Você está na página 1de 5

A.

Pengertian Analisis Kebutuhan Kurikulum


Analisis kebutuhan merupakan aktivitas ilmiah untuk mengidentifikasi faktor-faktor
pendukung dan penghambat (kesenjangan) proses pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran
(goals and objectives) yang mengarah pada peningkatan mutu pendidikan.[2]Roger Kaufman dan
Fenwick W. English berpendapat bahwa analisis kebutuhan tidak dapat melepaskan diri dari
pembicaraan sistem pendidikan secara keseluruhan. Dalam sistem pendidikan terdapat dua tema
pokok yaitu manajemen dan kurikulum.[3]
Kata kurikulum berasal dari bahasa Latin, yakni curriculae yang berarti jarak yang harus
ditempuh oleh seorang pelari. Adapun definisi kurikulum versi Indonesia dalam UUSPN No. 20 tahun
2003 BAB I Pasal I, pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[4] Definisi kurikulum ada dua
pengertian:
1. Mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa baik di sekolah atau perguruan tinggi untuk
memperoleh ijasah tertentu.
2. Mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau suatu departemen.[5]
Adapun kurikulum bahasa Arab dikeluarkan oleh Departemen Agama sebagai kurikulum formal yang
terkandung berbagai materi yang harus disampaikan kepada murid. Kurikulum formal meliputi:
1. Tujuan pengajaran baik tujuan umum maupun khusus.
2. Bahan pelajaran yang tersusun secara sistematis, yang akan disampaikan kepada siswa yang harus
terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan sesuai dengan alokasi waktu dalam kurikulum
bahasa Arab.
3. Strategi belajar mengajar dengan berbagai macam kegiatannya yang dalam kurikulum bahasa Arab
telah ditentukan berbagai metode, sumber atau sarana maupun waktu sebagai petunjuk kepada guru
dalam mengajar.
4. Sistem evaluasi untuk mengetahui sampai mana tujuan pengajaran telah tercapai.[6]
Dengan adanya kurikulum maka kegiatan pembelajaran menjadi terencana dan berjalan
sesuai dengan tujuan dan harapan. Dan perlu diadakan evaluasi agar dapat diketahui sejauh mana
kurikulum yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita bangsa.

B. Tujuan Analisis Kebutuhan Kurikulum


Salah satu pembagian kebutuhan manusia yang terkenal dikemukakan oleh Abraham
Maslow, yang melihat adanya hierarkhi dalam kebutuhan, yaitu kebutuhan akan:
1. Survival (fisiologis).
2. Security (emosional).
3. Love and belonging (sosial).
4. Self esteem (personal).
5. Self actualization (personality).
Menurut Maslow suatu kebutuhan hanya dapat dipuaskan bila kebutuhan pada tingkat yang lebih
rendah telah terpenuhi.[7]
Definisi analisis kebutuhan menurut Roger Kaufman dan Fenwick W. English yang
menyatakan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu proses formal untuk menentukan jarak atau
kesenjangan antara keluaran dan dampak yang nyata dengan keluaran dan dampak yang diinginkan,
kemudian menempatkan deretan kesenjangan ini dalam skala prioritas, lalu memilih hal yang paling
penting untuk diselesaikan masalahnya. Dalam hal ini kebutuhan yang diinginkan adalah untuk
memperoleh keluaran dan dampak yang ditentukan. Pada suatu sistem pendidikan, prestasi belajar
siswa merupakan tujuan, sedangkan pendidikan merupakan sebuah alat, seperangkat proses dan
cara-cara bagaimana membantu siswa untuk memiliki kemampuan agar dapat mempertahankan
kehidupan sendiri serta mempunyai peran terhadap masyarakat sekitar bahkan jika mungkin umat
sedunia, setelah mereka menyelesaikan sekolahnya.[8]
Sebelum membahas tentang jarak dan kesenjangan antara keluaran dan dampak yang nyata
dengan keluaran dan dampak yang diinginkan, maka perlu diketahui mengenai tujuan kurikulum
terlebih dahulu. Tujuan-tujuan kurikulum sebagai berikut:
1. Sebagai bahan pengajaran (pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai) untuk diajarkan kepada
dan dipelajari, dikuasai oleh peserta didik untuk kenaikan tingkat atau mendapatkan ijazah.
2. Untuk mendapatkan pengalaman pendidikan.
3. Untuk mempengaruhi peserta didik dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
4. Agar peserta didik memperoleh hasil belajar yang dikehendaki.
5. Untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan kurikulum di atas dapat diartikan juga untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena kurikulum adalah bagian dari
pendidikan, maka tujuan kurikulum hanya untuk kepentingan tujuan pendidikan. [9]

C. Kesenjangan Kurikulum Antara Fakta Dan Idealnya


Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian sebanyak 7 kali. Jika diamati, perubahan
kurikulum dari tahun 1947 hingga 2006 yang menjadi faktor atas perubahan itu diantaranya:
1. Menyesuaikan dengan perkembangan jaman, hal ini dapat dilihat pada awal perubahan kurikulum
dari Rentjana Pelajaran 1947 menjadi Renjtana Pelajaran Terurai 1952. Awalnya hanya mengikuti
atau meneruskan kurikulum yang ada kemudian dikembangkan lagi dengan lebih menfokuskan
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.
2. Kepentingan politis semata, hal ini sangat jelas terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK)
menjadi kurikulum 2006 (KTSP). Secara matematis masa aktif kurikulum 2004 sebelum diubah
menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan
sebelum-sebelumnya. Dalam kurun waktu yang singkat ini, tidak bisa dibuktikan baik tidaknya
sebuah kerikulum. Hal senada juga diungkapkan bahwa lahirnya kurikulum 1968 hanya bersifat
politis saja, yaitu mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama.[10]
Kurikulum yang selama ini mengalami pergantian tidak lain adalah untuk dikembangkan dan
diperbaiki. Sedangkan pengembangan kurikulum dilakukan karena adanya empat faktor, yaitu:
1. Falsafah bangsa, masyarakat, sekolah dan guru-guru.
2. Harapan dan kebutuhan masyarakat.
3. Hakekat anak yang masing-masing mempunyai perkembangan fisik, mental, psikologi, emosional,
sosial dan cara belajar yang berbeda.
4. Hakekat pengetahuan atau disiplin ilmu yang disajikan adalah sebagai bahan pelajaran. [11]
Adanya kurikulum pendidikan di Indonesia tidak selalu berjalan sesuai
dengan tujuan dan harapan. Seiring dengan perubahan kurikulum dari tahun
ketahun masih terdapat kesenjangan antara fakta dan idealnya. Identifikasi
kesenjangan kurikulum[12] seperti pada tabel di berikut ini:

Kondisi Saat Ini Konsep Ideal


1. Kompetensi Lulusan 1. Kompetensi Lulusan

a) Belum sepenuhnya a) Berkarakter mulia


menekankan pendidikan
berkarakter

b) Belum menghasilkan b) Ketrampilan yang relevan


ketrampilan sesuai
kebutuhan

c) Pengetahuan-pengetahuan c) Pengetahuan-pengetahuan
lepas yang terkait

2. Materi pembelajaran 2. Materi pembelajaran

a) Belum relevan dengan a) Relevan dengan kompetensi


kompetensi yang dibutuhkan yang dibutuhkan
b) Beban belajar terlalu berat b) Materi yang esensial
c) Terlalu luas, kurang c) Sesuai dengan tingkat
mendalam perkembangan anak
3. Proses pembelajaran 3. Proses pembelajaran

a) Berpusat pada guru (teachera) Berpusat pada peserta didik


centerd learning) (student centered active
learning)
b) Sifat pembelajaranb) Sifat pembelajaran yang
berorientasi pada buku teks kontekstual
c) Buku teks hanya memuatc) Buku teks memuat materi
materi bahasan dan proses pembelajaran,
sistem penilaian serta
kompetensi yang diharapkan

Pada masa sekarang siswa tidak hanya diharapkan unggul diranah kognitif saja, akan tetapi
juga diranah afektif dan psikomotorik. Selain dari identifikasi di atas, apabila kembali menyimak
naskah akademik Komite Reformasi Pendidikan Nasional, maka dapat diketahui tentang alasan yang
mendasari amandemen UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi RUU
Sistem Pendidikan yang baru. Ada beberapa argumen yang memaparkan kelemahan mendasar dalam
UU No. 2 Tahun 1989 apabila ditinjau dari pengamatan saat ini, yaitu adanya politisasi pendidikan.
Pendidikan menjadi alat pemerintah yang berkuasa dan merupakan bagian dari birokrasi, sehingga
program-programnya harus direstui pemerintah. Hal ini mengakibatkan matinya berbagai kreativitas
dan inovasi dalam bidang pendidikan. Serta adanya sistem pendidikan sentralistik, sehingga UU
disusun sedemikian rupa sebagai acuan besar yang mengatur segala bentuk kegiatan dalam sistem
pendidikan.[13] Idealnya kurikulum tidak ditetapkan secara kaku, maksudnya sekolah diberi
keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum di sekolah, sehingga kepala sekolah dan guru memiliki
kebebasan dalam menerapkannya di kelas.[14]
Setidaknya ada empat pendekatan untuk mengeksplorasi isi kurikulum, yaitu dengan:
1. Pendekatan kultural.
2. Pendekatan multi dimensional.
3. Pendekatan managerial.
4. Pendekatan profesional.[15]

D. Solusi dari Masalah Kurikulum Dan Pendidikan


Kurikulum memang bukanlah satu-satunya faktor penentu kualitas atau keberhasilan
sekolah. Akan tetapi ada beberapa faktor lain di antaranya:
1. Masalah sarana dan prasarana.
2. Situasi dan kondisi lingkungan.
3. Kualitas guru sebagai pelaksana pendidikan, dan lain sebagainya.
Sehingga diperlukan adanya manajemen kurikulum yang terbagi atas tiga kegiatan pokok:
1. Perencanaan (planning) kurikulum. Berfungsi untuk:
a. Pedoman atau alat manajemen
b. Penggerak roda organisasi dan tata laksana untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat yang
sesuai dengan tujuan organisasi.
c. Motivasi untuk melaksanakan sistem pendidikan agar mencapai hasil optimal
2. Pelaksanaan (actiating) kurikulum. Mencakup tiga pokok bahasan:
a. Pengembangan program
b. Pelaksanaan pembelajaran
c. Evaluasi
3. Evaluasi (evaluation) kurikulum. Setiap program, kegiatan-kegiatan dan sesuatu yang direncanakan
selalu diakhiri dengan evaluasi. Bertujuan untuk melihat kembali apakah suatu program atau
kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Penilaian kurikulum dilakukan
untuk mencari jawaban atas permasalahan seperti berikut:
a. Sejauh mana pelaku atau pelaksana di lapangan telah memahami dan menguasai kurikulum lengkap
dengan semua komponennya.
b. Sejauh mana efektivitas pelaksanaannya di sekolah.
c. Sejauh mana efektivitas penggunaan sarana penunjang seperti buku, alat pelajaran atau peraga dan
fasilitas lainnya serta biaya dalam menunjang pelaksanaan kurikulum tersebut.
d. Sejauh mana siswa telah berhasil mencapai tujuan yang dirumuskan, atau sejauh mana siswa telah
menguasai pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diharapkan.
e. Apakah ada dampak pelaksanaan kurikulum, baik yang sifatnya positif maupun negatif yang
merupakan akibat yang ditimbulkan oleh kurikulum yang belum diperkirakan sebelumnya.[16]
Karena kurikulum diatur dalam Undang-Undang, jika sungguh-sungguh ingin melakukan
pemikiran ulang terhadap pendidikan nasional, maka salah satu langkah yang dapat dapat dilakukan
adalah dengan kembali ke UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di
sekolah. Ada beberapa alasan yang mendasari pernyataan tersebut, seperti berikut:
1. Sudah terbukti bahwa nafas Undang-Undang tersebut, secara filosofis, budaya dan politik lebih
bermutu, demokratis, universal dan memiliki rasa kebangsaan yang tinggi bila dibandingkan dengan
UUSPN tahun 1989 atau Draf Amandemen terhadap UUSPN tahun 1989. Hal itu karena Undang-
Undang No. 4 tahun 1950 dibuat dalam suasana politik demokratis dan oleh founding fathers yang
termasuk orang-orang terdidik secara baik, sehingga produk yang dihasilkannya juga demokratis dan
baik. Sedangkan UUSPN dibuat oleh rezim yang totaliter.
2. Praktik pendidikan yang didasarkan pada UU No. 4 tahun 1950, terutama ketika masih zaman
Soekarno, jauh lebih bermutu, demokratis, egaliter, mandiri dan mampu menghasilkan orang-orang
yang cakap, susila dan beradab.
3. Rumusan draf UU Pendidikan yang diajukan oleh Komite Reformasi Pendidikan Nasional adalah
sebagai revisi terhadap UUSPN yang dinilai terlalu sentralistis dan tidak lebih baik bila dibandingkan
dengan UU No. 4 tahun 1950.[17]
Ada suatu statemen yang menyatakan bahwa yang lama belum tentu jelek. Hal ini
mengingatkan tentang UU No. 4 tahun 1950 Pasal 3 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan dan
pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Dalam rumusan dasar dan
tujuan pendidikan jelas sekali bahwa rumusan UU No. 4 Tahun 1950 dilakukan oleh orang yang
memiliki watak kuat, susila, demokratis, memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan rasa
kebangsaan yang tinggi sebagai warga negara.[18]

Você também pode gostar