Oleh: Ketut Yuliarsa Suweca bersama pagi berjalan Dari kesiman ke Tukad Badung Setiap hari.
Bukan karena rujukan hati
Tapi dengan secarik kertas Bertuliskan pasien schizophrenia Rumah sakit umum Wangaya Kaja.
Suweca berbenah diri
Menyapa kota tertawa Dan warga membalasnya Dengan senyum setengah gila.
Apa yang kau tangkap
Di sepanjang jalan itu, bli? Sawah yang berubah jadi rumah kah? Pertokoan yang berjejer semarak Warna pasar, gemuruh hidup Gencar berpacu meninggalkan Masa lalu mu.
Tapi masih ada katak berlompatan
Di bawah trotoar yang berlubang Waktu kau tiarap, tertangkap Suaranya, bruumm bruumm tokek Meniru derum motor dan klakson mobil Tak putus putusnya bagai aliran darah Hidup masa kini. Dari Kesiman ke Tukad Badung Suweca berhenti di ujung timur jempatan Dia sapa saudaranya yang bermukim Di pura desa Melanting, seberang jalan Berbincang dengan arwah Yang masih gentanyangan Dari masa Puputan Badung, Pembunuhan orang Cina, Kebakaran pasar dan korban Kecelakaan lalu lintas biasa.
Aku tak mau menyeberang ke barat sungai
Karena ribuan arwah itu akan ikut membebani Jembatan pasti ambruk, kata Suweca Sambil makan suguhan warga pasar Yang bersyukur atas jasanya Meronda kota.
Besok lagi bersama pagi
Setiap hari, berjalan dari Kesiman Dan berhenti di ujung jembatan Yang hanya mampu menampung Ribuan motor dan mobil menderu-deru Sepanjang waktu.
Tapi tak mampu menampung
Beban hidup bli Suweca Yang begitu ringan “nerawang sawang” Analisis