Você está na página 1de 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata ‘deiksis’ berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti

penunjukan secara langsung (Purwo, 1984: 2). Dardjowidjojo (1988: 35) bersama

beberapa ahli bahasa Indonesia mengungkapkan deiksis sebagai gejala semantis

yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya

dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Dalam linguistik, istilah deiksis

digunakan untuk menunjukkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstratif,

fungsi waktu dan ciri gramatikal serta leksikal lainnya yang menghubungkan

tuturan dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak tuturan (Lyons, 1977 dalam

Purwo, 1982: 2). Berbicara mengenai deiksis, maka berbicara pula mengenai

referen. Sebuah kata dapat dikatakan deiktis jika referennya berpindah-pindah,

tergantung pada siapa penuturnya dan waktu serta tempat dituturkannya kata itu.

(1) « Je suis ici maintenant. »

‘Saya berada di sini sekarang.’

Kata je pada contoh (1) yang berarti ‘saya’ merujuk pada penutur atau

orang yang sedang berbicara. Kata ici yang berarti ‘di sini’ menunjuk pada tempat

dimana penutur melakukan tuturan tersebut, sedangkan maintenant yang berarti

‘sekarang’ merujuk pada waktu si penutur menuturkan kalimat tersebut.

Dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Linguistik Umum, Verhaar

(2010: 398) mengungkapkan bahwa deiksis dapat berupa endofora ‘dalam-

1
 
tuturan’ atau eksofora ‘luar-tuturan’. Pembagian deiksis yang seperti itu kemudian

diuraikan kembali oleh Bambang Kaswanti Purwo dalam disertasinya Deiksis

Dalam Bahasa Indonesia (1982) yang sudah dibukukan. Ia menguraikan deiksis

eksofora menjadi deiksis persona, deiksis ruang atau tempat, dan deiksis waktu

serta membagi deiksis endofora ke dalam anafora dan katafora.

Jika dalam deiksis eksofora yang dibicarakan adalah semantik leksikal,

maka dalam deiksis endofora yang dibicarakan adalah mengenai sintaksis (Purwo,

1982: 122). Deiksis yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu deiksis endofora

dalam bahasa Prancis (selanjutnya disingkat bP) dengan pembahasannya yang

terbagi menjadi anafora dan katafora, serta penerjemahannya dalam bahasa

Indonesia (selanjutnya disingkat bI) dan kemungkinan pergeseran yang terjadi

dalam penerjemahannya. Anafora merupakan hal atau fungsi merujuk kembali

pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya (KBBI, 2005: 41) atau

penunjukkan konstituen ke sebelah kiri, sedangkan katafora merupakan

penunjukkan konstituen ke sebelah kanan.

(2) «Un mouton, s’il mange les arbustes, il mange aussi les fleurs?» (LPP: 27)

“Jika biri-biri makan semak kecil, kalau begitu, apakah dia akan makan
bunga-bunga?” (TLP: 33)

(3) Je commence à comprendre, dit le petit prince. Il y a une fleur… je crois


qu’elle m’a apprivoisé… (LPP: 68)

“Aku mulai mengerti,” kata pangeran kecil. “Aku kenal setangkai bunga…
kurasa dia telah menjinakkanku…” (TLP: 79)

(4) « Ils peuvent venir, les tigres, avec les griffes. » (LPP: 32)

“Biarkan saja mereka datang, harimau-harimau, dengan cakar-cakar


mereka.” (TLP: 38)

2
 
(5) S’ils sont bien ramonés, les volcans brûlent doucement et régulièrement, sans
éruptions. (LPP: 34)

‘Jika dibersihkan dengan baik, gunung berapi menyala rendah dan stabil,
tanpa letusan.’ (TLP: 42)

Pronomina persona ketiga tunggal il dan elle pada contoh (2) dan (3)

masing-masing merujuk atau mengacu pada nomina yang berada di sebelah

kirinya, yakni un mouton dan une fleur. Perujukan seperti inilah yang disebut

dengan anafora, sedangkan katafora dapat dilihat pada contoh berikutnya, pada

contoh (4) dan (5), yakni pronomina ils yang merupakan pronomina persona

ketiga jamak merujuk pada les tigres dan les volcans yang berada di sebelah

kanan. Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa persyaratan bagi suatu

konstituen untuk dapat disebut anafora atau katafora haruslah berkoreferensi

(memiliki referen yang sama (secara luar-tuturan)) dengan konstituen yang diacu

(Purwo, 1984: 10).

Tidak ada perbedaan penggunaan kata ganti persona dalam bI untuk

membedakan benda berjenis maskulin atau feminin, maupun benda jamak seperti

dalam bP; maka dari itu kata il dan elle pada kalimat (2) dan (3) di atas, keduanya

diterjemahkan menjadi ‘dia’ dalam bI. Berbeda kasusnya dalam katafora dimana

pronomina ils pada contoh (4) diterjemahkan menjadi ‘mereka’, sedangkan pada

contoh (5) pronomina tersebut tidak memiliki padanan dalam bI.

Perbedaan sistem tata bahasa dalam proses mencari padanan yang tepat

dalam bahasa sasaran (selanjutnya disingkat BSa) tanpa menghilangkan

maknanya merupakan hal umum yang dihadapi setiap penerjemah. Contoh

penerjemahan kedua pemarkah anafora yang berbentuk pronomina persona pada

3
 
contoh (2) dan (3) serta pemarkah katafora pada contoh (4) dan (5) adalah salah

satu alasan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui bentuk kata deiktis

endofora lainnya dalam bP dan padanannya dalam bI. Selain itu, pergeseran yang

terjadi dalam proses penerjemahan kata-kata deiktis endofora tersebut serta

mengulas kemungkinan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi hasil

terjemahan.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berbeda dengan bahasa Inggris dan Latin yang memiliki pemarkah

katafora, bI tidak mengenal pemarkah katafora dalam klausa bawahannya. Selain

itu, tidak adanya pembeda jenis kelamin untuk pronomina dalam bI seperti bP

yang mengenal nomina atau kata benda maskulin dan feminin, baik itu bentuk

tunggal maupun jamak. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan diri pada

bentuk kata-kata deiksis endofora bP dan penerjemahannya dalam bI, khususnya

dalam novel Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry yang diterjemahkan

ke dalam bI oleh Listiana Srisanti dengan judul The Little Prince: Pangeran Kecil

serta jenis pergeseran-pergeseran apa saja yang terdapat dalam proses

penerjemahannya.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kata-kata deiktis

endofora bP yang terdapat dalam novel Le Petit Prince karya Antoine de Saint-

Exupéry. Identifikasi juga dilakukan pada bentuk padanan kata-kata deiktis

4
 
tersebut dalam karya terjemahannya dalam bI yang berjudul The Little Prince:

Pangeran Kecil oleh Listiana Srisanti.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai deiksis dalam bP telah dilakukan oleh Suhartini

dalam skripsinya yang berjudul Kata-kata Deiktis Eksoforis Bahasa Prancis dan

Penerjemahannya Dalam Bahasa Indonesia yang dikhususkan pada novel

Candide karya Voltaire yang diterjemahkan ke dalam bI oleh Dian Vita Ellyati

dengan judul yang sama dan Moderato Cantabille karya Marguerite Duras yang

diterjemahkan oleh Aspanti Djokosusanto dengan judul yang sama. Penelitian

tersebut memaparkan tentang bentuk kata-kata deiktis eksofora dalam bP dan

penerjemahannya dalam bI, serta membahas kemungkinan pergeseran yang terjadi

pada kata-kata deiktis eksofora tersebut.

Penelitian lain berbentuk skripsi mengenai deiksis eksofora bP juga

dilakukan oleh Rachmad Gilang Saputra dengan judul Deiksis Eksoforis Dalam

Dua Seri Komik Tintin: Tintin au Pays des Soviets dan Tintin au Congo Beserta

Penerjemahannya. Pembahasan deiksis eksofora pada skripsi ini tidak jauh

berbeda dengan yang telah dilakukan sebelumnya, hanya saja peneliti membahas

sedikit mengenai deiksis endofora untuk memperdalam dan memperjelas

perbedaannya dengan deiksis eksofora.

Selain itu, ada pula disertasi yang membahas mengenai deiksis karya

Bambang Kaswanti Purwo dengan judul Deiksis Dalam Bahasa Indonesia.

Disertasi tersebut memaparkan pengertian deiksis, pembagian deiksis, pembalikan

5
 
deiksis, deiksis peka konteks, dan sebagainya yang terdapat dalam bahasa

Indonesia.

Penelitian bahasa yang menyangkut topik deiksis, khususnya dalam bP,

belum banyak dilakukan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Dengan alasan tersebut, penelitian ini mengkhususkan diri pada deiksis endofora

dalam bahasa Prancis yang terdapat dalam novel Le Petit Prince karya Antoine de

Saint-Exupéry dan bentuk-bentuk padanannya dalam bahasa Indonesia, khususnya

pergeseran-pergeseran yang terjadi pada proses pemadanannya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membatasi pada ruang lingkup deiksis endofora saja, yakni

dengan mengumpulkan data-data yang bersangkutan dan mengelompokkannya

sesuai kategori serta menganalisis penerjemahannya. Data yang digunakan dalam

penelitian ini berupa kalimat-kalimat, baik yang berbentuk dialog yang dituturkan

oleh para tokoh maupun kalimat biasa dalam sebuah narasi dalam novel Le Petit

Prince (selanjutnya disingkat LPP) karya Antoine de Saint-Exupéry yang

diterbitkan oleh Gallimard pada tahun 1993 dan novel terjemahannya dalam

bahasa Indonesia dengan judul The Little Prince: Pangeran Kecil (selanjutnya

disingkat TLP) terbitan PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003 yang

diterjemahkan oleh Listiana Srisanti.

Tidak ada alasan khusus mengenai pemilihan novel ini sebagai sumber

data dalam penelitian ini, namun mengingat deiksis dapat terjadi dalam situasi

tutur yang melibatkan penutur dan lawan tutur dalam sebuah percakapan, novel

6
 
ini dirasa tepat untuk dijadikan sebagai sumber data penelitian. Terlebih deiksis

endofora hanya dapat terjadi selain pada pronomina persona pertama dan kedua,

sehingga penulis beranggapan bahwa data berbentuk kalimat biasa maupun dialog

dapat digunakan sebagai data untuk penelitian ini.

1.6 Landasan Teori

Deiksis merupakan salah satu aspek dalam konteks ilmu pragmatik. Teori

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah konsep mengenai deiksis yang

telah dipaparkan oleh Bambang Kaswanti Purwo (1982) dalam disertasinya yang

sudah dibukukan dimana ia membagi deiksis menjadi dua, yakni deiksis eksofora

dan deiksis endofora. Ia kemudian membagi kedua deiksis tersebut menjadi

deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu dalam lingkup deiksis eksofora,

serta anafora dan katafora dalam lingkup deiksis endofora. Selain konsep deiksis

yang diuraikan oleh Bambang Kaswanti Purwo, penelitian ini juga menggunakan

teori terjemahan Catford yang menguraikan jenis pegeseran terjemahan guna

membahas padanan kata-kata deiktis endofora bP dalam bI.

1.7 Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Penelitian ini akan dilakukan melalui tiga tahapan upaya strategis dalam

menelusuri atau memecahkan masalah seperti yang dikemukakan oleh Sudaryanto

(1993), yaitu tahap penyediaan data, tahap penganalisisan data, dan tahap

penyajian hasil analisis data.

7
 
Tahap penyediaan data dilakukan dengan metode simak kemudian

dilanjutkan dengan teknik catat, yaitu dengan mencatat kalimat-kalimat yang

dianggap mengandung kata-kata deiksis endofora langsung dari sumber data. Data

yang telah terkumpul lalu diseleksi kelayakannya untuk dianalisis, yaitu apakah

kata-kata yang terdapat dalam kalimat-kalimat tersebut benar-benar deiktis atau

tidak.

Pada tahap penganalisisan data, digunakan metode padan; yaitu metode

penelitian bahasa yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian

dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan

dalam penelitian ini menggunakan alat penentu, yakni referen atau apa yang

dibicarakan, sehingga disebut juga metode referensial.

Teknik yang digunakan adalah teknik pilah unsur tertentu (PUP) sebagai

teknik dasar dengan membedakan referen atau sosok teracu yang ditunjuk oleh

kata ganti yang sebelumnya sudah diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan teknik

hubung banding menyamakan (HBS) dan teknik hubung banding memperbedakan

(HBB) sebagai teknik lanjutannya. Tahap akhir merupakan penyajian hasil

analisis data, yaitu dengan menuliskan hasil penelitian dalam bentuk skripsi.

1.8 Sistematika Penyajian

Hasil penelitian ini disajikan ke dalam empat bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, diuraikan menjadi latar belakang, rumusan permasalahan,

tujuan penelitian, tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian, landasan

teori, metode pengumpulan dan analisis data, serta sistematika penyajian.

8
 
Bab II Landasan teori, berisi uraian lebih lengkap mengenai teori yang

digunakan dalam penelitian, yakni deiksis dan teori terjemahan.

Bab III Analisis, berisi pemaparan analisis bentuk kata-kata deiktis endofora

bahasa Prancis dan penerjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Bab IV Kesimpulan.

9
 

Você também pode gostar