Você está na página 1de 20

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Tanah bagi kehidupan mengandung makna yang multidimensional. Karena makna yang
multidimensional tersebut ada kecenderungan, bahwa orang yang memiliki tanah akan
mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Arti penting tanah
bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi,
secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan
dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA
Di dalam ketentuan Undang-undang Nomer 5 tahun 1960, Lembaran Negara Nomer 104
tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”, menjelaskan bahwa UUPA ini
bersifat nasional. Dengan diundangkannya UUPA ini, maka peraturan agraria lama yang bersifat
dualistis dan kolonialistis dihapus atau dicabut1. Seperti yang termuat dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, telah dihapus kecuali mengenai hipotik (lihat pada
angka 4 UUPA)2. Dengan dicabut atau dihapusnya peraturan mengenai tanah yang bersifat
kolonialistis dan dualistis, menandakan bahwa sepanjang mengenai bumi air serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, benar-benar dikuasai oleh negara Indonesia seutuhnya, tanpa
campur tangan negara asing. Dalam Pasal 4 ayat (3) menyatakan :

1
Sarsiti S.H.” Hand out mata kuliah pengantar hukum Indonesia”.
2
Tim pengajar hukum perdata.” Hand out Hukum perdata “ Hal 13.
“Atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum.”
Dominasi kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanah dibidang ekonomidiwujudkan
melalui pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan UUPA denganberbagai jenis hak atas tanah
seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak GunaUsaha dan sebagainya. Akibat pemanfaatan
tanah sesuai dengan kebutuhan manusia melalui perbuatan hukum sering menimbulkan
hubungan hukum sebagai contoh pemilikan hak atas tanah. Selain itu tanah juga sering menjadi
obyek yang sangat subur untuk dijadikan ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok 3
Penguasaan tanah di Indonesia sampai saat ini dibalut kekhawatiran darisemua pihak baik
dari masyarakat, swasta, maupun instansi pemerintah. Hal inidikarenakan legalisasi alas hak atas
tanah menimbulkan banyak permasalahanhukum. Salah satu penyebabnya adalah karena masih
terjadi benturan konseppenguasaan tanah secara hukum adat dengan konsep penguasaan tanah
berdasarkanperaturan perundang-undangan positif yang berlaku.4
Sehubungan dengan itu hak menguasai negara dan hak penguasaan tanahmenurut hukum
adat (hak ulayat) perlu mendapatkan legalisasi, sehingga hak-hakatas tanah yang timbul atas
dasar hak menguasai negara dan hak ulayat, yangdiberikan kepada Warga Negara dan Badan
Hukum Indonesia dalam bentuk HakMilik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan lain-lain
perlu didaftarkan untukmendapatkan jaminan kepastian hukum.5
Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakanmilik
komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggotapersekutuan dapat
mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan
secara terus menerus, maka tanah tersebut dapat menjadi Hak Milik secara individual.6
Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan Hak Pakai tanah oleh
individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat
(komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang

3
Arif Budiman, 1996, Fungsi Tanah dan Kapitalis, Jakarta : Sinar Grafika, Hal 69.
4
Syafruddin Kalo, 2006, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah DiIndonesia : Suatu
Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang IlmuHukum Agraria pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Hal 2
5
Ibid
6
Ibid Hal 7
dibuka kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut,
kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.7
Hak ulayat ini mengandung aspek hukum privat, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk
bidang hukum perdata dan aspek hukum publik yaitu tugas kewenangan untuk mengatur
penguasaan dan memimpin tanah bersama termasuk bidang hokum administrasi negara, dimana
pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para ketua
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan merupakan hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi dilingkungan masyarakat hukum adat bersangkutan. Hak-hak perseorangan atas
sebagian tanah tersebut baik langsung maupun tidak langsung adalah bersumber dari padanya.6
Dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 dinyatakan dengan tegas bahwa hak ulayat
masih berlaku sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan harus disesuaikan dengan
kepentingan nasional, kepentingan negara, persatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi. Dengan demikian, hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu
masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada yang dapat
diketahui dari kegiatan sehari-hari, pelaksanaan hak ulayat dibatasi sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara.
Lantas bagaimana dengan kasus tentang persengketaan atas tanah antara masyarakat
Naga Juang dengan PT Sorik Mas Mining (PT SMM) yang sejak tahun 2011 membuka
pertambangan dengan luas 30 hektare. Dan objek tanah yang dikuasai atas warga Naga Juang
adalah tanah yang belum terdaftar/ belum didaftarkan oleh warga, namun eksistensinya diakui
oleh warga setempat bahwa lahan itu adalah Hak Ulayat milik masyarakat Naga Juang.

I.2. Perumusan Masalah


1. Bagaimana Bentuk-Bentuk Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang Nomer 5 Tahun
1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ?
2. Apa itu Hak Ulayat ?
3. Bagaimana Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sah Hak Atas Tanah Menurut
Undang- Undang Nomer 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

7
Soerojo Wignjodipoero, 1984, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (akarta: Gunung Agung,halaman 201 –
202.
4. Bagaimana UUPA Memandang Kasus persengketaan atas tanah antara masyarakat Naga
Juang dengan PT Sorik Mas Mining (PT SMM) yang sejak tahun 2011 membuka
pertambangan dengan luas 30 hektare
BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Bentuk-Bentuk Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1960,
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Jenis-jenis hak atas tanah di dalam UUPA ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA
yang menyatakan bahwa hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA antara lain8:
a) Hak Milik
b) Hak Guna Usaha
c) Hak Guna Bangunan
d) Hak Pakai
e) Hak Sewa
f) Hak Membuka Tanah
g) Hak Memungut Hasil Hutan
h) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam
Pasal 53 UUPA.
Dari jenis-jenis hak atas tanah di atas dapat saya jelaskan sebagai berikut :
a. Hak milik
Dalam pasal 20 UUPA disebutkan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunya orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6,
yakni pemilik hak atas tanah tersebut harus mempertimbangkan fungsi sosial tanah.
Artinya, pemegang hak milik atas tanah tidak diperkenan memanfaatkan tanah sesuai
dengan keinginannya dengan mengabaikan akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari
pemanfaatan tanah yang dimilikinya terhadap lingkungan sosial.
b. Hak guna usaha

8
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang. Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (L.N. 1960 No. 104; Pendj.
T.L.N. No. 2043)
Hak guna usaha adalah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk kegiatan pertanian,
perikanan atau peternakan. Jadi hak guna usaha, menurut UUPA tidak dapat diberikan
jika peruntukkannya tidak sesuai dengan apa yang disebutkan dalam undang-undang
tersebut. Berkaitan dengan hak guna usaha ini dapat dilihat dengan jelas mulai pasal 28 –
34 UUPA.
c. Hak guna bangunan
Hak guna bangunan ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Ketentuan mengenai hal ini tertera dalam pasal 35 – 40 UUPA.
d. Hak pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-
ketentuan UUPA (lihat pasal 41-43).
e. Hak sewa
Menurut pasal 44 yaitu Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Dan
keterangan lain yang terkait dalam hak sewa terdapat dalam ( liat pasal 44-45 UUPA).
f. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
Terletak dalam pasal 46 UUPA: 1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya
dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (2)
Dengan rnempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu.
g. Hak Guna Air pemeliharaan dan penangkapan ikan
Dalam pasal 47 ayat (1) Hak guna air adalah hak memperoleh air untuk keperluan
tertentu dan atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain. Hak guna air serta
pemeliharaan dan penangkapan ikan dengan peraturan pemerintah.
h. Hak guna ruang angkasa
Terdapat dalam pasal 48 UUPA, Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk
mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa memberi wewenang untuk
mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha usaha
memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
i. Hak untuk keagamaan dan sosial
Terdapat dalam pasal 49, di mana hak milik tanah-tanah keagamaan dan sosial sepanjang
digunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. badan
badan ini juga dijamin akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya
dalam bidang keagamaan dan sosial.
II.2. Hak Ulayat
II.2.1. Pengertian Hak Ulayat
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan-kawan
dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,
menyatakan bahwa ;
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan
hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak
ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para
warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah,
yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang
bersangkutan)”.9

Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai
telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan
masyarakatyang bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk
dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan
kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah
tersebut. Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur
dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala
Adat/Tetua Adat.

9
G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A. Setiady, 1985, Hukum Tanah, JaminanUndang-
Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Binaaksara, hal. 88
Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis
yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi,
namun demikian hak ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat
bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat
atas tanah yang bersangkutan.
Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama,
yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek
moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi
kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung.
Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat dapat mempunyai
kekuatan berlaku kedalam dan keluar.10 Kedalam berhubungan dengan para warganya, sedang
kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya,
yang disebut “orang asing atau orang luar”. Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber
pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian
tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Sedangkan untuk hak ulayat
mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang
bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil
hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat
hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.
II.2.2. Obyek Hak Ulayat
Bushar Muhamad mengemukakan obyek Hak Ulayat meliputi:11
a. Tanah (daratan)
b. Air (perairan seperti: kali, danau, pantai, serta perairannya)
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon
d. untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya).
e. Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.

10
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria Isi dan
Pelaksanaannya., Jakarta: Djambatan, Hal 190
11
Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta:Pradnya Paramita, Hal 109
Dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hokum antara masyarakat hukum
(subyek hukum) dan tanah/wilayah tertentu (objek hak).12
II.2.3. Kedudukan hak ulayat dalam Undang – Undang Pokok Agraria
Kedudukan hak ulayat dalam UUPA ditentukan dalam Pasal 3 yaitu;
Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Eksistensi hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan
pengakuan dari Negara sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya,
maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara
serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini
kepentingan suatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara
yang lebih tinggi dan luas.
Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara
sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak
ulayat secara mutlak.

II.3. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sah Hak Atas Tanah Menurut
Undang- Undang Nomer 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria

Pengertian Perlindungan adalah tempat berlindung. Hukum merupakan tata aturan(order)


sebagai sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak
menunjuk pada satu aturan tunggal, tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu
kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin
memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja13.
Tujuan pokok dari UUPA tidak hanya untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah bagi rakyat, tetapi UUPA juga
mengatur mengenai macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh

12
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, PenerbitBuku Kompas,
Jakarta, hal. 56
13
Hans Kelsen, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta : Konstitusi press, , Hal.13.
perseorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain ataupun badan hukum Hak
atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada perseorangan dan badan hukum diatur
dalam ketentuan Pasal 16 UUPA ayat (1) yakni: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak yang
tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang,
serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Mengenai hak-hak atas tanah di atas, Undang-undang juga mewajibkan kepada
pemegang hak untuk mendaftarkan masing-masing tanahnya. Pendaftaran tanah merupakan
persoalan yang sangat penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari
proses lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah14.
Kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia telah diatur dalam UUPA dan Peraturan
Pemerintah, Boedi Harsono merumuskan, pengertian pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus, untuk mengumpulkan, mengolah,
menyimpan dan menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu,
yang ada di satu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu 15. Dalam Pendaftaran Tanah, data yang
dihimpun pada dasarnya meliputi 2 bidang, yaitu16 : 1. Data Fisik mengenai tanahnya:
Lokasinya, batas-batasnya. Luasnya bangunan, dan tanaman yang ada di atasnya. 2. Data Yuridis
mengenai haknya: Haknya apa, siapa pemegangnya, dan atau tidak adanya hak pihak lain.
Sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah, maka UUPA menghendaki pendaftarantanah itu
diwajibkan kepada para pemegang hak untuk memberikan kepastian hukum. Adapun kepastian
hukum dimaksud adalah17.
1. Kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut.
Kepastian berkenaan dengan siapakah pemegang hak atas tanah itu disebut dengan kepastian
mengenai subyek hak atas tanah.
2. Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah. Kepastian
berkenaan dengan letak, batas-batas dan panjang serta lebar tanah itu disebut dengan
kepastian mengenai obyek hak atas tanah.

14
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.154
15
Boedi Harsono dalam Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hlm.80.
16
Boedi Harsono, Op.cit., hlm.73
17
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan Pelaksanaannya,
(Bandung: Alumni, 1993), hlm.15
Khusus untuk tujuan pendaftaran tanah pertama yaitu untuk memberikan jaminan
kepastian hukum, meliputi18 :
a. Kepastian mengenai subyek hukum hak atas tanah (orang atau badan hukum)
b. Kepastian mengenai letak, batas, ukuran/luas tanah atau disebut kepastian mengenai obyek
hak
Dalam proses pendaftaran tanah pada akhir kegiatan akan diberikan surat tanda bukti hak
(sertipikat) berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA), yang
artinya bahwa keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus
diterima oleh Hakim sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada alat bukti lain yang
membuktikan sebaliknya19. Menurut Effendi Perangin, fungsi utama sertifikat yaitu sebagai alat
bukti hak atas tanah dan Hak Tanggungan20. Walaupun fungsi utama sertipikat hak atas tanah
adalah sebagai alat bukti, tetapi dalam kenyataannya sertipikat bukanlah merupakan satu satunya
alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Menurut Andrian Sutedi, Fungsi sertipikat hak atas tanah
tersebut adalah21.

a. Fungsi Pertama, sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat.
Inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c
UUPA
b. Fungsi Kedua, sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak
bank/kreditur untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya.
c. Fungsi Ketiga, bagi pemerintah, Adanya sertipikat hak atas tanah membuktikan bahwa
tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data tentang tanah yang
bersangkutan secara lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan bila sewaktu-
waktu diperlukan dengan mudah diketemukan.

18
Soeprapto, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, (Jakarta:Tanpa Penerbit, 1986),
hlm.322.
19
Ali Achmad chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), (Jakarta: Prestasi Pustakaraya,
2004), hlm.57.
20
Effendi Perangin, Praktek Pengurusan Sertipikat Hak Atas Tanah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), hlm.1.
21
Adrian Sutedi, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah,
(Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2006), hlm.27-28.
Jadi sertifikat merupakan bentuk perlindungan hukum yang sah, atas kepemilikan tanah
yang dimiliki oleh seseorang. Yang tercantum atau diatur dalam UUPA pasal 19 ayat 2 dan
peraturan-peraturan pemerintah yang memiliki kekuatan hukum, sehingga dapat dijadikan alat
perlindungan hukum untuk setiap orang dalam menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang
berkaitan dengan hak-hak atas tanah.

II.4. Analisis Kasus

Sengketa Lahan di Sumut, Polisi Ikat


185 Warga
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan represif polisi terhadap masyarakat kembali
terjadi, saat 185 warga Kecamatan Naga Juang Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatra
Utara, mendapat perlakuan tidak manusiawi dari aparat Brimob kepolisian setempat, Jumat
(22/3).
"Tangan mereka diikat, lalu disuruh telentang. Selanjutnya ada yang ditendang, ada pula yang
dipukul pakai senjata," jelas Koordinator Advokasi Jaringan Tambang Rakyat Madina, Miswar
Daulay, Sabtu (23/3).
Kejadian tersebut sebagai puncak dari sengketa antara masyarakat Naga Juang dengan PT Sorik
Mas Mining (PT SMM). Perusahaan ini mulai membuka penambangan emas di Naga Juang pada
2011.
Sejak awal warga setempat menolak kehadiran PT SMM di daerah mereka. Sebab selain alasan
ekologis, sebagian area yang dijadikan sebagai lokasi aktivitas penambangan oleh perusahaan ini
berada di atas tanah ulayat milik masyarakat Naga Juang.
Karenanya, masyarakat meminta PT SMM mengembalikan tanah adat seluas 30 hektare itu
kepada mereka. Di sisi lain, masyarakat juga merasa punya hak mengelola sumber daya alam
yang ada di area tersebut, sehingga belakangan ada sejumlah warga yang menambang emas pula
di lokasi itu secara swadaya.
Dua tahun lalu, konflik ini sempat memanas karena masyarakat dituding membakar aset milik
PT SMM yang berada di area lahan yang disengketakan. Padahal menurut pengakuan warga,
kata Miswar lagi, aksi pembakaran tersebut justru dilakukan oknum dari perusahaan itu.
Sebelumnya, masyakarat Naga Juang sudah beberapa kali mencoba menyampaikan aspirasi
mereka kepada DPRD dan bupati Madina terkait sengketa kedua belah pihak. Namun, pemda
setempat cenderung tutup mata atas kasus ini. Masyarakat menduga, hal ini dikarenakan adanya
keluarga penguasa yang punya saham di perusahaan tambang tersebut.
Terakhir, sengketa kembali bergolak saat ribuan warga Naga Juang menduduki lahan yang
disengketakan tersebut sejak Kamis (21/3) malam. Keesokan paginya, seratusan aparat Brimob
dari Tapanuli Selatan, Siantar, dan Sipirok mendatangi lokasi tersebut. Sebanyak 185 orang
warga diikat tangannya, lalu disuruh telentang. Mereka juga mendapat perlakuan kekerasan dari
aparat-aparat itu.
Menurut Miswar, tindakan represif seperti ini sudah sering dilakukan aparat kepolisian dalam
menangani sengketa antara masyarakat dan pihak pengusaha. Dan lagi-lagi, pihak kepolisian
selalu tidak netral dan cenderung berpihak pada pengusaha.
"Masyarakat diperlakukan tak adil karena disebut menambang emas tanpa izin dari penguasa.
Padahal (penambangan) itu dilakukan di atas tanah mereka sendiri," ujar Miswar.
Pokok Permasalahan
Dalam kasus diatas menyoroti tentang persengketaan atas tanah antara masyarakat Naga
Juang dengan PT Sorik Mas Mining (PT SMM) yang sejak tahun 2011 membuka pertambangan
dengan luas 30 hektare. Dan objek tanah yang dikuasai atas warga Naga Juang adalah tanah yang
belum terdaftar/ belum didaftarkan oleh warga, namun eksistensinya diakui oleh warga setempat
bahwa lahan itu adalah Hak Ulayat milik masyarakat Naga Juang. Sejak awal masyarakat Naga
Juang menolak PT SMM di daerah mereka. Sebab selain alasan ekologis, sebagian area yang
dijadikan sebagian lokasi aktivitas penambangan oleh perusahaan. Dalam kasus ini dikemukakan
bahwa warga Naga Juang telah berulang kali melaporkan kasus ini kepada Pemerintah dan
DPRD kabupaten Madina. Namun pemda setempat cenderung tutup mata atas kasus ini.
Masyarakat menduga bahwa hail ini dikarenakan adanya keluarga dari Pemerintah dan Anggota
DPRD yang mempunyai saham di perusahan tambang tersebut. Masyarakat diperlakukan tak adil
karena disebut menambang emas tanpa izin dari penguasan. Padahal penambangan itu dilakukan
diatas tanah hak ulayat mereka sendiri. Sehingga masyarakat juga punya hak untuk mengelola
tanah tersebut.
Analisis Kasus
Subyek Hukum
a. PT Sorik Mas Mining
b. Warga Naga Juang ( warga yang bermukim di kabupaten Madina )
c. Pemerintah Kabupaten Madina yang diwakili oleh Bupati Madina
d. Dewan Perwakilan Rakyat
Peristiwa Hukum
Persengketaan tanah antara PT Sorik Mas Mining (PT. SMM) yang menjadikan
lahan masyarakat warga Naga Juang sebagai lahan pertambangan yang dilandaskan oleh
Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT Sorik Mas Mining tersebut. Tanah tersebut
merupakan tanah Hak Ulayat masyarakat dan sudah lama digarap oleh warga Naga
Juang dan diakui sebagai milik mereka, namun warga Naga Juang belumlah memiliki
sertifikat Hak Milik yang sebagai landasan kepemilikan tanah tersebut, tetapi tanah
tersebut telah diakui dan disepakati bersama bahwa tanah tersebut merupakan Hak
Ulayat mereka dan juga dikuasai dan diduduki oleh Warga Naga Juang.

Obyek Sengketa
Tanah tempat Pertambangan di atas Hak Ulayat masyarakat Naga Juang
Penyelesaian Kasus
Dalam Pasal 4 ayat (3) dalam UUPA menyatakan:
“Atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain arau badan hukum”
Dari pasal diatas dapat ditarik kesimpulan terdapat berbagai macam hak-hak atas tanah
untuk dijadikan bukti untuk menguasai tanah yang digunakan. Sehingga akibat pemanfaatannya
tanah sesuai kebutuhan melalui perbuatan hukum sering menimbulkan kepemilikan dan juga
sering timbul persengketaan seperti penjelasan yang saya kutip dibawah ini.
Dominasi kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanah dibidang ekonomi diwujudkan
melalui pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan UUPA dengan berbagai jenis hak atas tanah
seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan sebagainya. Akibat pemanfaatan
tanah sesuai dengan kebutuhan manusia melalui perbuatan hukum sering menimbulkan
hubungan hukum sebagai contoh pemilikan hak atas tanah. Selain itu tanah juga sering menjadi
obyek yang sangat subur untuk dijadikan ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok22
Dalam persengketaan ini merupakan persengketaan antara Hak Ulayat yang dikelola oleh
masyarakat Naga Juang dengan Hak Guna Usaha yang dikelola oleh PT Sorik Mas Mining.
Menurut Boedu Harsono subyek Hak Ulayat adalah masyarakat adat yang mendiami suatu
wilayah tertentu23. Dengan begitu tanah tersebut yang berhak mengelola adalah masyarakat Naga
Juang. Namun dalam hal ini Hak Ulayat yang dipegang oleh masyarakat diambil alih PT Sorik
Mas Mining dengan dalil memegang Hak Guna Usaha yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Semula Masyarakat sudah menolak kedatangan PT Sorik Mas Mining yang mempergunakan
tanah yang dikuasainya untuk pertambangan emas, Masyarakat merasa punya hak juga untuk
mengelola tanah tersebut dikarenakan tanah itu adalah tanah mereka. Namun kenyataannya
masyarakat tidak diperbolehkan mengelola tanah Ulayat milik mereka, malahan mereka diusir
dengan jalur kekerasan oleh pihak berwajib.
Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia”
adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa
agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) negara
itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun bisa menunjukkan,
betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat yang semestinya dilindungi
selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya,
hampir dalam setiap kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan.
Masyarakat sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan
tanahnya.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA)
sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk
memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada
ketentuan tersebut maka Hak Ulayat yang digunakan masyarakat Naga Juang juga patut dan
perlu untuk diperjuangkan.

22
Arif Budiman, 1996, Fungsi Tanah dan Kapitalis, Jakarta: Sinar Grafika, Hal.69
23
Boedu Muhammad, 2000, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Praduya Paramitha, Hal 13.
Di dalam peraturan Nasional, Hak Ulayat juga telah diatur dalam Peraturan Menteri
Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang
dimaksudkan adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah
turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan.
Arti penting hubungan manusia dengan tanahnya selain dalam hubungan hukum, dalam
hukum adat mempunyai hubungan kosmis-magis-religius. Hubungan ini bukan antara individu
dengan tanah, tetapi juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat
(rechtgemeentschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat24
Jika mengacu Permen BPN Nomor 5 tahun1999 dan juga dari penjabaran kutipan diatas
maka Hak Ulayat merupakan hak menguasai yang dipergunakan warga Naga Juang untuk
mengelola tanah kelahiran mereka. Sehingga terdapat hubungan antara tanah dengan masyarakat
yang mengelola secara turun temurun tersebut. Oleh karena itu Hak Ulayat yang dimiliki oleh
Masyarakat Naga Juang juga telah mempunyai kekuatan hukum.
Disisi lain mengenai objek tanah ini hak yang melekat atasnya adalah Hak Guna Usaha
dari PT Sorik Mas Mining, pengertian Hak Guna Usaha itu sendiri menurut UUPA Pasal 28
adalah hak untuk mengusahakan tanah bagi perusahaan, dan tanah tersebut dikuasai langsung
oleh Negara, penggunaan tanah ini jangka waktu tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal
29, dan Hak Guna Usaha ini digunakan sebagai usaha perusahaan dibidang pertambangan.
Sedangkan mengenai hapusnya HGU ini diatur dalam Pasal 34 UUPA.
Dari Persengketaan tersebut dibutuhkan segera penyelesaian secara cepat agar tidak
menimbulkan korban yang semakin bertambah. Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada
dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan
masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang
tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan,

24
Jhon Salindeho, 1994, Manusia Tanah Hak dan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 33
dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri tentunya. Namun dalam
kenyataannya Pemerintah malahan mengabaikan persengketaan yang telah terjadi di daerah
mereka.
Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk
menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa Agraria dan
juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah diusulkan oleh berbagai
kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin didesakkan, terlebih jika pemerintah
memang benar-benar berkehendak untuk menjalankan reforma agraria dan menangani
permasalahan agraria secara serius. Namun kenyataannya hanya usulan saja yang sampai dan
tidak sampai direalisasikan. Sehingga kasus-kasus persengketaan masih banyak yang belum
terselesaikan.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum diubah dalam Perpres Nomor 65 Tahun
2006 menjadi sebagai berikut yang terkait dengan kepentingan umum. Isi dari Pasal 1 ayat (3)
Perpres No. 65 Tahun 2006 adalah “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.” Sehingga jika dikaitkan
dengan kasus diatas adalah sudah selayaknya karena pengadaan tanah bagi PT Sorik Mas Mining
tersebut seharusnya memberikan ganti rugi kepada warga Naga Juang yang bersangkutan, tetapi
ganti rugi sama sekali tidak diberikan kepada warga yang bersangkutan atas tanah belum
terdaftar miliknya. .
Ganti rugi yang diberikan dapatlah berupa uang, tanah, atau tempat mencari mata
pencahariaan yang sepadan, juga dapat gabungan dua atau lebih bentuk ganti kerugian, dan juga
bentuk-bentuk lain yang disepakati oleh para pihak-pihak. Dalam kasus warga Naga Juang
harusnya mendapatkan ganti rugi dari pihak PT Sorik Mas Mining. Seharusnya pula sebelum
diadakan jual beli tanah jika tanah tersebut merupakan tanah yang dikelola oleh suatu warga atau
masyarakat adat tertentu apabila dalam Buku Tanah dan sertifikatnya langsung diatasnamakan
pembeli, maka dianggap tidak sah seharusnya harus atas nama penjual terlebih dahulu. Dan
seharusnya diadakan pengumuman bahwa penjual/wakilnya dan pembeli/wakilnya harus hadir
didepan PPAT untuk menandatangani dengan disaksikan oleh minimal 2 orang saksi yang
memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi, yakni disini dapatlah warga Naga Juang
setempat yang menjadi saksi jual-beli tersebut yang telah disepakati oleh warga setempat agar
tidak terjadinya sengketa seperti yang terjadi sekarang. Dan seharusnya panitia pengadaan tanah
harus melakukan tugasnya dengan baik dalam rangka melakukan penyuluhan, penelitian,
musyawarah, menetapkan ganti rugi, dan sebagainya berkaitan dengan objek tanah yang akan
dijual tersebut.
Dari kasus sengketa diatas baiknya adalah bahwa warga Naga Juang diberikan ganti rugi
yang sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita, yakni misalnya pemberian lahan baru
sebagai penggantian lahan bagi mereka yang digunakan untuk mata pencaharian ataupun tempat
tinggal sebelumnya sudah disepakati oleh warga. Bupati Madina seharusnya juga melihat kasus
tersebut dan ikut membantu dengan ganti kerugian yang akan diberikan tersebut karena pada
dasarnya warga Naga Juang sudah menyetujuinya dan tidak menuntut pencabutan hak dari PT
Sorik Mas Mining itu sendiri, melainkan diberikan ganti rugi yang sesuai. Maka itu seharusnya
pemberian ganti rugi tersebut dilakukan secepatnya dengan sesuai dengan ketentuan dan
pertimbagan tuntutan dari warga setempat pula.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
1. Dari kasus sengketa diatas baiknya adalah bahwa warga Naga Juang diberikan ganti rugi
yang sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita, yakni misalnya pemberian lahan baru
sebagai penggantian lahan bagi mereka yang digunakan untuk mata pencaharian ataupun
tempat tinggal sebelumnya sudah disepakati oleh warga. Bupati Madina seharusnya juga
melihat kasus tersebut dan ikut membantu dengan ganti kerugian yang akan diberikan
tersebut karena pada dasarnya warga Naga Juang sudah menyetujuinya dan tidak menuntut
pencabutan hak dari PT Sorik Mas Mining itu sendiri, melainkan diberikan ganti rugi yang
sesuai. Maka itu seharusnya pemberian ganti rugi tersebut dilakukan secepatnya dengan
sesuai dengan ketentuan dan pertimbagan tuntutan dari warga setempat pula.
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono dalam Hasan Wargakusumah, 1995, Hukum Agraria I, Jakarta: PT.
GramediaPustaka Utama, , Hal.80.
Budiman Arif, 1996, Fungsi Tanah dan Kapitalis, Jakarta : Sinar Grafika, Hal 69.
Budiman Arif, 1996, Fungsi Tanah dan Kapitalis, Jakarta: Sinar Grafika, Hal.69
chomzah Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta: Prestasi
Pustakaraya,Hal.57.
Effendie Bachtiar, 1993,Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan
Pelaksanaannya,Bandung: Alumni, hlm.15
G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A. Setiady, 1985, Hukum Tanah,
JaminanUndang- Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,
Jakarta: Binaaksara, hal. 88
Harsono Boedi, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
PokokAgraria Isi dan Pelaksanaannya., Jakarta: Djambatan, Hal 190
Kalo Syafruddin, 2006, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah
DiIndonesia : Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam
Bidang IlmuHukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Hal 2
Kelsen Hans, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta : Konstitusi press, , Hal.13.
Muhammad Boedu, 2000, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Praduya Paramitha, Hal 13.
Muhammad Bushar, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta:Pradnya Paramita, Hal 109
Perangin Effendi, 2006, Praktek Pengurusan Sertipikat Hak Atas Tanah, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, Persada, Hal.1.
Salindeho Jhon, 1994, Manusia Tanah Hak dan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 33
Sarsiti.” Hand out mata kuliah pengantar hukum Indonesia”.
Soeprapto, 1986,Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, Jakarta:Tanpa Penerbit,
Hal.322.
Sumardjono Maria S.W., 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi,
PenerbitBuku Kompas, Jakarta, hal. 56
Supriadi, 2008,Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, Hal.154
Sutedi Adrian, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat sebagai Tanda Bukti Hak Atas
Tanah,Jakarta: BP. Cipta Jaya, Hal..27-28.
Tim pengajar hukum perdata.” Hand out Hukum perdata “ Hal 13.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang. Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (L.N. 1960
No. 104; Pendj. T.L.N. No. 2043)
Wignjodipoero Soerojo, 1984, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (akarta: Gunung
Agung,halaman 201 – 202.

Você também pode gostar