Você está na página 1de 28

Salah satu materi penting dalam naskah Rancangan

Undang-undang (RUU) Pemilukada yang disiapkan


Kemendagri adalah soal pembatasan dinasti politik di
daerah. Menurut Juru bicara Kemendagri, Reydonizar
Moenek, Pemerintah menilai keberadaan dinasti politik
sebagai sesuatu hal yang tidak sehat untuk demokrasi
maupun tata kelola pemerintahan
Indonesia. Menurutnya, penilaian pemerintah ini
berdasarkan fakta di sejumlah daerah di Indonesia.
"Ada seorang walikota yang anaknya adalah ketua
DPRD. Lalu bagaimana saat membahas anggaran?
Kemudian ketika sudah tidak menjabat, mantan kepala
daerah ini tetap berkantor di ruangan istrinya yang
menjadi kepala daerah. Dia ikut campur menjalankan
pemerintahan”.
Di Indonesia, dinasti politik sebenarnya sudah muncul di dalam keluarga Presiden
pertama Indonesia, Soekarno. Hal tersebut terbukti dari anak-anak Soekarno yang
meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang politisi, seperti Megawati
Soekarno Putri , Guruh Soekarno Putra, dll. Dinasti politik juga terlihat pada diri
keluarga mantan Presiden Indonesia Alm K.H. Abdurrahman Wahid, dengan
tampilnya saudara-sudara dan anak kandungnya ke dalam dunia perpolitikan
Indonesia. Kemudian, dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini, Susilo Bambang
Yudhoyono, kecenderungan dinasti politik juga mengemuka dengan kiprah anaknya
Eddie Baskoro atau Ibas yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009-2014.

Fenomena dinasti politik ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Fenomena ini terjadi
pula di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Di India
dan Pakistan misalnya, terdapat dinasti politik Gandhi dan Bhutto. Di Thailand dan
Filipina terdapat dinasti politik Sinawatra dan Aquino. Di Lebanon-Timur Tengah,
terdapat dinasti politik Gemayel dan Hariri. Di Amerika Serikat terdapat dinasti politik
Bush, Clinton, dan tentu saja yang paling terkenal adalah dinasti politik Kennedy.

Lalu, mengapa dinasti politik dipermasalahkan di Indonesia? Apa yang salah dengan
dinasti politik di Indonesia? Bukankah mengikuti kontestasi politik untuk menjadi
pimpinan jabatan publik, seperti kepala daerah, merupakan hak politik tiap warga
negara?

Itulah kira-kira beberapa gambaran pertanyaan yang diajukan oleh para penentang
pembatasan dinasti politik di Indonesia. Untuk menyikapi isu dinasti politik secara
bijak, alangkah lebih baik kalau diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan dinasti politik.
Dinasti Politik?

Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang


bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di
pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain
yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.
Itulah pengertian netral dari dinasti politik. Terdapat pula pengertian positif dan
negatif tentang dinasti politik. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses
dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan dinasti
politik bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta
kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat maka dinasti politik dapat berarti positif. Akan tetapi,
bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti
dinasti politik juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum
dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik bersangkutan. Dinasti politik yang
terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem
hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum
mantap, maka dinasti politik dapat berarti negatif. Dinasti politik tidak bermasalah
bila kondisinya berkebalikan dengan yang tersebut di atas, seperti dinasti politik
Bush dan Kenndey di Amerika Serikat.

Istilah lain yang sepadan dengan pengertian dinasti politik adalah tren politik
kekerabatan. Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren
politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama
berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan
regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam
menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur
patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung,
sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi
yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung
oleh jalur prosedural.

Amich Alhumami, peneliti sosial di University of Sussex, Inggris, menyebut politik


kekerabatan itu tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi. Sebab, proses rekrutmen
didasarkan pada sentimen kekeluargaan, bukan kompetensi. Menurutnya, jika terus
berlanjut, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi
modern.

Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis


kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus
menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun
di atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is thicker
than water --darah lebih kental daripada air. Doktrin ini menegaskan, kekuasaan --
karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social
privileges-- harus berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja.

Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya hubungan
persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak melingkar di antara pihak-
pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water
itu, di era modern, para politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya dengan
cara memanipulasi sistem politik demokrasi.

Para kerabat --lantaran pertalian darah-- dianggap lebih dapat dipercaya dan tak
mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka,
para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi
caleg atau calon kepala daerah. "Ini bentuk manipulasi sistem politik modern melalui
mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung banyak kelemahan.

Mereka menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena political privileges
keluarga, yang hanya memproduksi politisi tiban atau karbitan. Bukan political
credentials kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati nan otentik.

Political credentials bisa diperoleh melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme sosial-politik
yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine,
kredibel, dan bereputasi cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan
seseorang menjadi politikus terpelajar dengan prestasi individual yang secara
objektif diakui masyarakat. Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik dan
pengalaman pendidikan yang panjang.

Di Indonesia, terdapat pula tokoh politik nasional yang tumbuh, selain karena
mewarisi darah aristokrasi politik keluarga, juga memiliki political credentials yang
mereka bangun sendiri. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bisa disebut mewakili
tokoh politik yang membangun political credentials melalui kombinasi dua jalan tadi.
Sedangkan Megawati menempuhnya melalui jalan yang pertama.

Contoh Dinasti Politik di Daerah

Semenjak otonomi daerah diberlakukan di sejumlah daerah bermunculan dinasti-


dinasti politik. Beberapa contoh dinasti politik daerah dapat disebut, di antaranya
adalah: (1) dinasti keluarga Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang menguasai
jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan seluruh kabupaten di Banten;
(2) di Kabupaten Kutai Kartanegara-Kaltim dimana bupati yang sekarang, Rita
Widyasari, adalah anak dari bupati sebelumnya yang bermasalah secara hukum.
Rita Widyasari berhasil mengalahkan Awang Ferdian Hidayat yang merupakan anak
dari Awang Farouk, Gubernur Kaltim saat ini; (3) di Bontang-Kaltim, istri walikota
Bontang yang juga menjabat sebagai ketua DPRD Bontang, Neni Moernaeni, maju
dalam Pemilukada Bontang 2011; (4) di Lampung, juga disesaki persaingan putra
tokoh politik. Rycko Menoza, anak Gubernur Lampung, Sjachroedin, berhasil
menjadi Bupati Lampung Selatan. Di Way Kanan, putra bupati setempat, Agung Ilmu
Mangkunegara, bersiap meneruskan kekuasaan sang ayah. Anak Bupati Tulang
Bawang, Arisandi Dharma Putra, berlaga di Pemilukada kabupaten lain: Pesawaran.
Di Kota Bandar Lampung, Heru Sambodo, anak Ketua Golkar Lampung, Alzier
Dianis Tabrani, mengincar posisi walikota.

(5) Di Jambi, terjadi persaingan untuk jabatan gubernur mendatang di antara dua
orang keluarga dekat Gubernur Zulkifli Nurdin, yang telah menjabat dua periode,
yaitu Hazrin Nurdin, adik gubernur, dan Ratu Munawwaroh, istri gubernur.
(6) Di Tabanan-Bali, Eka Wiryastuti, anak Bupati Tabanan, Adi Wiryatama,
bersikeras maju menggantikan kursi bapaknya. Di Lombok Tengah, NTB, pada
Pemilukada Juni 2005, melahirkan pasangan mertua-menantu pertama sebagai
bupati (Lalu Wiratmaja) dan wakil bupati (Lalu Suprayatno). (7) Di Kalimantan
Tengah, muncul dinasti keluarga Narang. Pada saat Teras Narang dilantik menjadi
Gubernur Kalteng pada Agustus 2005, ketua DPRD kalteng dijabat oleh kakaknya,
Atu Narang. Pasca-Pemilu 2009, pamor dinasti politik Narang makin benderang. Atu
Narang terpilih kembali sebagai Ketua DPRD Kalteng. Putra sulung Atu, Aris
Narang, menjadi anggota DPRD Kalteng dengan suara terbayak. Adik Aris, Asdy
Narang, terpilih jadi anggota DPR-RI.

(8) Di Sulawesi Selatan, terdapat dinasti keluarga Yasin Limpo. Pensiunan Angkatan
Darat ini pernah menjadi Bupati Luwuk, Majene, dan Gowa. Yasin telah pensiun.
Tapi istri dan anak-anaknya tetap berkiprah di ranah politik. Pada periode 2004-
2009, istri Yasin, Nurhayati, menjadi anggota DPR-RI. Putra pertamanya, Tenri Olle,
jadi anggota DPRD Gowa. Tenri bertugas mengawasi adiknya, Ichsan Yasin (putra
kelima), selaku Bupati Gowa. Putra kedua, Syahrul Yasin, menjadi Wakil Gubernur
Sulsel dan sejak April 2008 naik jadi gubernur setempat.

(9) Di Jawa Tengah, terdapat salah satu keluarga legendaris sebagai pemasok
pejabat publik setempat yaitu keluarga pasangan R. Sugito Wiryo Hamidjoyo dan R.
Rustiawati. Lima dari 11 putra Sugito meramaikan bursa jabatan publik di Jawa
Tengah dan Jawa Barat pada periode 2004-2009. Putra kedua, Don Murdono, jadi
Bupati Sumedang sejak 2003 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2008. Adiknya,
Hendy Boedoro, menjadi Bupati Kendal sejak tahun 2000 dan terpilih untuk kedua
kalinya pada 2005. Karier Hendy tersandung. Sejak Desember 2006, ia ditetapkan
sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Si bungsu, Murdoko, juga tak mau kalah. Ia
melesat jadi Ketua DPRD Jawa Tengah 2004-2009 dan terpilih untuk kedua kalinya
pada 2009. Sang ayah, Sugito, dulu adalah Sekretaris PNI Kendal.

(10) Di Kabupaten Indramayu-Jawa Barat, Bantul-D.I. Yogyakarta dan Kediri-Jawa


Timur, di mana bupati sekarang di 3 kabupaten tersebut adalah istri dari bupati
sebelumnya; dan masih banyak contoh lainnya di berbagai daerah di Indonesia.

Pemilu 2004 dan 2009 serta sejumlah Pemilukada semenjak 2005 telah
menghasilkan peta pemimpin daerah yang kental pertalian kerabat.

Urgensi Pembatasan Dinasti Politik

Secara pribadi, penulis setuju dengan gagasan pemerintah untuk membatasi dinasti
politik di daerah. Saya senada dengan apa yang telah dikatakan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono: “Tidak patut jika kepala daerah yang telah habis masa
jabatannya digantikan oleh anak atau isterinya” (Kompas, 24 Agustus 2010). Akan
tetapi, lebih jauh penulis mendorong agar terdapat pula regulasi yang membatasi
dinasti politik di tingkat nasional. Regulasi tersebut bisa dituangkan dalam UU
Pilpres yang akan datang.

Dinasti politik perlu dibatasi karena pertimbangan berikut. Pertama, dinasti politik,
terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik oligarkhi yang bernuansa
negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh
satu keluarga, maka mekanisme checks and balances tidak akan efektif. Akibatnya,
rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarga.

Kedua, dinasti politik mengarah pada terbentuknya kekuasaan yang absolut. Bila
jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga dekat yang
berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun menjabat,
kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian oleh
anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan Soeharto ala
orde baru. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana
adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute
Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula).

Ketiga, dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif
kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah,
maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil. Keluarga
incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pemilukada, akan dengan
mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk
memenangkan pertarungan seraya menyingkirkan para kompetitornya. Apalagi, bila
keluargapun turut berbisnis ikut dalam tender-tender dalam proyek pemerintah di
daerah bersangkutan, maka dapat dibayangkan dana-dana pemerintah dalam
bentuk proyek mudah menjadi bancakan dengan aneka warna KKNnya. Dana
pemerintah seolah milik uang keluarga.

Keempat, dinasti politik dapat menutup peluang warga negara lainnya di luar
keluarga incumbent untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini, bila terjadi, akan
mendegradasi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu diatur agar jabatan
kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus menerus oleh satu keluarga
inti secara berurutan.

Kelima, pembatasan dinasti politik diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas


demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk
berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan
incumbent dalam kontestasi Pemilu maupun Pemilukada.

Prinsipnya, pembatasan dinasti politik itu untuk mengatur bukan mematikan hak
politik seseorang sama sekali. Oleh karenanya, penulis tidak setuju dengan
anggapan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM) seperti
yang dilontarkan oleh Sekjend Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP),
Muchtar Sindang.

Usul pengaturan pembatasan dinasti politik di daerah


dari kemendagri, dengan misalnya ada jeda satu masa
jabatan sebelum keluarga dekat seorang kepala daerah
mencalonkan diri. Atau dilarang mencalonkan diri di
wilayah provinsi yang sama, patut diapresiasi. Penulis
setuju dengan ide itu.
Pengantar
Dalam politik dinasti ini merupakan hal yang negative
namun sebagian positif, tergantung dari mana kita
menyudutkan hal tersebut. Makalah ini cukup
representative dalam mengkaji multi perspektif dari kata-
kata “politik dinasti”.

Tujuan
Makalah lebih menitikberatkan pada posisi sudut
pandang netralitas dalam menilai politik dinasti ini.

Pembahasan
Politik dinasti, satu kata yang dapat dikaji maknanya
melalui kajian etika dalam kehidupan sehari-hari,
keakhlak dan budi pekertian, kemultikulturalisme dan
identitas kebangsaan, geopolitik dan geostrategi,
wilayah kenegaraan, serta hukum, konstitusi,
kedaulatan, dan pendidikan demokrasi.
Pertama dikaji dalam etika kehidupan sehari-hari;
secara garis besar, pengertian etika dapat
disederhanakan menjadi suatu hal yang digunakan
untuk membatasi, meregulasi, melarang dan
memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan
mana yang dijauhi. Pun demikian dengan etika dalam
berpolitik. Berbicara soal moralitas merupakan hal yang
cukup pelik. Sebab moralitas bukan sekedar tugas
pemberian nasehat yang hanya menyentuh dan berupa
himbauan yang bersifat teoretik serta tidak sampai pada
upaya pemecahan masalah konkret. Etika sebagai
sistem pengkajian terhadap moral pun bukan
sekedar bertugas menyusun sederetan daftar perbuatan
baik yang harus dikerjakan
serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Etika
justru memiliki sifat dasar kritis, yang mempertanyakan
landasan argumentatif dari hak berlakunya norma, hak
perorangan, masyarakat, lembaga masyarakat, ketika
memberlakukan norma yang harus ditaati oleh orang
lain, sehingga orang lain tersebut wajib taat terhadap
norma tersebut. Dengan kata lain etika dapat
mengantarkan orang mampu bersikap rasional, sadar
dan kritis untuk membentuk pendapatnya sendiri dan
bertindak sesuai dengan keyakinan dan kebebasannya,
sehingga manusia yang otonom secara utuh dengan
sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan pendapat
serta pilihan tindakannya
Saat ini, perkembangan politik di Indonesia seakan-akan
mulai meninggalkan etika yang seharusnya perlu untuk
dijaga. Etika dalam kehidupan masyarakat dan dunia
politik pada dasarnya adalah sama. Keduanya
merupakan pembatas bagi tindakan mana yang
diperlukan dan tindakan mana yang perlu dijauhi.
Sebagai contohnya, adalah semakin kentalnya
pemerintahan ini dengan politik dinasti. Sejalan dengan
sebutannya, politik dinasti mengarah pada adanya
hubungan darah antar pemegang kekuasaan di dalam
pemerintahan. Sehingga hal ini tentu menguntungkan
bagi anggota keluarga yang memiliki kerabat dalam
pemerintahan. Akibatnya, akan terbentuk keluarga
politik yang nantinya akan mengarah kembali kepada
terjadinya nepotisme, seperti di zaman orde baru.
Bahaya, itulah kata yang menggambarkan dampak
negatif adanya politik dinasti. Politik dinasti berdampak
tumbuhnya sentralisasi kekuasaan yang diikuti dengan
adanya kepentingan keluarga dan kroninya dalam
pemerintahan. Hal tersebut tentu akan menjadi batu
sandungan dalam mewujudkan pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang notabene
merupakan bentuk ideal demokrasi.
Praktis, laju pemerintahan pun akan kehilangan navigasi
yang disebabkan adanya kepentingan keluarga dalam
pemerintahan, bukan lagi berorientasi pada kepentingan
rakyat. Namun, tentu tidak pula menutup kemungkinan
adanya kemajuan dan perkembangan positif dalam
pemerintahan terkait dengan politik dinasti.
Perkembangan yang positif dapat timbul jika
kepentingan rakyat adalah hal yang selalu diutamakan,
bukan kepentingan keluarga dan kroninya. Tentu bukan
kesalahan jika anggota keluarga yang mewarisi
pengaruh politik pendahulunya, tanpa unsur nepotisme,
merupakan tokoh yang berkompeten, memiliki
kredibilitas, dan berkapabilitas dalam menjalankan
pemerintahan yang bersih.
Hal yang diuraikan di atas akan membawa kita kembali
pada etika dalam kehidupan bermasyarakat, dalam hal
ini lebih terfokus pada pemerintahan. Seperti yang telah
diuraikan, etika akan menjadi pembatas atau regulator
tentang tindakan mana yang perlu dilakukan dan perlu
dijauhi. Politik dinasti yang berkaitan dengan nepotisme
dengan orientasi untuk menjalankan kepentingan
keluarga atau kroninya jelas merupakan hal yang dapat
merusak suatu pemerintahan yang berdampak pada
dikesampingkannya kesejahteraan rakyat. Namun akan
lain ceritanya jika politik dinasti tersebut tidak terkait
dengan nepotisme serta berorientasi pada
kesejahteraan rakyat, dimana anggota keluarga yang
terlibat benar-benar memiliki kompetensi, kredibelitas,
dan kapabilitas dalam menjalankan pemerintahan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan
demikian, etika dalam kehidupan pemerintahan, terkait
dengan timbulnya politik dinasti, memiliki peran yang
sangat vital untuk menjaga tujuan pemerintah dalam
mensejahterakan rakyat.
Kajian kedua mengenai penerapan akhlak dan budi
pekerti ini, politik dinasti ini sangat tidak sesuai dengan
hal tersebut. Seharusnya dalam menentukan siapa yang
berhak duduk dipemerintahan itu harus berdasarkan
kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya bukan
berdasarkan siapa yang membawanya kedalam
pemerintahan. Peran akhlak dan budi pekerti sangat
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sebagai penyaring budaya – budaya yang tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Budaya dalam
hal ini adalah budaya yang marak terjadi ketika masa
pra-reformasi yakni memasukan anggota keluarga
kedalam pemerintahan. Akhlak dan budi pekerti dipakai
sebagai filter sehingga politik dinasti ini sebaiknya tidak
dilakukan di Indonesia karena tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang notabene Indonesia
adalah negara yang demokrasi; negara yang
mengizinkan setiap warga negaranya yang kompeten
untuk berperan aktif dalam pemerintahan; bukan malah
mengizinkan orang yang tidak sama sekali kompeten
duduk di pemerintahan menjadi wakil rakyat, yang
nantinya harus menampung dan menyalurkan aspirasi
rakyat, hanya karena status penting orang tuanya di
pemerintahan.

Kajian ketiga mengenai kemultikulturalismean di negeri


ini; belum lama ini, kira-kira satu tahun berselang,
Indonesia mengalami keriuhan pesta demokrasi. Pada
tahun 2009, secara nasional diadakan Pemilihan Umum
untuk anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil
Presiden, dalam jangka waktu kepemimpinan selama
lima tahun, yaitu 2009-2014. Proses ini memang
memakan waktu yang cukup panjang dan biaya yang
sangat besar, dilihatdari antusiasme media massa yang
terus-menerus menampilkan huru-hara kampanye
pemilu, profil para bakal calon, debat para kandidat,
proses quick count (penghitungan cepat), sampai pada
akhirnya terpilihlah para anggota dan presiden/wakil
presiden. Salah satu pemberitaan yang didengungkan
oleh media massa dan para ahli politik pun turut angkat
bicara adalah mengenai dinasti politik.
Dalam tulisan (Suparlan 2001a, 2001b), telah saya
bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk
membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan
cara membangun bertolak dari hasil perombakan
terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun
oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah
masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya
hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang
bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan
rasa aman dalam masyarakat yang menjamin
kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan
kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat
Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil
reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde
Baru adalah sebuah ‘masyarakat multikultural Indonesia’
yang bercorak ‘masyarakat majemuk’ (plural society).
Corak masyarakat Indonesia yang ‘bhinneka tunggal ika’
bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan
kebudayaannya, melainkan keanekaragaman
kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia
yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan, baik secara individual maupun
secara kebudayaan (Fay 1996; Jary dan Jary 1991;
Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini,
sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa
seperti Indonesia) dilihat mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat
tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di
dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat lebih kecil yang membentuk
terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang
mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut
(Reed 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya
telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri
bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang
dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, seperti
terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang
berbunyi: ‘kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah
puncak-puncak kebudayaan di daerah’.
Dinasti politik yang dalam bahasa sederhana dapat
diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau
aktor politik yang dijalankan secara turn-temurun atau
dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat.
Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang
sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap
perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini
adalah kekuasaan.
¬ Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah
hal yang jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah
pembicaraan, padahal pada prakteknya dinasti politik
secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih
dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman
kemerdekaan. Dinasti politik sebenarnya adalah sebuah
pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun
pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat
terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di
Filipina. Dinasti politik tidak hanya tumbuh di kalangan
masyarakat demokratis-liberal. Dilihat dari segi historis,
dinasti kerajaan Hindu -Buddha serta dinasti kerajaan
Islam pernah berkembang di Indonesia yang dimulai
dari tahun 300M. Munculnya nilai-nilai luhur budaya dan
adat istiadat kebiasaan yang berkembang di Indonesia
saat ini, juga ditenggarai oleh faktor adanya dinasti-
dinasti kerajaan di Indonesia.
Pembangunan oligarki kepemimpinan partai politik
dengan membangun trah atau dinasti politik sedang
marak di Indonesia. Penyusunan calon anggota legislatif
periode 2009 – 2014, dijadikan momentum
mengukuhkan dinasti politik. Sifat koncoisme yang
menjadi jatidiri rezim Orde Baru dan di kecam habis-
habisan oleh kelompok kristis kala itu, kini dicontek dan
dipraktekkan secara penuh oleh partai politik dalam
menetapkan nomor urut jadi. Berdasarkan informasi
sejumlah TV dan Koran nasional, banyak anak
politikus/tokoh senior partai politik sudah diterjunkan
untuk bertarung meraih kursi anggota legislatif periode
2009 – 2014. Ibarat pepatah, buah apel jatuh tidak jauh
dari pohonnya. Sebagai contoh, SBY sebagai Ketua
Dewan Pembina Partai Demokrat sudah menurunkan
Edhie Baskoro Yudhoyono untuk Dapil Jawa Timur VI
(Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi).
Dinasti politik yang muncul di Indonesia menunjukkan
beberapa asumsi bahwa dengan berkembangnya
dinasti politik, maka kemungkinan besar, rakyat hanya
akan disuguhkan aktor-aktor politik yang itu-itu saja
yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, kctor-
aktor tersebut menerapkan pola kelakuan politik yang
sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang
sama. Dinasti politik itu sendiri tidak sepenuhnya
dipenuhi oleh hal-hal yang negative, ada pula dinasti
politik yang positif dengan melakukan perbaikan
kesalahan-kesalahan dan membuat kebijakan-kebijakan
yang lebih baik dari pada generasi dinasti politik yang
sebelumnya.
Namun pada saat ini, bukankah fenomena dinasti politik
bertentangan dengan pelaksanaan nilai-nilai dasar
negara yang fundamental, yaitu demokrasi? Bagaimana
dengan demokrasi di Indonesia? Bukankah seharusnya
demokrasi menjadi jembatan pengikat dan jembatan
masyarakat multikultur yang mengakkomodasi
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat? Ya, satu hal
yang penting untuk diingat dan dipahami adalah bahwa
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultur.
Multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin
membawa masyarakat dalam kerukunan dan
perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski di
dalamnya ada kompleksitas perbedaan. Oleh karena itu,
untuk menerapkan multikulturalisme menuntut
kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk
saling mengakui dan menghormati keanekaragaman
identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan
perdamaian. Dengan fenomena dinasti politik yang saat
ini terus mencuat dan berkembang, aktor-aktor politik
yang muncul akan selalu “sama” dalam menerapkan
pola kelakuan politiknya ke masyarakat. Dimana
kemungkinan besar, dalam menerapkan suatu
kebijakan, solusi, atau hal lainnya akan dipandang dari
satu sisi saja, yaitu nilai yang diemban penuh oleh aktor-
aktor politik tersebut. Padahal, Indonesia merupakan
bangsa multikultur, dimana semua kebutuhan dan
perbedaan-perbedaan yang ada sebaiknya difasilitasi
dan diwadahi oleh suatu toleransi yang mencakup
keseluruhan, yang idealnya dimulai oleh pemerintah
sendiri, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang
kondusif, aman, dan sejahtera.
Kajian keempat mengenai wilayah kenegaraan, seperti
telah kita ketahui, Indonesia merupakan wilayah yang
sangat luas dan berbentuk negara kepulauan.
Tentunya, faktor negara kepulauan ini juga memiliki
banyak sisi positif dan negatif dalam kenyataannya.
Dalam upaya pembelaan tanah air, struktur geografis
yang berbentuk kepulauan, membuat pemerintah
negara sulit mengamati setiap pulau yang ada dalam
wilayah kekuasaannya. Sehingga yang terjadi adalah
seringkali pulau – pulau yang kita miliki “dicuri” atau
diakui oleh negara lain.
Ironisnya, negara kepulauan yang ada juga
menimbulkan permasalahan lain. Secara etnis, atau
kebudayaan, Indonesia merupakan negara yang terdiri
atas beragam budaya. Di setiap pulau yang berbeda,
terdapat beberapa sub-kultur yang berbeda. Indonesia
merupakan negara majemuk, namun "kata-kata"
semangat persatuan, Indonesia patut diacungi jempol
dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika” yang
dimilikinya. Namun yang dikhawatirkan adalah
semboyan yang ada kini mulai luntur dan "terlupakan"
oleh bangsa kita. Perbedaan-perbedaan yang ada justru
menimbulkan konflik antar budaya, seperti
permasalahan ras, perbedaan agama, golongan, dan
lain sebagainya. Jangan sampai tragedi Timor Leste
terulang dalam kehidupan bangsa Indonesia ini.
Perbedaan ini bukan hanya terjadi dalam kalangan
masyarakat. Dalam tingkat pemerintahan pun, hal yang
serupa juga terjadi. Indonesia, yang menganut sistem
multipartai, terdiri atas berbagai partai koalisi untuk
mencapai kekuasaan. Idealnya, setelah para aktor
politik masuk ke dalam “bangku” pemerintahan, maka
setiap aktor politik harus “mencopot baju” partai milik
mereka dan “mengenakan baju” nasional mereka.
Namun kenyataannya, perbedaan antar partai tersebut
memperuncing berbagai permasalahan yang ada,
sehingga pemerintah berjalan tidak efektif sebagaimana
mestinya.
Instabilitas politik, ketidakpercayaan terhadap sesama
aparat pemerintah, ikut menambah gejolak politik
Indonesia. Pemerintah yang seharusnya menjadi ujung
tombak dalam mengatasi permasalahan diferensiasi
sosial kini “ikut – ikutan” dalam membeda–bedakan
antara satu dengan yang lainnya. Tokoh dari parpol “A”
bertentangan pendapatnya dengan tokoh parpol “B",
demikian seterusnya. Kesamaan perspektif yang
diharapkan semakin sulit ditemukan. Sehingga
pemerintah semakin sulit mempertahankan wilayah
Indonesia yang suatu waktu terpecah belah ini.
Oleh karenanya, muncullah suatu solusi yang sangat
“booming” tentang bagaimana menjalankan
pemerintahan yang “sejalan”. Pemerintah kembali
melakukan praktek politik dinasti, sebagai salah satu
solusi untuk mengatasi konflik daerah. Seperti yang
telah kita ketahui sebelumnya, dinasti merupakan model
perpolitikan yang terjadi pada zaman monarchy
(kerajaan) di mana anggota rezim–rezim suatu
pemerintahan merupakan anggota keluarga dan kerabat
dekat dari sang raja atau kepala pemerintahan pada
masa itu. Hal ini pernah diterapkan oleh Indonesia dan
masih terus menjalar sampai dengan masa orde baru, di
mana pengangkatan aparatur pemerintah diangkat
langsung oleh kepala pemerintahan.
Setelah beberapa waktu, hal yang disinggung sebagai
KKN (terutama nepotisme) ini dianggap tidak efektif,
walau pun praktik KKN sempat terhapuskan. Munculah
era reformasi, di mana aparatur pemerintahan dipilih
langsung oleh rakyat. Nuansa demokrasi kembali lebih
terasa, dan KKN dapat diminimalisasi. Namun sekarang,
isu KKN kembali melejit kembali, terutama disebabkan
karena penyalahgunaan konsep otonomi daerah.
Disebutkan dalam UU no. 32 tahun 2004 tentang
penyelenggaraan otonomi daerah, bahwa daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah
tangganya sendiri. Hal ini sering disalahgunakan
dengan cara mengangkat kader–kader yang merupakan
anggota keluarga atau kerabat dekat.
Kasus–kasus dinasti politik ini juga semakin banyak
dijumpai, contoh kasus pada masa periode pemilihan
anggota legislatif 2009–2014, SBY sebagai Ketua
Dewan Pembina Partai Demokrat sudah menurunkan
Edhie Baskoro Yudhoyono untuk Dapil Jawa Timur VI
(Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi);
Theo L. Sambuaga politikus senior Partai Golkar
melepas anaknya Jerry A.K. Sambuaga di Dapil Jakarta
III (Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu),
dan masih banyak lagi.
Tentunya ada sisi positif dan sisi negatif dari politik
dinasti ini. Dikaji secara positif, "konflik interest"
terhadap sesama aparatur pemerintah dapat ditekan,
karena sama–sama berasal dari satu kalangan,
permasalahan di daerah–daerah dapat ditekan dan
dapat diselesaikan lebih cepat. Negatifnya, praktik politik
dinasti ini, disadari atau tidak, menutup kesempatan
bagi kader–kader muda non-kerabat ikut berpartisipasi
aktif dalam dunia perpolitikan; memberikan kesempatan
yang sangat minim bagi anggota masyarakat umum
untuk menjadi partisipan yang aktif, sehingga aktor
politik menjadi statis; hanya dari kalangan tertentu saja.
Kajian kelima ini menitikberatkan pada keempat
konsepsi mengenai negara, konstitusi, kedaulatan, dan
pendidikan demokrasi; seolah membentuk mata rantai
dependensi. Bahwa negara dengan seperangkat sarana
penunjang termasuk pemerintahan yang berlandaskan
konstitusi kokoh merujuk pada sistem pengaturan
kedaulatan terus menerus mereorientasikan pada
pendidikan demokrasi menuju kondisi negara-bangsa
Indonesia seutuhnya.
Umumnya, negara adalah alat (agency) dari masyarakat
yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan
gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Negara pun
dapat mengintegrasikan dan membimbing penduduk ke
arah tujuan bersama dari masyarakat seluruhnya.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum
termasuk di dalamnya konstitusi dan dengan
perantaraan pemerintah beserta alat kelengkapannya.
Negara pun mempunyai sifat khusus yang merupakan
manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang
hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat
pada asosiasi atau organisasi lain; memiliki sifat
memaksa, monopoli, dan mencakup semua.
Constituency is the manner by which the state defines
groups of citizens for the purposed electing a political
representative (s); is conceptually prior to voting.
Konstitusi tidak terlepas dari undang-undang, hanya
saja konstitusi telah berkembang sebelum undang-
undang dasar pertama dirumuskan, dengan ide pokok
untuk membatasi kekuasaan pemerintah dalam
penyelenggaraan tidak sewenang-wenang. Dengan
adanya konstitusi, menurut Walter F Murphy, sangat
menjunjung tinggi kehormatan atau harga diri manusia
sebagai prinsip utamanya. Konstitusi menjadi instrumen
yang sangat penting be dengan tugas peradaban dari
demokrasi tersebut (Demokrasi Besi, Donny Gahral
Adian).
Kedaulatan yang merupakan salah satu unsur negara
terdefinisikan sebagai kekuasaan tertinggi untuk
membuat undang-undang dan melaksanakannya
dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia.
Negara mempunyai kekuasaan tertinggi ini untuk
memaksa semua penduduknya agar menaati undang-
undang serta peraturan-peraturannya (kedaulatan ke
dalam-internal sovereignity). Di samping itu negara
mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan-
serangan dari negara lain dan mempertahankan
kedaulatan ke luar (external sovereignity), untuk itu
negara menuntut loyalitas mutlak dari warga negaranya.
Kedaulatan merupakan suatu konsep yuridis dan
konsep kedaulatan ini tidak selalu sama dengan
komposisi dan letak dari kekuasaan politik. Kedaulatan
yang bersifat mutlak sebenarnya tidak ada, sebab
pemimpin kenegaraan (raja atau diktator) relalu
terpengaruh oleh tekanan-tekanan dan faktor-faktor
yang membatasi penyelenggaraan kekuasaan secara
mutlak. Apalagi dalam menghadapi masalah dalam
hubungan internasional; perjanjian-perjanjian
internasional pada dasarnya membatasi kedaulatan
suatu negara. Kedaulatan umumnya tidak dapat dibagi-
bagi, tetapi dalam negara federal sebenarnya
kekuasaan dibagi antara negara dan negara-negara
bagian.
Dalam buku lain disimpulkan 4 kritera kedaulatan
teritori, yaitu:
• Territorial districts would not or should not represent
local communities of interest.
• Territorial districts would not or should not protect real
property interests.
• Territorial districts would not or should not foster
attachment to the national government.
• Territorial districts would not or should not enable
citizen to consent to their electoral constituency.
Menata demokrasi melalui pendidikan bukanlah
pekerjaan gampang, kendati negara-negara AS dan
Eropa, pendidikan demokrasi adalah bagian tak
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional negara
tersebut, pelajaran berharga bahwa adanya keterkaitan
antara sikap-sikap demokratis dengan program
pendidikan demokrasi (civic education) melalui jalur
formal. John Sibarani, peneliti politik Lembaga Kajian
Demokrasi Leksika, Jakarta, menuturkan bahwa bagi
negara transisi menuju demokrasi seperti Indonesia,
pendidikan kewarganegaraan yang mampu memperkuat
barisan masyarakat sipil yang beradab dan demokratis
amat penting dilakukan. Pendidikan kewarganegaraan,
menurutnya, bukanlah barang baru dalam sejarah
pendidikan nasional, sejak era Soekarno dikenal
pendidikan civic, era Soeharto dengan berbagai nama
dan tingkatan. "Budaya dan praktik penyalahgunaan
kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite
politik dan pelaku bisnis sejak masa Orba hingga kini
adalah fakta gagalnya pendidikan kewarganegaraan
masa lalu" ujarnya. Adi Nugroho, pengajar komunikasi
politik Universitas Diponegoro Semarang, mengatakan
upaya reformasi atas Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) nasional sudah saatnya dilakukan secara
mendasar meliputi konsep, orientasi, materi, metode,
dan evaluasi pembelajarannya. Ke depan PKn
diarahkan untuk membamgun daya kreativitas dan
inovasi peserta didik melalui pola-pola pendidikan yang
demokratis dan partisipatif, serta metode indoktrinatif
masa lalu sudah harus dicabut dan diganti dengan
metode pembelajaran berorientasi pada peserta didik
dan antar peserta didik dengan guru sama-sama
mempraktikkan demokrasi berbasis pengembangan
berfikir kritis. Ditutup dengan evaluasi pembelajaran
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif dengan orientasi
pada sistem pembelajaran yang demokratis, menurut
pengamatan Education and Culture Society Foundation,
Jakarta.
Lalu, mari kita ikut menyiapkan para pemimpin itu
melalui pendidikan politik yang sehat, paling kurang
melalui sekolah yang bernama "masyarakat".
Toh, pada akhirnya masa depan demokrasi ada di
tangan masyarakat, bukan partai politik.
Politik dinasti adalah upaya untuk mengekalkan
kekuasaan para penguasa melalui kaderisasi saudara-
saudara maupun kerabat-kerabatnya. Hal tersebut
menjadi fenomena nyata dalam kehidupan politik di
Indonesia sekarang, baik di tingkat daerah maupun
nasional. Secara hukum maupun prinsip demokrasi, hal
tersebut tidak disalahkan, karena semua warga negara
memiliki hak sepadan untuk mencalonkan diri sebagai
pemimpin politik, termasuk saudara/kerabat dari
penguasa sebelumnya. Akan menjadi hal yang baik
apabila calon tersebut adalah benar-benar orang yang
kompeten. Namun sebaliknya akan menjadi masalah
apabila calon tersebut hanya mendompleng nama
kerabat penguasanya untuk mencalonkan diri, tanpa
kemampuan yang mumpuni.

Dampak negatif lainnya tentang politik dinasti adalah


akan mengurangi kesempatan warga lainnya yang
‘mungkin’ lebih pantas untuk berpartisipasi dalam
kepemimpinan politik. Dan apabila terjadi, dapat
dipastikan kolusi dan nepotisme makin tumbuh subur
dalam politik dinasti demikian.
Tidak ada hukum yang menyalahkan politik dinasti.
Demokrasi selalu menyerahkan pilihan kepada rakyat.
Mau pemimpin yang berdinasti atau tidak, semua
tergantung rakyat. Oleh karena itu, agar dapat terpilih
pemimpin yang baik, seharusnya seluruh rakyat
Indonesia memiliki kecerdasan politik. Kecerdasan ini
sangat tergantung pada pendidikan politik yang ada.

Definisi pendidikan politik mengandung tiga syarat


penting, yakni: Pertama, adanya perbuatan memberi
latihan, ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan
kapasitas dan potensi diri manusia. Kedua, perbuatan di
maksud harus melalui proses dialogik yang dilakukan
dengan suka rela antara pemberi dan penerima pesan
secara rutin. Ketiga, perbuatan tersebut ditujukan untuk
para penerima pesan dapat memiliki kesadaran
berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.

Seluruh komponen bangsa perlu melakukan pendidikan


politik terhadap masyarakat hingga ke pelosok daerah
dalam rangka menjaring calon pemimpin nasional (Prof.
Dr. Ing. B.J. Habibie, Jakarta, 28/11/08). Pernyataan di
atas memang benar. Pendidikan dapat dilakukan di
mana saja dan oleh siapa saja, asalkan tepat untuk
menciptakan kecerdasan. Pendidikan politik juga
selayaknya disampaikan melalui LSM, pemuka agama,
tokoh masyarakat, serta pemimipin informal agar lebih
efisien dan efektif.

Namun kenyataan yang ada, pendidikan politik


Indonesia masih belum sampai pada pelaksanaan dan
implementasi yang ideal. Pihak pertama pendidik politik,
partai politik, oleh Antonio Gramsci dikategorikan
sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil (Roger
Simon, 1999), diharapkan dapat melaksanakan
fungsinya sebagai Instrumen Of Political
Education dengan baik dan benar, sesuai amanat yang
tertuang dalam pasal 11 huruf A UU No. 2 Tahun 2008,
tentang Partai Politik. Akan tetapi, pendidikan politik
yang dilakukan parpol sangat berbau kepentingan
golongan belaka. Inilah yang membuat rakyat tidak
menyadari prinsip demokrasi yang menyeluruh.

Pihak utama pendidik politik lainnya, menurut Ketua


DPP PPP Lukman Hakim Syaefuddin mengatakan
bahwa pemerintah menjadi pihak yang bertanggung
jawab untuk melakukan tugas pendidikan politik secara
makro karena memiliki dukungan finansial dan
infrastruktur yang akan membuat pelaksanaannya lebih
efektif. Pendapat tersebut disampaikan di Jakarta
(8/9/10). Tapi hal yang sama terjadi, pelaksanaan oleh
pemerintah belum konkret. Dibutuhkan komitmen tinggi
para petinggi pemerintahan untuk melakukannya.

Selanjutnya, pendidikan politik oleh lembaga


pendidikan. Indonesia membutuhkan lembaga
independen seperti perguruan tinggi untuk memberikan
pendidikan politik pada masyarakat setelah partai politik
saat ini gagal menjalankan fungsi tersebut. Namun
kondisinya perguruan tinggi dan sekolah saat ini justru
mematikan wawasan politik dengan hanya
memfokuskan diri hanya kepada pendidikan kognitif.
Dampaknya tingkat kedewasaan demokrasi warga dan
masyarakat politik di Indonesia tidak terjadi (Yudi Latif,
Bandung, 18/11/10).

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai salah


satu pendidik politik di Indonesia ternyata berperan lebih
besar dalam mencerdaskan kesadaran politik
masyarakat ketimbang parpol. Sudah banyak berdiri
LSM yang berorientasi pada pengawasan kinerja
pemerintahan dan pemilihan umum, yang paling tidak
sudah dapat menjelaskan definisi demokrasi kepada
masyarakat.

Lalu ada sebuah artikel dari internet berjudul: Iwan Fals


vs Oom Pasikom, Media Pendidikan Politik Alternatif.
Judul tersebut sangat menggelitik. Masyarakat
sepertinya sudah mual dengan situasi politik yang ada,
sehingga berupaya mengembangkan media alternatif
untuk mengajarkan masyarakat luas mengenai politik
ideal. Lagu-lagu Iwan Fals dan cerita komik Oom
Pasikom mampu tampil menarik dan tajam dalam
mengkritisi keadaan yang ada. Dan terbukti, cara
mereka lebih efektif daripada cara-cara parpol dan
pemerintah untuk mencerdaskan kesadaran politik
bangsa.

Politik dinasti memiliki banyak dampak negatif bagi


keberlangsungan politik Indonesia. Namun sistem yang
ada tidak melarang hal tersebut. Demokrasi sebagai
sistem yang ada, menyerahkan pilihannya kepada
rakyat. Rakyat yang cerdas pastinya mampu memilih
pemimpin yang berkualitas. Pencerdasan ini sudah
dirintis oleh berbagai pihak untuk memperbaiki keadaan
yang ada. Alangkah baiknya jika kita turut serta dalam
upaya pendidikan politik, dan tetap optimis untuk politik
Indonesia yang madani.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.partaigerindra.or.id/index.php?option=com_c
ontent&task=view&id=1201&Itemid=28, 27 November
2010.
http://www.koran-jakarta.com/berita-
detail.php?id=62199, 27 November 2010.
http://www.sumbawanews.com/berita/opini/parpol-dan-
pelaksanaan-pendidikan-politik.html, 27 November
2010.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/127549, 27
November 2010.
http://umum.kompasiana.com/2009/02/01/pendidikan-
politik-rakyat/, 27 November 2010.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2064423-
iwan-fals-vs-oom-pasikom/, 27 November 2010.
Pengarang : Slamet Soemiarno dkkData Publikasi :
Soemiarno, Kartono dkk. 2010.
Buku Ajar III Bangsa, Budaya, dan Lingkungan Hidup di
Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit FKUI
Dalam system demokrasi, dimana suara rakyat adalah suara yang menentukan nasib bangsa,
apabila dikaitkan dengan dinasti politik, maka secara prinsipil hal tersebut merupakan sebuah
hal yang lumrah dan diperbolehkan untuk dilakukan. Dinasti politik secara sederhana memang
dapat diartikan sebagai sebuah penggunaan hak-hak politik rakyat dalam “boleh memilih dan
dipilih”. Hal itu dibolehkan, karena subjek dari dinasti politik tersebut pastilah warga Negara
atau dengan kata lain salah satu dari rakyat yang memenuhi persyaratan dalam penggunaan
hak politiknya sehingga ak tersebut dapat digunakan.
Tapi dinasti politik disini juga dapat dilihat sebagai sebuah pisau yang bermata dua, dimana
hal tersebut merupakan sebuah kemacetan “Bottle neck” dari sebuah penggunaan hak warga
Negara lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari asumsi, bahwa dengan berkembangnya dinasti
politik, maka kemungkinan besar, rakyat hanya akan disuguhkan actor-aktor politik yang itu-itu
saja yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, actor-aktor tersebut menerapkan pola
kelakuan politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama.
Yang menjadi permasalahan utama politik dinasti–begitu yang penulis sebut—adalah politik
dinasti sebenarnya ditentukan oleh generasi pertama dalam sebuah dnasti tersebut, dimana
hal tersebut akan menjadi sebuah tolak ukur bagi rakyat, apakah pada generasi pertama
tersebut, dalam menjalankan peran politiknya, mampu untuk mengejawantahkannya secara
benardalam menyejahteraakan rakyat dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat,
ataukah justru generasi pertama tersebut malah merusak tatanan kehidupan bernegara dan
berbangsa. Hal itulah yang akan menjadi factor utama penerimaan masyarakat terhadap
bentuk dinasti politik atau pilitik dinasti tersebut. Tapi tak jarang juga sebuah politik dinasti
justru lahir untuk membetulkan kesalahan-kesalahan dari generasi-generasi sebelumnya yang
dianggap gagal. Tapi semua itu akan menjadi hak rakyat dalam sebuah system demokrasi,
apakah akan merestui terbentuknya politik dinasti tersebut ataukan malah akan menolak
politik dinasti tersebut.
Dinasti Politik dan Korupsi
Dalam melihat aspek penyelewengan kekuasaan yang berorientasi terhadap keuntungan pribadi
dalam aspek dinasti politik dalam system demokrasi. Kita seharusnya dapat melihat terlebih
dahulu mengenai definsisi korupsi itu sendiri secara baku. Dalam hal ini penulis memperluas
cakupan korupsi itu sendiri dengan mendampingkannya terhadap dua aspek penyelewengan
lainnya, yaitu kolusi dan nepotisme. Penulis melihat pada dasarnya Korupsi adalah sebuah
penyelewengan, sehingga kolusi dan nepotisme merupakan sebuah hal yang merupakan
kelanjutan dari korupsi itu tersebut.
Apabila memakai asumsi tersebut dipakai, maka dinasti poltik adalah sebuah mekanisme yang
sangat rentan terhadap korupsi tersebut. Hal ini akan terlihat sangat jelas dengan llogika
bahwa seseorang yang duduk dalam bangku kekuasaan akan memprioritaskan kerbat dekatnya
atau keluarganya untuk juga bisa mendapatkan kekuasaan atau dalam level terkecil
mendapatkan jabatan sebagai aparatur Negara atau lingkup-lingkup dibawahnya.
Menilik dari adagium Lord Acton tersebut, dinasti politik yang berpola seperti diatas akan
terlihat sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang dan otoritas, yang tentu sja hal itu
merupakan sebuah bentuk korupsi (KKN). Dalam lingkup sederhana sebenarnya dinasti politik
dapat dibenarkan, dengan cara memberikan pembelajaran politik terhadap kerabat terdekat
atau bahkan keluarga agar jiwa politik yang didasarkan pada pemahaman tata kehidupan
bernegara dan berbangsa dapat tumbuh di kalangan kerabat terdekat maupun keluarga.
Sehingga dalam pembahasan dinasti politik dan korupsi tersebut lebih menitik beratkan kepada
actor politiknya itu sendiri, apakah mereka membangun sebuah dinasti politik berdasarkan
kesadaran untuk menciptakan tata kehidupan bernegara dan berbangsa dengan baik dan benar
ataukah membangun sebuah dinasti politik dengan kesadaran untuk mempertahankan
kekuasaan yang orientasinya adalah keuntungan pribadi.

Você também pode gostar