Você está na página 1de 12

SISITEM KEPARTAIAN DAN PEMILU DI INDONESIA

Faksi-faksi Partai Nasional Indonesia pada tahun 1951-1955

Dosen:

Dr. Dra. Dede Sri Kartini, M.Si.

Disusun oleh:

Muhammad Dzikrul Anwar

170410150029

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

Periode 1946-1950 adalah tahun-tahun frustasi bagi PNI. Sebaliknya,


periode berikutnya, yang meliputi tahun 1951-1955, adalah masa pertumbuhan
yang luar biasa. Sepanjang periode ini, PNI menggantikan Masyumi sebagai partai
yang berkuasa dalam perpolitikan kabinet dan mampu mengimbangi besarnya
fraksi Masyumi di parlemen. PNI mengembangkan organisasi yang rapih dan
menjangkau daerah-daerah pedeasaan. Partai ini memantapkan diri sebagai wakil
politik utama bagi sebagian besar birokrasi dan kelas baru kaum pengusaha
nasional. Pada awal 1955, perbedaan PNI-Masyumi terutama terletask pada apa
yang bisa disebut sebagai masalah-masalah sekular. Perpecahan yang memisahkan
kedua fraksi dalam elite Jakarta ini adalah perbedaan pandangan tentang prioritas
serta arah perkembangan politik dan ekonomi Indonesia.

Pertentangan PNI-Masyumi bermula karena semakin pentingnya penilaian


yang diberikan unsur-unsur agama dan budaya pada saat kedua partai tersebut
berupaya keras mennghimpun pendukung dalam pemelihan umum. Persimpangan
di antara kedua partai tersebut terletak pada perbedaan pandagan politik para
pemimpinnya. Jarak antara pimpinan kedua partai tersebut dan para pendukungnya
lebih besar dibandingkan dengan jarak yang memisahkan mereka sebagai kelompok
dalam elite nasional. Namun dalam upaya mengerahkan dukungan untuk pemilihan
umum, para pemimpin kedua partai harus menjembatani kesenjangan antara di
mereka sendiri dan para pendukung yang menjadi sasarannya.

Perbedaan-perbadaan ini pada mulanya berkaitan dengan ketidak sepakatan


pendapat di antara individu-individu dan faksi-faksi elite partai itu. Faksi-faksi
dalam kedua partai tersebut selama periode ini menunjukan betapa pentingnya
kriteria pembedaan yang didasarkan pada elite. Ini sangat tepat bagi faksi-faksi
dalam PNI. Selama periode 1951-1955, kita bisa lihat adanya tiga faksi berbeda di
tubuh PNI: faksi Sidik, faksi Wilopo, dan faksi PNI-Partindo sebelum perang.
Dasar-dasar pembagian yang terpenting antara ketiga faksi ini berasal dari
pengalaman politik dan latar belakang pendidikan mereka sebelum perang.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Kelompok Sidik Djojosukarto

Faksi kelompok Sidik terdiri dari Sidik dan Sarmidi. Selain Sidik dan
Sarmidi, para pemimpin penting yang tergabung dalam faksi ini adalah S.
Hadikusumo, Manai Sophiaan, dan Soetojo Mertoimoeljo. Kelompok inilah yang
mencetuskan sikap ideologis nasionalis radikal partai tersebut. Misalnya, bagian-
bagian pernyataan PNI yang antikapitalis dan proburuh dalam azas-azas partai yang
dirumuskan pada 1950 bisa ditelusuri langsung pada pengaruh Sarmidi. Dibawah
kepemimpinan Sidik ini PNI mengambil posisi kiri terhadap masalah 1949 dan
1950.

Setelah 1954, pengaruh kelompok ini dalam tugas merumuskan kebijakan


mulai menurun. Pada saat itu, partai sedang berusaha merumuskan jalan tengah
ideologis yang cocok demi kepentingan pemelihan umum. Namun hampir di
sepanjang periode ini, kelompok Sidik yang memegang puncuk pimpinan dalam
mengorganisasikan dukungan-dukungan daerah. Kebanyakan anggota faksi Sidik
yang berpengaruh di tubuh PNI adalah orang-orang-orang Jawa dan para Priyai
(bangsawan) yang sekular dalam pandangan keagamaanya. Para anggota faksi
Sidik kebanyakan berasal dari keluarga pedagang kecil, pejabat desa, kerani, dan
para pejabat paling bawah dalam birokrasi kolonial. Para anggota kelompok Sidik
aktif dalam fraksi partai di parlemen. Tingkat pendidikan anggota faksi Sidik jauh
lebih rendah pendidikannya dibandingkan anggota faksi Wilopo dan PNI-Partindo
sebelum perang. Pendidikan mereka bersekolah di luar Jakarta dan Bandung, pusat-
pusat utama pendidikan selama masa kolonial. Beberapa di antara mereka dididik
dan kemudian mengajar di sekolah Taman Siswa.

2.2 Kelompok Mr. Wilopo

Kedudukan faksi ini di tubuh PNI tidak terlalu didasarkan pada populeritas
anggotanya dalam keanggotaan partai, melainkan pada kesesuaian pandangan
politiknya dengan kebanyakan pemipin Masuimi. Dalam banyak hal, faksi Wilopo
lebih dekat dengan Kelompok Natsi dalam Masyumi dibandingka kedua faksi
dalam partainya sendiri. Sikap para anggotanya terhadap berbagai masalah
menandakan bahawa kelompok ini konservatif, menentang sosok antikapitalis faksi
Sidik, dan menekankan tujuan pada stabilitas perekeonomian yang ingin
menggantikan penguasaan kolonial atas perekonomian. Mencurigai ideologi
radikal dan tidak mampu mengorganisasikan dukungan massa, faksi Wilopo
beranggapan bahwa kepemimpinan politik adalah fungsi mereka yang
berpendidikan tinggi.

Para pemimpin faksi Wilopo tidak aktif sebagai organisator partai seperti
halnya kelompok Sidik. Mereka kebanyakan menjadi pejabat pemerintah, dan pada
umumnya duduk di lembaga-lembaga pengambil keputusan ekonomi. Kelompok
Wilopo ini mereka tidak membenci Islam politis yang berbeda dengan faksi Sidik.
Namun mereka sangat takut akan radikalisme PKI dan pada umumnya sangat
antikomunis. Selain Mr. Wilopo, para pemimpin yang bergabung dengan kelompok
ini antara lain adalah Mr. Sumanang, Moekarto Notowidagdo, Lukman Hakim, Mr.
Sumarno, Sujono Hadinoto, dan Soebagjo Reksodipoero. Pada faksi Wilopo para
anggotanya berasal dari latar belakang keluarga yang beranekaragam jenjang
sosialnya. Namun, perlu dicatat bahwaw hanya di kalangan kelompok Wilopolah
terdapat para pemimpin yang memiliki hubungan baik dengan kelompok pedagang
islam. Hampir semua anggota kelompok Wilopoberpendidikan Sekolah Tinggi
Hukum (Rechshoogeschool) Batavia pada akhir 1930-an. Semasa mahasiswa,
mereka membentuk kelompok diskusi informal dan sangat akrab secara sosial.

2.3 Kelompok PNI-Partindo Sebelum Perang

Kelompok PNI-Partindo sebelum perang ini tidak jauh berbeda dengan faksi
Sidik karena kelompok ini mempunyai tujuan antikolonial dan konservatif dalam
menghadapi msalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya. Selain itu juga para
anggota faksi PNI-Partindo sebelum perang sebagian besar mengabaikan
kebutuhan keorganisasian partai. Mereka lebih suka duduk pada jabatan-jabatan
yang tinggi dalam birokrasi. Namun berbeda dari kelompok Wilopo, kebanyakan
anggotanya memelih duduk pada jabatan yang secara khusus lebih berkaitan
dengan pengambilan keputusan politik daripada ekonomi. Dalam kabinet, mereka
biasanya menduduki jabatan di Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Luar
Negeri. Kekuasaaan kelompok PNI-Partindo sebelum perang bersumber dari
hubungan dekat para anggotanya dengan Presiden Soekarno dan status mereka
sebagai pemimpin gerakan nasionalis sebelum perang. Diantara para pemimpin
yang berpengaruh dan bergabung dalam kelompok ini adalah Mr. Sartono, Mr. Ali
Sastroamidjojo, Mr. Iskaq Tjokroadisurjo, Mr. Sunario, dan Mr. Susanto
Tirtoprodjo. Para anggota faksi PNI-Partindo sebelum perang pada umumnya
berasal dari latar keluarga bangsawan Jawa dan kelompok pamong praja dalam
masyarakat priyayi tingkat atas.

2.4 Perbedaan Pandangan Faksi-faksi PNI dalam Kabinet Sukiman-Wilopo-


Ali

Kabinet Wilopo merupakan gambaran terbaik mengenai akibat perubahan


pola pembagian pengelompokan di tubuh PNI terhadap hubungan PNI-Masyumi.
Setelah jatuhnya Kabinet Natsir yang didominasi Masyumi pada Maret 1951, Dr
Sukiman Wirjosandjojo membentuk kabinet baru. Sukiman memperoleh dukungan
terutama berasal dari orang bukan-Jawa, khususnya yang berasal dari
Minangkabau. Para anggota kelompok Sukiman mempunyai hubungan pribadi
maupun politik yang lebih dekat dengan para pemimpin PNI dan Presiden Soekarno
dibandingkan dengan para anggota kelompok Natsir. Kelompok Natsir terutama
menjalin hubungan dengan para anggota Partai Sosialis Indonesia. Berbeda dengan
kabinet Natsir yang sama sekali tidak mengikutsertakan PNI, tetapi pada Kabinet
Sukiman menyertakan lima orang PNI untuk jabatan menteri, yang kebanyakan
dengan mempunyai hubungan yang erat dengan faksi PNI-Partindo sebelum
perang.

Keputusan PNI untuk berpartisipasi dalam Kabinet Sukiman mestinya


dibuat melalui pertimbangan yang menyakitkan. Unsur yang sangat penting dalam
keputusan tersebut tentunya keinginan untuk meningkatkan kekuasaan partai
melalui pengendalian portofolio kabinet yang penting. Faktor lainnya adalah
peranan aktif Presiden Soekarno dalam pembentukan kabinet. Pada tahun-tahun
menjelang pembentukan Kabinet Sukiman , pengaruh Presiden dalam PNI semakin
meningkat akibat eratnya hubungan Soekarno dengan Sidik dan kebanyakan
anggota kelompok PNI-Partindo sebelum perang. Kesamaan sikap Soekarno dan
PNI terhadap masalah-masalah kunci seperti Irian adalah faktor lain yang turut
meningkatkan hubungan tersebut.

Ketidakpuasan di kalangan pemimpin partai di daerah yang mengeluarkan


pernyataan atas ketidaksetujuaan yang terang-terangan terhadap kebijakan
pimpinan nasional berkenaan dengan pembentukan Kabinet Sukiman.
Ketidakpuasan itu meluas sehingga Sidik, S. Hadikusumo, dan Gatot Mangkupraja
harus melakukan perjalanan keliling ke cabang-cabang partaidi seluruh Jawa untuk
menjelaskan kedudukan pimpinan partai di tingkat nasional. Salah satu konsekuensi
dari perpecahan di tubuh PNI akibat pembentukan Kabinet Sukiman adalah
melemahnya faksi Sidik dalam pimpinan nasional. Kekuatan Sidik bersumber dari
hubungan garis radikal dan juga dari dukungan keorganisasian yang mantap di
cabang-cabang partai. Ditinggalkannya garis politik ini melemahkan dukungan
bagi faksi Sidik di kalangan pemimpin PNI lokal yang sangat kuat keyakinannya
kepada garis politik tersebut.

Perpecahan di tubuh PNI akibat peran sertanya dalam Kabinet Sukiman


tercermin sepanjang tahun kabinet tersebut berkuasan. Misalnya para pimpinan PNI
mengungkapkan ketidaksetujuan masyarakat terhadap dua masalah yang timbul
selama kabinet itu memerintah, yakni embargo dagang PBB terhadap Cina dan
penggayangan terhadap PKI pada Agustus 1951. Sarmidi menyatakan bahwa pada
prinsipnya menentang embargo tersebut. Ketika pemerintahan melancarkan
kampanye anti-PKI secara besar-besaran dan menahan sekitar 15.000 orang
diseluruh negeri, organ partai, Suara Partai, berusaha menyangkal mati-matian
bahwa mentri-menteri PNI di kabinet terlibat dalam penggayangan itu. Dalam
parlemen, dua wakil PNI mengecam pemburuan terhadap orang-orang PKI tersebut
sebagai pengguna kekuasaan yang bertentangan dengan undang-undang.

Kabinet Sukiman menandatangani persetujuan bantuan Amerika Serikat di


bawah persyaratan Mutual Security Act (Undang-undang Kerja Sama Keamanan
Amerika Serikat 1951) atau MSA yang menimbulkan keberatan dari berbagai
kelompok politik. Secara akalamasi Dewan Partai PNI memutuskan menolak
komitmen MSA dan menutut pengembalian mandat kabinet. Salah satu akibat dari
perbedaan pendapat mengenai MSA adalah semakin meningkatnya arus tuntutan
perlunya “zaken kabinet” untuk menggantikan pemerintahan Sukiman. Dan kabinet
Sukiman digantikan oleh Kabinet Wilopo.

Terpilihnya Wilopo sebagai pemimpin kabinet merupakan keberhasilan


PNI, karena itulah kabinet pertama yang dipimpin seorang perdana mentri PNI.
Namun bagi sebagian besar pemimpin PNI, ini merupakan keberhasilan yang
terbatas. Orang-orang yang disetujui Wilopo untuk dimasukkan ke kabinet adalah
mereka yang pandangannya bertentangan dengan pandangan faksi Sidik. Kabinet
Wilopo tidak menyenangkan bagi Sidik dan para pemimpin utama lainnya di tubuh
PNI. Ketidaksuakaan ini tampak jelas dalam pertemuan Dewan Partai pada 24-25
Mei 1952. Usaha-usaha Wilopo sebagai formatur mendapat kecaman pedas. Salah
satu keputusan Dewan partai secara tajam mengatakan bahwa anggota partai yang
dipilih oleh Kepala Negara sebagai formatur kabinet dan/atau menteri di kabinet
harus meminta izin dari DPP sebelum menerima penunjukan tersebut.

Perbedaan pandangan antara kabinet Wilopo dan faksi Sidik selanjutnya


terungkap dalam masalah-masalah yang timbul selama kabinet tersebut berkuasa.
Perbedaan ini mencakup serangkaian masalah, termasuk masalah hubungan luar
negeri, kebijakan ekonomi, dan hubungan kabinet dengan Angkatan Darat. Dalam
bidang politik luar negeri, perbedaan PNI-Masyumi mengenai hubungan dengan
Belanda yang berasal dari masa Kabinet Natsir dihidupkan kembali. PNI
mengajukan kebijakan menekan Belanda agar menyerah dalam masalah Irian.
Namun Kabinet Wilopo mengikuti denga teliti garis diplomatik yang dimulai
beberapa tahun sebelumnya oleh Hatta, suatu garis kebijakan yang difokuskan
untuk merundingkan konsensi-konsesi terbatas dan membiarkan sebagian besar
unsur hubungan Indonesia-Belanda tidak tersentuh.

Sebuah masalah yang jauh lebih rumit muncul akibat kegagalan sejumlah
perwira tinggi Angkatan Darat menekan Presiden Soekarno agar membubarkan
parlemen pada 17 Oktober 1952. Pemicu upaya tersebut adalah pengajuan mosi di
parlemen oleh Manai Sophiaan (PNI) untuk meneliti kebijakan Kementrian
Pertahanan dan Staf Umum Angkatan Darat. Dalam hal ini, kepentingan PNI
terletak pada keprihatinannya bahwa Angkatan Darat mengembangkan karakter
politik yang berbeda dan bertentangan dengan karakternya sendiri, sesuatu yang
diyakini sebagai akibat PSI yang semakin besar dikalangan pimpinan Angkatan
Darat.

Setelah “peristiwa 17 Oktober” PNI memimpin kampanye mengutuk usaha


Angkatan Darat pada hari itu sebagai uapaya kudeta. Pada awalnya Wilopo
menutupi keadaan di tubuh Angkatan Darat agar tidak semakin parah tanpa
menindak para perwira yang paling langsung terlibat dalam peristiwa tersebut. Baru
setelah kampanye yang dipimpin PNI mencapai puncaknya dan terutama setelah
terjadi pengambil alihan sejumlah Komando Daerah Militer, Wilopo akhirnya
memecat beberapa perwira teras Angkatan Darat. Pengurangan kekuasaan
pimpinan nasional Angkatan Darat ini melemahkan kelompok-kelompok faksi
Wilopo yang merupakan kekuatan dasar Kabinet Wilopo. Dengan demikian,
kekuasaan dan keabsahan Kabinet Wilopo menjadi sangat merosot. Sebaliknya,
Presiden Soekarno dan PNI, atau lebih khusunya, faksi Sidik, mendapatka
keuntungan besar dari “peristiwa 17 oktober” ini. Berkat hubungan dekat dengan
Presiden yang semakin berkuasa, dan peranannya yang menonjol dalam kelompok
anti-Peristiwa 17 Oktober, kedudukan faksi Sidik dan PNI secara keseluruhan
semakin membaik pada bulan-bulan berikutnya.

Selain perbedaan PNI-Masyumi, salah satu faktor terpenting penyeba


jatuhnya Kabinet Wilopo adalah semakin merosotnya kekuasaan dan pengaruh
faksi Wilopo dalam pimpinan PNI. Batas pengaruh yang dimenangkan Wilopo
dalam kongres kelima pada Mei 1951 secara perlahan-lahan terkikis karena
meningkatnya kebencian terhadap faksinya di tubuh partai secara keseluruhan.
Penyebabnya, Wilopo menolak bekerja sama dengan kelompok Sidik. Para
pemimpin partai berang karena Wilopo menjalin kerja sama dengan Masyumi dan
PSI. Dengan pimpinan PNI tingkat nasional berada di tangan kekuatan anti-Wilopo,
tidaklah mengherankan bilak Kabinet Wilopo jatuh tidak lama setelah kongres
berakhir. Pada waktu itu, Sidik sangat berkepentingan dengan jatuhnya Kabinet
Wilopo bukan saja karena dia merasa yakin bahwa PNI akan dapat
mempertahankan kursi Perdana Menteri, tetapi juga akan memperoleh kedudukan
yang lebih kuat dalam kabinet-kabinet berikutnya.
Setelah lebih dari sebulan pergolakan di tubuh partai, pada 1 Agustus 1953
terbentuklah kabinet di bawah Pemimpinan PNI Ali Sastroamidjojo. Akhirnya
kelompok Sidik memperoleh kabinet yang setia kepada kepentingan dan kemauan
partai untuk melaksanakan kepentingan dalam bidang-bidang yang penting. Dua
faktor khusus sepanjang 1952-1953 telah membantu PNI menguasai perpolitikan
parlemen dan kabinet pada pertengahan 1953. Keputusan NU untuk menarik diri
dari Masyumi pada April 1952 sangat memperlemah saingan utama PNI ini.
Sehingga pada 1954, PNI menjadi kelompok terbesar di palemen.

Perkembangan penting kedua yang membantu memperbaiki kedudukan


PNI pada akhir 1952 dan 1953 adalah pergeseran strategi PKI, dari oposisi keras
terhadap PNI, terutama selama masa Kabinet Sukiman, menjadi sepenuhnya
mendukung Kabinet Wilopo. Pergeseran ini merupakan bagian dari perubahan
menyeluruh garis politik PKI dari oposisi terhadap apa yang disebutnya sebagai
“rezim nasional” menjadi pengakuan terhadap keabsahan beberapa tujuan
nasionalisme radikal.

Terlepas dari pengaruh penarikan diri NU dari Masyumi dan perubahan


strategi PKI, perkembangan internal PNI juga membantu menentukan watak politik
Kabinet Ali. Menghilangnya hampir secara total faksi Wilopo dan menangnya faksi
Sidik dalam kongres keenam pada Desember 1952 memperkuat PNI secara
keseluruhan dalam menghadapi pesaing-pesaingnya.

Meskipun tidak ada seorang pun menteri PNI dalam Kabinet Ali yang
tergabung dalam faksi Sidik, kendali Sidik terhadap partai secara keseluruhan
cukup untuk menjamin keseuaian kabinet dengan kebijakan partai. Ali
Sastroamidjojo, Sunario, dan Iskaq Tjokroadisujo merupakan menteri PNI dalam
kabinet yang masuk ke anggota faksi PNI-Partindo sebelum perang. Dlihat dari
keseimbangan pengelompokan di tubuh PNI, dominasi faksi PNI-Partindo sebelum
perang di kabinet, dalam koordinasi rapat dengan kepemimpinan Sidik dalam
partai, adalah kelanjutan dari hubungan yang semakin dekat antara kedua faksi ini
sejak zaman Wilopo dan terutama setelah kongres keenam.

Yang memperlemah Kabinet Ali dan memaksa pengunduran diri Iskaq pada
November 1954 bukanlah keabsahan kebijakannya, yang diterima oleh sebagian
besar kelompok politik, tetapi penggunaan kedudukannya yang nyata-nyata
memihak. Oposisi menuduh partai mempergunakam kedudukan Iskaq dan Dr. Ong
Eng Die untuk menghimpun dana kampanye pemilihan Umum. Tuduhan ini
beredar luas dalam masyarkat sehingga bisa mengancam PNI dengan citra sebagai
partai politikus korup. Sepanjang koalisi kabinet belum pecah, usaha oposisi tidak
akan efektif, karena kabinet mengendalikan mayoritas kursi parlemen. Tetapi pada
akhir 1954, ketika PIR pecah menjadi yang prokabinet dan antikabinet, dan NU
serta PSII secara terbuka menutut pengunduran diri Iskaq, Dr. Ong, dan Hazairin
(menteri dalam negeri dari PIR), Ali terpaksa menerima pengunduran diri Iskaq dan
memberi NU kedudukan penting mentri dalam negeri agar kabinet itu tidak ambruk.

Jatuhnya Kabinet Ali disebabkan oleh kegagalan PNI mempertahankan


langkah-langkah kepemimpinan dinamis yang merupakan ciri khas Ali pada tahun
pertama pemerintahannya. Selain karena masalah korupsi yang melemahkan secara
politik, yakni pengunduran diri Iskaq, ini juga disebabkan oleh merosotnya
kepemimpinan faksi Sidik dalam partai.

Dalam kongres ketujuh PNI pada Desember 1954, kepemimpinan Sidik


mendapat kecaman pedas dari kelompok Wilopo dan unsur konservatif lainnya
karena cara-caranya mengatasi masalahkorupsi dan kenekadannya untuk bekerja
sama dengan PKI di parlemen. Kelompok Wilopo melakukan kecaman untuk
memaksakan pengunduran diri PNI dari proyek andalan Soekarno pada masa itu,
yakni membentuk Kongres Rakyat, kelompok Wilopo memperburuk hubungan
PNI dengan Presiden. Akbibatnya, Kabinet Ali kehilangan salah satu sekutu yang
paling penting. Bukan saja Presiden Soekarno tidak membantu mempertahankan
Kabinet Ali, dia juga menolak mendukung PNI dalam perdebatan yang akhirnya
mengarah ke pembentukan Kabinet Burhanuddin Harahap yang menggantikannya.
BAB 3

KESIMPULAN

Dalam upaya mencari sumber perbedaan di antara ketiga kelompok diatas,


kita melihat perbedaan yang jelas dalam pendidikan, kelas sosial, dan pengalaman
politik orang-orang yang terlibat di dalamnya. Meski tidak seorang pun dari para
pemimpin ini yang berasal dari kelas petani atau burujh, terlihat ada perbedaan
kelas sosial yang taja, di antara mereka

Harus ditunjukkan pula bahwa selama periode 1951-1955, pengelompokan


di tubuh PNI tidak berdasarkan dukungan teritorial atau basis etnis tertentu yang
jelas. Semakin pentingnya dasar teritorial bagi penggolongan di tubuh PNI setelah
1953 berkaitan dengan, dan kenyataannya, turut memberikan andil terhadap
pergeseran dari perbedaan berdasarkan elite ke perbadaan berdasarkan dukungan
pengikut antara PNI dan Masyumi.

Salah satu alasan yang menyebabkan lemahnya PNI pada masa lalu adalah
karena saingannya mampu mengambil keuntungan dari perpecahan di tubuh PNI
dengan menarik anggota-anggota kelompok yang lebih konservatif. Apa yang tidak
mereka sadari, pada waktu itu adalah bahwa di tubuh partai telah berkumpul
kekuatan-kekuatan yang berusaha untuk melemahkan partai justru pada saat partai
membangun kekuatannya dalam perpolitikan parlemen dan kabinet serta
mengarahkan sumber daya untuk memenangkan pemilu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Eliseo, J. Rocamora. 1975. Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan


runtuhnya PNI, 1946-1965. Dhakidae, Daniel. 1991. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
2. P.K, Poerwantana. 1994. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
3. Sjamsuddin, Nazaruddin. 1984. PNI dan Kepolitikannya. Jakarta: CV.
Rajawali
4. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terjemahan.
Jakarta: Serambi
5. Tirtoprodjo, Susanto. 1982. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
Jakarta: Pembangunan.

Você também pode gostar