Você está na página 1de 10

Yang Unik di Peringatan Sumpah Pemuda

Kabari Nusantara
29 Oktober 2013

Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh setiap tanggal 28


Oktober menjadi momentum bangkitnya kaum muda Indonesia.
Tak hanya dirayakan di sekolah (upacara bendera), upacara di
kantor-kantor pemerintahan, perayaan Hari Sumpah Pemuda
tahun ini juga dirayakan diberbagai tempat sebagai bentuk cinta
Tanah Air dan perjuangan kaum muda.

Ada yang unik dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini :

1. Peringatan Sumpah Pemuda digelar di puncak gunung


Cikuray, Garut.

Sekitar 200 peserta dari Komunitas Pendaki Gunung Balad Soekarno (KPGBS) menggelar
upacara Sumpah Pemuda di puncak gunung. Upacara diisi dengan pengibaran bendara merah
putih di ketinggian 2.821 di atas permukaan laut dan diiringi dengan lagu Indonesia Raya. Usai
menggelar upacara, beberapa peserta melakukan pemugaran dengan mengecat ulang
bangunan yang ada disekitar puncak gunung.

2. Pemutaran film kartun di museum Sumpah Pemuda

Memperingati Hari Sumpah Pemuda, Museum Sumpah Pemuda akan memutar film kartun
pertama bertajuk Sumpah Pemuda di Aula Museum. Film kartun buatan museum ini
mengisahkan profil museum, pembacaan naskah Sumpah Pemuda dan sejarah lahirnya
Indonesia Raya yang diciptakan W.R Soepratman. Tujuan diputarnya film kartun ini, adalah
untuk mempermudah anak-anak menyerap dan terus mengingat sejarah bangsa.

3. Pengibaran bendera sepanjang satu kilometer di Papua

Memperingati Hari Sumpah Pemuda, sekitar 500 pemuda dari berbagai unsur membentangkan
bendera merah putih sepanjang satu kilometer di Pantai Hamadi, Kota Jayapura, Papua (28/10).
Acara yang diprakasai oleh Ketua Lembaga Musyawarah Adat Papua ini diharapkan menjadi
salah satu momentum bangkitnya pemuda Indonesia dan menjadi pemersatu bangsa.

4. Kirab Budaya dan Seni di Grobogan

Kirab budaya dan seni mewarnai peringatan Sumpah pemuda di Kecamatan Wirosari
Kabupaten Grobogan. Sekitar 500 warga terlibat dalam acara yang digelar oleh Republik Seni
Wirosari. Kirab ditempuh sekitar 1,5 km mengelilingi kota kecamatan, melibatkan penampilan
Batik Wiroto Wirosari, Purwodadi Batik Carnival, Reog Dadap Merak, Barongan, Barongsai,
Liong-liong, dan drum band yang diiringi replika tugu wirosari dan panji bendera merah putih.
Acara ini berlangsung sejak Minggu (27/10) pagi hingga malam.
Sumpah Pemuda dan Keturunan Tionghoa
Yayat Suratmo
Oktober 15, 2010
Peristiwa Sumpah Pemuda di Gedung
Kramat 106, Jakarta, delapan puluh dua tahun lalu
menyisakan sejumlah catatan menarik tentang
keterlibatan warga keturunan Tionghoa
Indonesia.
Tak banyak tulisan yang mengungkap
soal ini, termasuk sosok Sie Kok Liong, si pemilik
rumah. Rumah di Jalan Kramat nomor 106 itu
adalah tempat kos (indekos) atau pemondokan
buat pelajar di Jakarta.
Pada masa itu, di sekitar daerah Kramat
memang banyak tempat kos karena lokasinya
strategis. Oleh Sie Kok Liong, pondokan itu
disewakan 12,5 gulden(rupiah Belanda) per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu
itu.
Pelajar yang kos di Kramat 106 kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (Stovia)
yang tergabung dalam Jong Java.
Dalam buku Bunga Rampai, 50 Tahun Soempah Pemoeda, Aktivis Jong Java menyewa bangunan 460
meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan
diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung
ini Langen Siswo.
Tak banyak cerita tentang si pemilik gedung. Namun disebutkan
dalam buku tersebut, Sie Kok Liong tak keberatan miliknya dijadikan
semacam markas pergerakan para pemuda. Termasuk ketika menjadi
tempat perhelatan besar, Kongres Pemuda II yang menghasilkan “Sumpah
Pemuda 1928”.
Selain Sie Kok Liong, ada empat pemuda keturunan Tionghoa yang
menjadi bagian Sumpah Pemuda 1928. Mereka adalah Kwee Thiam Hong,
Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok dan Tjio Djin Kwie.
Kwee Thiam Hong adalah angggota Jong Sumatra, berpendidikan
HCS (SD Tionghoa), MULO (Sekolah Menengah) dan ditambah dua tahun di
Sekolah Dagang Tinggi (Hogere Handels School).
Sebagai pemuda keturunan, Kwee Thiam Hong memang tertarik dengan bisnis dagang, tapi ia
juga aktif mengikuti pergerakan. Sehingga ia cukup dikenal di kalangan tokoh pemuda lain.
Saat Sumpah Pemuda 1928, ia mengajak tiga rekannya, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok dan Tjio
Djin Kwie. Sebuah artikel yang ditulis Tjamboek Berdoeri, wartawan yang profilnya masih misterius
hingga kini, mengungkapkan, Kwee Thiam Hong baru berusia 19 tahun saat menghadiri Kongres
Sumpah Pemuda II. Ketika ia masih duduk di bangku Eerste Gouvernement MULO (Sekolah Menengah
Negeri I Batavia.
Karena ia kelahiran Palembang, ia merasa lebih dekat dengan para pemuda sedaerahnya, maka
ia bergabung ke Jong Sumatra. Di sana ia menjabat Komisaris Resort. Selain itu dia ia aktif di Kepanduan
(pramuka-red) sebagai Patrouile Leider (Pemimpin Regu), merangkap pula sebagai penabuh
genderang.
Tjamboek Berdoeri sendiri pernah mewawancarai Kwee Thiam Hong tahun 1979 di rumahnya di
kawasan Taman Sari Jakarta Barat. Setelah tak aktif lagi di dunia pergerakan, Kwee Thiam Hong bekerja
di Lever Bros, Good Year Tire & Rubber Co dan sempat dagang bawang dan buka usaha binatu.
Prof. Soenario Sastrowardoyo, Tokoh Pemuda
Saksi Dua peristiwa Penting
Yayat Suratmo
Oktober 15, 2010
Mungkin hanya sedikit orang mengenal Prof. Sunario
Sastrowardoyo sebagi tokoh pemuda yang turut
menggaungkan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Profesor
kelahiran Madiun, Jawa Timur, 28 Agustus 1902 ini meski tidak
setenar seperti Soekarno atau Hatta, adalah satu-satunya
tokoh muda yang terlibat langsung dalam dua peristiwa yang
menjadi tonggak sejarah nasional.
Pertama, Manifesto 1925 dan kedua, Kongres Pemuda II.
Manifesto Politik 1925 dicetuskan oleh organisasi mahasiswa
Perhimpunan Indonesia di Leiden, Belanda. Soenario menjabat
sebagai Sekretaris II, sedangkan Hatta adalah Bendahara I. dan
ketuanya Soekiman Wirjosandjojo.
Soenario pertama kali mengecap pendidikan di Frobel
School(Sekolah Taman Kanak-kanak) di Madiun tahun 1908. Di
sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang
bernama Nn. Acherbeek dan Nn. Tien.
Setelah lulus, ia melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) atau setara Sekolah Dasar di
Madiun tahun 1909 – 1916. Soenario tinggal di rumah kakeknya, pensiunan Mantri bernama
Sastrosentono. Soenario termasuk murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang
membuat orang tuanya bangga.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, atau
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setara dengan Sekolah Menengah Pertama selama
setahun. Setelah itu ia pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan di Rechtschool
(setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) tahun 1917. Selama bersekolah
di sana, Soenario aktif sebagai anggota Jong Java.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke
Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal laut sampai ke
Genoa, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap
disana semalam. Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan tukar kereta api menuju Leiden. Di
Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun
1925 ia meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia
menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van
Vollenhoven dan Prof. N.Y. Krom.
Akhir Desember ia pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para
aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Kemudian, ia menjadi
penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Bahkan
dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan makalah “Pergerakan Pemuda dan
Persatuan Indonesia”.
Tahun 1945 setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota Badan Pekerja KNIP
(Komite Nasional Indonesia Pusat).
Kiprahnya di tanah air terus berlanjut. Soenario menjabat sebagai Menteri Luar Negeri
pada periode 1953-1955. Di masa jabatannya itu Soenario penah menjabat sebagai Ketua
Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konferensi ini dicatat
sebagai salah satu pertemuan yang sangat bersejarah . Ia juga menandatangani Perjanjian
tentang Dwi kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan Perdana Menteri RRT (Republik Rakyat
Tiongkok) Chou En Lai.
Setelah menjadi Menteri Luar Negeri , dia mengemban jabatan sebagai Duta Besar RI
untuk Inggris pada tahun 1956 hingga 1961. Jabatan lain di Kabinet selain Menteri Luar
Negeri , adalah Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956) dan
juga sempat berperan sebagai Menteri Perdagangan di kabinet Djuanda (1957-1959) Dalam
bidang Akademik, Soenario juga besar jasanya dalam mendirikan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Ketika itu, dia bersama Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Dr. Soleiman,
Dr. Buntaran, dan Dr. Soeharto bermaksud mendirikan Balai Perguruan Tinggi Swasta di
Yogyakarta.
Pertemuan tersebut diikuti oleh beberapa pertemuan berikutnya, salah satunya adalah
pertemuan di Gedung KNI Malioboro, tanggal 3 Maret 1946. Dalam pertemuan ini,
diumumkan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yang terdiri atas Fakultas
Hukum dan Fakultas Kesusasteraan.
Selain menjabat sejumlah posisi dalam kabinet, Soenario juga pernah menjadi Guru
Besar bidang politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro,
Semarang (1963-1966).
Pada 1968, Sunario memprakarsai pertemuan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan
meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106
milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya
semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti
nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.
Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk
pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya
penggali Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo,
A. A. Maramis, dan A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun
1945.
Biola WR Soepratman, Saksi Bisu Kongres Sumpah
Pemuda
By Nadya Isnaeni
On 28 Okt 2014 at 17:06 WIB

Liputan6.com, Jakarta - 86 Tahun


silam, gesekan biola dari tangan Wage
Rudolf (WR) Soepratman bergema di
Gedung Indonesisch Huis Kramat (kini
bernama Gedung Kramat
106/Museum Sumpah Pemuda). Tiap nada
yang menjadi cikal bakal lagu kebangsaan
Indonesia Raya itu didengarkan dengan
khidmat oleh para pemuda yang
memenuhi gedung tersebut kala itu.
Setelah musik dari gesekan biola
terhenti, Sumpah Pemuda pun
dikumandangkan. Sejak saat itu, hidup WR Soepratman tak lagi tentram.

Seperti ditulis Anthony C Hutabarat dalam bukunya yang berjudul, Meluruskan Sejarah dan
Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman: Pencipta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia. Gerak-
gerik Soepratman selalu diawasi dan dibuntuti oleh polisi rahasia Belanda (RID).
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan. Namun Soepratman tidak
sempat menikmati suasana itu. Dia meninggal dunia pada 17 Agustus 1938.
Sementara biola di tangan WR Soepratman itu menjadi saksi bisu perjuangan para pemuda untuk
mempersatukan Indonesia. Hingga puluhan tahun berlalu, Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda masih
abadi di ingatan rakyat.
Biola karya Nicolaus Amateus Fecit itu terbuat dari 3 jenis kayu. Yakni jati Belanda, mapel Italia,
serta kayu eboni Afrika Selatan. Kini biola itu tersimpan di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya
No 106, Jakarta Pusat. Biola itulah yang digunakan untuk menciptakan lagu Indonesia Raya.
"Biola ini diperoleh WR Soepratman tahun 1994 dari WM Van Eldick sebagai hadiah ulang
tahun," kata Kepala Museum Sumpah Pemuda Agus Nugroho 24 September 2014 lalu.
Dia mengatakan, biola WR Soepratman termasuk model Amatus dan berukuran 4/4 atau
standar. Panjang badan biola itu yakni 36 centimeter, lebar badan bagian terlebar 20 centimeter dan 11
centimeter pada bagian tersempit, tebal tepian 4,1 centimeter dan tebal bagian tengah 6 centimeter.
Namun saat ini yang dipajang di Museum Sumpah Pemuda hanya replika biola WR Soepratman. Hal ini
dilakukan untuk menjaga biola yang asli.
Setiap 2 bulan sekali, pengelola museum melakukan konservasi atau perawatan biola tersebut.
Tak cuma biola, Museum Sumpah Pemuda juga menyimpan koleksi foto-foto kegiatan berbagai
organisasi pemuda dan piringan hitam Indonesia Raya.
Sumpah pemuda diikrarkan 86 tahun silam, yakni pada 28 Oktober 1928 dalam sebuah
kongres. Kongres Sumpah Pemuda ini diselenggarakan oleh berbagai organisasi Indonesia, yakni
Jong Java, Jong Soematra, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes,
Pemuda Kaum Betawi, dan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia.

Sumpah Pemuda, Cerita Secarik Kertas dari Yamin


On 28 Okt 2013 at 07:07 WIB

Minggu, 28 Oktober 1928, atau hari


kedua Kongres Pemuda Indonesia II, belum
menghasilkan suatu kesepakatan apa pun.
Sementara, hari itu Kongres akan ditutup.
Sejumlah pidato sepanjang 2 hari Kongres
dari berbagai utusan pemuda yang hadir,
seperti dari Jong Java, Jong Soematranen Bond,
Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond,
Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong
Ambon, Pemoeda Kaoem Betawi, dan lainnya
masih belum cukup untuk mencapai pada
kesimpulan.
Yamin sendiri hadir di Kongres sebagai utusan Jong Sumatranen Bond. Pada hari pertama, dia
juga mendapat kesempatan berbicara di hadapan ratusan pemuda yang hadir. Dalam kapasitasnya
sebagai utusan organisasi, tugas Yamin boleh dikatakan selesai.
Namun, dia juga merangkap sebagai Sekretaris Panitia Kongres. Mahasiswa tahun pertama
Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia) merasa, membuat rumusan hasil Kongres adalah tugasnya.
Saat memasuki sesi terakhir Kongres, otak Yamin makin keras berpikir. Dia tak lagi peduli dengan apa
yang disampaikan Mr Sunario yang tengah berpidato. Dia sibuk berpikir sembari mencoret-coret di
secarik kertas. Ketua Panitia Kongres, Soegondo Djojopoespito, yang duduk di sebelah Yamin, agaknya
tak begitu memperhatikan kegundahan pemuda berusia 25 tahun itu.
Sebelum Sunario mengakhiri pidatonya dalam acara yang dihelat di Gedung Katholieke
Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Yamin menoleh ke arah Soegondo dan
menyerahkan secarik kertas. Dengan suara pelan, kepada sang ketua Yamin mengatakan bahwa tulisan
di kertas itu merupakan rumusan darinya tentang resolusi pemuda Indonesia.
Tak lama Soegondo membacanya, tanpa banyak bicara dia menyatakan setuju dan memberikan paraf.
Kertas itu bergeser ke tangan Amir Sjarifudin dari Jong Bataks Bond yang juga menjadi Bendahara
Panitia Kongres. Sama dengan Soegondo, Amir pun menyatakan setuju. Kertas itu pun terus berpindah
tangan sampai semua utusan pemuda yang hadir menyatakan setuju.
Di akhir pertemuan, Soegondo pun membacakan rumusan tersebut di depan utusan pemuda
dengan tambahan penjelasan dari Yamin. Malam itu juga, sebelum Kongres ditutup, semuanya sepakat
untuk menjadikan rumusan itu sebagai ikrar yang kini kita kenal sebagai
Sumpah Pemuda.
Seperti tertulis di Museum Sumpah Pemuda, ikrar itu berisi tiga baris pengakuan dari para
pemuda-pemudi Indonesia yang berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Yamin agaknya adalah sosok yang tepat untuk merumuskan


Sumpah Pemuda. Dia tak hanya tokoh pemuda di Kongres 1928,
ketika Kongres Pemuda I digelar pada 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta,
Yamin sudah menghentak dengan gagasan untuk menjadikan
Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, kendati kemudian banyak
ditolak.
Selain itu, Yamin juga dikenal sebagai sastrawan. Pada tahun
yang sama dengan penyelenggaraan Kongres Pemuda II, Yamin
menulis naskah drama Ken Arok dan Ken Dedes berdasarkan sejarah
Jawa. Ia juga menerjemahkan karya-karya William Shakespeare dan Rabindranath Tagore serta
menyusun sejumlah kumpulan puisi.
Karena itu, tak heran rumusan Sumpah Pemuda yang dia tulis terkesan puitis sekaligus berani
untuk zamannya. Berani karena saat rumusan itu ditulis, Indonesia masih berada di bawah kekuasaan
Belanda. Ditambah lagi dengan pengawasan ketat tentara kolonial sepanjang berlangsungnya Kongres.
Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 24 Agustus 1903. Ia putra dari
pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah. Ayahnya memiliki 16 anak dari 5 istri, yang hampir
keseluruhannya kelak menjadi intelektual berpengaruh. Muhammad Yaman, seorang pendidik;
Djamaluddin Adinegoro seorang wartawan terkemuka, Ramana Usman pelopor korps diplomatik
Indonesia. Sepupunya, Mohammad Amir, adalah tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang,
untuk kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Setelah tamat,
niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda, harus diurungkan karena ayahnya meninggal
dunia. Ia kemudian kuliah di Rechts Hooge School di Jakarta. Yamin berhasil memperoleh gelar Meester
in de Rechten (sarjana hukum) pada 1932.
Di era kemerdekaan, Yamin menduduki jabatan menteri di sejumlah kementerian, yaitu Menteri
Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953-1955), dan Menteri
Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960).
Ketika menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang
dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang
dicap komunis atau sosialis. Kebijakannya itu dikritik banyak anggota DPR, namun Yamin berani
bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Saat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan
Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian universitas-universitas negeri dan swasta di seluruh
Indonesia. Di antaranya Universitas Andalas di Kota Padang, Sumatera Barat.
Pada 1937, Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan dari Kadingalu,
Demak, Jawa Tengah. Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangish Yamin. Pahlawan
Nasional ini meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962, pada umur 59 tahun dan dimakamkan di kampung
halamannya.
Hingga kini, jejak langkah peraih Bintang Mahaputra dari Presiden RI ini masih bisa dilihat. Salah
satunya adalah patung dan wajah Gajah Mada yang selalu ada di setiap kantor Corps Polisi Militer.
Kendati banyak yang meragukan sosok bertubuh gempal, berpipi tembem, dan bermuka tegas
itu sebagai bentuk asli Gajah Mada, sosok yang dibuat oleh Yamin ini sudah terlanjur melekat dalam
benak kita karena ditampilkan di buku-buku pelajaran sejarah, tak ubahnya dengan sejarah yang telah
dia torehkan di atas secarik kertas di Minggu malam, 85 tahun silam.

Ini Biola yang Setia Dampingi W.R. Soepratman


By Ahmad Ibo

On 15 Jul 2015 at 12:35 WIB

Liputan6.com, Jakarta Wage Rudolf


Soepratman dan biola ibarat dua sisi mata

uang yang tak bisa dipisahkan.

Menghabiskan masa kanak-kanaknya di


sebuah desa terpencil di kawasan Kaligesing,

WR Soepratman sejak usia 11 tahun sudah


pandai bermain biola. Biola yang selalu

menemani langkahnya dalam menciptakan


berbagai karya besar merupakan biola

pemberian dari WM Van Eldick, yang


mempunyai nama lain Sastromihardjo, kakak

iparnya sendiri.
Menurut informasi yang didapat Museum Nasional Jakarta dari kakak iparnya tersebut,

WR Soepratman memperoleh banyak pelajaran tentang musik. Pada usia 21 tahun, WR


Soepratman tertantang dengan sayembara yang mencari orang-orang nasionalis, yang bisa

menciptakan lagu kebangsaan bagi Indonesia. Pada saat dirinya di Bandung pada 1924, lahirlah
lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Pada Kongres Pemuda II di Jakarta pada 1928, lagu Indonesia Raya kembali
diperdengarkan, bersamaan dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Setelah

hari itu, lagu Indonesia Raya gubahan WR Soepratman kerap diperdengarkan menggunakan
biola dalam berbagai pertemuan pergerakan nasional, dan menjadikan WR Soepratman orang

yang paling dicari Belanda lantaran sering menyuarakan persatuan dan kehendak untuk
merdeka dalam berbagai karya lagunya.
Untuk mengenang jasa dan berbagai karya avant garda WR Soepratman dalam
mempersatukan Indonesia melalui lagu, biola pemberian kakak iparnya kini tersimpan dengan
apik di Museum Nasional, Jakarta. Tak hanya menjadi monumen hiruk-pikuk kejayaan masa

lalu, biola ini diharapkan mampu memotivasi anak muda Indonesia untuk mampu berjuang
lewat musik.

Arungi Sejarah Sumpah Pemuda dengan Cara


Digital
By Ahmad Ibo
On 27 Okt 2015 at 16:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta Museum Sumpah


Pemuda yang berlokasi di Jalan Kramat Raya No 106

menjadi saksi bisu dibacakannya ikrar para pemuda


untuk bersatu dalam sebuah kesatuan bernama

Indonesia. Dibuka setiap hari kecuali Senin mulai


pukul 8 hingga pukul 4 sore, Museum Sumpah

Pemuda kerap dikunjungi banyak pelajar yang ingin


mencari informasi seputar sejarah pernyataan bersatu

para pemuda ini.


Menyambut hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2015, Museum Sumpah Pemuda kini

dilengkapi dengan fasilitas baru, berupa peralatan digital. Fasilitas ini terwujud berkat
kerjasama dengan salah satu provider seluler dan memungkinkan para pengunjung

mendapatkan gambar dan pengalaman yang berbeda saat mengunjungi museum.

Bernama Siji Augmented Reality, alat moderen ini dapat dinikmati hanya dengan tiga

langkah. Pertama, pengunjung harus mengunduh secara gratis aplikasi di google play store.

Setelah itu pindai gambar yang ada pada ruangan tertentu di museum sumpah pemuda dan
dapatkan pengalaman berbeda belajar sejarah dengan cara digital.

“Fasilitas digital ini baru akan diluncurkan besok, bertepatan dengan tanggal 28 Oktober
2015. Pengunjung tinggal scan gambar bertanda khusus, yang ada di beberapa ruangan,
seperti ruangan WR Soepratman misalnya, nanti bisa didengar musik biola langsung
darismartphone yang dibawa pengunjung,” ungkap Bakti, bagian informasi saat ditemui
Liputan6.com, Selasa (27/10/2015).

Você também pode gostar