Você está na página 1de 23

KARYA ILMIAH

IMPLEMENTASI PHT BERUPA BERBAGAI STRATEGI


PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius) PADA
TANAMAN KEDELAI
(Teknologi Pengendalian Terpadu Hama Dan Penyakit Tumbuhan)

Oleh :
SITI RAHMIATUL FAWZIAH
NIM E1A214096

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2017
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2
1.3 Manfaat Penulisan ........................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 3
2.1 Hama Dan Penyakit Tanaman Yang Menyerang Kedelai ........... 3
2.2 Bioekologi Ulat Grayak ............................................................... 10
BAB III PEMBAHASAN ......................................................................... 11
3.1 Daya Rusak Dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak ............. 11
3.2 Pengendalian Terpadu Hama Ulat Grayak Pada Tanaman
Kedelai ......................................................................................... 13
3.3 Pendekatan Sistem Pengendalian ................................................. 13
3.4 Analisis Ekosistem Sebagai Dasar Pengendalian Hama .............. 15
3.5 Komponen Pengendalian ............................................................. 16
3.6 Monitoring Keberadaan Hama Dan Lingkungan Yang
Mendukung .................................................................................. 19
BAB IV KESIMPULAN ......................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga
setelah padi dan jagung. Selain itu, kedelai juga merupakan tanaman palawija
yang kaya akan protein yang memiliki arti penting dalam industri pangan dan
pakan. Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat penting
dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman bagi kesehatan dan
murah harganya. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan industri olahan pangan
seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya.
Kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,20 ton/tahun. Dari Dari
jumlah yang harusnya tersedia, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu
mencukupi 35-40%, sedangkan sisanya diperoleh dari impor. Kenaikan harga
kedelai di pasar global yang bahkan mencapai 100% ikut mempengaruhi
fluktuasi harga di dalam negeri, yakni dari sekitar Rp 3.500/kg pada akhir
tahun 2007 dan menjadi Rp 7.500/kg pada awal tahun 2008. Harga yang
meningkat tajam pada akhirnya akan turut serta menaikkan harga bahan
pangan berbahan dasar kedelai seperti tahu dan tempe (Deptan, 2008).
Kenaikan harga diharapkan menjadi motivasi bagi para petani agar kembali
menanam kedelai yang sebelumnya dinilai tidak menguntungkan. Selain itu
juga melalui berbagai program, pemerintah terus berupaya keras
meningkatkan produksi kedelai yang bertujuan untuk mencapai swasembada
pada tahun 2010-2012.
Salah satu ancaman yang dapat menghambat produksi kedelai adalah
adanya serangan hama. Serangga yang berasosiasi dengan tanaman kedelai di
Indonesia mencapai 266 jenis, yang terdiri atas 111 jenis hama, 53 jenis
serangga kurang penting, 61 jenis serangga predator, dan 41 jenis serangga
parasit (Okada et al. 1988). Dari 111 jenis serangga hama tersebut, 50 jenis
tergolong hama perusak daun, namun yang berstatus hama penting hanya 9
jenis (Arifin dan Sunihardi 1997). Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 9

3
jenis serangga hama pemakan daun, ulat grayak (Spodoptera litura)
merupakan salah satu yang utama. Kehilangan hasil yang diakibatkannya
dapat mencapai 80% dan bahkan puso (gagal panen) jika tidak segera
dikendalikan. Usaha pengendalian hama di tingkat petani masih berpegang
pada insektisida, akan tetapi jauh dari efektif.
Untuk mengantisipasi ancaman serangan ulat grayak pada tanaman
kedelai perlu diketahui: 1) perkembangan ekobiologi populasi hama, 2)
tingkat kerusakan tanaman yang terserang, 3) distribusi atau luas serangan, 4)
ekosistem pendukung, dan 5) arti ekonomi kerusakan tanaman terhadap hasil.
Identifikasi morfologi dan biologi penting agar dapat menyusun strategi
pengendalian yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah
a. Hama dan penyakit tanaman apa saja yang menyerang kedelai?
b. Bagaimana Pengendaliannya?
c. Bagaimana metode yang digunakan untuk mengendalikan serangan hama
penyakit pada tanaman kedelai?
1.3 Manfaat Penulisan
a. Untuk mengetahui apa saja hama dan penyakit tanaman kedelai.
b. Untuk mengetahui bagaimana cara pengendalian hama dan penyakit
tanaman kedelai.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hama Dan Penyakit Tanaman Yang Menyerang Kedelai


Pada dasarnya hama tanaman terbagi menjadi tiga golongan yaitu
serangga, vertebrata, dan tungau. Hama serangga selanjutnya digolongkan
kembali berdasarkan jenjang fungsionalnya antara lain : serangga pemakan
bahan organik, herbivor, predator, parasitoid, penyerbuk, dan netral
(wisatawan atau yang hanya tinggal sementara dalam suatu pertanaman).
Organisme ini bersifat merugikan apabila keberadaannya di atas ambang
batas ekonomi. Beberapa jenis hama yang menyerang tanaman kedelai dan
menurunkan hasil produksinya adalah sebagai berikut:
1. Aphis spp (Aphis glycine)
Hama ini merupakan kutu dewasa berukuran kecil 1-1,5 mm
berwarna hitam, ada yang bersayap dan tidak. Kutu ini dapat dapat
menularkan virus SMV (Soybean Mozaic Virus). Menyerang pada awal
pertumbuhan dan masa pertumbuhan bunga dan polong. Gejala yang
ditimbulkan pada tanaman kedelai yang diserang adalah layu dan
pertumbuhannya terhambat.
2. Melano Agromyza phaseoli
Hama ini berukuran kecil sekali sekitar 1,5 mm. Prose penyerangan
dilakukan saat alat bertelur pada leher akar, larva masuk ke dalam batang
memakan isi batang, kemudian menjadi lalat dan bertelur kembali. Hama
ini lebih berbahaya bagi kedelai yang ditanam di ladang.
3. Kumbang daun tembukur (Phaedonia inclusa)
Hama jenis ini bertubuh kecil, hitam bergaris kuning dan bertelur
pada permukaan daun. Larva dan kumbang memakan daun, bunga, pucuk,
polong muda, bahkan seluruh tanaman.
4. Cantalan (Epilachana soyae)
Kumbang berwarna merah dan larvanya yang berbulu duri, pemakan
daun dan merusak bunga.
5. Ulat polong (Etiela zinchenella)

5
Ulat yang berasal dari kupu-kupu ini bertelur di bawah daun buah.
Setelah menetas, ulat masuk ke dalam buah sampai besar, memakan buah
muda. Gejala yang ditimbulkan berupa lubang kecil pada buah. Apabila
penyerangan terjadi saat buah masih hijau, polong bagian luar berubah
warna serta di dalam polong terdapat ulat gemuk hijau dan kotorannya.
6. Kepala polong (Riptortis lincearis)
Hama ini menyerang tanaman kedelai dan menimbulkan gejala
berupa bercak hitam dan polong menjadi hampa.
7. Lalat kacang (Ophiomyia phaseoli)
Hama lalat kacang menyerang tanaman kedelai muda yang baru
tumbuh. Menyerang tanaman muda yang baru tumbuh.
8. Kepik hijau (Nezara viridula)
Hama kepik hijau memliki panjang tubuh sebesar 16 mm, bertelur di
bawah permukaan daun dan berkelompok. Setelah 6 hari telur menetas
menjadi nimfa (kepik muda) yang berwarna hitam bintik putih. Pagi hari
berada di atas daun, saat matahari bersinar turun ke polong, memakan
polong dan bertelur. Umur kepik dari telur hingga dewasa antara 1 sampai
6 bulan.
Gejala yang ditimbulkan saat hama ini menyerang tanaman kedelai
adalah polong dan biji mengempis serta kering. Selain itu, biji bagian
dalam atau kulit polong berbintik coklat.
9. Ulat grayak (Prodenia litura)
Hama ini menyerang tanaman kedelai secara mendadak dan dalam
jumlah besar. Bermula dari kupu-kupu berwarna keabu-abuan, panjang 2
cm dan sayapnya 3-5 cm, bertelur di permukaan daun. Tiap kelompok
telur terdiri dari 350 butir. Gejala yang ditimbulkan berupa kerusakan pada
daun, ulat hidup bergerombol, memakan daun, dan berpencar mencari
rumpun lain.
Sedangkan OPT lain yang menyerang tanaman kedelai dan berpengaruh
terhadap produktivitasnya adalah penyakit. Beberapa penyakit tanaman kedelai
yang pada umumnya ditemukan di lapangan diantaranya :
1. Layu bakteri (Pseudomonas solanacearum)

6
Penyakit ini menyerang pangkal batang. Penyerangan pada saat
tanaman berumur 2-3 minggu dan penularan melalui tanah dan irigasi.
Gejala yang ditimbulkan berupa layu mendadak apabila kelembaban
terlalu tinggi dan jarak tanam rapat.
2. Penyakit layu (Sclerotium rolfsii)
Penyakit ini menyerang tanaman pada umur 2-3 minggu, saat udara
lembab, dan tanaman berjarak tanam pendek. Gejala yang ditimbulkan
berupa daun sedikit demi sedikit layu dan menguning.
3. Penyakit lapu (Witches Broom: Virus)
Penyakit ini menyerang polong menjelang proses pengisian polonh.
Penularan melalui singgungan tanam karena jarak tanam terlalu dekat.
Gejala yang ditimbulkan dapat dilihat dari bunga, buah dan daun
mengecil.
4. Penyakit anthraknosa (Colletotrichum glycine mori)
Penyakit ini menyerang daun dan polong yang telah tua. Penularan
dengan perantaraan biji-biji yang telah kena penyakit, lebih parah jika
cuaca cukup lembab. Gejala yang ditimbulkan yaitu daun dan polong
memiliki bintik-bintik kecil berwarna hitam, daun yang paling rendah
rontok, serta polong muda yang terserang hama menjadi kosong dan isi
polong tua menjadi kerdil.
5. Penyakit karat (Cendawan phakospora Phachyrizi)
Penyakit ini menyerang daun tanaman kedelai. Penularan dengan
perantaraan angin yang menerbangkan dan menyebarkan spora. Gejala
yang ditimbulkan berupa daun tampak bercak dan bintik coklat.
6. Penyakit bercak daun bakteri (Xanthomonas phaseoli)
Penyakit ini menyerang daun. Gejala yang ditimbulkan berupa
permukaan daun yang memiliki bercak-bercak menembus ke bawah.
7. Penyakit busuk batang (Phytium sp)
Penyakit ini menyerang batang tanaman kedelai. Penularan melalui
tanah dan irigasi. Gejala yang ditimbulkan berupa batang menguning
kecoklat-coklatan dan basah, kemudian membusuk dan mati.
8. Virus mosaik (virus)

7
Penyakit ini menyerang daun dan tunas tanaman. Penularan vektor
penyebar virus ini adalah Aphis glycine (sejenis kutu daun). Gejala yang
ditimbulkan berupa perkembangan dan pertumbuhan lambat, tanaman
menjadi kerdil.
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap berbagai jenis hama dan penyakit
yang menyerang, ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu jenis hama
pemakan daun yang sangat penting. Dan dapat dikatakan sebagai OPT dominan
dalam menurunkan hasil produksi tanaman kedelai. Kehilangan hasil akibat
serangan hama tersebut dapat mencapai 80%, bahkan puso jika tidak
dikendalikan. Usaha pengendalian hama di tingkat petani hingga kini masih
mengandalkan insektisida, namun kurang efektif. Oleh karena itu diperlukan
pengendalian hama terpadu yang efektif dengan mengetahui terlebih dahulu
analisis bioekologi OPT seperti dibawah ini.

2.2 Bioekologi Ulat Grayak


Langkah kedua yang perlu diperhatikan dalam implementasi PHT adalah
analisis bioekologi dari OPT itu sendiri. Dalam hal ini organisme yang dominan
mengganggu bahkan menurunkan produktivitas tanaman kedelai adalah hama ulat
grayak.
Menurut sistematika klasifikasi, ulat grayak termasuk dalam ordo
Lepidoptera, famili Noctuidae, genus Spodoptera dan spesies litura. Hama ini
bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang cukup luas atau banyak
inang, sehingga agak sulit dikendalikan. Tanaman inang dari hama ini diantaranya
kedelai, cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang
merah, terung, kentang, kacangkacangan (kedelai, kacang tanah),
Strategi pengendalian hama yang efektif dapat disusun dengan
mempelajari bioekologi hama. Cakupan bioekologi adalah sebagai berikut.
1. Morfologi dan Biologi Hama
Ulat grayak memiliki sayap ngengat bagian depan berwarna
coklat atau keperakan dan sayap belakang berwarna keputihan dengan
bercak hitam (Gambar. 1c). Kemampuan terbang ngengat pada malam
hari mencapai 5 km.

8
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada
daun (kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan,
diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir. Telur
diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada
tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi.
Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-
bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan.
Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung
(bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan
kesepuluh (Gambar. 1b). Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning.
Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua
atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok (Gambar 1a). Beberapa
hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva
menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada
siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap
dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya
matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara
bergerombol dalam jumlah besar.
Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis
ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada
ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan
garis punggung gelap memanjang. Pada umur 2 minggu, panjang ulat
sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa
tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan
panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama
stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang
berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor
ngengat betina dapat meletakkan 2.000−3.000 telur.
Ulat grayak tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di
Indonesia, hama ini terutama menyebar di Nanggroe Aceh
Darussalam, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

9
Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Maluku, dan Papua.
2. Gejala Serangan
Larva ulat grayak yang masih muda merusak daun dengan
meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang
daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang
menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun
dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat
menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan
ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan
menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.
3. Ekosistem Pemicu Serangan Ulat Grayak Pada Kedelai
Tanaman kedelai di lahan sawah biasanya diusahakan setelah
padi. Pola tanam yang diterapkan petani bergantung pada ada atau
tidaknya ketersediaan air. Pola tanam yang umum dilakukan meliputi
padi-padi-kedelai, padi kedelai-kedelai atau padi-kedelai. Pola terakhir
umumnya diterapkan pada lahan tadah hujan atau berpengairan
terbatas. Penanaman kedelai pada pola tanam kedua atau ketiga atau
jatuh pada musim kering akan memicu serangan hama khususnya ulat
grayak.
Situasi dan kondisi yang memicu pertumbuhan populasi ulat
grayak diantaranya:
a. Cuaca panas
Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme serangga
hama meningkat sehingga memperpendek siklus hidup.
Akibatnya jumlah telur yang dihasilkan meningkat dan akhirnya
mendorong peningkatan populasi. Oleh karena itu, intensitas
serangan ulat grayak pada pertanaman kedelai musim tanam
ketiga (musim kemarau II) umumnya lebih tinggi dibanding pada
musim hujan.
b. Penanaman tidak serentak dalam satu areal yang luas

10
Penanaman kedelai yang tidak serentak menyebabkan
tanaman berada pada fase pertumbuhan yang berbeda-beda
sehingga makanan ulat grayak selalu tersedia di lapangan.
Akibatnya, pertumbuhan populasi hama makin meningkat karena
makanan tersedia sepanjang musim.
c. Aplikasi insektisida.
Pengaplikasian insektisida yang kurang tepat baik jenis
maupun dosisnya, dapat mematikan musuh alami serta
meningkatkan resistensi dan resurgensi hama. Aplikasi
insektisida dengan dosis tinggi dapat memicu timbulnya
resistensi hama terhadap insektisida, sedangkan aplikasi
insektisida pada dosis sublethal dapat menyebabkan timbulnya
resurgensi.
Oleh karena itu, pengendalian yang hanya mengandalkan pada
penggunaan berbagai jenis insektisida mengakibatkan sebagian besar
populasi ulat grayak di lapangan berubah menjadi strain yang
mempunyai resistensi silang, seperti yang terjadi di Pakistan (Ahmad
et al. 2008), Cina (Huang dan Han 2007), dan Indonesia (Marwoto
dan Bejo 1997). Adanya berbagai strain ulat grayak menyebabkan
pengendalian dengan insektisida sering dikatakan tidak efektif.
Dalam rangka pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai,
kondisi lingkungan dan cara tanam perlu diatur sedemikian rupa
sehingga tidak sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan hama.
Beberapa mekanisme alami dapat bekerja secara efektif dan efisien
dalam ekositem sebagai upaya menjaga kelestarian dan keseimbangan
ekologi untuk menekan populasi suatu hama. Mekanisme alami
tersebut meliputi predatisme, parasitisme, patogenitas, persaingan
intra/interspesies, suksesi, produktivitas dan stabilitas. Jaring-jaring
makanan merupakan unsur ekosistem yang cukup penting dalam
pengelolaan hama.
Selain itu berbagai praktek budidaya yang sering memicu
timbulnya masalah hama adalah sebagai berikut:

11
 Waktu tanam
Waktu tanam yang tidak seragam sering menimbulkan
masalah hama karena stadia pertumbuhan tanaman yang
dikehendaki hama selalu ada.
 Benih
Keberhasilan usaha tani kedelai salah satunya bergantung
pada benih, terutama daya tumbuh dan kesehatan benih.
Penggunaan benih yang kurang sehat menghasilkan
tanaman yang mudah terserang hama dan penyakit.
 Ketersediaan air
Kerusakan tanaman akibat serangan hama akan makin parah
jika terjadi kekurangan air.
 Kondisi kesuburan tanah
Pada tanah yang subur, tanaman dapat tumbuh dengan vigor
yang baik dan akan meningkatkan preferensi serangga
hama. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang kurang subur
memiliki vigor yang kurang baik, dan apabila terserang
hama, tanaman menjadi rusak berat sehingga hasil menurun.
 Keragaman cara pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama yang dilakukan secara individual, bukan
atas dasar musyawarah kelompok, akan menyulitkan
pengendalian hama pada satu hamparan. Keragaman teknik
budi daya yang diterapkan petani perlu mendapat perhatian
dalam upaya pengendalian ulat grayak berdasarkan atas
pertimbangan ekosistem.

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Daya Rusak Dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak


Gangguan hama merupakan salah satu masalah dan ancaman utama
terhadap peningkatan produksi kedelai di Indonesia khusunya. Spodoptera
litura sebagai salah satu jenis hama ter[enting yang mampu merusak daun
kedelai dibandingkan dengan hama perusak daun lainnya, mampu
mengakibatkan kehilangan hasil tanaman kedelai hingga 80% bahkan puso
atau kehilangan panen jika petani tidak mampu mengendalikannya. Tingkat
kehilangan hasil bergantung terhadap varietas yang digunakan, fase
pertumbuhan, dan waktu serangan. Hama S. litura ini merupakan hama yang
bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman seperti pangan,
sayuran, dan buah-buahan dan serangga migrasi yang menimbulkan
kerusakan serius pada pertanaman kedelai. Maka, kehadirannya sangat perlu
diwaspadai, karena dapat menyerang tanaman pada berbagai fase seperti fase
vegetative (11-30 HST), fase pembungaan dan awal pengisian polong (31-30
HST), dan fase pertumbuhan dan perkembangan polong serta pengisian biji
(51-70 HST).
Hama ini menyerang tanaman kedelai dengan memakan daunnya yaitu
pada saat fase larva dengan memakan daun hingga sobek, berlobak, dan
tampak transparan. Perkembangannya sangat cepat, setelah telurnya meneras
dan ulatnya tinggal sementara maka ia akan meletakkan telurnya di tempat
yang tersembunyi seperti di bawah daunnya, sementara pada malam harinya
ulat mulai menyerang tanaman. Ulat muda ini menyerang hingga tersisa
epidermis bagian atas dan tulang-tulang daunnya saja, sementara berbeda
dengan ulat tua akan merusak pertulangan daun hingga tampak lubang-lubang
hasil gigitan. Kerusakan daun akibat serangan hama pemakan daun ini akan
mengganggu proses fotosintesis yang akhirnya menyebabkan kehilangan
hasil. Dalam satu siklus hidupnya, seekor larva S. litura dari instar 1 sampai 5
mampu menghabiskan daun kedelai sebanyak 191,98 cm2 atau setara dengan
2,16 g berat daun segar. Hama ini juga mampu menyebabkan kehilangan

13
hasil kedelai sebanyak 79% pada staida berbunga dengan kepadatan populasi
2 larva per tanaman. Serangan terbesar terjadi pada umur tanaman 10 HST
yang menyebabkan kerusakan sebesar 12,5% dan lebih 20% kerusakan
tanaman pada saat penyerangan terhadap tanaman berusia 20 HST.
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
1993, serangan hama S. litura mencapai 4.149 ha dengan intensitas serangan
sekitar 17,80%. Serangan tersebut menurun pada tahun 1994 dengan
intensitas serangan 14,40%. Berikut tabel luas serangan akibat ulat grayak
pada pertanaman kedelai Indonesia.
Apabila serangan hama S. litura menyebabkan defoliasi daun pada fase
R2 (fase pertumbuhan tanaman berbunga penuh, pada dua atau lebih buku
batang utama terdapat bunga mekar), dan faser R3 (fase pertumbuhan
tanaman mulai membentuk polong, terdapat satu atau lebih polong sepanjang
5 mm pada batang utama), maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar
daripada serangan pada fase R4 (fase pertumbuhan tanaman polong
berkembang penuh, polong pada batang utama mencapai panjang 2 cm atau
lebih), R5 (fase pertumbuhan tanaman polong berisi, polong pada batang
utama berisi biji dengan ukuran 2 mm x 1 mm), dan R6 (fase pertumbuhan
tanaman biji penuh, polong pada batang utama berisi biji berwarna hijau atau
biru yang telah memenuhi ringga polong/besar, biji mencapai maksimum).
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa jika pada fase R2 dan R3
terdapat paling sedikit 1 ekor ulat/m, maka kerusakan daun mencapai 50%.
Selain itu, serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan tersebut
menyebabkan bunga banyak yang gugur, sehingga menurunkan jumlah
polong yang terbentuk nantinya, meskipun tidak mempengaruhi terhadap
berat bobot 100 biji. Ambang luka ekonomi S. litura pada R2-R4 rata-rata
adalah 2 ekor larva per 1 m baris tanaman. Maka, serangan S. litura ini perlu
diwaspadai khusunya pada fase R3, karena defoliasi akan terjadi pada fase
tersebut dan menyebabkan kerugian hasil yang sangat signifikan
dibandingkan pada fase V6, R2, R4, dan R5 (Arifin, 1986).

14
3.2 Pengendalian Terpadu Hama Ulat Grayak Pada Tanaman Kedelai
Pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai dewasa ini pada
umumnya bertumpu pada penggunaan insektisida kimia berbahan aktif
profenofos, lamdasihalotrin, dan monokrofos yang terbukti mampu
mengendalikan ulat grayak. Namun, penggunaan insektisida kimia secara
terus-menerus dan penggunaannya yang diaplikasikan secara kurang tepat
akan menyebabkan timbulnya resistensi dan resurgensi ulat grayal terhadap
bahan kimai tertentu. akibat lain penggunaan insektisida kimia tersebut
adalah timbulnya residua tau sisa bahan kimia pada tanaman/organ target
utama tanaman kedelai yang dapat membahayakan kesehatan manusia
sebagai konsumen utama.
Pada daerah yang petaninya mempunyai modal yang cukup hampir
90% petani menggunakan insektisida sebagai pengendali utama hama S.
litura, namun pada lahan marginal sebagian besar petani yang kurang modal
menggunakan hanya 50 % petani yang menggunakan insektisida kimia. Pada
beberapa daerah sangat sensitive terhadap pemakaian insektisida dengan
dosis dan frekuensi yang tinggi, namun ada pula yang menggunakan
insektisida dengan dosis di bawah yang dianjurkan. Kedua langkah tersebut
sama-sama akan berdampak negatif, karena hama akan tidak dapat terkendali
dengan baik. beberapa kendala yang menyebabkan petani gagal dalam
melakukan penanggulangan hama tersebut di antaranya lemah dalam
mengidentifikasi hama dan gejala serangannya, tindakan pengendalian yang
terlambat, aplikasi insektisida yang kurang tepat, serta belum cukupnya
informasi bioekologi hama yang menyerang kedelai.

3.3 Pendekatan Sistem Pengendalian


Mendorong pentingnya pengendalian hama secara terpadu ini akan
menekan penggunaan insektisida kimia dan mempertahankan keberlanjutan
sistem usaha tani (Carter, 1989). Seperti penggunaan komponen teknologi
pengendalian azadirachtin dan nucleopolyhedrosis pada ulat grayak dapat
dinyatakan sebagai komponen pengendalian alternatif selain penggunaan
insektisida kimia. Pengendalian hama S. litura ini diarahkan pada penerapan

15
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu cara pendekatan atau pengendalian
hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi
dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan. Strategi dari teknologi PHT ini adalah penggabungan
komponen-komponen secara kompatibel yang didasarkan pada asas ekologi
dan ekonomi. Berikut beberapa pirnsip-prinsip operasional yang digunakan
dalam PHT.
Berikut beberapa prinsip operasional yang digunakan dalam PTHPT:
 Budidaya tanaman sehat
Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi
terhadap gangguan hama. Maka dari itu, penerapan paket teknologi produksi
dalam praktek-praktek agronomis harus diarahkan kepada tewujudnya
tanaman yang sehat
 Pelestarian musuh alami
Musuh alami seperti parasit, predarot, dan patogen serangga
merupakanbeberapa faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan
dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan
populasi hama di lapangan. Maka, penggunaan insektisida perlu dilakukan
secara selektif dan tidak terus-menerus. Penggunaan pestisida nabati biji
mimba yang megandung azadirachtin terbukti mampu menekan serangan ulat
grayak.
 Pemantauan ekosistem secara terpadu
Pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh
petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan
pelaksanaan tindakan yang diperlukan.
 Petani sebagai ahli PHT
Merupakan seorang pengambil keputusan dalam menganalisis
ekosistem dan mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat
sesuai dengan dasar PHT.

16
3.4 Analisis Ekosistem Sebagai Dasar Pengendalian Hama
Dalam sistem Pengendalian Hama Terpadu, pengambilan keputusan
didasarkan atas analisis ekosistem. Analisis ekosistem yang telah ditetapkan
dan berfungsi terdiri dari tiga subsistem, yaitu:
a. Pemantauan
Pemantauan atau monitoring merupakan kegiatan memantau
keadaan agroekosistem yang dikelola melalui kegiatan pengamatan rutin,
baik terhadap komponen biotik seperti keadaan tanaman, intensitas
kerusakan, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami, dan
keadaan gulma, maupun komponen abiotik seperti curah hujan, suhu, air,
dan angin.
Pengamatan secara rutin dilakukan oleh petugas pengamat khusus
atau petani terlatih dengan metode pengamatan yang praktis, ekonomis,
dan teliti, serta tetap dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pengambilan Keputusan
Subsistem pengambilan keputusan berfungsi untuk menentukan
keputusan pengelolaan hama yang tepat didasarkan pula pada hasil
pemantauan. Pengambilan keputusan didasarkan pada teknologi
pengelolaan hama yang dikuasai oleh petani atau kelompok tani dan
tersedia. Keputusan yang diambil merupakan tindakan yang perlu
dilakukan agar sasaran PHT terpenuhi, termasuk kapan dan bagaimana
pestisida akan digunakan
c. Tidakan Pengendalian (Action Program)
d. Program tindakan pengendalian memiliki fungsi untuk segera
melaksanakan keputusan dan rekomendasi yang dibuat oleh subsistem
pengambilan keputusan dalam bentuk tindakan pengendalian atau
pengelolaan hama pada unit lahan atau lingkungan yang dikelola.
Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh petani perorangan atau secara
berkelompok.

17
Gambar 1. Bagan teknik operasional pengambilan keputusan pengendalian
hama pada tanaman kedelai
Sumber: Iptek Tanaman Pangan Vol 2 No 1-2007

3.5 Komponen Pengendalian


Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam
penerapan PHT pada tanaman kedelai adalah:
1. Pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat
merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami. Penyemprotan
dengan insektisida yang berlebihan, baik dosis maupun frekuensi
aplikasinya, akan mengancam populasi musuh alami (parasitoid dan
predator).
2. Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi
populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama, serta mengubah
lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan
perkembangan hama. Pengurangan populasi hama dapat pula dilakukan
dengan mengambil kelompok telur, membunuh larva dan imago atau
mencabut tanaman yang sakit.

18
3. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan
untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi
kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia
pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan
populasi hama meliputi:
a. Penanaman varietas tahan. Pada tahun 2003 telah dilepas satu
varietas kedelai yang toleran terhadap serangan ulat grayak yaitu
varietas Ijen (Suhartina 2005).
b. Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh baik. Benih yang sehat
akan tumbuh menjadi tanaman yang sehat pula. Selanjutnya,
tanaman yang sehat akan mampu mempertahankan diri dari serangan
hama dengan kemampuan tumbuh kembali (recovery) yang lebih
cepat.
c. Pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama. Pergiliran
tanaman dengan menanam tanaman bukan inang sebelum atau
sesudah kedelai ditanam dapat memutus siklus hama sehingga
populasi hama menjadi tertekan.
d. Sanitasi dengan membersihkan sisa-sisa tanaman atau tanaman lain
yang dapat menjadi inang hama.
e. Penetapan masa tanam dan penanaman secara serempak pada satu
hamparan dengan selisih waktu tanam maksimal 10 hari untuk
menghindari waktu tanam yang tumpang-tindih. Waktu tanam yang
tidak serempak dalam area yang luas akan mendorong pertumbuhan
populasi hama.
f. Penanaman tanaman perangkap atau penolak hama sehingga hama
lebih senang pada tanaman perangkap dibanding tanaman utama,
misalnya menanam jagung pada areal pertanaman kedelai untuk
menarik hama ulat grayak (Marwoto et al. 1991).
4. Penggunaan agens hayati (pengendalian biologis). Pengendalian biologis
pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk
mengendalikan hama. Musuh alami seperti parasitoid, predator, dan
patogen serangga hama merupakan agens hayati yang dapat digunakan

19
sebagai pengendali ulat grayak (Marwoto 1999). NPV efektif
mengendalikan hama ulat grayak (Bejo 1997a). Kombinasi NPV dengan
azadirachtin (insektisida nabati dari tanaman mimba) lebih efektif
mengendalikan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005, 2006). Bacillus
thuringiensis (Bt) merupakan agens hayati berbahan aktif bakteri yang
efektif mengendalikan ulat grayak (Bejo 1997b). Pemanfaatan Bt sebagai
agens hayati untuk mengendalikan ulat grayak aman terhadap serangga
bukan sasaran sepertiparasitoid dan predator (Walker et al. 2007).
Kombinasi feromon seks dan aplikasi insektisida berdasarkan
pemantauan mampu mencegah kehilangan hasil kedelai akibat serangan
ulat grayak hingga 50% (Marwoto 1996).
5. Pestisida nabati untuk mengembalikan populasi hama pada asas
keseimbangannya. Serbuk biji mimba efektif mengendalikan hama ulat
grayak (Susilo et al. 1996).

Tabel 1. Ambang kendali dan strategi pengendalian hama ulat grayak pada
tanaman kedelai
Pestisida kimiawi dapat digunakan setelah dilakukan analisis ekosistem
terhadap hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang
dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan. Strategi pengendalian ulat grayak
dapat dilakukan berdasarkan pemantauan ambang kendali dan strategi komponen
pengendalian, sehingga penerapan PHT yang dilakukan dipilih berdasarkan
alternatif pengendalian yang ada (Tabel 2).

20
3.6 Monitoring Keberadaan Hama Dan Lingkungan Yang Mendukung
Monitoring dilakukan dengan pemantauan secara rutin dengan jadwal
yang telah diatur. Monitoring dilakukan untuk melihat apakah hasil dari
percobaan yang dilakukan mampu mengurangi serangan hama ulat grayak
pada tanaman kedelai. Dalam setiap pemantauan harus dikumpulkan data
untuk dapat menarik kesimpulan dari percobaan yang telah dilaksanakan.
Data yang telah terkumpul kemudian disesuaikan dengan tabel ambang
kendali. Disamping monitoring juga harus terus diupayakan pembentukan
lingkungan yang mendukung agar kedelai terus berproduksi dengan baik dan
menjadi kurang sesuai bagi kehidupan hama ulat grayak dengan
memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi pengendalian
seperti sanitasi, rotasi tanaman, jarak tanam, dan aspek lainnya.

21
BAB IV
KESIMPULAN

Ulat grayak (S. litura) merupakan hama penting pada tanaman kedelai
karena dapat menurunkan produktivitas tanaman, khususnya pada fase
pertumbuhan R2-R4. Hampir 60% pertanaman kedelai ditanam pada musim
kemarau atau setelah padipadi sehingga rawan terhadap serangan ulat grayak.
Pengendalian hama ulat grayak, selain dengan cara kimiawi, dapat memanfaatkan
agens hayati Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV), Bacillus thuringiensis,
tanaman perangkap, feromon seks, dan bahan nabati seperti serbuk biji mimba.
Pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai harus berlandaskan pada
Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

22
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Agro Inovasi. TT. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai.
Marwoto, dan Suharsono. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian
Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada Tanaman Kedelai. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Jurnal
Litbang Pertanian, 27(4), 2008.

23

Você também pode gostar