Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
MAKALAH
Oleh :
2 PJJ A
Dosen Pembimbing :
PALEMBANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa selalu kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa
kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah menunjukan jalan kebaikan dan
kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan
juga untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang
semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin.
Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini
mohon kritik, saran, dan pesan yang membangun dari semua yang membaca makalah ini
terutama Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang kami harapkan sebagai bahan
koreksi untuk kami.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam 4
2.2 Tujuan Hukum Islam 6
2.3 Fungsi Hukum Islam 7
2.4 Ciri-Ciri Hukum Islam 7
2.5 Karakteristik Hukum Islam 8
2.6 Sumber Hukum Islam 13
2.7 Ruang Lingkup Hukum Islam 16
2.8 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam didunia dan di Indonesia 17
2.8.1 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam Di Dunia 17
2.8.2 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam Di Indonesia 21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 25
3.2 Saran 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.3.Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat:
a. Memahami pengertian hukum islam
b. Memahami tujuan adanya hukum islam
c. Memahami fungsi-fungsi hukum islam dalam masyarakat
d. Memahami ciri-ciri hukum islam
e. Memahami karakteristik dari hukum islam
f. Memahami apa saja sumber hukum islam
g. Memahami ruang lingkup hukum islam
h. Memahami bagaimana perkembangan dan pertumbuhan hukum islam yang ada di
dunia dan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhamamad) kecuali untuk menjadi rahmat
untuk sekalian alam. (QS. AL-Anbiya: 107).
Untuk memperhatikan keuniversalan hukum Islam itu minimal dari 3 segi, yaitu
sebagai berikut:
a. Menyangkut pemberlakuan hukum bagi para subjek hukum yang berkesan kepada
keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin, antara manusia biasa
bahkan terhadap seorang Nabi atau utusan Allah SWT sendiri berlaku hukum.
b. Dari segi kemanusiaan yang universal.
c. Dari segi efektivitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang
ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.
B. Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang berhubungan secara logis.
Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-
ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-
lebihan.”. Dalam hukum Islam pun manusia diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum
Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang
tak terpisahkan pada pemahaman universal hukum Islam. Bila pada keuniversalan hukum
Islam berlaku 3 segi, maka dalam karakteristik ini juga berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :
1. Bila ditinjau menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum tanpa
dibedakan status seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu karakter
unversalitas hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan
hukum yang khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek
hukum. Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum, seorang pezina siapapun ia
dan status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi hukum. Namun, pelaku zina yang
telah kawin sanksi hukumnya adalah rajam sedangkan yang belum pernah kawin,
maka sanksi hukumnya adalah didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang
bagi para budak yang melakukan zina, maka sanksinya ½ dari orang yang merdeka.
Dengan demikian, hukum Islam memberlakukan secara universal kepada setiap
orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus
dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku hukum.
2. Bila hukum Islam memiliki karakter sesuai dengan perhatian manusia sepanjang
sejarah manusia dalam mencipatakan hukum atau yang disebut dengan kemanusiaan
yang universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum kemanusiaan partikular.
Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan islam, berlakunya hukum-
hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum khamar dan lain sebagainya.
Hukum-hukum ini memiliki karakteristik yang partikular karena tidak lazim dalam
norma hukum yang berkembang dalam sejarah peradaban hukum manusia. Oleh
karenanya ia disebut dengan hukum kemanusiaan yang partikular.
3. Bila ditinjau dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk
setiap manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum
lainnya tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap
manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Misalnya hukum
perkawinan Islam, maka daripadanya berlaku hukum talak 3 kali, khulu’ bagi isteri
terhadap suami, ila’, li’an, zihar, dan lain-lain diberlakukan bagi orang yang telah
tunduk menjalankan hukum Islam dimulai sejak akad perkawinannya secara atau
berdasarkan hukum Islam. Jadi orang yang status perkawinannya tidak berdasarkan
hukum Islam tidak berlaku pula hukum-hukum yang menyangkut perkawinan dalam
hukum Islam. Dalam kasus seperti demikian, hukum berkarakter partikular karena
hanya menunjuk pada manusia tertentu saja.
C. Harakah (Elastisitas)
Hukum Islam bersifat elastis (lentur atau luwes), ia meliputi segala bidang dan
lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani,
hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Sang Khalik, serta tuntutan hidup
dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Hukum Islam memperhatikan berbagai
segi kehidupan, baik di bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Ia tidak memiliki
hukum yang kaku, keras dan memaksa, ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang
mesti dijalankan oleh umat manusia.
Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi
mengapa hukum Islam memiliki karakteristik elastis (harakah), yaitu :
1. Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum
(mukallaf). Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu
memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan hukum
mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek hukum)
diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah dan
rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup 3 kategori
yaitu :
a. Kondisi dari subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah shalat
tepat waktu (muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau
ta’khir), dan lain sebagainya.
b. Disebabkan oleh orang lain, seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh
dapat diganti dengan hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan
pidana tersebut.
c. Kondisi situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan
membolehkan ia memakan binatang yang diharamkan selama tidak melampaui
batas dan aniaya.
2. Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan
sosial. Ada 2 argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan hukum Islam dalam
kondisi yang dimaksud seperti ini, yakni :
a. Berdiri tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi
menanggapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.
b. Kondisi hukum Islam sendiri pada umumnya merespon perkembangan zaman dan
perubahan sosial pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya hukum talak untuk
memperbaiki hukum perceraian pada masa itu.
D. Akhlak (Etistik)
Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada
beberapa alasan sebagai berikut :
1. Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang
dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.
2. Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni
pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-
hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau
dengan makhluk lain (lingkungannya).
Lebih jauh lagi, bentuk karakter akhlak pada hukum Islam dapat disarikan dalam
beberapa ilustrasi sebagai berikut :
a. Hukum dalam pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan hukum-
hukum ibadah agar hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik dan
diharapkan memiliki efek sosial yang baik bagi lingkungannya.
b. Pembinaan akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum larangan
zina.
c. Pembinaan pada etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan hukum
berpenampilan (tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka menundukkan
pandangan.
d. Pendidikan akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.
e. Pendidikan moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan riba
atau perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok, penipuan
ataupun penggelapan.
f. Pembinaan keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan dan
kehidupan yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan mengabaikan
pendidikannya sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun larangan segala bentuk
pengabaian kehidupannya sehingga menelantarkannya.
g. Pembinaan etika – moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga
diberlakukan hukum kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara
dengan jihad bila diperlukan.
h. Pembinaan etika agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn sanksi-
sanksi hukum pidana berupa hukum hudud dan ta’zir.
i. Pembinaan etika untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum
menyangkut adab penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan alat
yang tajam ketika menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap
binantang tertentu.
j. Pembinaan etika dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka
diberlakukan hukum kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah dan
mengharamkan yang buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik
dikonsumsi.
E. Tahsini (Estetik)
Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum
Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat
5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula
pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah
anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di masjid, puasa sunnat, dan
sedekah.
Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai
lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca
ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat
hukum.
2.8. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam di Dunia dan di Indonesia
2.8.1. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam di Dunia
A. Masa Nabi Muhammad SAW (610 M – 632 M)
Agama islam sebagai “induk” hukum islam muncul di semenanjung Arab.
Daerah yang sangat panas, penduduknya selalu berpindah-pindah dan alam yang
begitu keras membentuk manusia-manusia yang individualistis serta hidup
dalam kelompok-kelompok yang disusun berdasarkan pertalian darah dan
pertalian adat. Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW setelah pindah atau hijrah
dari Mekah ke Madinah, dianggap telah memutuskan hubungan dengan
kelompok yang asli, karena itu pula diperangi oleh anggota kelompok asalnya.
Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat penting, terutama bagi umat
islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang
muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Nabi Muhammad.
Konsekuensinya umat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang dicatat
dalam kitab-kitab hadist. Melalui wahyu-Nya Allah menegaskan posisi
Muhammad dalam rangka agama islam, yaitu :
1. Kami mengutus Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi alam semesta
(Q.S.21:107).
2. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah Rasul-Nya
(Q.S.4:59).
3. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.S.4:80).
4. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.S.33:21).
Waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, tugas untuk mengembangkan
dan menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan,
perbuatan, serta sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al-
Qur’an sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap
masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya.
B. Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M – 662 M )
Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW., maka berhentilah wahyu yang
turun dan demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan Allah SWT tidak mungkin tergantikan, tetapi tugas beliau
sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala negara harus dilanjutkan oleh
seorang khalifah dari kalangan sahabat Nabi.
Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan
pertahanan negara. Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara
untuk menjaga keamanan dan batas negara, menegakkan keadilan dan
kebenaran, berusaha agar semua lembaga negara memisahakan antara yang baik
dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut Al-Qur’an, mengawasi
jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber keuangan negara, dan
tugas pemerintahan lainnya.
Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan
hukum Islam karena dijadikan model atau contoh digenerasi-generasi
berikutnya. Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus
yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis
dijaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan tulang-tulang
unta dan menghimpunnya dalam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar Bin
Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke
Palestina, Sirya, Irak, dan Persia. Selanjutnya pada pemilihan khalifah, Usman
menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi nepotisme karena
kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke
barat sampai ke Maroko, ke timur menuju India dan ke utara bergerak ke arah
konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al-Qur’an standar yang disebut
modifikasi Al-Qur’an.
Setelah Usman meninggal dunia yang mengantikan adalah Ali Bin Abi
Thalib yang merupakan menantu dan keponakan Nabi Muhammad SAW.
Semasa pemerintahanya, Ali tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan
hukum Islam karena keadaan negara tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan
yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara yang
kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.
C. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII-X M)
Pada masa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan
merumuskan garis-garis suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut
dan digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak faktor yang
memungkinkan pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :
1. Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal
usul, adat istiadat,dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat
menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu perbuatan
tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.
2. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk
membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.
3. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah
hukum dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada
periode ini lahir penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang
dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.
D. Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M)
Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari
sumbernya yang asli tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah
ada dalam mashabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran
hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya
untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al-
Qur’an dan sunnah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-
perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam
dimasa itu adalah :
1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa
Negara baru.
2. Ketidakstabilan politik.
3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya
kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
4. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian
perkembangan hukum Islam pada periode ini menjadi lesu
E. Masa Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang )
Setelah mengalami fase jalan di tempat dalam beberapa abad lamanya,
pemikiran Islam telah bangkit kembali. Pada abad ke XIV telah timbul seorang
mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dalam perkembangan hukum
Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah
walau pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad
Ibnu Abdul Wahab yang terkenal dengan gerakan baru di antara gerakan-
gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H. dalam bukunya.
Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal
dahulu.
Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum
Islam, sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul
beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan
mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Hanya saja
barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan
khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia
Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam
kebekuan, kemunduran, bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah
lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media
massa, dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal
sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat brilliant dan sangat
berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
2.8.2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli
sejarah dimulai pada abad pertama Hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan
kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara,
kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal
gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu
kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di Indonesia pada abad 13. Kerajaan ini
dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah
nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul
berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri
Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan
Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan
Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana
tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai
hukum positif yang berlaku. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-
literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.
Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke
kawasan nusantara.
B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda terhadap kawasan Nusantara dimulai dengan
kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur (VOC).
Pemerintah Belanda menjadikan VOC sebagai media untuk masuk di kawasan
Hindia Timur. Selain menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili
Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan
menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan
kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-
hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk
pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang
dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga
menjelang peralihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda kembali. Setelah
Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-
1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia
Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan
rakyat jajahannya. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan banyak
cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan menyebarkan agama
Kristen kepada rakyat pribumi dan membatasi keberlakuan hukum Islam hanya
pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang, Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini
tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda. Meskipun
demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan
untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia, seperti:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh
bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru
kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya Jepang mulai
mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan
kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Pada akhirnya, di periode ini
status hukum Islam tetaplah samar-samar.
E. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum
muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini
hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS membuka peluang untuk
memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan
peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang
semestinya.
Saat berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang
sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam
sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia.
Meskipun begitu, hukum islam pada orde ini tidak begitu tegas, namun upaya-
upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Penegasan terhadap
berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang
peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha
intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu.
F. Hukum Islam di Era Reformasi
Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Selain peluang yang
semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud
undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini.
Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor
11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia.
Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan
hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk
kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum
Nasional kita.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bedasarkan pembahasan di atas dapat diketahui, bahwa hukum Islam merupakan
seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Nabi
Muhammad SAW., untuk mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah
masyarakatnya. Sumber hukum Islam memberi kemungkinan pada umat Islam, untuk
selalu melakukan pengkajian hukum islam sesuai dengan dinamika kehidupan sosial
masyarakat. Hal itu disebabkan antar lain karena Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber
utama hukum Islam penunjukkannya banyak yang dhanni. Oleh karena itu menjadi
kewajiban umat Islam untuk selalu berusaha supaya dapat memecahkan berbagai
persoalalan yang muncul dalam kehidupan dengan pendekatan kekinian dan kemodernan.
3.2 Saran
Dengan telah ditulisnya materi ini diharapkan masyarakat dapat secara kritis dalam
mengkaji hukum Islam dalam kehidupan. Sebaiknya masyarakat juga lebih dalam lagi
mempelajari isi kandungan Al-Quran supaya menghindari kekeliruan dalam mengambil
kesimpulan mengenai hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA