Você está na página 1de 15

AKREDITASI PUSKESMAS

Gambaran Draft Blueprint Pembinaan Akreditasi Puskesmas


Pendahuluan
Akrreditasi puskesmas adalah program besar nasional dari peningkatan kualitas upaya pelayanan
kesehatan yang mirip dengan upaya yang mirip dengan “lompatan-kuantum/quantum-leap”, dalam hal
membenahi kinerja penyelenggaraan upaya kesehatan primer. Koreksi mendasar atas berbagai
kelemahan ataupun kualitas manajemen pelayanan kesehatan primer, utamanya perlu dilaksanakan
tidak hanya di level puskesmas, akan tetapi dalam tatanan koreksi yang terpadu dengan mekanisme
pembinaan baik di level kabupate/kota, propinsi, maupun nasional.

Mekanisme peyelenggaraan berbagai upaya kesehatan di tingkat puskesmas, umumnya sudah


dikembangkan dengan baik. Walaupun demikian bisnis proses menyeluruh peyelenggaraan pelayanan
kesehatan primer dalam kelompok besar UKM dan UKP di puskesmas, peningkatan mutu
pelaksanaannya umumnya belum dijalankan dengan menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM)
terintegrasi dengan Dinas Kesehatan sebagai satuan kerja pembinanya, yang sifatnya memenuhi kaidah
sistem yang baik.

Beberapa hubungan manajemen minimal dasar yang seharusnya ada di Puskesmas dan dinas, belum
dikembangkan, utamanya yang terkait dengan manajemen terpadu SKPD dan UPTD penyelenggara
urusan kesehatan. Terpadu artinya adalah kinerja keberhasilan ataupun kegagalan seluruh puskesmas di
satu kabupaten/kota dalam mencapai targetnya berdampak pada kinerja keberhailan atau kegagalan
dinas dalam membina. Dengan kata lain kinerja dinas adalah konsolidasi dari kinerja seluruh puskesmas
berikut UPTD kesehatan lain yang dibinanya. Salah satu koreksi mendasar, yang segera dapat
meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer skala nasional, adalah dengan
meningkatkan kualitas pembinaan oleh Dinas Kesehatan di kabupaten/kota, yang intinya adalah
mengembalikan peran dinas sebagai penanggung jawab penyelenggaraan kesehatan di kab.kota.

Faktor ini juga menjadi factor kritikal untuk keberhasilan upaya akreditasi puskesmas secara nasional.
Sektor kesehatan lebih beruntung karena sudah memiliki prasarana mendasar untuk memperbaiki mutu
pelayanan tersebut, berupa standar akreditas puskesmas, yang sekaligus menjadi media utama didalam
membangun benang merah keberhasilan pembinaan oleh dinas kesehatan Kab/Kota terhadap
keseluruhan puskesmas yang dibinanya.

Karena sangat luasnya lingkup penerapan akreditasi puskesmas, disatu sisi skalanya adalah skala
nasional yang melingkupi seluruh Puskesmas (lebih dari 9000 Puskesmas), dan disisi lain secara vertical
memadukan proses penyelenggaraan (antara Puskesmas dan Dinas ), peran Dinas Kesehatan perlu
dikedepankan sebagai pengelola utama pembinaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan di kab/kota.
Kebijakan mutu, kebijakan formasi, maupun kebijakan sumber daya lainnya, temasuk pendanaan, yang
melingkupi seluruh puskesmas di satu kab/kota, kewenangan untuk menetapkannya ada di di Dinas
Kesehatan kab/kota.

Akreditasi Puskesmas tidak hanya secara formal perlu mengedepankan peran dinas sebagai pendamping
puskesmas didalam hal membangun sistem manajemen mutu kesehata di kabupaten/kota, tetapi juga
menjadi bagian utama upaya untuk keberhasilan pemda kabupaten/kota dapat memberikan pelayanan
kesehatan primer yang bermutu baik bagi masyarakat. Mengacu ruang lingkup yang sangat luas
sebagaimana sudah disebutkan dalam paragraph sebelumnya, program nasional ini perlu direncanakan
secara matang dan baik. Umumnya penjadualan implementasi dari sesuatu program besar skala
nasional yang sifatnya baru, perlu mempertimbangkan berbagai tahapan, yang kemungkinan besar baik
kabupaten/kota maupun propinsi, belum membangun mekansme antisipasipasi untuk
implementasinya.

Sebagaimana umum ditemukan di pengembangan produk baru, pendekatan “S curve landai, ”


mengindikasikan bahwa pada tahun pertama launching produk baru tersebut, dikarenakan banyak
mekanisme dan masalah yang harus diselesaikan, akibatnya pada tahun pertama kurang bijak dibuat
target keberhasilan yang terlalu ambisius. Sebaiknya dalam satu tahun pertama dari launching skala
nasional, program akreditasi puskesmas hanya mentargetkan jumlah kecil puskesmas yang dianggap
dapat berhasil memenuhi standar akreditasi puskesmas (pilot project). Baru ditahun kedua dibuat target
yang lebih besar, dan terbesar ditahun ketiga, dan selanjutnya melandai (sesuai kapasitas penih).
Constraint utama implementasi program akeditasi puskesmas skala nasional adalah hal ini merupakan
hal baru, walau sudah dikembangkan bertahun-tahun.

Kabupaten/kota membutuhkan waktu untuk dapat mempersiapkan tenaga pendamping puskesmas


(tenaga pembimbing yang akan mendampingi puskesmas membangun sistem manajemen mutu) yang
dapat dianggap kompeten dan dalam jumlah yang cukup. Kualitas dari tenaga pendamping tersebut
menjadi factor kunci akan keberhasilan program akreditasi puskesmas. Disisi lain provinsi sebagai
kepanjangan tangan pemerintah pusat, butuh waktu untuk dapat mempersiapkan surveyor yang
kompeten dalam jumlah yang cukup. Untuk dapat mempercepat implementasinya, dibutuhkan
tersedianya contoh bagi kabupaten/kota/provinsi contoh tahapan mekanisme detail untuk manajemen
pelaksanaan program akreditasi puskesmas baik di level kab/kota maupun di level propinsi. Contoh
detail manajemen untuk eksekusi tersebut perlu segera disiapkan, melalui pendekatan terutama oleh
provinsi dan pusat. Contoh eksekusinya diberikan dalam Gambar-1 terlampir, diberikan gambaran
komponen kegiatannya (penjelasan singkatnya diberikan dalam sub bab berikut).

Komponen kegiatan utama Akreditasi Puskesmas Nasional


Tiga kelompok besar kegiatan yang berkaitan dengan akreditasi puskesmas nasional terdiri dari:

1. Kegiatan penyiapan tenaga pendamping puskesmas untuk mengembangkan sistem manajemen


mutu di masing masing puskesmas, yang diharapkan dapat lolos akreditasi puskesmas.
2. Kegiatan penyiapan tenaga auditor atau surveyor yang akan memverifikasi apakah suatu
puskesmas layak untuk dianggap lolos akreditasi.
3. Kegiatan akreditasi puskesmas itu sendiri.

Gambaran singkat keterkaitan ketiga komponen kegiatan utama tersebut diberikan dalam Gambar-1.
Durasi atau waktu pelaksanaan masing masing kegiatan yang tercantum dalam Gambar-1. Perkiraan
kebutuhan waktu pelaksanaannya dapat diperoleh melalui uji implementasi di beberapa lokasi terpilih,
dimana dianjurkan diuji-cobakan sekurang-kurangnya di 2 jenis puskesmas yang berbeda:

1. Puskesmas yang ada dilokasi dengan kualitas infrastruktur sarana dan prasana yang memadai.
2. Puskesmas yang ada dilokasi dengan kualitas infrastruktur sarana dan prasarana terbatas.

Idealnya, uji coba juga perlu diterapkan disatu kelompok uji coba lainnya, yaitu puskesmas yang ada
dilokasi sangat terpencil ataupun di gugus pulau. Akan tetapi umumnya Puskesmas ini dari sudut sumber
daya manusia yang sesuai dengan standar kompetensi, umumnya belum dilengkapi secara memadai
untuk dapat memulai membangun sistem manajemen mutu puskesmas yang memenuhi persyaratan
akreditasi puskesmas. Dibutuhkan perlakuan khusus untuk keberhasilan akreditasi jenis puskesmas ini.
Menjadi tantangan tersendiri baik bagi dinas kab/kota, propinsi, maupun direktorat jenderal di
Kementerian Kesehatan untuk keberhasilan tindakan koreksinya.

Gambaran singkat mekanisme pembinaan puskesmas di level nasional


Pengembangan sistem manajemen mutu yang dapat memenuhi persyaratan akreditasi puskesmas, disisi
positifnya, merupakan suatu upaya terobosan yang bersifat lompatan besar, quantum-leap, dalam hal
membenahi secara cepat penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer skala nasional. Disisi lainnya,
tingkat kesulitan penerapannya sangat tinggi. Upaya ini merupakan hal baru yang belum pernah
diterapkan sebelumnya di level nasional yang bersifat terobosan massal level nasional. Upaya terobosan
ini mempersyaratkan tersedianya tenaga pendamping dan tenaga surveior yang berkualitas baik dalam
jumlah massif, yang perlu disiapkan hanya dalam waktu singkat.

Untuk dapat mempersiapkan tenaga pendamping dan surveyor tersebut dalam waktu singkat, calon
pendamping dan calon surveyor yang akan dilatih, perlu dipilih dari pool calon trainee yang memiliki
latar belakang sudah pernah bekerja di organisasi yang sudah menerapkan sistem manajemen mutu
secara intensif, atau yang sudah pernah dilatih konsep sistem manajemen mutu, setidak-tidaknya
minimal selevel Sistem Manajemen Mutu yang memenuhi persyaratan yang diakui secara internasional
(contoh, salah satu diantaranya adalah SMM ISO-9001:2008). Dengan kata lain sudah mengenal dan
terbiasa bekerja dengan menggunakan berbagai “fungsi manajemen minimal wajib”, sebagaimana
diatur persyaratan dalam standar akreditasi puskesmas, yang harus ada disuatu organisasi yang baik.
Umumnya kepala puskesmas (termasuk pensiunan) yang sudah menerapkan ketiga buku pedoman
acuan puskesmas (perencanaan puskesmas, lokmin puskusmas, kinerja puskesmas) yang diterapkan
secara benar olehnya, sudah memenuhi kriteria ini. Minimal dalam arti kata jika satu saja dari berbagai
fungsi wajib minimal ini tidak diterapkan, diragukan organisasi tersebut dapat menjaga mutu yang
dijanjikan, secara konsisten.

Idealnya penyiapan tenaga pendamping didelegasikan ke kab/kota secara penuh. Demikian juga
penyiapan tenaga surveyor didelegasikan ke provinsi sebaiknya juga dengan pendekatan penuh. Akan
tetapi karena adanya keterbatasan jumlah personil di dinas kesehatan kabupaten/kota dan di dinas
kesehatan provinsi yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam paragraph
sebelumnya, sangat mungkin terjadi, hanya sejumlah kecil provinsi maupun kab/kota yang memiliki
jumlah personil yang cukup untuk segera dapat dilatih menjadi tenaga pendamping maupun menjadi
surveyor. Oleh sebab itu, tetap perlu dibangun pool nasional tenaga pendamping dan tenaga surveyor,
yang tenaganya dapat dipinjamkan untuk mendukung kab/kota yang belum memiliki tenaga
pendamping dan surveyor dalam jumlah memadai. Dapat dipinjamkan dalam arti, syarat utamanya,
terpenuhi. Syarat utama tersebut adalah tersedia komitmen tinggi untuk meningkatkan derajat
kesehatan menjadi dipenuhi di kabupaten kota, baik dipihak pemda kabupaten/kotanya (dalam hal ini
bupati/walikota beserta dinas kesehatan didalam mensupport program akreditasi puskesmas) maupun
dipihak puskesmasnya sendiri.

Untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer nasional, di ujung rantai jenjang pemerintahan,
yaitu di level kabupaten/kota, dinas kesehatan adalah unit mandiri terkecil yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan, melalui pelayanan langsung yang diselenggarakan di berbagai UPTD Puskesmas
yang dikelola dinas kesehatan. Dinas kesehatan sebagai unit Pembina di kabupaten/kota bertanggung
jawab langsung akan keberhasilan akreditasi puskesmas. Gambaran pembinaan di level kabupaten/kota
diberikan dalam 4 (empat) gambar pertama, Gambar-2 s/d Gambar-5 dari set gambar yang
keseluruhannya merupakan gambaran 6 (enam) tahapan mekanisme pembinaan berjenjang nasional,
yang diberikan dalam Gambar-2 s/d Gambar-7. Keempat gambar pertama (Gambar-2 s/d Gambar-4)
tersebut merupakan 4 tahapan pembinaan berjenjang yang ada di level kabupaten/kota. Proses
pembinaan untuk keberhasilan akreditasi puskesmas sangat bergantung pada peran aktif dinas
kesehatan kab/kota, didalam keberhasilan peningkatan kualitas penyelenggaraan kesehatan di
kab/kota.

Dinas kesehatan, mengacu ketersediaan berbagai sumber daya (5M-“man,money,material,method,


machinery” yang lebih dikenal dengan istilah “sarana-prasarana-alat-tenaga-uang/SPATU”), menetapkan
target (1).universal access, dan (2).universal coverage pelayanan kesehatan primer yang dibutuhkan
masyarakat di level kab/kota.

Selanjutnya target tersebut didistribusikan habis, yang artinya target tersebut dibagi bagi secara
proporsionil (idealnya tidak dibagi secara liner), ke masing masing puskesmas yang ada dibawah
pembinaannya, mengacu kapasitas yang tersedia di masing masing puskesmas.

Mengacu dukungen program, berbagai jenis pelayanan di level Puskesmas di kelompokkan atas 6
upaya pelayanan kesehatan primer “the basic six*, Sisanya (diluar basic-6) adalah dalam bentuk program
pengembangan.

Mengacu kebutuhan masyarakat, sebaiknya upaya pelayanan kesehatan primer ini juga perlu dilengkapi
dimensi lain untuk mengakomodasi kebutuhan dan harapan berbagai kelompok pengguna layanan.
Salah satu kemungkinannya adalah menggunakan sisi pelayanan yang menyangkut siklus kehidupan
manusia: “Pelayanan 1000 hari golden period awal kehidupan”, “Pelayanan Balita”, “Pelayanan Usia
Sekolah dan Usia Produktif”. dan “Pelayanan UsiLa”. Dimensi matriks “pengguna layanan” vs “program
basic six” tersebut singkatnya mencakup:

Pengguna Layanan:

1. Perempuan Usia Subur (15-49)  Program pelayanan KB


2. Bumil, Bulin, Bufas/Neonatus Program pelayanan MNH
3. Bayi, Anak Balita, Pra Sekolah  Program pelayanan Balita &Pra Sekolah Mengacu
4. Siswa Pendidikan Dasar (7-9)  Program pelayanan UKS kebutuhan
5. Siswa SLTA (15-18)  Program pelayanan UKS,KR/KRR masyarakat
6. Usia Dewasa/Produktif  Program pelayanan KK, PTM
7. Usia Lanjut, Program pelayanan Usila
Program basic six:
 KIA/KB (1, 2, 3) Layanan K1-K4, PN, KN,KF, KB dll
 Gizi (1-7) Layanan penyuluhan, Kadarzi, UPGK, Penimbangan Balita, PMT dll
 Pengendalian Penyakit, termasuk Imunisasi (1-7) Layanan imunisasi, HIV/AIDS,
TB, Malaria, PTM, DM, Hipertensi dll
Mengacu
 Sanitasi (1-7) Layanan sanitasi penyehatan, lingkungan (pemukiman, TTU),
program
Jamban Sehat, Air Bersih.
essensial
 Promkes (1-7) Layanan KIE, PD Individu dan Keluarga, Penyuluhan Kelompok,
(basic six)
Penyuluhan Masyarakat, KIPK
 Pengobatan & Perawatan (1-7) Berbagai program layanan pengobatan dan
perawatan

Membangun sistem manajemen mutu pelayanan puskesmas yang baik, identik dengan mempersiapkan
puskesmas untuk dapat lolos akreditasi. Hal ini berarti dari sisi sudut pandang pengguna layanan
(customer), penyelenggaran pelayanan tersebut dikelola secara baik dengan memperhatikan kebutuhan
dan harapan di masing-masing kelompok customer (yang ada di setiap kelompok siklus kehidupan).
Contoh Jenis pelayanan yang dibutuhkan oleh setiap kelompok siklus kehidupan tersebut (lihat
kelompok customer angka 1 sd 7), komponen jenis pelayanannya sudah dibakukan dalam sistem
manajemen puskesmas. Berbagai jenis pelayanan tersebut di pilah atas kelompok pelayanan yang
dukungan programnya dulu dikenal dengan istilah “the basic six” dan sekarang disebut dengan istilah
pelayanan “essensial “ (a-f).

Dengan demikian menjadi tersedia benang merah yang menghubungkan kinerja penyelenggaraan
program “the basic six” yang umumnya dalam bentuk kinerja dukungan program atau upaya, dengan
kinerja “kepuasan pengguna layanan”.

Dengan kata lain kinerja pelayanan dalam wacana “universal access” dan “universal coverage”, yang
tidak lain adalah dimensi yang mewakili “kepuasan pengguna layanan”, keterkaitannya dengan kinerja
dimensi dukungan pogram yang umum dikenal dengan nama “the basic six”, menjadi jelas
hubungannya. Secara nasional muaranya tercermin dalam profile kesehatan yang diantaranya
menggambarkan kinerja penurunan angka kematian, angka kesakitan dll di setiap kelompok pengguna
layanan (customer) yang ada dalam siklus kehidupan.

Saat sekarang belum tersedia dasar acuan untuk mendefinisikan ruang lingkup pelayanan apa saja
yang perlu diprioritaskan dan direncanakan secara nasional mutu standar pelayanan minimalnya
(SPM) yang dibakukan mengacu “Mengacu dukungan program” dan “Mengacu kebutuhan masyarakat
(sesuai life cycle)” seperti dalam contoh kedua dimensi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Tidak
mungkin suatu puskesmas mutu pelayanannya dapat ditingkatkan seluruhnya dengan pendekatan
sekaligus baik dikeseluruhan jenis pelayanannya.

Kinerja pencapaian mutu tersebut diukur dan dievaluasi melalui mekanisme akreditasi puskesmas yang
sebaiknya diterapkan dengan “ruang lingkup yang berkembang”. Tidaklah mungkin suatu puskesmas
dapat secara instan menjadi baik di seluruh jenis pelayanan yang ada dalam kelompok UKM dan UKP
yang diselenggarakan di level puskesmas. Umumnya peningkatan mutu tersebut dikembangkan secara
bertahap. Misal pada tahap awal dibakukan mutu minimal hanya untuk kelompok jenis pelayanan UKM
dan UKP yang terkait dengan “Pelayanan 1000 hari golden period awal kehidupan”. Jika mekanisme
kerja untuk mewujudkan pelayanan ini sudah terbangun dengan sudah mengacu kaidah sistem yang
baik, dalam memberikan pelayanan sekurang-kurangnya sesuai dengan SPM, serta memenuhi seluruh
persyaratan dalam standar akreditasi puskesmas, dengan mudah dan cepat ruang lingkup SPMnya
selanjutnya dapat dikembangkan menjadi mencakup seluruh kelompok pelayanan Balita, selanjutnya
pelayanan usia sekolah, dan akhirnya meliputi seluruh pelayanan yang ada di siklus kehidupan.

Jika hal ini diterapkan, focus dari peningkatan kualitas pelayanan menjadi tajam, dan mudah diukur
kinerjanya dalam wawasan nasional, serta berdampak positif atas berbagai upaya percepatan
keberhasilan, agar suatu puskesmas menjadi dapat lolos akreditasi.

Jika dipaksakan bahwa seluruh puskesmas perlu menjamin mutu akan seluruh jenis pelayanan UKM dan
UKP (artinya seluruhnya lolos akreditasi puskesmas), untuk seluruh kelompok umur pengguna layanan
dalam siklus kehidupan, hanya dalam beberapa tahun, pendekatana yang dipaksakan ini serupa dengan
melakukan hal yang tak mungkin. Normalnya hal ini membutuhkan waktu puluhan tahun. Kecuali ada
upaya upaya terobosan yang tercermin dalam kualitas sistim manajemen mutu nasional yang didukung
oleh manajemen kesehatan nasional yang juga lolos akreditasi kesehatan nasional (pola sejenis
akreditasi puskesmas di terapkan serupa di manajemen dinas kesehatan kab/kota, dinas propinsi, dan
Ditjen Kemneterian Kesehatan). Analoginya mirip dengan contoh ektrim sejenis seperti, siswa SD
diwajibkan “lulus universitas hanya dalam 6 tahun”, dengan mutu baik.

Sebaiknya masukan ini perlu dipertimbangkan dalam menerapkan program akreditasi puskesmas secara
nasional. Bangunlah mutu pelayanan tersebut bertahap sesuai dengan tingkat kemampuan yang
tersedia. Jangan sampai terjadi semua pelayanan sekaligus dikejar peningkatan mutunya, yang
mengakibatkan tidak satupun pelayanan yang meningkat mutunya dikarenakan sumber daya 5M/SPATU
yang tersedia menjadi tidak memadai untuk mendukung tiap jenis layanan, dan tiap kelompok
customer, yang artinya gagal di akreditasi. Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan seperti
yang sudah diuraikan, diperkirakan perencanaan pelaksanaan akreditasi puskesmas, di level kab/kota
maupun nasional akan berhasil secara efektif memperisapkan mayoritas puskesmas menjadi siap untuk
di akreditasi.
Gambar-1: Gambaran Global Pelaksanaan Kegiatan Akreditasi Puskesmas (Catatan: Durasi (1 day) sifatnya dummy; belum mencerminkan durasi
sebenarnya, yang perlu ditetapkan setelah dilakukan uji coba (pilot project) di lapangan).

h
Cara membaca blueprint pembinaan baik dilevel kab/kota maupun provinsi adalah sebagai berikut:

 Keenam gambar dibawah merupakan satu set mekanisme pembinaan dimana tanda panah
digunakan untuk me-link satu gambar dengan gambar lainnya. Contoh panah-!A dalam Gambar-
1 mengindikasikan link pada Gambar-2 yang juga dinotasikan 1A di Gambar-2 , 1B di Gambar-1
dengan 1B di Gambar-2, dstnya.
 Gambar-1 sampai dengan Gambar-4 memberikan gambaran mekanisme pembinaan yang
dilakukan di level kabupaten dan kota.
 Gambar-5 sampai dengan Gambar-6 memberikan gambaran mekanisme pembinaan yang
dilakukan di level provinsi.
 Pengelompokkan program adalah berdasarkan pada kelompok program yang ada di
Kementerian Kesehatan sesuai dengan nama direktorat jenderalnya.
 Khusus untuk DitjenBUK. program utamanya berupa menyediakan “kendaraan dengan
spesifikasi dan ukuran yang tepat” untuk “ditumpangi” berbagai program yang direncanakan
akan dibina oleh masing masing direktorat jenderal seperti P2P GisKIA-KB dll. Program promosi
kesehatan dibina oleh Setjen.

Kinerja pembinaan dirangkum dalam konsolidasi profile kesehatan level puskesmas ke profil kesehatan
level kab/kota dan selanjutnya dikonsolidasikan kelevel provinsi. Gambaran profil level puskesmas tsb
adalah sbb:

Profile kinerja kesehatan di Kecamatan identik Gambaran


Gap Terhadap Target Yang Ditetapkan Dalam RPK Puskesmas

A. Gambaran Umum
B. Derajat Kesehatan
1. Data Kematian
2. Angka Kesakitan
3. Status Gizi
C. Upaya Kesehatan (Mengacu Kinerja “Melayani Populasi Pengguna”)
1. Pelayanan Kesehatan
2. Akses & Mutu Pelayanan Kesehatan (Gap terhadap “universal acces =
“seluruh populasi pengguna”” maupun “universal coverage=“paket
pelayanan lengkap”)
3. Perilaku Hidup Masyarakat
4. Keadaan Lingkungan
D. Sumber Daya Kesehatan (Mengacu Standar Kompetensi)
1. Tenaga Kesehatan
2. Pembiayaan Kesehatan
3. Sarana Kesehatan

11

Berbagai sasaran pelayanan ini (sebagaimana diterangkan dalam Bab-I Standar Akreditasi Puskesmas)
menjadi acuan dalam hal menilai kesesuaian suatu puskesmas, dengan standar akreditasi puskesmas.

Target yang ditetapkan di level kab/kota, di-distribusikan habis ke seluruh puskesmas di kab/kota
tersebut, dimana target masing masing puskesmas disesuaikan dengan kapasitas puskesmas masing
masing. Selanjutnya target ini dipakai sebagai acuan penilaian kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
di puskesmas dengan berbagai elemen penilaian dalam Bab-II s.d Bab-IX (mekanisme manajemen
kinerjanya dibangun dan diaudit menggunakan standar akreditasi puskesmas sebagaimana dijelaskan di
Bab III, Vi, dan iX).

Você também pode gostar