Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih.(2) Kavitas ini berisi material purulen sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter
kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan
(3)
necrotizing pneumonia.
3.2. Epidemiologi
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses
paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait, diantaranya :
(4)
Tabel 3.1. Faktor Predisposisi Abses Paru
No Faktor Predisposisi
1 Alkoholik (50%)
2 Ca Bronkogenik (25%)
3 Karies gigi (20%)
4 Miscellaneous (tidak teridentifikasi) 23,3%
5 Penyalahgunaan obat (cth : steroid) 3,3%
6 Epilepsi (6,6%)
Penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi pada pasien abses paru. Dari
hasil kultur sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46,%), klebsiella
(26,6%), D. pneumonia (16,6%) dan E.coli (10%).(4)
Penelitian lain melaporkan beberapa faktor predisposisi abses paru yang
(5)
terjadi pada anak-anak, diantaranya :
10
Tabel 3.2. Faktor Predisposisi Abses Paru pada Anak-Anak.
Kondisi Contoh
Infeksi berat Bronkopneumonia
Meningitis
Osteomyelitis
Septicemia
Abses dinding perut
Abses peritonsilar
Endocarditis
Measles
Burns
Gangguan sistem imun Prematur
Leukimia
Hepatitis
Disgammaglobulinemia
Sindroma nefrotik
Penyakit granulomatosa kronik
Terapi steroid
Malnutrisi
11
Tabel 3.3. Predisposisi Aspirasi Orofaring
(2),(5)
Predisposisi Aspirasi Orofaring
Ganguan kesadaran - Alkoholisme
- penyalahgunaan obat intravena
- epilepsi
- anastesi umum
- gangguan serebrovaskular
- trauma
ganguan inervasi otot - faring
- laring
- esofagus
Infeksi nasal - penyakit sinus
Infeksi oral - caries gigi
- penyakit gingival
Infeksi farigeal - pouch
Infeksi - striktur
trakeoesofageal - fistula trakeoesofageal
3.3. Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses
paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri
anaerob dan aerob. Disebut abses primer apabila infeksi diakibatkan aspirasi atau
pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder apabila
infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti
Secondary Aerobes
All those listed for primary abscess
Haemophilus aphropilus, parainfluenzae
Streptococcus group B, intermedius
12
Klebsiella penumoniae
Escherichia coli, freundii
Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa, denitrificsns
Aerobacter aeruginosa
Candida
Rhizopus sp.
Aspergillus fumigatus
Nocardia sp
Eikenella corrodens
Serratia marcescens
Anaerobes
Peptostreptococcus constellatus, intermedius,
saccharolyticus
Veillonella sp., alkalenscenens
Bacteroides melaninogenicus, oralis, fragilis,
corrodens, distasonis, vulgatus, ruminicola,
asaccharolyticus
Fusobacterium necrophorum, nucleatum
Bifidobacterium sp.
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan
hematogen.(2) Yang paling sering ditemukan adalah abses paru bronkogenik akibat
aspirasi. Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, sumbatan bronkus
maupun tumor. Sedangkan abses paru melalui hematogen biasanya berhubungan
dengan infeksi.
13
Histoplasma capsulatum, Carcinoma
Pneumocystis carinii, Coccidioides
immitis, Blastocystis hominis
Parasites
Entamoeba histolytical, Paragonimus
westermani, Stronglyoides
stercoralis (post-obstructive)
3.4 Patogenesis
1. Patologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang
pertama dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang
menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi
terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan
fibrotik.(1),(7),(8)
2. Patofisiologi
(10)
Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita
dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan
merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan
14
15
dengan bronkus, maka terbentuklah air-fluid level bakteria masuk
kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran
hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses
abses ditempat lain (nesisitatum) misalnya abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkulosis
dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan
supurasi. Pada penderita empisema paru atau polikistik paru yang
mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai
proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker
bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing
yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi
karena pembesaran kelenjar limfe peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru.
Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi
peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi
nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.
(1)
Proses patogenesis abses paru secara ringkas digambarkan dalam bagan berikut :
Faktor
Predispos
isi
3.8 Penatalaksanaan
a. Terapi Medis
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya dalam penatalaksanaannya. Antibiotik tunggal tidak adakan
menghasilkan keluaran yang memuaskan kecuali pus bisa didrainase dari kavitas
abses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus,
dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase
(16)
postural.
Antibiotik
Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi
perkiraan yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang
mendasarinya dan pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram. Pada
kebanyakan abses paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan anaerob,
antubiotik atau kombinasinya yang melawan organisme ini harus dipilih. Terdapat
banyak regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin termasuk sefalosporin,
makrolide, kloramfenikol dan klindamisin semuanya telah digunakan.
Penggunaan ampisilin atau amoksisilin tunggal harus dihindari karena beberapa
anaerob resisten terhadapnya. Kombinasi amoksisilin dan metronidazol
merupakan pilihan baik dengan efek samping yang kecil dibandingkan beberapa
obat lainnya. Dapat diberikan secara oral, kecuali pasien sangat sakit atau sulit
menelan, sementara menunggu hasil kultur definitifnya. Makrolide seperti
eritromisin, klaritromisin atau azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin
(2)
pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas ampisilin.
Keputusan penggantian antibiotik awal dapat diterapkan ketika hasil
kultur telah diperoleh. Walaupun abses paru sering diobati dengan antibiotik
selama 6 minggu, tidak terdapat percobaan klinis yang membuktikan hal itu.
Periode pengobatan yang lebih singkat mungkin cukup pada pasien dimana pus
telah kering melalui cabang bronkus, dengan berhentikan produksi sputum dan
hilangnya gambaran air-fluid level pada radiologi toraks. Antibiotik tidak perlu
dilanjutkan hingga gambaran radiologis menjelaskan bayangan parenkim. Hal ini
mungkin terjadi dalam beberapa minggu.
b. Drainase
Pemeriksaan tambahan harus dilakukan pada pasien yang tidak respon
terhadap antibiotik dan fisioterapi. Waktu intervensi tersebut bergantung pada
pasien. Pada pasien dengan kondisi kritis dimana tidak terdapat drainase spontan
melalui cabang bronkus, perlu dilakukan drainase. Pada sebagian pasien, demam
berlanjut lebih dari 2 minggu walaupun pemberian antibiotik sudah sesuai dan
fisioterapi menunjukkan bahwa drainase tidak adekuat sehingga perlu
dipertimbangkan peningkatan intensitas pengobatan.
Drainase pada pasien abses paru mungkin bisa dilakukan pendekatan
melalui cabang bronkus atau secara perkutaneus. Dalam teknik sebelumnya,
akvitas abses paru dimasukkan langsung dengan fibreoptic bronchoschopy atau
(17)
melalui kateter yang melewatinya.
Pendekatan perkutaneus mungkin lebih baik. Kecuali abses paru
berhubungan dengan keganasan ketika terdapat peningkatan resiko fistula
permanen. Pada beberapa kasus drainase endobronkial harus dipertimbangkan.
Drainase perkutaneus biasanya tidak membantu pada abses kecil multipel dan
pada mereka yang mempunyai komplikasi yang tinggi seperti pneumotoraks dan
fistula bronkopleura.
Pada masa lalu, skrening fluoroskopi merupakan teknik konvensional
untuk penempatan kateter tetapi USG mengizinkan lebih banyak lokalisasi
spasial. CT scan telah digunakan secara luas dan memiliki keuntungan visualisasi
yang lebih baik dalam melihat struktur intratorakal lainnya, dan banyak operator
yang mengembangkan kemampuannya dalam bidang ini, yang mungkin
bermanfaat ketika abses paru ditemukan.
c. Reseksi pembedahan
Dengan membandingkan dengan era sebelum antibiotik, era pembedahan
abses paru jarang diperlukan, tetapi masih dilakukan jika terdapat hemoptisis berat
atau abses paru berhubungan dengan keganasan. Pada kasus belakangan, reseksi
hanya dicoba jika tumor operable melalui kriteria yang biasa, dengan tanpa bukti
adanya metastasis, keterlibatan mediastinum, fungsi pare yang tidak adekuat atau
keadaan serius kesehatan yang menyertainya. Untuk dua indikasi utama ini
mungkin perlu ditambahkan abses kronik dengan gejala menetap, khususnya
ketika mencoba untuk mendrain gagal dilakukan. Kronisitas mungkin bersifat
sementara atau patologis, abses kronik berhubungan dengan granulasi jaringan
dan diikuti dengan jaringan ikat. Definisi sementara adalah bahan perdebatan,
tetapi abses yang masih menghasilkan gejala sistemik (selain produksi sputum) 6
minggu setelah munculnya gejala walaupun percobaan endobronkial atau
(18)
percutaneus drainage, harus dipertimbangkan untuk reseksi pembedahan.
3.9 Komplikasi
Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama melalui
resolusi demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui bersihnya
gambaran radiologis infiltrat parenkim paru.
Demam biasanya hilang dalam beberapa hari, menetap dalam 2 minggu
jarang terjadi dan membuktikan tidak adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas
akan menutup dalam sebulan dan meninggalkan gejala selama 4 – 8 minggu.
Turunnya nilai PCR, dan pasien yang merasa lebih baik dan berat badan yang
bertambah merupakan tanda pembaikan semua stage penanganan abses paru.
Infiltrasi radiologis mungkin menetap selama 3 bulan atau lebih dan tidak
memberikan peningkatan untuk memperhatian perkembangan pasien.
Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak kurang sering
terjadi dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih berhubungan
dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Komplikasi yang paling
sering terjadi adalah empiema.(9) Pasien mungkin tidak akan datang pada dokter
hingga hal ini terjadi. Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan merapuhkan
(19)
pembuluh darah dan memunculkan hemoptisis. Jarangnya, tetapi khusus pada
pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, nekrosis mungkin menyebar sangat
cepat melalui paru.
Abses yang telah didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan
antibiotik mungkin membentuk kavitas yang persisten. Lini awal melalui
granulasi jaringan, hal ini digantikan oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitel
skuamos atau siliata. Beberapa kavitas bisa direinfeksi kembali atau dikolonisasi
ketika abses asli yang dibentuk berhubungan dengan bronkus, lebih sering
daripada saluran napas kecil, destruksi dinding bronkus diikuti epitelialisasi
memunculkan bronkiektasis sakuler lokal. Penyebaran infeksi ke dalam vena paru
bisa menyebabkan abses serembral emboli, tetapi komplikasi ini sangat jarang
terjadi.
3.10 Prognosis
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 30-
40%.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
(20)
Sekitar 80-90% penderita sembuh dengan pengobatan anti biotik. Beberapa
faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut(21):
a. Anemia dan Hipo Albuminemia
b. Abses yang besar (φ > 5-6 cm) (hisberg juga)
c. Lesi obstruksi
d. Bakteri aerob, seperti : S.aureus, K.Pneumoniae and P.aeruginosa.(21)
e. Immune Compromised
f. Usia tua
g. Gangguan intelegensia
h. Perawatan yang terlambat
BAB IV
MODALITAS RADIOLOGI
4.1 Foto polos
Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan
bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya
menggambarkan gambaran opak dari satu ataupun lebih segmen paru, atau hanya
berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan
(10)
ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat.
Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi
drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan tampak kavitas
irregular dengan batas cairan dan permukaan udara (air-fluid level) di dalamnya.
(11)
Kavitas ini berukuran φ 2 – 20 cm. Gambaran spesifik ini tampak dengan
mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru
anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru
primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen)
Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan
didalamnya (panah putih).
(13)
Kasus pada abses paru
(1),(11)
2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur.
Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru.
Pada tuberculosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan
jamur. Pada penyakit aktif, dapat dijumpai gambaran bercak-bercak
berawan dan kavitas, sedangkan pada keadaan tidak aktif dapat dijumpai
kalsifikasi yang berbentuk garis.
Terjadi pada segmen apical atau posterior pada lobus atas atau segmen
superior dari lobus bawah, biasanya pada lobus atas bilateral. Kavitas
berdinding tipis, halus pada batas dalam tanpa air-fluid level
3. Empiema
Pada gambaran TK empiema tampak pemisahan pleura parietal dan
(15)
visceral (pleura split) dan kompresi paru.
6. Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart burn
bertambah berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan
pemeriksaan barium foto.