Você está na página 1de 26

Pengertian Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki fakta-fakta, prinsip-prinsip hakikat


yang sebenarnya, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik dan estetika
Ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang meliputi teori,
metode, dan praktek yang dilakukan secara sistematis.
Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan
nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan tersebut.

Persamaan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama


1. Baik ilmu, filsafat dan agama bertujuan sekurang-kurangnya berusaha berurusan dengan hal
yang sama, yaitu kebenaran.
2. Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya
sampai ke-akar-akarnya.
3. Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
4. Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
5. Ketiganya mempunyai metode dan sistem.
6. Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat
manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.

Berikut beberapa titik persamaan dari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama :
a. Filsafat dan Imu Pengetahuan
1. Didasarkan pada rasio, maksudnya sama-sama berdasarkan akal budi
2. Mempunyai metode, menempuh suatu jalan untuk mencapai kebenaran
3. Bersifat sistematis, memberikan suatu uraian atau penjelasan yang menyeluruh dan bagian-
bagian yang saling berhubungan.
b. Filsafat dan Agama
1. Filsafat dan Agama adalah sama-sama mengandung suatu pemandangan yang luas.
c. Ilmu Pengetahuan dan Agama
1. Perpaduan ilmu pengetahuan dan agama dikonsepkan oleh Al Ghazali sebagai al ma’rifah. Al
gazali menjelaskan bahwa jalan menuju ma’rifah sebagai kerinduan rohani untuk mengenal
Tuhan dengan hati nurani melalui tingkat-tingkat ilmu pengetahuan. Al ma’rifah menjadi tingkat
yang tertinggi di dalam pengetahuan dan kesadaran rohani manusia terhadap Tuhan.

D. Persamaan antara Filsafat, Ilmu dan Agama


Agama dan filsafat sebenernya memiliki kesamaan, yaitu bahwa keduanya mengejar suatu hal
yang dalam bahasa Inggris disebut Ultimater yaitu hal-hal yang sangat penting mengenai
masalah kehidupan, dan bukan suatu hal yang remeh. Orang yang memegang filsafat dan agama
tentunya sama-sama menjunjung tinggi apa yang dianggapnya penting dalam kehidupan.[15]
Persamaan :
1. Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya
sampai ke-akar-akarnya.
2. Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
3. Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4. Ketiganya mempunyai metode dan sistem.Ketiganya hendak memberikan penjelasan
tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan
yang lebih mendasar.[16]

Baik ilmu, filsafat dan agama bertujuan sekurang-kurangnya berusaha berurusan dengan hal
yang sama, yaitu kebenaran.

Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia.

Filsafat dengan wataknya sendiri yang menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun
tentang manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena diluar atau di atas batas
jangkauannya), ataupun tentang tuhan.

Agama dengan karakteristiknya memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia ataupun tentang tuhan.
Ilmu, filsafat dan Agama.

Persamaan:

 Semuanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-


lengkapnya sampai ke-akar-akarnya
 Filsafat dan ilmu pengetahuan memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren
yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-
akibatnya
 Semuanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
 Filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai metode dan sistem
 Semuanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari
hasrat manusia obyektivitas, akan pengetahuan yang lebih mendasar.
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA
HINDU

Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu


AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman
Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda
purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India
pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang
menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat
hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan
terhadap Dewa-dewa. Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di
Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa
Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki
peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan
sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan
perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang
sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas
kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan,
kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu.
Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang
teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya.
Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di
dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji
saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat
membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan
penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini
muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran
Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi
umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama
“Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi,
sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu, dari India Selatan
menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama
Hindu sampai juga di Nusantara.
MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang
di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari
Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran
Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah,
Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang
masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis”, menyebutkan bahwa
masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang
dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli – India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para
pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka
mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari
tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung
sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli – Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran
agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa
oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.


Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke
Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang
menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui
sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi
Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti
seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura
suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya.
Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau,
diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal
kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena
mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
AGAMA HINDU DI INDONESIA
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan
adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan
diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh
buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh
Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya
pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya
berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan
beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya
kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur),
agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh
buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman
adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan
tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan
atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data
tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja
Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu
berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari
prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula,
Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan
memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka
(576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang
pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo
dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan
pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa
Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai
huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja
Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar,
para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan.
Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua
kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri
Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa.
Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah
Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut
Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222),
sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu,
misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab
Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan
Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai
kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa
gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga
munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-
prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di
Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana.
Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman
sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad
Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah
dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai
penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343)
sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama.
Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan
dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat
besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti
Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan
keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul
dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar,
Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun
1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun
1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23
Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember
tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan
Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan
umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali
dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan
Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia.

SEJARAH KERAJAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA


Daftar kerajaannya:
a. Kerajaan KUTAI
b. Kerajaan TARUMANEGARA
c. Kerajaan HOLING
d. Kerajaan Melayu
e. Kerajaan SRIWIJAYA
f. Kerajaan MATARAM KUNO
g. Kerajaan MEDANG KAMULAN
h. Kerajaan KEDIRI
i. Kerajaan SINGASARI
j. BALI
k. Kerajaan PAJAJARAN
l. Kerajaan MAJAPAHIT

Sistem Pemerintahan Kerajaan- Kerajaan Hindu Pertama


Perkembangan Kerajaan- kerajaan Hindu di Kepulauan Indonesia dan Malaysia tidak lepas dari
proses adaptasi selektif kebudayaan India yang disesuaikan dengan pola atau tradisi lokal atau
disebut sebgai local genius oleh para pemimpin Austronesia dengan dukungan sistem
perdagangan maritim yang kuat. Konsep kerajaan menurut tradisi Hindu yaitu sebuah alam-
semesta kecil yang berupa mandala yang dipimpin oleh raja dan dikelilingi oleh kekuatan
konsentris yang terdiri dari para pendeta, pemerintah, bangsawan, tentara, dan rakyat jelata.
Masing-masing mandala mewakili area kekuasaan inti sang tuan tanah.
Konsep kerajaan tersebut dapat juga berupa kerajaan-kerajaan yang dibawahi atau tunduk pada
seorang tuan tanah besar atau maharaja. Dan konsekuensi dari konsep diatas adalah bahwa
kerajaan-kerajaan bawahan harus membayar upeti kepada sang maharaja secara berkala. Tetapi
walaupun begitu penguasa kerajaan bawahan tersebut mempunyai kekuasaan murni terhadap
kerajaan yang diperintahnya. Menurut Coedes adalah bahwa kerajaan- kerajaan Hindu memiliki
kebudayaan yang terorganisasi berdasarkan konsep agama Hindu dan menganut kepercayaan
Hindu Budha, dan bersamaan dengan mitologi puranas, ketaatan pada Dharmasastra dan
penggunaan bahasa sansekerta sebagai alat komunikasi bagi golongan penguasa.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kerajaan- kerajaan
pertama tersebut menggunakan struktur pemerintahan yang dibentuk oleh Arthasastra (pakta
pemerintahan). Artasastra sendiri adalah pedoman bagi para pemimpin dimana sebuah
pemerintahan yang baik harus mengandung tujuh kaki dasar, unsur tersebut diantaranya; Raja,
Menteri, Kerajaan, Benteng, Perbendaharaan, Tentara, dan sekutu. Arthasastra juga mengatur
mengenai hubungan kerajaan dengan kerajaan lain, penegakan hukum, dan penyelesaian
perbedaan pendapat. Ajaran ini juga menyebutkan mengenai seorang pendeta Brahmana yang
fungsinya sebagai penasihat raja dan pemuka keagamaan serta pendidik militer. Hal ini tidak
lepas dari pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para brahmana tersebut diantaranya
ilmu sosial, pengobatan, matematika, arsitektur, dan persenjataan.
Raja dalam hal ini haruslah memiliki sikap yang fleksibel terhadap posisi dan tanggung jawab
para pengikutnya. Raja sebgai sebuah jabatan yang sangat sulit untuk diemban, raja harus
mampu menjadi seorang penengah dan juru damai bagi orang-orang bertikai, menghargai
kesetiaan bawahan, dan selalu berusaha untuk menjaga kesatuan negaranya. Karena tugas yang
sangat berat inilah raja memerlukan brahmana untuk membantu mengurusi pegawai pemerintah.
Brahmana-brahmana yang datang ke dalam istana tidak semata untuk memberikan siraman
rohani, namun mereka diberi tugas untuk mendidik pegawai pemerintah. Didikan terhadap
pegawai pemerintah ini diharapkan agar pegawai pemerintah dapat meningkatkan sisitem
manajeman dan kemakmuran di setiap bidangnya. Brahmana juga memiliki kemampuan yang
berbeda-beda, menurut kemempuannya, guna mendidik para pegawai pemerintah.
Perekonomian kerajaan-kerajaan hindu awal umumnya bertumpu pada perdagangan
internasional, sehingga fungsi terpenting dari pemerintahan mereka berkaitan dengan bandar-
bandar, armada yang dimiliki, pajak, keadilan, dan pertanahan mereka. Selain berbasis pada
perdagangan, perekonomian, terutama di Jawa bertumpu pada pertanian. Hal ini tidak lepas dari
perkembangan sistem feodalisme yang masih melekat pada jiwa masyarakat Hindu-Budha pada
masa itu. Karena faktor itulah banyak para penguasa-penguasa kerajaan tersebut memberikan
perintah untuk membuat kanal- kanal saluran irigasi seperti disebutkan dalam prasasti Tugu.
Dengan bertambahnya populasi penduduk dan peningkatan standar pendidikanyang dipegang
oleh kaum Brahmana, secar berlahan muncullah sistem birokrasi, yang tersusunn atas: hierarki
abdi kerajaan, bangsawan adan tuan tanah, struktur lokal pada tingakt desa.
Abdi kerajaan ini sebagai penasihat raja, dan mediator antara orang jelata dengan para
bangsawan atau pejabat istana. Para tuan tanah disamping memperoleh pendapatan dari desa
yang tanahnya merupakan daerah kekuasaanya juga memiliki kewajiban untuk menajalankan
setiap peraturan kerajaan dan mengamankan hasil bumi, pajak, dan upeti yang sangat penting
untuk mendukung kerajaan dan pemerintahan didalamnya.
Dewan lokal ini diangkat oleh para tetua desa yang biasanya mengikuti aturan yang ditetapkan
oleh tradisi lokal yang disebut sebagai adat. Saran dan nasehat mereka dipertangungjawabkan
didepan para bangsawan pada komunitas desa itu.
Keamanan kerajaan tersebut dipercayakan kepada pasukan non-permanen yang profesional yang
biasanya merupakan tentara bayaran yang biasanya direkrut dari para pengikut bangsawan dan
raja.
Kesimpulan Munculnya Kerajaan Awal
Kerajaan mulai muncul di Asia Tenggara sekitar abad ke-1 M. Ketika kerajaan Romawi
melakukan hubungan perdagangan dengan Cina.Jalur yang sering sebagai jalur perdagangan
disebut sebagai jalur sutera, namunjalur itu akan diubah melalui jalur laut, karena adanya
ketidakamanan bila melalui jalur sutera. Selain berdagang dengan Cian, Asia Tenggara juga
telahberdagang dengan India antra abad ke-1 hingga abad ke-3 M. Perdagangan melalui jalur laut
inilah lebih sering dilakukan denagn India daripada denagn Cina. Sehingga pengaruh India
diadopsi oleh orang-orang di Asia Tenggara, tanpa meninggalkan kebudayaan yang telah ada.
Contohnya Fuann yang telah banyak mengambil manfaat dari jalur perdagangan antara Cina dan
India. Antara abad ke-3 hingga abad ke-5 M terjalin hubungan yang harmonis antara Cina
denagn negara-negara di Asia Tenggara. Funan telah berkembang denganjalinankerjasa itu,
terutama pelabuhan dagang Funan yang terletak diantara pelabuhan Cina dan pelabuhan di
semenjung Malay.
Antara abad ke-5 hingga abad ke-6 M, merupakan zaman keemasan perdaganagnmelalui jalur
laut. Laut Cian Selatan dan daerah semenjung Malay menjadi urat nadi perdagangan. Adanya
kontak perekonomian antara Cina dan Asia Tenggara, masuknya produk Asia Tenggara ke pasar
Cina terutama. Namun hal itu tidak dapat dilakukan ketika Funan mengalami keruntuhan, akibat
seranagn dari Khmer. Perdagangan ini akan kembali lancar ketika Cian diperintah oleh dinasty
Sui.
Pada abad ke-7 hingga ke-8, ketika terajdinya kekacauan di Khmer, perdagangn dapat dilakuakn
oleh bangsa Cina setiap bangsa manapun. Menyebabkan perdagangan menjadi lebih maju,
terutama di bagian Asia Tenggara kepulauan.

Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia


1) KERAJAAN KUTAI
Kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia adalah kerajaan Kutai. Kerajaan ini terletak di
Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat
ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan
sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu
yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah
Mulawarman.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan
Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman,
kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai
pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk
Keluarga.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa pemerintahan
Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi
hamper seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

2) KERAJAAN TARUMANEGARA
Lokasi kerajaan, barada di wilayah jawa barat dan berpusat di bogor.
Sumber sejarah, berasal dari negeri cina yaitu zaman Dinasti T’ang dan berupa prasasti
Kehidupan politik, satu satunya raja yang pernah berkuasa adalah Raja Punawarman.
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan.
Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara Cianten dan Prasasti Pasir Awi
sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh dari tulisan pada
kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti terpanjang, Tujuh
prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti
Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Munjul.
Sumber sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara adalah
catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang menyebutkan keberadaan
Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan
catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu prasasti, yakniPrasati Ciaruteun
yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja
yang gagah berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang
panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman telah
menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat disimpulkan bahwa Purnawarman
memerintah dalam waktu yang cukup lama.

3) KERAJAAN HOLING
Asal Mula penyebutan Ho-ling
Nama Ho-ling sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan
Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal (420-470 M)
menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, akan tetapi kemudian berita-berita Cina dari Dinasti
T’ang (618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling sampai tahun 818. Namun
penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul pada 820-856 M (Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1984:93).
Sumber sejarah
Nama Kerajaan Ho-ling sempat tercatat dalam kronik dinasti T’ang yang memerintah Cina pada
618-906 M. Menurut catatan kronik tersebut, penduduk Ho-ling biasa makan tanpa
menggunakan sendok atau cupit, melainkan dengan jari-jari tangannya saja, dan gemar minum
semacam tuak yang mereka buat dari getah bunga pohon kelapa (aren). Ibukota Kerajaan Ho-ling
dikelilingi pagar dari kayu. Raja mendiami istana yang bertingkat dua yang beratapkan daun
palma. Raja duduk di atas bangku yang terbuat dari gading, memergunakan juga tikar yang
terbuat dari kulit bambu. Dicatat pula bahwa Ho-ling mempunyai sebuah bukit yang disebut
Lang-pi-ya, yang sering dikunjungi raja untuk melihat laut (Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, 1978:50).

Mengenai Kerajaan Ho-ling, terdapat sumber lain selain kronik dari Dinasti Tang. Seorang
pendeta Budha bernama I-tsing, menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang
pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan
Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana
(Soekmono, 1973:37).
Letak Kerajaan Ho-ling
Ada dua sumber Cina yang berasal dari Dinasti T’ang memberikan arahan tentang Kerajaan Ho-
ling. Kedua versi tersebut yaitu berita Cina Ch’iu-tang dan Hsin T’ang Shu. Kedua versi tersebut
memberitakan tentang Ho-ling sebagai berikut: “Ho-ling yang juga disebut She-p’o terletak di
lautan selatan. Sebelah timurnya terletak P’o-li dan disebelah baratnya terletak To-p’o-teng. Di
sebelah selatannya ialah lautan dan disebelah utaranya ialah Chen-la” (Marwati & Nugroho,
1984:93).

Dalam berita-berita Tionghoa dari jaman pemerintahan raja-raja T’ang (618-906 M) ada disebut
nama Kerajaan Kaling atau Ho-ling. Letaknya di Jawa Tengah. Tanahnya sangat kaya, dan di
situ pula ada sumber air asin. Rakyatnya hidup makmur dan tentram (Soemono, 1973:36).

Sumber lain menyebutkan sebuah analisa berdasarkan sumber Cina. Prof. NJ Kroom
berpendapat bahwa pada akhir abad ke VII ada sebuah ratu yang memegang tampuk
pemerintahan. Prof. NJ Kroom menunjuk bahwa letak Kerajaan Ho-ling berlokasi di Jawa
Tengah. (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:50). Jika memadukan
pendapat Prof. NJ. Kroom dan kronik dari dinasti T’ang yang menyebut bukit Lang-pi-ya untuk
melihat laut, maka besar kemungkinan Ho-ling berada di sekitar pesisir atau di Jawa Tengah
bagian pesisir utara. Penyelidikan Drs. Pitono menyimpulkan bahwa Kerajaan Ho-ling
kemungkinan terletak antara Pudakpayung-Salatiga (Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, 1978:51).
Tentang Lang-pi-ya disebutkan oleh penulis Hsin-tang-su, bahwa di sana apabila pada
pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya akan jatuh di
sebelah selatannya dan panjangnya dua kaki empat inci. Berdasarkan panjang bayangan yang
jatuh dari tingginya gnomon tersebut, bisa dihitung bahwa letak Ho-ling berada pada 6˚ 8’ LU.
Dilihat dari perkiraan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa letak Kerajaan Ho-ling tidak di
Jawa. Akan tetapi penulis Hsin-tang-su tersebut telah membuat dua kekeliruan. Pertama,
semestinya penghitungan bayangan dilakukan pada pertengan musin dingin. Kedua, jatuhnya
bayangan ada di sebelah utaranya. Jika pembenaran ini bisa diterima, maka letak Ho-ling berada
di 6 ˚ 8’ LS, jadi di pantai utara Pulau Jawa. Koreksi tersebut sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-ya
yang terletak di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem (Marwati & Nugroho, 1984:95).
Koreksi tersebut dikuatkan dengan adanya seorang pendeta Budha bernama I-tsing yang
menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-
ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia
menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37). Dari bukti
yang dibawa I-Tsing ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di Jawa dalam tahun 664 M terdapat
sebuah kerajaan yang menganut ajaran murni Budhis dan menjadi populer. Kerajaan tersebut
bernama Kerajaan Kalingga yang terletak di Jawa Tengah (kira-kira di wilayah Kecamatan
Keling Kelep, Kabupaten Jepara sekarang ini) (http://www.dhammacakka.or.id/). Bahkan ada
sumber yang mengatakan bahwa Kerajaan Ho-ling merupakan cikal bakal Jepara.
Tentang Ratu Shimo (pemerintahan)
Pada 674-675 M (tepatnya tahun 674 M) rakyat Ho-ling memilih dan mengangkat seorang ratu
bernama Si-mo. Konon ratu ini memerintah dengan sangat kerasnya, namun bijaksana sehingga
Ho-ling menjadi negara yang aman.
Pemerintahan Ratu Si-mo ditandai oleh terlaksananya pemerintahan dengan segala disiplin
tinggi. Peraturan ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Ada sebuah kisah yang menceritakan
tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang
bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan
Ho-ling dengan cara meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling
terkenal dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani untuk
mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang tersebut aman di jalan
dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut. Maka ratu memerintahkan
untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri mohon ampun padanya dan
keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena kakinya yang bersalah. Tak berhenti
sampai di situ saja, para menteri juga memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja
yang dipotong. Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang
Kerajaan Ho-ling.
Raja tinggal di kota She-p’o. Tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat
kerajaan ke timur, ke kota P’o-lu-Chia-ssu. Di sekeliling She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil yang
tunduk pada She-p’o. Menurut berita dari Ying-huan-tche-lio, perpindahan tersebut terjadi pada
masa T’ien-pao tahun 742-755 M (Marwati & Nugroho, 1984:95).
Mata pencaharian
Kerajaan Ho-ling mempunyai hasil bumiberupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan
gading. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai bledug.
Penduduk menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai
bledug tersebut.
Keagamaan
Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang
berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan kronik
Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama Hwu-ning
dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta tersebut bersama-sama
dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang
dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat
berbeda dengan kitab Suci Budha Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah
setelah Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan Yun-ki
bersama dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang
pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan
untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha
aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik
Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi
pendeta Budha adalah Njnanabhadra. (Marwati & Nugroho, 1984:51).

Hubungan dengan negeri luar


Pada masa Chen-kuang (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng,
menyerahkan upeti ke Cina. Kaisar Cina mengirimkan balasan yang dengan dibubuhi cap
kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda yang terbaik dan dikabulkan oleh kaisar Cina.
Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan 768 M.
Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan empat budak
sheng-chih (jenggi), burung kakatua, dan burung p’in-chiat (?) dan benda-benda lainnya. Kaisar
amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan
itu mohon supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan
sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada keduanya. Sampai dengan tahun 813 M, Ho-
ling masih mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa “hadiah” berupa empat orang
budak Sen-ki, burung kakatua, dan sejumlah jenis burung lainnya (Marwati & Nugroho, 1984:
94).

4) KERAJAAN MELAYU

Lokasi kerajan, sumatra dan berpusat di Jambi


Sumber sejarah, buku seorang musafir dari cina sekitar abad ke-7
Kehidupan politik, merupakan kerajaan yang mengandalkan pedagangan. Hingga akhirnya
kerajaan jatuh oleh kerajaan sriwijaya.
Kerajaan-kerajaan Buddha di Sumatra muncul pada sekitar abad ke-6 dan ke-7. Sejarah mencatat
ada dua kerajaan bercorak Buddha di Sumatra, yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya.
Nama kerajaan Sriwijaya selanjutnya mendominasi hamper seluruh informasi tentang kerajaan
dari Sumatra pada abad ke -7 hingga ke-11. Kerajaan Melayu merupakan salah satu kerajaan
tertua di Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang bias ditemukan, Kerajaan Melayu
diperkirakan berpusat di daerah Jambi, tepatnya di tepi alur Sungai Batanghari. Di sepanjang alur
Sungai Batanghari ditemukan banyak peninggalan berupa candi dan arca.
Sumber sejarah lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk keberadaan Kerajaan Melayu
adalah catatan dari seorang pengelana dari Cina yang bernama I-Tsing (671-695). Ia
menyebutkan bahwa pada abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Melayu yang
secara politik dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dari cerita I-Tsing,
diketahui bahwa Kerajaan Melayu terletak ke dalam Selat Malaka yang merupakan jalur
perdagangan terdekat antara India dan Cina. Menurut Kitab Negarakertagama, pada tahun 1275,
Raja Kertanegara dari kerajaan di Jawa mengadakan ekspedisi penaklukan ke Sumatra. Ekspedisi
tersebut disebut ekspedisi Pamalayu.
Setelah cukup lama di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu muncul kembali sebagai
pusat kekuasaan di Sumatra. Pada abad 17, adityawarman, putra Adwayawarman memerintah
Kerajaan Melayu. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375. Kemudian, digantikan oleh
anaknya Anangwarman.

5) KERAJAAN SRIWIJAYA

Kerajaan Sriwijaya yang muncul pada abad ke-6, pada mulanya berpusat di sekitar Sungai
Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada perkembangannya, wilayah kerajaan Sriwijaya meluas
hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah Jawa
Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha
bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M. Pada tahun 692,
ketika I-Tsing, bias disimpilkan bahwa Sriwijaya telah menaklukan dan menguasai kerajaan-
kerajaan disekitarnya.
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi. Daerah
Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan wilayah taklukan
pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai
peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan berpengaruh di Selat
Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 menuju ke arah selatan dan
meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada
masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-wilayah
sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara dengan
menguasai Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina
Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda
dan Prasasti Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa
pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan
Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh seranggan
yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya
di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan
Sriwijaya.

6) KERAJAAN MATARAM KUNO


Di wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan Mataram
Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram yang terletak di
pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak pegununggan dan sungai seperti
Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan Bengawan Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram
Kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa
Tenggah ke Jawa Timur disebabkan oleh dua hal.
1. Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan Mataram
Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno
semakin terdesak ke wilayah timur.
2. Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda pralaya atau kehancuran
dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tenggah dianggap tidak layak lagi untuk ditempati.

Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang
cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654
Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan
Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya
Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita
Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai
pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat Kerajaan
Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan
cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja
Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya
meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan dan
Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama
Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan
Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti
Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi cita-
citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara
Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari
keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak
berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang
merupakan adik tiri dari Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu
Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan
Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia kemudian
berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu
dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala
menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun
sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas
kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra.
Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada
masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan. Menurut Prasasti
Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama
Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah
oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd pelaksana
pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini
sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja
Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja
Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang
sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari
ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan
menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu
Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I
Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh
kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang
juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno
yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja
Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga
raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada
masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan
Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari
dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan
Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan
mataram kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan
ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara
mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi
Rakryan i Hino.

Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-8.
Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan, antara lain prasasti
Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan nama Rakai
Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa Dinasti Syailendra, untuk
mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah vihara bagi para pendeta. Rakai
Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko
(856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu
Pramodhawardani. Kemudian, ia melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860),
menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra
dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak oleh
dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai
Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan,
sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno tidak
lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat
karena Raja Indra menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya
yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi
Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga meninggal
dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan
Sriwijaya dan menjadi raja disana.

7) KERAJAAN MEDANG KAMULAN


Kerajaan Medang kemulan diperkirakan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara Sungai
Brantas. Ibu kota Medang Kemulan adalah Watan Mas. Kerajaan ini didirikan oleh Mpu Sindok,
setelah ia memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur. Pada awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kemulan mencakup daerah
Nganjuk, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.
Prasasti yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Medang Kemulan, antara lain adalah Prasasti
Mpu Sindok dan Prasasti Kalkuta. Prasasti Mpu Sindok ditemukan di Tangeran, Bangil, dan
Nganjuk. Prasasti bertahun 933 yang ditemukan di Tangeran, Jombang, menyebutkan bahwa
Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan bersama permaisurinya Sri Wardhani
Mpu Kebi. Selain Prasasti Mpu Sindok, sumber sejarah yang lain adalah Prasasti Kalkuta.
Prasasti bertahun 951 M ini berasal dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan
raja-raja dari Raja Mpu Sindok. Dari beberapa sumber yang ditemukan, diketahui bahwa
sebelum menjadi raja, Mpu Sindok pernah memangku jabatan sebagai Rakai Halu dan Rakai
Mapatih i Hino pada kerajaan Mataram. Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan
dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah bersama permaisuri yang bernama Mpu
Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani Mpu Kebi. Nama permaisuri Mpu Kebi atau Dyah
kebi ini dapat ditemukan dalam Prasasti Cunggrang dan Prasasti Geweg.
Dari Prasasti Pucangan, kita memperoleh keterangan tentang para pengganti Mpu Sindok.
Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Sri Dharmawangsa dengan gelar Teguh
Anantawikramattanggadewa. Dari prasasti ini di ketahui bahwa pada tahun 1016 Kerajaan
Medang Kemulan diserang oleh Kerajaan Wurawari dan Waram. Pulau Jawa digambarkan
mengalami sebuah pralaya (tragedy) yang menyebabkan banyak orang yang meninggal,
termasuk Sri Maharaja Dharmawangsa. Dalam peristiwa itu, Airlangga (menantu
Dharmawangsa) berhasil melarikan diri ke hutan Wonogiri bersama pengawalnya, Narottama.
Mereka hidup bersama dengan para pertapa selama hamper dua tahun sampai akhirnya Airlangga
berhasil menguasasi Kerajaan Medang Kemulan kembali pada tahun 1019.
Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Setahun
Kemudian, Raja Wengker berhasil ditaklukannya. Akhirnya, pada tahun 1032, Raja Wurawari
yang dulu menghancurkan Dharmawangsa berhasil dikalahkan. Setelah musuh-musuhnys
dikalahkan, Airlangga mulai menata negaranya. Ia dibantu oleh Narottama yang diberi gelar
Rakryan Kanuruhan. Airlangga kemudian mengangkat putrinya yang bernama Sanggraman
Wijayatunggadewi menjadi Rakryan Mahamantri i Hino untuk menjadi raja. Namun, rupanya
sang putrid tidak berambisi menjadi raja dan memilih menjadi pertapa.
Dengan mundurnya putri mahkota, pada tahun 1044, Airlangga memutuskan untuk membagi
kerajaan menjadi dua. Kedua kerajaan ini masing-masing dipimpin oleh dua putranya. Hal itu
dilakukan Raja Airlangga untuk mencegah terjadinya perang saudara. Dengan bantuan seorang
Brahmana bernama Mpu Bharada, Kerajaan Medang Kemulan dibagi dua. Kerajan Jenggala
(yang berarti hutan)dan Kerajaan Panjalu (kediri). Jenggala beribu kota di Kahuripan dan
Panjalu beribukota di Daha

8) KERAJAAN KEDIRI
Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri
Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu seperti
Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara. Bameswara bergelar Sri
Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya
Parakrama Digjayatunggadewa. Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja,
diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah
dengan Chandra Kirana, putrid Jayabhaya.
Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha
Parkrama Digjayotunggadewa Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi
perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu
Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut sehingga
wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini
diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara dari Aryyeswara,
tidak banyak diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra
menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Medang Kemulan.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo.
Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan
Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara.
Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa
pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan seperti juga bentu
cerita kakawin.
Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya,
Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha
membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah Tumapel
(sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-lahan, terjadi
arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus
pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel.
Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok
berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri
kekuasaan Kerajaan Kediri.

9) KERAJAAN SINGASARI
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno, seperti
Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja.
Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa di
Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para
Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di
Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan
Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak,
yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya
dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong ateleng, Panji
Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri, yaitu
Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes. Tunggul Ametung
adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak tirinya
Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok
dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul
Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari). Setelah
Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan
Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya
dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati
juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian mengantikan
Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama memerintah karena
terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa yang digerakkan oleh
Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong
Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan
tombak. Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi akhirnya
meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan Singasari kembali
kosong.
Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya
Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh
anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari
dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang
bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda). Kertanegara
mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana meninggal di
Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai
Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja
Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat
bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga
Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan
Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang
disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia mempunyai
semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar
Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim
pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi
Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan tahun1260. Peristiwa
ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat) yang berangka
tahun 1286.
Raja Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya menyambut
hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu secara resmi berada
dibawah kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu kembali ke
Singasari untuk dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh pengiriman arca
dan penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang rencana perluasan kekuasaan Kaisar
Kubilai Khan dari Cina.
Diceritakan bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut
pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan
sebagai pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan
sebagai pernyataan tunduk.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K'i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar Kubilai
Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian besar
pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan
Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan
Singasari melihat kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja
Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh dating, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan
pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan mudah mereka semua
dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja
Kediri.

10) BALI
Informasi tentang raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Bali diperileh terutama dari
prasasti Sanur yang berasal dari 835 Saka atau 913. Prasasti Sanur dibuat oleh Raja Sri
Kesariwarmadewa. Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali dari Dinasti Warmadewa.
Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali, ia memerintah Kerajaan Bali yang
berpusat di Singhamandawa. Pengganti Sri Keariwarmadewa adalah Ugrasena. Selama masa
pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari
pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber
penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar
tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan
perantau yang kemalaman.
Pengganti Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya,
ia berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau Manukaya, dekat Tampak
Siring. Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa. Kemudian
Jayasadhu Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahu secara pasti.
Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu. Ratu ini bergelar Sri
Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada tahun 905 Saka atau 938. Beberapa ahli
memperkirakan ratu ini adalah putrid Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno.
Pengganti ratu ini adalah Dharma Udayana Warmadewa. Pada masa pemerintahan Udayana,
hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh
adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang
kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang
menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Setelah Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali. Putra kedua
Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota Airlangga menjadi raja Medang
Kemulan. Airlangga menikah dengan putrid Darmawngasa dari kerajaan Medang Kemulan. Dari
prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa Marakatapangkaja sangat menaruh perhatian
pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang luas termasak
Gianjar, Buleleng. Tampaksiring dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakn
pembangunan candi di Gunung Kawi.
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia
mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu
adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak
mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi
(Tampak Siring).
Setelah anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini digantikan Sri
Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka. Raja Suradhipa kemudian
digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang memerintah adalah Ragajaya selitar tahun
1155. Ia digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali adalah Paduka Batara
Sri Artasura yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan Pulau Bali). Raja ini berusaha
mempertahahankan kemerdekaan Bali dari seranggan Majapahit yang di pimpin oleh Gajah
Mada. Sayangnya upaya ini mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau 1343, Bali dikuasai
Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian dipindah ke Gelgel dan
Klungkung.

11) KERAJAAN PAJAJARAN


Pusat Kerajaan Pajajaran awalnya terletak didaerah Galuh, jawa Barat. Raja pertama Kerajaan
Pajajaran bernama Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian direbut oleh saudara Raja
Sena yang bernama Purbasora. Raja Sena dan keluarganya terpaksa meninggalkan keratin. Tidak
lama kemudian, Raja Sena berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajajaran.
Raja Pajajaran selanjutnya adalah Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajajaran
mengembangkan ajaran Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan diperintah oleh
Rahyang Niskala Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan dipindahkan ke
Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam Wuruk. Peristiwa ini terjadi pada tahun
1357 dan disebut dalam kitab Pararaton sebagai Perang Bubat.
Ketika perang Bubat terjadi, Sri Baduga Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas.
Kerajaan Pajajaran diambil alih oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra mahkota
Wastu Kencana yang masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun. Pada Prasasti Batu
Tulis, raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana. Tohaan, lalu
Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, diperkirakan bahwa di
Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama islam. Hal ini tergambar dari tulisan
seorang ahli sejarah Portugis yang bernama Tome Pires (1513) yang mengatakan bahwa di
wilayah timur kerajaan ini terdapat banyak penganut Islam. Tampaknya pengaruh Islam belum
masuk ke pusat kerajaan. Namun, pengaruh Islam dari Kerajaan Demak di Jawa Tegah mulai
mengancam Kerajaan Pajajaran.
Oleh karena itu Jayadewata bermaksud meminta bantuan Portugis di Malaka untuk menghadapi
kerajaan Demak. Usaha itu terlambat karena pada tahun1527, pasukan yang dipimpin oleh
Falatehan dari Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan
Pajajaran. Ketika itu, yang berkuasa di Pajajaran adalah Ratu Samiam, putra Jayadewata.
Setelah pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus
menghadapi serangan Kerajaan Banten dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu Prabu Ratu
Dewata, berusaha mempertahankan ibu kota Pajajaran dari pasukan Maulana Hasanuddin dan
putranya, Maulana Yusuf. Pada tahun1579, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh setelah Kerajaan
Banten yang bercorak Islam berhasil menguasai Ibu kota kerajaan. Orang-orang Hindu Pajajaran
yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam akhirnya melarikan diri kedaerah pedalaman dan
kemudian hidup sebagai suku Badui.

12) KERAJAAN MAJAPAHI


Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Nama
kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama
Raden Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang
berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna
permukiman mereka itu sebagai Majapahit.
Awal Berdirinya Kerajan Majapahit

Kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir dan terbesar di Jawa adalah Majapahit. Kerajaan ini
terletak di sekitar Sungai Brantas, dengan pusat di hutan Tarik di Desa Trowulan, Mojokerto,
Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara, sekitar tahun
1293 M. Setelah berhasil lolos dari maut penyerangan Kediri, ia bersama para bangsawan
Singasari lain yang setia seperti Nambi, Lembu Sora, Ronggo Lawe, dan Kebo Anabrang,
kemudian meminta bantuan kepada Arya Wiraraja, yang sebelumnya adalah pejabat Singasari
yang oleh Kertanegara dijadikan bupati di Sumenep, Madura. Atas anjuran Aria Wiraraja, Bupati
Sumenep, Wijaya disarankan menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Atas jaminan Wiraraja pula
Wijaya diterima di Kediri.
Raden Wijaya oleh Jayakatwang diperbolehkan membuka sebuah hutan untuk dijadikan desa
baru, yakni Tarik. Setelah dibuka, hutan ini disulap menjadi desa tempat membinan kekuatan
militer oleh Wijaya guna membalas dendam terhadap Kediri. Kemudian hutan Tarik ini dinamai
Majapahit. Sejarah Majapahit ini dapat diketahui dari Pararaton dan Sutasoma karangan Mpu
Tantular, Negarakretagama karangan Prapanca, berita Cina Ying-Yai Sheng Lan, serta Prasasti
Kudadu.
Dua tahun setelah pemberian hutan Tarik kepada Wijaya dan kawan-kawan, datanglah tentara
Kubilai Khan dari Mongolia yang mendarat di Tuban dan Surabaya. Kedatangan tentara Kubilai
Khan ke Jawa ini bertujuan untuk menghukum Kertanegara, raja Singasari, yang telah memotong
telinga utusannya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ini memberi kesempatan kepada Raden
Wijaya untuk merebut kekuasaan dari Jayakatwang.
Melalui muslihat yang cerdik, Wijaya lalu mengajak pasukan Mongol yang baru mendarat di
Tuban. Pasukan Mongol yang tak tahu bahwa Kertanegara telah tiada, dengan mudah diliciki
oleh Wijaya bahwa Kediri seolah-olah adalah Singasari dan Jayakatwang adalah Kertanegara.
Pasukan Mongol mempercayai saja ucapan Wijaya. Lalu terjadilah peristiwa yang diharapkan
oleh Wijaya: pasukan Mongol kemudian menyerang Kediri dan merebutnya. Pasukan Wijaya
pun bergabung dengan tentara Kubilai Khan dalam menghancurkan Kediri dan Jayakatwang.
Dalam penyerangan ini Jayakatwang tewas terbunuh. Raden Wijaya kemudian berbalik
menyerang pasukan Kubilai Khan. Ia berhasil mengusir tentara Kubilai Khan ini kembali ke
negerinya. Raden Wijaya kemudian mendirikan kerajaan baru yang diberi nama Majapahit.
Raja-raja yang memerintah Majapahit di antaranya: Raden Wijaya (1293-1309), Sri Jayanegara
(1309-1328), Tribhuwanatunggadewi (1328-1350), Hayam Wuruk (1350-1389), dan
Wikramawardhana (1389-1429). Raden Wijaya naik tahta pada tahun 1293 M. Raden Wijaya
bergelar Kertajasa Jayawardhana. Gelar Kertarajasa dipakai karena Raden Wijaya masih
keturunan Ken Arok. Raden Wijaya mengawini keempat putri Kertanegara yaitu Tribhuwana,
Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri (Rajapatni). Selain keempat putri Kertanegara,
Wijaya juga mengawini Dara Petak, putri boyongan dari Melayu.
Raden Wijaya memerintah dengan bijaksana sehingga keadaan kerajaan menjadi aman dan
tenteram. Raden Wijaya tidak lupa atas jasa para pembantunya yang telah ikut mendirikan
Majapahit. Aria Wiraraja diberi kedudukan sebagai penasihat. Ia berkedudukan di daerah
Lumajang dan Blambangan. Nambi diangkat menjadi Rakyan Mapatih. Lembu Sora diangkat
sebagai patih di Daha. Kebo Anabrang diangkat sebagai panglima perang Kerajaan Majapahit.
Sementara Ranggalawe diangkat sebagai menteri perkembangan Majapahit.
Pada masa Raden Wijaya sempat terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh sahabat-sahabat
dekat raja yang merasa tidak puas dengan jabatannya, di antaranya oleh Lembu Sora, Nambi, dan
Ranggalawe. Namun pemberontakan-pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan. Raden
Wijaya wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Simping di Blitar sebagai Siwa dan
Wisnu serta di Antapura sebagai Buddha.
Sepeninggal Raden Wijaya pemerintahan di pegang oleh puteranya yang bernama Kala Gemet
yang bergelar Sri Jayanegara. Tidak seperti ayahnya, Jayanegara dikenal sebagai raja yang tidak
bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Oleh karena itu, banyak pembantunya merasa tidak
puas dan melakukan pemberontakan, di antaranya pemberontakan yang dilakukan Juru Demung
(1313), Wandana dan Wagal (1314), Nambi (1316), Semi (1318), dan Kuti (1319). Di antara
pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti. Pada saat
itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa
Badander di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada
kemudian menyusun strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya,
Gajah Mada diangkat sebagai patih Kahuriapn (1319-1321) dan patih Kediri (1322-1330).
Pada 1328, Jayanegara meninggal. Abu jenazahnya dimakamkan di Sela Petak dan di Bubat
sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha Amoghsidi. Jayanegara tidak memiliki anak.
Oleh karena itu, kekuasaan Majapahit diberikan kepada Gayatri, putri Kertanegara dan janda
Raden Wijaya yang masih hidup. Namun karena lebih memilih sebagai biksuni, tahta kemudian
diserahkan kepada putri Gayatri, Tribhuwanatunggadewi.
Tribhuwanatunggadewi memerintah Majapahit bersama suaminya yang bernama Kertawardhana.
Menurut Negarakertagama disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
ini sering terjadi pemberontakan. Di antaranya: pemberontakan Sadeng dan Kuti tahun 1331.
Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Berkat jasanya, Gajah Mada kemudian
diangkat menjadi mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam upacara pelantikan
sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya: tidak akan berhenti sebelum berhasil
menyatukan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Sumpah ini dikenal dengan “Sumpah
Amukti Palapa”. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, Gajah Mada membangun armada laut
yang kuat di bawah pimpinan Laksamana Nala.
Pada 1343, dengan bantuan Adityawarman, Gajah Mada berhasil menaklukan Bali.
Adityawarman kemudian diangkat sebagai penguasa Melayu. Selanjutnya, pasukan Gajah Mada
menguasai Sriwijaya, Tumasik, dan semenanjung Melayu di wilayah barat. Seram, Guam, dan
Dompu di wilayah timur juga berhasil dikuasainya.
Pada 1350, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan digantikan oleh putranya yang bernama
Hayam Wuruk. Ketika itu, Hayam Wuruk berusia 16 tahun. Ia didampingi Gajah Mada sebagai
Mahapatih. Hayam Wuruk bergelar Rajasa Negara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk
inilah Majapahit mencapai masa kejayaannya. Dalam Negarakretagama dijelaskan bahwa pada
masa Hayam Wuruk, wilayah Majapahit meliputi seluruh Nusantara bahkan sampai ke Tumasik
(Singapura) dan Semenanjung Malaya. Daerah yang belum dapat dikuasai Majapahit adalah
Pajajaran.
Pada 1364, Gajah Mada wafat setelah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun di Majapahit. Pada
1389, Hayam Wuruk juga wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit
berangsur-angsur mengalami kemunduran. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota dari
permaisuri. Oleh karena itu, putrinya yang bernama Kusumawardhani diangkat sebagai
penguasa Majapahit bersama suaminya yang bernama Wikramawardhana. Sebenarnya Hayam
Wuruk memiliki seorang putra yang bernama Bhre Wirabhumi dari selirnya. Untuk
menghindari pertikaian, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di daerah Blambangan, ujung timur
di Pulau Jawa.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang saudara antara kedua anak Hayam Wuruk ini.
Pengangkatan Kusumawardhani sebagai penguasa Majapahit tidak disenangi Bhre Wirabhumi.
Rasa tidak senang ini kemudian berkembang menjadi perang saudara yang dikenal dengan
Perang Paregreg (1401-1406). Dalam Perang Paregreg ini Bhre Wirabhumi terbunuh. Perang
berkepanjangan ini membuat Majapahit menjadi semakin lemah. Biaya perang serta jumlah
korban yang demikian besar membuat Majapahit tidak bisa mempertahankan keutuhan wilayah.
Akhirnya, setelah Wikramawardhana meninggal, Kerajaan Majapahit pecah menjadi beberapa
kerajaan kecil. Raja-rajanya antara lain: Suhita (1429-1447), Kertawijaya (1447-1451),
Rajasawardhana (1451-1453), Purwa Wisesa (1451-1466), Sunghawikrama Wardhana (1466-
1447). Keruntuhan Majapahit diketahui dari Candrasengkala yang berbunyi Sirno Ilang
Kertaning Bumi I yang berarti tahun 1400 Saka atau 1478 M.
Di samping perang saudara yang berkepanjangan, penyebab lain keruntuhan Majapahit adalah
semakin berkembangnya pengaruh Islam di Nusantara, terutama di daerah-daerah pantai Jawa,
seperti Gresik, Giri, dan Demak. Daerah-daerah ini kemudian melepaskan diri dari Majapahit.
Keadaan ekonomi Majapahit yang buruk pun turut menyebabkan keruntuhan Majapahit.
Pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk mengurus wilayah kekuasaannya yang demikian
luas. Oleh karena itu, banyak daerah yang kemudian tidak terurus dan menyatakan melepaskan
diri dari Majapahit.
Akan tetapi, adapula pendapat bahwa Majapahit (yang kekuasaannya tinggal seluas ibukotanya
sendiri) benar-benar runtuh setelah ibukota kerajaan tersebut diserang oleh sejumlah santri-santri
muslim dari Kudus yang dibantu oleh Raden Patah dari Demak. Mereka ingin menghancurkan
kerajaan non-Islam pada 1527 M. Ibukota Majapahit tersebut oleh Tome Pires ditulis Dayo.
Patah merupakan anak Raja Majapahit terakhir Brawijaya V dari selir yang berasal dari Campa,
Cina bagian selatan (Vietnam).
Pada masa Majapahit, sistem ketatanegaraan telah terstruktur dengan baik. Raja dianggap
sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan
pemerintahan raja dibantu oleh Dewa Sapta Prabu yang bertugas memberikan pertimbangan-
pertimbangan kepada raja. Anggota dewa sapta prabu adalah para sanak saudara raja. Urusan
keagamaan diurus oleh dharma dyaksa, yaitu dharmadyaksa ring kasiwan untuk urusan agama
Hindu dan dharmadhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Majapahit
Dari peninggalan sejarah diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif hidup rukun, aman, dan
tenteram. Majapahit menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan negara tetangga, di
antaranya dengan Syangka (Muangthai), Dharma Negara, Kalingga (Raja Putera), Singhanagari
(Singapura), Campa dan Annam (Vietnam), serta Kamboja. Negara-negara sahabat ini disebut
dengan Mitreka Satata.
Disebutkan bahwa pada masa Hayam Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha dapat
bekerjasama. Hal ini diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma atau Purusadashanta
yang berbunyi “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa” yang artinya: “di antara
pusparagam agama adalah kesatuan pada agama yang mendua.”
Rakyat Majapahit terbagi dalam kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan. Pada umumnya,
rakyat Majapahit adalah petani, sisanya pedagang dan pengrajin. Selain pertanian, Majapahit
juga mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Ini bisa kita simpulkan dari wilayah
kekuasaan Majapahit yang meliputi Nusantara bahkan Asia Tenggara. Barang utama yang
diperdagangkan antara lain rempah-rempah, beras, gading, timah, besi, intan, dan kayu cendana.
Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah HujungGaluh, Tuban, dan Gresik.
Majapahit memegang dua peranan penting dalam dunia perdagangan. Pertama, Majapahit adalah
sebagai kerajaan produsen yang menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran. hal ini bisa
dilihat dari wilayah Majapahit yang demikian luas dan meliputi daerah-daerah yang subur.
Kedua, peranan Majapahit adalah sebagai perantara dalam membawa hasil bumi dari daerah satu
ke daerah yang lain.
Perkembangan perdagangan Majapahit didukung pula oleh hubungan baik yang dibangun
penguasa Majapahit dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Barang-barang dari luar negeri dapat
dipasarkan di pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Dan sebaliknya, barang-barang Majapahit dapat
diperdagangkan di negara-negara tetangga. Hubungan sedemikian tentu sangat menguntungkan
perekonomian Majapahit.
Dalam hal kepemilikan tanah, di Majapahit sama saja dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan
sebelumnya. Begitu pula mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para petani selalu bergotong
royong dalam hal bercocok tanam dan mengairi sawah.

Diposkan 28th April 2012 oleh Lexandri Sibuea


1

Você também pode gostar