Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Dosen:
Disusun oleh:
170410150029
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Faksi kelompok Sidik terdiri dari Sidik dan Sarmidi. Selain Sidik dan
Sarmidi, para pemimpin penting yang tergabung dalam faksi ini adalah S.
Hadikusumo, Manai Sophiaan, dan Soetojo Mertoimoeljo. Kelompok inilah yang
mencetuskan sikap ideologis nasionalis radikal partai tersebut. Misalnya, bagian-
bagian pernyataan PNI yang antikapitalis dan proburuh dalam azas-azas partai yang
dirumuskan pada 1950 bisa ditelusuri langsung pada pengaruh Sarmidi. Dibawah
kepemimpinan Sidik ini PNI mengambil posisi kiri terhadap masalah 1949 dan
1950.
Kedudukan faksi ini di tubuh PNI tidak terlalu didasarkan pada populeritas
anggotanya dalam keanggotaan partai, melainkan pada kesesuaian pandangan
politiknya dengan kebanyakan pemipin Masuimi. Dalam banyak hal, faksi Wilopo
lebih dekat dengan Kelompok Natsi dalam Masyumi dibandingka kedua faksi
dalam partainya sendiri. Sikap para anggotanya terhadap berbagai masalah
menandakan bahawa kelompok ini konservatif, menentang sosok antikapitalis faksi
Sidik, dan menekankan tujuan pada stabilitas perekeonomian yang ingin
menggantikan penguasaan kolonial atas perekonomian. Mencurigai ideologi
radikal dan tidak mampu mengorganisasikan dukungan massa, faksi Wilopo
beranggapan bahwa kepemimpinan politik adalah fungsi mereka yang
berpendidikan tinggi.
Para pemimpin faksi Wilopo tidak aktif sebagai organisator partai seperti
halnya kelompok Sidik. Mereka kebanyakan menjadi pejabat pemerintah, dan pada
umumnya duduk di lembaga-lembaga pengambil keputusan ekonomi. Kelompok
Wilopo ini mereka tidak membenci Islam politis yang berbeda dengan faksi Sidik.
Namun mereka sangat takut akan radikalisme PKI dan pada umumnya sangat
antikomunis. Selain Mr. Wilopo, para pemimpin yang bergabung dengan kelompok
ini antara lain adalah Mr. Sumanang, Moekarto Notowidagdo, Lukman Hakim, Mr.
Sumarno, Sujono Hadinoto, dan Soebagjo Reksodipoero. Pada faksi Wilopo para
anggotanya berasal dari latar belakang keluarga yang beranekaragam jenjang
sosialnya. Namun, perlu dicatat bahwaw hanya di kalangan kelompok Wilopolah
terdapat para pemimpin yang memiliki hubungan baik dengan kelompok pedagang
islam. Hampir semua anggota kelompok Wilopoberpendidikan Sekolah Tinggi
Hukum (Rechshoogeschool) Batavia pada akhir 1930-an. Semasa mahasiswa,
mereka membentuk kelompok diskusi informal dan sangat akrab secara sosial.
Kelompok PNI-Partindo sebelum perang ini tidak jauh berbeda dengan faksi
Sidik karena kelompok ini mempunyai tujuan antikolonial dan konservatif dalam
menghadapi msalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya. Selain itu juga para
anggota faksi PNI-Partindo sebelum perang sebagian besar mengabaikan
kebutuhan keorganisasian partai. Mereka lebih suka duduk pada jabatan-jabatan
yang tinggi dalam birokrasi. Namun berbeda dari kelompok Wilopo, kebanyakan
anggotanya memelih duduk pada jabatan yang secara khusus lebih berkaitan
dengan pengambilan keputusan politik daripada ekonomi. Dalam kabinet, mereka
biasanya menduduki jabatan di Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Luar
Negeri. Kekuasaaan kelompok PNI-Partindo sebelum perang bersumber dari
hubungan dekat para anggotanya dengan Presiden Soekarno dan status mereka
sebagai pemimpin gerakan nasionalis sebelum perang. Diantara para pemimpin
yang berpengaruh dan bergabung dalam kelompok ini adalah Mr. Sartono, Mr. Ali
Sastroamidjojo, Mr. Iskaq Tjokroadisurjo, Mr. Sunario, dan Mr. Susanto
Tirtoprodjo. Para anggota faksi PNI-Partindo sebelum perang pada umumnya
berasal dari latar keluarga bangsawan Jawa dan kelompok pamong praja dalam
masyarakat priyayi tingkat atas.
Sebuah masalah yang jauh lebih rumit muncul akibat kegagalan sejumlah
perwira tinggi Angkatan Darat menekan Presiden Soekarno agar membubarkan
parlemen pada 17 Oktober 1952. Pemicu upaya tersebut adalah pengajuan mosi di
parlemen oleh Manai Sophiaan (PNI) untuk meneliti kebijakan Kementrian
Pertahanan dan Staf Umum Angkatan Darat. Dalam hal ini, kepentingan PNI
terletak pada keprihatinannya bahwa Angkatan Darat mengembangkan karakter
politik yang berbeda dan bertentangan dengan karakternya sendiri, sesuatu yang
diyakini sebagai akibat PSI yang semakin besar dikalangan pimpinan Angkatan
Darat.
Meskipun tidak ada seorang pun menteri PNI dalam Kabinet Ali yang
tergabung dalam faksi Sidik, kendali Sidik terhadap partai secara keseluruhan
cukup untuk menjamin keseuaian kabinet dengan kebijakan partai. Ali
Sastroamidjojo, Sunario, dan Iskaq Tjokroadisujo merupakan menteri PNI dalam
kabinet yang masuk ke anggota faksi PNI-Partindo sebelum perang. Dlihat dari
keseimbangan pengelompokan di tubuh PNI, dominasi faksi PNI-Partindo sebelum
perang di kabinet, dalam koordinasi rapat dengan kepemimpinan Sidik dalam
partai, adalah kelanjutan dari hubungan yang semakin dekat antara kedua faksi ini
sejak zaman Wilopo dan terutama setelah kongres keenam.
Yang memperlemah Kabinet Ali dan memaksa pengunduran diri Iskaq pada
November 1954 bukanlah keabsahan kebijakannya, yang diterima oleh sebagian
besar kelompok politik, tetapi penggunaan kedudukannya yang nyata-nyata
memihak. Oposisi menuduh partai mempergunakam kedudukan Iskaq dan Dr. Ong
Eng Die untuk menghimpun dana kampanye pemilihan Umum. Tuduhan ini
beredar luas dalam masyarkat sehingga bisa mengancam PNI dengan citra sebagai
partai politikus korup. Sepanjang koalisi kabinet belum pecah, usaha oposisi tidak
akan efektif, karena kabinet mengendalikan mayoritas kursi parlemen. Tetapi pada
akhir 1954, ketika PIR pecah menjadi yang prokabinet dan antikabinet, dan NU
serta PSII secara terbuka menutut pengunduran diri Iskaq, Dr. Ong, dan Hazairin
(menteri dalam negeri dari PIR), Ali terpaksa menerima pengunduran diri Iskaq dan
memberi NU kedudukan penting mentri dalam negeri agar kabinet itu tidak ambruk.
KESIMPULAN
Salah satu alasan yang menyebabkan lemahnya PNI pada masa lalu adalah
karena saingannya mampu mengambil keuntungan dari perpecahan di tubuh PNI
dengan menarik anggota-anggota kelompok yang lebih konservatif. Apa yang tidak
mereka sadari, pada waktu itu adalah bahwa di tubuh partai telah berkumpul
kekuatan-kekuatan yang berusaha untuk melemahkan partai justru pada saat partai
membangun kekuatannya dalam perpolitikan parlemen dan kabinet serta
mengarahkan sumber daya untuk memenangkan pemilu.
DAFTAR PUSTAKA