Você está na página 1de 8

93 Juta Lebih Penduduk Indonesia Menderita Karies Aktif

12 September 2014 23:57 Diperbarui: 18 Juni 2015

Bulan Kesehatan Gigi Nasional 12 September – 19 N0vember 2014:

93 JUTA LEBIH PENDUDUK INDONESIA MENDERITA KARIES AKTIF

Hari ini, dimulai kembali Bulan Kesehatan Gigi Nasional (BKGN) ke V, yang difokuskan di
Indonesia Timur. Kegiatan yang tahun ini digelar melibatkan 18 Fakultas Kedokteran Gigi di
seluruh Indonesia mulai 12 September hingga 19 November 2014. BKGN tahun ini
ditargetkan dapat menjangkau 20.000 masyarakat Indonesia dengan melibatkan lebih dari
4000 tenaga kesehatan gigi. Apa yang melatarbelakangi BKGN ini ??
Tentunya masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia yang sudah masuk 10 besar
penyakit masyarakat. Wow...!!

“ Masalah terbesar yang dihadapi saat ini di bidang kesehatan gigi dan mulut adalah penyakit
jaringan keras gigi (caries dentis) di samping penyakit gusi. Karies gigi adalah penyakit
infeksi dan merupakan suatu proses demineralisasi yang progresif pada jaringan keras
permukaan gigi oleh asam organis yang berasal dari makanan yang mengandung gula. Karies
gigi merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga mulut bersama-sama dengan
penyakit periodontal, sehingga merupakan masalah utama kesehatan gigi dan mulut. Banyak
faktor yang dapat menimbulkan karies gigi misalnya pada anak, diantaranya adalah faktor di
dalam mulut yang berhubungan langsung dengan proses terjadinya karies gigi. Faktor utama
yang menyebabkan terjadinya karies gigi adalah host (gigi dan saliva), substrat (makanan),
mikroorganisme penyebab karies dan waktu. Karies gigi hanya akan terbentuk apabila terjadi
interaksi antara keempat faktor berikut.
Faktor predisposisi yang juga cukup berpengaruh terhadap terjadinya Karies Gigi adalah:
Jenis Kelamin, usia, perilaku makan, perilaku membersihkan mulut (gosok gigi dll). Karies
ditandai dengan adanya lubang pada jaringan keras gigi, dapat berwarna coklat atau hitam.
Gigi berlubang biasanya tidak terasa sakit sampai lubang tersebut bertambah besar dan
mengenai persyarafan dari gigi tersebut. Pada karies yang cukup dalam, biasanya keluhan
yang sering dirasakan pasien adalah rasa ngilu bila gigi terkena rangsang panas, dingin, atau
manis. Bila dibiarkan, karies akan bertambah besar dan dapat mencapai kamar pulpa, yaitu
rongga dalam gigi yang berisi jaringan syaraf dan pembuluh darah. Bila sudah mencapai
kamar pulpa, akan terjadi proses peradangan yang menyebabkan rasa sakit yang berdenyut.
Lama kelamaan, infeksi bakteri dapat menyebabkan kematian jaringan dalam kamar pulpa
dan infeksi dapat menjalar ke jaringan tulang penyangga gigi, sehingga dapat terjadi abses.

BAGAIMANA KONDISI KARIES GIGI DI INDONESIA??

Hasil analisis sederhana deskriptif penderita karies gigi dan faktor-faktornya di Indonesia
diambil dari sumber Riskesdas tahun 2007-2013 dan Pusdatin serta Badan PPSDM. Update
data terakhir tahun 2013. Menurut Riskesdas 2013 terjadi peningkatan prevalensi terjadinya
karies aktif pada penduduk Indonesia dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu dari 43,4 % (2007)
menjadi 53,2 % (2013). Suatu peningkatan yang cukup tinggi jika dilihat dari kacamata
besaran kesehatan masyarakat. Terlebih jika kita konversikan ke dalam jumlah absolut
penduduk Indonesia. Data estimasi olahan Pusdatin tentang penduduk usia 15 tahun ke atas
sebesar 176.689.336 jiwa. Dari sejumlah itu jika hasil Riskesdas 2013 menunjukkan
prevalensi 53,2 % mengalami karies aktif karies yg belum ditangani atau belum dilakukan
penambalan / Decay (D) > 0 tertangani), maka di Indonesia terdapat 93.998.727 jiwa yang
menderita karies aktif.

WOW.... 93 Juta Jiwa lebih menderita Karies Aktif ......!!

Sebuah jumlah yang fantastis dalam status kesehatan masyarakat di


Indonesia, karena hampir separuh penduduk di Indonesia. Bersaing dengan masalah Gizi
Kurang/Buruk pada Balita dalam konteks ‘Problem Magnitute’nya. Secara diagram
perbandingan prevalensi karies aktif th 2007 – 2013 berdasarkan provinsi terlihat pada
gambar NO.1.

Dari gambaran NO.1 terlihat bahwa hampir semua provinsi mengalami kenaikan prevalensi
karies aktif dari tahun 2007 ke tahun 2013, hanya 4 provinsi yang mengalami penurunan,
yaitu: Maluku Utara, Papua Barat, Jogjakarta dan Riau. Peningkatan tertinggi terdapat pada
provinsi Sulawesi Selatan (29,1 %) dan Lampung (23,6 %), yaitu 2 kali lebih peningkatan
Nasional (9,8%). Lihat gambar NO.2.
Selanjutnya bila ditinjau dari kelompok umur (menurut WHO) penderita karies aktif terjadi
peningkatan pula prevalensinya dari tahun 2007 ke tahun 2013, dengan peningkatan terbesar
pada usia 12 tahun (13,7%) dan 65 tahun lebih (14,3%). Sedangkan pola tren kenaikannya
mempunyai kecenderungan yang mirip sama, yaitu terjadi penurunan prevalensi pada titik
kulminasi 44 tahun. Lebih jelas bisa dilihat pada gambar NO.3
14105155241037311393

Apabila disandingkan dengan perilaku menggosok gigi pada masyarakat Indonesia, terlihat
bahwa terjadi peningkatan proporsi penduduk yang menggosok giginya SETIAP HARI dari
tahun 2007 sebesar 91,1 % menjadi 93,8 % tahun 2013. Akan tetapi jika dilihat ‘CARA
GOSOK GIGI DG BENAR’ ternyata selain proporsinya kecil, juga terjadi penurunan, yaitu
dari tahun 2007 sebesar 7,3 % menjadi 2,3 % di tahun 2013.
14105155831453007751

WOW.... Berarti 91,5 % (161 juta lebih) asal gosok gigi meski tiap hari..... !!
oooo.....Makanya!!!

Dari gambaran tsb terlihat bahwa penurunan proporsi “cara sikat gigi yang benar” dari tahun
2007 ke tahun 2013 terjadi di semua provinsi. Penurunan yang sangat drastis terjadi di
Provinsi Kepri (15,4 %) dan Provinsi Papua barat (14,7%) yang besarnya 3-4 kali lipat dari
proporsi Nasional (5 %). Keadaan yang demikian ini merupakan tantangan berat buat sejawat
Promkes atau dokter gigi, mengapa bisa terjadi demikian.

BAGAIMANA KONDISI DOKTER GIGI DI PUSKESMAS ?

Berdasarkan data update terakhir 2013 dari Olahan Pusdatin dan PPSDM, dilakukan analisis
sederhana untuk melihat tingkat persebaran tenaga kesehatan Dokter Gigi di Puskesmas.
Kriteria yang dilakukan adalah Kurang, jika tidak ada Dokter Gigi di Puskesmas ; Cukup ,
jika ada 1 orang Dokter Gigi di Puskesmas dan Lebih, jika terdapat > 1 orang tenaga Dokter
Gigi di Puskesmas. Hasil analisis sederhana menunjukkan bahwa sebagian besar Puskesmas
di 33 Provinsi masih ada yang “Kurang” tenaga Dokter Gigi. 3 Provinsi yang mempunyai
kondisi “Kurang” tertinggi adalah Papua Barat, Papua dan Sulawesi Utara. Ke 3 Provinsi
tersebut > 80 % Puskesmas kekurangan (Tidak ada) Dokter Gigi. Sebaliknya 3 Provinsi yang
mempunyai Puskesmas “berlebih” cukup tinggi tenaga dokter giginya adalah: Bali,
Jogjakarta dan Kepulauan Riau. Ke 3 Provinsi tersebut > 40 % Puskesmasnya kelebihan
Dokter Gigi. Gambar NO.4

14105156821954028610
Selanjutnya bila peran Dokter Gigi dilakukan oleh Perawat Gigi, maka dapat dikatakan
bahwa jika salah satu dari tenaga tersebut ada bisa disebut puskesmas itu mempunyai tenaga
kesehatan gigi. Gambaran di bawah menunjukkan kecukupan tenaga kesehatan gigi
(drg/Perawat gigi) di puskesmas berdasarkan Provinsi. Gambar NO.5.

14105157611034413256

Dari gambaran tsb terlihat bahwa Puskesmas yang benar-benar tidak mempunyai tenaga
kesehatan gigi (drg/perawat gigi), 3 (tiga) tertinggi di Provinsi Papua, Papua Barat dan
Sulawesi Tenggara, yaitu: 88,8 % ; 78,7 % dan 61 %. Sedangkan sebaliknya puskesmas yang
mempunyai tenaga kesehatan gigi (drg/perawat gigi) berlebih, 3 tertinggi di Provinsi DI
Jogjakarta, Kepulauan Riau dan Bali, yaitu: 98,3 %; 91,3 % dan 87,3 %. Sedangkan provinsi
lain sebagian besar terjadi kelebihan tenaga kesehatan gigi di Puskesmas.

BAGAIMANA JIKA DISANDINGKAN...??

Jika beberapa kondisi di atas kita sandingkan yaitu antara prevalensi karies Aktif (sebagai
outcome), perilaku gosok gigi dg benar (faktor penghambat), kecukupan tenaga kesehatan
gigi (faktor resiko), maka bisa diambil beberapa provinsi sebagai contoh. Misalnya Provinsi
Papua Barat, Kepulauan Riau, DI Jogjakarta.

PROVINSI JOGJAKARTA:

Terlihat tenaga kesehatan gigi (drg/perawat gigi) 98,3 % puskesmas berkelebihan dan tidak
ada yang kekurangan, namun perilaku cara menggosok gigi dengan benar cukup kecil dan
terjadi penurunan dari tahun 2007 ke tahun 2013 (7,7% ke 3,4%). Kondisi ini tentu saja
menjadi fenomena yang cukup kontradiktif. Kendati terjadi penurunan yang cukup kecil dari
prevalensi Karies Aktif.
Pertanyaan yang berkembang adalah:
(1) Mengapa Provinsi dengan jumlah tenaga kesehatan gigi yang berlebih di Puskesmas,
namun masyarakatnya hanya 7,7 % saja yang bisa secara benar menggosok gigi ? dan
selanjutnya terjadi Penurunan lagi ??
(2) Memang terjadi penurunan prevalensi karies gigi aktif dari 52,3 % (th 2007) ke 50,5% (th
2013), namun penurunan ini terasa kurang signifikan jika dibanding sumberdaya manusianya
yang ada di Puskesmas. Terlebih kalau penduduk yang menderita Karies Gigi Aktif
dikonversikan secara absolut, yaitu terdapat 1.402.492 jiwa yg Karies Aktif.

PROVINSI KEPULAUAN RIAU:

Terlihat tenaga kesehatan gigi (drg/perawat gigi) 91,3 % puskesmas berkelebihan dan hanya
sedikit puskesmas yang kekurangan, namun proporsi perilaku menggosok gigi dengan benar
seperti “Terjun Bebas” dari 17,3 % (tahun 2007) menjadi 1,9% (tahun 2013), apalagi
proporsinya cukup kecil. Kondisi inipun tentu menjadi fenomena yang sangat kontradiktif.
Akan tetapi kondisi tersebut memberikan dampak yang cukup mencengangkan dengan
peningkatan prevalensi Karies Aktif dari 39,6 % jadi 58,2 %.
Pertanyaan yang berkembang:
(1) Mengapa Provinsi dengan sumber daya kesehatan gigi yang berkelebihan di Puskesmas,
malah menjadikan penurunan perilaku cara menggosok gigi dengan benar dan meningkatkan
kasus Karies Aktif sebesar 18,6 % ?
(2) Semestinya dengan tenaga dokter gigi / tenaga kesehatan gigi yang berlebih di puskesmas,
tidaklah perlu ada 796.711 jiwa penduduk yang diperkirakan menderita karies aktif . Apa
Pasalnya ?? Kesadaran Masyarakat?? Perlu solusi Cerdas Pastinya...!!!

PROVINSI PAPUA BARAT

Terlihat tenaga kesehatan gigi (drg/perawat gigi) 88,8 % puskesmas memang Kekurangan
atau tidak ada tenaga kesehatan gigi di Papua Barat, sehingga proporsi perilaku menggosok
gigi dengan benar menjadi “Terjun Bebas” dari 17,4 % (tahun 2007) menjadi 2,7 % (tahun
2013),dan proporsinya cukup kecil. Kondisi inipun tentu menjadi fenomena yang sangat
menarik meski tak kontradiktif. Akan tetapi kondisi tersebut justru memberikan dampak yang
cukup mencengangkan dengan penurunan prevalensi Karies Aktif dari 40,8 % menjadi 37,4
%. Terlebih jika dibandingkan dengan 2 provinsi yang sebagai contoh di atas.
Pertanyaan yang berkembang:
Mengapa dengan kondisi yang kekurangan tenaga kesehatan gigi di puskesmas, namun justru
terjadi penurunan prevalensi Karies Aktif sebesar 3,4 % ?? adakah faktor lain yang terlibat di
dalamnya?? Dan hanya sebesar 208.500 jiwa yang diperkirakan menderita Karies Aktif.

RENUNGAN:

Dari gambaran contoh ke 3 provinsi di atas (provinsi lain monggo silakan disandingkan
sendiri), rasanya bukan soal KURANG ATAU BERLEBIHnya tenaga kesehatan gigi
(Material Aspect), namun menurut hemat saya KEPEDULIAN terhadap masalah kesehatan
gigi dari para sejawat tenaga kesehatan gigi sendiri atau BAHKAN tenaga kesehatan lainnya
(Non Material Aspect). Bukankah demikiankah ???
Semoga bermanfaat dalam BKGN tahun ini dan mohon maaf jika kurang berkenan.

Salam,
Debe-Evida
“Belajar tanpa batas”

Você também pode gostar