Você está na página 1de 29

HUKUM ISLAM

MAKALAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan mata kuliah

Pendidikan Agama Islam

Jurusan Teknik Sipil

Program Perancangan Jalan dan Jembatan

Oleh :

Alfin Faisal Syahputra / 061640111471

Annadiyah Farah Diba / 061640111472

2 PJJ A

Dosen Pembimbing :

Muhammad Harun, S.S., M.H.

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA

PALEMBANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa selalu kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa
kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah menunjukan jalan kebaikan dan
kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan
juga untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang
semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin.
Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini
mohon kritik, saran, dan pesan yang membangun dari semua yang membaca makalah ini
terutama Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang kami harapkan sebagai bahan
koreksi untuk kami.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam 4
2.2 Tujuan Hukum Islam 6
2.3 Fungsi Hukum Islam 7
2.4 Ciri-Ciri Hukum Islam 7
2.5 Karakteristik Hukum Islam 8
2.6 Sumber Hukum Islam 13
2.7 Ruang Lingkup Hukum Islam 16
2.8 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam didunia dan di Indonesia 17
2.8.1 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam Di Dunia 17
2.8.2 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam Di Indonesia 21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 25
3.2 Saran 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia adalah makhluk yang dikaruniai oleh Allah SWT dengan berbagai
kelebihan dibanding makhluk-makhluk Allah yang lain. Yang paling istimewa adalah
bahwa manusia dikaruniai akal sebagai bekal untuk melaksanakan tugas utama di muka
bumi baik sebagai khalifah Allah (khalifatullah) maupun sebagai hamba Allah
(‘abdullah). Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa melepaskan diri dari
aktivitas-aktivitas yang bernuansa hukum. Selama melakukan aktivitasnya, manusia
berarti melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah, tidak semua manusia yang
melakukan aktivitas tersebut mengerti aturan-aturan hukum. Atau dengan kata lain, tidak
banyak manusia yang menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar
apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada, manusia harus
memahami dan menyadari berbagai aturan hukum yang terkait dengan setiap
perbuatannya dalam berbagai aspek kehidupannya.
Setiap Muslim seharusnya (atau bisa dikatakan wajib) memahami permasalahan
hukum, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-harinya tidak bisa
lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan ibadah kepada Allah
maupun ketika dia melakukan hubungan sosial di tengah-tengah masyarakatnya.
Permasalahan yang muncul sama seperti di atas, yakni tidak sedikit kaum Muslim yang
belum memahami hukum Islam, sehingga aktivitas yang mereka lakukan tidak didukung
oleh aturan hukum yang pasti. Karena itulah, hingga sekarang cukup banyak di antara
kaum Muslim yang melakukan aktivitas hukum yang tidak didukung dengan pemahaman
dan kesadaran hukum yang pasti yang terkadang aktivitas hukum yang dilakukan jauh
dari aturan hukum yang seharusnya.
Memahami hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah
mengingat begitu kompleksnya permasalahan hukum Islam. Dibutuhkan kualifikasi yang
cukup untuk bisa memahami hukum Islam secara baik dan juga dibutuhkan waktu yang
cukup lama untuk hal tersebut. Seseorang yang ingin mendalami hukum Islam harus
memahami dulu permasalahan Islam secara umum (ajaran Islam), karena hukum Islam
merupakan bagian dari ajaran Islam, bukan keseluruhannya. Secara umum, ada tiga aspek
dasar dalam Isam, yakni aspek aqidah (keyakinan Islam), aspek syari’ah (hukum Islam),
dan aspek akhlak (moralitas Islam). Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan ajaran
Islam yang tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, untuk memahami
aspek hukum Islam secara benar, harus juga dipahami aspek-aspek ajaran Islam lainnya
yang terkait.
Tiga aspek ajaran Islam yang mendasar tersebut secara praktis banyak diungkap
dalam al-Quran dan juga dalam hadis Nabi Muhammad saw. Berdasarkan hadis Nabi,
tiga aspek atau kerangka dasar Islam dijabarkan dalam tiga konsep, yaitu iman, islam,
dan ihsan. Dari ketiga konsep dasar inilah muncul tiga konsep kajian dalam Islam, yaitu
aqidah, syariah, dan akhlak. Kembali kepada masalah pokok di sini, bahwa hukum Islam
telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri. Hukum Islam di
sini adalah keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Al-Quran, Sunnah Nabi
SAW., serta ijtihad para ulama. Hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan
hukum Islam di berbagai negara juga ditentukan kapan Islam masuk dan berkembang di
negera-negara tersebut. Begitu juga, perkembangan hukum Islam sangat ditentukan oleh
keberadaan umat Islam. Hingga sekarang hukum Islam sudah menyebar hampir di semua
negara di belahan dunia seiring dengan keberadaan umat Islam di sana.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa pengertian hukum islam?
b. Apa tujuan dari adanya hukum islam?
c. Apa fungsi hukum islam dalam masyarakat?
d. Apa saja ciri-ciri dari hukum islam?
e. Apa saja karakteristik dari hukum islam?
f. Apa saja sumber hukum islam?
g. Apa saja ruang lingkup hukum islam?
h. Bagaimana perkembangan dan pertumbuhan hukum islam di dunia dan di Indonesia?

1.3.Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat:
a. Memahami pengertian hukum islam
b. Memahami tujuan adanya hukum islam
c. Memahami fungsi-fungsi hukum islam dalam masyarakat
d. Memahami ciri-ciri hukum islam
e. Memahami karakteristik dari hukum islam
f. Memahami apa saja sumber hukum islam
g. Memahami ruang lingkup hukum islam
h. Memahami bagaimana perkembangan dan pertumbuhan hukum islam yang ada di
dunia dan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Islam


Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter, dan ruang lingkupnya
sendiri. Begitu juga halnya dengan sistem hukum dalam Islam. Islam memiliki sistem
hukum sendiri yang dikenal dengan sebutan hukum Islam. Ada beberapa istilah yang
terkait dengan kajian hukum Islam, yaitu syariah, fikih, ushul fikih, dan hukum Islam
sendiri. Adapun pengertian syariah, fikih, ushul fikih, serta hukum islam adalah sebagai
berikut:
A. Syariah
Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari bahasa Arab yaitu al-
syari’ah yang berarti jalan ke sumber air atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah
sumber pokok bagi kehidupan (Menurut al-Fairuzabadiy, 1995: 659). Al-Quran
menggunakan dua istilah: syir’ah (Q.S. al-Maidah [5]: 48) dan syari’ah (Q.S. al-Jatsiyah
[45]: 18) untuk menyebut agama (din) dalam arti jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi
manusia atau jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia. Istilah syarai’
(jamak dari syari’ah) digunakan pada masa Nabi Muhammad SAW. untuk menyebut
masalah-masalah pokok agama Islam seperti shalat, zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan
haji (Ahmad Hasan, 1984: 7).
Adapun secara terminologis syariah didefinisikan dengan berbagai variasi.
Muhammad Yusuf Musa (1988: 131) mengartikan syariah sebagai semua peraturan
agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan al-
Quran maupun dengan Sunnah Rasul. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, syari’ah atau
syari’at yang artinya isi hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,
hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia, dan alam
sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan hadits (Menurut Drs. Supardin, M. Hi).
B. Fikih
Menurut istilah fikih diartikan sama dengan agama yang disyari’atkan Allah SWT
untuk para hamba yang melengkapi hukum-hukum agama yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan , perikatan, dan lain-lain. Fikih islam meliputi pembahasan yang
mengenai individu, masyarakat, serta negara yang meliputi bidang ibadah, muamalah,
kekeluargaan, perikatan, kekayaan, warisan, kriminal, peradilan, acara, pembuktian,
kenegaraan, dan hukum-hukum internasional.
C. Ushul Fikih
Istilah ushul fikih sebenarnya merupakan gabungan (kata majemuk) dari kata
‘ushul’ dan kata ‘fikih’. Makna dari kata ‘fikih’ sudah diuraikan di atas baik secara
etimologis maupun secara terminologis. Secara etimologis, fikih berarti paham, dan
secara terminologis fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis
yang digali dari dalil-dalil yang terperinci dari al-Quran dan Sunnah. Sedang kata ‘ushul’
berasal dari bahasa Arab al-ushul/ yaitu isim jama’ (plural) dari kata dasar (mufrad) ‘al-
ashl/’ yang artinya pokok, sumber, asal, dasar, pangkal, dan lain sebagainya (Munawwir,
1997: 23). Dengan mengetahui makna kata ‘ushul’ dan ‘fikih’, dapatlah dipahami makna
ushul fikih yang sebenarnya tidak jauh dari makna kedua kata yang menjadi unsur-
unsurnya, yakni dasar atau pokok fikih.
Pokok bahasan ushul fikih sangat berbeda dengan fikih. Pokok bahasan ushul
fikih berkisar pada tiga hal, yaitu:
1. Dalil-dalil atau sumber hukum Islam
2. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil-dalil itu
3. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau
sumber yang mengandung hukum tersebut
D. Hukum Islam
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan: 1) peraturan atau adat
yang secara resmi dianggap mengikat; 2) undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu;
dan 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) atau vonis
(Tim Penyusun Kamus, 2001: 410). Kata hukum sebenarnya berasal dari bahasa Arab al-
hukm yang merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti
memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg kata al-
hukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan (Munawwir, 1997: 286).
Dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum
modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.
Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan sebagai
agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengajarkan
dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta
mengajak mereka untuk memeluknya (Mahmud Syaltout, 1966: 9).
Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ tersebut dapat dipahami bahwa
hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah
SWT. dan Nabi Muhammad SAW. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengah-
tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan
sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

2.2. Tujuan Hukum Islam


Hukum yang menjadi penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak
pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat. Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum.
Setiap keberadaan hukum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum.
Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan
ketenteraman hidup tanpa batas waktu. Manusia berharap pada beberapa hal-hal berikut:
1. Kemaslahatan hidup bagi diri sendiri dan orang lain
2. Menegakkan keadilan
3. Persamaan hak dan kewajiban dalam hukum
4. Saling kontrol dalam masyarakat
5. Kebebasan berekpresi, berpendapat, serta bertindak dengan tidak melebihi batasan
hukum.
6. Regenerasi sosial yang positif dan bertanggungjawab
Apabila satu menit saja kehidupan sosial tidak terjamin oleh hukum yang kuat,
masyarakat dengan semua komponennya akan rusak. Cita-cita hukum adalah
menegakkan keadilan. Akan tetapi yang menegakkan keadilan bukan teks-teks hukum,
melainkan manusia yang menerima sebutan hakim, pengacara penguasa hukum, penegak
hukum, polisi dan sebagainya.
Hal yang sama terjadi pada hukum Islam. Hukum Islam mempunyai tujuan.
Menurut Asy-Syatibi, tujuan syariat islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di
dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Memelihara agama, seperti sholat lima waktu, serta melaksanakan dan mengikuti
petunjuk agama.
2. Memelihara jiwa, seperti memenuhi kebutuhan pokok serta bertahan hidup.
3. Memelihara akal, seperti menuntut ilmu pengetahuan serta enghindarkan diri dari
menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
4. Memelihara keturunan, seperti disyari’atkan untuk menikah serta dilarang berzina.
5. Memelihara kekayaan, seperti tata cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang
lain.

2.3. Fungsi Hukum Islam dalam Masyarakat


Peranan dan fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat adalah untuk
mengatur agar hubungan itu berjalan dengan baik menuju keseimbangan hidup manusia
antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Adapun peranan utamanya antara lain:
1. Fungsi ibadah, fungsi paling uatama hukum islam adalah untuk beribadah kepada
Allah SWT.
2. Fungsi amar ma’ruf nahi munkar atau menciptakan kebaikan dan menghindari
kemudaratan.
3. Fungsi zawajir, dimana hukum islam sebagai sarana pemaksa, melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.
4. Fungsi tanzim wa Islah al-ummah adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik
mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial.

2.4. Ciri-ciri Hukum Islam


Ciri-ciri hukum Islam adalah sebagai berikut :
a. Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam.
b. Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai pisahkan
dengan iman dan kesusilaan atau akhlak Islam.
c. Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu syariah dan fikih. Syariah bersumber
dari wahyu Allah SWT dan sunnah Nabi Muhammad SAW sedangkan fikih adalah
hasil pemahaman manusia yang bersumber dari nash-nash bersifat umum.
d. Hukum Islam terdiri atas dua bidang utama, yaitu hukum ibadah dan hukum
muamalah dalam arti yang luas. Hukum ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna
dan muamalah dalam arti yang luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh
manusia yang memenuhi syarat untuk itu dari masa ke masa.
e. Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis seperti bentuk bagan tangga
bertingkat. Dalil al-Qur’an yang menjadi hukum dasar dan mendasari sunnah Nabi
Muhammad SAW dan lapisan-lapisan seterusnya ke bawah.
f. Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, serta amal dari pahala.
2.5. Karakteristik Hukum Islam
Adapun karakteristik dari hukum Islam antara lain sebagai berikut:
A. Ijmali (Universalitas)
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Di
samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok
untuk setiap zaman). Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara
tersurat dalam sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang
sedang berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, kita
bisa mengeluarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan mengambil
persamaan illatnya. Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman.
Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Qur’an
dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad
dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut.
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik
tersebut terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Allah SWT
dalam mengatur alam semesta termasuk manusia. Firman Allah SWT ;

ِ ‫ِيرا َولَ ِك ان أ َ ْكثَ َر النا‬


َ‫اس ََّل يَ ْعلَ ُمون‬ ً ‫ِيرا َونَذ‬ َ ‫س ْلن‬
ِ ‫َاك ِإ اَّل َكافاةً ِللنا‬
ً ‫اس بَش‬ َ ‫َو َما أَ ْر‬
Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia
seluruhnya untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba: 28).

Kemudian pemahaman keuniversalan hukum Islam juga terletak pada segi


efektifitasnya hukum yang diberlakukan, bahwa kewajiban moral hukum yang
dicanangkan adalah untuk segenap manusia. Pertama untuk alasan demikian, syari’at
diturunkan untuk seluruh umat manusia sebagai rahmat bagi mereka. Mereka yang tidak
memperdulikan syari’at Islam akan bertanggung jawab diakhirat nanti. Firman Allah
SWT :

َ‫َاك ِإ اَّل َر ْح َمةً ِل ْل َعالَ ِمين‬


َ ‫س ْلن‬
َ ‫َو َما أَ ْر‬

Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhamamad) kecuali untuk menjadi rahmat
untuk sekalian alam. (QS. AL-Anbiya: 107).

‫اب‬ ً ‫سولَهُ َويَتَ َعدا ُحدُودَهُ يُ ْد ِخ ْلهُ ن‬


َ ُ‫َارا خَا ِلدًا فِي َها َولَه‬
ٌ َ‫عذ‬ ‫ص ا‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬ ِ ‫َو َم ْن يَ ْع‬
ٌ ‫ُم ِه‬
‫ين‬
Artinya :
Barangsiapa yang mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batas-
batas (larangan-Nya) niscaya Allah memasukkan mereka ke dalam neraka serta kekal di
dalamnya dan untuknya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa: 14)

Untuk memperhatikan keuniversalan hukum Islam itu minimal dari 3 segi, yaitu
sebagai berikut:
a. Menyangkut pemberlakuan hukum bagi para subjek hukum yang berkesan kepada
keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin, antara manusia biasa
bahkan terhadap seorang Nabi atau utusan Allah SWT sendiri berlaku hukum.
b. Dari segi kemanusiaan yang universal.
c. Dari segi efektivitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang
ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.
B. Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang berhubungan secara logis.
Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-
ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-
lebihan.”. Dalam hukum Islam pun manusia diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum
Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang
tak terpisahkan pada pemahaman universal hukum Islam. Bila pada keuniversalan hukum
Islam berlaku 3 segi, maka dalam karakteristik ini juga berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :
1. Bila ditinjau menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum tanpa
dibedakan status seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu karakter
unversalitas hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan
hukum yang khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek
hukum. Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum, seorang pezina siapapun ia
dan status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi hukum. Namun, pelaku zina yang
telah kawin sanksi hukumnya adalah rajam sedangkan yang belum pernah kawin,
maka sanksi hukumnya adalah didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang
bagi para budak yang melakukan zina, maka sanksinya ½ dari orang yang merdeka.
Dengan demikian, hukum Islam memberlakukan secara universal kepada setiap
orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus
dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku hukum.
2. Bila hukum Islam memiliki karakter sesuai dengan perhatian manusia sepanjang
sejarah manusia dalam mencipatakan hukum atau yang disebut dengan kemanusiaan
yang universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum kemanusiaan partikular.
Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan islam, berlakunya hukum-
hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum khamar dan lain sebagainya.
Hukum-hukum ini memiliki karakteristik yang partikular karena tidak lazim dalam
norma hukum yang berkembang dalam sejarah peradaban hukum manusia. Oleh
karenanya ia disebut dengan hukum kemanusiaan yang partikular.
3. Bila ditinjau dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk
setiap manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum
lainnya tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap
manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Misalnya hukum
perkawinan Islam, maka daripadanya berlaku hukum talak 3 kali, khulu’ bagi isteri
terhadap suami, ila’, li’an, zihar, dan lain-lain diberlakukan bagi orang yang telah
tunduk menjalankan hukum Islam dimulai sejak akad perkawinannya secara atau
berdasarkan hukum Islam. Jadi orang yang status perkawinannya tidak berdasarkan
hukum Islam tidak berlaku pula hukum-hukum yang menyangkut perkawinan dalam
hukum Islam. Dalam kasus seperti demikian, hukum berkarakter partikular karena
hanya menunjuk pada manusia tertentu saja.
C. Harakah (Elastisitas)
Hukum Islam bersifat elastis (lentur atau luwes), ia meliputi segala bidang dan
lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani,
hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Sang Khalik, serta tuntutan hidup
dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Hukum Islam memperhatikan berbagai
segi kehidupan, baik di bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Ia tidak memiliki
hukum yang kaku, keras dan memaksa, ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang
mesti dijalankan oleh umat manusia.
Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi
mengapa hukum Islam memiliki karakteristik elastis (harakah), yaitu :
1. Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum
(mukallaf). Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu
memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan hukum
mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek hukum)
diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah dan
rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup 3 kategori
yaitu :
a. Kondisi dari subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah shalat
tepat waktu (muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau
ta’khir), dan lain sebagainya.
b. Disebabkan oleh orang lain, seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh
dapat diganti dengan hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan
pidana tersebut.
c. Kondisi situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan
membolehkan ia memakan binatang yang diharamkan selama tidak melampaui
batas dan aniaya.
2. Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan
sosial. Ada 2 argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan hukum Islam dalam
kondisi yang dimaksud seperti ini, yakni :
a. Berdiri tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi
menanggapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.
b. Kondisi hukum Islam sendiri pada umumnya merespon perkembangan zaman dan
perubahan sosial pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya hukum talak untuk
memperbaiki hukum perceraian pada masa itu.
D. Akhlak (Etistik)
Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada
beberapa alasan sebagai berikut :
1. Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang
dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.
2. Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni
pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-
hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau
dengan makhluk lain (lingkungannya).
Lebih jauh lagi, bentuk karakter akhlak pada hukum Islam dapat disarikan dalam
beberapa ilustrasi sebagai berikut :
a. Hukum dalam pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan hukum-
hukum ibadah agar hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik dan
diharapkan memiliki efek sosial yang baik bagi lingkungannya.
b. Pembinaan akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum larangan
zina.
c. Pembinaan pada etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan hukum
berpenampilan (tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka menundukkan
pandangan.
d. Pendidikan akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.
e. Pendidikan moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan riba
atau perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok, penipuan
ataupun penggelapan.
f. Pembinaan keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan dan
kehidupan yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan mengabaikan
pendidikannya sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun larangan segala bentuk
pengabaian kehidupannya sehingga menelantarkannya.
g. Pembinaan etika – moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga
diberlakukan hukum kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara
dengan jihad bila diperlukan.
h. Pembinaan etika agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn sanksi-
sanksi hukum pidana berupa hukum hudud dan ta’zir.
i. Pembinaan etika untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum
menyangkut adab penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan alat
yang tajam ketika menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap
binantang tertentu.
j. Pembinaan etika dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka
diberlakukan hukum kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah dan
mengharamkan yang buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik
dikonsumsi.
E. Tahsini (Estetik)
Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum
Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat
5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula
pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah
anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di masjid, puasa sunnat, dan
sedekah.
Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai
lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca
ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat
hukum.

2.6. Sumber Hukum Islam


Pada umumnya, ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-
Qur’an, hadist, serta akal pikiran. Hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Dari bahasa Al-Qur’an berarti bermacam-macam, bacaaan, yang dibaca. Al-
Qur’an mempunyai fungsi-fungsi antara lain sebagai petunjuk (hudan), penjelas
(tibyan), serta sebagai pembeda (furqon)
Al-Quran mempunyai kriteria-kriteria antara lain:
a. Al-Qur’an adalah firman Allah atau kalamullah.
b. Al-Qur’an adalah mukjizat.
c. Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril.
d. Al-Quran diawali dengan surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas
e. Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca karena membaca Al-Quran adalah ibadah.
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
Secara etimologis berarti jalan, tata laku, atau cara bertindak. Sedangkan dalam
terminologi sunnah diartikan dengan perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi. Macam-
macam Sunnah/hadist adalah sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi bentuknya:
1) Sunnah Qauliyah yang merupakan perkataan Nabi
2) Sunnah Fi’liyah yang merupakan perbuatan dan tindakan Nabi
3) Sunnah Taqririyah yang merupakan sikap Rasulullah.
b. Ditinjau dari segi kualitasnya:
1) Shahih adalah hadis yang diriwayatkan perawi yang adil sempurna hafalannya
2) Hasan adalah hadis yang diriwayatkan perawi yang adil kurang sempurna
hafalannya
3) Dha’if: adalah hadis yang diriwayatkan perawi yang adil terputus sanadnya.
c. Ditinjau dari diterima atau ditolaknya:
1) Maqbul yaitu hadis yang dapat diterima dan dijadikan hujjah atau dalil dalam
agama.
2) Mardud yaitu hadis yang tidak dapat diterima dan tidak dijadikan hujjah atau
dalil dalam agama.
d. Ditinjau dari segi siapa yang berperan:
1) Marfu’ yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi
2) Mauquf yaitu hadis yang disandarkan kepada para sahabat
3) Maqhu’: yaitu hadis yang disandarkan kepada tabi’in
e. Ditinjau dari segi orang yang meriwayatkannya:
1) Mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak terhitung
jumlahnya.
2) Masyhur yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak sampai
derajat mutawasir
3) Ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih, tetapi tidak cukup
terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat masyur.
Sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an sunah/hadis berfungsi antara
lain:
a. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
Al-Qur’an (bayan ta’qid). Contoh seperti larangan menyekutukan Allah.
b. Berfungsi member penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Contohnya seperti
perintah untuk melaksanakan shalat yang masih bersifat global.
c. Berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya dalam Al-
qur’an. Contoh seperti telah diuraikan bahwa Al-Qur’an menentukan secara jelas
tentang keharaman 4 macam hal, yaitu: bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang disembelih selain untuk Allah.
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada (jahd) yang
artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, dan berusaha keras. Secara
terminologis ijtihad mengerahkan segalampuan secara maksimal dalam mengungkap
kejelasan dan memahamiayat Al-Qur’an dan sunah yang menunjukkan materi atau
kebenaran materi zhanni serta memecahkan permasalahan yang muncul dalam
kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Landasan hukum Ijtihad
adalah hadis Nabi dalam peristiwa dialog antara Rasulullah dengan Mu’adz jabal.
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan sunah. Pentingnya Ijtihad
karena perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengan tuntutan
zaman. Pada prinsipnya Ijtihad dipergunakan dalam dua hal, pertama untuk masalah
yang sudah ada nash Al-Qur’an dan Hadis, tetapi penunjukan dalilnya bersifat zhanny
dan kedua dalam maslah yang tidak ada sama sekali penjelasannya dalam Al-Qur’an
dan hadis. Sesuai dengan hadist Nabi “Seorang hakim apabila berijtihad dan kemudian
ternyata ijtihadnya benar maka ia mendapatkan pahala dua. Apabila dia berijtihad dan
ternyata keliru, maka ia mendapatkan satu pahala”. Dari hadis tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa melakukan ijtihad adalah suatu keniscahyaan yang tidak bisa
dipungkiri , untuk member jawaban terhadap persoalan umat masa kini dan masa akan
datang.
Ijtihad dapat dibedakan menjadi:
a. Ijma’, yang menurut bahasa artinya menghimpun, berkumpul dan menyusun.
Menurut istilah kesepakatan pendapat para mujtahid pada suatu masa tentang
hukum sesuatu.
b. Qiyas, dimana menurut bahasa berarti mengukuratau mempersamakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Menurut istilah adalah mempersamakan suatu peristiwa
yang belum ada nash mengenai hukumnya dengan suatu kejadian yang sudah ada
nash mengenai hukumnya karena persamaan sebab (illat).
c. Istihsan, yang menurut bahasa artinya menganggap baik suatu hal. Sedangkan
menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan untuk
kepentingan umum atau kepentingan keadilan, dengan meninggalkan qiyas.
d. Mashlahah Mursalah, menurut bahasa adalah mendatangkan kebaikan bersama.
Menurut istilah yaitu menetapkan hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang
tidak ditetapkan oleh syara’.
e. Istishab, artinya menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai
ada dalil yang mengubah keadaannya.
f. Saddudz Dzari’ah yaitu melarang sesuatu yang mubah dengan maksut untuk
menghindarkan kemudaratan yang mungkin timbul.
g. Urf yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan, selama kebiasaan
(adat istiadat) itu tidak bertentangan dengan Islam.

2.7. Ruang Lingkup Hukum Islam


Ruang lingkup hukum Islam diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah serta hukum yang berkaitan dengan
persoalan kemasyarakatan. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
yaitu iman, shalat, zakat, puasa, dan haji.
2. Hukum kemasyarakatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya yaitu muamalah, munakahat, dan ukubat.
a. Muamalah mengatur tentang harta benda (hak, obligasi, kontrak, seperti jual beli,
sewa menyewa, pembelian, pinjaman, titipan, pengalihan utang, syarikat dagang,
dan lain-lain).
b. Munakahat, yaitu hukum yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian serta
akibatnya seperti iddah, nasab, nafkah, hak curatele, waris, dan lain-lain. Hukum
dimaksud biasa disebut hukum keluarga dalam bahasa Arab disebut Al-Ahwal Al-
Syakhsiyah. Cakupan hukum dimaksud biasa disebut hukum perdata.
c. Ukubat atau Jinayat, yaitu hukum yang mengatur tentang pidana seperti mencuri,
berzina, mabuk, menuduh berzina, pembunuhan serta akibat-akibatnya.
Selain bagian-bagian tersebut, ada bagian lain yaitu mukhasamat, siyar, dan ahkam
as-sulthaniyah. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Mukhasamat, yaiu hukum yang mengatur tentang peradilan, pengaduan, dan
pembuktian, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan hukum acara perdata dan hukum
acara pidana
2. Siyar, yaitu hukum yang mengatur mengenai urusan jihad dan/atau perang, harta
rampasan perang, perdamaian, perhubungan dengan Agama lain, dan negara lain.
3. Ahkam As-Sulthaniyah, yaitu hukum yang membicarakan persoalan hubungan dengan
kepala negara, kementerian, gubernur, tentara, dan pajak.
Kalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematika hukum Barat
yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik dalam arti luas adalah
sebagai berikut:
A. Hukum perdata Islam
1. Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, serta akibat-akibatnya.
2. Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris,
harta peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum waris ini sering disebut hukum
faraid.
3. Muamalah dalam arti khusus mengatur masalah kebendaan, hak-hak atas benda,
tata hubungan manusia dengan soal jual beli, sewa menyewa, perserikatan,dan
sebagainya.
B. Hukum publik Islam
1. Jinayat, memuat aturan-aturan mengenai perbuatan yang diancam hukuman pidana.
2. Al-ahkam as-sulthaniyah, membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan
kepala negara, pemerintahan, tentara, pajak, dan sebagainya.
3. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk Agama,
dan negara lain.
4. Mukhamasat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan tata hukum acara.

2.8. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam di Dunia dan di Indonesia
2.8.1. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam di Dunia
A. Masa Nabi Muhammad SAW (610 M – 632 M)
Agama islam sebagai “induk” hukum islam muncul di semenanjung Arab.
Daerah yang sangat panas, penduduknya selalu berpindah-pindah dan alam yang
begitu keras membentuk manusia-manusia yang individualistis serta hidup
dalam kelompok-kelompok yang disusun berdasarkan pertalian darah dan
pertalian adat. Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW setelah pindah atau hijrah
dari Mekah ke Madinah, dianggap telah memutuskan hubungan dengan
kelompok yang asli, karena itu pula diperangi oleh anggota kelompok asalnya.
Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat penting, terutama bagi umat
islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang
muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Nabi Muhammad.
Konsekuensinya umat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang dicatat
dalam kitab-kitab hadist. Melalui wahyu-Nya Allah menegaskan posisi
Muhammad dalam rangka agama islam, yaitu :
1. Kami mengutus Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi alam semesta
(Q.S.21:107).
2. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah Rasul-Nya
(Q.S.4:59).
3. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.S.4:80).
4. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.S.33:21).
Waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, tugas untuk mengembangkan
dan menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan,
perbuatan, serta sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al-
Qur’an sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap
masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya.
B. Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M – 662 M )
Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW., maka berhentilah wahyu yang
turun dan demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan Allah SWT tidak mungkin tergantikan, tetapi tugas beliau
sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala negara harus dilanjutkan oleh
seorang khalifah dari kalangan sahabat Nabi.
Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan
pertahanan negara. Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara
untuk menjaga keamanan dan batas negara, menegakkan keadilan dan
kebenaran, berusaha agar semua lembaga negara memisahakan antara yang baik
dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut Al-Qur’an, mengawasi
jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber keuangan negara, dan
tugas pemerintahan lainnya.
Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan
hukum Islam karena dijadikan model atau contoh digenerasi-generasi
berikutnya. Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus
yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis
dijaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan tulang-tulang
unta dan menghimpunnya dalam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar Bin
Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke
Palestina, Sirya, Irak, dan Persia. Selanjutnya pada pemilihan khalifah, Usman
menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi nepotisme karena
kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke
barat sampai ke Maroko, ke timur menuju India dan ke utara bergerak ke arah
konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al-Qur’an standar yang disebut
modifikasi Al-Qur’an.
Setelah Usman meninggal dunia yang mengantikan adalah Ali Bin Abi
Thalib yang merupakan menantu dan keponakan Nabi Muhammad SAW.
Semasa pemerintahanya, Ali tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan
hukum Islam karena keadaan negara tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan
yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara yang
kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.
C. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII-X M)
Pada masa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan
merumuskan garis-garis suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut
dan digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak faktor yang
memungkinkan pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :
1. Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal
usul, adat istiadat,dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat
menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu perbuatan
tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.
2. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk
membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.
3. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah
hukum dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada
periode ini lahir penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang
dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.
D. Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M)
Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari
sumbernya yang asli tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah
ada dalam mashabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran
hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya
untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al-
Qur’an dan sunnah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-
perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam
dimasa itu adalah :
1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa
Negara baru.
2. Ketidakstabilan politik.
3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya
kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
4. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian
perkembangan hukum Islam pada periode ini menjadi lesu
E. Masa Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang )
Setelah mengalami fase jalan di tempat dalam beberapa abad lamanya,
pemikiran Islam telah bangkit kembali. Pada abad ke XIV telah timbul seorang
mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dalam perkembangan hukum
Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah
walau pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad
Ibnu Abdul Wahab yang terkenal dengan gerakan baru di antara gerakan-
gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H. dalam bukunya.
Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal
dahulu.
Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum
Islam, sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul
beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan
mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Hanya saja
barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan
khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia
Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam
kebekuan, kemunduran, bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah
lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media
massa, dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal
sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat brilliant dan sangat
berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
2.8.2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli
sejarah dimulai pada abad pertama Hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan
kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara,
kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal
gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu
kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di Indonesia pada abad 13. Kerajaan ini
dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah
nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul
berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri
Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan
Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan
Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana
tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai
hukum positif yang berlaku. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-
literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.
Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke
kawasan nusantara.
B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda terhadap kawasan Nusantara dimulai dengan
kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur (VOC).
Pemerintah Belanda menjadikan VOC sebagai media untuk masuk di kawasan
Hindia Timur. Selain menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili
Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan
menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan
kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-
hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk
pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang
dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga
menjelang peralihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda kembali. Setelah
Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-
1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia
Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan
rakyat jajahannya. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan banyak
cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan menyebarkan agama
Kristen kepada rakyat pribumi dan membatasi keberlakuan hukum Islam hanya
pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang, Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini
tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda. Meskipun
demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan
untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia, seperti:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh
bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru
kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya Jepang mulai
mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan
kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Pada akhirnya, di periode ini
status hukum Islam tetaplah samar-samar.
E. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum
muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini
hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS membuka peluang untuk
memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan
peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang
semestinya.
Saat berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang
sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam
sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia.
Meskipun begitu, hukum islam pada orde ini tidak begitu tegas, namun upaya-
upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Penegasan terhadap
berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang
peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha
intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu.
F. Hukum Islam di Era Reformasi
Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Selain peluang yang
semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud
undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini.
Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor
11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia.
Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan
hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk
kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum
Nasional kita.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bedasarkan pembahasan di atas dapat diketahui, bahwa hukum Islam merupakan
seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Nabi
Muhammad SAW., untuk mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah
masyarakatnya. Sumber hukum Islam memberi kemungkinan pada umat Islam, untuk
selalu melakukan pengkajian hukum islam sesuai dengan dinamika kehidupan sosial
masyarakat. Hal itu disebabkan antar lain karena Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber
utama hukum Islam penunjukkannya banyak yang dhanni. Oleh karena itu menjadi
kewajiban umat Islam untuk selalu berusaha supaya dapat memecahkan berbagai
persoalalan yang muncul dalam kehidupan dengan pendekatan kekinian dan kemodernan.

3.2 Saran
Dengan telah ditulisnya materi ini diharapkan masyarakat dapat secara kritis dalam
mengkaji hukum Islam dalam kehidupan. Sebaiknya masyarakat juga lebih dalam lagi
mempelajari isi kandungan Al-Quran supaya menghindari kekeliruan dalam mengambil
kesimpulan mengenai hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Khairussholeh. Hukum Islam. https://www.academia.edu/9444491/HUKUM_ISLAM


(diakses pada 21 Maret 2017, 16:01 WIB)
Anor, Sadri. Hukum Islam. https://www.academia.edu/6874291/HUKUM_ISLAM
(diakses pada 21 Maret 2017, 16:25 WIB)
Pekey, Olinda. Makalah Hukum Islam.
https://www.academia.edu/13797914/MAKALAH_HUKUM_ISLAM (diakses pada 21
Maret 2017, 16:32 WIB)
Islamarifin, Alaul. Hukum Islam. https://www.academia.edu/30444972/HUKUM_ISLAM
(diakses pada 21 Maret 2017, 16:34 WIB)
Potagubahumaira. Hukum Islam. https://www.academia.edu/9665668/Hukum_islam
(diakses pada 21 Maret 2017, 16:22 WIB)
Marzuki. Tinjauan Umum Hukum Islam.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Marzuki,%20M.Ag./Dr.%20Marzuki
,%20M.Ag_.%20%20Buku%20Hukum%20Islam%20BAB%202.%20Tinjauan%20Umum%2
0Hukum%20Islam.pdf (diakses pada 21 Maret 2017, 16:52 WIB)

Você também pode gostar