat
terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada
ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi
serta dapat melibatkan saraf kedelapan (n.vestibulokoklearis).

7. Neuropati Akibat Infeksi Virus, Khususnya Herpes Simpleks dan Herpes Zoster

Neuropati adalah suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di mana serat-
serat saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera atau penyakit. Hal ini sering
disebut neuropati perifer karena mempengaruhi sistem saraf perifer. Ini adalah jaringan
saraf yang berjalan keluar dari otak dan sumsum tulang belakang (yang bersama-sama
membentuk sistem saraf pusat) dan membawa impuls dari dan ke seluruh tubuh, seperti
tungkai dan organ. Saraf perifer bertanggung jawab untuk indra tubuh dan gerakan.
Neuropati perifer ini juga terjadi pada penderita Bell’s palsy. Salah satu penyebab dari
neuropati adalah virus, khususnya herpes simpleks dan herpes zoster.

Reaktivasi Virus Varicella zoster (VZV; human-herpesvirus 3) menyebabkan


penyakit herpes zoster. Herpes zoster biasanya diawali dengan fase prodromal (gejala
pendahulu) ditandai dengan nyeri, gatal, parestesi (sensasi abnormal seperti kesemutan
danrasa terbakar), disestesi (distorsi indera apa saja, terutama indera peraba), dan
sensitif terhadap sentuhan pada satu sampai tiga dermatom. Beberapa hari kemudian
akan tampak ruam makulopapular unilateral pada area yang terkena, yang kemudian
berkembang menjadi vesikel. Zoster dapat menyerang semua level neuroaksis.
Kebanyakan akan muncul pada dada, diikuti dengan lesi di wajah, secara khas akan
mengikuti distribusi saraf oftalmikus trigeminal. Pada pasien dengan status
imunnocompromised, lesi bisa melibatkan semua dermatom. Herpes zoster oftalmikus
seringkali disertai dengan keratitis (peradangan kornea) zoster dan bisa menyebabkan
kebutaan. Zoster yang menyerang ganglion genikulatum saraf fasialis dapat

45
menyebabkan paralisis otot wajah ipsilateral, muncul ruam pada kanalis euditoris
eksterna. Kombinasi ini dikenal dengan Ramsay Hunt syndrome. 3
Virus yang paling dekat kekerabatannya dengan human herpesvirus adalah virus
herpes simpleks.
Burgess et al. mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion
genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelahmengalami
Bell’s palsy.
Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk
mengamplifikasi sekuens genom virus,dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan
endoneuralsekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’spalsy yang
dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada
wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes
simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis
menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.
Adanya virus herpes zoster otikus pada penderita Bell’s palsy bila ditemukan
adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau
pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster;
sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan
miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata
kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin
(tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis
bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan
tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa,
dan kadang hiperkalsemia.

46
8. Penyakit Akibat Herpes Simpleks dan Virus Herpes Zoster
Varicella
Varicella merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Varicella
zoster (VZV) yang dapat bermanifestasi menjadi varicella (chickenpox) dan reaktivasi
latennya menimbulkan herpes zoster (shingles). Gejala klinis varicela dapat ditemukan
pada kulit kepala, muka, badan, biasanya sangat gatal, berupa makula kemerahan, yang
kemudian dapat
berubah menjadi lesi-
lesi vesikel.

Sedangkan,
herpes zoster umumnya
menimbulkan lesi
vesikular yang
terdistribusi unilateral
sesuai dengan
perjalanan saraf sensori
terinfeksi. Diagnosis varicella dapat ditegakkan secara klinis maupun laboratorium
dengan teknik virologi dan serologi. Pencegahan yang dapat digunakan terhadap
penyakit varicella adalah vaksinasi dan immunoglobulin. Obat pilihan utama terhadap
penyakit varicella dan herpes zoster adalah antivirus. Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah infeksi bakteri, perdarahan, dan gangguan saraf.

 Manifestasi Klinis
Virus Varicella zoster (VZV) menyebabkan dua manifestasi penyakit yang
berbeda, yaitu varicella dan herpes zoster. Infeksi primer dari VZV akan
bermanifestasi menjadi penyakit varicella atau chickenpox, yang secara umum
dapat terlihat pada anak usia 1 sampai 9 tahun. Infeksi primer VZV pada dewasa
biasanya akan lebih berat dan dapat disertai pneumonia interstisial. Begitu pula
infeksi Varicella zoster pada penderita immunocompromised, manifestasinya akan
lebih berat dan dapat terjadi diseminasi.

47
Penyakit varicella ditandai dengan demam yang disertai ruam pada kulit
atau terkadang mukosa. Nyeri kepala, malaise, dan nafsu makan menurun seringkali
dikeluhkan pasien. Ruam diawali dengan makula, kemudian secara cepat berubah
menjadi papul-papul, yang kemudian diikuti munculnya vesikel dan krusta pada
lesi. Krusta akan terkelupas setelah 1 sampai 2 minggu. Virus Varicella zoster
merupakan virus yang sangat infeksius dan transmisinya bisa melalui kontak
langsung dengan lesi atau dari aerosol pernafasan pasien terinfeksi. Komplikasi
pada sistem saraf pusat termasuk ataksia serebellar, meningitis, meningoensefalitis,
dan vaskulopati.
Breakthrough varicella merupakan infeksi yang terjadi 2 minggu pasca
infeksi primer ataupun pasca immunisasi dengan ditandai munculnya kembali
ruam-ruam kulit (bentuk makulopapular) tanpa disertai demam, diperkirakan
disebabkan oleh VZV tipe virulen. Progresif Varicella adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan koagulopati, perdarahan hebat, dan terus munculnya lesi-lesi baru.
Timbul rasa sakit yang hebat di daerah abdominal disertai dengan perdarahan pada
vesikel. Faktor resiko keadaan ini adalah penderita kongenital dengan
imunodefisiensi, keganasan, kemoterapi, dan jumlah limfosit <500 sel/mm.
Sindroma Varicella Kongenital diketahui hanya 2% fetus dengan ibu terinfeksi
varicella yang menampilkan VZV embriopati pada usia 20 minggu kehamilan.
Fetus yang terinfeksi pada usia 6-12 minggu dapat menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan ekstremitas. Infeksi pada fetus 16-20 minggu dapat menyebabkan
gangguan pada mata dan otak. Infeksi pada fetus juga dapat menyebabkan
gangguan pada saraf simpatis pada servikal dan lumbosacral sehingga
menyebabkan sindrom horner dan disfungsi dari uretra dan sfingter anal. Gejala
yang khas biasanya terlihat pada kulit, ekstremitas, mata, dan otak. Gejala pada
kulit sikatriks, malformasi ekstremitas. Kelainan pada mata berupa katarak; serta
afasia bila mengenai otak secara keseluruhan Pada pemeriksaan histologi ditemukan
adanya proses nekrosis pada otak. Diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan
DNA virus dengan metode PCR.

Reaktivasi VZV menyebabkan penyakit herpes zoster. Herpes zoster


biasanya diawali dengan fase prodromal ditandai dengan nyeri, gatal, parestesi,

48
disestesi, dan sensitif terhadap sentuhan pada satu sampai tiga dermatom. Beberapa
hari kemudian akan tampak ruam makulopapular unilateral pada area yang terkena,
yang kemudian berkembang menjadi vesikel. Zoster dapat menyerang semua level
neuroaksis. Kebanyakan akan muncul pada dada, diikuti dengan lesi di wajah,
secara khas akan mengikuti distribusi saraf oftalmikus trigeminal. Pada pasien
dengan status imunnocompromised, lesi bisa melibatkan semua dermatom. Herpes
zoster oftalmikus sering kali disertai dengan keratitis zoster dan bisa menyebabkan
kebutaan. Zoster yang menyerang ganglion genikulatum saraf fasialis dapat
menyebabkan paralisis otot wajah ipsilateral, muncul ruam pada kanalis euditoris
eksterna. Kombinasi ini dikenal dengan Ramsay Hunt syndrome.

Bell’s Palsy
Bell’s palsy terjadinya proses inflamasi akut pada nervus fascialis di daerah tulang
temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Terjadinya proses inflamasi pada n.
fascialis menyebabkan peningkatan diameter n. fascialis sehingga terjadi kompensasi
dari saraf tersebut. Pada scenario Safira dinyatakan pernah mengalami infeksi varicella
yang dapat bermanisfestasi menjadi varicella chickenpox dan reaktivasi herpes zoster,
sedangkan berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN (lower motor neuron).
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan
pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun disitu.Tanda-tanda lain dari Bell's Palsy adalah terjadi asimetri
pada wajah, rasa baal/kebas di wajah, air mata tidak dapat dikontrol dan sudut mata
turun. Selain itu, terjadi kehilangan reflex konjungtiva sehingga tidak dapat menutup
mata, rasa sakit pada telinga terutama di bawah telinga, , dan kehilangan rasa di bagian
depan lidah.

49
9. Proses Penyembuhan pada Kerusakan Serabut Syaraf Tepi

Sunderland membagi derajat kerusakan serabut saraf menjadi 5 derajat. Dikutip


dari Wackym dll, menurut Sunderland dan Seddon, kerusakan saraf dibagi 5 derajat
atau tingkatan yaitu:
Derajat 1. Neuropraksia. Kompresi tanpa adanya kehilangan struktur, penyembuhan
sempurna.
Derajat 2. Aksonotmesis. Transeksi akson dengan endoneurium yang intak. Degenerasi
Akson: regenerasi berlangsung cepat dan penyembuhan baik,
Derajat 3. Neurotmesis. Kehilangan lapisan serat saraf (Akson dan Endoneurium)
dengan perineurium yang intak, dan penyembuhan inkomplit dengan sinkinesis,
Derajat 4. Neurotmesis dengan kerusakan lapisan perineurium, dan penyembuhan
sangat sulit.
Derajat 5. Neurotmesis dengan kerusakan total. Tidak ada penyembuhan spontan.

Degenerasi Saraf
Bila terjadi trauma yang menyebabkan luka pada saraf fasialis, maka terjadi 4
proses di 4 lokasi yang berbeda, yaitu di badan sel, di bagian proksimal serabut saraf
yang terluka, di bagian distal serabut yang terluka dan di otot.
Di badan sel, perubahan akan terjadi dalam 7 jam setelah trauma. Perubahan ini
sebenarnya tidak tepat disebut degenerasi melainkan suatu perubahan reaktif, dimana
terjadi proses kromatolisis atau reaksi retrograde sebagai reaksi akson terhadap trauma.
Proses kromatolisis akan selesai dalam 10 sampai 21 hari.
Di bagian proksimal serabut saraf yang terluka, dalam 3 hari pertama ujungnya
akan membesar dan membentuk tunas akson. Kecepatan perbaikan fungsi akson dapat
diperkirakan berdasarkan jarak antara letak trauma dengan otot yang diinervasi, dengan
kecepatan tumbuh akson 1 mm/hari. Selain itu terjadi pengurangan diameter akson,
yaitu sebesar 40% dalam 2 minggu. Hal ini menjelaskan adanya dekompresi setelah
degenerasi saraf.

Di bagian distal serabut saraf yang terputus, terjadi degenerasi Wallerian yaitu
proses absorbsi akson dan mielin disertai proliferasi sel Schwan. Sel Schwan akan
berubah menjadi makrofag dan memakan sisa-sisa degenerasi. Proses degenerasi dari

50
tempat trauma ke arah distal terjadi dalam 5 jam pertama, maka akan tampak seperti
terjadi bersamaan sepanjang serabut saraf. Tanda pertama proses degenerasi muncul
dalam 12 jam setelah trauma dan mencapai puncaknya dalam 36-48 jam. Sebagian
besar sisa debris degenerasi dibersihkan setelah 12-14 hari setelah trauma, namun
terjadi pula sampai 3 bulan.
Sementara itu, setelah denervasi, otot wajah secara progresif akan atrofi dalam
waktu yang tidak pasti tergantung penyembuhan daerah lesi dan derajat reinervasi
spontan (normal atau menyimpang).
Regenerasi

Neuroregenerasi yang terjadi di PNS terjadi dalam berbagai macam derajat.


Ujung akson muncul dari ujung proksimal dan berkembang hingga ke bagian distalnya.
Perkembangannya diatur oleh factor kemotaktis yang disekresi oleh sel Schwann.

Jejas pada sistem saraf perifer secara spontan akan memicu migrasi sel fagosit,
sel Schwann dan makrofag ke daerah lesi untuk menghancurkan debris seperti jaringan
rusak. Ketika akson terputus, ujung yang masih tertinggal di tubuh utama disebut
sebagai bagian proksimal, sedangkan yang tidak disebut segmen distal. Setelah jejas,
ujung proksimal dari akson akan mengalami pembengkakan dan mengalami degenerasi
retrograde, tapi begitu debris di ujungnya di bersihkan, sel saraf akan menumbuhkan
kembali akson . Akson proksimal akan terus tumbuh selama badan sel utama tetap
intak, dan tetap berhubungan dengan neurolemmosit di endoneurial. Pertumbuhan
akson dapat mencapai kecepatan 2 mm pada akson yang kecil dan 5 mm pada saraf
yang lebih besar. Segmen distal yang terputus itu selanjutnya akan mengalami
degenerasi wallerian dalam beberapa jam setelah terpapar jejas, akson dan myelin akan
mengalami degenerasi tapi endoneurium masih tetap ada. Pada tahap yang lebih lanjut,
tabung endoneurium yang tertinggal itu akan mengarahkan kembali akson yang baru
tumbuh ke target yang benar. Selama degenerasi wallerian, sel Schwann yang teletak di
endoneurial akan melindungi dan mempersiapkan tabung endoneurial. Di lain pihak,
makrofag dan sel Schwann akan mengeluarkan factor neurotropik yang akan
mempercepat pertumbuhan.

51
Sel saraf pada sistem saraf pusat, jika mengalami trauma yang menghancurkan,
maka tidak dapat diganti baru karena sel tersebut tidak dapat berproliferasi
kembali. Akan tetapi jika serat saraf tepi mengalami trauma (luka atau terpotong), sel
tersebut akan berusaha memperbaiki, melakukan regenerasi saraf yang rusak dan
memperbaharui fungsinya dengan cara menstimulus serangkaian proses metabolisme
dan proses struktural (reaksi akson). Reaksi akson dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

1. Reaksi lokal (local reaction): reaksi yang terjadi pada tempat traumanya. Ujung
yang mengalami trauma mendekat dan menyatu untuk menutup kedua bagian yang
terpotong agar sitoplasma akson tidak hilang. Makrofag kemudian datang untuk
memakan dan membersihkan daerah yang luka dari debris (kotoran).
2. Reaksi anterograde (anterograde reaction): reaksi yang terjadi pada bagian distal
dari tempat trauma. Ujung akson menjadi hipertrofi dan berdegenerasi dalam waktu
seminggu, sehingga kontak dengan membran pasca-sinaps akan berakhir. Sel
Schwann kemudian akan berproliferasi, memfagositasis debris akson terminal yang
hancur. Bagian distal akson ini mengalami degenerasi Wallerian yang
menyebabkan akson menjadi terpecah-pecah dan sel-sel Schwann berproliferasi
dengan cepat yang kemudian akan memakan puing-puing akson dan selubung
mielin. Jaringan ikat yang menyelubungi serat saraf tersebut tidak mengalami
perubahan. Ruangan yang terdapat di antara jaringan ikat ini kemudian akan terisi
oleh sel-sel Schwann/sel neurolema yang berproliferasi secara cepat, yang akan
berfungsi sebagai penuntun bagi akson yang baru tumbuh yang bergerak menuju ke
bagian postsinaps dengan kecepatan 1 sampai 2 mm per hari. Ada pula akson yang
tidak mencapai sasaran yang fungsinya tepat, yaitu ke jaringan parut.
3. Reaksi Retrograde: reaksi yang terjadi pada bagian proksimal dari tempat terjadinya
trauma.Pada reaksi ini, terjadi kromatolisis yaitu perikarion neuron yang hancur
menjadi hipertrofi, badan Nisslnya akan tercerai berai dan inti sel akan bergeser dari
tempatnya semula. Setelah 3 minggu bila sel saraf bebas dari trauma baru, badan sel
kemudian secara aktif mensintesa ribosom-ribosom bebas, protein dan berbagai
molekul-molekul berukuran besar (makromolekul) dan dapat berlangsung selama
beberapa bulan. Selama itu, bagian proksimal akson dan selubung mielin yang

52
menyelubunginya akan berdegenerasi. Kemudian beberapa tunas akson akan
muncul dari ujung proksimal tersebut, dan berjalan mengisi ruang selubung jaringan
ikat dengan dibimbing oleh sel-sel Schwann menuju ke sel sasaran. Tunas yang
pertama mencapai sel target akan langsung membentuk sinaps, sementara tunas-
tunas yang lain akan berdegenerasi. Proses regenerasi ini berlangsung kira-kira
dengan kecepatan 3-4 mm/hari. Sel saraf mempunyai
pengaruh tropik (mempengaruhi kehidupan) sel target. Jika sel saraf mati, maka sel-
sel lainnya yang merupakan target dari sel saraf tersebut juga akan mengalami
atropi dan degenerasi. Proses ini disebut dengan degenerasi transneuron
(transneuronal degeneration).

10. Farmakologi Prednisone dan Acyclovir


Cara kerja prednisone dan acyclovir terhadap Bell’s palcy
 Acyclovir

Acyclovir (Asiklovir) adalah analog nukleosida purin asiklik yang aktif terhadap
virus Herpes simplex, Varicella zoster, Epstein-Barr dan Cytomegalovirus. Di
dalam sel, asiklovir mengalami fosforilasi menjadi bentuk aktif acyclovir trifosfat
yang bekerja menghambat virus herpes simplex DNA polymerase dan replikasi
DNA virus, sehingga mencegah sintesa DNA virus tanpa mempengaruhi proses
sel yang normal.
 Prednisone
Prednisone merupakan kortiko steroid sistemik dengan efek glukokortikoid dan
anti inflamasi. Mekanisme kerja dengan mempengaruhi sintesa protein, kortiko
steroid bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel
jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid.

Obat Anti Inflamasi


Obat anti inflamasi dibagi menjadi dua, yaitu Steroid dan AINS.
Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs)/AINS adalah suatu golongan obat
yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), anti piretik (penurun panas), dan anti

53
inflamasi (anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-
obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. AINS bukan tergolong
obat-obatan jenis narkotika. Inflamasi adalah salah satu respon utama dari system
kekebalan tubuh terhadap infeksi atau iritasi. Adapun tanda – tanda inflamasi adalah :
a. tumor atau membengkak
b. calor atau menghangat
c. dolor atau nyeri
d. rubor atau memerah
e. functiolaesa atau daya pergerakan menurun dan kemungkinan disfungsi organ
atau jaringan.

Cara Kerja Obat Anti Inflamasi Steroid dan Non Steroid

54
Definisi NSAID

NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi non steroid
(AINS) adalah suatu kelompok obat yang berfungsi sebagai anti inflamasi, analgetik
dan antipiretik. NSAID merupakan obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Obat golongan NSAID
dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non steroid, karena ada obat golongan steroid
yang juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat golongan steroid bekerja di sistem
yang lebih tinggi dibanding NSAID, yaitu menghambat konversi fosfolipid menjadi
asam arakhidonat melalui penghambatan terhadap enzim fosfolipase.
Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut
juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs). Contoh obatnya antara lain:
aspirin, parasetamol, ibuprofen, ketoprofen, naproksen, asam mefenamat, piroksikam,
diklofenak, indometasin.

Mekanisme Kerja

Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan atas penghambatan
biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel mengalami kerusakan, maka akan
dilepaskan beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi, prostaglandin
adalah mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang

55
mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau siklo
oksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi yang pertama adalah sisi aktif
siklo oksigenase, yang akan mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksid
PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif peroksidase, yang akan mengubah PGG2
menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk
PGs, prostasiklin dan tromboksan A2, yang ketiganya merupakan mediator utama
proses inflamasi. COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2.

Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX) sehingga konversi
asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat dengan cara
berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila
lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi
biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit. Ini
menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Inhibisi
biosintesis prostaglandin oleh aspirin menyebabkan asetilasi yang irreversibel di sisi
aktif siklo okigenase, sedangkan sisi aktif peroksidase tidak terpengaruh. Berlawanan
dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya seperti ibuproven atau
indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX baik reversibel maupun
irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam arakhidonat.

56
H. Kerangka Konsep
Safira,31 tahun Hamil, imunitas
memiliki riwayat menurun
varicella

Re-aktivasi virus
Herpes Zosfer

Lesi pada ganglion


geniculatum

Neuropraksis Nervus
Facialis

Neuropraksi Nervus
Facialis, gangguan
pada:

Nuclei Sensorik Nuclei Motorik Nuclei


Parasimpatis

Otot-otot wajah Sekresi Lacrimal


menurun
Penurununan
Nyeri pada pengecapanpada
liang 2/3 anterior lidah
telinga M. Orbicularis M. Buccinator M. Orbicularis Oris M. Occipitofrontalis
Occuli Mata Perih

Lagophtalmu Saliva keluar Sudut mulut Kerutan pada


s (+) banyak tertinggal dahi kanan (-)

57
I. Kesimpulan

Safira, 31 tahun, sedang hamil 21 minggu, memiliki riwayat pernah menderita


penyakit Varicella saat remaja. Kini dia mengalami re-aktivasi virus penyebab
Varicella, yaitu virus Herpes Zoster. Reaktivasi virus ini mengakibatkan lesi pada
ganglion geniculatum. Lesi ini kemudian menyebabkan gangguan berupa
neuropraksis pada Nervus Facialis bagian Nuclei Motorik, Nuclei Sensorik, dan
Nuclei Parasimpatis. Terganggunya Nuclei Motorik berakibat pada Lagophtalmus,
Saliva yang keluar banyak, sudut mulut yang tertinggal, dan tidak adanya kerutan
pada dahi kanan. Neuropraksis pada Nuclei Sensorik menyebabkan nyeri pada
liang telinga. Sedangkan gangguan pada Nuclei Parasimpatis menyebabkan perih
pada mata. Gejala-gejala ini merupakan ciri fisik dari penyakit Bell’s palsy.

58
Daftar Pustaka

 BAB II. Google Book. (diakses dalam https://docs.google.com/viewer.


www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud 16 April 2013, 4:11 WIB)
 Jurnal Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. Handoko Lowis &
Maula N Gaharu. Universitas Pelita Harapan, Tangerang. Departemen Saraf Rumah Sakit
Jakarta Medical Center, Jakarta.
 http://sikkahoder.blogspot.com/2012/07/kortikosteroid-mekanisme-
kerjaefek.html#.UWvsGhxT6DU diakses 15 April 2013
 http://www.doktermuslimah.com/2013/02/obat-golongan-nsaid-non-steroidal-anti.html,
diakses 15 April 2013
 http://www.scribd.com/doc/77638373/prednison, diakses 15 April 2013
 http://www.infokedokteran.com/pdf/makalah-farmasetika-tentang-prednison.html, diakses 15
April 2013
 www.drugs.com/prednison.html, diakses 15 April 2013
 Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-
palsy.html,diakses tanggal 15 April 2013, pukul 14.30 WIB
 Yan, Edward dan Al Hafiz dalam http://repository.unand.ac.id/17668/1/Case%201%20-
%20Fraktur%20Tulang%20Temporal.pdf, diakses pada tanggal 15 April 2013 pukul 15.00
WIB
 Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/
sPalsy.html, diakses tanggal 15 April 2013 pukul 14.15 WIB
 Samuel. (dalam http :ml.scribd.com/doc/115730191/Bells-Palsy, diakses pada tanggal 15
April 2013 pukul 12.40 WIB).
 Dr. Sak Liung. 2012. Mengenal Penyakit Bell’s Palsy. (Dalam
eljohnsunclinic.com/.../mengenal--penyakit-bells-palsy), diakses Senin, 15 April 2013, pukul
3.05 WIB)
 Handoko, Lowis dan Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana
di Pelayanan Primer. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian IDI

 Munilson, Jacky, Yan Edward, Wahyu Triana. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanan Bell’s
Palsy.

59
 Psychology Mania. 2012. (dalam http://www.psychologymania.com/2012/04/anatomi-dan-
fisiologi-mata.html diakses 16 April 2013, 3:52 WIB)
 Anonimous.30 November 2011.www.ayahbunda.co.id/article/. Resiko Bell’s Palsy pada
Kehamilan., diakses pada 15 April 2013 pukul 23.29.
 Anonimous. 13 Desember 2011. http://juicypaper.blogspot.com/2011/12/studi-pustaka-bells-
palsy.html.Studi Pustaka Bell’s Palsy, diakses pada 15 April 2013 pukul 20.19.
 Anonim. 30 Mei 2010. www.Medicinesia.com. Mekanisme Impuls Saraf. diakses pada 15
April 2013 pukul 20.45.
 Snell, Richard S. 1996. Neuroanatomi Klinik Edisi 2. Jakarta: EGC.
 Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC
 Guyton, Arthur C. dan Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
 Graff, Van de. 2001. Van de Graff: Human Anatomy, 6th edition”. The McGraw-Hill
Companies.
 Heryati, Euis dan Nur Faizah R..2008. Dikat Kuliah:Psikologi FAAL. Bandung: Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.
 Monkhouse, Stanley. 2006. Cranial nerves Functional Anatomy. UK: Cambrige Press
University.
 Subagiartha, I Wayan. 2001. Gambaran Elektromyography sebagai Faktor Penentu
Prognosis Bell’s Palsy. Semarang: FK UNDIP.
 Anonymous. 2010.
http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/m1/anatomy2010/html/atlas/n2a6p2.html diakses
pada hari Senin, 15 April 2013 pukul 13.05 WIB
 Fatimah, Radhi.2012.http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis-
neurologi-2.html diakses pada hari Senin, 15 April 2013 pukul 13.34 WIB
 Anonymous. No year.
http://www.neuroanatomy.wisc.edu/virtualbrain/BrainStem/11Solitarius.html diakses pada
hari Senin, 15 April 2013 pukul 14.00
 Anonymous. No year.
http://www.neuroanatomy.wisc.edu/virtualbrain/BrainStem/15Salivatory.html diakses pada
hari Senin, 15 April 2013 pukul 14.33

60
 Anonymous. No year. http://www.neuroanatomy.wisc.edu/Bs97/TEXT/P11/taste.html
diakses pada hari Senin, 15 April 2013 15.22
 Price & Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Jilid 1.
Jakarta: EGC.
 Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300.
 William F Brown, Esq, Charles F Bolton, M.D., Michael Jeffrey Aminoff. Neuromuscular
Function and Disease: Basic, Clinical, and ..., Volume 1. Online. (Dalam books.google.co.id)
 Anonim. 2010. Online (dalam http://andikunud.files.wordpress.com/2010/09/pemeriksaan-
fisik-neurologi.pdf , diakses pada tanggal 15 April 2013 pukul 18.41 WIB)
 Anonim. 2013. Online. (Dalam File.upi.edu/Direktori/.../Jaringan_Otot.pps)
 Anonim. 2013. Online. (Dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16739/4/Chapter%20II.pdf , diakses pada
tanggal 15 April 2013)
 Handoko, Lowis & Maula N Gaharu.2012.Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in
Primary
 Fox, Stuart. 2006. Human Physiology 9th Edition. New York: McGraw-Hill. pp. 267–9

 Møller, Aage (2000). Hearing: It's Physiology and Pathophysiology (illustrated ed.).
Academic Press. pp. 181–90
 Anonim. 2010. http://www.ekahospital.com/?p=3298&lang=id. Diakses pada 15 april 2013.
 Dr. Arifin Limoa, Sp.S(K). 2012. Dasar diagnosis topis klinin neurologi.
(http://venasaphenamagna.blogspot.com/2012/08/dasar-diagnosis-topis-klinis-
neurologi.html. diakses pada 15 april 2013).
 Jessica Liusen. 2012. Nervus Fasialis. (http://id.scribd.com/doc/99184407/Nervus-Fasialis.
diakses pada 15 April 2013).
 Anonim. 2013. Anatomi nervus facialis. (http://id.scribd.com/doc/132530627/ ANATOMI-
NERVUS-FASIALIS-pptx. diakses pada 15 April 2013).

61

Você também pode gostar